Ayat
Terjemahan Per Kata
وَكَتَبۡنَا
dan Kami telah menetapkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
فِيهَآ
di dalamnya
أَنَّ
bahwasanya
ٱلنَّفۡسَ
jiwa
بِٱلنَّفۡسِ
dengan jiwa
وَٱلۡعَيۡنَ
dan mata
بِٱلۡعَيۡنِ
dengan mata
وَٱلۡأَنفَ
dan hidung
بِٱلۡأَنفِ
dengan hidung
وَٱلۡأُذُنَ
dan telinga
بِٱلۡأُذُنِ
dengan telinga
وَٱلسِّنَّ
dan gigi
بِٱلسِّنِّ
dengan gigi
وَٱلۡجُرُوحَ
dan luka-luka
قِصَاصٞۚ
balasan (qisas)
فَمَن
maka barang siapa
تَصَدَّقَ
bersedekah/melepaskan hak
بِهِۦ
dengannya (qisas)
فَهُوَ
maka dia
كَفَّارَةٞ
penembus (dosa)
لَّهُۥۚ
baginya
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَحۡكُم
memutuskan perkara
بِمَآ
dengan/menurut apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang dzalim
وَكَتَبۡنَا
dan Kami telah menetapkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
فِيهَآ
di dalamnya
أَنَّ
bahwasanya
ٱلنَّفۡسَ
jiwa
بِٱلنَّفۡسِ
dengan jiwa
وَٱلۡعَيۡنَ
dan mata
بِٱلۡعَيۡنِ
dengan mata
وَٱلۡأَنفَ
dan hidung
بِٱلۡأَنفِ
dengan hidung
وَٱلۡأُذُنَ
dan telinga
بِٱلۡأُذُنِ
dengan telinga
وَٱلسِّنَّ
dan gigi
بِٱلسِّنِّ
dengan gigi
وَٱلۡجُرُوحَ
dan luka-luka
قِصَاصٞۚ
balasan (qisas)
فَمَن
maka barang siapa
تَصَدَّقَ
bersedekah/melepaskan hak
بِهِۦ
dengannya (qisas)
فَهُوَ
maka dia
كَفَّارَةٞ
penembus (dosa)
لَّهُۥۚ
baginya
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَحۡكُم
memutuskan perkara
بِمَآ
dengan/menurut apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang dzalim
Terjemahan
Kami telah menetapkan bagi mereka (Bani Israil) di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Siapa yang melepaskan (hak kisasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Tafsir
(Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka d dalamnya) maksudnya di dalam Taurat (bahwa jiwa) dibunuh (karena jiwa) yang dibunuhnya (mata) dicongkel (karena mata, hidung) dipancung (karena hidung, telinga) dipotong (karena telinga, gigi) dicabut (karena gigi) menurut satu qiraat dengan marfu'nya keempat anggota tubuh tersebut (dan luka-luka pun) manshub atau marfu' (berlaku kisas) artinya dilaksanakan padanya hukum balas jika mungkin; seperti tangan, kaki, kemaluan dan sebagainya. Hukuman ini walaupun diwajibkan atas mereka tetapi ditaqrirkan atau diakui tetap berlaku dalam syariat kita. (Siapa menyedekahkannya) maksudnya menguasai dirinya dengan melepas hak kisas itu (maka itu menjadi penebus dosanya) atas kesalahannya (dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah) seperti kisas dan lain-lain (merekalah orang-orang yang aniaya).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 45
Dan Kami telah tetapkan untuk mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Ayat ini pun termasuk cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan sengaja dan menentangnya.
Mereka menghukum qisas seorang Nadir karena membunuh seorang Qurazi, tetapi mereka tidak meng-qisas seorang Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat. Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan dalam kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan (orang yang sudah menikah), lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperselisihkan di kalangan mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan muka, dan dipermalukan.
Karena itulah disebutkan dalam ayat sebelumnya melalui firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Karena mereka mengingkari hukum Allah dengan sengaja, menentang, dan telah direncanakan sebelumnya. Sedangkan dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya: “Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45) Karena mereka tidak membela orang yang teraniaya dari orang yang zalim dalam hal yang diperintahkan oleh Allah agar ia berlaku adil dan menyamakan hak di antara semuanya. Namun ternyata mereka menentang perintah Allah ini dan berbuat zalim serta sebagian dari mereka berbuat sewenang-wenang atas sebagian yang lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ali ibnu Yazid (saudara Yunus ibnu Yazid), dari Az-Zuhri, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ membacanya dengan bacaan berikut: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, sedangkan mata (dibalas) dengan mata.” (Al-Maidah: 45) Yakni dengan me-nasab-kan lafal an-nafs dan me-rafa'-kan lafal al-ain.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abdullah ibnul Mubarak. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Imam Bukhari mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid. Banyak kalangan ulama ahli usul dan ahli ilmu fiqih yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita juga apabila diulangi kisahnya dan tidak di-mansukh, seperti pendapat yang terkenal dari jumhur ulama; juga seperti apa yang diriwayatkan oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah (kejahatan) menurut semua imam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab) dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi selainnya.
Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam Syafi'i dan sebagian besar muridnya. Ia menguatkan pendapat yang mengatakan sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).
Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam kitab Asy-Syamil adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang ditunjukkan oleh maknanya. Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini.
Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain disebutkan di dalamdi dalamnya bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita. Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) darahnya. Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Telah diriwayatkan dari Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya, terkecuali jika wali si terbunuh membayar separuh diat kepada wali si pembunuh; karena diat seorang wanita adalah separuh diat lelaki."
Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya.
Di dalam hadits lain disebutkan: Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, ‘Atha’, Usman Al-Basti, dan suatu riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."
Imam Abu Hanifah rahimahullah berhujah (beralasan) melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi, dan seorang yang merdeka dibunuh karena membunuh seorang budak.
Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut dengan Abu Hanifah. Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Adapun sehubungan dengan masalah budak, maka banyak atsar yang beraneka ragam dari ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh seorang budak. Banyak hadits yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi predikatnya tidak shahih.
Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi) kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis (mengkhususkan) makna ayat yang mulia ini. Apa yang dikatakan oleh Ibnus Sabbagh, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh hadits yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' bibi Anas pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi' meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak. Kemudian kaum Ar-Rabi’ datang kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Hukum qisas." Lalu saudara lelaki Ar-Rabi' yaitu Anas ibnun Nadr berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya, "Wahai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan hukum qisasnya.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.” Hadits diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Shahihain. Muhammad ibnu Abdullah ibnul Musanna Al-Ansari telah meriwayatkannya di dalam bagian yang terkenal dari kitab hadisnya melalui Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa bibi Ar-Rabi' binti Nadr pernah menampar muka seorang budak perempuan sehingga merontokkan gigi serinya. Lalu keluarga Ar-Rabi menawarkan diat kepada keluarga si budak, tetapi mereka menolak.
Kemudian keluarga Ar-Rabi mengajukan pembayaran diat dan mohon maaf tetapi mereka menolak pula. Lalu keluarga si budak datang kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau ﷺ memerintahkan kepada mereka untuk melakukan hukum qisas. Kemudian datanglah saudara lelaki Ar-Rabi', yaitu Anas ibnun Nadr, yang berkata memohon grasi kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri Ar-Rabi'? Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya memohon janganlah engkau merontokkan gigi serinya." Maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Anas, ketentuan Kitabullah (Al-Qur'an) adalah hukum qisas.” Tetapi akhirnya kaum si budak perempuan itu memaafkannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, niscaya Allah memperkenankannya.” Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafal yang serupa.
Imam Abu Dawud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak pidana itu datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah ﷺ tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadapnya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-An-Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafal yang sama.
Sanad hadits ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang tsiqah. Tetapi hadits ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya pelaku tindak pidana adalah orang yang usianya belum mencapai balig, maka ia tidak terkena hukum qisas. Dan barangkali Nabi ﷺ sendirilah yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum miskin untuk diberikan kepada budak kaum hartawan, atau barangkali Nabi ﷺ sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum miskin.
Firman Allah ﷻ: “Dan luka-luka (pun) ada qisas-nya.” (Al-Maidah: 45)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain, hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi sebagai hukum qisas.
Dalam ketentuan hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka baik yang laki-laki maupun yang wanita disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun di bawahnya. Para budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa atau di bawahnya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Pelukaan ada kalanya terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi. Adapun jika pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.
Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi. Imam Syafii mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas.
Hal yang sama telah dikatakan oleh ‘Atha’, Asy-Sya'bi, Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan Ats-Tsauri, Al-Al-Laits ibnu Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad. Imam Abu Hanifah rahimahullah berpedoman pada hadits Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang kecuali mengenai gigi.
Tetapi hadits Ar-Rabi' tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi mematahkan gigi seri seorang budak wanita. Padahal gigi dapat tertanggalkan tanpa mengalami patah; maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi.
Disebutkan bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada bagian lengannya, bukan pada pergelangannya, hingga lengannya patah. Kemudian lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi ﷺ bersabda, "Terimalah diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah ﷺ tidak memutuskan hukum qisas baginya. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, hadits ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai dha’if, hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun seorang Badui yang berpredikat dha’if, tetapi ayahnya yaitu Jariyah ibnu Zafar disebutkan berpredikat sahabat.
Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh); karena jika dia melakukan hukum qisas (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya. Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya sebagai berikut: .
Bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Berikanlah hak qisas kepadaku." Nabi ﷺ menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas." Maka Nabi ﷺ memberikan hak qisas kepadanya. Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah, kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qisas) kepincanganmu.” Kemudian Rasulullah ﷺ melarang melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Seandainya orang yang dilukai melakukan hukum qisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang melakukan hukum qisas. Amir, Asy-Sya'bi, ‘Atha’,Tawus, Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila, Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan bahwa wajib diat yang dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas.
Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukum qisas diat yang seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari harta benda miliknya.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Al-Maidah: 45)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya.” (Al-Maidah: 45) Bahwa barang siapa yang memaafkan pelaku tindak pidana dan melepaskannya, maka perbuatan ini merupakan penebus dosa bagi pelaku tindak pidana dan merupakan pahala bagi si korban.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang melepaskan hak qisasnya, hal itu merupakan kifarat bagi si pelaku tindak pidana pelukaan dan merupakan pahala bagi yang dilukai di sisi Allah ﷻ. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah meriwayatkan hal yang serupa dari Khaisamah ibnu Abdur Rahman, Mujahid, Ibrahim dalam salah satu pendapatnya, Amir Asy-Sya'bi, dan Jabir Ibnu Zaid.
Jalur yang kedua diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zazan, telah menceritakan kepada kami Harami (yakni Ibnu Imarah), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Imarah (yakni Ibnu Hafsah), dari seorang lelaki, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Al-Maidah: 45) Yakni bagi orang yang dilukai.
Telah diriwayatkan pula hal yang serupa, dari Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakhai dalam salah satu pendapatnya, dan Abu Ishaq Al-Hamdani. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal yang serupa dari Amir Asy-Sya'bi dan Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qais (yakni Ibnu Muslim) yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Tariq ibnu Syihab menceritakan dari Al-Haisam ibnul Uryan An-Nakha'i yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr berada di rumah Mu'awiyah mengenakan pakaian merah, mirip dengan mawali (budak yang telah dimerdekakan).
Lalu ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang makna firman-Nya: “Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Al-Maidah: 45); Abdullah ibnu Amr menjawab bahwa digugurkan (dihapuskan) darinya sebagian dari dosa-dosanya yang sesuai dengan pemberian maafnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Qais ibnu Muslim; telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan Syu'bah.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar Aban ibnu Taghlab menceritakan hadits berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari seorang lelaki dari kalangan Anshar, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: “Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Al-Maidah: 45); Nabi ﷺ bersabda: “Dia adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, maka dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya: jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya; dan jika seluruh diat, maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.”
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abus Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mendorong seorang lelaki Anshar hingga gigi serinya ada yang patah. Maka lelaki Anshar itu melaporkannya kepada Mu'awiyah. Ketika lelaki Anshar itu terus mendesak Mu'awiyah, maka Mu'awiyah berkata, "Itu urusanmu dengan temanmu." Saat itu Abu Darda ada bersama Mu'awiyah, maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang muslim dilukai pada salah satu dari anggota tubuhnya kemudian dia memaafkannya melainkan Allah meninggikan satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya sebab lukanya itu.” Lelaki Anshar itu bertanya, "Apakah kamu benar-benar mendengar dari Rasulullah ﷺ?" Abu Darda menjawab, "Aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan disimpan di dalam hatiku." Maka lelaki Anshar itu memaafkan lelaki Quraisy yang melukainya. Kemudian Mu'awiyah berkata, "Berikanlah kepadanya sejumlah harta."
Ibnu Jarir pun telah meriwayatkannya, begitu pula Imam Ahmad. Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abu Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mematahkan gigi seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian Mu'awiyah membantu lelaki Quraisy, lalu ia mengatakan, "Kami mencoba untuk membujuknya agar mau memberi maaf." Tetapi lelaki Anshar itu tetap bersikeras menuntut hukum qisas, maka Mu'awiyah berkata, "Terserah padamu." Saat itu Abu Darda duduk di dalam majelis.
Maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa musibah pada salah satu dari bagian tubuhnya, lalu ia melepaskan hak qisasnya, melainkan Allah mengangkat satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya karena hal itu.” Maka lelaki Anshar berkata, "Sesungguhnya aku telah memberi maaf."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi melalui hadits Ibnul Mubarak, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Waqi'; keduanya meriwayatkan hadits ini dari Yunus ibnu Abu Ishaq dengan lafal yang sama.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Bila ditinjau dari segi ini, hadits ini berpredikat gharib. Menurutnya ia belum pernah mengetahui bahwa Abus Safar pernah mendengar dari Abu Darda.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Imran Ibnu Zabyan, dari Addi ibnu Sabit, bahwa di masa Mu'awiyah pernah terjadi seorang lelaki melukai mulut lelaki lain.
Kemudian ia diberi diat, tetapi ia menolak dan bersikeras menginginkan qisas. Lalu ia diberi dua kali lipat diat, tetapi tetap menolak; dan diberi tiga kali diat pun tetap menolak. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ menceritakan suatu hadits bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang melepaskan hak (qisas) darahnya atau yang lebih kecil daripada itu, maka hal tersebut merupakan penghapus dosanya sejak hari ia dilahirkan sampai hari kematiannya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang lelaki dilukai pada tubuhnya sekali luka, lalu ia melepaskan hak qisasnya, melainkan Allah menghapuskan darinya dosa yang setimpal dengan apa yang disedekahkannya.”
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui Ali ibnu Hujr, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Dan Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Khaddasy, dari Hasyim, kedua-duanya dari Al-Mugirah dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Mujalid, dari Amir, dari Al-Muharrar ibnu Abu Hurairah, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan: “Barang siapa yang dilukai pada salah satu anggota badannya, lalu ia memaafkannya karena Allah, maka hal itu merupakan penghapus bagi dosa-dosanya.”
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45)
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan dari ‘Atha’ dan Tawus. Keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekufuran yang masih di bawah kafir, kezaliman yang masih di bawah zalim, serta kefasikan yang masih di bawah fasik.
Di antara hukum yang terdapat dalam Taurat adalah bahwa Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya, Taurat, hukuman yang sepadan, yaitu bahwa menghilangkan nyawa dibalas dengan nyawa, melukai mata dibalas dengan melukai mata, mencederai hidung dibalas dengan hidung, memotong telinga dibalas dengan telinga, merontokkan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisas-nya, yakni ada balasannya yang sama. Namun demikian, barang siapa melepaskan hak untuk melakukan qisasnya, maka sikap itu akan menjadi penebus dosa baginya. Sebaliknya barang siapa tidak memutuskan perkara yang terjadi dengan saudaranya menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah akan termasuk orang-orang yang zalim. Dan setelah masa para nabi penganut dan pelaksana isi Taurat berakhir, Kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Isa putra Maryam yang mendapat amanah untuk membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat dan mengajarkan serta melaksanakan ajaran-ajarannya. Dan, selain itu, Kami menurunkan pula Injil kepadanya sebagai penyempurna Taurat, yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan juga berfungsi untuk membenarkan Kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan Injil ini juga berisi ajaran sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu yang selalu menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Di dalam Taurat, telah ditetapkan bahwa nyawa harus dibayar dengan nyawa. Orang yang membunuh tidak dengan alasan yang benar dia harus dibunuh pula dengan tidak memandang siapa yang membunuh dan siapa yang dibunuh. (Keluaran xxi. 24-25: "harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak?"). Hukuman hampir serupa terdapat juga dalam Imamat xxiv. dan Ulangan xix.21.
Sekalipun penetapan dan ketentuan tersebut, diketahui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi, namun mereka tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap memandang adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah, dan golongan Bani Quraizah kedudukannya lebih rendah dibanding dengan kedudukan golongan Bani Nadir. Sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang Bani Nadir, maka dia harus dibunuh.
Hal ini dan semacamnya, yang merupakan pembangkangan dan penolakan terhadap bimbingan, petunjuk dan hukum-hukum Allah yang ada di dalam Kitab Taurat berjalan terus sampai datangnya agama Islam. Setelah itu Bani Quraizah mengadukan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat mereka, kepada Nabi Muhammad, oleh beliau diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A dan si B antara golongan Anu dan golongan Fulan, di dalam penerapan hukum. Hukum tidak memandang bulu, semua orang harus diperlakukan sama. Mendengar keputusan Rasulullah ﷺ ini, golongan Bani Nadir rnerasa diturunkan derajatnya karena telah dipersamakan dengan golongan Bani Quraizah, orang yang mereka anggap rendah. Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kembali bahwa di dalam Taurat telah digariskan suatu ketetapan bahwa jiwa harus dibayar dengan jiwa sama dengan hukum kisas yang berlaku dalam syariat Islam. Pembunuh yang telah akil balig bila ia membunuh sesama Islam dan sama-sama merdeka, maka pembunuh tersebut baik seorang maupun beberapa orang harus dikenakan hukuman bunuh. Kecuali bagi orang gila yang benar-benar rusak akalnya, orang yang sedang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia balig, bila mereka membunuh tidak dikenakan hukuman kisas sesuai dengan sabda Nabi saw:
"Qalam telah diangkat dari tiga macam orang (artinya mereka tidak diperlakukan sebagai orang-orang mukallaf) yaitu orang-orang gila yang benar-benar telah rusak akalnya, sampai ia sembuh, orang yang tidur, sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia balig." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dari al-hakim dan 'Umar bin al-Khattab).
Selanjutnya orang yang mencukil mata atau memotong hidung atau telinga atau mencabut gigi orang lain, maka dia wajib dikenakan hukuman kisas, ditindak sesuai dengan perbuatannya, sesuai dengan firman Allah:
"Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia yang seimbang dengan serangannya terhadapmu." (al-Baqarah/2:194).
Begitupun melukai orang ada kisasnya. Orang yang melukai orang lain, dia pun harus dilukai pula sama dengan luka yang diperbuatnya baik mengenai lebar maupun dalamnya, sebagaimana firman Allah:
"Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." (an-Nahl/16:126).
Barang siapa melepaskan hak kisasnya dengan penuh kerelaan, dan memaafkan si pelaku sehingga tidak jadi dikisas, itu menjadi penebus dosa bagi yang memaafkan. Orang yang dibebaskan dari hukum kisas karena dimaafkan oleh pihak keluarga orang yang terbunuh, tidaklah berarti dia telah bebas dari hukuman seluruhnya, tetapi dia masih dikenakan hukuman diat (ganti rugi), sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
Dari Abu 'Amr, Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang Siapa membunuh dengan sengaja, maka putusannya diserahkan kepada ahli waris orang yang dibunuh. Kalau mereka mau (mengkisas) mereka dapat membunuhnya, dan apabila mereka mau (membebaskannya dari kisas) maka mereka berhak menerima diat (ganti rugi)." (Riwayat at-Tirmidzi).
Barang siapa tidak menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu kisas yang didasarkan atas keadilan, melainkan mempergunakan hukum sekehendak hatinya, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, karena melanggar hukum Allah dan menganggap pihak yang dibunuh atau dianiaya itu adalah golongan rendah, tidak sederajat dengan pihak yang membunuh atau yang menganiaya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Meskipun orang Yahudi itu meminta Nabi ﷺ menjadi hakim dalam perkara mereka, karena sengaja hendak mengelakkan hukum Taurat yang mereka merasa berat menjalankannya, karena terlalu banyak makan harta haram, atau uang suap, namun Taurat itu sendiri pada asalnya adalah kitab yang benar-benar turun dari Allah, sama dengan Al-Qur'an.
Ayat 44
“Sesungguhnya telah Kami turunkan Taurat."
Penyaksian dari Allah sendiri bahwa Allah memang pernah menurunkan Taurat, dan berlaku Taurat itu beratus tahun lamanya, karena memang ada yang asli dari catatan Musa sendiri. Tetapi sayang terbakar atau hilang ketika Bani Israil dijajah oleh bangsa Babil dan dijadikan tawanan, sebagaimana dahulu telah kita terangkan. “Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya." Petunjuk di dalam hidup yang diridhai oleh Allah dan mengandung cahaya Tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa, membangkitkan dan menimbulkan Bani Israil dari dalam lembah perbudakan Fir'aun dan dari mempersekutukan yang lain dengan Allah.
“Menghukum dengan dia nabi-nabi yang menyerah diri (kepada Allah) terhadap orang-orang Yahudi." Yaitu setelah Musa meninggal. Maka nabi-nabi yang datang di belakang beliau, sejak Yusyak sampai Dawud dan Sulaiman, Zakariya dan Yahya, sampai kepada Isa al-Masih, semuanya adalah menjalankan hukum Taurat yang dikhususkan kepada orang Yahudi itu. Bahkan Nabi Isa al-Masih sendiri pernah mengatakan bahwa beliau adalah diutus untuk menjemput anak domba Israil yang hilang.
Dan satu noktah (titik) pun Taurat tidak akan beliau ubah. Dan nabi-nabi itu semuanya adalah bersikap menyerah diri kepada Allah, ialah Islam. Sebab semua nabi-nabi dan Rasul itu adalah putra keturunan Ibrahim belaka, yang menegakkan penyerahan diri kepada Allah.
Apabila kita pelajari kitab-kitab Perjanjian Lama catatan dari nabi-nabi Bani Israil, sejak Musa dan Harun, Yusyak sampai kepada Yesyaya, Armiya, Dariel, Habakuk, Ezram, Nehemiya, Dawud dan Sulaiman sampai ke-pada Ayub, Yehezekiel, Hosea, Nabi Yoel, Nabi Yunus, Nabi Amos, Nabi Mikha, Nabi Nahun, Zagarya, Nabi Rajai sampai kepada Nabi Zakariya dan putranya Yahya, sampai kepada Nabi Maleakhi, Apabila kita selidiki kitab-kitab itu dengan saksama, tidaklah kita bertemu ajaran pokok mereka, selain daripada menyembah kepada Allah Yang Maha Esa dan berserah diri kepada-Nya.
Bahkan Nabi Isa al-Masih (Yesus Kristus) yang didakwakan oleh Kristen sebagai Allah sejati dan manusia sejati, dan didakwakan juga anak Allah bila kita selidiki firman-firman yang keluar dari mulut beliau sendiri di dalam kitab -kitab yang dinamai Injil Matius, Markus, dan Lukas, tidaklah pernah beliau mendakwakan dirinya jadi Allah. Kalau dia pernah mengatakan dirinya anak Allah, maka kita pun telah paham bahwa arti Bapa di sini adalah kasih sayang dan perlindungan. Sebab itu bukan Isa al-Masih saja anak Allah. Banyak nabi-nabi lain disebut anak Allah, sebagai yang telah kita tuturkan ketika menafsirkan ayat 18 di atas, seketika menyatakan kesalahan Yahudi dan Nasrani yang mengakui diri mereka anak Allah.
Ajaran Isa yang keluar dari mulutnya sendiri adalah ajaran tauhid, ajaran menyerah diri kepada Allah Yang Maha Esa.
Ketika setan mencoba memperdayakan dan merayu Nabi Isa; lalu kata Yesus kepadanya, “Nyahlah engkau dari sini, hai Iblis. Karena telah tersurah. Hendaklah engkau menyembah Allah Tuhanmu, dan beribadah hanya kepada-Nya saja." (Matius 4:10)
Maka jawab Yesus serta kepadanya, “Adalah tersurah; Bahwa wajiblah engkau sujud menyembah Allah Tuhanmu, dan beribadah hanya kepada-Nya saja." (Lukas 4: 8)
Bahasa'yang mana pun kita pakai, namun di sini telah tampak bahwa Isa mengakui bahwa yang patut disembah hanya Allah! Bukan Yesus!
Jangankan dikatakan Tuhan, sedangkan dikatakan baik saja Nabi Isa keberatan, “Maka tiba-tiba datanglah seorang kepadanya, serta berkata, “Ya Guru, kebajikan apakah patut hamba perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?" Maka jawab Yesus kepadanya, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepadaku darihal kebajikan?" Ada satu yang baik. Tetapi jika engkau mau masuk kepada hidup, turutlah hukum-hukum itu." (Matius 19:16; 18)
“Tatkala Yesus keluar di jalan, berlari-larilah seorang datang kepadanya serta berlutut, lalu bertanya kepadanya, “Ya Guru yang baik, apakah yang patut hamba perbuat, supaya hamba menjadi waris hidup yang kekal?" Maka jawab Yesus kepadanya, “Apakah sebabnya engkau katakan aku ini baik? Seorang pun tiada yang baik, hanya satu, yaitu Allah.'1 (Markus 10-17: 18) Demikian juga maksud dari Lukas 10-18; 20.
Itulah perkataan-perkataan Isa al-Masih sendiri yang dicatat oleh beberapa pengarang-pengarang Injil Matius, Markus, dan Lukas. Bacalah Injil yang keempat, yaitu Yahya (Yohannes) memasukkan pikirannya sendiri, lalu dikatakan wahyu. Dalam ayat pertama dari karangannya fasal kesatu, Yahya menulis, “Maka pada awal pertama adalah Kalam, dan Kalam itu bersama-sama dengan Allah, dan Kalam itulah juga Allah."
Catatan-catatan Yahya yang dikatakan Injil itu, bahkan adanya lagi surah kirimannya dan catatannya yang bernama wahyu, inilah sumber kepercayaan Kristen yang sebenarnya, adapun yang merentangkan jalan kepada kepercayaan ini, yang terutama sekali di samping Yahya, adalah Paulus. Paulusiah yang memasukkan segala kepercayaan yang tidak berasal dari ajaran al-Masih ini. Apabila kita baca dengan kritis ketiga Injil pertama, (Ma-tius, Markus, dan Lukas) lalu dibandingkan dengan apa yang ditulis oleh Yahya, kita akan
mendapati perbedaan yang seperti siang dan malam atau jalan sudah bersimpang jauh sekali, yang satu sudah ke Timur dan yang satu sudah ke Barat, Terutama lagi setelah datang keterangan-keterangan dari surah-surah kiriman Paulus.
Jelaslah, kalau diselidiki dengan saksama bahwa kepercayaan Trinitas adalah disusun kemudian. Kecintaan kepada diri beliau, kekaguman atas mukjizat yang dilahirkan Allah atas dirinya, menyebabkan dicarilah berbagai alasan dan dalil guna menetapkan bahwa Yesus Kristus ialah Allah.
Di samping itu adalah perkisaran-per-kisaran pemakaian bahasa setelah Injil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, sedang Injil yang asli tidak ada lagi, untuk pembanding benar atau tidaknya terjemah. Setiap pergantian masa, kekuasaan pemakaian bahasa berubah pula, sehingga arti yang pertama sudah berbeda pahamnya, dengan arti yang kedua. Misalnya penafsiran dan pengertian kalimat Sayyidul Masih di dalam bahasa Arab. Pada mulanya Sayyid itu arti dalam bahasa Indonesia ialah Tuan.
Maka setelah diputuskan menjadi kepercayaan bahwa Nabi Isa itu adalah Tuhan, maka kalimat Sayyid diterjemahkan jadi Tuhan.
Kalimat Rabbi pun kadang-kadang berarti yang dipertuan. Dan Rabbi juga berarti tuan rumah, seorang yang menguasai rumah tangga, dan keluarga.
Maka kalau telah ditetapkan tuan yang empunya rumah itu jadi Tuhan, tentu Rabbi diartikan Tuhan pula. Lantaran itu, terpisahlah umat Kristen dari garis tauhid yang ditinggalkan Isa al-Masih, lalu menjadi Trinitas
kemasukkan daripada agama Mesir Kuno atau Hindu Kuno.
Namun kita orang Islam percaya dengan sungguh hati, bahwa Nabi kita Isa al-Masih alaihissalam adalah salah seorang Rasul Allah yang mengajarkan tauhid, mengajak umat manusia menyerahkan diri kepada Allah, yang berarti Islam.
“Dan juga pendeta-pendeta dan orang-orang alim, dengan apa yang telah diamanahi mereka dari Kitab Allah."
Kita artikan kalimat Rabbani, dengan pendeta-pendeta. Arti yang asal dari Rabbani ialah orang-orang yang telah mendalam rasa ketuhanannya, telah menyediakan diri untuk Allah semata-mata. Kalimat pendeta berasal dari kata Sanskriet; pandit, yaitu orang-orang yang telah mendalam rasa ketuhanannya pula, lalu diambil ke dalam bahasa kita. Orang Melayu di Semenanjung memakainya dalam sebutan Pandita, yang berarti orang yang amat ahli, sebab itu mereka memberikan gelar Pandita Bahasa Melayu kepada Za'ba Pengarang Melayu yang terkenal. Di Indonesia kita baca dengan sebutan pendeta, yang dipakai oleh kalangan Kristen untuk gelar pemimpin agama mereka. Padahal dalam bahasa Melayu lama di Indonesia, orang alim Islam pun digelari pandits. Di dalam kitab Syamsul Hidayah, karangan Ayah dan Guru penulis, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah, disebutkan ulama-utama Islam yang besar-besar itu Alim Pandita.
Ahbar, kita artikan orang alim. Maka pendeta-pendeta dan orang-orang alim Bani Israil pun meneruskan memegang amanah yang diamanahkan rasul-rasul, bilamana rasul-rasul dan nabi-nabi itu tidak ada lagi, supaya mereka pun meneruskan pimpinan terhadap Bani Israil menurut hukum Taurat, jangan diubah-ubah. “Dan adalah mereka itu menjadi saksi a tasnya." Yaitu bahwa orang tua-tua Bani Israil yang hidup di zaman Rasulullah ﷺ menjadi saksi atas kebenaran hal itu, tidak dapat
Apabila kegemaran tuan rumah menabuh kecapi. Maka kesukaan ahli rumah, semuanya ialah menari.
mereka memungkirinya, karena memang demikianlah halnya. “Maka janganlah kamu takuti manusia, tetapi takutilah Aku." Nasihat kepada orang-orang Yahudi itu supaya mereka jangan takut kepada ancaman manusia dari kaum mereka sendiri, lalu berusaha menyembunyikan kebenaran Taurat. Tetapi takutlah kepada Allah, yang telah menurunkan Taurat itu untuk petunjuk dan cahaya bagi kamu. “Dan janganlah kau jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit." Karena mengharapkan keuntungan harta benda, lalu kamu gelapkan kebenaran, kamu perjualbelikan hukum Allah, kamu sembunyikan hukum yang sebenarnya. Meskipun berjuta-juta uang yang kamu terima untuk itu, namun dia masih sedikit harganya jika dibandingkan dengan kebenaran yang kamu khianati.
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka adalah mereka itu orang-orang yang kafir."
Artinya, jika selama ini kamu mengaku memegang teguh setia kepada Taurat, hendaklah hukum yang tersebut di dalam Taurat itu kamu jalankan. Rasulullah ﷺ sendiri di waktu diminta oleh mereka menjadi hakim, telah mengajak mereka supaya kembali kepada hukum Taurat. Maka pendakwaan mereka teguh setia memegang Taurat, tetapi tidak mau menjalankan hukumnya, berarti mereka kafir juga, yaitu menolak dan tidak percaya juga.
Di dalam Taurat itu pun memang ada peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada Bani Israil,
Ayat 45
“Dan telah Kami wajibkan atas mereka di dalamnya, bahwasanya jiwa (balas) dengan jiwa"
Yaitu kalau seseorang membunuh satu jiwa, hendaklah digantikan dengan jiwa si pembunuh itu pula, sebagaimana yang dibayangkan pada ayat 32 di atas. “Mata dengan mata, hidung dengan hidung, gigi dengan gigi, dan luka-luka ada qisasnya. Maka barangsiapa yang mendermakan hak balas itu, maka adalah itu penebus baginya." Maka tersebutlah di dalam Taurat itu bahwa siapa yang melenyapkan jiwa orang, harus diganti dengan jiwanya pula, melenyapkan mata orang, dilenyapkan pula matanya, demikian juga hidung dan gigi. Dan kalau ada perdamaian, sehingga keluarga si terbunuh atau yang kehilangan mata, hidung dan gigi itu mendermakan hak balas, artinya memberi maaf, maka kemaafan itu sudahlah sebagai kaffarat untuk menghapuskan kesalahannya;
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang aniaya."
Zalim dan aniayatah orang yang tidak menjelaskan hukum yang telah ditentukan Allah itu. Zalimlah orang yang mengaku dirinya berpedoman kepada Taurat, padahal hukum Taurat tidak dijalankan.
Dalam Taurat yang beredar sekarang pun memang bertemu tertulis hukum-hukum itu, yang tersebut di dalam Kitab Keluaran Fasal 21, ayat 23-35.
20. Tetapi jikalau ada bahaya kematian sertanya, maka tak akan jangan jiwa akan ganti jiwa.
21. Mata akan ganti mata, gigi akan ganti gigi, tangan akan ganti tangan, kaki akan ganti kaki.
22. Ketunuan akan ganti ketunuan, luka akan ganti luka, bincutakan ganti bincut.
Di dalam kitab Imamat Orang Lewi Fasal 24 ayat 17 tersebut pula, “Maka barangsiapa yang telah memalu orang sampai ia mati, tak akan jangan ia pun akan mati dibunuh."
Ayat 46
“Dan telah Kami iringi atas jejak-jejak mereka dengan Isa anak Maryam."
Artinya, bahwasanya bila diutus kemudiannya Isa al-Masih, lain tidak adalah menuruti jejak rasul-rasul Bani Israil yang dahulu juga, dan hukum-hukum Taurat juga beliau pertahankan, “Sebagai menggenapi bagi yang terlebih dahulu daripadanya dari Taurat, dan telah Kami berikan kepadanya Injil."
Dalam hukum tidaklah al-Masih datang mengubah Taurat, melainkan menggenapkan atau menyempurnakan. Beliau sendiri pun pernah berkata, bahwa satu noktah pun isi Taurat itu tidak akan berubah. Maka beliau pun diberi wahyu kitab Injil. “Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya dan sebagai menggenapi apa yang terdahulu daripadanya dari Taurat." Sebagaimana Taurat, Injil itu pun berisi petunjuk kepada jalan selamat, cahaya yang akan mengeluarkan manusia dari gelap gulita kebodohan dan khurafat, kepada kebersihan tauhid; digenapkan lagi dengan pelajaran ruhani yang lebih mendalam, budi pekerti yang lebih mendalam, cinta kasih yang mesra sesama manusia, yang bekas-bekas pelajaran itu masih boleh juga kita dapati dalam Khutbah Gunung beliau yang terkenal itu. Karena dibuktikan dalam sejarah Bani Israil bahwa mereka sudah demikian tenggelam dalam urusan kebendaan, mendakwakan setia memegang isi Taurat, padahal hanya mempertahankan kulitnya, tidak memerhatikan isinya,
“Dan petunjuk dan pengajamn bagi cnang-orang yang (mau) bertakwa"
Ditekankan pada ujung ayat, bahwasanya isi Injil yang penuh pengajaran dan petunjuk itu dapat menjadi pedoman hidup bagi orang yang bertakwa. Karena apabila orang telah bertakwa kepada Allah, akan diberi Allah-lah cahaya dalam jiwanya, sehingga dia mudah menerima pengajaran untuk seterusnya. Berbeda dengan orang Yahudi yang terdahulu tadi, yang hanya mempertahankan Taurat dengan mulut, tetapi menjauhi Taurat dalam tingkah dan perbuatan.
Ujung ayat ini telah membawa bukti dalam kehidupan orang Kristen di tanah Arab sendiri setelah Risalah Muhammad, Rasul penutup dari sekalian rasul; berduyun mereka memeluk Islam, sebab menurut pandangan mereka, kedatangan rasul-rasul sejak Musa sampai al-Masih sampai Muhammad adalah menjalankan suatu tugas belaka, yaitu men-tauhidkan Allah.
Ayat 47
“Maka hendaklah menghukum … Injil dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah padanya."
Sudah sama diketahui pendirian Islam tentang Ahlul Kitab. Meskipun pokok kepercayaan mereka menurut keyakinan Islam sudah jauh melampaui batas yang ditentukan Allah, sudah Ghuluw, yaitu berlebih-lebihan, namun mereka tidaklah dikerasi dan dipaksa masuk Islam. Tetapi kalau hendak tetap memegang Injil, peganglah Injil yang betul, hilangkanlah pengaruh lain dan tafsiran lain yang dimasukkan ke dalam Injil oleh keputusan pendeta. Melainkan jalankanlah hukumnya benar-benar.
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka itulah orang-orang yang fasik."
Ayat ini dan yang sebelumnya memberikan kejelasan yang nyata sekali, bahwa di dalam kekuasaan Islam, orang-orang Dzimmi Yahudi dan Nasrani diperintahkan menjalankan hukum menurut kitab mereka. Padahal isi hukum Allah dalam semua kitab suci, baik Taurat maupun Injil, sampai kepada Al-Qur'an dasarnya ialah satu, yaitu hukum Allah. Di zaman hidupnya al-Masih, oleh karena kekuasaan adalah pada bangsa Romawi dan kaum Yahudi dalam jajahan belumlah boleh dapat menjalankan hukum Allah dari Taurat dengan tegas. Beliau hanya berkata, “Berikanlah hak Allah kepada Allah dan hak Kaisar kepada Kaisar."
Malahan ketika orang-orang Yahudi datang kepada beliau membawa seorang perempuan yang mereka tuduh berzina, supaya dijalankan kepadanya hukum Taurat, beliau bertanya bahwa adakah di antara mereka itu orang-orang yang tidak pernah berdosa? Siapa orang-orang yang tidak pernah berdosa itulah yang melontar perempuan itu dengan batu sampai mati. Maka berpandang-pandanganlah satu dengan yang lain, dan tidak ada seorang jua pun yang berani menjatuhkan hukum kepada perempuan itu, sebab merasa bahwa diri masing-masing tidak sunyi dari bersalah. Dengan sikap al-Masih yang demikian, bukan berarti bahwa beliau mengubah hukum Taurat, melainkan menyuruh mereka terlebih dahulu membersihkan jiwa sendiri sebelum menuduh-nuduh orang lain. Dan yang lebih beliau dari pihak penguasa Romawi. Sebab hak menghukum mesti dijalankan dalam ke-kuasaan pemerintahan Romawi. (Ketika menerangkan hukum rajam ini di dalam surah an-Nuur kelak, akan bertemu lagi keterangan ini)
Kemudian setelah 300 tahun beliau meninggalkan dunia, barulah Kristen diakui sebagai agama resmi oleh Kerajaan Romawi. Tetapi kekaisaran Romawi hanya menerima Kristen sebagai anutan kepercayaan yang telah banyak diadakan perubahan pula, terkhusus sebagai anutan kepercayaan Trimurti. Adapun dalam hal hukum, tidaklah Romawi mengambil dari Taurat, tetapi khusus dari pusaka fiqih Yunani, yang dilanjutkan oleh fiqih hukum Romawi. Kadang-kadang basil karya Cicero dan lain-lain, itulah undang-undang yang berkembang dan berlaku, sedang hukum dan undang-undang Allah tidaklah diberi peluang untuk dijadikan dasar hukum pidana dan perdata.
Maka dapatlah kita pahami, demi melihat ayat-ayat ini bahwa hanya Islam yang memberikan jaminan tegas kepada pemeluk Yahudi dan Nasrani, bahwa kalau mereka tidak mau masuk Islam, sebagaimana Alilul Kitab, biarlah mereka tetap memegang agama dan kitab mereka. Mereka adalah Dzimmi, yaitu dalam perlindungan pemerintahan dan kekuasaan Islam. Tetapi hendaklah mereka betul-betul menjalankan hukum yang asli dari kedua kitab itu. Taurat dan Injil. Ayat-ayat ini bukanlah mengatakan bahwa Yahudi dan Nasrani boleh menjalankan hukum mereka, tetapi mereka diwajibkan menjalankan hukum itu dalam pemerintahan Islam. Sebab itu pemerintahan Islam melakukan juga pengawasan, adakah kedua Ahlul Kitab itu menjalankan hukum agamanya atau tidak. Dan sebab itu pula kita lihat di dalam praktik cara menjalankan kehendak ayat ini ketika Sayyidina Umar bin Khaththab telah menaklukkan Palestina, beliau tetapkan jabatan uskup-uskup dan patrik-patrik Kristen dan Rabbi dan Ahbar Yahudi, lalu diperintahkan supaya mereka memimpin umat mereka, di bawah pengawasan Wali atau Khalifah. Dan ketika Sultan Muhammad al-Fatih Osmani menaklukkan Konstantinopel, yangkemudian dinamai Istanbul (1453), beliau tetapkan jabatan uskup yang beliau dapati telah ada dan beliau samakan kedudukannya dengan menteri-menteri yang lain yang beragama Islam, menjadi Menteri Kerajaan Osmani mengurus berlakunya hukum Injil dan Taurat dalam kalangan rakyat Osmani Kristen.
Itu pula sebabnya jika Libanon dan Syria masih terdapat orang Kristen Arab sampai sekarang, demikian pun Kristen Kopti di Mesir, hidup rukun damai menjalankan agama mereka di bawah naungan bendera Islam, yang menjamin mereka dengan ayat-ayat Al-Qur'an ini. Padahal satu gelintir pun kita tidak mendapati lagi orang Islam di Andalusia (Spanyol) yang pernah mencapai 14 juta jiwa, padahal kekuasaan dicabut dari mereka baru pada tahun 1492. Semuanya ini adalah: Fakta sejarah yang berbicara sendiri.
Satu masa gereja mendapat kesempatan memegang kekuasaan. Di akhir abad keempat Kerajaan Romawi terpecah dua, Romawi Timur dan Romawi Barat. Romawi Timur berpusat di Konstantinopel, Romawi Barat di-pindahkan ke Milano, pamor kaisar turun-temurun. Kesempatan baik bagi Paus menaiki singgasana kaisar yang telah kosong. Sejak bercampur kerajaan akhirat dengan dunia, lama-lama kalahlah keakhiratan dan pendeta mengejar mahkota. Cinta kasih lama-lama menjadi kehausan kuasa, kezaliman mulai berlaku atas kehendak gereja. Apatah lagi “kunci surga di tangan beliau'1. Dan mulailah terkenal “Surat Ampunan Dosa", yang bisa diperjual-belikan dan tawar-menawar.
Terutama di zaman Perang Salib, demikian juga setelah gereja mendirikan Panitia Pembersihan (Inquisisi) setelah orang Islam diusir habis dari Spanyol. Sejarah mengakui, betapa hebat, ngeri, dan kejam hukum-hukum yang mereka jatuhkan. Sampai ada orang yang disula, dipotong lidah, dibakar hidup-hidup, dimasukkan ke dalam sebuah tong yang sekeliling tong itu penuh ditancapkan paku. Digantungkan tangannya ke atas atau kakinya ke atas. Semuanya itu hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang yang dituduh melanggar hukum gereja, yang dituduh murtad atau menyatakan paham lain, yang berlawanan dengan keputusan gereja. Ketika tentara Napoleon masuk Spanyol, dibong-karlah alat-alat penghukum yang kejam itu dari berpuluh buah gereja. Dan hukuman-hu-kuman kejam itu pun di bawa oleh Portugis ketika mereka menjajah Melaka. Semuanya itu bukan hukuman Injil yang penuh kasih cinta, tetapi kezaliman (tirani) gereja yang telah menyebabkan pemberontakan pikiran, baik dari segi agama sendiri dari kaum Protestan, maupun dari angkatan baru di luar agama yang meminta kebebasan pikiran, yang menimbulkan Revolusi Perancis. Sebab satu tujuan Revolusi Perancis, ialah menumbangkan kekuasaan gereja yang mengerikan itu.
Zaman kekuasaan mutlak gereja itu dinamai ahli sejarah Eropa: Zaman Gelap.
Tentang ketiga ayat ini banyaklah pula perbincangan ahli tafsir, apakah dia hanya terkhusus sebagai ancaman kepada Yahudi dan Nasrani, ataukah mengenai juga kita kaum Muslimin? Ada dibawakan orang tafsir yang mereka katakan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Kafir di sini bukanlah mencapai kafir, dan zalim bukanlah mencapai zalim, dan fasik bukanlah mencapai fasik. Dan ada riwayat Ibnu Abbas juga, katanya ayat-ayat ini hanya mengenai orang Yahudi, tidak mengenai Islam sedikit pun. Dan ada pula riwayat dibawakan dari as-Sya'bi, bahwa ayat pertama dan kedua mengenai Yahudi dan ayat ketiga mengenai Nasrani. Tetapi kita tertarik pula kepada keterangan Hudzaifah bin al-Yaman ketika orang bertanya kepada beliau tentang ayat ini. Seorang berkata bahwa ayat-ayat ini hanya mengenai Bani Israil. Mendengar itu berkatalah Hudzaifah, “Enak benar bagimu ada kawan Bani Israil, kalau segala yang manis hanya untukmu dan segala yang pahit untuk Bani Israil. Sungguh, demi Allah, kamu akan menempuh pula jalan mereka menurut jejak langkah mereka."
Dan satu riwayat lain dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, “Sebaik-baik kaumlah rupanya kamu ini kalau segala yang manis hanya untuk kamu dan segala yang pahit buat Ahlul Kitab." Dan ditanyakan orang kepada Sa'id bin Jubair ke mana tujuan ketiga ayat. “Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah," itu apa benarkah tertuju kepada Bani Israil saja? Beliau menjawab, “Tidak! Bahkan dia diturunkan atas kita."
Riwayat yang diterima dari Maqaam, Maula Ibnu Abbas pun menyatakan demikian pula, bahwa ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dan kepada kita kaum Muslimin. Cuma tambahannya ialah bahwa kafir di sini bu-kanlah mencapai kafir syirik, dan zhulm di sini pun bukan mencapai zhulm syirik, dan fasik di sini pun bukan mencapai fasik syirik.
Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ayat Al-Qur'an, diturunkan kepada Nabi kita Muhammad ﷺ meskipun tertuju kadang-kadang kepada Ahlul Kitab, bukanlah dia semata-mata suatu kisah yang akan kita baca saja, tetapi adalah dia untuk kita ambil banding. Sebagai Muslimin janganlah kita melalaikan menjalankan hukum Allah. Sebab di awal surah sendiri, yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘Uqud. Maka menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘Uqud yang terpenting di antara kita dengan Allah.
Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang dapat kita capai. Karena Allah tidaklah memikulkan kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau hukum Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zhulm, dan fasiklah kita kalau kita percaya bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Allah.
Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syari'at Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?"
Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan hukum Allah dalam negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur'an itu kita mungkiri?
Dan kalau ditanyakan orang pula, “Tidakkah dengan demikian kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang golongan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam?"
Jawablah tegas, “Memang akan kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Dan setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar supaya mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Dan kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari kitab-kitab suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia."
Katakan itu terus terang, dan jangan takut.
Dan insaflah bahwasanya rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propagarda terus-menerus dari kaum penjajah, selama berpuluh beratus tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.
Lihatlah bagaimana celakanya perjikema-nusian di zaman sewenang-wenang hukum buatan manusia, seumpama di Jerman di zaman Nazi, di Italia di zaman Fascis, dan di seluruh negara yang dipengaruhi oleh Komunis.
Apabila kita membicarakan hukum Allah, hendaklah kita menilik terlebih dahulu kepada filsafat hukumnya dan dari mana sumber hukum. Dalam Islam sudah nyata bahwa sumber hukum ialah Allah dan Rasul, atau Al-Qur'an dan Sunnah. Sebab itu dalam Islam manusia bukanlah pencipta hukum melainkan pelaksana hukum Allah. Tetapi manusia tadi diberi kebebasan pula berijtihad, bagaimana supaya hukum Allah itu berjalan. Pokok hukum Allah dan Rasul itu disimpulkan dalam bunyi ayat, “Menghalalkan bagi kamu akan yang baik-baik dan mengharamkan atas kamu barang yang buruk." Dan mengambil manfaat dan menolak mudharat. Adapun pelaksanaan hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an tidaklah banyak; yang terkenal hanya beberapa buah saja, yaitu hukuman atas gerombolan pengacau, hukuman atas pencuri, dan hukuman atas berzina. Dan beberapa hukum lainnya terdapat dalam Sunnah.
Lalu ahli-ahli fiqih Islam yang besar-besar telah membagi pula bentuk negara kepada tiga macam, yaitu Darul Islam (negara Islam), Darul Harb (negeri tengah berperang dengan orang Islam) dan Darul Kuffar (negara orang Kafir) Maka sepakatlah ahli-ahli fiqih bahwa dalam negara Islam 100%, niscaya hendaklah 100% pula hukum Islam berlaku. Tetapi meskipun bebas memakai ijtihadnya, sehingga ada juga hukum yang dinamai ta'zir, yaitu hukum sebagai pendidik, dan pengajar si bersalah. Perkembangan bernegara sebagaimana di zaman sekarang ini pun akan memperlengkap pandangan kita tentang istilah-istilah nama negara yang disebutkan ahli-ahli fiqih tadi. Di negara-negara modern ada undang-undang dasar yang menjamin kemerdekaan pemeluk agama yang kecil bilangannya dalam negeri itu, seumpama golongan kecil orang Islam di Burma, Philipina, Muangthai, dan lain-lain. Hukum di negeri-negeri itu teranglah hukum nasional yang tidak berdasar agama, melainkan hukum umum. Niscaya orang Islam di negeri itu, kalau dapat, hendaklah memperjuangkan agar syari'at Islam dan hukumnya berlaku di kalangan penduduk Islam itu sendiri, dalam rangka kesatuan negara.
Kalau kita tilik pula keadaan bertumbuhnya Republik Indonesia. Secara hukum kita dapat mengatakan bahwa selain dari negara ini suatu negara kesatuan, dia pun adalah negara yang didirikan atas persetujuan golongan-golongan yang terbesar di dalam negeri ini pada bulan Juli 1945, yang dikenal dengan nama Jakarta Charter, yaitu golongan Islam, Nasionalis, dan Kristen. Pemuka yang mengikat perjanjian itu mempunyai cukup syarat-syarat buat disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Isi perjanjian ialah akan mendirikan sebuah negara yang semua golongan terjamin menganut kepercayaannya; malahan pernah ditegaskan bahwa bagi pemeluk Islam supaya menjalankan syari'at agamanya.
Maka negara kita telah dibentukatas dasar janji bersama, atau ‘Uqud; yang telah diperintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya menyempurnakannya.
Menurut pangkal surah al-Maa'idah ini, perjanjian ini wajiblah dipelihara dan disempurnakan, karena dia bukanlah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bahkan pada adatnya, kalau tidaklah ada Charter ini, tidaklah akan tercapai kemerdekaan yang telah ada ini.
Maka dalam negara yang telah ada ini, wajib jugalah sarjana-sarjana dan ahli-ahli pikir Islam berjuang sekadar tenagarya, agar hukum Allah itu berjalan, dengan teratur dan diterima oleh masyarakat umum, melalui kemungkinan-kemungkinan yang ada. Karena kita pun tahu bahwasanya untuk mencapai suatu cita-cita yang sah dan luhur, wajib juga kita mempertimbangkan ruang dan waktu. Dan tidaklah kita diberi beban oleh Allah melebihi daripada tenaga dan kemampuan yang ada pada kita. Sebab pekerjaan membentuk undang-undang dari sebuah negara yang telah didirikan dengan kesepakatan segala golongan itu, padahal negara itu dahulunya bekas jajahan, bukanlah semudah apa yang dikhayatkan oleh pikiran.