Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالُواْ
mereka berkata
بَلۡ
bahkan
وَجَدۡنَآ
kami dapati
ءَابَآءَنَا
bapak-bapak/nenek moyang kami
كَذَٰلِكَ
seperti demikian
يَفۡعَلُونَ
mereka kerjakan/berbuat
قَالُواْ
mereka berkata
بَلۡ
bahkan
وَجَدۡنَآ
kami dapati
ءَابَآءَنَا
bapak-bapak/nenek moyang kami
كَذَٰلِكَ
seperti demikian
يَفۡعَلُونَ
mereka kerjakan/berbuat
Terjemahan
Mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami mendapati nenek moyang kami berbuat begitu.”
Tafsir
(Mereka menjawab, "Sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian") yakni mereka melakukan sebagaimana apa yang kami lakukan sekarang ini.
Tafsir Surat Ash-Shu'ara': 69-77
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Apakah yang kalian sembah? Mereka menjawab, "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya. Berkata Ibrahim, "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa) kalian sewaktu kalian berdoa (kepadanya)? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepada kalian atau memberi mudarat? Mereka menjawab, "(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian. Ibrahim berkata, "Maka apakah kalian telah memperhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.
Allah ﷻ menceritakan perihal hamba, rasul, dan kekasih-Nya (yaitu Ibrahim a.s., pemimpin orang-orang hanif). Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya (yakni Nabi Muhammad ﷺ) untuk membacakan kepada umatnya kisah ini agar mereka mengikuti jejaknya dalam hal keikhlasan, tawakal, dan menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya; serta berlepas diri dari kemusyrikan dan para pengikutnya. Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah memberikan petunjuk-Nya kepada Ibrahim sejak dia masih kecil, lalu berlanjut sampai usia tuanya. Sesungguhnya Ibrahim sejak tumbuh dewasa mengingkari perbuatan kaumnya yang menyembah berhala di samping Allah ﷻ Maka ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Apakah yang kalian sembah? (Asy-Syu'ara': 70) Artinya, apakah berhala-berhala yang kalian sembah ini? Mereka menjawab, "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.(Asy-Syu'ara': 71) Yakni kami tekun menyembahnya dan menyerunya.
Berkata Ibrahim, "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa) kalian sewaktu kalian berdoa (kepadanya)? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepada kalian atau memberi mudarat? Mereka menjawab, "(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.(Asy-Syu'ara': 72-74) Yaitu mereka mengakui bahwa berhala-berhala mereka tidak dapat melakukan sesuatu pun dari hal tersebut. Sesungguhnya mereka hanya melihat nenek moyang mereka berbuat demikian, lalu mereka bersegera mengikuti jejaknya. Maka pada saat itu juga Ibrahim berkata kepada mereka: "Maka apakah kalian telah memperhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam. (Asy-Syu'ara': 75-77) Maksudnya, jika berhala-berhala ini dapat melakukan sesuatu dan mempunyai pengaruh, silakan mereka melakukan perbuatan jahat terhadap diriku; karena sesungguhnya aku adalah musuh mereka, aku tidak mempedulikan mereka dan sama sekali tidak memikirkannya.
Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ tentang perkataan Nuh yang disitir oleh firman-Nya: karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku). (Yunus: 71), hingga akhir ayat. Hud berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku, dan saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya. Sebab itu, jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.
Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus. (Hud: 54-56) Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim a.s. saat berlepas diri dari berhala-berhala sembahan kaumnya, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: Bagaimana aku takut kepada sembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 81), hingga akhir ayat. Dan firman Allah ﷻ: Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim (Al-Mumtahanah: 4) sampai dengan firman-Nya: Sesampai kamu beriman kepada Allah saja. (Al-Mumtahanah: 4) Demikian pula dalam firman Allah ﷻ: Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 26-28) Yakni kalimat 'Tidak ada Tuhan selain Allah.'"
Mereka menjawab, 'Tidak, mereka tidak memberikan kemanfaatkan dan mendatangkan bahaya, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu. ' Mereka berbangga dengan perilaku seperti itu. Inilah bentuk taklid buta, yaitu mengikuti cara beribadah orang lain walaupun hal itu salah. 75-76. Dia, Ibrahim, berkata, 'Apakah kamu memperhatikan dengan sebenar-benarnya apa yang kamu sembah, apakah hal itu pantas kamu lakukan' Kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu'" Nabi Ibrahim lantas memperlihatkan sikapnya yang tegas dan bernada permusuhan, karena dalam hal keimanan dan ibadah tidak ada kompromi dengan siapa pun.
Pertanyaan-pertanyaan itu mereka jawab sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Namun demikian, pada akhirnya Ibrahim mengetahui motif sesungguhnya dari penyembahan itu, yaitu merupakan tradisi yang diwarisi dari nenek moyang mereka. "Kami hanya mendapati nenek moyang kami berbuat demikian, dan kebiasaan itulah yang kami ikuti," jawab mereka dengan tegas kepada Ibrahim.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Perjuangan Nabi Ibrahim
Ayat 69
Di ayat 69 Nabi Muhammad diperintahkan Tuhan menceriterakan perjuangan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim adalah nenek-moyang daripada dua suku bangsa yang besar, yaitu Bani Israil dan Bani Ismail.
Bani Ismail disebut juga Al-'Arabul Musta'ribah karena-ibunya dibawa pindah ke Faran atau Makkah. Dari keturunannya yang melalui Bani Israil tumbuh dan timbullah Nabi-nabi dan Rasul-rasul Bani Israil yang banyak sekali, sedang dari Bani Ismail lahirlah Muhammad s.a.w.
Ayat 70
Nabi Muhammad disuruh menceriterakan betapa hebatnya perjuangan Ibrahim menegakkan ajaran Tauhid, Sebagaimana juga Nabi Muhammad seketika dia telah melancarkan seruannya supaya orang Quraisy pada khususnya dan kemanusiaan pada umumnya kembali kepada agama mengesakan Tuhan, adalah penghalang utamanya saudara dari ayahnya sendiri, yaitu Abu Lahab, maka Nabi Ibrahim pun menghadapi soal yang sama. Dia diperintah Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ber-bersyarikat dan tidak bersekutu, ayahnya sendiri yang bernama A2ar adalah seorang pemimpin penyembah berhala. Bukan saja pemimpin bahkan juga seorang yang ahli membuat berhala. Maka sebelum Ibrahim memulai langkahnya ke muka, yang lebih dahulu harus dihadapinya ialah ayahnya sendiri. Maka di dalam satu pertemuan soal jawab, berhadapan dengan ayahnya dan kaumnya. Ibrahim telah mengemukakan pertanyaan (ayat 70): “Apakah yang kamu sembah?"
Ayat 71
Dengan terus-terang ayahnya dan kaumnya menjawab (ayat 71), bahwa yang kami sembah ini berhala namanya, dan selalu kami akan menyembahnya, selalu kami akan memuja, dan selalu kami akan i'tikaf sekelilingnya, hal ini akan tetaplah demikian selama-lamanya.
Lalu Ibrahim mengajak supaya mereka mempergunakan fikiran: “Apa yang kamu sembah ini? Guna apa dan manfaatnya apa? Adakah mereka dengarkan seketika kamu menyeru kepadanya? Atau memohonkan pertolongan kepadanya? Adakah berhala-berhala itu memberi manfaat kepada kamu ataupun membawakan mudharat dan bahaya?"
Ayat 74
Jika didesakkan dengan pertanyaan yang demikian, niscaya mereka akan bingung. Sebab berhala itu adalah mereka sendiri yang membuatnya, ataupun sekumpulan barang-barang kuno yang telah mereka warisi dari nenek-moyang. Selama ini mereka belum pernah berfikiryang mendalam. Jika mereka jatuh ke dalam suatu kesulitan, mereka pergi memuja berhala itu. Kadang-kadang mereka beroleh untung dan manfaat dan kadang-kadang mereka ditimpa malajjetaka. Mereka belum sanggup memikirkan apakah keuntungan yang mereka dapat ataupun bahaya yang menimpa adalah tersebab berhala-berhala itu. Lalu mereka jawablah pertanyaan itu dengan jawaban yang sederhana saja, (ayat 74): “Kami dapati nenek-moyang, datuk-datuk kami yang dahulu berbuat demikian, menyembah dan memuja berhala, memohon apa-apa kepada berhala. Lalu, oleh sebab kami ini adalah keturunan mereka, niscaya adat-istiadat itu kami terima sebagai suatu pusaka yang suci dan wajib dipelihara."
Ayat 75
Maka keluarlah pendirian yang tegas daripada Nabi Ibrahim, suatu pendirian yang patut disebut “revolusioner", menentang segala kepercayaan yang karut-marut itu. (ayat 75); “Tidakkah kamu perhatikan benar benar apakah yang kamu sembah itu?"
Ayat 76
“Yang kamu sembah dan yang disembah oleh nenek-moyangmu zaman purbakala itu?" (ayat 76) Semuanya itu adalah barang benda belaka, dipahat dan diraut oleh tangan manusia, baik tangan kamu ataupun tangan dari nenek-moyang yang dahulu itu. Kamu sebagai manusia mengkhayalkan sesuatu, lalu kamu jadikan dia gambar dan patung, dan kamu mohonkan apa-apa kepadanya. Dia tidak bernyawa, dia bisa dipindah-pindahkan, dan bisa jatuh kalau terhempas, bisa hancur kalau dibinasakan dengan kapak. Berhala adalah karut-marut yang mengusutkan fikiran sendiri, dan penghalang besar bagi manusia kepada Zat Yang Maha Esa, Maha Kuasa. Sebab itu; “Mereka adalah musuh bagiku. Kecuali Tuhan Allah pengatur sekalian alam." (ayat 77).
Di sini mulailah Ibrahim menegaskan pendiriannya. Jika beliau menentang penyembahan kepada berhala, yang pada hakikatnya adalah musuh bagi manusia yang berfikiran sihat, maka beliau pun membukakan rahasia yang sebenarnya daripada persembahan dan pemujaan. Ke mana sebenarnya pemujaan itu harus dijuruskan. Seluruh alam ini termasuk manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi. Manusia itulah yang memperbuat berhala dan berhala diperbuat daripada benda yang dijadikan Tuhan, baik dia kayu ataupun dia pasir dan batu. Oleh sebab itu segala pertuhanan terhadap benda, adalah musuh besar bagi setiap orang yang bertaubat Ibrahim telah menegaskan pendiriannya bahwa tempat dia memuja, dan memuji, menyembah dan beribadat, hanya Yang Esa itu jua, yaitu Rabbul ‘Alamin.
Dia menjelaskan siapa sebenarnya Tuhan Rabbul ‘Alamin itu."Dialah yang menciptakan daku drih Dialah yang memberiku tuntunan “ (70).
Jika Ibrahim di sini dan dalam ayat selanjutnya mengatakan bahwa Tuhan Rabbul ‘Alamin itulah yang menjadikan dirinya, sampai selalu dia mengatakan “Aku", artinya ialah sebagai penegasan pendirian guna menentang fikiran yang kacau karena hanya menyambut pusaka nenek-moyang itu saja. Dengan selalu menyebut “Aku" artinya Ibrahim telah melepaskan dirinya dari ikatan masyarakatnya, bahkan ikatan kepercayaan yang dianut ayahnya sendiri, yang kalau menurut “tradisi" sudah sepatutnya dia pun mempusakai pula kelaknya apa yang dikerjakan oleh ayahnya, yaitu memimpin pemyembahan berhala.
Ibrahim telah “memproklamirkan" pendiriannya di muka umum, bahwa Tuhan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Esa. Maha Pencipta seluruh alam, Tuhan itulah yang telah menciptakan dirinya, bukan berhala itu. Tidak ada kekuasaan berhala ciptaan tangan manusia itu merangkakan tubuh seorang manusia dari air mani, dalam kandungan ibu lalu lahir ke atas alam dunia ini. Dan kemudian setelah lahir ke dunia, beransur diberi akal dan fikiran, diberi petunjuk menempuh jalan hidup. Ibrahim menjelaskan bahwa berhala-berhala itu tidaklah sanggup memberikan petunjuk dan tuntunan dan pimpinan kepada manusia. Sesudah berhala dibuat oleh manusia, dengan tangannya sendiri, lalu dia berlutut di hadapan buatan tangannya itu, berhala itu pun membisu. Sebab manusia yang berotak memohonkan apa-apa kepada benda yang tidak berotak.
Manusia adalah makhluk mulia di dalam dunia; bernyawa, berakal, berbudi dan berkhayal. Lalu khayalnya itu menciptakan berhala. Bukan berhala yang menciptakan akalnya dan bukan manusia itu sendiri yang langsung mendapat akal saja. Semua datang dari Tuhan Yang Maha Esa; manusia, akal manusia tian berhala buatan manusia.
Ayat 79
“Dan Dialah yang memberikan makan dan Dialah yang memberi minum." (ayat 79).
Dengan akal budi dan tuntunan Tuhan, dengan taufiq dan hidayahnya, hiduplah manusia itu di dalam alam. Hujan turun, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan pun hidup. Dengan akal pemberian Tuhan tadi, manusia mendapat ilham mencari makannya. Makanan pun tersedia, sejak beras sampai kepada gandumnya, sejak korma sampai kepada buah zaitunnya. Semuanya disediakan oleh Tuhan buat makanan bagi manusia sehingga manusia bisa menyambung hidup.
Adakah turut berhala menumbuhkan padi? Adakah turut berhala menumbuhkan gandum? Adakah turut berhala menurunkan hujan buat menyuburkan bumi, padahal jenis berhala itu sendiri diambilkan orang dari bumi? Oleh sebab itu dengan tegas Ibrahim berkata bahwa yang memberinya makan adalah Tuhan Sarwa sekalian alam itu, bukan yang lain.
Demikian juga jika, “Aku haus, Tuhan itu pulalah yang memberiku minum." Tuhan itu yang mengatur sehingga hujan pun turun dari langit, yang datang menurut waktu tertentu ke atas dataran bumi ini, mengalirlah dia menjadi sungai atau mengendaplah dia ke bawah sehingga menjadi telaga ataupun sumur, menjadi minuman dari manusia.
Ayat 80
“Dan jika aku sakit, Dia pulalah yang menyembuhkan daku." (ayat 80) -kata Ibrahim selanjutnya.
Bukanlah berhala yang menyembuhkan manusia tatkala dia ditimpa sakit. Tetapi Tuhan Sarwa Sekalian Alam. Manusia mencari obat, entah dari resep kimia tertentu, entah dari daun-daun yang tumbuh di bumi, entah dengan kekuatan doa. Sebelum ajal, segala penyakit dapat diobat Allah Ta'ala memberikan pula ilham kepada manusia buat mengobati sakitnya. Sedangkan kucing ataupun anjing kalau ditimpa sakit, kadang-kadang dapat kita lihat, dia mendapat ilham naluri buat memakan semacam rumput ataupun daun-daunan, dimamah dan dilulurnya, sehingga dia pun sembuh kembali.
Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menulis dalam kitabnya “Madarijus Salikin" tentang Adab sopan-santun terhadap Allah yang dicontohkan oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Beliau ambil ayat 78, 79 dan 80 ini buat perumpamaan."Yang menjadikan daku dan memberiku petunjuk ialah Allah. Yang memberiku makan, yang memberiku minum, ialah Allah. Tetapi jikalau sakit. Dia pulalah yang menyembuhkan daku." Maka Nabi Ibrahim di dalam penjelasannya kepada kaumnya itu telah memilih kalimat “Idza Maridhtu", jika aku sakit.
Sudah terang bahwa yang menimpakan sakit kepada manusia itu pun Tuhan Allah juga. Tetapi kata sakit, meskipun Tuhan juga yang mentakdirkan-nya, bagi seorang yang telah tinggi nilai penghomnatannya kepada Ilahi, tidaklah dia akan mengucapkan: “Jika Tuhan menyakitkan daku, Dia pulalah yang akan mengobatinya." melainkan dipilihnyalah kalimat yang layak, yaitu: “Jika aku sakit, Dia pulalah yang menyembuhkan daku."
Sekali Tuhan mengajar kita bersopan-santun menyusun kata, sehingga layaklah al-Qur'an Wahyu Ilahi jadi tuntunan kita juga dalam menyusun kata, sebagai orang yang bersopan-santun. Dalam al-Qur'an tidak sekali juga terdapat kata-kata yang tidak enak didengar telinga. Apabila mengenai “pergaulan suami-isteri" tidak pernah terdapat dalam al-Qur'an kata-kata bersetubuh misalnya, atau kata-kata yang kerap dipakai ahli-ahli Fiqh, seumpama wathak atau jimah Tuhan hanya memakai kata isyarat, seumpama /amastum atau “Wa la tubaaspiruhunna" (menyentuh kamu) atau “Maa lam tamassuhunna" (selama belum kamu menyentuh mereka), atau “La taqrabuhunna" (jangan kamu dekati mereka), atau rafats, dan sebagainya. Lantaran itu maka tidaklah layak misalnya kita katakan bahwa Tuhan Allah yang menjadikan bangkai, atau menjadikan najis. Contoh inilah yang dipakai oleh Nabi Ibrahim ketika beliau berkata: “Dan jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkan daku."
Kemudian di ayat 82 Nabi Ibrahim berkata lagi: “Dan Tuhan jualah yang saya harapkan memberi ampun segala kesalahanku di hari kiamat kelak."
Kerapkali menjadi perbincangan memeras otak bagi orang-orang yang suka berbincang, apakah Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu berdosa atau suci? Sebab Nabi Adam, Nabi Musa atau Nabi Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain-lain kerapkali benar memohon ampun atas salah dan dosanya. Nabi Muhammad pun disuruh memohonkan ampun “Wastaghfirhu ihnahu kau na tatewaba".
Di dalam Kitab-kitab Ushul-Fiqh diterangkan panjang lebar perlainan pendapat-pendapat Ulama, baik dari Ahlus-Sunnah ataupun dari Mu'tazliah, ataupun dari Syi'ah membincang tentang ma'shumkah Nabi-nabi dap Rasul-rasul dari dosa atau tidak. Setengah mereka berkata bahwa sebelum diutus menjadi Nabi dan Rasul, masuk di akal kalau Nabi-nabi itu terbuat olehnya dosa-dosa yang kecil, tetapi tidak mungkin mereka berdosa yang besar. Semuanya sefaham bahwa dosa besar tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu setelah mereka menerima tugas risalat. Kaum Syi ah berpendapat bahwa baik dosa kecil ataupun dosa besar, baik sebelum diutus ataupun sesudahnya, tidak pernah dikerjakan oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Maka tidaklah maksud kita turut berbincang pula dalam soal ini. Adapun yang terang ialah seseorang yang beriman, apabila bertambah tinggi martabat imannya, bertambah merasalah dia kecil dirinya di hadapan Tuhan.
Betapa pun banyak amal ibadat yang dikerjakannya, bertambah merasa dia bahwa taatnya kepada Tuhan belum juga sepadan dengan anugerah kurnia Ilahi yang diterimanya. Walaupun misalnya seluruh kehidupan ini telah dipergunakan buat bertekun, beribadat, belum juga sepadan dengan nikmat Tuhan yang diterima. Dan kalau seorang yang beriman terlanjur berbuat dosa, betapa pun kecilnya, dia merasa dirinya seakan-akan duduk di kaki sebuah gunung dari dosa, yang sangat takut kalau-kalau gunung itu senantiasa waktu akan menimpa dirinya.
Sedangkan orang yang beriman lagi merasa demikian, apatah lagi derajat Iman seo'rang Rasul, bertambah mendalam perasaan demikian bertambah pulalah dia dekat kepada Tuhan. Bertambah tinggi derajat seseorang, bertambahlah dia merasa kekurangan dirinya, kebebalan dan kelalaian. Sebab itu Nabi Muhammad s.a.w. tidak kurang daripada 70 kali mengucapkan istighfar dalam sehari semalam. Bahkan sehabis kita mengerjakan shalat yang lima waktu, dianjurkan kita membaca istighfar, memohonkan ampun sebanyak 7 kali atau 3 kali.
Propagandis-propagandis Kristen yang hendak membuktikan bahwa Nabi Isa adalah Tuhan, bahwa dia tidak pernah berdosa, bukan sebagai Nabi-nabi yang lain. Bukan sebagai Musa yang pernah membunuh orang (sebelum diangkat menjadi Rasul), dan kadang-kadang propagandis Kristen itu menonjolkan beberapa doa Nabi-nabi yang ada dalam al-Qur'an. memohon ampun Ilahi, alamat bahwa Nabi-nabi itu berdosa. Padahal di dalam Kitab Injil yang mereka peyang pun ada tersebut (Markus 10: 17-18): “Tatkala Yesus keluar di jalan, berlari-larilah seorang datang kepadanya serta bertelut, lalu bertanya kepadanya: “Ya guru yang baik, apakah patut hamba perbuat, supaya hamba menjadi waris hidup yang kekal?" Maka jawab Yesus kepadanya: “Apakah sebabnya engkau katakan aku ini baik? Seorang pun tiada yang baik, hanya satu Allah," kesaksian bagimu tersebut pula dalam Injil Lukas 118: 18-19.
Kalau Nabi Isa tidak mengakui dirinya seorang yang baik, apakah lawan dari yang baik? Yang jahat bukan? Apa benarkah Nabi Isa seorang yang jahat? Niscaya tidak, Tetapi dengan rendah hati beliau menjawab bahwa yang baik hanyalah Allah supaya segala kesalahannya diampuni pada HARI AGAMA.
MALIKI YAUMIDDIN. Hari kiamat, atau hari berbangkit kelak, atau hari Akhirat,
Penafsir mengambil langsung nama hari itu, “Yaumiddin", sebab amal ibadat kita yang sekarang ini, segala gerak-gerik dari hidup kita sebagai Muslim, menginsafi benar-benar bahwasanya segala yang kita kerjakan ini, mengerjakan suruhan Tuhan, menghentikan larangan Tuhan, adalah karena hendak diperhitungkan kelak, di hadapan Tuhan. Segala amal kita adalah pertalian di antara dunia dengan akhirat; di antara hidup di sini dengan hidup di sana. Kadang-kadang amal kita di sini belum kita lihat hasilnya, belum diterima pahalanya di dunia ini, malahan lebih banyak yang begitu. Kadang-kadang pada lahir seseorang berbuat baik, sedang pada hakikatnya di akhirat ternyata benar dia berbuat baik, ataukah di lahir kelihatan baik padahal di batin adalah maksud yang jahat.
Maka Nabi Ibrahim sebagai seseorang yang telah diberi gelar amat mulia oleh Tuhan, yaitu “Khalil Allah, sahabat karib Allah". Dengan segaia kerendahan hati, bukan dengan kesombongan, menerima penghormatan tertinggi itu. Dia mohon diampuni segala kesalahannya pada Hari Agama itu kelak.
Kemudian itu dalam ayat 83 Nabi Ibrahim mengemukakan pula permohonan yang lain Yaitu supaya dia dianugerahi HUKUM, yaitu keputusan tuntunan Wahyu atas akalnya sehingga dia dapat membedakan di antara yang buruk dengan yang baik, yang baik dengan yang batil, yang indah dengan yang jelek, yang mudharat dengan yang manfaat. Berapa banyaknya dalam dunia ini, sesuatu hal, pada mulanya kita pandang baik, kemudian apabila telah ditempuh ternyata berakibat jahat Berapa pula banyaknya yang pahit, enggan kita menelannya, tetapi setelah ditelan ternyata bahwa dia menyihatkan kita. Kerapkali terbentur kehendak bahwa nafsu kita dengan pertimbangan akal itu salah dan hanya diketahui dengan pengalaman belaka. Oleh sebab itu menuntut HUKUM buruk dan baik tidaklah mencukupi kalau dengan akal saja Akal wajib dituntun oleh Wahyu. Hukum yang ditentukan Wahyu inilah yang dituntut dan dimohonkan oleh Nabi Ibrahim kepada Tuhan. Permohonan itu pun diiringinya pula agar kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang shalih; orang yang berguna dan berfaedah. Karena Wahyu menunjukkan Hukum yang suci dari Tuhan, amat payahlah memikul dan menjalankannya kalau diri orang yang menerimanya tidak shalih, tidak .cakap, tidak sanggup. Setiap manusia ingin hendak baik, tetapi kerapkali dia menjadi jahat karena tidak dapat mengekang hawanafsunya. Wahyu adalah kata suci, maka yang menerimanya pun harus bersih. Sebab barang yang kotor tidak layak ditempati oleh yang bersih. •'
Ayat 84
Di ayat 84 terlukis permohonan Nabi Ibrahim agar Tuhan pun memberikan pula anugerah, yaitu sebutan yang baik dari anak cucu yang datang di belakang sebagai seorang nenek-moyang yang berjasa menerima tugas Ilahi mem-pelopori ajaran Tauhid dalam alam ini.
Ayat 85
Di ayat 85 dilukiskan pula permohonan beliau agar dia dijadikan pewaris dari Jannatun Na'im, syurga yang penuh nikmat.
Ayat 86
Dan di ayat 86 dimohonkan-nya pula agar: “Beri ampunlah ayahku, karena sesungguhnya dia adalah daripada orang-orang yang tersesal."
Ayat 87
Di ayat 87 beliau memohon: “Janganlah aku diberi malu pada hari mereka akan dibangkitkan."
Ayat 88
Dilanjutkan dengan ayat 88, yaitu: “Pada hari yang tidak memberi manfaat hartabenda atau anak-anak keturunan."
Ayat 89
“Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera."
Berat tugas yang dipikulkan kepada dirinya, sebagai manusia dia merasa lemah, namun tugas itu mesti dipikulnya jua, itulah sebabnya banyak permohonannya untuk mempersiapkan diri menjalankan tugas itu. Ampuni kesalahannya supaya jiwanya bersih. Beri dia pengertian hukum Dan apabila telah didapat pengertian hukum, berikan dia kekuasaan melaksanakan hukum dan layaklah dirinya untuk memeyang kendali hukum itu (orang yang shalih), yang patut dan berwibawa menegakkan hukum.
Dan masanya mesti datang bahwa dia akan dipanggil pulang ke hadhirat Ilahi. Hendaknya sebutan yang baiklah yang tinggal dalam lidah keturunannya Dan di alam akhirat itu syurga pulalah hendaknya tempat buatnya. Bukan karena mengharapkan keuntungan benda dan kemegahan, melainkan karena dalam syyrga itu nikmat yang paling tinggi ialah melihat wajah Ilahi.
Permohonannya yang amat berat ialah agar ayahnya diberi ampun pula. Ibrahim insaf bahwa ayahnya telah tersesat, namun hati nuraninya sebagai seorang yang berjiwa tinggi tidak tega melihat ayahnya disiksa neraka. Dia memohon'kepada Tuhan agar dia jangan diberi malu di akhirat. Pada waktu itu kelak segala makhluk yang tersesat itu akan dibangkitkan, termasuk juga ayahnya. Dia sendiri, Ibrahim, selama hidupnya telah berjuang menegakkan kebenaran Ilahi. Tetapi dia akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa ayahnya tidak menjadi pengikutnya. Dia akan masuk ke dalam syurga, sedangkan ayahnya akan dihalau masuk neraka dalam rombongan orang-orang yang sesat. Niscaya hartabendanya dan anaknya, walaupun anaknya itu adalah Ibrahim “sahabat karib Tuhan", tidaklah memberi manfaat, tidaklah dapat menolongnya. Alangkah malunya Ibrahim pada masa itu kelak. Sebagai manusia Ibrahim yang berbudi mencintai ayahnya. Jalan satu-satunya ialah memohon kepada Allah agar ayahnya diampuni saja. Bukankah Tuhan Maha Pengampun?
Segala permohonan Ibrahim telah dikabulkan oleh Tuhan, kecuali yang satu itu Namanya telah menjadi sebutan, turunan demi turunan. Telah disebut Musa dengan Tauratnya, disebut Isa dengan Injilnya. Bahkan sampai saat ini jasa Ibrahim tetap jadi kenangan kita, menjadi rangkaian shalawat kita dalam sembahyang seketika membaca “tahiyyat":
“Ya Allah, beri shalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Tuhan memberi shalawat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim."
Tetapi buat memberi ampun ayahnya atas dosa syiriknya tidaklah dapat Tuhan mengampunkannya. Walaupun dia seorang Nabi yang dikasihi Tuhan.
Perasaan Ibrahim mencintai ayahnya, menimpa juga kepada Nabi Muhammad yang amat mencintai pamannya, Abu Thalib. Cinta anak kepada ayah, cinta anak kepada paman sudah selayaknya bagi seorang insan Kamil. Namun di samping cinta sebagai perasaan halus insan, ada lagi timbangan keadilan tertinggi yang harus dipelihara. Apabila seluruh cinta telah dipusatkan kepada Allah Yang Maha Adil, selesailah doa dan tenteramlah hati.
Suatu hari datanglah seorang sahabat Rasul Allah, bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang nasib ibunya yang mati dalam jahiliyah. Nabi menjawab tegas: Ibumu di neraka! Sahabat itu menangis sampai pergi. Lalu dipanggil Nabi kembali. Setelah sahabat itu datang, dilihatnya, Nabi pun menangis sambil berkata: “Ibumu dan ibuku sama-sama di neraka."
Tersebutlah di dalam Surat at-Taubah, ayat 113 dan 114 demikian:
“Tidaklah boleh Nabi dan orang-orang yang beriman, bermintakan ampun untuk orang-orang yang musyrikin, walaupun mereka kaum kerabat yang hampir, sesudah terang bagi mereka, bahwa mereka yang musyrikin itu ahli neraka. Dan tidaklah ada permohonan ampun Ibrahim untuk bapaknya, melainkan karena perjanjian yang telah dijanjikan, kepadanya. Tetapi setelah nyata baginya bahwa bapaknya itu musuh Allah, berlepas dirilah Ibrahim daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang amat pengasihan lagi penyabar."
Begitulah berat tanggungjawabnya Nabi Ibrahim, begitulah pula berat tanggungjawabnya Nabi Muhammad s.a.w. Mereka terikat keras dengan disiplin yang ditentukan Tuhan. Sehingga walaupun ayah kandung (Nabi Ibrahim), ibu kandung dan paman yang amat dicintai (Nabi Muhammad), anak kandung (Nabi Nuh), isteri sendiri (Nabi Luth), kalau mereka tidak menuruti jalan Ilahi yang ditentukan, tidaklah Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu dibolehkan mempergunakan kedudukannya yang dekat dengan Tuhan untuk meloloskan orang-orang yang dicintainya itu daripada azab Ilahi dengan memohonkan ampun untuk mereka.
Beratlah tanggungjawabnya seorang Rasul.