Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَرۡسَلۡنَٰكَ
Kami telah mengutusmu
بِٱلۡحَقِّ
dengan kebenaran
بَشِيرٗا
pembawa berita gembira
وَنَذِيرٗاۖ
dan pemberi peringatan
وَلَا
dan tidak
تُسۡـَٔلُ
kamu ditanya
عَنۡ
dari
أَصۡحَٰبِ
penghuni-penghuni
ٱلۡجَحِيمِ
neraka
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَرۡسَلۡنَٰكَ
Kami telah mengutusmu
بِٱلۡحَقِّ
dengan kebenaran
بَشِيرٗا
pembawa berita gembira
وَنَذِيرٗاۖ
dan pemberi peringatan
وَلَا
dan tidak
تُسۡـَٔلُ
kamu ditanya
عَنۡ
dari
أَصۡحَٰبِ
penghuni-penghuni
ٱلۡجَحِيمِ
neraka
Terjemahan
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Nabi Muhammad) dengan hak sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
Tafsir
(Sesungguhnya Kami telah mengutusmu) hai Muhammad (dengan kebenaran) maksudnya dengan petunjuk (sebagai pembawa berita gembira) bahwa barang siapa yang memenuhinya, ia akan mendapat surga (dan pembawa peringatan) bahwa barang siapa yang menolaknya akan masuk neraka. (Dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka) maksudnya orang-orang kafir. Tidak menjadi soal bagimu jika mereka tidak beriman, karena kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Menurut satu riwayat dibaca 'tas-al', yaitu dengan sukun atau baris mati, menunjukkan larangan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 119
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
Ayat 119
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Abdullah Al-Fazzari, dari Syaiban An-Nahwi, telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Telah diturunkan kepadaku firman-Nya, ‘Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan’."
Beliau ﷺ bersabda, "Sebagai pembawa berita gembira dengan surga dan pemberi peringatan tentang neraka."
Firman Allah ﷻ: “Dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka.” (Al-Baqarah: 119)
Menurut bacaan kebanyakan ulama qiraat ialah wala tus-alu dengan ta yang di-dammah-kan sebagai kalimat berita.
Menurut bacaan Ubay ibnu Ka'b dikatakan wa ma tas-alu (dan janganlah kamu bertanya), sedangkan menurut qiraat Ibnu Mas'ud dibaca wa lan tus-alu. Qiraat ini dikutip oleh Ibnu Jarir yang artinya Kami tidak akan menanyakan kepadamu tentang kekufuran orang-orang kafir.
Keadaannya sama dengan firman-Nya: “Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab (amalan mereka).” (Ar-Ra'd: 40)
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al-Ghasyiyah: 21-22) Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka.
“Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku.” (Qaf: 45)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna. Akan tetapi, ulama lainnya membacanya la tas-al dengan huruf ta yang di-fat-hah-km dengan makna nahi, yakni janganlah kamu tanyakan tentang keadaan mereka.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ats-Tsauri, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua orang tuaku? Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ibu bapakku. Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ayah ibuku?” Maka turunlah ayat wala tas-al 'an as-habil jahim (Dan janganlah kamu bertanya tentang penghuni-penghuni neraka). Maka beliau tidak lagi menyebut-nyebut kedua orang tuanya hingga Allah ﷻ mewafatkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadits yang mirip, dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Musa ibnu Ubaidah yang pribadinya masih dibicarakan oleh mereka, dari Muhammad ibnu Ka'b. Al-Qurthubi meriwayatkan hadits ini melalui Ibnu Abbas dan Muhammad ibnu Ka'b. Al-Qurthubi mengatakan, perumpamaan kalimat ini sama dengan kata-kata, "Jangan kamu tanyakan tentang si Fulan." Makna yang dimaksud ialah bahwa keadaan si Fulan melampaui apa yang menjadi dugaanmu.
Dalam kitab At-Tadzkirah telah disebutkan bahwa Allah ﷻ menghidupkan bagi Nabi ﷺ kedua ibu bapaknya hingga keduanya beriman kepada beliau, dan kami telah mengemukakan sanggahan-sanggahan kami sehubungan dengan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” Menurut kami (penulis), hadits yang menceritakan tentang kedua orang tua Nabi ﷺ dihidupkan kembali untuk beriman kepadanya tidak terdapat di dalam kitab-kitab Sittah, juga kitab lainnya; sanad hadisnya berpredikat dha’if, wallaahu a'lam.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Daud ibnu Abu ‘Ashim: Bahwa Nabi ﷺ di suatu hari bertanya, "Di manakah kedua orang tuaku?" Maka turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; dan janganlah kamu bertanya tentang penghuni-penghuni neraka." Hadits ini berpredikat mursal, sama dengan hadits sebelumnya.
Sesungguhnya Ibnu Jarir membantah pendapat yang diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b dan lain-lainnya dalam masalah tersebut, karena mustahil Rasulullah ﷺ ragu terhadap perkara kedua orang tuanya; dan Ibnu Jarir memilih qiraat yang pertama (yakni yang membaca wa la tus alu). Tetapi sanggahan yang dikemukakannya itu dalam tafsir ayat ini masih perlu dipertanyakan, mengingat boleh saja hal tersebut terjadi di saat Nabi ﷺ memohon ampun buat kedua orang tuanya sebelum beliau mengetahui nasib keduanya. Ketika beliau telah mengetahui hal tersebut, maka beliau berlepas diri dari keduanya dan menceritakan keadaan yang dialami oleh kedua orang tuanya, bahwa keduanya termasuk penghuni neraka, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab shahih; dan masalah ini mempunyai banyak perumpamaannya yang serupa, untuk itu apa yang disebutkan oleh Ibnu Jarir tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Falih ibnu Sulaiman, dari Hilal ibnu Ali, dari ‘Atha’ ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan Abdullah ibnu Amr ibnul As, lalu ia bertanya, "Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah ﷺ di dalam kitab Taurat." Maka Abdullah ibnu Amr ibnul As menjawab, "Baiklah, demi Allah, sesungguhnya sifat-sifat beliau yang disebutkan di dalam kitab Taurat sama dengan yang disebutkan di dalam Al-Qur'an," yaitu seperti berikut: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, dan sebagai benteng pelindung bagi orang-orang ummi (buta huruf).
Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku; Aku namai kamu mutawakkil (orang yang bertawakal), tidak keras, tidak kasar, tidak pernah bersuara keras di pasar-pasar, dan tidak pernah menolak (membalas) kejahatan dengan kejahatan lagi, tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidak akan mewafatkannya sebelum dia dapat meluruskan agama yang tadinya dibengkokkan (diselewengkan), hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah.'' Maka dengan melaluinya Allah membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.”
Hadits ini hanya diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari sendiri, dia mengetengahkannya di dalam Bab "Buyu' (Jual Beli)", dari Muhammad ibnu Sinan, dari Falih dengan lafal seperti tertera di atas, sedangkan orang yang mengikutinya mengatakan dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal. Sa'id mengatakan dari Hilal, dari ‘Atha’, dari Abdullah ibnu Salam. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dalam Bab "Tafsir", dari Abdullah, dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal, dari ‘Atha’, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As dengan lafal yang mirip.
Abdullah yang disebutkan dalam sanad hadits ini adalah Ibnu saleh, seperti yang dijelaskannya di dalam Kitabul Adah. Dan Ibnu Mas'ud Ad-Dimasyqi mengira dia adalah Abdullah ibnu Raja'. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam tafsir surat Al-Baqarah ini dari Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnul Barra, dari Al-Mu'afi ibnu Sulaiman, dari Falih dengan lafal yang sama, dan menambahkan bahwa ‘Atha’ mengatakan, "Kemudian aku bersua dengan Ka'b Al-Ahbar, lalu aku tanyakan kepadanya tentang hadits ini, ternyata keduanya tidak berbeda dalam mengetengahkan lafal hadits ini kecuali Ka'b yang mengatakan, 'Menurut yang sampai kepadanya disebutkan 'A'yunan 'umuma, wa azanan sumuma, wa quluban gulufa (mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup)'."
Sungguh, Kami telah mengutusmu, wahai Nabi Muhammad, dengan kebenaran syariat yang terang dan agama yang lurus, sebagai pembawa berita gembira kepada orang-orang beriman tentang surga yang penuh kenikmatan, dan pemberi peringatan kepada orang-orang kafir tentang siksaan api neraka. Dan engkau tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang kaum kafir yang menjadi penghuni-penghuni neraka sesudah engkau dengan sungguh-sungguh mengajak mere ka beriman. Dalam pernyataan Allah ini terkandung hiburan bagi Rasulullah agar tidak kecewa dan berkecil hati terhadap apa yang telah dilakukannya. Dan janganlah engkau, wahai Nabi Muhammad, bersusah payah mencari kerelaan orang-orang yang ingkar. Hal itu tidak mungkin, sebab orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu, Nabi Muhammad, sebelum engkau meninggalkan agamamu dan berpaling mengikuti agama mereka yang mereka anggap paling benar. Karena itu, engkau tidak perlu melakukan apa yang mereka minta demi memperoleh kerelaan mereka, tetapi tetaplah engkau meng hadapkan dirimu untuk mendapatkan kerelaan Allah. Tetaplah mengajak mereka kepada kebenaran dan katakanlah, Sesungguhnya petunjuk Allah, yakni agama Islam, itulah petunjuk, yakni agama yang sebenarnya. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu, yakni kebenaran wahyu, sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah. Meski khitab ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad, pada hakikatnya pesan ini berlaku umum bagi seluruh umat Islam.
.
Allah mengutus Muhammad dengan kebenaran. Kebenaran itu ialah sesuatu yang kukuh dan pasti, tidak menyesatkan orang-orang yang menganutnya bahkan membahagiakannya dan tidak sedikit pun mempunyai unsur keragu-raguan, apalagi kebatilan. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa di dalam kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu terkandung itikad, hukum, tata cara, kebiasaan yang baik dan segala hal yang dapat membahagiakan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Ayat ini menerangkan bahwa di antara tugas Nabi Muhammad ialah:
1. Memberi kabar gembira dari Allah yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad. Perkataan basyiran juga memberi pengertian: isyarat, tanda yang memberi kabar gembira, seperti adanya mendung sebagai tanda hari akan hujan.
2. Memberi peringatan bahwa ada nestapa bagi orang yang tidak mengikuti perintah-perintah Allah serta menghentikan larangan-larangan-Nya dan bagi orang yang menghalangi seruan Nabi Muhammad ﷺ
Orang yang tidak mengindahkan peringatan itu akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Ungkapan semacam ini menunjukkan kerasnya azab yang akan diderita oleh mereka yang mendurhakai Nabi. Ayat tersebut menerangkan tentang tugas Nabi Muhammad saw, yaitu menyampaikan agama kepada manusia. Sedang yang memberi penilaian terhadap sikap manusia kepada seruan Muhammad adalah Allah sendiri. Hanya Allah yang memberi pahala dan memberi hukuman. Allah berfirman:
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. ? (al-Baqarah/2:272)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 119
“Sesungguhnya, telah Kami utus dengan kebenaran."
Kebenaran ialah sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal yang sehat, yang tidak akan dapat ditumbangkan oleh perkisaran angin zaman, yang menolak akan segala yang salah, menentang yang bobrok, agak-agak dan angan-angan, dongeng-dongeng yang tidak berdasar. Kebenaran ialah yang menimbulkan thuma'ninah, yaitu ketenteraman di dalam batin orang yang menganutnya dan menghilangkan keraguan. Kebenaran pada kepercayaan (iktikad) tentang keesaan Allah dan kebenaran tentang syari'at dan peraturan yang disampaikan-Nya. Dengan itulah, Nabi Muhammad ﷺ diutus Tuhan ke dunia ini."Pembawa berita gembira" untuk barang-siapa yang menerima kebenaran itu. Berita yang menggembirakan hati mereka, baik di dunia maupun kelak di akhirat karena tempat yang bahagia yang disediakan untuk mereka."Dan peringatan ancaman" bagi barangsiapa yang tak sudi menerima kebenaran itu, ialah ancaman bahwa hidupnya di dunia akan sengsara dan di akhirat akan dihinakan dengan adzab. Maka lantaran itulah, tugas engkau, wahai utusan ku yang membawa kebenaran, memberikan berita gembira bagi yang taat dan ancaman siksa bagi yang menolak, teguhlah engkau pada tugasmu itu dan bekerjalah terus, jangan berhenti.
“Dan tidaklah engkau akan ditanya dari hal ahli-ahli neraka."
Artinya, sebagai penghubung untuk Rasul supaya pekerjaan beliau diteruskan, yaitu menyampaikan kebenaran, menggembirakan yang taat, dan menyampaikan berita pahit bagi yang menolak. Pekerjaan engkau ini memang berat dan banyak orang yang akan menentangnya, maka janganlah engkau ambil pusing segala tingkah laku mereka. Tidaklah engkau yang akan ditanya tentang perangai orang-orang ahli neraka itu. Hal yang demikian sudahlah hal yang biasa bagi seorang rasul. Karena seorang rasul adalah seorang mahaguru, bukan seorang pemaksa.
Ayat 120
“Dan sekali-kali tidaklah ridha terhadap engkau orang Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikut agama Mereka."
Hendaklah kita ketahui bahwasanya sebelum Rasulullah ﷺ diutus dalam kalangan bangsa Arab, adalah seluruh bangsa Arab itu dipandang ummi atau orang-orang yang bodoh, tidak beragama, penyembah berhala. Kecerdasannya dianggap rendah. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang berdiam di sekitar bangsa Arab itu memandang, barulah Arab itu akan tinggi kecerdasannya kalau mereka suka memeluk agama Yahudi atau agama Nasrani. Sekarang, Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah membawa ajaran Allah mencegah menyembah berhala, percaya kepada kitab-kitab dan rasul-rasul yang terdahulu, baik Musa dan Harun maupun Isa al-Masih. Lantaran Nabi ﷺ tidak menyebut-nyebut agama Yahudi atau Nasrani, melainkan menunjukkan pula cacat-cacat yang telah terdapat dalam kedua agama itu, jengkellah hati mereka. Mereka ingin hendaknya Nabi Muhammad itu mempropagardakan agama mereka. Yahudi menghendaki Nabi Muhammad ﷺ itu jadi Yahudi, sedangkan Nasrani menghendakinya jadi Nasrani.
Setelah itu, Tuhan memberikan tuntunan kepada Rasul-Nya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya, petunjuk Allah itulah dia yang petunjuk.'" Dengan inilah keinginan mereka agar Rasul mengikuti agama mereka telah dijawab. Bahwasanya yang menjadi pedoman di dalam hidup dan yang diserukan oleh Muhammad ﷺ kepada seluruh umat manusia ialah petunjuk Allah. Petunjuk Allah-lah yang sejati petunjuk. Adapun petunjuk manusia, khayat dan teori manusia, bukanlah petunjuk. Dengan ini, marilah berikan nilainya kepada Yahudi dan Nasrani itu, adakah keduanya itu petunjuk Allah? Allah telah mengutus Musa dan Harun serta mengutus Isa al-Masih, kemudian disambung oleh Muhammad. Cobalah perhatikan, apakah segala sesuatu yang menjadi anutan Yahudi dan Nasrani sekarang ini masih berdasar kepada petunjuk Allah yang sejati? Atau telah dicampuri oleh tangan manusia? Dengan ini pun lebih jelas bahwa Muhammad ﷺ adalah datang membawa petunjuk Allah. Kalau Yahudi dan Nasrani masih berpegang kepada petunjuk Allah yang asli, bahwa nabi-nabi yang diutus kepada mereka, dengan sendirinya akan timbullah persesuaian.
Dan firman Allah seterusnya,
“Dan sesungguhnya jika engkau turuti kemauan-kemauan mereka itu." Setengah dari hawa nafsu itu telah dibayangkan pada ayat-ayat di atas tadi, yaitu kata mereka bahwa agama yang benar hanya agama Yahudi dan Nasrani. Yahudi merasa bahwa segala anjuran dari pihak lain, walaupun benar, kalau tidak timbul dari orang yang berdarah Israel, adalah tidak sah, sebab mereka adalah “kaum yang telah dipilih dan diistimewakan Tuhan", Yahudi dan Nasrani telah memandang bahwa masing-masing mereka telah menjadi golongan yang istimewa. Lantaran kepercayaan yang demikian, mereka tidak mau lagi menilai kebenaran dan menguji paham yang mereka anut. Maka kalau kemauan atau hawa nafsu mereka ini diperturutkan, “sesudah datang kepada engkau pengetahuan", yaitu wahyu yang telah diturunkan Allah kepada Rasul ﷺ bahwa tidak ada Allah yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah dan Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan lain-lain dasar pokok tauhid, yang jadi pegangan dan tiang teguh dari ajaran sekalian nabi dan rasul, maka kalau kehendak dan kemauan kedua pemeluk agama itu engkau perturutkan, sedang engkau telah diberi ilmu tentang hakikat yang sebenarnya,
“Tidaklah ada bagi engkau selain Allah akan pelindung dan tidak pula akan penolong."
Yahudi mengajarkan bahwa bangsa yang paling pilihan dalam dunia ini tidak lain hanyalah Bani Israil. Bangsa lain adalah rendah belaka. Ini tidak sesuai dengan hakikat ilmu. Hakikat ilmu ialah bahwa manusia adalah keturunan Adam, sedangkan Adam dari tanah. Perbedaan warna kulit atau darah keturunan bukan melebihkan yang satu dari yang lain. Yang mulia di sisi Allah ialah barangsiapa yang lebih takwa kepada-Nya.
Nasrani mengajarkan bahwa manusia ini berdosa waris karena dosa Adam. Beribu-ribu tahun Allah bingung di antara sifat kasih-Nya dengan sifat adil-Nya. Akhirnya dia mengambil keputusan, yaitu menjelma sendiri ke dalam alam ini, yaitu masuk ke rahimnya seorang anak dara yang suci lalu menjelma menjadi Isa al-Masih, yang disebutnya sebagai anaknya. Artinya, Dia sendiri menjelma menjadi Anak! Lalu Dia mati di atas kayu palang untuk menebus dosa manusia itu. Dan yang mati itu ialah Bapak itu sendiri.
Ajaran itu tidaklah berdasar ilmu; ini adalah ahwaa ‘ahum, angan-angan yang tidak ada dasarnya. Kalau diturutkan, niscayatah kita akan sangsi. Di dalam ayat ini ditujukan peringatan kepada Nabi Muhammad ﷺ supaya kemauan mereka itu jangan dituruti, sebab kalau dituruti, terlepaslah beliau dari ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Sudah terang bahwa maksud yang sebenarnya dari ayat ini ialah buat kita, umat Muhammad ﷺ. Jangan sampai kita diombang-ambingkan oleh kemauan manusia sehingga petunjuk ilmu dari Allah kita tinggalkan.
Segala macam yang menyeleweng dari tauhid bukanlah petunjuk. Petunjuk sejati banyakiah yang datang dari Allah. Dan dengan ayatini kita telah diberi peringatan bahwasanya lan tardha, sekali-kali tidak akan ridha Yahudi dan Nasrani sebelum kita mengikuti agama mereka. Menurut lughat, huruf lan itu berarti nafyin wa istiqbalin, yaitu mereka tidak akan ridha, tidak, untuk selama-lamanya.
Ayat ini telah memberikan pesan dan pedoman kepada kita untuk terus-menerus sampai Hari Kiamat bahwasanya di dalam dunia ini akan tetap terus ada perlombaan merebut pengaruh dan menanamkan kekuasaan agama. Ayat ini telah memberi ingat kepada kita bahwasanya tidaklah begitu penting bagi orang Yahudi dan Nasrani meyahudikan dan menasranikan orang yang belum beragama, tetapi yang lebih penting ialah meyahudikan dan menasranikan pengikut Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Sebab kalau Islam merata di seluruh dunia ini, pengaruh kedua agama itu akan hilang. Sebab apabila aqidah Islamiyah telah merata dan diinsafi, kedua agama itu akan ditelannya. Sebab pemeluk Islam berarti kembali kepada hakikat ajaran yang sejati dari Nabi Musa dan Nabi Isa. Niscaya pemeluk kedua golongan itu tidak senang sebab agama yang mereka peluk itu telah mereka pandang sebagai golongan yang wajib dipertahankan, dengan tidak usah mengaji lagi benar atau tidak benar.
Maka isyarat yang diberikan oleh ayat inilah yang telah kita temui dalam perjalanan sejak Islam bangkit dan tersebar di muka bumi ini sampai sekarang. Sekiranya kita lihat kegiatan pengkristenan yang begitu hebat, sejak Perang Salib Pertama pada sembilan ratus tahun yang lalu sampai kepada ekspansi penjajahan sejak tiga ratus tahun yang telah lalu, sampai pula kepada usaha zending-zending dan misi Protestan dan Katolik ke negeri-negeri Islam dengan membelanjakan uang berjuta-juta dollar untuk mengkristenkan pemeluk agama Islam, semuanya ini adalah isyarat yang telah diberikan oleh ayat ini bahwasanya mereka belum ridha dan belum bersenang hati sebelum umat Muhammad menuruti agama mereka.
Pekerjaan mereka itu berhasil pada negeri-negeri yang orang Islamnya hanya pada nama, tetapi tidak mengerti asli pelajarannya. Kadang-kadang mereka berkata, “Biarkanlah orang Islam itu tetap memeluk agama Islam pada lahir, asalkan kebatinan mereka telah bertukar jadi Kristen."
Orang Yahudi tidaklah mengadakan zending dan misi. Pemeluk agama Yahudi lebih senang jika agama itu hanya beredar di sekitar Bani Israil saja sebab mereka memandang bahwa mereka mempunyai darah istimewa. Akan tetapi, mereka memasukkan pengaruh ajaran mereka dari segi yang lain.
Bukan saja di dunia Islam, bahkan pada dunia Kristen mereka pun mencoba memasukkan pengaruh sehingga merekalah yang berkuasa. Kita masih ingat bahwa dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang menjadi pe-gangan mereka, tidak ada pengajaran tentang Hari Akhirat. Agama orang Yahudi itu terlebih banyak menghadapkan perhatian kepada urusan dunia, kepada harta benda. Kehidupan riba (rente) adalah ajaran orang Yahudi. Negeri Amerika Serikat yang begitu besar dan berpengaruh, terpaksa menutup kantornya dua hari dalam seminggu. Bukan saja pada hari Ahad sebagai hari besar Kristen, tetapi hari Sabtu pun tutup. Ini karena yang memegang keuangan di Wallstreet (New York) adalah bankir-bankir Yahudi. Sebab itu, segala sesuatu kelancaran ekonomi di tangan Yahudi. Sedangkan di Amerika lagi demikian, apatah lagi di negeri-negeri lain.
Gerakan Vrijmetselar, Gerakan Masonia, dan beberapa gerakan internasional yang lain, tempuknya dalam tangan Yahudi. Dunia Islam tidak perlu masuk agama mereka, asal turut-kan pengaruh mereka. Negeri-negeri Islam yang besar-besar terpaksa mendirikan bank-bank, menjalankan niaga dan ekonomi berdasarkan riba, baik riba besar maupun riba kecil; terpaksa memperlicin hukum riba supaya bernapas untuk hidup, tidak dapat mencari jalan lain sebab seluruh dunia telah di-kongkong oleh ajaran Yahudi.
Sedikit orang Yahudi yang berpencar-pencar di seluruh dunia dapat mendirikan sebuah negara Yahudi, mereka beri nama Israel, di tengah-tengah negeri orang Arab, dengan dibantu oleh Kerajaan Inggris dan Amerika, bahkan mendapat pengakuan pertama dari Rusia Komunis.
Semuanya inilah yang diisyaratkan oleh ayat yang tengah kita tafsirkan bahwasanya orang Yahudi dan Nasrani belum merasa puas hati sebelum kita penganut ajaran Muhammad mengikut agama mereka. Ini bukanlah ancaman yang menimbulkan takut, melainkan sebagai perangsang supaya kaum Muslimin terus berjihad menegakkan agamanya dan melancarkan dakwahnya. Karena selama kaum Muslimin masih berpegang teguh kepada ajaran agama yang dipeluknya, mengamalkannya dengan penuh kesadaran, tidaklah mereka akan runtuh lantaran usaha kedua pemeluk agama itu. Sebab ayat telah menegaskan bahwasanya petunjuk yang sejati tidak ada lain melainkan pertunjuk Allah.
Disampaikan orang-orang yang demikian keras hawa nafsunya hendak menarik orang lain ke dalam agamanya, baik Yahudi maupun Nasrani, maka Allah menerangkan lagi segolongan manusia, yang bukan hanya semata membaca Kitab, melainkan memahamkan.
Ayat 121
“Orang-orang yang Kami datangkan kepada Mereka akan Kitab; yang mereka baca dengan sebenar-benar bacaan, itulah orang-orang yang akan percaya kepadanya."
Ayat ini memberi kejelasan kepada kaum Muslimin bahwasanya apabila mereka membaca Kitab Al-Qur'an yang diturunkan kepada mereka dengan perantaraan Nabi ﷺ sebenar-benarnya membaca, yaitu dipahamkan isinya dan diikuti, orang yang semacam itulah yang akan merasai nikmat iman kepadanya. Kalau kita sambungkan dengan ayat yang sebelumnya bahwasanya Yahudi dan Nasrani tidak ber-senang hati sebelum orang Islam mengikuti agama mereka maka orang Islam yang tidak memperhatikan, membaca, dan mengikuti Al-Qur'an itulah yang akan dapat mengikut agama yang lain itu.
Setengah ahli tafsir mengartikanyatlunahu dengan membaca, sedangkan setengah lagi mengartikannya mengikutinya. Kita pun dapat menggabungkan kedua arti itu: membaca dan mengikuti, jangan hanya semata-mata dibaca, padahal tidak diikuti. Dan di sini ditetapkan lagi, haqqa tilawatihi ‘sebenar-benar membaca' Sekiranya Al-Qur'an pada mulanya diturunkan kepada orang Arab, yang mereka dengan sekali baca saja sudah paham akan artinya sebab bahasanya sendiri, betapa lagi kita yang bukan Arab. Niscaya lebih bergandalah kewajiban kita untuk memahamkan artinya serta menjadi ke-wajibanlah bagi orang yang pandai bacaan dan maknanya untuk mengajarkannya kepada yang belum pandai. Hendaklah dibaca dengan penuh perhatian dan mempelajarinya dengan saksama. Pelajari sampai paham. Orang-orang yang demikianlah yang diharap akan beriman kepadanya. Orang yang langsung mempelajari Kitab dengan akal yang bebas, jangan mendengar penafsiran pendeta-pendeta mereka yang telah mengandung maksud lain. Mereka itulah yang diharapkan beriman kepada kebenaran Nabi Muhammad ﷺ.
“Dan barangsiapa yang tidak mau percaya kepadanya", yaitu pemuka-pemuka mereka sendiri, pendeta-pendeta mereka yang telah membuat tafsiran lain karena maksud tertentu
“Itulah orang-orang yang merugi".
Rugilah mereka karena tidak mendapat kebahagiaan hidayah, gelaplah mereka di dalam selubung hawa nafsu dan kedustaan, baik oleh karma mereka memutar-mutar penafsiran kitab suci dari kebenaran maupun karena tidak berani membantah apa yang telah diputuskan oleh pendeta-pendeta mereka.
Oleh sebab itu, penulis Tafsir ini sampailah kepada suatu kesimpulan bahwasanya mengajarkan arti dan maksud Al-Qur'an kepada orang Islam yang belum mengarti bahasa Arab atau yang tidak ada waktu untuk mempelajarinya adalah menjadi kewajiban bagi orang-orang Islam yang mengerti bahasa itu. Dalam pengalaman saya akhir-akhir ini di Jakarta, berpuluh orang laki-laki dan perempuan Islam yang selama ini mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Barat membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur'an ke bahasa Belanda atau Inggris dan sekarang sudah ada bahasa Indonesia, telah menjadi orang Islam yang tekun dan bertambah tekun keinginannya mempelajari lebih mendalam. Meskipun pada mulanya, jangankan mengetahui bahasa Arab, sedangkan tulisannya itu saja mereka tidak tahu. Banyak sekali mereka lebih paham maksud agama dari membaca terjemahan atau tafsir itu daripada orang-orang yang selalu membaca Al-Qur'an mengharapkan dapat pahala, padahal dia tidak tahu apa yang dia baca.
Ayat 122
“Wahai, Bani Israil! Ingatlah olehmu akan nikmat-Ku yang telah Aku nikmatkan kepada kamu."
Dari perbudakan dan penindasan, kamu Aku bebaskan. Kepada tanah yang mulia pusaka nenek moyangmu, kamu Aku antarkan. Makan dan minummu, Aku sediakan. Aku beri kamu pemimpin besar yang tabah dan gagah berani. Itulah Musa. Aku kalahkan bangsa-bangsa yang menghambat jalanmu.
“Dan bahwasanya telah Aku muliakan kamu atas bangsa-bangsa."
Diakui Allah sekali lagi bahwa memang pada masa itu mereka dimuliakan atas bangsa-bangsa lain yang masih kulub. Sebab-sebab kemuliaan itu ialah karena ajaran yang kamu pegang, bukan karena darah keturunan, bukan karena kamu menjadi bangsa pilihan. Kemudian yang diberikan kepadamu melebihi bangsa-bangsa yang lain itu akan tanggal dari diri kamu apabila inti sari ajaran Musa itu tidak kamu pegang teguh lagi, melainkan kamu campuradukkan dengan peraturan lain yang dibikin-bikin oleh pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin kamu. Sebab itu, peringatan Allah selanjutnya ialah,
Ayat 123
“Dan takutlah kamu akan hati yang tidak akan dapat melepaskan satu diri daripada diri yang lain sesuatu pun."
Satu kenyataan bahwa kemuliaan di sisi Allah Ta'aala hanyalah karena iman dan amal. Maka, orangyang kosong imannya, berkurang-kurang amalnya, tidaklah dapat dilepaskan oleh temannya yang lain, baik ayah bundanya maupun gurunya sekalipun, dari adzab yang akan dideritanya."Dan tidak diterima daripadanya penebusan" Tidaklah dapat ditebus atau dibayar, berapa pun banyak uang tebusan, walau sebanyak isi bumi dan langit. Karena harta kekayaan buat menebus tidak ada. Orang pulang ke akhirat tidaklah membawa harta benda untuk penebus diri. Harta benda manusia setelah dia mati telah kembali kepada yang empunya sejati, yaitu Allah, lalu dipinjamkan-Nya kepada waris si mati. Dan apabila mereka telah punah, semua harta itu diambil kembali oleh yang empunya. Oleh sebab itu, tidak ada sedikit pun harta benda buat penebus diri dari adzab di Hari Kiamat itu karena tidak ada yang ditebuskan."Dan tidak bermanfaat padanya satu syafaat pun" Persangkaan mereka bahwa nabi-nabi mereka akan dapat menolong, menjadi permintaan syafaat kepada Allah, minta diringankan, sebagaimana memintakan grasi atau abolisi kepada Allah, sebagaimana teradat di atas dunia ini, tidaklah akan berlaku di sana.
“Dan tidaklah mereka akan ditolong."
Tidak ada yang akan menolong karena semua manusia dan semua malaikat, dan semua jin dan setan pada waktu itu adalah mempertanggungjawabkan dosa atau jasa mereka sendiri-sendiri.
Dengan ini, tertolak pulalah kepercayaan bahwa Isa al-Masih menebus dosa manusia dengan mati di kayu salib. Penolong satu-satunya hanya Allah. Tetapi pertolongan Allah tidaklah ada faedahnya kalau diminta pada waktu itu melainkan dari hidup sekarang inilah. Asal perintah-Nya diikuti, larangan-Nya dihentikan, urusan di Hari Akhirat itu tidak akan sukar lagi.