Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِكُلّٖ
dan bagi tiap-tiap
جَعَلۡنَا
Kami jadikan
مَوَٰلِيَ
pewaris-pewaris
مِمَّا
dari apa (harta)
تَرَكَ
meninggalkan/(peninggalan)
ٱلۡوَٰلِدَانِ
kedua orang tua
وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
dan kerabat
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
عَقَدَتۡ
telah mengikat
أَيۡمَٰنُكُمۡ
sumpahmu
فَـَٔاتُوهُمۡ
maka berilah mereka
نَصِيبَهُمۡۚ
bagian mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
شَهِيدًا
menjadi saksi (menyaksikan)
وَلِكُلّٖ
dan bagi tiap-tiap
جَعَلۡنَا
Kami jadikan
مَوَٰلِيَ
pewaris-pewaris
مِمَّا
dari apa (harta)
تَرَكَ
meninggalkan/(peninggalan)
ٱلۡوَٰلِدَانِ
kedua orang tua
وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
dan kerabat
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
عَقَدَتۡ
telah mengikat
أَيۡمَٰنُكُمۡ
sumpahmu
فَـَٔاتُوهُمۡ
maka berilah mereka
نَصِيبَهُمۡۚ
bagian mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
شَهِيدًا
menjadi saksi (menyaksikan)
Terjemahan
Bagi setiap (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, berikanlah bagian itu kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Tafsir
(Dan bagi masing-masing) laki-laki dan wanita (Kami jadikan ahli waris) atau ashabah yang memperoleh (apa yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat) bagi mereka berupa harta (dan mengenai orang-orang yang kamu telah berjanji dan bersumpah setia dengan mereka) `aqadat ada yang pakai alif sehingga menjadi `aaqadat; sedangkan aimaan jamak daripada yamiin berarti sumpah atau tangan sehingga kalimat itu berarti sumpah sekutu-sekutu kamu yang telah terikat dalam perjanjian denganmu di masa jahiliah buat tolong-menolong dan waris-mewarisi (maka berilah mereka) sekarang (bagian mereka) dari harta warisan yaitu seperenam (sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu) artinya mengetahui apa pun juga, termasuk hal-ihwalmu. Dan hukum ini telah dihapus dengan firman-Nya, "Dan orang-orang yang mempunyai pertalian darah, sebagian mereka lebih utama dari sebagian lainnya.".
Tafsir Surat An-Nisa': 33
Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli waris).
Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas, mawali artinya para 'asabah (ahli waris laki-laki). Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Tunggulah, wahai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu terpendam!”
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya: “Dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.” (An-Nisa: 33) Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat.
Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, wahai manusia, telah kami tetapkan para 'asabah (ahli waris) yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya.
Firman Allah ﷻ: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33)
Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian dan mereka, berikanlah mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara kalian.
Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini dimansukh (direvisi) sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah pewaris-pewaris.
“Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi ﷺ di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) maka hukum tersebut dimansukh (direvisi). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33), hingga akhir ayat.
Dahulu kaum Muhajirin ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena berkat persaudaraan yang dicanangkan oleh Rasulullah ﷺ di antara mereka. Ketika diturunkan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.“ (An-Nisa: 33) maka ketentuan tersebut dimansukh, kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33)
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam, seorang lelaki mengadakan transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia mengatakan kepadanya, "Engkau dapat mewarisiku dan aku dapat mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di kalangan banyak kabilah, yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap sumpah setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah, kemudian dijumpai di masa Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya melainkan hanya memperkuatnya; tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah setia lagi di masa Islam. Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat ini, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah.” (Al-Anfal: 75) Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, ‘Atha’, Al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar, Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Suddi, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka) adalah hulafa (saudara sepakta).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi sumpah pakta apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya memperkuatnya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Said ibnu Ibrahim, dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki, dari Syarik, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda. Telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman maula keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf (sumpah setia) dalam Islam; dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak menggembirakan diriku bila aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat melanggar hilf yang pernah dilakukan di Darun Nudwah.” Demikianlah menurut lafal Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya, dari Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku menyaksikan hilf Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama paman-pamanku, dan aku tidak suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul, tetapi harus dengan melanggar hilf tersebut.”
Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf melainkan menambahkan kepadanya kekukuhan.”
Nabi ﷺ telah bersabda pula: “Tidak ada hilf dalam Islam.”
Sesungguhnya Nabi ﷺ pernah menyatukan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bisyr ibnul Mufaddal, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan selengkapnya.
Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hilf, maka Nabi ﷺ bersabda: “Pegang teguhlah oleh kalian hilf yang dilakukan di masa Jahiliah, tetapi tidak ada hilf lagi di dalam Islam.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari Hasyim.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu Jad'an, dari neneknya dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf dalam Islam; dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.”
Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ memasuki Mekah pada hari kemenangan atas kota Mekah, maka beliau berdiri seraya berkhotbah kepada orang-orang banyak. Beliau bersabda: “Wahai manusia sekalian, hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan, tetapi tidak ada lagi hilf dalam Islam.”
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadits Husain Al-Mu'allim dan Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibnu Muhammad (yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanad dan dengan lafal yang serupa. Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Usman, dari Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta Abu Usamah, ketiga-tiganya dari Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanad dan dengan lafal yang serupa. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Muhammad ibnu Bisyr dengan lafal yang sama. Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui hadits Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hilf. Maka beliau ﷺ bersabda: “Terhadap hilf yang telah terjadi di masa Jahiliah, pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada lagi hilf dalam Islam.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam), dari ayahnya dengan lafal yang sama.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain yang menceritakan bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi' bersama anak laki-laki Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca firman-Nya kepada Ummu Sa'd dengan qiraah (bacaan) berikut: “Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah setia kepada kalian.” (An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu, tetapi seperti ini," yaitu: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur Rahman), yaitu ketika Abdur Rahman menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman masuk Islam saat Islam mulai melakukan peperangan, maka Allah memerintahkan agar Abu Bakar memberikan bagian warisan kepada Abdur Rahman.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Akan tetapi, pendapat ini gharib (asing). Pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada permulaan Islam, mereka saling mewaris melalui hilf (sumpah setia), kemudian ketentuan ini dimansukh (dihapuskan). Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf masih membekas, sekalipun mereka diperintahkan agar menunaikan janji-janji dan semua transaksi serta hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu. Dalam hadits Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di atas, juga sahabat lainnya menyebutkan: “Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.”
Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa di masa sekarang ada saling mewaris karena hilf, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya.
Mengingat firman Allah ﷻ menyebutkan: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.” (An-Nisa: 33) Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak, juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang lain. Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing; dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling dekat.” Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam dua ayat faraid; dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada asabah (ahli waris laki-laki).
Firman Allah ﷻ: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Yakni sebelum turunnya ayat ini.
“Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33)
Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang, juga hukum hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia).
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid serta Abu Malik dengan lafal yang serupa.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Di masa lalu seorang lelaki mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian.” (Al-Ahzab: 6) Allah ﷻ bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian.” (Al-Ahzab: 6)
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud adalah berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya.
Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya: “Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewarisi).
Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam (berketetapan hukum) dan tidak dimansukh (direvisi). Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi, seperti yang diriwayatkan oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?
Usai melarang manusia berangan-angan yang akan mendorongnya iri dan dengki atas kelebihan orang lain, termasuk dalam hal warisan, ayat ini lalu mengingatkan bahwa harta warisan itu sudah ditentukan pembagiannya oleh Allah. Dan ketahuilah bahwa untuk setiap harta peninggalan, dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan juga yang ditinggalkan oleh karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan juga bagi orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka sebagai suami istri, maka berikanlah kepada mereka bagiannya sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Masih dalam kaitan larangan agar tidak berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang Allah berikan kepada siapa pun, laki-laki maupun perempuan, ayat ini membicarakan secara lebih konkret fungsi dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan. Laki-laki atau suami itu adalah pelindung bagi perempuan atau istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka, laki-laki, atas sebagian yang lain, perempuan, dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami secara khusus, telah memberikan nafkah apakah itu dalam bentuk mahar ataupun serta biaya hidup rumah tangga sehari-hari dari hartanya sendiri. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suami tidak ada di rumah atau tidak bersama mereka, karena Allah telah menjaga diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuz (durhaka terhadap suami), seperti meninggalkan rumah tanpa restu suami, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka dengan lemah lembut dan pada saat yang tepat, tidak pada sembarang waktu, dan bila nasihat belum bisa mengubah perilaku mereka yang buruk itu, tinggalkanlah mereka di tempat tidur dengan cara pisah ranjang, dan bila tidak berubah juga, kalau perlu pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan tetapi memberi kesan kemarahan. Tetapi jika mereka sudah menaatimu, tidak lagi berlaku nusyuz, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya dengan mencerca dan mencaci maki mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Maha-besar.
Secara umum ayat ini menerangkan bahwa semua ahli waris baik ibu bapak dan karib kerabat maupun orang-orang yang terikat dengan sumpah setia, harus mendapat bagian dari harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing.
Ada beberapa hal yang harus disebutkan di sini, antara lain:
1. Kata mawalia yang diterjemahkan dengan "ahli waris" adalah bentuk jamak dari maula yang mengandung banyak arti, antara lain:
a. Tuan yang memerdekakan hamba sahaya (budak).
b. Hamba sahaya yang dimerdekakan.
c. Ahli waris asabah atau bukan.
2. Ashabah ialah ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan, setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang mempunyai bagian tertentu atau berhak menerima semua harta warisan apabila tidak ada ahli waris yang lain.
Yang paling tepat maksud dari kata mawalia dalam ayat ini adalah "ahli waris asabah" sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Berikanlah harta warisan itu kepada masing-masing yang berhak. Adapun sisanya berikanlah kepada laki-laki karib kerabat yang terdekat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas).Dan sabda Rasulullah :
"Janda Sa'ad bin Rabi' datang kepada Rasulullah ﷺ bersama dua orang anak perempuan dari Sa'ad, lalu ia berkata, "Ya Rasulullah! Ini dua orang anak perempuan dari Sa'ad bin Rabi' yang mati syahid sewaktu perang Uhud bersama-sama dengan engkau. Dan sesungguhnya paman dua anak ini telah mengambil semua harta peninggalan ayah mereka, sehingga tidak ada yang tersisa. Kedua anak ini tidak akan dapat kawin, kecuali jika mempunyai harta." Rasulullah menjawab, "Allah akan memberikan penjelasan hukumnya pada persoalan ini." Kemudian turunlah ayat mawaris (tentang warisan), lalu Rasulullah memanggil paman anak perempuan Sa'ad dan berkata, "Berikanlah 2/3 kepada kedua anak perempuan Sa'ad, seperdelapan untuk ibu mereka, dan apa yang masih tinggal itulah untukmu." (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam ayat ini hendaklah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Barang siapa yang tidak melaksanakannya atau menyimpang dari hukum-hukum tersebut, maka ia telah melanggar ketentuan Allah dan akan mendapat balasan atas pelanggaran itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya. Menurut pendapat yang terkuat, bahwa sumpah setia yang pernah terjadi pada masa Nabi (permulaan Islam) yang mengakibatkan hubungan waris mewarisi antara mereka yang mengadakan sumpah setia, kemudian hal itu dinasakh hukumnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 32
“Dan janganlah kamu mengangan-angan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, berlebih dari yang sebagian."
Di dalam ayatbertemu kata la tatamannau, dari pokok kata tamaniy, yaitu mengangan-angan atau berkhayat memikirkan kelebihan orang lain, kekayaan orang, ketinggian yang
dicapainya. Angan-angan adalah memikirkan hal yang diri sendiri sukar mencapainya. Maka akibat dari angan-angan yang demikian ialah timbulnya dengki dan iri hati kepada orang yang mendapat kelebihan itu. Itulah sebabnya Ibnu Abbas di dalam tafsirnya langsung saja memberi arti tamaniy (angan-angan) dengan hasad; tegasnya dengki!
Berkata Ibnu Abbas seketika menafsirkan ayat ini, “janganlah kamu berkata, wahai kiranya aku akan diberi pula harta banyak, nikmat banyak dan istri cantik seperti si fulan itu."
Ibnul Atsir berkata, “Berangan-angan ialah keinginan hendak mendapat apa yang diingini, sebagai suatu keluhan jiwa."
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang menimbulkan angan-angan yang tidak-tidak itu ialah lantaran melihat kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Sebab memang setengah kamu ada beberapa kelebihan dari yang setengah. Apabila seseorang telah silau karena melihat kelebihan yang ada pada orang lain, dia akan ditimpa oleh satu penyakit dalam jiwanya sendiri, di antaranya ialah penyakit hasad, benci, umpat, mengomel, baik kepada orang yang diberi Allah kelebihan itu maupun kepada Allah. Lantaran dia telah menghabiskan waktu di dalam berangan-angan, ber-tamaniy, dia pun lalai menyelidiki dalam dirinya sendiri—yang tentu ada pula kelebihan pada dirinya—kalau dia pandai memupuknya. Berangan-angan menyebabkan jiwa dia lebih banyak berkhayat daripada bekerja. Lebih banyak mengeluh melihat kelebihan orang lain sehingga dirinya sendiri jadi rendah. Padahal kalau dicarinya, niscaya dia akan bertemu di dalam dirinya itu suatu kelebihan yang diberikan pula oleh Allah. Manusia tak ubahnya dengan batu permata mahal yang disimpan Allah, terpendam di dalam bumi. Baru akan nyata cahayanya jika telah digosok dengan baik.
Sambungan ayat menegaskan lagi, “Bagi laki-laki akan ada bagian dari apa yang mereka usahakan." Artinya, kepada semua orang laki-laki telah disediakan Allah pembagian dan pembagian itu akan didapatnya menurut usahanya. Perempuan-perempuan pun demikian pula. Untuk masing-masing perempuan telah disediakan Allah pembagian, yang akan didapatnya pembagian itu asal diusahakannya. Tetapi kalau tidak diusahakan pembagian itu tidak akan diberikan. Dengan hanya berangan-angan, pembagian akan tetap jauh!
Pembagian yang akan didapat lantaran diusahakan itu ialah dalam rangka tugas diri dan pembagian kerja yang telah ditentukan oleh Allah. Perempuan disuruh berusaha, sebagaimana laki-laki disuruh berusaha, masing -masing dalam bidangnya. Kita misalkan seorang laki-laki jaya dalam usahanya karena bekerja keras keluar rumah, maka kejayaan itu akan sempurna jika perempuan atau istri yang ada dalam rumah tangga yang telah mereka bangunkan berdua, tahu pula akan kewajibannya sebagai istri. Suami bertanggung jawab keluar, istri bertanggung jawab di garis belakang. Pekerjaan laki-laki yang kasar-kasar dan berat-berat, sedang pekerjaan perempuan halus dan rumit. Pekerjaan kasar laki-laki itu tidak akan dapat dilaksanakan oleh perempuan dan pekerjaan halus perempuan tidak akan dapat dilaksanakan oleh laki-laki. Imbangan yang berat kasar dengan yang ringan halus, itulah keharmonisan rumah tangga. Tak usah si perempuan mengeluh dan berangan-angan supaya dia jadi laki-laki, supaya terlepas dari kewajiban mengandung anak, menyusukan, dan mengasuh. Seorang laki-laki pun tidak usah mengeluh karena berat tugasnya, lalu ingin sebagai perempuan.
Kalau ditilik dengan saksama, kebanyakan perempuanlah yang kerap kali mengeluh dan merasakan bahwa kewajibannya yang terbesar dan haknya kurang, lalu dia hendak berlari mengejar ke tengah jalan raya, hendak hidup sebagai laki-laki. Apabila angan-angannya itu diperturutkan, kacaulah susunan dunia ini.
Ini adalah gelombang angan-angan yang menyerang perempuan dan laki-laki. Di samping perempuan berangan-angan karena melihat kelebihan laki-laki, ada lagi orang laki-laki sendiri tenggelam dalam angan-angan karena melihat kelebihan perempuan. Misalnya seorang petani yang payah bertanam padi di desa berangan-angan dan iri hati melihat orang kota tidak payah bertani, hanya menerima beras yang telah ditumbuk saja. Karena angan-angan orang petani yang demikian, niscaya timbullah urbanisasi orang kampung hendak ke kota semua, akhirnya kampung-kampung dan desa jadi lengang. Akhirnya semua lapar karena tidak ada pertanian lagi.
Melihat orang mendapat kekayaan besar atau pangkat yang tinggi, janganlah orang yang tidak mendapat kekayaan atau pangkat itu berangan-angan. Sebab angan-angan akan menimbulkan iri hati. Iri hati akan mengganggu jiwa. Jika jiwa telah terganggu, usaha pun akan terbengkalai. Kalau usaha telah terbengkalai, bagian yang telah disediakan Allah dalam diri sendiri karena diusahakan, tidaklah akan didapat. Yang penting ialah supaya semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berusaha dan yakin bahwa asal dia berusaha, dia mesti mendapat bagian sekadar usahanya, bagian yang pantas diterimanya. Kita harus tahu bahwasanya kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau menjadi rakyat jelata dalam barisan orang banyak, semuanya itu hanyalah pembagian pekerjaan yang telah ditentukan Allah, dan semua pun ada akibat dan risiko. Semua pun ada tanggung jawabnya dan tidak lepas dari kesukaran-kesukarannya. Hal ihwal yang kelihatan megah dari luar sehingga me-nimbulkan iri hati orang yang melihat, kalau orang yang melihat dari jauh itu mengalami pula, dia akan tahu betapa pahit getir yang diderita lantaran kedudukan.
Sebab itu datanglah tuntunan hidup dari Allah pada ayat ini, bahwasanya Allah akan memberikan pembagian untuk masing-masing manusia, baik dia laki-laki maupun perempuan, asal berusaha. Usaha bukanlah bermenung, bukan berangan-angan dan bukan iri hati.
Termasuk juga dalam hal ini mengangan-angan orang yang tidak-tidak, yang tak mungkin, misalnya awak buruk ingin jadi rancak (cantik) Atau awak tidak cukup pengetahuan, lalu berangan-angan hendak jadi profesor. Padahal manusia tidaklah bisa mengubah bentuk mukanya, tetapi kalau dia mau, dia pun sanggup mempercantik budinya. Lantaran itu, ayat ini menuntun agar manusia menghadapkan tujuannya pada apa yang dapat diusahakan yang sepadan dengan bakat persediaan dirinya dan jangan menerawang langit dengan angan-angan yang tidak-tidak.
Beberapa nama orang besar-besar dalam Islam tercantum dalam sejarah, baik dalam ilmu fiqih atau ilmu tasawuf atau filsafat. Mereka tidak malu-malu mencantumkan nama usahanya atau dia dari keturunan apa. Kita dapati nama an-Najjar (tukang batu), al-Khasysyab (tukang jual kayu untuk perumahan), ad-Dabbagh (tukang samak kulit), al-Haddad (tukang besi), al-Khayyath (tukang jahit), ad-Daqqaq (tukang tepung), dan lain-lain.
Ingatlah nama Omar Khayam (Umar al~ Khayyam) artinya tukang membuat tenda (kemah) Ingatlah nama Imam Ghazali, yang setengah ahli membacanya al-Ghazzali, artinya tukang tenun kain atau keturunan tukang tenun kain. Nama-nama itu bersua dalam kitab-kitab agama, sebagai orang yang patut diikut, tidak dalam fiqih atau tasawuf atau filsafat. Ini adalah pengaruh ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Yaitu bahwa mereka tidak bermenung berangan-angan, melainkan menerima dengan ridha apakah kasab atau usaha yang telah terwajab dalam kehidupan mereka.
Lalu dalam lanjutan ayat, “Dan mohonkanlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya." Artinya mohonkanlah kekuatan dan pertolongan Allah sehingga kasab atau usaha itu berhasil dan jaya sehingga tidak ada waktu lagi buat berangan-angan. Sebab seorang tukang kayu atau tukang jahit (al-Khasysyab dan al-Khayyath) yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur lebih mulia daripada seorang berpangkat tinggi dan menegakkan pangkatnya dengan kezaliman atau seorang kaya yang mendapat kekayaannya dengan memeras keringat dan air mata si miskin.
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa yang diperintah berusaha atau kasab bukanlah laki-laki saja, perempuan-perempuan harus berusaha, dan dia akan mendapat bagian dari usahanya. Tetapi hendaklah diingatdi lapangan mana perempuan hendaknya berusaha itu. Jangan sampai sebagaimana bangsa Barat di zaman industrialisasi sekarang ini. Pekerjaan laki-laki direbut oleh perempuan. Sampai menjadi kapten kapal, sampai jadi supir truk. Kaum kapitalis memberikan upah yang murah bagi perempuan dan kaum laki-laki mulai mengenal pengangguran!
Di akhir ayat berfimanlah Allah,
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
Disebut di sini salah satu dari nama Allah, yaitu Dialah yang memancarkan sinar ilmu-Nya dengan jalan ilham kepada manusia sehingga di dalam manusia berusaha di-ajarkanlah kepadanya hal-hal yang tadinya belum diketahuinya. (Tengok surah al-'Alaq ayat 5) Maka pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu hal tidaklah akan diberikan Allah kalau tidak berusaha dan hanya berangan-angan.
Pengetahuan sebagai teori bertambah dalam karena praktik.
Ayat ini dapatlah kiranya menyadarkan kita tentang nasib kita pemeluk agama Islam beratus tahun lamanya. Segala kemegahan,
Anak Raja memikul kayu,
Kayu diambil akan titian;
Nasib malang orang Melayu,
Orang besar-besar berdengki-dengkian.
kekuasaan, kekayaan, dan ketinggian telah dicapai oleh bangsa Barat, sampai kita dijajahnya karena kita di pihak yang bodoh. Sedang kita hanya berangan-angan dan iri hati, sampai ada pepatah sebelum perang, Belanda mati karena pangkat, Cina mati karena kekayaan, Keling mati karena makanan, Melayu mati dalam angan-angan.
Kita bertambah mundur lagi karena hasad dan iri hati. Kalau ada kawan yang kelihatan maju, yang lain membenci dan memfitnah. Tiap-tiap yang akan tumbuh, dipancung pucuknya oleh temannya sendiri.
Pada suatu hari dalam tahun 1955 ber-buallah penafsir ini dengan almarhum Tengku Besar Burhanuddin, ayah saudara dari Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, Tuanku Abdurrahman, yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Agung Kerajaan Malaysia. Kami duduk bersama-sama di dalam Istana Sri Menanti. Berlarat-larat pembicaraan kami dengan orang tua itu, sampai kepada penyakit bahwa pada suatu hari di zaman muda, beliau berjalan memeriksa sawah-sawah rakyat dalam wilayah Kerajaan Negeri Sembilan. Salah seorang pengiring beliau ialah almarhum Munsyi Sulaiman, pengarang Melayu yang terkenal di permulaan abad kedua puluh. Di satu bidang sawah yang luas, bertemulah satu titian yang telah rusak dan lapuk sehingga sebuah bandar galian pengairan sawah tak dapat mereka seberangi. Lalu Tengku Besar Burhanuddin, Munsyi Sulaiman bersama-sama mengangkat kayu-kayu dan bambu titian yang telah berserak-serak itu dan memikulnya sendiri dan menyusun kembali sehingga titian itu dapat diseberangi. Melihat Yang Teramat Mulia Tengku Besar sudah kerja keras, pengiring yang lain pun mulai menyingsingkan lengan baju sehingga titian itu dapat dilalui kembali.
Tengku Besar Burhanuddin bercerita, “Selesai kami mengangkat kayu-kayu dan bambu itu berpantunlah Munsyi Sulaiman,
Tengku Besar berkata, “Beta termenung memikirkan dua hal. Pertama, kecepatan Munsyi Sulaiman menyusun syairnya. Kedua, kagum akan isi syair yang dalam itu. Memang Datuk Indomo.11 kata beliau “Karena orang besar-besar Melayu berdengki-detigkian, mudahlah bagi British memecah-belah kami orang besar-besar Melayu sehingga hak-hak pusaka kami habis dirampas."
Syukur alhamdulillah, sebagian besar tanah Islam sekarang telah mencapai kemerdekaannya dari penjajahan asing. Mereka dahulu terjajah karena tidak ada ilmu. Lalu hidup berangan-angan. Sekarang hal itu sudah patut habis karena kemerdekaan tanah air bersendi kepada kemerdekaan jiwa putranya. Dalam negara yang merdeka, dengan jiwa yang merdeka setiap orang terbuka jalan untuk maju dalam bidangnya sendiri-sendiri. Tidak ada tempat lagi buat berangan-angan dan dengki hanyalah timbul dari jiwa yang kecil kerdil. Penyakit demikian lebih tidak mungkin lagi kalau seorang sadar benar akan dasar aqidah hidupnya, yaitu tauhid. Dan orang yang berjiwa merdeka dan bertauhid tahu bahwa di mana saja pun medan tempat dia tegak, namun dia tetap dapat memberikan apa-apa untuk masyarakat,
Engkau sakti, kalau berbakti!
Datuk Indomo adalah gelar pusaka penulis tafsir ini menurut adat Minangkabau. Oleh karena Negeri Sembilan pun memakai adat Minangkabau (Adat Perpatih), dan Tengku Besar mengetahui gelar saya itu, maka di mana bertemu beliau tidak mau menyebut nama samaran yang selalu saya pakai yaitu Hamka. Selalu beliau sebut Datuk Indomo.
Lantaran kemerdekaan jiwa dan sadar akan harga diri inilah maka seketika Khalifah Abu Ja'far al-Mansur dalam perjalanannya naik haji singgah di Madinah, lalu menyuruh sampaikan kepada Imam Malik bahwa kalau Imam Malik ingin hendak menghadapnya, Baginda berkenan menerimanya. Dengan tegas Imam Malik menjawab bahwa dia tidak merasa ada keperluan pribadi yang akan dibawanya untuk menghadap Khalifah. Tetapi sebaliknya kalau Khalifah memerlukan ilmu yang ada padanya, dia bersedia menerima kedatangan Khalifah di rumahnya. Keluarlah perkataan Imam Malik yang terkenal, “Ilmu didatangi, bukan mendatangi." Artinya Imam Malik tahu di mana kedudukannya.
MASING-MASING SUDAH ADA PEMBAGIAN
Ayat 33
“Dan untuk tiap-tiap orang telah Kami adakan ahli-ahli bagi apa yang ditinggalkan."
Ayat ini adalah penjelasan dan penegasan bahwasanya tiap-tiap orang yang meninggal dunia sudah ada ketentuan siapa-siapa yang akan menerima hartanya, tidak usah ribut lagi, hilanglah segala kemusykilan lantaran ketentuan-ketentuan itu.
Apabila kita baca ayat-ayat Al-Qur'an dengan perasaan yang halus dan minat yang besar, akan terasalah hubungan di antara ayat 32 dengan ayat 33 ini. Meskipun ayatnya sudah terpisah, sambungan batinnya telah ada sendirinya. Ayat 32 mencegah berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Padahal sangat biasa, kalau seseorang telah meninggal dunia, hanya beberapa hari saja duka cita meliputi ahli rumah itu. Kalau sudah agak lama timbullah iri hati, kedengkian, dan ketamakan. Semua hendak mendapat bagian lebih banyak. Semua takut akan dirugikan. Lebih-lebih pada orang-orang yang dalam hal
ibadah masih mau tunduk kepada Allah, taat shalat, dan puasa, tetapi dalam hal harta waris masih mau bersitegang urat leher menuntut yang bukan haknya. Maka datanglah ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menentukan pembagian tarikah yang ditinggalkan oleh si mati, tidak boleh diubah lagi, walaupun ada di antara kamu yang Tamannau, berangan-angan mengkhayat langit atau iri hati. “(Yaitu) ibu bapak dan keluarga-keluarga yang paling karib."
Keterangannya: Dalam ayat ini terdapat kalimat mawaaliya yang diartikan keluarga yang akan menerima waris. Sebab itu arti lurusnya dalam bahasa kita ialah bahwa bagi tiap-tiap harta benda yang ditinggalkan oleh ibu dan bapak dan karib kerabat itu, Kami adakan waris-waris yang akan menerima dan menguasainya.
Kita telah sama mengetahui bahwa di dalam Al-Qur'an banyak kali kita dapati ka-limat Maula, yang jamaknya menjadi Mawaaiiy, sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Pokok kata adalah wilayaah. Tajul-Arus ada tersebut,
“AlMaula; al-Qaribu. Artinya mauta itu ialah orang yang terkarib kepadamu. Sebagai anak paman (Ibnul Am) dan sebagainya."
Dari sinilah pangkalnya maka kita kerap kali bertemu kalimat wali.
Seorang perempuan dinikahkan oleh walinya, sebab itulah orang yang terkarib padanya. Sehingga kalau ayah sebagai wali utama tidak ada atau saudara laki-lakinya tidak ada pula, bolehlah paman-pamannya menggantikan tempat ayah dan saudara laki-lakinya itu.
Kepada Allah kita ucapkan, “Ya Maulana." Ya Allah kami. Sebab Allah amat dekat kepada kita.
Kepada guru kita pun mengucapkan, “Ya Maulana." Sebab guru pun dekat kepada jiwa kita. Dan “Ya Maulana" diucapkan juga sebagai kata kehormatan kepada orang-orang yang dihormati, kepada raja misalnya.
Seorang budak hamba sahaya yang dimerdekakan oleh tuannya, lalu menyangkutkan diri dengan tuannya itu disebut juga maula.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapat lagi perkataan mawaaliy, yang diberi arti khusus, yaitu ahli waris. Pendeknya segala harta ibu bapaknya yang meninggal dunia atau karib kerabat, yaitu anak, istri, suami, saudara, dan sebagainya sudah ada mawaaliy atau ahli waris yang akan menerimanya. Sudah ada ketentuan dalam hukum.
Pengertian mawaaliy sebagai ahli waris ini akan terdapat pula dengan sangat jelas pada permohonan Nabi Zakaria kepada Allah, yang tersebut di dalam surah 19, Maryam ayat 4 dan 5, di sana Nabi Zakaria mengeluh memohon kepada Allah agar dia diberi waaliy. Yaitu yang akan mewarisi dia dan mewarisi keluarga Ya'qub. Waaliy yang dimaksud di sini ialah anak kandung. Dan yang akan diwarisi oleh anak kandung itu ialah nubuwwat. Baik nubuwwat Zakaria maupun nubuwwat nabi-nabi yang terdahulu dari beliau dari keturunan Ya'qub. Kalau Allah tidak memberinya putra karena istrinya pun mandul, Nabi Zakaria takut akan nasib mawaaliy-mawaaliy yang lain, keluarga bertali darah yang menjadi pengikut beliau di belakang tidak ada lagi yang akan memimpin mereka. Cobalah perhatikan tafsiran ayat ini kelak pada juz 16.
Pada ayat-ayat faraidh yang lalu telah diterangkan dan dijelaskan oleh Allah siapa-siapa keluarga yang paling karib itu. Terutama— selain dari ibu bapak—ialah anak dan ayah bunda, tidak ada yang mendinding, anak-anak pun tidak. Hilang anak timbullah cucu sebagai penggantinya. Hilang ayah terlebih dahulu, maka kalau kakek masih hidup, kakek itu pun dapat mengantikan tempat ayah. Saudara terdinding oleh anak. Kemudian itu terdapat pula ‘Ashabah, yaitu penerima sisa sesudah yang berhak didahulukan. Kemudian dijelaskan pula bahwa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Kemudian disebut lagi, “Dan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu."
Abu Muslim al-Asbahani menafsirkan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu ialah istri, kalau yang meninggal si suami. Dan suami, kalau yang meninggal itu si istri. Sebab yang menghubungkan dua suami istri—yang dahulu hanya sama-sama orang lain—ialah akad nikah, ijab dan qabul di antara wali si perempuan dengan mempelai laki-laki. Secara simbolis dilakukan orang pegang-berpegangan tangan di antara ke-duanya, kadang-kadang diadu empu tangan sesama empu tangan ketika berijab qabul, untuk memperkuat arti aqad. Setelah wali mengucapkan ijabnya menikahkan anak perempuannya dengan si calon menantu, si menantu pun dengan segera mengucapkan qabulnya. Sejak itu terikatlah di antara dua orang yang berlainan jenis, berpadu mendirikan rumah tangga dan menyebarkan keturunan.
Tetapi ada pula tafsiran lain, yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa yang dimaksud dengan ikatan tangan kamu ialah perjanjian dan sumpah setia di antara dua orang sahabat yang selalu terjadi di zaman jahiliyyah. Mereka berjanji akan waris-mewarisi sehidup semati dengan ungkapan “darahku darah engkau", bela-membela, tuntut-menuntut balas. Meskipun setelah Islam perjanjian semacam itu tidak diperkenankan lagi sebab perjanjian sehidup semati, tuntut-menuntut bela hanya karena agama, namun sisa dari perjanjian yang dahulu itu kalau masih ada, hendaklah diteguhi. Menurut ath-Thabari, setelah kedua orang yang berjanji itu mendapati zaman Islam, bagi mereka janji waris-mewarisi itu masih berlaku juga. Sahabat setia yang berjanji itu mendapat pembagian waris juga seperenam.
Kalau kita tilik penafsiran dari “ulama-ulama" di zaman kita, terdapat juga pertikaian tengan tafsir “dan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu" ini. Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar se-jalan penafsirannya dengan Abu Muslim al-Asbahani, yaitu bahwa yang dimaksud ialah ikatan ijab qabul suami istri. Dengan demikian suami istri tidaklah termasuk dalam kata yang sebelumnya yaitu “dan keluarga-keluarga yang paling karib." Sebab yang mempertalikan mereka bukan darah, seperti ayah dengan anak atau saudara, melainkan akad nikah. Bahkan menurut setengah ulama fiqih, meskipun telah bersuami istri, namun bersentuh kulit mereka ketika berwudhu, batal juga wudhu itu sebab yang mempertalikan mereka hanyalah akad nikah.
Tetapi Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta'wil berpendapat dengan mengemukakan beberapa riwayat bahwa yang dimaksud dengan “terikat dengan tangan kanan kamu" itu ialah janji sumpah setia zaman jahiliyyah itu tadi, yang tetap dihormati setelah datang Islam sehingga dua kawan yang telah berjanji teguh setia, dikuatkan dengan sumpah itu, menurut ayat ini, tetap berwaris-warisan, yang kalau salah satu mati, maka yang tinggal berhak menerima warisannya seperenam.
Apatah lagi setelah kaum Muhajirin pindah ke Madinah, mereka itu telah dipersaudarakan dengan resmi oleh Rasulullah, lalu timbul pula ikatan kekeluargaan, waris-mewarisi. Sebab si Muhajirin dengan pindahnya ke Madinah telah mendapat keluarga baru, dan putus kekeluargaannya dengan keluarganya yang masih musyrik yang tinggal di Mekah.
Berkata Ibnu Abbas, “Dahulu seorang Muhajir berwaris dengan seorang Anshar dan putus dengan keluarga sendiri. Tetapi kemudian, setelah semua menerima Islam, peraturan ini telah dihapuskan (mansukhJ"
Bagi kita yang datang kemudian ini, setelah menyatakan hormat kepada hasil penyelidikan Syekh Jamaluddin al-Qasimi yang mendalam itu, kita lebih condong kepada penafsiran
Sayyid Rasyid Ridha atau penafsiran Abu Muslim tadi yang diambil langsung dari pengaruh bahasa dan urutan dari “ibu bapak" sampai kepada “keluarga-keluarga yang karib" sampai kepada “yang terikat dengan akad nikah" itu. Apatah lagi dalam ayat-ayat faraidh yang telah terdahulu sudah jelas uraiannya.
Maka berfirmanlah Allah pada ayat, “Lantaran itu berikanlah kepada mereka bagian mereka." Artinya jalankanlah pembagian tarikah si mati menurut yang ditentukan Allah kepada waris yang berhak menerimanya, ja-ngan sampai ada yang dirugikan atau dicurangi karena tamak dan loba, terutama terhadap anak yatim. Bersabdalah Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas,
“Temukanlah faraidh itu kepada ahlinya. Maka yang ketinggalan berikanlah kepada laki-laki yang terutama disebutkan. “(HR Bukhari dan Muslim)
Artinya bagi-bagikanlah harta waris itu kepada mereka yang telah disebutkan Allah dalam ayat-ayatfaraidh itu. Sisanya serahkanlah kepada ‘ashabah. Jangan dilupakan pembagian pengobat hati kepada keluarga dekat yang tidak termasuk dalam daftar yang berhak menerima, seperti saudara seketika dia terdinding oleh anak, atau anak yatim, atau orang miskin. Berilah kepada mereka ala kadarnya. Sebagai penutup, Allah memberikan suatu peringatan yang amat halus, tetapi menimbulkan ingatan keras bagi orang yang beriman,
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Menyaksikan."
Harta benda yang diterima sebagai waris adalah sebagai suatu rezeki yang datang tertumpuk dengan tiba-tiba. Rezeki yang datang dengan tidak dicari.
Seperti yang pernah kita katakan di atas, hanya beberapa hari saja orang-orang yang kematian itu bersedih hati. Setelah berlalu beberapa hari atau beberapa bulan, banyaklah kata-kata, bisik, desus, dan syak wasangka. Sehingga orang-orang yang lemah iman, meskipun telah tahu ketentuan Allah, dalam soal harta ini mudah saja berlaku curang.
Misalnya saudara si mayit yang tidak mendapat bagian kalau si mati meninggalkan anak, bisa diperdayakan oleh setan buat menggunting dalam lipatan terhadap anak yatim yang masih kecil-kecil. Padahal anak saudaranya. Dan orang yang diperdayakan oleh setan mudah saja “menggunting dalam lipatan!"
Maka datanglah peringatan pada akhir ayat ini bahwasanya Allah selalu menyaksikan segala sesuatu dari gerak-gerik semua hamba-Nya. Lantaran itu sudahlah menjadi sunnah dari Rasulullah ﷺ, apabila seseorang me-ninggal dunia, hendaklah segera tarikah (peninggalannya) itu dibagi menurut yang ditentukan oleh Al-Qur'an. Jangan sampai dilamakan dan sebaiknya pembagian faraidh itu disaksikan oleh orang di luar keluarga, jangan sampai sebagaimana pernah kejadian. Seorang meninggal dunia, meninggalkan kedua ibu bapaknya, istrinya, dan anak-anaknya. Sudah terang bahwa kedua ibu bapaknya itu mendapat masing-masing seperenam, istrinya mendapat seperdelapan karena dia beranak, dan anak-anaknya mendapat ‘ashabah. Memang harta benda ini telah dibagi. Yang membaginya ialah saudara-saudara laki-laki dari yang meninggal yang mereka itu telah terdinding oleh anak-anaknya. Maka ditaksirkannyalah seluruh harta benda itu dengan harga sangat murah, di bawah harga pasar, dengan tidak disaksikan oleh orang lain. Lalu semuanya itu dibelinya sendiri dengan keputusan sendiri pula. Semuanya, baik ibu bapak yang telah tua, atau istri si mati yang lemah, maupun anak-anak yatim yang masih kecil-kecil mendapat bagian seperti yang tertulis di dalam Al-Qur'an, tetapi
penilaian harganya sangat murah dan yang sebenarnya beroleh keuntungan di dalam hal ini ialah si saudara-saudara laki-laki yang telah terdinding itu tadi.
Dan Allah menyaksikan semuanya ini.