Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلشُّعَرَآءُ
dan penyair-penyair
يَتَّبِعُهُمُ
mengikuti mereka
ٱلۡغَاوُۥنَ
orang-orang yang sesat
وَٱلشُّعَرَآءُ
dan penyair-penyair
يَتَّبِعُهُمُ
mengikuti mereka
ٱلۡغَاوُۥنَ
orang-orang yang sesat
Terjemahan
Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Tafsir
(Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat) di dalam syair-syair mereka, lalu mereka mengatakannya dan meriwayatkannya dari orang-orang yang sesat itu, maka mereka adalah orang-orang yang tercela.
Tafsir Surat Ash-Shu'ara': 221-227
Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.
Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. Allah ﷻ melalui ayat-ayat ini ber-khitab kepada orang-orang musyrik yang menduga bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ bukanlah perkara yang hak, dengan dalih bahwa itu hanyalah buat-buatan beliau sendiri, atau disampaikan oleh jin kepadanya. Maka Allah membersihkan diri Rasulullah ﷺ dari tuduhan mereka, seraya menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang disampaikan olehnya hanyalah dari sisi Allah. Dan bahwa itu adalah wahyu-Nya yang diturunkan kepadanya melalui malaikat yang mulia lagi dipercaya dan mempunyai kedudukan yang besar. Dan bahwa Al-Qur'an itu sama sekali bukan dari setan, karena sesungguhnya setan tidak mempunyai keinginan terhadap hal-hal yang seperti Al-Qur'an.
Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya membisikkan kedustaannya kepada orang-orang yang sealiran dan sependapat dengan mereka dari kalangan tukang-tukang tenung (ramal) yang pendusta. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Apakah akan Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. (Asy-Syu'ara': 221-222) Maksudnya, pendusta dalam ucapannya lagi banyak dosanya, yakni durhaka dalam semua perbuatannya. Orang-orang seperti mereka itulah yang selalu didatangi oleh setan, yaitu para tukang tenung dan orang-orang yang semisal dengan mereka, tukang dusta lagi pendurhaka.
Mereka sealiran dengan setan, karena setan juga tukang dusta lagi pendurhaka. mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu. (Asy-Syu'ara': 223) Yakni setan-setan itu mencuri-curi dengar dari berita langit, dan satu kalimat yang mereka dengar tentang ilmu gaib, lalu mereka membubuhinya dengan seratus kedustaan. Setelah itu mereka sampaikan kepada pendukung-pendukung mereka dari kalangan manusia. Selanjutnya manusia yang kedatangan mereka menceritakan berita tersebut kepada orang lain, dan banyak orang yang percaya kepada berita yang dicuri dari langit ini mengingat sesuai dengan kenyataannya.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: ". melalui Az-Zuhri disebutkan, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Urwah ibnuz Zubair; ia pernah mendengar Urwah ibnuz Zubair menceritakan hadis berikut, bahwa Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa ada segolongan orang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang ahli tenung, maka beliau ﷺ menjawab, "Sesungguhnya para tukang tenung itu tidak benar sama sekali." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka menceritakan sesuatu yang sesuai dengan kejadiannya yang terkemudian." Nabi ﷺ menjawab: Itu berasal dari berita yang benar yang dicuri oleh jin, lalu ia bisikkan ke telinga kekasihnya bagaikan suara kokokan ayam jantan, dan ia mencampuradukkannya dengan seratus kali dusta lebih.
". : (7) ". Imam Bukhari telah meriwayatkan pula, bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr; ia pernah mendengar Ikrimah berkata bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, "Apabila Allah memutuskan perkara di langit, para malaikat mengepak-ngepakkan sayapnya karena takut kepada titah Allah ﷻ, bunyinya seakan-akan seperti rantai yang terjatuh di atas batu yang licin permukaannya. Apabila mereka telah sadar dari rasa takutnya, bertanyalah (sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain), "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Kebenaran belaka, Dia Mahatinggi lagi Mahabesar." Pembicaraan itu terdengar oleh setan-setan yang mencuri-curi dengar dari pembicaraan mereka.
Setan-setan yang mencuri-curi dengar itu kata Sufyan seraya mengisyaratkan dengan jari jemari tangannya yang ia susun seperti ini. Maka setan yang paling puncak mendengarnya, lalu menyampaikannya kepada setan yang ada di bawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada setan yang di bawahnya hingga akhirnya sampailah ke telinga penyihir atau tukang tenung, selanjutnya diucapkan oleh mereka. Adakalanya setan itu terkena oleh lemparan bintang yang menyala (membakar) sebelum ia sempat menyampaikannya, dan adakalanya ia sempat menyampaikannya sebelum terkena bintang yang menyala itu, lalu ia mencampurinya dengan seratus kali dusta (dari sisinya).
Kemudian dikatakan, "Bukankah telah dititahkan kepada kita pada hari anu dan anu akan terjadi peristiwa anu dan anu?" Dan ternyata peristiwanya itu sesuai dengan kalimat yang mereka dengar dari langit. Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui jalur ini secara tunggal. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Az-Zuhri, dari Ali ibnul Husain, dari Ibnu Abbas, dari sejumlah sahabat Ansar dengan teks yang hampir sama dengan hadis ini.
Dan hal ini akan diterangkan nanti dalam surat Saba' dalam tafsir firman-Nya: sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka. (Saba':23) -: [] Imam Bukhari mengatakan bahwa Lais pernah berkata, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Yazid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, bahwa Abul Aswad pernah menceritakan hadis berikut dari Urwah, dari Aisyah r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya para malaikat berbincang-bincang di awan mengenai suatu perkara (yang akan terjadi) di bumi, lalu setan-setan mencuri dengar pembicaraan itu, maka mereka membisikkannya ke telinga tukang tenung seperti suara botol-botol beradu, dan mereka menambah-nambahinya dengan seratus kali dusta.
Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang semisal di tempat yang lain dari kitab "Permulaan Kejadian" melalui Sa'id ibnu Abu Zaid, dari Al-Lais, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far, dari Abul Aswad Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Urwah, dari Aisyah r.a. Firman Allah ﷻ: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu'ara': 224) Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang-orang kafir itu diikuti oleh manusia dan jin yang sesat-sesat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan selain keduanya. Ikrimah mengatakan bahwa ada dua orang penyair yang saling menghina, lalu salah satu pihak didukung oleh sejumlah orang dan pihak yang lainnya didukung oleh sejumlah orang pula. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu'ara' 224) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Ibnul Had, dari Yahnus maula Mus'ab ibnuz Zubair, dari Abu Sa'id yang menceritakan, bahwa ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah ﷺ di Al-Arj, tiba-tiba muncullah seorang penyair.
Maka Nabi ﷺ bersabda: Tangkaplah setan ini peganglah setan ini Sesungguhnya bila seseorang dari kalian memenuhi perutnya dengan muntahan, itu lebih baik baginya daripada memenuhi dirinya dengan syair. Firman Allah ﷻ: Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah. (Asy-Syu'ara': 225) Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka larut di setiap perbuatan yang tidak ada gunanya. Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka menguasai setiap seni bicara.
Mujahid dan lain-lainnya demikian pula Al-Hasan Al-Basrimengatakan, "Demi Allah, sungguh kami melihat di lembah-lembah tempat mereka mengembara yang biasa dipakai oleh mereka untuk bersyair, adakalanya mereka mencaci si Fulan dan adakalanya mereka memuji si Fulan yang lain. Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah penyair yang memuji suatu kaum dengan cara yang batil dan mencaci kaum yang lain dengan cara yang batil pula.
Firman Allah ﷻ: dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? (Asy-Syu'ara': 226) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada dua orang di masa Rasulullah ﷺ yang salah seorangnya dari kalangan Ansar, sedangkan yang lain dari kaum lainnya. Keduanya terlibat dalam adu syair saling menghina, dan masing-masing pihak mempunyai pendukungnya sendiri dari kalangan kaumnya, yaitu terdiri dari orang-orang yang lemah akalnya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? (Asy-Syu'ara': 224-226) Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa kebanyakan ucapan mereka adalah dusta.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ini memang suatu kenyataan, karena para penyair biasa membangga-banggakan ucapan dan perbuatan yang sama sekali tidak dilakukan oleh seorang pun dari mereka dan tidak pula diriwayatkan dari mereka, hal ini membuat mereka pandai membual. Untuk itulah para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah seorang penyair yang dalam bait-bait syairnya mengakui melakukan sesuatu perbuatan yang mengharuskan hukuman had atas dirinya, apakah si penyair yang bersangkutan dikenai hukuman had atas pengakuannya itu ataukah tidak? Tetapi perlu diingat bahwa mereka selalu mengatakan hal-hal yang tidak pernah mereka lakukan.
Ada dua pendapat di kalangan para ulama sehubungan dengan masalah ini. Muhammad ibnu Ishaq dan Muhammad ibnu Sa'd di dalam kitab Tabaqat-nya dan Az-Zubair ibnu Bakkar di dalam kitab Al-Fakahah menyebutkan bahwa Amirul Mu-minin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengangkat An-Nu'man ibnu Adi ibnu Nadlah untuk menjadi gubernur di Misan, suatu kota yang terletak di Basrah. Dia adalah seorang penyair yang gemar menggubah bait-bait syair. Antara lain ia mengatakan dalam syairnya.
............. "Mengapa tidak datang berita kepada wanita yang cantik itu, bahwa kekasihnya diberi minum khamar dalam gelas dan kendi di Misan. Jika aku suka, tentu dia mau. menyanyi dan menari sambil minum-minum, dengan lenggang-lenggok yang menyambut semua senyuman yang ditujukan kepadanya. Jika engkau menemaniku minum, maka berilah aku minuman dari wadah yang besar, dan janganlah engkau beri aku minuman dari wadah yang kecil.
Barangkali Amirul Mu-minin akan marah karena si wanita cantik itu menemaniku minum di Al-Jausaq yang telah runtuh." Ketika berita tersebut sampai kepada Amirul Mu-minin Umar ibnul Khattab r.a., ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya hal itu benar-benar membuatku marah. Barang siapa yang bersua dengannya beritahukanlah kepadanya bahwa aku memecatnya dari jabatan gubernur." Dan Umar berkirim surat kepadanya yang dimulai dengan firman-Nya: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ha Mim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur'an) dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya; Yang Mempunyai karunia. Tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk). (Al-Mu-min: 1-3). Amm'a ba'du, sesungguhnya telah sampai kepadaku ucapanmu yang mengatakan, "Agar Amirul Mu-minin tidak enak melihat kami minum-minum khamr di Al-Jausaq yang telah hancur." Demi Allah, sesungguhnya hal itu benar-benar membuatku tidak enak, sekarang aku memecatmu. Setelah An-Nu'man ibnu Adi datang menghadap kepada Umar, maka Umar memakinya karena dia telah mengucapkan syair tersebut.
Lalu ia beralasan, "Demi Allah, wahai Amirul Mu-minin, saya sama sekali tidak meminumnya. Syair tersebut tiada lain merupakan sesuatu yang biasa diucapkan oleh lisanku tanpa sengaja." Umar menjawab, "Saya pun menduga demikian. Tetapi demi Allah, sekarang engkau tidak boleh lagi bekerja untukku selamanya karena ucapan yang telah kamu katakan itu." Tidak disebutkan bahwa Umar r.a. menjatuhkan hukuman had atas syair yang telah diucapkannya itu yang di dalamnya disebutkan meminum khamr karena para penya'ir mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.
Hanya saja Khalifah Umar r.a. mencela dan memakinya karena hal itu dan memecatnya dari jabatannya. Di dalam sebuah hadis disebutkan: Sesungguhnya bila seseorang di antara kalian memenuhi rongganya dengan muntahan yang dilihatnya adalah lebih baik baginya daripada memenuhi dirinya dengan syair. Makna yang dimaksud ayat ini ialah bahwa Rasul yang diturunkan Al-Qur'an kepadanya bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang penyair, karena sepak terjang beliau bertentangan dengan mereka dari berbagai seginya secara jelas dan nyata.
Perihalnya sama dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya; Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (Yasin: 69) Dan firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung.
Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. (Al-Haqqah: .40-43) Hal yang sama dikatakan dalam surat Asy-Syu'ara' ini melalui firman-Nya: Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan-bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu'ara': 192-195) Dan Al-Qur'an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur'an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa.
Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan dari mendengar Al-Qur'an itu. (Asy-Syu'ara': 210-212) Dan firman-Nya: Apakah akan Aku beritakan kepada kalian kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah? dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya. (Asy-Syu'ara': 221-226) Adapun firman Allah ﷻ: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh. (Asy-Syu'ara': 227) -: .
"" "" "". Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit, dari Abul Hasan Salim Al-Barrad ibnu Abdullah maula Tamim Ad-Dari yang telah menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu'ara': 224) datanglah Hassan ibnu Sabit, Abdullah ibnu Rawwahah dan Ka'b ibnu Malik kepada Rasulullah ﷺ seraya menangis, lalu mereka berkata, "Allah telah mengetahui ketika menurunkan ayat ini, bahwa kami adalah para penyair." Maka Nabi ﷺ membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh. (Asy-Syu'ara': 227) Nabi ﷺ bersabda, "Seperti kalian ini." dan banyak menyebut Allah. (Asy-Syu'ara': 227) Nabi ﷺ bersabda, "Seperti kalian ini." dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. (Asy-Syu'ara': 227) Nabi ﷺ bersabda, "Seperti kalian ini." Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir dari Ibnu Ishaq. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah, dari Al-Walid ibnu Abu Kasir, dari Yazid ibnu Abdullah, dari Abul Hasan maula Bani Naufal, bahwa Hassan ibnu Sabit dan Abdullah ibnu Rawwahah datang kepada Rasulullah ﷺ setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat (Asy-Syu'ara': 224) Nabi ﷺ bersabda, "Seperti kalian ini." Keduanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah ﷺ membacakan kepada keduanya ayat berikut: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu'ara': 224) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh. (Asy-Syu'ara': 227) Nabi ﷺ bersabda, "Seperti kalian ini." Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Muslim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Urwah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Asy-Syu'ara': 224) sampai dengan firman-Nya: dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya. (Asy-Syu'ara': 226) Abdullah ibnu Rawwahah berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengetahui bahwa saya termasuk salah seorang dari para penyair itu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh. (Asy-Syu'ara': 227), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Qatadah, dan Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, semuanya mengatakan bahwa ayat yang terakhir ini merupakan pengecualian dari ayat-ayat yang sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan pengecualian, tetapi surat ini Makkiyyah, maka bagaimana bisa terjadi bahwa penyebab turunnya ayat ini adalah para penyair dari kalangan Ansar? Dipandang dari segi ini pendapat di atas masih perlu dipertimbangkan, dan lagi semua riwayat yang disajikan hanyalah berpredikat mursal, yang tidak dapat dijadikan pegangan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Sebenarnya pengecualian ini termasuk pula ke dalam pengertiannya semua penyair Ansar dan penyair-penyair lainnya. Termasuk pula ke dalam pengertiannya orang-orang (penyair-penyair) serupa dengan mereka dari kalangan para penyair Jahiliah yang mencela Islam dan para penganutnya, kemudian bertobat dan kembali kepada Allah serta meninggalkan kebiasaan buruknya itu dan beramal saleh serta banyak menyebut nama Allah untuk melebur semua syair buruk yang pernah diucapkannya di masa Jahiliah.
Karena sesungguhnya amal-amal kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan-keburukan. Lalu mereka memuji Islam dan para pemeluknya untuk menghapus apa yang dahulu pernah mereka katakan, yaitu mencela Islam dan para pemeluknya, seperti penyesalan yang dikatakan oleh Abdullah ibnuz Zaba'ri setelah ia masuk Islam: ......... Wahai utusan Tuhan Yang Mahakuasa, sesungguhnya lisanku sekarang menghapuskan apa yang pernah diucapkannya pada saat aku dalam kebinasaan (kekufuran), yaitu di saat aku berteman dengan setan yang tenggelam ke dalam tuntunan yang sesat.
Barang siapa yang cenderung kepada kesenangan setan, pastilah binasa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib, dahulu dia orang yang paling keras dalam memusuhi Nabi ﷺ, padahal dia adalah saudara sepupunya. Dia termasuk orang yang paling banyak menghina Nabi ﷺ Tetapi setelah dia masuk Islam, tiada seorang pun yang lebih dicintainya selain dari Rasulullah ﷺ Dia selalu memuji Rasulullah ﷺ yang sebelumnya dia banyak mengejeknya, dan selalu membelanya yang pada sebelumnya dia sangat memusuhinya. Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Abu Sufyan alias Sakhr ibnu Harb ketika masuk Islam berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya engkau memberikan tiga hal kepadaku." Rasulullah ﷺ menjawab.Ya." Mu'awiyah berkata, Engkau jadikan aku sebagai sekretaris pribadimu." Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Abu Sufyan berkata, "Engkau angkat diriku menjadi komandan pasukan agar aku dapat memerangi orang-orang kafir, sebagaimana dahulu aku memerangi kaum muslim." Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Dan Abu Sufyan menyebutkan permintaan yang ketiganya; karena itulah Allah ﷻ berfirman: Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah. (Asy-Syu'ara': 227) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah banyak menyebut nama Allah dalam pembicaraan mereka.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, menyebut nama Allah dalam syair mereka; kedua pendapat benar, karena semuanya dapat menghapuskan dosa-dosa mereka yang telah lalu. Firman Allah ﷻ: dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. (Asy-Syu'ara' 227) Ibnu Abbas mengatakan, bahwa mereka menjawab syair orang-orang kafir yang menghina kaum muslim dengan syair mereka. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Hassan ibnu Sabit: Balaslah mereka atau seranglah syair mereka, dan Jibril akan membantumu. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ibnu Malik, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, "Sesungguhnya Allah ﷻ telah menurunkan di dalam surat Asy-Syu'ara' ayat-ayat yang menyangkut mereka (mengecam mereka)." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Sesungguhnya orang mukmin itu berjihad dengan pedang dan lisannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh apa yang kamu lontarkan melalui syairmu kepada mereka seakan-akan seperti lemparan anak panah.
Firman Alah ﷻ: Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: (yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya. (Al-Mu-min: 52), hingga akhir ayat. Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Hati-hatilah kalian terhadap perbuatan zalim, karena sesungguhnya perbuatan zalim itu kelak akan menjadi kegelapan di hari kiamat. Qatadah ibnu Da'amah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Yakni para penyair dan lain-lainnya.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Iyas ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa ia menghadiri majelis Al-Hasan, lalu lewatlah iringan jenazah seorang Nasrani. Maka Al-Hasan membaca firman-Nya: Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Abdullah ibnu Abu Rabah telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Muharriz, bahwa dia apabila membaca ayat ini, maka menangislah ia sehingga aku (perawi) mengatakan bahwa tangisannya itu membuatnya sesak.
Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Sirraij Al-Iskandarani, dari sebagian guru-gurunya, bahwa ketika mereka berada di negeri Romawi di suatu malam saat mereka sedang berdiang di api, tiba-tiba datanglah suatu kafilah mendekati mereka, lalu berhenti di hadapan mereka. Ternyata di antara mereka terdapat Fudalah ibnu Ubaid.
Maka mereka mempersilakannya bergabung bersama mereka. Saat itu salah seorang teman mereka sedang salat dan membaca firman-Nya: Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Fudalah ibnu Ubaid berkata, "Mereka adalah orang-orang yang merusak rumah-rumah mereka (membinasakan diri mereka sendiri)." Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan mereka adalah penduduk Mekah. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, mereka adalah orang-orang yang zalim dari kaum musyrik.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Wasiti, bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Haisam ibnu Mahfuz Abu Sa'd An-Nahdi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Al-Muhabbir, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa ayahnya menulis dua baris kalimat dalam surat wasiatnya, yang isinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, berikut ini adalah apa yang diwasiatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Quhafah sebelum tutup usia setelah orang yang kafir beriman dan kezaliman telah terhenti serta orang yang tadinya tidak percaya menjadi percaya, bahwa sesungguhnya aku mengangkat Umar ibnul Khattab sebagai penggantiku untuk memerintah kalian.
Jika dia berlaku adil, maka itulah yang sesuai dengan pengetahuanku tentang dirinya dan sesuai dengan harapanku. Dan jika dia berbuat zalim, dan bersikap berubah, maka saya tidak mengetahui hal yang gaib. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. Demikianlah akhir dari tafsir surat Asy-Syu'ara', dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam."
224. Orang kafir Quraisy menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang penyair. Allah membantah anggapan itu dengan tegas, Dan penyair-penyair itu yang kamu sekalian terpukau dengan syair-syair mereka, diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidak demikian halnya pengikut Nabi Muhammad yang sangat taat kepada aturan-aturan agama. 225. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah dengan mengikuti hawa nafsu mereka' Terkadang membenci sesuatu kemudian memujinya dan sebaliknya.
Ayat ini menerangkan bahwa para penyair pada waktu itu sering diikuti orang-orang yang sesat dan menyimpang dari jalan yang lurus serta cenderung kepada perbuatan yang merusak. Sedangkan pengikut-pengikut Nabi Muhammad bukanlah demikian. Mereka banyak beribadah terutama salat dan selalu bersikap zuhud.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Para Penyair
Asy-Syu'ara' adalah nama dari Surat yang tengah kita tafsirkan ini. Arti kalimat ini ialah penyair-penyair, atau para penyair. Dia adalah kalimat menunjukkan banyak (jarna'), mufrad atau kalau satu orang penyair diucapkan SYA-IR. Diambil dari kalimat SYU'UR, yang berarti perasaan halus. Syair atau Penyair ialah orang yang sangup mengungkapkan perasaan halusnya terhadap suatu hal, disusunnya menjadi kata-kata. Kalau dia tersusun bersajak berirama, dinamai dalam bahasa Arab: MANZHUM, artinya tersusun rapi. Kalau dia tidak tersusun tetapi mengandung perasaan yang halus juga, dinamai dalam bahasa Arab; MANTSUR.
Kata yang telah disusun itu, dari yang panjang dan yang pendek (Harakaat dan Sakanaat) dinamai Syi'ir (Syair).
Bolehlah dikatakan secara keterangan moden dalam bahasa Indonesia bahwasanya Penyair itu adalah seniman. Dan seniman itu terdapat dalam berbagai cabang: Seni lukis, seni pahat, seni suara dan seni sastera. Penyair termasuk seni sastera, disebut juga Sasterawan.
Falsafah Seni menurut ajaran Yunani dan Arab ialah kesanggupan manusia merasakan keindahan alam yang ada di kelilingnya lalu menyatakan perasaannya berupa seni.
Tuhan menganugerahkan keindahan pada alam sekeliling. Itulah yang dinamai dalam bahasa Arab dengan Al-JamAl, dan dalam bahasa pusaka Yunani Aestetika. Dalam diri manusia sendiri ada suatu perasaan halus (‘athifah) buat menangkap dan merasakan keindahan alam itu, tetapi tidak semua manusia sanggup menyatakan kembali kepada orang lain, apa kesan dalam dirinya setelah merenungkan keindahan yang ada di alam itu. Adapun alat yang amat aktif buat meresapkan keindahan itu ke dalam diri ialah penglihatan mata dan pendengaran telinga. Penglihatan mata melihat bentuk dan warna Sedang pendengaran telinga ialah merasakan bunyi, yang nyaring, yang merdu atau yang memuakkan.
Semua orang dapat merasakan keindahan itu, tetapi tidak semua orang dapat menyatakan kembali kesan yang lekat dalam jiwanya melihat dan mendengar yang indah. Yang sanggup menyatakannya kembali itulah yang dikatakan Seniman.
Yang sanggup menyusun kata-kata indah, mengagumkan dan mengharukan hati orang lain mendengarkan kesan itu, orang itulah yang disebut Penyair atau Sastera wan Apabila syair ciptaan si penyair itu didengar atau dibaca orang, orang yang membaca itu terpesona, ta'jub, terheran dan terharu. Seakan-akan rasa hatinya sendirilah yang diungkapkan oleh si penyair tersebut, tetapi dia tidak sanggup mengungkapkan. Benarlah sebagai pantun Melayu:
Anak landak di lesung Cina,
Memakan tulang dalam perahu;
Hati berkehendak bagaikan gila,
Tetapi menyebut tidak tahu.
Maka di dalam ayat-ayat terakhir dari Surat asy-Syu'ara', Surat Para Penyair ini, diterangkanlah kehidupan penyair dalam umumnya:
Ayat 224
“Dan penyair-penyair itu, diikuti mereka oleh orang-orang yang sesat." (ayat 224). Di mana saja seorang penyair membacakan atau mendeklamasikan syairnya, banyaklah brang yang terpesona. Mereka menjadi pusat perhatian orang banyak. Karena susunan syairnya mempesona orang. Dapat-dapat saja kata-kata yang akan disusunnya, dan orang tertarik. Baik di dalam mengibaratkan sesuatu, atau di dalam memilih kata-kata, atau di dalam memuji-muji. Terutama orang Arab; mereka sangat terpesona oleh kata-kata berirama. Suatu Kabilah merasa kabilah mereka sangat miskin, kalau mereka tidak mempunyai penyair sebagai kabilah lain yang mempunyainya. Sampai orang Arab mengadakan pertemuan tahunan yang khas buat mendengarkan syair yang indah.
Dan syair yang indah lekas dihafal orang. Bahkan sampai-sampai beberapa syair dipuja begitu tinggi sampai digantungkan di Ka'bah. Mendapat kehormatan buat digantungkan di dalam Ka'bah adalah penghormatan paling tinggi di masa itu
Seorang penyair mengungkapkan apa yang terasa di hatinya, baik atau buruk. Semua lepas dengan tidak tertahan-tahan. Oleh karena umumnya penyair tidak mempunyai tujuan hidup atau risalah yang akan diperjuangkan, hanya semata memandang seni untuk seni, banyaklah orang yang semacam mereka pula, yang jiwa gelisah pula yang mengikuti mereka, ke mana pergi berkerumunlah keliling mereka.
Ayat 225
“Tidakkah engkau lihai bahwa mereka itu di tiap-tiap lembah mereka bertualang?" (ayat 225).
Ayat 226
"Dan bahwa mereka itu mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan?" (ayat 226).
Apakah maksudnya di tiap-tiap lembah mereka bertualang? Ialah bahwa karena tidak ada tujuan hidupnya yang tetap, maka di tiap-tiap lembah mereka bertualang, artinya di tiap-tiap sudut kehidupan dan di tiap-tiap sudut alam yang mereka lihat, mereka dengar dan mereka alami, di sana akan timbul ilham bersyair? Kadang-kadang sebagai Amrul Qais di zaman Jahiliyah, timbul syairnya yang indah ketika dia menggambarkan kuda kendaraan yang dibawa ke medan perang. Kadang-kadang timbul syairnya menyatakan bagaimana kepuasan bersetubuh dengan perempuan yang sedang hamil muda. Kadang-kadang timbul syairnya seketika dia pergi menghadap Raja Rum memohon bantuan untuk membela kedaulatan ayahnya, tetapi sesampai di Konstantinopel dia jatuh cinta kepada seorang puteri raja, lalu disyairkannya lagi. Semuanya itu membuat terpesona orang-orang yang hidupnya seperti itu pula.
Demikian juga penyair lain, seumpama Antarah bin Syaddad yang kulitnya sangat hitam, karena ibunya seorang hambasahaya dari ayahnya. Mulanya dia tidak diakui sebagai anak yang sah oleh ayahnya. Tetapi dia jatuh cinta kepada anak pamannya yang bernama Ablah. Maka cintanya kepada Ablah itulah yang banyak memberinya inspirasi pendorongnya ke medan perang membela hak ayahnya, sehingga akhirnya dia pun diakui ayahnya juga. Kita akan terpesona membaca syi'ir-syi'ir rangkuman Antarah di dalam segala lembah; di lembah cinta, di lembah perang, di lembah hikmat, di lembah Hamazah (membanggakan kegagah-beranian) dan sebagainya.
Maka dari semua syair-syair itu yang didapat hanya semata-mata keindahan susunan kata, yang memang membuat orang Arab jadi kagum. Tetapi kemudian setelah Agama Islam datang, setelah Nabi kita Muhammad s.a.w. menyampaikan risalatnya, segala susunan syi'ir, baik Manzhum ataupun Mantsur dengan sendirinya tersisih dan sepi perhatian orang kepada perlombaan bersyair, kalau hanya semata-mata bersyair. Penyair-penyair sendiri pun jadi kehilangan daya bilamana berhadapan dengan al-Qur'anul-Karim dengan bahasanya yang mengatasi segala bahasa, sehingga pernah ada yang menyangka bahwa Nabi Muhammad itu sendiri adalah seorang penyair. Tetapi seorang pemuka Quraisy yang sangat ahli dalam berbagai syi'ir, bernama al-Walid bin al-Mughirah setelah mendengar dan memperhatikan al-Qur'an dengan seksama, meskipun dia masih kafir, mengakui terus-terang bahwa ini bukan syi'ir, ini jauh lebih tinggi dari syi'ir, ini bukan kata-kata susunan manusia.
Tetapi oleh Nabi s.a.w. bukanlah beliau sama-ratakan saja semua syi'ir adalah khayalan penyair yang mengembara di tiap-tiap lembah, bertualang tidak menentu, tujuan hidup tidak ada. Bahkan ada juga syi'ir itu yang keluar dari Iman. Inilah isi ayat yang seterusnya:
Ayat 227
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal yang shalih dan ingat kepada Allah sebanyak-banyaknya." (pangkal ayat 227).
Menurut riwayat dari Ibnu Ishaq, setelah turun ayat menyatakan bahwa penyair-penyair itu ke mana pergi diikuti oleh orang-orang yang sesat, datanglah Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawwahah dan Ka'ab bin Malik menghadap Rasulullah s.a.w. dan ketiganya berurai airmata, lalu mereka berkata: “Bukankah kami ini semua penyair, ya Rasul Allah? Bagaimana kami?" Lalu turunlah sambungan langsung dari ayat 224 dan 225, yaitu ayat ini: “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan ingat kepada Allah se-banyak-banyaknya."
Tetapi riwayat keluhan ketiga penyair besar Rasulullah s.a.w. ini, meragukan orang. Sebab Surat ini diturunkan di Makkah, sedang ketiga sahabat itu adalah Kaum Anshar di Madinah Tetapi ada pula penafsir mengatakan bahwa ketiga ayat terakhir Surat asy-Syu'ara' ini memang diturunkan di Madinah, tetapi kemudian di dalam penyusunan Mushhaf dimasukkan ke dalam ayat Madaniyyah.
Bagaimana nilai tafsiran dan riwayat itu, teranglah bahwa di antara penyair-penyair itu. baik di zaman Rasul atau di zaman yang selanjutnya banyak juga penyair timbul dan syi'irnya diisi oleh imannya.
Kita dapat mengingat bahwa Penyair Rasulullah itu, Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawwahah dan Ka'ab bin Malik adalah penyair-penyair besar yang telah mempergunakan syair mereka dalam mempertahankan Islam. Seketika utusan-utusan dari seluruh Jazirah Arab datang menghadap Rasulullah s.a.w. di Madinah sesudah Nabi s.a.w. menang dalam diplomasi Hudaibiyah atau sesudah menaklukkan Makkah. ada yang datang lengkap juga dengan penyair mereka. Kalau ada yang datang dengan gubahan syair, Rasulullah s.a.w menyuruh menangkis syair mereka itu dengan syair pula. Yang bertindak menangkis dengan syair itu ialah Hasaan bin Tsabit. Rasulullah pernah mendoakannya:
“Ya Tuhan, sokonglah dia dengan Ruhul-Qudus!"
Abdullah bin Rawwahah seketika menghadapi maut di Medan Perang Mu'tah adalah dengan syair.
Pendeknya, bila kita baca sejarah Nabi, terutama di dalam sirah Ibnu Hisyam, kita akan membaca syair-syair yang timbul dari Iman dan Amal Shalih, yang timbul daripada rasa ingat kepada Allah yang mendalam. Syair “Burdah" dari al-Bushairi, syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi, syair Sa'adi dan asy-Syirazi, demikian juga syair Maulana Muhammad !qbal “Shikwa" dan “Jawab-i-Shikwa", “Piam Mashriq" dan lain-lain, semua adalah syair Iman, Amal Shalih dan Zikir kepada Allah.
Kalau demikian halnya dengan syair, niscaya demikian jugalah halnya dengan seni yang lain, kecuali seni yang akan membawa kepada mempersekutukan Allah dengan yang lain, seumpama seni membuat berhala.
“Dan mendapat kemenangan sesudah mereka dianiaya." Ini pun termasuk untuk penyair juga, khusus di zaman Rasulullah s.a.w. Yaitu bahwa setelah kaum yang beriman itu bertahun-tahun lamanya menjadi ejekan, menjadi tumpuan segala penghinaan dan kebencian, yang kadang-kadang penghinaan itu disampaikan juga berupa syair. Maka penyair pihak Nabi atau pihak Islam, sebagai Abdullah bin Rawwahah, Ka'ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit, tampil pula dengan syairnya. Sampai pernahlah salah satu perutusan itu berkata: “Kita kagum dengan dia, ahli bicaranya lebih pintar dari ahli bicara kita, ahli syairnya lebih pandai daripada ahli-ahli syair kita."
Baik dari bunyi ayat atau dari keterangan dalam sejarah, nampaklah bahwa Nabi kita Muhammad s.a.w. pun tidak keberatan mempergunakan syair sebagai media (alat) Da'wah.
Kita di zaman moden, di zaman teknologi niscaya demikian pula. Bukan saja kita mempergunakan loudspeaker (mick) untuk khutbah dan tabligh, kapal laut dan kapal udara untuk naik Haji, penerangan listrik untuk menerangi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah, bahkan segala alat mass media yang lain, telefon, telegraf, telekomunikasi dan alat radio, televisi dan lain-lain kita pergunakan dengan giat, sehingga agama kita berkembang terus menurut zamannya. Dan kegiatan berjihad menegakkan Jalan Allah, tidaklah akan pernah terhenti sampai semuanya akan kita perhitungkan, baik di hadapan Tuhan di Hari Kiamat, atau di dalam alam kenyataan dunia ini dalam lapangan sejarah. Dan sebagai penutup surat dan penutup ayat tertulis begini:
“Dan akan mengetahuilah orang-orang yang zalim itu ke tempat mana mereka akan kembali." (ujung ayat 227).
Sesudah percaturan hidup, di antara dorongan dan hambatan, kemajuan ke muka dan usaha menarik k*e belakang, cita-cita yang mulia berhadapan dengan mempertahankan yang salah, di dalam jihad yang tidak boleh berhenti, akhir kelaknya orang yang bersalah niscaya akan sadar jua akan kesalahannya, dan akan sadar juga ke jurusan mana perjalanan mereka yang terakhir. Yaitu bahwa Islam pasti menang dan tegak, sebab dia adalah KEBENARAN, dan yang menghalangi selama ini, yang tegak di atas dasar kezaliman akan tahu sendiri ke mana akan pergi mereka. Yaitu ke dalam tempat siksaan yang tidak putus-putusnya.
Selesai Tafsir Surat asy-Syu'ara'.