An-Nisa': 6

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَٱبۡتَلُواْ
dan periksa/ujilah
ٱلۡيَتَٰمَىٰ
anak-anak yatim
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
jika
بَلَغُواْ
mereka sampai/cukup umur
ٱلنِّكَاحَ
nikah/kawin
فَإِنۡ
maka jika
ءَانَسۡتُم
kamu anggap/melihat
مِّنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
رُشۡدٗا
cerdas
فَٱدۡفَعُوٓاْ
maka serahkanlah
إِلَيۡهِمۡ
kepada mereka
أَمۡوَٰلَهُمۡۖ
harta-harta mereka
وَلَا
dan jangan
تَأۡكُلُوهَآ
kamu memakannya
إِسۡرَافٗا
lebih dari batas
وَبِدَارًا
dan tergesa-gesa
أَن
bahwa
يَكۡبَرُواْۚ
mereka besar
وَمَن
dan barang siapa
كَانَ
adalah ia
غَنِيّٗا
kaya/mampu
فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ
maka hendaklah ia menahan diri
وَمَن
dan barang siapa
كَانَ
adalah ia
فَقِيرٗا
fakir/miskin
فَلۡيَأۡكُلۡ
maka boleh ia memakan
بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
dengan baik/sepatutnya
فَإِذَا
maka apabila
دَفَعۡتُمۡ
kamu menyerahkan
إِلَيۡهِمۡ
kepada mereka
أَمۡوَٰلَهُمۡ
harta-harta mereka
فَأَشۡهِدُواْ
maka adakan saksi-saksi
عَلَيۡهِمۡۚ
atas mereka
وَكَفَىٰ
dan cukuplah
بِٱللَّهِ
dengan/pada Allah
حَسِيبٗا
pengawas/mempunyai perhitungan

Terjemahan

Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 5-6 Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu). Ayat 5 Allah ﷻ melarang orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka. Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya. Berangkat dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam: adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah). Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk dalam ber-tasarruf mengingat akalnya kurang sempurna atau agamanya kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah). Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian).” (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Adh-Dhahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil. Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim. Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah wanita. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih secara panjang lebar. Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian).” (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia. Firman Allah ﷻ: “Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa: 5) Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan doa mereka, yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk tapi ia tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya) padahal Allah ﷻ telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian)’ (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemberi utang tidak mempunyai saksi terhadapnya.” Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa: 5) Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi. Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia. Ayat 6 Firman Allah ﷻ: “Dan ujilah anak yatim itu.” (An-Nisa: 6) Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Suddi dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya) sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6) Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig. Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia baligh pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak. Di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: “Tidak ada yatim sesudah baligh dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.” Di dalam hadits yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi ﷺ disebutkan: “Qalam diangkat (tidak dicatat kesalahannya) dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia baligh atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.” Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadits yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar yang mengatakan: “Diriku ditampilkan kepada Nabi ﷺ dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu aku berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang.” Umar ibnu Abdul Aziz ketika sampai kepadanya hadits ini mengatakan bahwa sesungguhnya hadits inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa. Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan tanda baligh atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia baligh, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia baligh bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, karena itulah mereka tidak mau mengobatinya. Menurut pendapat yang shahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia baligh, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan. Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan: “Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi ﷺ seusai Perang Quraizah. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan." Ahlu sunan mengetengahkan hadits yang serupa, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka. Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh seorang wanita muda berzina dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya. Abu Ubaid mengatakan bahwa ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar adalah bila seseorang mengatakan “Aku telah mengerjainya," padahal ia berdusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya: “Amatlah buruk bagi orang sepertiku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, baik dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang benar.” Firman Allah: “Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (An-Nisa: 6) Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kepahaman yang lumayan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan tidak hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka. Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: “Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.” Firman Allah ﷻ : “Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (An-Nisa: 6) Allah ﷻ melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak. Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan falyasta'fif adalah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun. Asy-Syabi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu secara finansial) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan). “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim. Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan (kebaikan) untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Mishar, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafal yang sama. Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif, yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya. Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang shahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak pula menghimpunkannya sebagai hartamu. Dan juga tanpa mengekang hartamu atau tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.” Kata ‘atau' merupakan keraguan dari Husain. Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Makanlah dengan cara yang patut tanpa berlebih-lebihan!” Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Husain Al-Mu'allim. Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi ﷺ menjawab: “Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta mu.” Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ats-Tsauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas, lalu orang Badui itu berkata: “Sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya dan menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya” Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafal yang sama. Pendapat inilah, yakni “tidak wajib mengganti”, yang dikatakan oleh ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri. Pendapat yang kedua mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya. Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu secara finansial, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya." Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur: Telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar pernah berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu secara finansial, maka aku menahan diri (untuk tidak menggunakannya).” Sanad atsar ini shahih. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal yang serupa dari sahabat ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah dengan menganggapnya sebagai utang. Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Suddi hal yang serupa. Telah diriwayatkan melalui jalur As-Suddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari (sedikit). Imam Al-Baihaqi juga mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan buat dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi. Hal yang serupa diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim. Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Wahb mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun. Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: “Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu secara finansial, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa.” (Al-An'am: 152 dan Al-Isra: 34) Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut. Firman Allah ﷻ: “Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka.” (An-Nisa: 6) Sesudah mereka mencapai usia baligh dan dewasa - apabila menurut kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta - maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. “Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.” (An-Nisa: 6) Hal ini merupakan perintah dari Allah ﷻ ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi kelak adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (An-Nisa: 6) Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai untukmu sebagaimana aku menyukai untuk diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim."

An-Nisa': 6

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat