Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
(anaknya) berkata
سَـَٔاوِيٓ
aku akan mencari perlindungan
إِلَىٰ
ke
جَبَلٖ
gunung-gunung
يَعۡصِمُنِي
ia menjagaku/melindungiku
مِنَ
dari
ٱلۡمَآءِۚ
air
قَالَ
(Nuh) berkata
لَا
tidak ada
عَاصِمَ
pelindung
ٱلۡيَوۡمَ
hari ini
مِنۡ
dari
أَمۡرِ
perintah/azab
ٱللَّهِ
Allah
إِلَّا
selain
مَن
orang
رَّحِمَۚ
Dia kasihani
وَحَالَ
dan menghalangi/memisahkan
بَيۡنَهُمَا
diantara keduanya
ٱلۡمَوۡجُ
gelombang
فَكَانَ
maka adalah ia/anak itu
مِنَ
dari/termasuk
ٱلۡمُغۡرَقِينَ
orang-orang yang ditenggelamkan
قَالَ
(anaknya) berkata
سَـَٔاوِيٓ
aku akan mencari perlindungan
إِلَىٰ
ke
جَبَلٖ
gunung-gunung
يَعۡصِمُنِي
ia menjagaku/melindungiku
مِنَ
dari
ٱلۡمَآءِۚ
air
قَالَ
(Nuh) berkata
لَا
tidak ada
عَاصِمَ
pelindung
ٱلۡيَوۡمَ
hari ini
مِنۡ
dari
أَمۡرِ
perintah/azab
ٱللَّهِ
Allah
إِلَّا
selain
مَن
orang
رَّحِمَۚ
Dia kasihani
وَحَالَ
dan menghalangi/memisahkan
بَيۡنَهُمَا
diantara keduanya
ٱلۡمَوۡجُ
gelombang
فَكَانَ
maka adalah ia/anak itu
مِنَ
dari/termasuk
ٱلۡمُغۡرَقِينَ
orang-orang yang ditenggelamkan
Terjemahan
Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan berlindung ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air (bah).” (Nuh) berkata, “Tidak ada penyelamat pada hari ini dari ketetapan Allah kecuali siapa yang dirahmati oleh-Nya.” Gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah dia (anak itu) termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
Tafsir
(Anaknya menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memelihara diriku) yang dapat menyelamatkan diriku (dari air bah ini." Nuh berkata, "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah) dari siksaan-Nya (selain) kecuali hanya (Zat Yang Maha Penyayang.") yaitu Allah sendiri, hanya Dialah yang dapat menolong. Selanjutnya Allah berfirman mengisahkan kelanjutannya. (Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.).
Tafsir Surat Hud: 41-43
Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”
Anaknya menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah!" Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
Ayat 41
Allah ﷻ berfirman menceritakan perihal Nabi Nuh a.s., bahwa dia berkata
kepada orang-orang yang diperintahkan agar dibawa masuk ke dalam bahteranya:
“Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (Hud: 41)
Yakni dengan menyebut nama Allah ia dapat berlayar di atas air, dan dengan menyebut nama Allah pula ia dapat berlabuh di akhir perjalanannya.
Abu Raja Al-Utaridi membaca ayat ini dengan bacaan berikut: "Dengan menyebut nama Allah yang melayarkan dan yang melabuhkannya.” (Hud: 41)
Dan Allah ﷻ berfirman: “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang zalim.’ Dan berdoalah, ‘Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat’.” (Al-Muminun: 28-29)
Karena itulah maka disunatkan membaca basmalah di saat hendak menaiki kendaraan, baik kendaraan laut maupun kendaraan darat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: “Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untuk kalian kapal dan binatang ternak yang kalian tunggangi, supaya kalian duduk di atas punggungnya.” (Az-Zukhruf: 12-13), hingga akhir ayat.
Sunat menganjurkan hal tersebut dan menyerukannya, seperti yang akan disebutkan di dalam tafsir surat Az-Zukhruf.
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hasyim Al-Bagawi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, dan telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya As-Saji, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa Al-Harsi, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnul Hasan Al-Hilali, dari Nahsyal ibnu Sa'id, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Keamanan umatku dari tenggelam, bila mereka menaiki kapal laut ialah hendaknya mereka mengucapkan, ‘Dengan menyebut nama Allah Maha Raja, dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya hingga akhir ayat dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Hud: 41)
Makna ayat ini merupakan perimbangan di saat menyebutkan pembalasan azab Allah yang ditimpakan atas orang-orang kafir dengan menenggelamkan mereka semuanya. Untuk itu, Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-A'raf: 167)
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia, sekalipun mereka zalim; dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya.” (Ar-Ra'd: 6)
Masih banyak ayat lain yang menyebutkan antara rahmat dan azab-Nya secara bergandengan.
Ayat 42
Firman Allah ﷻ: “Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung.” (Hud: 42)
Maksudnya, bahtera itu berlayar membawa mereka di atas permukaan air yang telah menggenangi semua daratan di bumi, yang ketinggiannya sampai menutupi puncak-puncak gunung yang tertinggi, dan lebih tinggi lima belas hasta darinya. Menurut pendapat lain, tinggi banjir besar itu mencapai delapan puluh mil. Bahtera Nabi Nuh itu berlayar di atas permukaan air dengan izin Allah dan dengan pengawasan, perlindungan, penjagaan, dan karuniaNya.
Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu: “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera, agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (Al-Haqqah: 11-12)
“Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan perlindungan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami jadikan bahtera itu sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 13-15)
Firman Allah ﷻ: “Dan Nuh memanggil anaknya.” (Hud: 42)
Yang dimaksud adalah anaknya yang keempat, namanya Yam; dia seorang kafir.
Ayahnya memanggilnya di saat hendak menaiki bahtera dan menyerunya agar beriman serta naik bahtera bersama mereka sehingga tidak tenggelam seperti yang dialami oleh orang-orang yang kafir.
Ayat 43
Anaknya menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.” (Hud: 43)
Menurut suatu pendapat, dia membuat perahu dari kaca untuknya. Akan tetapi, kisah ini termasuk kisah Israiliyat, hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Tetapi yang di-nas-kan oleh Al-Qur'an ialah bahwa dia berkata: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku dari air bah.” (Hud: 43) Karena kebodohannya, dia menduga bahwa banjir itu tidak akan dapat mencapai puncak-puncak bukit (gunung); dan bahwa seandainya dia mengungsi ke puncak gunung itu, niscaya dia dapat selamat dari air bah tersebut. Maka ayahnya Nuh a.s. berkata kepadanya:
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (Hud: 43)
Yakni tidak ada sesuatu pun pada hari ini yang dapat melindungi dari azab Allah.
Menurut suatu pendapat, lafaz 'asiman ini bermakna ma'suman, seperti dikatakan terhadap lafaz ta'im (pemberi makan) dan kasin (pemberi pakaian) yang artinya mat'um (yang diberi makanan) dan maksuwwun (yang diberi pakaian).
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Mendengar panggilan dan ajakan sang ayah, dia anaknya yang kafir itu pun menjawab, Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang
tinggi, sehingga dengan menaiki gunung itu dapat menghindarkan aku
dari air bahtera! kemudian Nabi Nuh berkata, Tidak ada yang dapat
melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang menghendaki untuk menyelamatkan. Dan gelombang yang besar
pun menjadi penghalang antara keduanya, yakni ayah dan anaknya; maka
akhirnya dia, anak yang menolak ajakan ayahnya itu termasuk orang
yang ditenggelamkan. Dan setelah Allah membinasakan orang kafir, kemudian difirmankan oleh Allah, kepada bumi dan langit, Wahai bumi yang telah memancarkan air dari sumbernya! Telanlah airmu hingga kering dan wahai
langit! Berhentilah mencurahkan hujan. Dan air pun disurutkan oleh
Allah yang Mahakuasa, dan penetapan perintah Allah membinasakan
orang-orang yang mendustakan dan menyelamatkan orang-orang yang
beriman pun diselesaikan. Dan kapal itu pun berlabuh di atas gunung Judi,
yakni terletak di pegunungan Ararat (Turki), dan dikatakan, Binasalah
orang-orang zalim yang melampaui batas hukum Allah dan ingkar kepada-Nya, serta mendustakan Rasul-Nya.
Pada ayat ini, Allah menyebutkan jawaban Kanan terhadap seruan dan ajakan ayahnya Nuh a.s. supaya masuk ke dalam kapal. Ia menolak tidak mau turut masuk dengan alasan bahwa ia bisa berlindung ke atas gunung untuk memelihara dirinya dari bahaya air bah (topan) yang mengancam itu.
Mendengar itu Nabi Nuh a.s. menjelaskan kepada anaknya yang membangkang, bahwa pada hari itu tidak ada yang bisa melindungi dirinya dari topan itu selain Allah dan tidak ada yang selamat kecuali orang-orang yang dikasihi-Nya, yaitu orang-orang yang masuk ke dalam kapal itu. Demikianlah, iradah Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu berjalan menurut proses yang telah digariskan-Nya. Gelombang yang menggulung tinggi demikian dahsyatnya telah menghalangi antara Nuh a.s. dengan anaknya yang membangkang dan durhaka, sehingga terputuslah pembicara-an antara keduanya, dan sang anak pun turut tenggelam bersama orang-orang kafir lainnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MEMUNCAK
Maka untuk menenteramkan hati beliau dan menghilangkan putus asanya berfirmanlah Allah,
Ayat 36
“Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidaklah akan beriman dari kaum engkau itu, melainkan yang telah beriman (Juga)."
Artinya, tidaklah akan ada tambahannya lagi. Itu ke itu jugalah orang yang akan percaya. Yang lain akan tetap menantang dan tidak mau percaya.
“Maka janganlah engkau berduka cita dari apa yang telah mereka kerjakan."
Alangkah pentingnya ayat ini untuk menjadi tuntunan dan pimpinan bagi para penyeru jalan kebenaran, mubalig, dan terutama orang yang telah dihargai kaumnya seperti ulama, supaya mereka memerhatikan nasihat Allah kepada Nuh itu, janganlah berduka cita karena pengikut yang beriman itu tidak bertambah, hanya sebesar yang ada itu sajalah.
yang memang telah beriman juga. Cobalah gambarkan! Seorang Rasulullah yang mencapai usia selama itu, hampir seribu tahun, disambut dengan begitu dingin oleh kaumnya. Namun demikian, Allah selalu menyuruhnya sabar, jangan berduka cita dan jangan berputus asa. Yang engkau kerjakan itu adalah suatu tugas, suatu kewajiban. Tentang hasil dari tugasmu itu adalah ketentuan dari Allah.
Bagaimana bagi kita yang disebut orang sebagai ulama? Yang selalu dikatakan penyambut warisan dari nabi-nabi? Apalah baru artinya perjuangan kita dalam usia sependek ini untuk melaksanakan tugas sebagai pewaris tersebut? Padahal usia kita tidaklah seper-sepuluh dari usaha beliau Nabi Nuh pada umumnya?
PERINTAH MEMBUAT KAPAL
Lalu firman Allah selanjutnya,
Ayat 37
“Dan buatlah sebuah kapal di hadapan mata-mata Kami dan dengan wahyu Kami."
Di sinilah datang perintah Allah kepada Nuh supaya segera membuat kapal atau bahtera, yaitu di bawah penglihatan mata Allah sendiri. Disebut di sini bahwa mata Allah itu banyak, yakni kata jamak lebih dari dua mata. Memang Allah itu bersifat melihat, tetapi tidaklah layak di sini kita membicarakan pula apakah yang dimaksud di sini benar-benar banyak mata? Atau berarti penglihatan saja? Artinya, Nabi Nuh membuat kapal itu selalu beliau dipimpin oleh wahyu bagaimana cara membuat kapal itu. Karena kononnya, sebelum bahtera Nabi Nuh itu, manusia belumlah pandai membuat alat untuk berlayar.
“Dan janganlah engkau hadapkan kepada -Ku dari hal orang-orang yang zalim itu" Artinya, janganlah engkau mengeluh lagi atau mengadu jika orang-orang yang zalim itu selalu mengganggu dan mengusik engkau, bahkan bersabarlah engkau mengerjakan peker-jaanmu membuat kapal itu karena,
“Sesungguhnya,mereka akan ditenggelamkan."
Lebih baik engkau bersabar dan jangan bersakit hati, dan jangan mengeluh jika ada gangguan dari mereka. Karena apabila engkau ladeni gangguan itu, akan terlambat pekerjaanmu, padahal di dalam keputusan Allah telah tertentu bahwa mereka akan ditenggelamkan.
Ayat 38
“Dan dibuatnyalah kapal itu."
Artinya, dilaksanakannyalah apa yang diperintahkan oleh Allah. Menurut setengah ahli tafsir, bertahun-tahun lamanya, kononnya seratus tahun sejak menanam kayu yang akan dijadikan bahtera itu, sampai kepada menebang dan menggergajinya. Bermacam-macamlah kata ahli tafsir tentang panjang dan lebar bahtera itu. Menurut Qatadah 300 hasta panjangnya, 50 hasta lebar. Al-Hasan mengatakan panjang 600 hasta, lebar 300 hasta. Ibnu Abbas mengatakan panjangnya 1.200 hasta, lebar 600 hasta.
Maka bersungguh-sungguhlah beliau mengerjakan bahtera itu siang dan malam. Niscaya ada orang yang Mukmin yang membantunya, tetapi akan berapa banyaklah mereka itu."Dan setiap lalu di hadapannya serombongan dari kaumnya itu, menghinalah mereka kepadanya." Menjadi buah cemoohan mereka sebab bahtera itu diperbuat di tengah padang, dihinakan dan tidak dipercayai bahwa Allah akan sanggup memperlayarkan kapal itu. Apakah Nuh hendak lari? Apakah mereka hendak ditenggelamkan? Dan berbagai ragam ejekan yang lain. Untuk menyambut penghinaan itu,
“Dia pun berkata, “Jika kamu hinakan kami, sesungguhnya kami pun akan menghinakan kamu, sebagaimana kamu menghinakan kami itu (pula). ‘“
Kalian boleh menertawakan dan mengejek kami pada hari ini. Namun kelak akan datang masanya, kamilah yang akan mengejek dan
menghinakan kamu sebab adzab siksaan Allah pasti datang kepada kamu.
Ayat 39
“Maka kelak akan tahulah kamu siapakah yang akan didatanginya oleh adzab yang akan merendahkannya."
Lihat sendirilah nanti siapakah di antara kita yang akan dapat siksaan itu, kamikah atau kamu yang sekarang mengejek dan menghina merendahkan kami.
“Dan yang akan menimpa kepadanya adzab yang tetap."
Dengan demikianlah, Nabi Nuh menyambut ejekan dan penghinaan mereka tatkala beliau asyik menyelesaikan pekerjaan yang berat itu, dibantu oleh beberapa pengikutnya dalam jumlah kecil, yang sangat setia.
Ayat 40
“Sehingga apabila datang perintah Kami dan menggelegaklah tanah."
Perintah Allah datang, menggelegak atau menggejolaklah air dari dalam tanah. Di mana-mana air pun tumbuh dengan tidak semena-mena banyaknya. Tanah yang tadinya tidak ada air atau tidak ada mata air atau sumur, sekarang menerbitkan air, “Maka berfirmanlah Kami" (Kata Allah), “Hai, Nuh! Bawalah padanya!" yaitu pada bahtera yang telah selesai engkau kerjakan itu, “dari tiap-tiap jenis sepasang." Bawalah dua-dua, seekor jantan, seekor betina, baik binatang jinak maupun binatang liar, lalu masukkan ke dalam kapal itu, “Dan keluarga engkau!' Artinya bawa pula ikut serta keluarga engkau."Kecuali orang-orang yang telah terdahulu atasnya kata!' Artinya segala anggota keluarga bawalah serta, bawalah masuk ke dalam bahtera itu kecuali orang-orang yang sudah ditentukan oleh Allah bahwa mereka tidak akan ikut. Meskipun misalnya Nuh ingin juga membawa serta mereka, mereka tidak juga akan ikut masuk bahtera itu. Maka kalau terjadi ada di antara anggota keluarga itu yang tidak dapat masuk atau tidak mau masuk, sudahlah diperingatkan lebih dahulu oleh Allah pada ayat 37 di atas tadi, yaitu supaya Nuh jangan memintakan kepada Allah agar orang-orang yang aniaya disamakan dengan orang yang beriman. Dan pada lanjutan ayat dijelaskan lagi siapa-siapa yang akan masuk itu, “Dan orang-orang yang beriman" Orang yang telah menyatakan percaya, orang-orang yang dari semula telah menyambut baik segala seruan Nuh. Tetapi ujung ayat menjelaskan lagi,
“Dan tidaklah beriman sentanya kecuali sedikit."
Beratus tahun bekerja mengadakan dakwah kepada kaumnya, hanya sedikit yang mau beriman, yang sedikit itulah yang disuruh masuk ke dalam bahtera itu.
Satu riwayat yang diterima orang dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa manusia juga masuk ke dalam bahtera itu hanya 80 orang, termasuk di dalamnya perempuan-perempuan. Menurut Ka'bul Ahbaar, 72 orang semuanya. Termasuklah di sana Nuh sendiri dan ketiga putranya laki-laki yang namanya dikenal dalam sejarah yang menurunkan serpih belahan keturunan manusia dunia ini, yaitu Sam, Ham, dan Yafits. Masing-masing dengan istrinya. Anak yang keempat yang di dalam catatan tafsir-tafsir disebut Yarn, itulah yang tenggelam. Termasuk juga dalam yang tenggelam itu istri Nuh sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah at-Tahriim ayat 10 bahwa istri Nuh dan istri Luth sama nasibnya, sama-sama binasa, meskipun suami mereka orang-orang yang saleh.
Kemudian itu, patut juga kita jelaskan sedikit tentang tannur, yang tersebut di dalam pangkal ayat 40 ini,
“Menggelegaklah tannur."
Telah kita artikan bahwa yang menggelegak, membusat-busat air keluar dari dalam tanah. Kita artikan tannur dengan tanah.
menurut satu tafsir dari Ibnu Abbas, yang berarti permukaan bumi. Maka jadilah seluruh permukaan bumi menjadi mata air sehingga air itu pun keluar dari tannur yang menurut setengah ahli bahasa berarti tempat yang berapi, yaitu tungku tempat memasak.
Setelah segala keluarga dan orang-orang yang beriman dalam jumlah kecil itu naik dan telah naik pula binatang-binatang sepasang-sepasang, seekor jantan, seekor betina, dan air pun kian lama kian naik juga, dan bahtera itu sudah mulai terapung di permukaan air, maka datanglah firman Allah,
Ayat 41
“Dan berkatalah dia, ‘Naiklah kepadanya dengan nama Allah.'"
Ingatlah bahwasanya engkau bersama keluarga dan orang-orang yang beriman ini naik ke dalam bahtera yang penuh sesak adalah atas kehendak Allah. Sebab itu, naikilah dia dengan nama Allah, “Di kala berlayarnya dan di kala berlabuhnya," kelak. Ingatlah nama Allah ketika bahtera mulai berlayar dan ingatlah pula kelak nama Allah ketika bahtera akan berlabuh di tempat yang kelak akan ditentukan oleh Allah pula,
“Sesungguhnya, Allahku adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang,"
Makna yang mendalam dari ujung ayat ini dapatlah kita rasakan kalau kita telah membiasakan diri berjihad pada jalan Allah. Jihad pada jalan Allah, yang dahulu telah di-tempuh oleh rasul-rasul Allah itu benar-benar menghendaki tenaga, pikiran, dan kadang-kadang air mata dan darah, bahkan maut. Kadang-kadang melihat betapa besarnya rin-tangan yang dihadapi, timbullah ragu-ragu, apakah benar janji yang telah dijanjikan Allah itu. Kalau benar, mengapa tidak juga datang janji itu, padahal kita tidak tahan lagi (tengok surah al-Baqarah ayat 214, “Apakah ada kamu menyangka bahwa kamu akan masuk saja ke dalam surga, padahal belum datang kepada kamu sebagaimana yang datang kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu; mereka disentuh oleh berbagai kesusahan dan berbagai penyakit, dan sampai juga digoncangkan, sampai berkata rasul dan orang beriman bersama dia, ‘Bilakah akan datang pertolongan Allah?'"
Begitulah suasana Rasulullah Nuh dan orang-orang yang beriman beserta beliau berpuluh tahun lamanya. Sulit dan susah yang dihadapi, namun pertolongan Allah yang dijanjikan belum juga datang sehingga kadang-kadang timbullah duka cita hati, sebagaimana yang telah dibayangkan Allah pada ayat 36 di atas tadi bahwa Nabi Nuh dibujuk, dilarang berduka cita.
Maka ujung ayat 41 ini menjelaskan lagi keadaan itu, untuk dapat dipahami oleh tiap-tiap mujahidin fi sabilillah, pejuang menegakkan jalan Allah, bahwa karena besarnya rintangan, mereka pernah mengeluh, mungkin pernah berputus asa, atau mengomel atau berduka cita. Sekarang, Allah melepaskan mereka dan bahaya itu sebab Allah menunjukkan kasih sayang-Nya, dengan membawa mereka berlayar dalam bahtera itu.
Hal ini dapat dibandingkan pula dengan firman Allah dalam surah an-Nashr yang ditu-runkan Allah setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil menaklukkan Mekah, yang delapan tahun lamanya sejak pindah (hijrah) ke Madinah, beliau sangat mengharapkan suatu waktu akan dapat merebut kota Mekah itu juga dari tangan musyrikin. Sebelum cita itu tercapai, niscaya akan ada juga keluhan batin dan keputusasaan. Kalau tidak pada Rasul sendiri, niscaya ada pada kalangan orang-orang yang beriman beserta Nabi. Maka datanglah surah an-Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah; dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah berduyun-duyun, maka ucapkanlah kesucian disertai pujian terhadap Allah engkau; dan mohonkanlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya;Allah itu adalah pemberi tobat"
Bahtera itu telah mulai terapung ke atas permukaan air karena bumi mulailah terendam. Lalu datanglah lanjutan firman Allah menerangkan keadaan kapal itu,
Ayat 42
“Dan berlayarlah dia, membawa mereka di dalam ombak yang laksana gunung-gunung."
Isyarat ayat ini yang mengatakan bahwa kapal telah berlayar di dalam ombak yang tinggi laksana setinggi gunung, memberi tanda bagi kita bahwa topan halilintar besar telah turun. Niscaya berembus keras dan bumi pun kian lama kian terendam. Air kian naik sehingga yang datar tidak kelihatan lagi. Air bertambah naik sehingga kaki bukit-bukit dan gunung-gunung pun mulai terendam. Dan manusia yang tidak dapat naik ke dalam bahtera itu niscaya mulailah berduyun mendaki tempat yang tinggi, yang sekira-kira air tidaklah akan sampai ke sana. Di antara mereka itu terdapatlah salah seorang putra Nuh, yang menurut para ahli tafsir bernama Yam. Ada juga yang menyebut namanya Kana'an. Lalu Allah melanjutkan kisahnya dalam wahyu, “Dan memanggillah Nuh kepada anaknya, sedangkan anaknya itu ada di suatu tempat yang terpisah jauh." Sudah terpisah jauh karena sang ayah sudah berada dalam bahtera, sedangkan anak sedang berjuang bersama orang banyak hendak mendaki bukityang lebih tinggi karena hendak membebaskan diri dari air yang kian lama kian naik itu. Sebab si anak menyangka betapapun besar air dan banjir itu, tidaklah akan sampai ke lereng bukit, apatah lagi akan merendam puncak gunung. Nabi Nuh menyeru,
“Wahai, anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah engkau berada bensama orang-orang yang tidak percaya
Perhatikan pulalah rahasia perikemanusiaan, rahasia cinta ayah yang telah tua kepada anak kandungnya, penyambung turunannya. Meskipun Allah telah berkali-kali memperingatkan, meskipun Allah telah melarang memohonkan perlindungan Allah bagi orang-orang yang aniaya, karena orang-orang itu pasti tenggelam (ayat 37), dan meskipun Allah telah menjelaskan bahwa di antara ahli beliau ada yang telah tertentu lebih dahulu bahwa mereka tidak akan dapat masuk, namun Nuh sebagai ayah, masih belum putus harapan bahwa anaknya akan terpelihara. Nuh sebagai ayah tidak juga tahan hati melihat anaknya akan binasa. Sebab itu, diajaknya, marilah naik sedang ada kesempatan, sebelum air bertambah naik dan ombak bertambah besar. Tetapi bagaimana jawaban awak? Allah di dalam wahyu menceritakan bagaimana sambutan anak itu,
Ayat 43
“Dia menjawab, ‘Aku akan berlindung ke gunung, yang akan menyelamatkan aku dari air.'"
Sampai kepada saat yang amat genting itu si anak masih saja memandang soal ini sebagai soal yang enteng. Dia masih menyangka bahwa air tidak akan naik ke puncak gunung. Barangkali dia menyangka bahwa orang yang di daratlah yang akan selamat, bukan orang yang dalam bahtera.
Kemudian Nuh pun berkata, “Tidak ada yang akan menyelamatkan di hari ini dari ketentuan Allah kecuali orang yang dikasihi-Nya" Begitulah seruan kasih sang ayah, yang tergetar hatinya melihat air bertambah naik dan dia diberi tahu langsung dari Allah bahwa seluruh permukaan bumi sampai ke puncak gunung-gunung akan terendam air.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Sebelum si anak sempat menjawab kembali seruan ayahnya atau sebelum si anak sempat memanjat dinding kapal, atau bergayut pada tali yang mungkin akan diulurkan, terjadilah apa yang dikira-kirakan oleh si ayah. Lanjutan ayat mengatakan, “Dan dihalangilah di antara keduanya oleh ombak!" Artinya, air bertambah naik dan ombak gelombang yang laksana gunung itu membataslah di antara ayah dan anak. Sehingga betapapun si anak hendak mencoba merenangi tepi kapal, tidaklah dia kuat lagi menyongsong ombak itu dan sang ayah yang berdiri di pinggir atau di geladak kapal pun tidak pula lagi dapat berbuat apa-apa. Dengan kesaksian sang ayah sendiri, di hadapan mata beliau, anak itu tenggelam digulung ombak. Betapapun kasihannya seorang ayah, tidaklah dia dapat mengubah apa yang telah ditentukan Allah terlebih dahulu dalam janji-Nya, sebagaimana telah dibayangkan Allah pada ayat yang ke-40 tadi.
“Maka jadilah dia dari golongan orang-orang yang ditenggelamkan."
Sedangkan sebuah kapal besar, apabila tenggelam ke dalam laut, betapapun dahsyatnya, namun bila kapal itu telah hilang dari permukaan laut, kesannya pun tidak kelihatan lagi. Dia telah hilang tak berbekas, apatah lagi seorang manusia. Maka tersebutlah bahwasanya air pun tidak berapa lama kemudian bertambah naik dan naik juga, sehingga tingginya air dari puncak gunung yang paling tinggi lebih dari 15 hasta. Kata setengah tafsir bahkan 80 mil. Wallahu aTam!
Maka terkatung-katunglah kapal itu di permukaan lautan, dengan tidak melihat sedikit pun tanah daratan karena memang semuanya telah tenggelam, semuanya telah berada di bawah permukaan laut. Maka tidaklah berke-tentuan lagi ke mana arah yang akan dituju, sampai kepada suatu waktu yang Allah sendiri yang menentukannya.
Ayat 44
“Dan difirmankanlah, ‘Hai, Bumi! Telanlah airmu; hai, langit, berhentilah,'" menurunkan hujan.
Bumi pun melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Air yang tergenang mulai diisapnya dan langit pun demikian pula, hujan pun tidak turun lagi."Dan surutlah air," hujan tak turun lagi, “dan selesailah perintah" yaitu apa yang dikehendaki oleh Allah, apa yang diperintahkan Allah kepada bumi dan langit-Nya telah selesai dilaksanakan menurut rencana semula yang tidak berubah sebab dia adalah rencana Allah sendiri."Dan berlabuhlah dia di Judi," yaitu oleh karena bumi sudah kering oleh karena air sudah surut dan susut, dengan sendirinya kapal itu terdampar di sebuah tempat bernama Judi.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa Judi itu adalah nama sebuah bukit di Maushil (Irak) sekarang. Tetapi sebagaimana telah kita masukkan ketika menafsirkan ayat-ayat cerita Nabi Nuh dalam surah Yuunus ayat 72 yang telah lalu, ahli-ahli sarjana zaman modern, bukan saja pemeluk Islam, bahkan pemeluk Yahudi dan Nasrani pun mewarisi kepercayaan ini dari wahyu, telah menyelidiki di mana letak Gunung Judi itu. Menurut penyelidikan mereka, Gunung Judi adalah dalam gugusan pegunungan Ararat, yang terletak di batas antara Turki dan Soviet Rusia. Telah ditilik bekas-bekas bahtera Nuh itu, yang karena telah terlalu lama, bahtera itu telah membatu, menjadi fosil. Dan demikian bunyi lanjutan ayat,
“Dan difirmankanlah, ‘Kebinasaanlah bagi kaum yang zalim.'"
Artinya, selain dari yang selamat masuk bahtera, yang lainnya tenggelam semuanya, tak ada sisanya lagi. Dan itulah yang selalu dikenal dengan sebutan Topan Nabi Nuh.
Menurut yang diriwayatkan oleh Alba bin Ahmar, yang diterimanya dari Ikrimah, dan Ikrimah menerima dari Ibnu Abbas, penumpang bahtera itu semua berjumlah 80 orang, laki-laki dan perempuan. Lamanya mereka terkatung-katung selama 150 hari. Menurut Qatadah pula dan beberapa perawi yang lain, mulai bahtera terkatung lepas dari bumi pada 10 Rajab dan setelah terkatung 150 hari lalu terdampar. Maka keluarlah mereka dari dalamnya pada 10 Muharram, yang dikenal dengan sebutan ‘Asyura. Ibnu Jarir dalam tafsirnya ada menyalinkan sebuah hadits (marfu') tentang turun dari kapal 10 Muharram ini, berkenaan dengan anjuran puasa di hari itu.
Mungkin ada juga orang-orang tak bersalah atau teraniaya turut-turutan yang tenggelam ditelan ombak gelombang topan itu. Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Aisyah, istri Rasulullah ﷺ bahwa adalah seorang perempuan menggendong anaknya yang masih sangat kecil sedang sarat menyusu. Setelah air bertambah naik, takutlah perempuan itu anaknya akan tenggelam, padahal dia sangat mencintainya. Maka digendongnyalah anak itu mendaki gunung, sampai terdaki seper-tiganya. Sesampai dia di sana dan mulai hendak berhenti, air pun meningkat naik juga, dia larikan lagi anaknya ke atas, sampai dua pertiga gunung. Dan air pun sampai juga ke sana. Dan dilarikannya juga anaknya itu sampailah ke puncak gunung. Namun air masih tetap naik hingga terendamlah kakinya, lalu anaknya dipangkunya. Air pun sampai ke pinggangnya, ke dadanya, dan sampailah air ke lehernya, diangkatnya juga anaknya itu, sampai dijunjungnya ke atas kepalanya, dan air pun sampai melebihi kepalanya dan melebihi anak yang dicintainya itu. Mereka keduanya pun tenggelamlah. Maka berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Kalau ada di antara mereka yang akan dikasihani oleh Allah, pastilah perempuan ini termasuk di antara mereka."
Sebenarnya banyak lagi cerita lain tentang Topan Nabi Nuh ini dicurai-paparkan di dalam kitab-kitab tafsir, yang tidak perlu rasanya kita salinkan semuanya karena tidak kurang di antaranya yang ditambah-tambahkan dan dilebih-lebihi, yang agaknya sudah termasuk di dalam apa yang dinamai israiliyat, dongeng-dongeng israili.
Cuma satu yang patut juga dicatat, yaitu suatu tafsiran dari Ikrimah yang diterimanya dari Ibnu Abbas, yaitu setelah 150 hari berlayar dan hujan telah lama berhenti, dan air sudah terasa surut, Nabi Nuh menyuruh burung gagak buat menyelidiki keadaan bumi di sana agaknya yang telah kering tempat berlabuh. Gagak pun segera terbang melaksanakan perintah itu. Bertemulah dia tanah yang telah kering dan di sana berjumpa banyak bangkai. Berhentilah dia di sana untuk mengenyangkan perutnya sehingga lupa pulang. Lalu diutus oleh Nabi Nuh burung merpati. Setelah dia berkeliling menyediliki, dibawanyalah setangkai ranting pohon zaitun dan pada kaki burung merpati itu terdapat tanah. Maka mafhumlah Nabi Nuh bahwa tanah yang kering sudah ada dan masa berlabuh sudah dekat. Maka di dalam penafsiran surah at-Tiin dikatakan oleh setengah tafsir bahwa persumpahan Allah “demi zaitun" karena dahan dan daun zaitun itulah yang dibawa burung merpati kepada Nabi Nuh. Dan “demi Gunung Thusina" peringatan atas perjuangan Nabi Musa dan “demi ini negeri yang aman sentosa" yaitu Mekah tempat Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Lantaran itu, di dalam surah at-Tiin itu empat Nabi Allah diperingati, yaitu Adam, Nuh, Musa, dan Muhammad, sebagai mata rantai, mata pertama dan mata terakhir serta mata tengah yang terpenting di dalam kedatangan nabi-nabi membawa tuntunan Ilahi.
Selain itu, ada lagi beberapa cerita lucu. Misalnya di dalam bahtera itu muntahlah babi lalu keluarlah tikus. Kerja tikus itu mengganggu saja, merobek dan menembus membuat lubang dalam bahtera sehingga membahayakan. Lalu muntahlah singa maka keluarlah dari muntahnya itu sang kucing. Lalu dikejarnyalah tikus-tikus itu dan dibunuhnya. Kata dongeng itu pula, keledai ketika dibawa masuk, dia enggan hingga payah menariknya. Ternyata iblis menumpang di ekornya. Adapun singa, baru dapat dimasukkan ke dalam setelah dia dibuat demam oleh Allah.
Kita sengaja menyalinkan ini untuk membuktikan bahwa beberapa riwayat dan tafsir itu ada juga yang lucu jenaka. Dan kalau kita tidak percaya atau kita pandang iseng saja, tidaklah mengapa karena di dalam Al-Qur'an sendiri tidaklah tersebut hal itu dan hadits yang shahih pun tidak pula ada untuk menguatkannya. Cuma yang kita pujikan disini ialah kesetiaan orang zaman dahulu mengumpulkan fakta dan data, apa yang diterima dan didengar. Adapun menerima atau menolak, terserah kepada yang datang di belakang.