Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَتِمُّواْ
dan sempurnakanlah
ٱلۡحَجَّ
ibadah haji
وَٱلۡعُمۡرَةَ
dan umrah
لِلَّهِۚ
karena Allah
فَإِنۡ
maka jika
أُحۡصِرۡتُمۡ
kamu terkepung
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَيۡسَرَ
mudah didapat
مِنَ
dari
ٱلۡهَدۡيِۖ
binatang kurban
وَلَا
dan jangan
تَحۡلِقُواْ
kamu mencukur
رُءُوسَكُمۡ
kepalamu
حَتَّىٰ
sehingga/sebelum
يَبۡلُغَ
sampai
ٱلۡهَدۡيُ
binatang kurban
مَحِلَّهُۥۚ
tempat penyembelihannya
فَمَن
maka barang siapa
كَانَ
adalah
مِنكُم
diantara kamu
مَّرِيضًا
sakit
أَوۡ
atau
بِهِۦٓ
dengannya/padanya
أَذٗى
gangguan (penyakit)
مِّن
dari
رَّأۡسِهِۦ
kepalanya
فَفِدۡيَةٞ
maka bayarlah fidyah
مِّن
dari
صِيَامٍ
berpuasa
أَوۡ
atau
صَدَقَةٍ
bersedekah
أَوۡ
atau
نُسُكٖۚ
berkurban
فَإِذَآ
maka apabila
أَمِنتُمۡ
kamu merasa aman
فَمَن
maka barang siapa
تَمَتَّعَ
tamattu'/ingin
بِٱلۡعُمۡرَةِ
dengan ibadah umrah
إِلَى
kepada (sebelum)
ٱلۡحَجِّ
haji
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَيۡسَرَ
mudah didapat
مِنَ
dari
ٱلۡهَدۡيِۚ
binatang kurban
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
ia mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasalah
ثَلَٰثَةِ
tiga
أَيَّامٖ
hari
فِي
didalam
ٱلۡحَجِّ
haji
وَسَبۡعَةٍ
dan tujuh
إِذَا
apabila
رَجَعۡتُمۡۗ
kamu kembali
تِلۡكَ
itulah
عَشَرَةٞ
sepuluh
كَامِلَةٞۗ
sempurna
ذَٰلِكَ
demikian itu
لِمَن
bagi orang
لَّمۡ
tidak
يَكُنۡ
ada
أَهۡلُهُۥ
keluarganya
حَاضِرِي
berada
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِۚ
Haram
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَدِيدُ
amat berat
ٱلۡعِقَابِ
siksa(Nya)
وَأَتِمُّواْ
dan sempurnakanlah
ٱلۡحَجَّ
ibadah haji
وَٱلۡعُمۡرَةَ
dan umrah
لِلَّهِۚ
karena Allah
فَإِنۡ
maka jika
أُحۡصِرۡتُمۡ
kamu terkepung
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَيۡسَرَ
mudah didapat
مِنَ
dari
ٱلۡهَدۡيِۖ
binatang kurban
وَلَا
dan jangan
تَحۡلِقُواْ
kamu mencukur
رُءُوسَكُمۡ
kepalamu
حَتَّىٰ
sehingga/sebelum
يَبۡلُغَ
sampai
ٱلۡهَدۡيُ
binatang kurban
مَحِلَّهُۥۚ
tempat penyembelihannya
فَمَن
maka barang siapa
كَانَ
adalah
مِنكُم
diantara kamu
مَّرِيضًا
sakit
أَوۡ
atau
بِهِۦٓ
dengannya/padanya
أَذٗى
gangguan (penyakit)
مِّن
dari
رَّأۡسِهِۦ
kepalanya
فَفِدۡيَةٞ
maka bayarlah fidyah
مِّن
dari
صِيَامٍ
berpuasa
أَوۡ
atau
صَدَقَةٍ
bersedekah
أَوۡ
atau
نُسُكٖۚ
berkurban
فَإِذَآ
maka apabila
أَمِنتُمۡ
kamu merasa aman
فَمَن
maka barang siapa
تَمَتَّعَ
tamattu'/ingin
بِٱلۡعُمۡرَةِ
dengan ibadah umrah
إِلَى
kepada (sebelum)
ٱلۡحَجِّ
haji
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَيۡسَرَ
mudah didapat
مِنَ
dari
ٱلۡهَدۡيِۚ
binatang kurban
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
ia mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasalah
ثَلَٰثَةِ
tiga
أَيَّامٖ
hari
فِي
didalam
ٱلۡحَجِّ
haji
وَسَبۡعَةٍ
dan tujuh
إِذَا
apabila
رَجَعۡتُمۡۗ
kamu kembali
تِلۡكَ
itulah
عَشَرَةٞ
sepuluh
كَامِلَةٞۗ
sempurna
ذَٰلِكَ
demikian itu
لِمَن
bagi orang
لَّمۡ
tidak
يَكُنۡ
ada
أَهۡلُهُۥ
keluarganya
حَاضِرِي
berada
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِۚ
Haram
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَدِيدُ
amat berat
ٱلۡعِقَابِ
siksa(Nya)
Terjemahan
Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya.
Tafsir
(Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah), artinya lakukanlah dengan memenuhi semua haknya (dan jika kamu terkepung), artinya terhalang untuk menyelesaikannya disebabkan ada musuh, (maka hendaklah menyembelih hewan yang mudah didapat), yaitu seekor kambing (dan janganlah kamu cukur kepalamu), maksudnya jangan tahalul (sebelum sampai sembelihan) tersebut (ke tempat penyembelihannya), artinya tempat penyembelihannya. Menurut Syafii adalah tempat terkepung itu. Maka hendaklah disembelih di sana dengan niat tahalul, lalu dibagi-bagikan kepada fakir miskin, kemudian bercukur rambut, sehingga dengan demikian tercapailah tahalul. (Dan barang siapa di antara kamu sakit atau ada gangguan pada kepalanya) berkutu dan pusing, lalu ia bercukur di waktu ihram (maka hendaklah ia membayar fidyah), (yaitu berpuasa) selama tiga hari (atau bersedekah) sebanyak tiga sukat makanan pokok penduduk itu kepada enam orang fakir miskin (atau berkurban), artinya menyembelih kambing. 'Au' yang berarti 'atau' memberi kesempatan untuk memilih. Termasuk pula dalam hal ini orang yang bercukur tanpa halangan apa-apa, karena ia lebih pantas lagi untuk membelinya, membayar denda atau tebusan. Demikian pula orang yang menikmati apa-apa yang dilarang tanpa bercukur, seperti memakai minyak wangi, pakaian yang berjahit atau minyak rambut yang disebabkan sesuatu halangan atau lainnya (Maka apabila kamu telah merasa aman) dari bahaya musuh-musuhmu, misalnya mereka telah pergi atau sudah tidak ada lagi (maka bagi siapa yang hendak bertamatu) yaitu (mendahulukan umrah) disebabkan telah kosongnya ia dari larangan-larangan ihram (daripada haji), maksudnya sampai saat ihram dengannya asal saja masih pada bulan-bulannya, (maka hendaklah wajib ia menyembelih kurban yang mudah didapat), yaitu seekor kambing yang harus disembelihnya sesudah ihram haji, dan lebih utama pada hari kurban. (Tetapi apabila ia tidak menemukan) kurban, misalnya karena hewan itu tidak ada, atau tidak punya uang untuk membelinya, (maka hendaklah ia berpuasa), artinya wajib atasnya berpuasa (tiga hari dalam masa haji) artinya sewaktu sedang ihram, dengan demikian ia wajib melakukan ihram sebelum tanggal tujuh Zulhijah, dan lebih utama sebelum tanggal enam, karena makruhnya berpuasa pada hari Arafah, sedangkan menurut salah satu di antara dua pendapat Syafii yang lebih sah, tidak boleh mempuasakannya pada hari-hari tasyrik (dan tujuh hari lagi bila kamu telah pulang) ke kampung halamanmu, baik Mekah atau lainnya. Ada pula yang mengatakan jika telah selesai dari pekerjaan-pekerjaan haji tanpa mempedulikan soal di rantau atau tidaknya. (Itulah sepuluh hari yang sempurna) suatu jumlah untuk menguatkan yang sebelumnya. (Demikian itu) maksudnya hukum yang telah disebutkan tadi berupa kewajiban menyembelih kurban atau berpuasa bagi orang yang mengerjakan haji secara tamatu (adalah bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidilharam). Menurut Syafii, tidak berada kurang dari dua marhalah dari tanah suci. Jika sebaliknya, maka tak ada kurban dan tidak pula berpuasa sekalipun ia melakukan tamatu. Disebutkannya ahli atau penduduk, memperingatkan kita disyaratkannya status sebagai penduduk. Sekiranya ia bermukim sebelum bulan-bulan haji tetapi tidak menjadi penduduk tetap, lalu ia bertamatu, maka wajiblah baginya demikian itu. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat Syafii, sedangkan pendapatnya yang kedua adalah tidak wajib. 'Ahli' itu merupakan sindiran terhadap diri orang yang bersangkutan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, termasuk pula dalam tamatuk ini ialah qiran artinya orang yang ihram dengan haji dan umrah sekaligus atau memasukkan haji ke dalam umrah sebelum memulai tawaf (Dan bertakwalah kamu kepada Allah), yakni mengenai perintah dan larangan-Nya (serta ketahuilah bahwa Allah amat berat siksaan-Nya), yakni bagi orang yang melanggar peraturan-Nya.
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ataf kannya dengan sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya.
Karena itulah sesudahnya disebutkan: Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196) Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul Ahkam secara rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah, dari Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian bilamana kamu telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus. Disebutkan dari Sufyan Ats-Tsauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan umrah.
Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji atau umrah," yang demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu. Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai keduanya dari miqat-nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan tersebut dianggap sempurna." Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah.
Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah ﷺ melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, umrah ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan (qiran) dalam bulan Zul-Qa'dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau ﷺ tidak melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi ﷺ bersabda kepada Ummu Hani': Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji bersamaku. Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah haji bersama Nabi ﷺ, tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadits Imam Al-Bukhari.
Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'. As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah (kerjakanlah) ibadah haji dan umrah. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban.
Bila ia telah melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa dan Marwah; setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya. Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak melebihinya.
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas. Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ats-Tsauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah." Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafal al-umrah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak wajib, melainkan sunat.
Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda, yakni yang mengatakan wajib. Telah disebutkan di dalam banyak hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadits shahih yang bersumber dari Nabi ﷺ bahwa beliau ﷺ pernah bersabda kepada para sahabat: Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya. Di dalam hadits shahih lain disebutkan pula bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat. Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini meriwayatkan sebuah hadits yang gharib. Untuk itu dia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Gassan Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari ‘Atha’, dari Safwan ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ dalam keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut kemampuanmu.
Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu." Hadits ini gharib dan konteksnya aneh. Hadits yang disebutkan di dalam kitab Shahihain dari Ya'la ibnu Umayyah dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi ﷺ ketika di Ji'ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri dengan minyak za'faran?" Nabi ﷺ diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau ﷺ bersabda: Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah.
Kemudian apa yang biasa kamu lakukan dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu. Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan asbabun nuzul ayat ini. Hadits ini dari Ya'la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu Umayyah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi antara Rasulullah ﷺ dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat Al-Fath secara lengkap.
Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram mereka. Maka pada saat itu juga Nabi ﷺ memerintahkan kepada mereka untuk mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh.
Maka terpaksa Rasulullah ﷺ keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti jejaknya; dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi ﷺ bersabda: "Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya." Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah ﷺ berdoa, "Dan juga orang-orang yang mencukur rambutnya." Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan kecuali karena kepungan musuh.
Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Apabila kalian telah (merasa) aman. (Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah Keduanya mengatakan bahwa dia (yakni Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari) memang benar. Penulis kitab-kitab pokok hadits yang empat menceritakan hadits ini melalui Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafal yang sama. Menurut riwayat Abu Dawud dan ibnu Majah disebutkan: Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit. Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadits di atas, yakni semakna dengannya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafal yang sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, An-Nakha'i, ‘Atha’, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, "Yang dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah tulang." Ats-Tsauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang mengganggu. Di dalam hadits Shahihain disebutkan: .
dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ memasuki rumah Duba'ah binti Zubair ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid)." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku. Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafal yang semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadits ini. Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadits yang dijadikan landasannya. Imam Al-Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadits) mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah ternak kambing. Hal yang sama dikatakan pula oleh ‘Atha’, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis ternak, yaitu berupa unta dan sapi. Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim, Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat pendapatnya ialah hadits yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi ﷺ dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi. Di dalam kitab Shahihain, dari Jabir, disebutkan: Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi. Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah orang kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan jika dia bukan orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan menyembelih seekor kambing." Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya.
Sebagai dalil yang membenarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup menyembelih kambing bila dalam keadaan terkepung, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban yang mudah didapat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Hal ini terbukti di dalam kitab Shahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin yang menceritakan: Nabi ﷺ pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba. Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196) Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya: Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi ﷺ bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci beliau ﷺ bersama para sahabatnya bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya.
Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Siti Hafsah yang menceritakan: "Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi ﷺ menjawab, "Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan kurbanku." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) .
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi ﷺ, sedangkan ketombe bertebaran di wajahnya.
Maka Nabi ﷺ bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai kambing?' Ia menjawab, 'Tidak.' Nabi ﷺ bersabda, 'Puasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa makanan, dan cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian semua'." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi ﷺ datang kepadaku ketika aku sedang menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Apakah penyakit yang ada di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda, "Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban." Ayyub (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan bahwa ia tidak mengetahui manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah bersama Rasulullah ﷺ, sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat, maka ketombe bertebaran di wajahku (karena banyaknya).
Lalu Nabi ﷺ lewat di dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?' Maka Nabi ﷺ memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafal yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila dengan lafal yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal.
Imam Malik meriwayatkannya dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadits yang semisal. Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah mengatakan, "Maka aku menyembelih seekor kambing." Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih, telah diriwayatkan pula melalui hadits Umar ibnu Qais dia orangnya dha’if dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari, sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim, Mujahid, ‘Atha’, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadits kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah ﷺ, lalu terganggu oleh banyaknya ketombe di kepalanya.
Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar ia mencukur rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai fidyahmu. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf yang dipakai adalah au, maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, ‘Atha’, Tawus, Al-Hasan, Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Adh-Dhahhak, lalu disebutkan hal yang semisal. Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa, atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin setengah sa' yakni dua mud atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin.
Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Akan tetapi, ketika Nabi ﷺ memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau ﷺ bersabda: Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari. Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan sebagai tolok ukurnya.
Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli seekor kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa ganti dengan puasa satu hari (hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam hari). Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula dari Alqamah.
Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata kepadaku, 'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.' Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis itu.""
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah dengan memenuhi syarat, wajib, rukun, maupun sunah-sunahnya dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan rida Allah, dalam keadaan aman dan damai, baik di perjalanan maupun di tempat-tempat pelaksanaan manasik haji. Tetapi jika kamu terkepung oleh musuh, dalam keadaan perang atau situasi genting sehingga tidak dapat melaksanakan manasik haji pada tempat dan waktu yang tepat, maka ada ketentuan rukhshah (dispensasi) dengan diberlakukannya dam (pengganti) sebagai berikut. Pertama, sembelihlah hadyu, yaitu hewan yang disembelih sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebagai tanda selesainya salah satu rangkaian ibadah haji sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya dengan tepat. Kedua, jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu. Ketiga, apabila kamu dalam keadaan aman, tidak terkurung musuh, dan tidak terkena luka, tetapi kamu memilih tamattu, yakni mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama, maka ketentuannya adalah bahwa barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat di sekitar Masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada, yakni tinggal atau menetap, di sekitar Masjidilharam melainkan berdomisili jauh di luar Mekah seperti kaum muslim Indonesia. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya bagi orang-orang yang tidak menaati perintah dan aturan-Nya. Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yakni Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah. Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaš), yaitu perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual; jangan pula berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji meskipun bukan pertengkaran dahsyat. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya, karena Allah mengetahui yang tersembunyi. Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, semua yang terjadi di langit dan di bumi berada dalam pantauan-Nya. Bawalah bekal untuk memenuhi kebutuhan fisik, yakni kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di Tanah Suci; termasuk juga bekal iman dan takwa untuk kebutuhan ruhani, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, yakni mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, supaya kamu menjadi manusia utuh lahir batin.
Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima. Haji mulai diwajibkan bagi umat Islam pada tahun ke enam Hijri. Sebelumnya, Rasulullah ﷺ pernah beribadah haji sebagai ibadah sunah. Di samping ibadah haji ada pula ibadah umrah. Kedua-duanya wajib dikerjakan umat Islam, sekali seumur hidup. Ibadah haji dan umrah lebih dari sekali, hukumnya sunah. Namun Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa ibadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh. Ibadah haji dan umrah tidak harus segera dikerjakan, boleh dikerjakan bila keadaan telah mengizinkan. Siapa yang mampu mengerjakan ibadah haji dan umrah sebaiknya ia segera menunaikannya.
Tempat mengerjakan ibadah haji dan umrah itu hanya di tanah suci Mekah dan sekitarnya. Mereka yang diwajibkan pergi mengerjakan ibadah haji dan umrah ialah mereka yang dalam keadaan sanggup dan mampu, yaitu biaya cukup tersedia, keadaan jasmaniah mengizinkan dan keamanan tidak terganggu. Perbedaan ibadah haji dengan umrah ialah haji rukunnya lima, yaitu: niat, wukuf, thawaf, sa'i, dan tahallul, sedangkan umrah rukunnya hanya empat: niat, thawaf, sa'i, dan tahallul.
Amal-amal dalam ibadah haji ada yang merupakan rukun, ada yang wajib dan ada yang sunah. Amal-amal yang merupakan rukun ialah jika ada yang ditinggalkan maka ibadah haji dan umrah tidak sah. Amal-amal yang wajib ialah jika ada yang ditinggalkan, maka dikenakan denda (dam) tetapi haji dan umrah sah. Amal-amal yang sunah jika ada yang ditinggalkan, maka haji dan umrah sah dan tidak dikenakan dam. Di samping itu, ada larangan-larangan bagi orang yang sedang beribadah haji dan umrah. Larangan-larangan itu lazimnya disebut muharramat. Barang siapa melanggar muharramat, dikenakan dam. Besar kecilnya sepadan dengan besar kecilnya muharramat yang dilanggar. Bersetubuh sebelum selesai mengerjakan tawaf ifadhah membatalkan haji dan umrah.
Ibadah haji dan umrah mempunyai beberapa segi hukum. Oleh karena itu, siapa yang akan mengamalkan ibadah itu seharusnya lebih dahulu mempelajarinya. Amalan-amalan ini biasa disebut manasik. Ayat 196 ini diturunkan pada waktu diadakan perdamaian Hudaibiah pada tahun ke-6 Hijri sama dengan turunnya ayat 190 tentang izin berperang bagi kaum Muslimin.
Ayat ini diturunkan berhubungan dengan ibadah haji dan umrah di mana kaum Muslimin diwajibkan mengerjakan haji dan umrah. Yang dimaksud dengan perintah Allah untuk "menyempurnakan" haji dan umrah, ialah mengerjakannya secara sempurna dan ikhlas karena Allah ﷻ Ada kemungkinan seseorang yang sudah berniat haji dan umrah terhalang oleh bermacam halangan untuk menyempurnakannya. Dalam hal ini Allah ﷻ memberikan ketentuan sebagai berikut: orang yang telah berihram untuk haji dan umrah lalu dihalangi oleh musuh sehingga haji dan umrahnya tidak dapat diselesaikan, maka orang itu harus menyediakan seekor unta, sapi, atau kambing untuk disembelih.
Hewan-hewan itu boleh disembelih, setelah sampai di Mekah, dan mengakhiri ihramnya dengan (mencukur atau menggunting rambut). Mengenai tempat penyembelihan itu ada perbedaan pendapat, ada yang mewajibkan di Tanah Suci Mekah, ada pula yang membolehkan di luar Tanah Suci Mekah. Jika tidak menemukan hewan yang akan disembelih, maka hewan itu dapat diganti dengan makanan seharga hewan itu dan dihadiahkan kepada fakir miskin.
Jika tidak sanggup menyedekahkan makanan, maka diganti dengan puasa, tiap-tiap mud makanan itu sama dengan satu hari puasa. Orang-orang yang telah berihram haji atau umrah, kemudian dia sakit atau pada kepalanya terdapat penyakit seperti bisul, dan ia menganggap lebih ringan penderitaannya bila dicukur kepalanya dibolehkan bercukur tetapi harus membayar fidyah dengan berpuasa 3 hari atau bersedekah makanan sebanyak 3 sa' (10,5 liter) kepada orang miskin, atau berfidyah dengan seekor kambing.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SYARI'AT HAJI DAN UMRAH
Ayat 196
“Dan sempurnakan haji dan umrah itu karena Allah."
Oleh sebab terlebih dahulu telah banyak dibicarakan soal haji maka ayat ini telah menyebutkan “sempurnakanlah". Berbeda dengan perintah puasa yang ditentukan bulannya, yaitu Ramadhan, bulan turunnya Al-Qur'an. Dan, lagi, ibadah haji telah ada sejak Nabi Ibrahim a.s. sehingga walaupun dalam suasana yang demikian hebat pertentangan tauhid dengan yang masih musyrik, tetapi haji itu tetap dikerjakan oleh seluruh suku-suku Arab. Sebab itu, dengan kata “sempurnakanlah" maka syari'at Muhammad ﷺ tinggal mengakui dan menyempurnakan saja. Disempurnakan ialah dengan jalan membersihkan niat ketika mengerjakannya, yaitu karena iktikad tauhid terhadap Allah.
Namun jika rumahmu telah engkau tinggalkan, dan engkau telah berihram di tempat miqat, tiba-tiba ketika akan masuk ke Mekah datang saja halangan, maka hendaklah kamu kirimkan binatang kurban, yang di dalam ayat disebut hadyu dan dalam istiiah haji disebut dam, Artinya, darah. Kirimkan dam itu ke Mekah untuk makanan fakir miskin di sana. Disebut di sini yang sedapatnya, sekurang-kurangnya ialah seekor kambing, tetapi kalau sanggup lebih adalah lebih baik, seumpama lembu, kerbau, dan unta.
“Dan jangan kamu cukur kepalamu hingga sampai kurban itu ke penyembelihan," di Mekah. Artinya, tunggulah dahulu berita dari sana, apakah binatang itu sudah sampai dan sudah disembelih, barulah kamu cukur kepalamu, tahallul namanya; sebagai alamat bahwa kamu tidak jadi berhaji atau berumrah karena ada halangan. Dihalangi atau terhalang, niscaya banyak hal biasa kejadian, sebagaimana Nabi kita sendiri ﷺ telah berangkat bersama-sama dari Madinah, sampai di Hudaibiyah dihalangi oleh orang Quraisy. Bahkan di zaman Islam sendiri pernah juga kejadian orang haji tidak jadi masuk Mekah karena di Mekah sendiri waktu itu tidak aman. Misalnya ada peperangan di antara orang-orang yang berkuasa di sana berebut kekuasaan sehingga orang haji terpaksa pulang. Atau sebagaimana terjadi pada tahun 1961 karena sedang memuncak pertengkaran politik di antara Raja Sa'ud yang berkuasa di Mekah dengan Jamal Abdel Nasser, Presiden Mesir (RPA), jamaah dari Mesir yang telah sampai di Jeddah dihalangi masuk Mekah sehingga pulang saja dengan harapan hampa. Atau tiba-tiba dapat berita bahwa di Mekah ada berjangkit penyakit menular sehingga jamaah menurut keputusan dokter tidak dapat masuk ke Mekah pada waktu itu. Atau ada perang di sana. Atau diri sendiri ditimpa sakit di tengah jalan sehingga tak dapat melanjutkan. Dan, lain-lain halangan.
“Maka, barangsiapa yang sakit atau ada gangguan di kepalanya" sehingga rambut di kepalanya dicukur atau digunting atau terpaksa jatuh rambut dengan diketahui, “Maka, ber-fidyahlah dengan puasa, atau sedekah atau kurban." Hadits Nabi menerangkan bahwa puasanya itu tiga hari. Atau, boleh diganti dengan memberikan makanan satu gantang Madinah yang memuat 16 rathal, bagikan kepada enam orang miskin. Atau, membayar dam (denda) seekor kambing. Boleh dilakukan mana yang sanggup. Dengan adanya denda-denda yang demikian, tampaklah perbedaan ibadah haji dengan ibadah yang lain, yaitu ada kesalahan yang dapat dibayar dengan denda sehingga haji sah juga. Yang tidak dapat diganti dengan denda adalah rukun, terutama saat wukuf di Arafah.
“Akan tetapi, apabila kamu telah aman," halangan ke Mekah tidak ada lagi dan kalau sakit sekarang telah sembuh, niscaya wajib haji datang lagi dan kamu pun pergilah naik haji, “lalu siapa yang bersenang-senang dengan umrah kepada haji maka hendaklah dibayarnya kurban sedapatnya." Ini disebut haji bersenang-senang dan telah dikenal oleh orang yang telah mempelajari fiqih berkenaan dengan haji dan orang yang telah pernah mengerjakan haji dengan nama Haji Tamattu'!
Untuk ini, perlu kita berikan sedikit penjelasan. Amalan haji itu ada tiga macam: Qiran, Tamattu', dan Ifrad.
Haji Qiran
Sejak mulai melekatkan pakaian ihram di Miqat, sudah diniatkan mengerjakan haji dan umrah sekaligus, Qiran Artinya, serempakan. Menurut Madzhab Syafi'i dan Maliki, Haji ifrad dan Tamattu' lebih afdhal dari Haji Qiran. Akan tetapi, menurut Hanbali, Tamattu' lebih afdhal daripada Qiran dan Ifrad,
Caranya (kaifiyatnya) ialah; apabila yang hendak melakukan Haji Qiran itu telah masuk ke Mekah, mula-mula hendaklah dia lakukan segala rukun syarat umrah. Dimulainya dengan Thawaf, Qudum lalu dia lakukan sa'i antara Shafa dan Marwah; sampai di sana berhentilah umrahnya, tetapi rambutnya belum boleh digunting atau dicukurnya (belum tahalluf). Maka, setelah selesai umrah dengan tidak bercukur atau bergunting itu, mulailah dia mengerjakan haji; wukuf di Arafah, melempar ketiga jamrah sebagaimana biasa. Di hari kesepuluh (Hari Nahar) wajiblah dia menyembelih seekor kambing (sekurangnya) atau 7 ekor unta umur 7 tahun (kalau mampu) sebagai syukur kepada Allah sebab telah selesai dengan selamat mengerjakan haji dan umrah. Atau ganti dengan puasa tiga hari selama haji dan 7 hari (jadi 10 hari) selesai haji.
Haji Tamattu'
Setelah sampai di tempat Miqat dan mandi ihram, dan memakai pakaian ihram, diniatkan untuk menyempurnakan umrah lebih dahulu. Mungkin karena merasa hari untuk mengerjakan haji masih jauh. Lalu, se-sampai di Mekah, kerjakan segala rukun dan wajib umrah, dengan memulai dari Thawaf Qudum, lalu mengerjakan sa'i antara Shafa dan Marwah. Setelah itu, cukur rambut atau gunting (tahalluf). Selesai umrah, di saat itu pulang dan pakai pakaian biasa. Sudah halal semua pekerjaan yang dilarang ketika umrah.
Setelah itu, ditunggulah waktu mengerjakan haji. Maka, setelah datang delapan hari bulan Dzulhijjah, mulailah pula ihram dari
Mekah, dengan niat mengerjakan haji; mulainya wukuf di Arafah hari kesembilan setelah tergelincir matahari, malamnya mabit di Muzdalifah, metontar jamrah di Mina. Setelah selesai melontar Jamratul Aqabah, potonglah seekor kambing atau 7 ekor unta (kalau awak orang mampu), bagikan dagingnya kepada fakir miskin. Menurut Imam Syafi'i, memotong dam itu boleh saja setelah selesai mengerjakan umrah, sebelum naik ke Arafah. Kalau kita tak sanggup, boleh diganti dengan puasa tiga hari selama haji itu dan tujuh hari tambahannya setelah selesai haji.
Haji Ifrad
Yaitu, haji saja, tidak diserempakkan dengan umrah dan tidak di-tomottu'-kan. Dari miqat dimulai mandi dan berwudhu lalu dipakai pakaian ihram setelah itu shalat dua rakaat. Di waktu itu dipasang niat hendak me-ngerjakan haji saja. Mungkin karena harinya telah dekat. Sampai di Mekah terus mengerjakan Thawaf Qudum. Selesai Thawaf Qudum, tidak sa'i dan tidak bercukur atau bergunting, dan pakaian ihram terus dipakai, sampai menunggu waktu naik ke Arafah. Maka, setelah selesai wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, turun melontar Jamratul Aqabah. Sehabis melempar Jamratul Aqabah sesudah fajar hari ke-10 itu, sudah boleh dia bercukur atau bergunting dan menukar pakaian ihramnya dengan pakaian biasa. Saat itu bernama tahallul awwal (bercukur, bergunting yang pertama). Semua sudah halal kecuali bercampur dengan istri. Sunnah baginya sehabis melontar jamratul Aqabah itu segera di waktu itu juga bersegera berangkat ke Mekah melakukan thawaf dan sa'i. Selesai sa'i dilakukan tahallul tsani (kedua). Kalau dari tadi belum dilakukannya tahallul awwal, sesudah ini dia tahallul sekaligus. Dengan demikian, sudah halal dia bercampur dengan istrinya. Dan, selesai itu segera kembali ke Mina buat berhenti selama tiga hari.
Itulah Haji Ifrad. Dengan demikian, hajinya telah selesai. Dia pun wajib mengerjakan umrah sekurangnya satu kali sebab dari mulai datang dia belum melakukan umrah.
Orang yang melakukan Haji Ifrad tidaklah membayar kurban (dam), baik kambing maupun tujuh unta atau puasa tiga hari dan tujuh hari. Meskipun memotong kurban di hari nahar dan tiga hari Tasyrik, kepada mereka pun masih dianjurkan. Sebab itu, telah termasuk uhd-hiyah atau binatang kurban yang kita dianjurkan mengerjakan setiap tahun, walaupun tidak di Mekah dan Mina.
Haji Ifrad ini banyak dikerjakan orang di zaman sekarang, yaitu di zaman telah lancarnya perhubungan udara. Dari atas kapal terbang, meskipun sebelum miqat, dia sudah ihram. Orang Mesir dan Suriah biasa berbuat begitu. Hari kedelapan (Hari Tarwiyah) mereka sampai di Jeddah. Malamnya terus dengan mobil ke Arafah, hari kesembilan buat wukuf sehabis tergelincir matahari. Malamnya mabit di Muzdalifah. Pagi-pagi mulai melempar jamrah di Mina. Sehabis melempar Jamratul Aqabah mereka sudah boleh tahallul dan mereka sembelih kurban. Lalu, sepagi itu juga mereka pergi Thawaf Ifadhah ke Mekah dan terus sa'i (hari kesepuluh). Pakaian ihram ditanggalkan. Kadang-kadang petang harinya mereka kembali ke negeri mereka dengan kapal udara. Itu namanya Haji Ifrad, Akan tetapi, yang setengah lagi, dia cukupkan dengan bermalam di Mina dua hari (hari kesebelas dan dua belas) lalu kembali ke Mekah melalui Tan'im dengan berihram lagi mengerjakan umrah, terus Thawaf Umrah dan setelah itu mereka Thawaf Wada'. Kira-kira tiga jam selesai, mereka pun pulang kembali ke negerinya dengan selesai haji dan umrah. Selesai keduanya dalam masa kurang dari dua minggu.
“Akan tetapi, barangsiapa yang tidak mendapat," yaitu tidak dapat membayar dam dengan sekurang-kurangnya seekor kambing, karena memisahkan di antara haji dengan senang-senang selesai sebuah-sebuah, “Maka, hendaklah dia puasa tiga hari ketika haji dan tujuh hari apabila telah kembali kamu" yaitu ke kampung halaman."Itulah sepuluh hari yang sempurna" Yang tiga hari dipuasakan sedang mengerjakan haji, sesudah Hari Nahar (hari berhenti di Mina dari hari kesepuluh sampai hari ketiga belas). Yang tujuh hari lagi dipuasakan apabila telah sampai di kampung kembali. Begitu menurut tafsiran sebuah hadits Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar. Dan, setengah ulama mengatakan boleh dibayar selama dalam perjalanan. Bagi kita orang Indonesia, boleh dibayar selama dalam kapal. Sebab, keadaan dalam kapal di zaman sekarang boleh dikatakan tidak sukar sebagai musafir di darat lagi.
“Yang demikian itu ialah bagi orang yang tidak ada dirinya jadi penduduk Masjidil Haram." Sebab kalau penduduk Mekah sendiri, apalah yang mereka susahkan. Mereka kalau hendak haji memakai pakaian ihram dari Mekah sendiri terus pergi wukuf ke Arafah. Sedang sekalian penduduk luar Mekah, masuk Mekah saja pun sudah dengan ihram dan ditentukan pula miqatnya. Kalau tidak di waktu haji, tentu mereka umrah. Membayar dam karena kita akan haji tidak lagi dari miqat, padahal kita bukan penduduk Mekah.
Sebagai penutup, berfirmanlah Allah, “Dan takwalah kepada Allah." Karena, maksud yang utama dari haji ialah membina takwa itu, sebagaimana pada perintah yang telah lalu tentang puasa, maksud puasa pun ialah mem-bina takwa. Bahkan potong-memotong kurban atau dam itu, di dalam surah al-Hajj: 37 pun telah diterangkan bahwa tidaklah daging-daging atau darah-darah kurban itu yang akan mencapai Allah, tetapi yang akan mencapainya ialah takwa kamu juga.
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah, adalah sangat besar siksaan-Nya."
Oleh sebab yang dimaksud dengan ibadah ini ialah membangunkan hati yang takwa, hendaklah dikerjakan semua ibadah itu dengan khusyu. Khusyuklah pada waktu itu dan jangan banyak bantahan sebab siksaan Allah adalah keras.
Ayat 197
“Haji itu adalah beberapa bulan yang telah dimaklumi" yaitu bahwa waktu pelaksanaan dan penyelenggaraan serta suasana haji itu di bulan-bulan yang telah sama dimaklumi. Artinya, sudah diketahui bulan-bulannya itu sejak zaman Nabi Ibrahim sehingga orang-orang Arab tidak ada lagi yang tidak tahu bulan-bulan itu, yaitu bulan Syawwal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah sampai akhirnya. Pendeknya, sejak 1 Syawwal itu kita sudah boleh ihram untuk haji. Syawwal sudahlah dalam suasana umrah dan haji. Sedang kalau di bulan yang lain hanya untuk umrah saja. Misalnya kalau ada orang yang tahan tidak bercukur-cukur lalu dia Haji Qiran sejak 1 Syawwal sampai akhir Dzulhijjah pun silakan. Akan tetapi, kalau berat, lebih baiklah Haji Tamattu' saja dan bayarlah dam-nya atau puasa seperti yang sudah diterangkan di awal. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa thawaf haji (thawaf ifadhah) itu boleh disempurnakan di akhir Dzulhijjah saja. Akan tetapi, kalau disebut bahwa ketiga bulan itu adalah bulan haji, mengerjakan haji sendiri ialah dari 9 Dzulhijjah di Arafah, dan selesai setelah Hari Nahar (hari kurban) atau Hari Tasyriq (hari menjemur dendeng), yaitu hari ketiga belas.
Dengan demikian, kalau orang pergi ke Mekah mengerjakan ihram haji di luar dari bulan yang tiga itu atau ke Arafah sebelum atau selepas tanggal 9 tidaklah sah hajinya, sama dengan shalat lima waktu sebelum waktunya. Yang sah setiap waktu hanya umrah.
Sambungan ayat selanjutnya, “Maka, barangsiapa yang memerlukan dirinya berhaji di bulan-bulan itu maka sekali-kali tidak boleh rafats (bercakap kotor)," yaitu segala yang berhubungan dengan persetubuhan suami-istri.
“Dan tidak boleh fusuq," yaitu segala sikap dan tingkah laku yang membawa ke luar dari batas-batas akhlak yang ditentukan agama, seumpama menghina, mengejek, bergunjing."Dan tidak boleh berbantah" Berdebat, apatah lagi yang akan membawa berkelahi, semuanya itu dilarang “di dalam haji". Oleh sebab di ujung ayat yang telah lalu sudah dikatakan bahwa maksud utama ialah membangun rasa takwa dalam jiwa maka sudah sama dimaklumi bahwa segala yang akan menghilangkan khusyu atau prihatin hendaklah dijauhi sangat pada waktu haji itu. Dengan mengingat pakaian ihram yang kita pakai, dua potong kain tidak berjahit dan tidak berkarung, seakan-akan kita pada waktu itu dalam suasana mengingat mati, berkumpul di Padang Arafah laksana membayangkan akan berkumpul di Padang Mahsyar. Kita sedang berhadap-hadapan dengan Allah. Maka, tidaklah layak dalam majelis yang demikian mulianya kita masih saja bersenda gurau dan bercanda, apatah lagi bersetubuh dengan istri. Masih saja bersikap yang menunjukkan kurang budi atau bertengkar-tengkar, lebih baiklah pada waktu beribadah, wukuf yaitu berhenti sambil tafakur, membaca Al-Qur'an ataupun dzikir. Apatah lagi memang ada bacaan yang khas buat waktu itu, yaitu talbiyah,
“Labbaik, allahumma labbaik, ia syarika laka. lnnal hamda wan-nimata laka wal-mulka. La syarika laka (Ya, Tuhanku! Inilah aku, hamba-Mu telah datang, segala panggilan-Mu telah aku sambut dengan segala kerendahan hati. Tidak ada sekutu bagi-Mu, segala puji dan nikmat Engkaulah yang empunya dan kekuasaan pun. Tak ada sekutu bagi-Mu)."
“Dan bersiap-bekallah kamu!' Artinya, oleh karena naik haji adalah satu di antara rukun (tiang agama) Islam dan sekurang-kurangnya sekaliseumur hidup wajib kita menunaikannya, bersiaplah bekal yang lengkap dan cukup. Dari jauh hari pasanglah niat dan kumpulkanlah perbelanjaan, selamat pergi dan pulang dan selamat yang didapati."Maka, sesungguhnya bekal yang sebaik-baiknya ialah takwa." Artinya, inti sari dari pengumpulan bekal sejak jauh hari itu, yang sebenarnya ialah takwa jua. Sekali lagi diulangi dan selalu diulangi: takwa, takwa. Itulah yang sebenarnya. Sebab, meskipun telah mengumpul bekal sejak dari jauh hari, kalau takwa tidak ada, mungkin nanti sumber asal dari bekal yang dikumpulkan itu asal dapat saja, tidak peduli dari halal atau haram. Sehingga ada orang yang ke Mekah dengan bekal yang cukup, tetapi dari uang riba atau uang hasil korupsi. Atau mengumpul bekal sangat lengkap, tetapi naik haji karena riya supaya sesampai di kampung diberi gelar “haji". Atau naik haji karena politik.
Sebaliknya pula, ada orang yang kuat takwa hatinya, tetapi bekal tidak cukup. Maka, dengan daya upayanya dia pun naik haji dengan bersembunyi-sembunyi dalam kapal. Selamat juga dia sampai di Mekah karena pandai bersembunyi. Akan tetapi, sampai di Mekah, ketika perutnya lapar, terpaksa dia menghinakan diri dengan meminta-minta. Ini karena dia telah melanggar bunyi ayat yang menyuruh menyediakan bekal itu. Ada diriwayatkan bahwa di zaman dahulu banyak orang naik haji dari Yaman dengan berjalan kaki dengan tidak membawa bekal. Sampai di Mekah menjadi peminta-minta, padahal bagi mereka belum ada kewajiban haji dalam keadaan yang demikian.
“Dan takwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berpikir."
(ujung ayat 197)