Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّيۡسَ
tidak
عَلَى
atas
ٱلضُّعَفَآءِ
orang-orang yang lemah
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمَرۡضَىٰ
orang-orang yang sakit
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يَجِدُونَ
mereka memperoleh
مَا
apa
يُنفِقُونَ
mereka nafkahkan
حَرَجٌ
berdosa/bersalah
إِذَا
apabila
نَصَحُواْ
mereka jujur/ikhlas
لِلَّهِ
kepada Allah
وَرَسُولِهِۦۚ
dan RasulNya
مَا
tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat kebaikan
مِن
dari
سَبِيلٖۚ
jalan
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
لَّيۡسَ
tidak
عَلَى
atas
ٱلضُّعَفَآءِ
orang-orang yang lemah
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمَرۡضَىٰ
orang-orang yang sakit
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يَجِدُونَ
mereka memperoleh
مَا
apa
يُنفِقُونَ
mereka nafkahkan
حَرَجٌ
berdosa/bersalah
إِذَا
apabila
نَصَحُواْ
mereka jujur/ikhlas
لِلَّهِ
kepada Allah
وَرَسُولِهِۦۚ
dan RasulNya
مَا
tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat kebaikan
مِن
dari
سَبِيلٖۚ
jalan
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) bagi orang-orang yang lemah, sakit, dan yang tidak mendapatkan apa yang akan mereka infakkan, jika mereka ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan apa pun untuk (menyalahkan) orang-orang yang berbuat baik. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Tiada dosa atas orang-orang yang lemah) yakni orang-orang jompo (atas orang-orang yang sakit) seperti orang buta dan orang yang sakit parah yang tak sembuh-sembuh (dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan) untuk berjihad (apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya) sewaktu ia tidak pergi berjihad, yaitu tidak menimbulkan kekacauan dan rasa takut kepada orang-orang lain dan tetap menaati peraturan. (Tidak atas orang-orang yang berbuat baik) yakni orang-orang yang melaksanakan hal tersebut (jalan) alasan untuk menyalahkan mereka. (Dan Allah Maha Pengampun) kepada mereka (lagi Maha Penyayang) kepada mereka di dalam memberikan kelonggaran mengenai masalah tidak pergi berjihad ini.
Tafsir Surat At-Taubah: 91-93
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian,” kemudian mereka kembali, sedangkan mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.
Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).
Ayat 91
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan uzur-uzur yang tiada dosa bagi pelakunya bila tidak ikut perang. Maka Allah menyebutkan sebagian darinya yang bersifat lazim bagi diri seseorang yang tidak dapat terlepas darinya, yaitu lemah keadaan tubuhnya sehingga tidak mampu bertahan dalam berjihad. Uzur atau alasan lainnya yang bersifat permanen ialah tuna netra, pincang, dan lain sebagainya. Karena itulah dalam ayat di atas golongan ini disebutkan di muka.
Alasan lainnya ialah yang bersifat insidental, seperti sakit yang menghambat penderitanya untuk dapat berangkat berjihad di jalan Allah; atau karena fakirnya hingga ia tidak mampu mempersiapkan diri untuk berjihad. Maka terhadap mereka itu tidak ada dosa jika mereka berlaku ikhlas dalam ketidakberangkatannya untuk berjihad, tidak menggentarkan orang lain, tidak pula menghambat mereka, sedangkan mereka tetap berbuat baik dalam keadaannya itu.
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 91)
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Abu Sumamah yang mengatakan bahwa orang-orang Hawariyyun (pengikut Nabi Isa) bertanya, "Wahai Ruhullah (Nabi Isa), ceritakanlah kepada kami tentang orang yang berbuat ikhlas kepada Allah." Nabi Isa menjawab, "Orang yang lebih mementingkan hak Allah daripada hak manusia. Dan apabila ia menghadapi dua perkara, yaitu perkara dunia dan perkara akhirat, maka ia memulainya dengan perkara akhirat, sesudah itu baru perkara dunianya."
Al-Auza'i mengatakan bahwa orang-orang keluar untuk melakukan shalat istisqa, lalu Bilal ibnu Sa'd berdiri di antara mereka (untuk berkhotbah). Maka ia memulainya dengan mengucapkan puja dan puji kepada Allah ﷻ, sesudah itu ia berkata, "Wahai orang-orang yang hadir, bukankah kalian mengakui berbuat dosa?" Mereka menjawab, "Ya, benar." Bilal ibnu Sa'd berkata dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya kami mendengar firman-Mu yang mengatakan, ‘Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Ya Allah, kami telah mengakui berbuat dosa, maka berikanlah ampunan bagi kami, rahmatilah kami, dan berilah kami siraman hujan.’ Bilal mengangkat kedua tangannya, dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka. Maka hujan pun turun kepada mereka.
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Aiz ibnu Amr Al-Muzani. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ubaidillah Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir, dari Ibnu Farwah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan bahwa dia adalah juru tulis Rasulullah ﷺ, dan pada suatu hari ini ia sedang menulis surat Al-Baraah (At-Taubah).
Ketika Allah memerintahkan kepada kami (para sahabat) untuk berperang, saat itu aku (Zaid ibnu Sabit) sedang meletakkan pena di telinganya, sedangkan Rasulullah ﷺ menunggu firman selanjutnya yang akan diturunkan kepadanya. Tetapi tiba-tiba datanglah seorang tuna netra dan berkata, "Bagaimanakah dengan aku, wahai Rasulullah; sedangkan aku adalah orang yang tuna netra?" Maka turunlah firman-Nya: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah.” (At-Taubah: 91), hingga akhir ayat.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa itu terjadi ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada orang-orang untuk berangkat berperang bersamanya.
Lalu datanglah segolongan orang dari kalangan sahabat, antara lain Abdullah ibnu Mugaffal ibnu Muqarrin Al-Muzani. Mereka berkata, ''Wahai Rasulullah, bawalah kami serta." Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, "Demi Allah, aku tidak menemukan kendaraan untuk membawa kalian." Maka mereka pulang seraya menangis. Mereka menyesal karena duduk tidak dapat ikut berjihad karena mereka tidak mempunyai biaya, tidak pula kendaraan untuk itu. Ketika Allah melihat kesungguhan mereka dalam cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menurunkan ayat yang menerima uzur (alasan mereka), yaitu firman-Nya: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah.” (At-Taubah: 91) sampai dengan firman-Nya: “maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (At-Taubah: 93)
Ayat 92
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan.” (At-Taubah: 92) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani Muqarrin dari kalangan Bani Muzayyanah.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa jumlah mereka ialah tujuh orang, dari Bani Amr ibnu Auf adalah Salim ibnu Auf, dari Bani Waqif adalah Harami ibnu Amr, dari Bani Mazin ibnun Najjar adalah Abdur Rahman ibnu Ka'b yang dijuluki Abu Laila, dari Banil Ma'la adalah Fadlullah, dan dari Bani Salamah adalah Amr Ibnu Atabah dan Abdullah ibnu Amr Al Muzani.
Muhammad ibnu Ishaq dalam konteks riwayat mengenai Perang Tabuk mengatakan bahwa ada segolongan kaum lelaki datang menghadap Rasulullah ﷺ seraya menangis, mereka ada tujuh orang yang terdiri atas kalangan Anshar dan lain-lainnya. Dari Bani Amr ibnu Auf adalah Salim ibnu Umair, lalu Ulayyah ibnu Zaid (saudara lelaki Bani Harisah), Abu Laila Abdur Rahman ibnu Ka'b (saudara lelaki Bani Mazin ibnun Najjar), Amr ibnul Hamam ibnul Jamuh (saudara lelaki Bani Salamah), dan Abdullah ibnul Mugaffal Al-MuZani. Menurut sebagian orang, dia adalah Abdullah ibnu Amr Al-Muzani, lalu Harami ibnu Abdullah (saudara lelaki Waqif), dan Iyad ibnu Sariyah Al-Fazzari.
Mereka meminta kendaraan kepada Rasulullah ﷺ agar dapat berangkat berjihad, karena mereka adalah orang-orang yang tidak mampu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian, kemudian mereka kembali, sedangkan mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.” (At-Taubah: 92)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ar-Rabi', dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya kalian telah meninggalkan banyak kaum di Madinah; tidak sekali-kali kalian mengeluarkan suatu infak dan tidak sekali-kali kalian menempuh suatu lembah dan tidak sekali-kali kalian memperoleh suatu kemenangan atas musuh, melainkan mereka bersekutu dengan kalian dalam perolehan pahala.”
Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian’.” (At-Taubah: 92), hingga akhir ayat.
Asal hadits di dalam kitab Shahihain melalui riwayat Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya di Madinah terdapat kaum-kaum; tidak sekali-kali kalian menempuh suatu lembah, tidak pula kalian menempuh suatu perjalanan, melainkan mereka selalu beserta kalian.” Para sahabat bertanya, "Padahal mereka di Madinah?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Ya, mereka tertahan oleh uzurnya."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya kalian telah meninggalkan banyak kaum lelaki di Madinah; tidak sekali-kali kalian menempuh suatu lembah, tidak pula suatu jalan, melainkan mereka bersekutu dengan kalian dalam perolehan pahala, mereka tertahan oleh sakitnya.”
Imam Muslim dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-A'Masy dengan sanad yang sama.
Ayat 93
Kemudian Allah ﷻ menunjukkan cela-Nya terhadap orang-orang yang meminta izin untuk tinggal di tempat dan tidak mau pergi berjihad, padahal mereka adalah orang-orang kaya. Allah mengecam kerelaan mereka yang memilih duduk di Madinah bersama kaum wanita yang ditinggalkan di kemahnya masing-masing. Hal ini diungkapkan melalui firman-Nya: “Dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (At-Taubah: 93)
Inilah kelompok yang diizinkan untuk tidak ikut perang. Tidak ada dosa karena tidak pergi berperang atas orang yang lemah, baik karena usianya sudah tua maupun lemah fisik seperti kaum perempuan dan anak-anak, orang yang sakit dan orang miskin yang tidak memperoleh apa, yakni biaya atau bekal, yang akan mereka infakkan untuk berjihad juga untuk keluarga yang ditinggalkan, apabila mereka ikhlas dalam niat dan imannya kepada Allah dan senantiasa menunjukkan sikap ketaatan kepada Rasul-Nya, maka tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan dan mencela mereka, sebab sejatinya mereka itu adalah orang-orang yang berbuat baik dan tidak membenci perintah jihad. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Ini merupakan hukum yang berlaku bagi semua taklif agama, sebab pada dasarnya manusia itu tidak memperoleh beban di atas kesanggupannya. Dan begitu juga tidak ada dosa atas orang-orang miskin yang tidak memiliki kendaraan untuk digunakan berjihad lalu datang kepadamu, Nabi Muhammad, agar engkau memberi kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata, Aku tidak memperoleh atau tidak memiliki kendaraan untuk membawamu ikut berjihad, lalu mereka meninggalkan Rasulullah kembali ke rumahnya, sambil mata mereka bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan untuk ikut berperang.
Sabab Nuzul: Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini. Di antaranya riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Abi hatim dari Zaid bin sabit dia mengatakan, "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Ketika aku menulis surah Baraah, kemudian pena kuletakkan di atas telingaku, maka turunlah wahyu yang memerintah-kan kami berperang. Ketika Rasulullah memperhatikan wahyu yang diturun-kan kepadanya, tiba-tiba datang seorang buta, seraya berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana caranya agar saya ikut berperang, sedang saya orang buta," maka turunlah ayat ini."
Dalam ayat ini diterangkan, orang-orang yang dibolehkan tidak ikut berperang yakni bebas dari kewajiban ikut berperang. Mereka ini tidak termasuk orang yang bersalah dan tidak berdosa karena meninggalkan kewajiban berperang bilamana mereka benar-benar mempunyai alasan yang dapat dibenarkan, dan alasan itu dikemukakannya dengan jujur dan ikhlas, yaitu:
1. Orang lemah, yaitu orang yang lemah fisiknya yang tidak memungkinkan dia ikut berperang, seperti orang lanjut usia, perempuan dan anak-anak, begitu juga orang cacat, seperti buta, pekak, lumpuh, patah, dan sebagainya.
2. Orang sakit yang tidak mungkin ikut berperang. Tetapi kalau sudah sembuh mereka wajib ikut berperang.
3. Orang miskin yang tidak mempunyai sarana dan bekal untuk perang.
Ketiga golongan ini bebas dari kewajiban berperang. Namun demikian karena kejujuran dan keikhlasannya kepada Allah dan Rasul, dia masih merasa berkewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas yang lain seperti menjaga rumah dan kampung, mengawasi kalau ada mata-mata dan pengkhianat, memelihara rahasia, menyuruh orang agar tetap tenang, berbuat kebajikan dan berdoa, agar orang mukmin yang pergi berperang dilindungi oleh Allah dan mendapat kemenangan yang gilang-gemilang.
Ketiga macam orang-orang yang mempunyai alasan yang dibenarkan syara ini, betul-betul mereka ikhlas, beriman kepada Allah dan taat kepada Rasul, mereka tergolong orang-orang yang berbuat kebajikan. Mereka ini tidak termasuk orang-orang yang bersalah, berdosa dan disiksa. Pada akhir ayat ini dijelaskan, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya Allah banyak ampunan-Nya dan luas rahmat-Nya, terhadap hamba-hamba-Nya yang lemah dalam menunaikan kewajibannya, selama mereka jujur dan ikhlas kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 90
“Dan datanglah orang-orang yang berhalangan dari Anak Kampung, supaya mereka diberi izin."
Mereka mengemukakan uzur atau mengemukakan bahwa pada mereka ada suatu halangan sehingga tidak dapat pergi. Menurut riwayat dari adh-Dhahhak, ada satu kelompok Arab Kampung itu di bawah pimpinan Amir bin Thufail, datang kepada Rasulullah ﷺ memohon agar mereka dibebaskan dari tugas pergi berperang ke Tabuk itu, karena ada suatu uzur penting yang menghalangi mereka. Saat menghadap Rasulullah ﷺ, berkatalah Amir bin Thufail, “Ya Nabi Allah! Kalau kami turut berperang itu, maka arab-arab Kabilah Thai akan menyerbu desa kami, dan akan menawan istri-istri dan anak-anak kami dan ternak-ternak kami." Maka menjawab Rasulullah ﷺ, “Allah telah memberitahukan kepadaku tentang keadaan kalian, Allah akan menolongku sehingga halangan yang menimpa kalian itu tidak mengganggu bagi perjalananku."
Maka berkatalah Ibnu Abbas tentang kaum itu, “Mereka tidak ikut berperang karena berhalangan dan diberi izin Rasulullah ﷺ"
“Dan tinggallah orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya." Artinya, bahwa di samping orang-orang yang meminta izin karena ada halangan itu, Amir bin Thufail dan kelompoknya, ada lagi yang lain yang datang menyatakan uzur berhalangan pula, tetapi serupa dengan yang terdahulu tadi, mereka tidak berhalangan, lalu mereka katakan berha-langan, dan mereka pun diberi izin tinggal oleh Rasulullah ﷺ. Maka oleh karena demikian, mereka pun telah mendustakan Allah dan Rasul dan telah munafik pula. Mereka tinggal, tidak turut pergi, dengan alasan yang dibuat-buat:
“Allah akan menimpakan kepada orang-orang yang kafir dari mereka, suatu adzab yang pedih."
Artinya, ada orang-orang yang datang menyatakan berhalangan dan uzur buat pergi. Yang setengah betul-betul beruzur, lalu diberi izin tinggal oleh Nabi ﷺ Yang setengahnya lagi memohon uzur pula, mencari-cari dalih, padahal uzur yang benar-benar tidak ada, mereka pun diberi izin tinggal oleh Nabi ﷺ Niscaya yang benar-benar beruzur akan diberi ampun oleh Allah. Adapun yang mengicuh dan berbohong, sebagai perbuatan orang kafir akan diadzab Allah dengan adzab yang pedih. Sebab yang dapat diputuskan oleh Rasulullah ﷺ ialah hal yang zahir. Adapun yang batin, Allah-lah yang lebih tahu. Sebab betapa pun kerasnya suatu perintah, namun pengecualian pasti ada.
Ayat 91
“Tidaklah salah atas orang-orang yang lemah dan tidak (pula) atas orang-orang yang sakit dan tidak atas orang-orang yang tidak mendapati apa yang akan mereka belanjakan."
Di pangkal ayat ini telah ditunjukkan tiga macam orang yang tidak bersalah, atau tidak disalahkan jika mereka tidak dapat pergi. Pertama ialah orang-orang yang lemah, termasuk orang tua-tua dan kanak-kanak. Termasuk orang-orang buta dan orang-orang lumpuh, termasuk orang-orang perempuan, walaupun masih muda dan kuat. Dengan catatan, kalau ada di antara mereka suka pula pergi, karena menurutkan mahramnya atau suaminya, tidak dihadangi. Semuanya itu adalah uzur yang tetap. Kedua ialah orang-orang sakit. Maka uzur yang diberikan kepada mereka ialah sampai mereka sembuh. Ketiga ialah orang-orang yang fakir yang tidak mempunyai apa yang akan dibelanjakan. Mereka tidak mempunyai belanja atau alat perkakas perang dan kalau mereka pergi, belanja persediaan untuk anak-istri yang ditinggalkan pun tidak ada. Maka Rasulullah ﷺ boleh mengecualikan orang ini dari jihad. Sebab itu, dalam ayat ditegaskan tidak ada jalan terha-dap mereka.
Pada zaman Rasulullah ﷺ kerap kali orang-orang yang kaya setelah mengeluarkan belanja untuk dirinya sendiri, menanggung pula belanja sahabatnya yang fakir. Kalau ke-jadian begini, menjadi wajib pulalah bagi yang fakir tadi buat ikut. Kemudian setelah Baitul maal teratur, maka belanja untuk peperangan dapat dikeluarkan dari dalam baitul maal. Waktu itu menjadi wajib pulalah bagi si fakir tadi pergi berperang, sebab perbelanjaannya telah dijamin oleh negara.
Maka atas ketiga macam orang ini tidaklah disalahkan, tidaklah diberatkan buat pergi berperang: “Apabila mereka telah ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya." Di dalam ayat dituliskan apabila mereka telah bernasihat kepada Allah dan Rasul-Nya. Arti nasihat ialah ikhlas. Sebab itu maka tobat nashuha, lihat surah at-Tahriim ayat 8, berarti tobat yang setulus-tulusnya, sejujur-jujurnya, dan seiklas-ikhlasnya. Oleh sebab itu maka arti nasihat kepada Allah dan Rasul ﷺ ialah hati suci bersih kepada Allah dan Rasul ﷺ.
Ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i, daripada sahabat Rasulullah ﷺ Tamim ad-Dari:
“Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Agama itu ialah Nasihat, Lalu mereka bertanya, “Kepada siapa, ya Rasulullah?" Beliau jawab, “Kepada Allah dan kitab-Nya, dan kepada Ra-sul-Nya dan kepada pemimpin-pemimpin (imam-imam) kaum muslimin dan kepada orang awam mereka." (HR Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i)
Hati suci kepada Allah dan Rasul-Nya, ialah dengan menyerahkan diri dan tidak bercabang-cabang pikiran kepada yang lain. Hati suci atau nasihat kepada Kitab, yaitu Al-Qur'an, ialah dengan taat mengikuti petunjuk-Nya. Hati suci kepada pemimpin-pemimpin atau imam-imam, pimpinan agama dan negara, ialah dengan kesetiaan. Hati suci kepada sesama Muslimin, dan awam kaum ialah dengan pergaulan yang baik yang berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Dan kalau datang masanya, niscaya menyampaikan nasihat dengan hati suci, beramar ma'ruf nahi munkar.
Maka walaupun seseorang uzur buat pergi berperang karena lemah atau karena sakit atau karena miskin, namun dalam keadaan yang demikian mereka sebagai orang yang beriman tetap ikhlas kepada Allah dan Rasul ﷺ. Orang yang pincang boleh menunggu rumah, dan orang yang sakit hendaklah sabar mengharapkan sembuh dan keluarganya hendaklah merawatnya. Orang yangmiskin jagalah kampung halaman, perempuan-perempuan, jagalah rumah suami. Tiap-tiap manusia beriman dalam keadaan yang bagaimana pun hendaklah selalu tulus ikhlas mengerjakan perintah Allah sekadar kemungkinan yang ada padanya. Seumpama sahabat Rasululiah ﷺ yang bernama Ibnu Ummi Maktum yang buta itu. Ketika Hijrah dari Mekah ke Madinah, dia pun turut Hijrah. Tetapi kalau ada peperangan, dia tidak dapat ikut, sebab dia buta. Tetapi bagaimanapun keadaan, namun di waktu shubuh tetap dia yang dahulu sekali tiba di masjid untuk menyerukan adzan yang kedua, sesudah adzan Bilal. Meskipun rumahnya agak jauh dari masjid, namun dia termasuk yang dahulu datang.
Di segala zaman tiap-tiap orang yang beriman menunjukkan ikhlasnya kepada Allah, menurut kesanggupan yang ada padanya. Di negeri Kubang Suliki (Payakumbuh) pun ter-dapat Haji Malik yang buta matanya. Hujankah hari, gelapkah malam, namun Haji Malik termasuk orang yang dahulu sekali tiba di Masjid Kubang buat shalat jamaah Shubuh. Sudah dibimbing dianya oleh perasaannya yang halus melalui jalan berbelok-belok dalam negeri Kubang buat sampai ke masjid. Tidak ada orang lain yang menolong menuntunnya. Imannyalah yang menyinari hatinya. Haji Malik meneladari Ibnu Ummi Maktum.
“Tidaklah ada satu jalan pun," untuk menuntut dan menyalahkan “Orang-orang yang berbuat baik." Artinya, asalkan orang berbuat amat yang baik, dari hati yang tulus ikhlas, walaupun hanya sekadar tenaganya raja, karena lemahnya, karena butanya dan pin-cangnya, karena sakitnya dan miskinnya, tidaklah ada jalan buat menyalahkan mereka atau meminta mengeluarkan tenaga lebih dari kesanggupannya. Seumpama apabila datang seruan shalat. Segala orang bersegera menyambut. Yang kuat pergi berjamaah, yang buta berjalan meraba-raba, bahkan yang sakit pun shalat sambil tidur, kadang-kadang tidak dapat memakai air, dia pun tayamum. Semua melaksanakan perintah Ilahi sebagai puncak dari segala kebaikan. Maka ternyatalah bahwa semuanya itu telah mereka kerjakan tersebab hati yang tulus kepada Allah."Tidak ada jalan" buat mengatakan bahwa yang mereka kerjakan itu adalah satu kekurangan. Pahala yang akan mereka terima karena hati yang penuh nasehatatau tulus ikhlas itu, sama di sisi Allah dengan amalan orang-orang kuat
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Kepada yang bersalah, karena manusia tidak akan lepas daripada khilaf dan alpa, Allah selalu sedia memberikan ampun. Sebab Allah Mahatahu sebab batinnya sudah bersih dan kesalahan bukanlah mereka kehendaki dan bukan mereka pilih. Dan lantaran hati itu suci bersih, tiap Mukmin kalau telanjur bersalah, segera memohon ampun dan tobat, dan berjanji di dalam batinnya tidak lagi hendak membuat kesalahan yang serupa. Maka sayanglah Allah kepadanya. Allah pun menunjukkan sifat Rahim-Nya, dengan mem-berinya petunjuk sehingga mutu imannya bertambah tinggi di dalam menuntut ridha Allah Subhanahu wa Ta'aala.
Ayat 92
“Dan tidak (pula) atas orang-orang yang tatkala datang kepada engkau, minta mereka diberi angkutan, lalu engkau katakan, Tidak aku dapat kendaraan untuk membawa kamu atasnya."
Artinya, selain orang yang tiga macam tali, yaitu yang lemah, sakit dan fakir, ada pula semacam lagi yang mereka tidak berdosa jika tidak dapat pergi. Yaitu orang-orang yang bersedia buat pergi, tetapi kendaraan buat mengangkut tidak cukup sehingga mereka terpaksa tinggal, sedang perjalanan itu amat jauh. Bukan mereka tidak mau pergi, bukan Rasul ﷺ tidak mau membawa, tetapi kendaraan pengangkut yang tidak cukup. Orang-orang seperti ini pun tidak dapat disalahkan dan tidak pula berdosa.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaihi dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah ﷺ telah menyampaikan nafir berjihad ke
Tabuk itu, datanglah orang-orang berkumpul, baik yang dari dalam kota Madinah maupun yang dari luarnya. Datanglah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Abdullah bin Mu'aqqal al-Muzani bersama beberapa orang kawannya sedang angkatan perang sudah siap hendak berangkat. Maka berkatalah Abdullah, “Ya, Rasulullah! Bawalah kami!" (Bawalah kami dengan unta-unta atau kuda-kuda yang ada). Sedang unta-unta itu telah penuh belaka, satu unta buat dua sampai tiga orang. Unta lain tidak ada lagi. Maka menjawablah Rasulullah ﷺ. Mendengar jawab Rasulullah ﷺ yang demikian, “Lalu mereka pun berpaling,"artinya, mereka pun terpaksa pulang kembali.
“Sedang mata mereka berlinang-linang dari sebab air mata, lantaran sedih, sebab mereka tidak mempunyai apa-apa yang akan di…kan."
Sangatlah sedih hati mereka tidak dapat pergi, sebab Rasulullah ﷺ tidak dapat mengajak. Sebab semua kendaraan sudah penuh. Mereka pun terpaksa pulang kembali, air mata mereka titik berlinang-linang, sebab sedih tak dapat pergi, tak dapat turut berjihad bersama Rasulullah ﷺ seperti orang-orang yang lain. Akan diganti dengan mengeluarkan belanja membantu perang, mereka tidak ada mempunyai apa-apa yang akan diserahkan. Mereka hanya menyediakan nyawa, padahal alat pengangkutan tidak ada. Akan pergi dengan kendaraan sendiri, mereka tidak punya. Mereka menangis!
Perjalanan ke Tabuk itu sangat berat. Menurut riwayat Imam Ahmad, mereka keluar ke Tabuk mengendarai unta; satu unta dinaiki dua orang sampai tiga orang. Dan karena sa-ngat teriknya panas, ada orang yang karena keputusan air, menyembelih untanya dan me-ngeluarkan air dari tempolongan unta itu dan meminumnya.
Sangat berkesan kepada hati Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya yang tidak dapat pergi itu, terbayang di mata beliau tangis mereka. Menurut riwayat Anas bin Malik, setelah mereka kembali dari Tabuk dalam perjalanan pulang, setelah dekat ke Madinah, berkatalah Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya di dalam kota Madinah ada suatu kaum, ke mana pun kamu sekalian pergi dan lembah mana pun yang kamu lalui, namun mereka itu ada bersama kamu."
Kemudian, para sahabat itu bertanya, “Bagaimana jadi demikian, ya Rasulullah ﷺ? Padahal mereka tinggal tetap di Madinah?" Beliau menjawab, “Memang, mereka tinggal di Madinah, sebab ada halangan yang menghambat mereka."
Dengan demikian, tinggilah beliau menghargai orang-orang yang melepas beliau pergi ketika akan berangkat, termasuk orang-orang yang menangis karena tidak dapat dibawa karena kendaraan tidak cukup itu.
Ayat 93
‘Jalan hanyalah ada terhadap orang-orang yang meminta izin kepada engkau, padahal mereka kaya."
Jalan buat menyalahkan hanyalah ada terhadap orang-orang yang kaya dan mampu, ada harta dan badan pun kuat, kendaraan yang akan ditunggangi pun ada, namun mereka masih mengemukakan berbagai dalih dan alasan buat minta izin tinggal, tidak ikut pergi berjihad."Mereka telah senang tinggal bersama-sama orang-orang perempuan." Tinggal bersama perempuan-perempuan, kanak-kanak dan orang tua-tua, padahal uzur hanya dicari-cari saja. Bagaimanakah perasaan hati mereka di waktu itu? Padahal ada orang lain yang menangis, sebab tidak dapat pergi!!
Apakah sebabnya perasaan mereka sampai demikian kasarnya?
Lanjutan ayat memberikan jawaban.
“Dan telah dicap Allah hati mereka, namun mereka tidak juga mau tahu."
Perasaan mereka telah sampai demikian kasar sehingga hati mereka telah dicap, dima-terai oleh Allah. Hati yang telah dicap Allah itu telah tercabut perasaan halusnya. Ketika Rasulullah ﷺ dengan 30.000 angkatan perang Muslimin itu akan pergi, orang berduyun-duyun hadir ke lapangan luar kota Madinah, untuk mengantar bersama-sama, laki-laki yang uzur dan perempuanperempuan dan kanak-kanak, bahkan ada yang menangis sebab tidak dapat pergi. Mereka yang kaya raya itu tidak ada perasaan halusnya, sampai hati mereka tinggal, padahal badan sehat, harta pun ada, dan kendaraan pun cukup. Riwayat tidak menerangkan apa mereka ber-benam saja di rumah, ataupun turut pula untuk mengantar. Tetapi yang terang, baik mereka hadir maupun berbenam di rumah, perasaan mereka tidak akan tergetar lagi, baik karena pengecut menghadapi perang, atau karena ingin bersenang-senang karena takut menempuh panas terik, padahal panas api neraka lebih terik. Kalau mereka masih mempunyai perasaan, kalau hati mereka tidak telah dicap, tentu mereka tidak sampai hati buat tinggal dan tidak sampai hati untuk tidak ikut dalam barisan bersama Rasulullah ﷺ seperti Abu Khaitsamah yang dahulu telah kita ceritakan itu. Tergetar rasa imannya setelah sekian lama Rasulullah ﷺ pergi. Dan bertambah bergetar hatinya setelah kedua istrinya yang masih muda-muda menyediakan makanan den air yang sejuk, lalu dia bangkit dari duduknya yang senang itu, diambilnya senjatanya, diracaknya untanya dan dikejarnya angkatan perang Nabi ﷺ, Nabi sudah jauh dahulu sehingga setelah sampai di Tabuk, baru dia bisa menggabungkan diri.
Hati yang dimaterai oleh Allah, yang menyebabkan seseorang dapat dicap munafik, yang diuraikan satu demi satu penyakit hati itu di dalam surah Bara'ah ini, adalah hukum yang berbahaya dari Allah kepada kita, di kala kita masih hidup. Kita masih dihitung dari luar sebagai orang Islam, padahal telah jauh di luar garisnya. Moga-moga dapatlah kita menjaga hati dan melatih jiwa (riadhatun nafs), jangan sampai kena cap yang demikian. Semoga dengan bimbingan Allah, dapatlah kita mengamalkan beberapa kebajikan dengan hati
tuius-ikhlas, sekadar tenaga yang ada pada kita dan diterima oleh Allah. Amin.