Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
إِذَا
apabila
طَلَّقۡتُمُ
kamu menceraikan
ٱلنِّسَآءَ
isteri-isteri
فَطَلِّقُوهُنَّ
maka ceraikanlah mereka
لِعِدَّتِهِنَّ
bagi iddah mereka
وَأَحۡصُواْ
dan hitunglah
ٱلۡعِدَّةَۖ
iddah itu
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
رَبَّكُمۡۖ
Tuhan kalian
لَا
tidak/jangan
تُخۡرِجُوهُنَّ
kamu keluarkan mereka
مِنۢ
dari
بُيُوتِهِنَّ
rumah-rumah mereka
وَلَا
dan tidak/jangan
يَخۡرُجۡنَ
mereka keluar
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يَأۡتِينَ
mereka mendatangkan/berbuat
بِفَٰحِشَةٖ
dengan kekejian
مُّبَيِّنَةٖۚ
terang/nyata
وَتِلۡكَ
dan itu
حُدُودُ
batas-batas/hukum-hukum
ٱللَّهِۚ
Allah
وَمَن
dan barang siapa
يَتَعَدَّ
melampaui batas/melanggar
حُدُودَ
batas-batas/hukum-hukum
ٱللَّهِ
Allah
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
ظَلَمَ
dia berbuat zalim
نَفۡسَهُۥۚ
dirinya sendiri
لَا
tidak
تَدۡرِي
kamu mengetahui
لَعَلَّ
barang kali
ٱللَّهَ
Allah
يُحۡدِثُ
mengadakan yang baru
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian itu
أَمۡرٗا
perkara/sesuatu
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
إِذَا
apabila
طَلَّقۡتُمُ
kamu menceraikan
ٱلنِّسَآءَ
isteri-isteri
فَطَلِّقُوهُنَّ
maka ceraikanlah mereka
لِعِدَّتِهِنَّ
bagi iddah mereka
وَأَحۡصُواْ
dan hitunglah
ٱلۡعِدَّةَۖ
iddah itu
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
رَبَّكُمۡۖ
Tuhan kalian
لَا
tidak/jangan
تُخۡرِجُوهُنَّ
kamu keluarkan mereka
مِنۢ
dari
بُيُوتِهِنَّ
rumah-rumah mereka
وَلَا
dan tidak/jangan
يَخۡرُجۡنَ
mereka keluar
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يَأۡتِينَ
mereka mendatangkan/berbuat
بِفَٰحِشَةٖ
dengan kekejian
مُّبَيِّنَةٖۚ
terang/nyata
وَتِلۡكَ
dan itu
حُدُودُ
batas-batas/hukum-hukum
ٱللَّهِۚ
Allah
وَمَن
dan barang siapa
يَتَعَدَّ
melampaui batas/melanggar
حُدُودَ
batas-batas/hukum-hukum
ٱللَّهِ
Allah
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
ظَلَمَ
dia berbuat zalim
نَفۡسَهُۥۚ
dirinya sendiri
لَا
tidak
تَدۡرِي
kamu mengetahui
لَعَلَّ
barang kali
ٱللَّهَ
Allah
يُحۡدِثُ
mengadakan yang baru
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian itu
أَمۡرٗا
perkara/sesuatu
Terjemahan
Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Tafsir
Ath-Thalaaq (Perceraian)
(Hai Nabi!) makna yang dimaksud ialah umatnya, pengertian ini disimpulkan dari ayat selanjutnya. Atau makna yang dimaksud ialah, katakanlah kepada mereka (apabila kalian menceraikan istri-istri kalian) apabila kalian hendak menjatuhkan talak kepada mereka (maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka menghadapi idahnya) yaitu pada permulaan idah, seumpamanya kamu menjatuhkan talak kepadanya sewaktu ia dalam keadaan suci dan kamu belum menggaulinya. Pengertian ini berdasarkan penafsiran dari Rasulullah ﷺ sendiri menyangkut masalah ini; demikianlah menurut hadis yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (dan hitunglah waktu idahnya) artinya jagalah waktu idahnya supaya kalian dapat merujukinya sebelum waktu idah itu habis (serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian) taatlah kalian kepada perintah-Nya dan larangan-Nya. (Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar) dari rumahnya sebelum idahnya habis (kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji) yakni zina (yang terang) dapat dibaca mubayyinah, artinya terang, juga dapat dibaca mubayyanah, artinya dapat dibuktikan. Maka bila ia melakukan hal tersebut dengan dapat dibuktikan atau ia melakukannya secara jelas, maka ia harus dikeluarkan untuk menjalani hukuman hudud. (Itulah) yakni hal-hal yang telah disebutkan itu (hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu) sesudah perceraian itu (sesuatu hal yang baru) yaitu rujuk kembali dengan istri yang telah dicerainya, jika talak yang dijatuhkannya itu baru sekali atau dua kali.
Tafsir Surat Ath-Thalaq: 1
Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (di izinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.
Nabi ﷺ diprioritaskan mendapat khitab (perintah) dari ayat ini sebagai penghormatan dan kemuliaan baginya, kemudian menyusul buat umatnya sesudahnya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sawab ibnu Sa'id Al-Hubari, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Siti Hafsah, lalu Hafsah pulang ke rumah keluarganya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l) Maka dikatakan kepada Nabi ﷺ , "Rujukilah dia, karena sesungguhnya dia (Hafsah) adalah seorang wanita yang banyak berpuasa dan banyak salatnya, dan dia termasuk salah seorang dari istri-istrimu di surga nanti." Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui Ibnu Basysyar, dari Abdul A'la, dari Sa'id, dari Qatadah, lalu ia sebutkan hal yang semisal secara mursal.
Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Siti Hafsah, kemudian beliau ﷺ merujuknya kembali. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Salim bahwa Abdullah ibnu Umar pernah menceritakan kepadanya bahwa dirinya pernah menceraikan salah seorang istrinya yang sedang dalam haid. Kemudian Umar (ayahnya) menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ Maka Rasulullah ﷺ marah dan bersabda: Dia harus merujuknya, kemudian memegangnya hingga suci dari haidnya, lalu berhaid lagi dan bersuci, maka (sesudah itu) bila dia ingin menceraikannya, ia boleh menceraikannya dalam keadaan suci, sebelum dia menggaulinya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala (untuk dijalani). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini. Dia telah meriwayatkannya pula di berbagai tempat (bagian) lain dari kitab sahihnya. Sedangkan Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan teks yang berbunyi seperti berikut: Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah untuk dijalani bila menceraikan wanita.
Para pemilik kitab hadits dan kitab musnad telah meriwayatkan hadits ini melalui berbagai jalur dan dengan lafal yang beraneka ragam lagi banyak, yang rinciannya dapat dijumpai di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah-masalah hukum. Akan tetapi, lafal yang paling diperlukan dan paling penting untuk diketengahkan di sini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ibnu Juraij.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Aiman maula Izzah bertanya kepada Ibnu Umar, sedangkan Abuz Zubair mendengarnya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid?" Maka Ibnu Umar menjawab bahwa dirinya pernah menceraikan istrinya yang sedang haid di masa Rasulullah ﷺ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Dia harus merujuknya. Maka Ibnu Umar merujuknya. Dan Nabi ﷺ bersabda: Jika istrinya telah bersuci, dia boleh menceraikannya atau tetap memegangnya (sebagai istri).
Ibnu Umar melanjutkan, bahwa Nabi ﷺ membaca firman-Nya: Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Al-A'masy telah meriwayatkan dari Malik ibnul Haris, dari Abdur Rahman ibnu Zaid, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Makna yang dimaksud ialah dalam keadaan suci tanpa disetubuhi.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Umar, ‘Atha’, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun ibnu Mahran, dan Muqatil ibnu Hayyan. Ini merupakan riwayat yang bersumber dari Ikrimah dan Adh-Dhahhak. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa seseorang tidak boleh menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid; tidak boleh pula dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya.
Tetapi hendaknya dia membiarkannya hingga berhaid lagi, lalu bersuci, kemudian ia baru boleh menjatuhkan talaknya sekali. Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa yang dimaksud dengan idah ialah saat suci dan saat haid. Seseorang diperbolehkan menceraikan istrinya dalam keadaan hamil lagi positif kehamilannya. Dan ia tidak boleh menceraikannya, sedangkan ia telah menyetubuhinya dan tidak diketahui apakah istrinya dalam keadaan hamil atau tidak.
Berangkat dari pengertian ini, para ulama fiqih menyusun hukum-hukum talak dan mereka membaginya menjadi talak sunnah dan talak bid'ah. Yang dimaksud dengan talak sunnah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan suci tanpa menyetubuhinya atau dalam keadaan hamil yang telah jelas kehamilannya. Dan talak bid'ah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan berhaid atau dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya di masa sucinya itu, dan tidak diketahui apakah istrinya telah hamil atau tidak.
Talak yang ketiga ialah talak yang bukan sunnah dan bukan pula bid'ah, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang masih belum balig, wanita yang tidak berhaid, dan wanita (istri) yang belum disetubuhi. Penjelasan mengenai hal ini secara rinci berikut semua cabang yang berkaitan dengannya di sebutkan di dalam kitab-kitab fiqih; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah Swt: dan hitunglah waktu idah itu. (Ath-Thalaq: 1) Yakni peliharalah dan ketahuilah permulaan dan batas berakhirnya, agar masa idah tidak memanjang bagi si istri, yang berakibat terhalang dari melakukan perkawinan.
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. (Ath-Thalaq: 1) Yaitu dalam hal tersebut. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar. (Ath-Thalaq: 1) Artinya, dalam masa idahnya ia berhak mendapatkan tempat tinggal yang dibebankan kepada pihak suami selama istrinya masih menjalani idah darinya, si suami tidak boleh mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan si istri tidak boleh pula keluar darinya, karena terikat dengan hak suaminya juga.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. (Ath-Thalaq: 1) Yakni mereka tidak boleh diizinkan keluar dari rumah tempat tinggal mereka terkecuali jika wanita yang bersangkutan melakukan perbuatan keji yang terang (yakni terbukti perbuatan kejinya). Maka dia baru boleh diusir dari tempat tinggalnya. Yang dimaksud dengan perbuatan fahisyah ialah mencakup perbuatan zina. Ini menurut pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Qilabah, Abu Saleh, Adh-Dhahhak, Zaid ibnu Aslam, ‘Atha’ Al-Khurrasani, As-Sadi, Sa'id ibnu Abu Hilal, dan lain-lainnya.
Juga mencakup bilamana wanita yang bersangkutan bersikap membangkang atau bersikap menghina keluarga suami dan menyakiti mereka dengan lisannya dan juga dengan perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka'b, Ibnu Abbas, Ikrimah, dan ulama Salaf lainnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Itulah hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1) Yakni hukum-hukum syariat:Nya dan batasan-batasan haram-Nya. dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1) Maksudnya, keluar dan menyimpang darinya ke jalan lain dan tidak mau mengikutinya.
maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Ath-Thalaq: 1) dengan perbuatannya itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1) Yaitu sesungguhnya Kami biarkan wanita yang diceraikan tetap berada di tempat tinggal suaminya dalam masa idahnya, karena barangkali si suami menyesali talak yang telah dijatuhkannya, dan Allah menggerakkan hati suami untuk merujuknya. Bila demikian, maka urusannya mudah dan gampang.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Fatimah binti Qais sehubungan dengan makna firman-Nya: Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1) Yakni keinginan untuk rujuk. Hal yang semisal telah dikatakan oleh Asy-Sya'bi, ‘Atha’, Qatadah, Adh-Dhahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ats-Tsauri. Berangkat dari pengertian ini ada sejumlah ulama Salaf dan para pendukungnya seperti Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa tidak wajib memberikan tempat tinggal bagi wanita yang diceraikan habis-habisan (telah habis talaknya), demikian pula bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya.
Mereka yang berpendapat demikian berpedoman pula kepada hadits Fatimah binti Qais Al-Fihriyyah ketika diceraikan oleh suaminya (yaitu Abu Amr ibnu Hafs) pada talak yang terakhir, yaitu talak yang ketiga. Saat itu Abu Amr tidak ada di tempat, yaitu berada di negeri Yaman; ia mengirimkan kurirnya untuk menyampaikan talaknya itu, juga bersamaan dengan itu ia mengirimkan kepada kurirnya sejumlah gandum sebagai nafkah untuk istri yang diceraikannya.
Maka istrinya marah karena hanya gandum yang dikirimkan kepadanya. Lalu Abu Amr mengatakan, "Demi Allah, tiada kewajiban atas kami memberi nafkah kepadamu." Fatimah binti Qais datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ mengadukan masalahnya, maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Engkau tidak punya hak nafkah darinya. Menurut lafal hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula: dan (tidak pula) tempat tinggal. Pada mulanya Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk menjalani idahnya di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau ﷺ mencabut perintahnya dan bersabda: Ummu Syarik adalah seorang wanita yang sering didatangi oleh sahabat-sahabatku, tunaikanlah masa idahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang tuna netra, engkau dapat menanggalkan pakaian (jilbab)mu. dan seterusnya. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini melalui jalur lain dengan lafal yang lain; untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir yang mengatakan bahwa aku tiba di Madinah, lalu aku mengunjungi Fatimah binti Qais.
Maka dia menceritakan kepadaku bahwa suaminya telah menceraikannya di masa Rasulullah ﷺ dan beliau ﷺ mengirimkan suaminya bersama suatu pasukan khusus. Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu saudara lelaki suaminya berkata kepadaku, "Keluarlah kamu dari rumah (saudaraku) ini." Maka aku menjawab, "Sesungguhnya aku berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal hingga masa idahku habis." Saudara suamiku berkata, "Tidak." Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku menghadap Rasulullah ﷺ dan kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya si Fulan telah menceraikanku, dan saudara lelakinya mengusirku dari rumah suamiku, dia tidak memberiku tempat tinggal dan nafkah." Maka Rasulullah ﷺ menanyai saudara suaminya, "Mengapa kamu dan anak perempuan keluarga Qais ini?" Ia menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudaraku telah menceraikannya tiga kali seluruhnya." Fatimah binti Qais melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: ". Perhatikanlah, wahai anak perempuan keluarga Qais, sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri dibebankan pada suaminya selama si suami masih punya hak untuk merujuknya.
Dan apabila si suami tidak punya hak lagi untuk merujuknya, maka tiada nafkah dan tiada tempat tinggal lagi. Sekarang keluarlah engkau dan tinggallah di rumah si Fulanah. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda lagi kepadanya: Tinggallah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang yang tuna netra dan tidak dapat melihatmu. hingga akhir hadits. Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah Al-Bazzar At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim As-Sawwaf, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yazid Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Amir Asy-Sya'bi, bahwa ia masuk menemui Fatimah binti Qais saudara perempuan Adh-Dhahhak ibnu Qais Al-Qurasyi, suaminya bernama Abu Amr ibnu Hafs ibnul Mugirah Al-Makhzumi.
Maka Fatimah binti Qais menceritakan bahwa sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menyampaikan talaknya terhadapku, sedangkan ia berada dalam rombongan pasukan yang diberangkatkan ke negeri Yaman. Maka aku menuntut nafkah dari walinya dan juga tempat tinggal, tetapi mereka (orang-orang yang menjadi walinya) mengatakan, "Dia tidak mengirimkan sesuatu pun kepada kami hal tersebut dan tidak pula memesankannya kepada kami." Maka aku menemui Rasulullah ﷺ dan kukatakan kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs telah mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menceraikanku.
Lalu aku meminta kepada para walinya agar aku diberi tempat tinggal dan nafkah. Tetapi mereka mengatakan, 'Dia tidak mengirimkan apa pun kepada kami mengenai hal tersebut'." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ". Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah itu hanyalah bagi wanita yang suaminya masih mempunyai hak untuk merujuknya. Dan jika wanita tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki lain, maka tiada nafkah baginya dan juga tiada tempat tinggal. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, dari Ahmad ibnu Yahya As-Sufi, dari Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, dari Sa'id ibnu Yazid Al-Ahmasi Al-Bajali Al-Kufi.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah seorang syekh (guru) yang sering diambil riwayat hadisnya."
Pada akhir Surah at-Tag'bun, Allah memberitahukan bahwa istri dan anak bisa jadi musuh; dan Allah memerintahkan agar bersikap baik dan pemaaf kepada mereka. Pada ayat ini diterangkan bahwa di antara suami istri bisa terjadi perceraian, namun Allah mengingatkan Nabi tentang hukum dan etika perceraian dalam Islam. Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, perbuatan halal, tetapi paling tidak disukai Allah, maka hendaklah kamu ceraikan mereka atau salah seorang di antara mereka pada waktu mereka dapat menghadapi idahnya dengan tidak memberatkan, yaitu ketika masa suci dari haid agar tidak lama menunggu untuk bisa menikah lagi dengan laki-laki lain. Dan hitunglah waktu idah itu dengan cermat kapan mulainya dan kapan berakhir; serta bertakwalah, kamu semua, kepada Allah Tuhanmu dalam segala urusan. Janganlah kamu keluarkan mereka, istri yang dijatuhi talak itu selama masa idah, dari rumah yang ditempati-nya dan janganlah mereka diizinkan keluar secara bebas kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas seperti berzina. Itulah hukum-hukum Allah yang harus dilaksanakan manusia. Dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah secara sengaja atau karena lalai, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, karena merugikan dirinya, sedangkan ia tetap harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Kamu tidak mengetahui, wahai Nabi, rencana Allah bagi kamu, barangkali setelah itu, yakni setelah kamu menjatuhkan talak kepada istrimu, Allah mengadakan sesuatu yang baru, yakni memberikan istri yang lebih baik. 2. Maka apabila mereka, para istri yang dijatuhi talak telah mendekati akhir masa idahnya, maka rujuklah, kembali kepada mereka dengan baik guna mempertahankan ikatan perkawinan; atau lepaskanlah mereka, yakni terus menceraikannya dengan baik dengan memperhatikan hak-hak anak. Dan persaksikanlah keputusan kamu untuk menceraikannya dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, yakni dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan; dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah dengan jujur dan adil, serta dengan menaati hukum Allah. Demikianlah pengajaran itu, perintah untuk mematuhi hukum Allah dengan tulus diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat di antara hamba-hamba-Nya. Barang siapa bertakwa kepada Allah dalam segala urusan; niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dari segala kesulitan.
Dalam ayat ini, khithab (seruan) Allah ditujukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya dimaksudkan juga kepada umatnya yang beriman. Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin apabila mereka ingin menceraikan (menalak) istri-istri mereka, agar melakukannya ketika istrinya langsung bisa menjalani idahnya, yaitu pada waktu istri-istri itu suci dari haid dan belum dicampuri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis Nabi ﷺ yang berasal dari Ibnu 'Umar:
'Abdullah bin 'Umar telah menalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu 'Umar bin Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw, lalu beliau memerintahkan 'Abdullah bin 'Umar merujuk istrinya, menahan istrinya (tinggal bersama) sampai masa suci. Lalu menunggu masa haidnya lagi sampai suci, maka setelah itu jika ia menginginkan tinggal bersama istrinya (maka lakukanlah), dan jika ia ingin menalak istrinya (maka lakukanlah) sebelum menggaulinya. Demikianlah masa idah yang diperintahkan Allah ketika perempuan ditalak. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Seorang suami yang akan menalak istrinya, agar meneliti dan memperhitungkan betul kapan idah istrinya mulai dan kapan berakhir, agar istri langsung bisa menjalani idahnya sehingga tidak menunggu terlalu lama. Suami juga diminta melaksanakan hukum-hukum dan memenuhi hak-hak istri yang harus dipenuhi selama masa idah. Hendaklah suami itu takut kepada Allah dan jangan menyalahi apa yang telah diperintahkan-Nya mengenai talak, yaitu menjatuhkan talak pada masa yang direstui-Nya dan memenuhi hak istri yang di talak. Antara lain, janganlah sang suami mengeluarkan istri yang ditalaknya dari rumah yang ditempatinya sebelum ditalak dengan alasan marah dan sebagainya, karena menempatkan istri itu pada tempat yang layak adalah hak istri yang telah diwajibkan Allah selama ia masih dalam idah.
Sang suami juga dilarang untuk mengeluarkan istri yang sedang menjalani idah dari rumah yang ditempatinya. Apalagi membiarkan keluar sekehendaknya, karena yang demikian merupakan pelanggaran agama, kecuali apabila istri terang-terangan mengerjakan perbuatan keji, seperti melakukan perbuatan zina dan sebagainya. Jika sang istri berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, maka bolehlah ia dikeluarkan dari tempat tinggalnya. Demikianlah batas-batas dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah mengenai talak, idah, dan sebagainya.
Oleh karena itu, barang siapa melanggar hukum-hukum Allah itu, berarti ia berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Andaikata Allah menakdirkan satu perubahan, lalu hati suami berbalik menjadi cinta lagi kepada istrinya yang telah ditalaknya dan merasa menyesal atas perbuatannya kemudian ia ingin rujuk kembali, maka baginya sudah tertutup jalan, bila keinginannya itu dilaksanakan sesudah habis masa idahnya karena ia telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Istri yang dimaksud di sini ialah istri yang sudah atau masih haid dan sudah dicampuri sesudah akad nikah. Ada pun istri yang masih kecil atau sudah ayisah (tidak haid lagi) atau belum dicampuri sesudah akad nikah, apabila ditalak, mempunyai hukum idah tersendiri. Berbeda dengan hukum yang berlaku seperti tersebut di atas.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ATH-THALAAQ
(PERCERAIAN)
SURAH KE-65,12 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-12)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
PERINTAH UNTUK NABI DAN UMAT
Ayat 1
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, maka talaklah mereka itu untuk iddahnya dan hitunglah iddah itu."
Yang pertama patut kita perhatikan di ayat ini ialah pada pangkalnya, yaitu panggilan Allah kepada Nabi ﷺ. Kepada beliaulah diturunkan perintah ini, tetapi dia berlaku untuk Nabi. Artinya kalau beliau sendiri pun menceraikan istrinya, hendaklah dia menceraikan bagi iddahnya dan hendaklah iddah itu dihitung.
Maksud menceraikan “bagi iddahnya" ialah supaya perceraian itu dilakukan jangan sampai membuat susah kepada istri yang telah diceraikan itu dalam dia menunggu iddahnya. Untuk ini ahli fiqih menjelaskan bahwa menceraikan istri itu ada yang menurut sunnah dan ada yang bid'ah. Yang menurut sunnah terpuji dan yang bid'ah tercela, meskipun talak yang bid'ah itu jatuh juga.
Yang menurut Sunnah ialah:
1. jangan menceraikan istri sedang dia dalam haid,
2. tetapi ceraikanlah sedang dia dalam suci sebelum disetubuhi.
Talak yang bid'ah ialah lawan dari itu, yaitu:
1. menceraikan istri sedang dia dalam haid,
2. menceraikan istri di waktu dia sedang suci tetapi telah dicampuri terlebih dahulu.
Maksud yang terutama dari peraturan iddah itu ialah buat menjelaskan apakah perempuan itu sedang hamil ketika diceraikan. Kalau dia sedang hamil supaya jelas bahwa laki-laki yang menceraikan itu akan beranak dari istrinya itu.
Untuk mengetahui ada kandungannya atau tidak hendaklah ditentukan iddah itu tsalatsatu quruu'in,
“Dan perempuan yang ditalak hendaklah menunggukan dirinya tiga quru'." (al-Baqarah; 228)
Mengandung atau tidaknya akan ketahuan bilamana ditunggu selama tiga quru', yaitu tiga kali masa yang sering disebut masa menstruasi, yaitu tiga kali masa haid dan tiga kali masa suci.
Kalau seorang istri diceraikan dalam masa suci dan dalam masa suci itu tidak disetubuhi lebih dahulu, maka masa sucinya itu telah dihitung masa suci pertama, setelah itu dia haid sesudah itu masa suci kedua, sudah itu dia haid, sesudah itu masa suci ketiga. Sesudah lepas masa suci yang ketiga itu iddahnya sudah lepas; dia sudah bebas menikah lagi!
Tetapi kalau dia diceraikan sedang haid, iddahnya baru dimulai pada masa suci pertama, sesudah itu dia haid, sesudah itu suci kedua, sesudah itu dia haid, sesudah itu dia suci ketiga. Selepas masa suci ketiga itu baru boleh dia kawin.
Selanjutnya kalau dia diceraikan di masa suci tetapi sudah disetubuhi, maka masa suci yang itu tidaklah termasuk dalam hitungan iddah, sehingga iddah perempuan itu menjadi terlalu lama. Dia mesti menunggu lebih dahulu haid, suci pertama, haid, suci kedua, haid dan suci ketiga. Selepas suci ketiga itu barulah boleh dia bersuami, kalau nyata bahwa dia tidak hamil.
Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abi Hatim, Nabi ﷺ sendiri pun pernah menceraikan istrinya, yaitu ibu orang Mukmin bernama Siti Hafshah binti Umar bin Khaththab. Beliau memperlakukan talak itu dengan memerhatikan iddah. Maka sangatlah iba hati Sayyidina Umar atas kejadian itu sehingga dia datang sendiri kepada Rasulullah ﷺ memohonkan agar anak perempuannya dirujuk kembali. Konon Jibril, sendiri pun campur tangan, meminta beliau rujuk sedang dalam iddah itu. Dikatakan kepada beliau, “Kembalilah kepada istrimu, Hafshah itu." Sebab dia adalah seorang perempuan yang ﷺamah, suka berpuasa sunnah; qauwamah, suka bangun tahajjud tengah malam. Artinya ia perempuan salihah. Dan dikatakanlah pula, bahwa dia akan tetap jadi istri beliau dalam surga kelak. Anjuran itu beliau turuti, dan beliau pun rujuk kembali setelah bercerai hanya dalam masa yang singkat saja.
Selain dari itu putra dari Sayyidina Umar bin Khaththab sendiri, yaitu Sayyidina Abdullah bin Umar pernah menalak istrinya, padahal istrinya itu sedang dalam haid. Hal itu disampaikan oleh Sayyidina Umar kepada Rasulullah ﷺ. Beliau marah mendengar berita itu. Beliau berkata,
“Hendaklah dia rujuk kepadanya kembali, kemudian dipegangnya sampai perempuan itu bersih dari haid, kemudian dia haid, kemudian dia bersih pula; maka kalau menurut pendapatnya hendak menceraikannya juga, maka ceraikanlah dia ketika bersihnya itu, sebelum disetubuhinya. Begitulah adanya iddah yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla." (HR Bukhari)
Demikian juga maksudnya hadits lain yang dirawikan oleh Muslim dan riwayat-riwayat dari perawi-perawi hadits yang lain yang sama maksudnya.
Dan hadits Nabi yang shahih itu dapat kita pahami bahwa talak yang dijatuhkan Abdullah bin Umar itu adalah perbuatan yang disalahkan oleh Nabi; tetapi talak demikian jatuh juga. Itu sebabnya maka Nabi ﷺ menyuruh Abdullah bin Umar rujuk kepadanya kembali semasa dia masih dalam iddah lalu perbaiki perbuatannya dengan membiarkannya dalam rumah sampai dia bersih, dan haid pula dan bersih lagi. Di waktu itu kalau dia hendak menalak juga, talaklah, sebelum dia disetubuhi. Maksudnya ialah supaya perempuan itu jangan terlalu lama terikat dalam iddah. Dan kalau dijatuhkan juga yang kedua kali, barulah talak itu menurut Sunnah Nabi ﷺ sebab telah dijatuhkan di waktu perempuan itu dalam haid, dan jadilah talak itu talak yang kedua.
Maka teranglah bahwa maksud “maka talaklah mereka itu untuk iddahnya" ialah ditalak di waktu bersih, bukan di waktu haid. Dan dijatuhkan talak itu sebelum istri disetubuhi. Dan ditalak setelah nyata bahwa dia hamil untuk jelas kepada masyarakat bahwa anak yang dikandung itu adalah anak si suami yang menceraikan itu.
Ibnu Abbas memberikan penjelasan, “Jangan ditalak sedang dia haid dan jangan ditalak sesudah disetubuhi pada waktu bersihnya itu, tetapi biarkanlah dia sampai haid dan bersih sesudah haid, di waktu itulah kalau hendak menalaknya.
Talak bid'ah ialah menalak sedang dia haid, atau menalak sesudah dia disetubuhi.
Talak bid'ah yang lain ialah menjatuhkan talak tiga sekaligus.
Timbul pertanyaan, “Apakah talak tiga sekaligus itu jatuh ketiganya atau jatuh hanya satu?"
Imam Syafi'i dengan tegas mengatakan bahwa menalak sekali ketiganya itu adalah hak si laki-laki itu. Sebab itu talak tiga itu jatuh menurut niatnya. Tiga niatnya, tiga jatuh. Tetapi dia berdosa. Sebab Nabi ﷺ pernah berkata kepada orang yang menalak istrinya sekaligus tiga kali itu, beliau berkata,
“Apakah kamu permain-mainkan kitab Allah, padahal aku masih ada diantara kalian?"
Imam Syafi'i berpegang kepada cara menghadapi kesalahan talak Ibnu Umar itu dalam hal ini, menjatuhkan talak sekaligus ketiganya memang salah tetapi jatuh! Tetapi Imam Malik menyatakan pendapat beliau, “Aku tidak mengenal talak kecuali hanya satu kali. Aku tidak menyetujui talak tiga sekaligus ataupun menjatuhkan satu demi satu di satu majelis." Imam Abu Hanifah tidak pula menyetujui menjatuhkan talak dalam satu kali suci lebih dari satu. Sebab itu maka Imam Malik menjaga pemisahan talak dan waktu. Imam Syafi'i hanya menjaga waktu belaka.
“Dan hitunglah iddah itu." Perhitungkanlah baik-baik iddah itu. Dihitung dari mulai haid; sudah nyata bahwa pada waktu haid istri tidak boleh disetubuhi. Kemudian dia pun suci atau bersih dengan syaratnya yang tertentu pula. Yaitu sesampai kering darahnya dia pun mandi membersihkan diri, termasuk mandi janabat juga. Sebaiknya di waktu itulah kalau memang bermaksud hendak menalaknya. Karena kalau ditunggu pula beberapa hari, takut akan tersetubuhi pula. Maka masa bersih yang si suami menjatuhkan talak itu termasuklah suci pertama dan sudah terhitung dalam iddah. Setelah itu lepas datanglah masa haidnya selama enam atau tujuh hari. Selepas itu dia pun suci bersih pula kembali, dengan mandi janabat pula sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga hari. Kemudian dia pun haid pula selama enam atau tujuh hari. Selepas itu dia pun kembali bersih, sebagai biasa tadi juga. Setelah selesai sucinya yang ketiga itu iddahnya habis, kalau ada orang yang meminangnya, dia sudah boleh kawin. Cuma kalau dia kawin sedang haid, tentu mempelai baru mesti menunggu pula sampai dia bersih.
Itulah maksud ayat “dan hitunglah iddah itu"
“Dan takwalah kamu kepada Allah, Allah kamu." Peringatan Allah menyuruh bertakwa adalah amat penting di saat-saat seperti itu. Karena pada asasnya bercerai itu adalah yang paling tidak disukai oleh Allah, meskipun dihalalkan-Nya. Macam-macam dapat terjadi dalam saat seperti itu. Ada orang yang tidak dapat mengendalikan diri dalam saat demikian. Ada orang yang tidak dapat menahan marahnya, lalu dia memaki-maki kepada istri yang hendak diceraikan atau telah diceraikan sedang dalam iddah. Ada yang mengusir-usir istrinya karena merasa dia yang berkuasa di dalam rumah, padahal selama dalam iddah janda itu masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu. Sebaliknya ada pula yang timbul sesalnya setelah menjatuhkan cerai, tetapi tidak segera dia melafazhkan lafazh rujuk di hadapan dua saksi, lalu timbul syahwatnya dan disetubuhinya saja istri yang dalam kedudukan janda itu. Ada pula yang karena sangat marah melafazhkan talak dengan tidak ada kesadaran, kemudian menyesal. Ada yang menuntut segala harta benda yang selama ini telah dihadiahkannya kepada istri itu. Maka diperingatkan oleh Allah agar orang bertakwa di saat demikian, supaya dia dapat mengendalikan dirinya, karena dia merasa bahwa segala perbuatannya selalu dilihat oleh Allah dan akan bertanggung jawab di hadapan Allah.
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata." Artinya bahwa selama di dalam iddah itu perempuan tersebut masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa selama dalam iddah itu rumah, tersebut masih rumah mereka, meskipun yang menyediakan rumah itu sejak semula ialah si suami. Oleh karena selama dalam pergaulan mereka telah hidup berdua dalam satu rumah, perempuan itu pun telah turut mempunyai rumah itu. Apatah lagi jika kehidupan rumah tangga atas dasar satu istri dalam perkongsian membina hidup, maka pada beberapa bangsa berlakulah adat yang bernama “gono-gini" atau “sarang dibagi, sekutu dibelah" atau “seguna sekaya" yang maksud ketiga adat itu adalah satu, yaitu dua orang suami istri yang merantau meninggalkan kampung halaman, lalu berusaha berdagang, atau bertani, atau jadi pegawai negeri, yang sama-sama dirasakan bahwa segala usaha ialah usaha berdua. Dalam hal yang demikian tentu saja rumah tadi hak berdua pula. Maka tidaklah boleh si laki-laki mengeluarkan istri yang diceraikan dalam iddah itu dari dalam rumah itu sebelum lepas iddahnya.
Tentu saja selama di dalam iddah itu dapat juga dimufakatkan dengan kesaksian keluarga terdekat kedua belah pihak bagaimana pembagian harta pencarian berdua tadi kalau perceraian jadi diteruskan juga, mana yang milik berdua yang akan dibagi dan mana yang jelas hak si istri yang akan dibawanya keluar setelah iddahnya sampai dan mana pula harta suaminya yang tidak boleh diganggu gugat.
Memang di dalam kitab-kitab tafsir lama hal ini tidak diuraikan panjang sampai demikian rupa. Tetapi dalam ayat sendiri terbuka jalan untuk dibicarakan, yaitu adanya kalimat rumah-rumah mereka, yang membayangkan bahwa perempuan ada hak milik atas rumah suaminya itu. Dan hukum syara' pun mengakui bahwa suatu adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama tetap diakui. Dalam ketentuan ushul-fiqih disebutkan,
“‘Uruf berlaku sebagai penentuan keputusan, adat berlaku sebagai dasar hukum."
Arti ‘uruf dengan adat itu hampir sama, yaitu kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, atau adat yang teradat dalam suatu masyarakat atau suatu negeri. Maka selama ‘uruf dan adat itu tidak berlanggaran dengan ketentuan hukum syari'at yang sharih (jelas), keduanya pun dapat dijadikan dasar hukum.
Di lanjutan ayat diterangkan barulah boleh si laki-laki itu mengeluarkan perempuan tersebut dari dalam rumahnya, atau dia sendiri bertindak sendiri keluar dan tidak usah dihalangi oleh jandanya itu, kalau perceraian itu terjadi, karena ada kesalahan si perempuan membuat pekerjaan keji yang nyata. Kekejian yang nyata itu ialah seumpama dia berzina di rumah itu. Dia memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah itu lalu tertangkap basah oleh suaminya, atau perbuatan-perbuatan lain yang sangat merusak rumah tangga, seumpama berutang, di luaran dengan tidak setahu suami. Lalu dikejar-kejar oleh orang yang berpiutang, padahal belanja yang diberikan suaminya ada berkecukupan atau kesalahan-kesalahan lain yang membuat hingar-bingar masyarakat sekeliling.
“Dan demikianlah beberapa peraturan-peraturan Allah dan barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, maka sesungguhnya dia telah menganiaya dirinya sendiri." Peraturan-peraturan Allah itu ialah syari'at-Nya, batas-batas yang Dia tentukan dalam hal menalak istri. Barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan itu nyatalah dia telah menganiaya diri sendiri, meremuk- redamkan kehidupan, menurunkan martabat diri.
Apabila dipikirkan keseluruhan ayat ini, jelas sekali bahwa seorang beriman dituntun agar berhati-hati dalam menjatuhkan talak. Ketika talak akan jatuh diperingatkan agar jangan lupa kepada Allah, supaya takwa kepada Allah, Allah kamu. Di ujung ayat diperingatkan sekali lagi bahwa talak itu ada aturannya sendiri. Sebab itu janganlah serampangan, karena serampangan akan membawa celaka diri sendiri. Akhirnya diperingatkan Allah pula tentang hikmah iddah,
“Tidaklah engkau tahu barangkali Allah akan menimbulkan suatu hal sesudah itu."
Artinya ialah bahwa melarang mengeluarkan perempuan itu dari dalam rumahnya, sekali lagi kita peringatkan bahwa Allah menyebutkan bahwa rumah itu adalah rumah-rumah mereka, untuk menggetarkan lagi rasa kasih sayang yang moga-moga masih tersimpan di sudut hati masing-masing. Hikmah melarang mengeluarkannya dari rumahnya itu ialah karena mengharap barangkali terjadi suatu perubahan, mungkin mereda marah si suami, mungkin keadaan bisa didamaikan kembali dan dengan demikian si laki-laki rujuk kembali di dalam masa iddah sehingga si perempuan tetap kembali dalam rumahnya; yang kusut selesai, yang keruh jernih, pergaulan surut seperti semula.
Karena berdamai adalah lebih baik dari bercerai.
Ayat 2
“Maka apabila telah sampai janji mereka."
Maksudnya ialah dekat-dekat akan sampai. Sebab iddah itu telah dihitung dengan saksama. “Maka tahanlah mereka dengan ma'ruf atau lepaskan mereka dengan ma'ruf pula." Masa iddah sudah dekat sampai, semua mudah dipikirkan dengan baik-baik, hasil pikiran salah satu dari dua, yaitu berdamai kembali atau langsung berpisah juga. Allah tidak menghalangi yang mana pun di antaranya kedua sikap yang akan engkau ambil berdamai atau bercerai. Yang penting bagi Allah ialah satu di antara keduanya itu engkau tempuh dengan sebaik-baiknya, dengan ma'ruf. Ma'ruf berarti ialah sikap langkah yang dapat diterima oleh masyarakat, tidak tercela, bahkan terpuji. Karena timbul dari budi yang luhur dengan dasar takwa kepada Allah.
Bergaul kembali dengan ma'ruf maaf-memaafkan kesalahan, melupakan yang lama, membuka lembaran yang baru dalam hidup, si laki-laki jangan hanya mengingat kesalahan istrinya saja, dia sendiri pun banyak kesalahan dan kealpaan; yang maksum hanya Nabi!
Dan kalau bercerai juga keputusan yang diambil, bercerailah dengan ma'ruf pula. Sudah teradat dalam dunia ini, setia berbaur, bertingkah bercerai, yang kekal hanya Allah. Harapan memang hendak bergaul berkekalan, tetapi ada saja halangannya, apa boleh buat!
Setengah dari ma'ruf bercerai ialah membayar “obat hati, pelipur sedih." Sedangkan tempat terjatuh lagi terkenang, betapa lagi pergaulan yang begitu mesra sekian waktu lamanya sehingga benar-benar badan dua dijadikan satu! Uang “obat hati" itu mut'ah namanya, telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah 236 bahkan di ayat 241 dikatakan bahwa memberikan uang obat hati bagi istri yang dicerai itu adalah kewajiban bagi orang yang mengakui dirinya bertakwa. Tentang berapa banyaknya, maka di ayat 236 itu telah dijelaskan ialah menurut ukuran kekayaan dan kepatutan pihak yang memberikan.
“Dan hendaklah mempersaksikan dua orang yang adil di antara kamu." Barang mana pun keputusan yang akan engkau ambil, entah surut atau bercerai juga yang jadi, hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil, dua orang yang patut.
Di sini kita mendapat ketentuan bahwa kalau rujuk hendaklah ada yang menyaksikan. Jika ditilik kepada jalan bahasa, memang untuk rujuklah diperlukan dua orang saksi yang adil, sebab rujuklah yang terlebih dahulu disebut. Talak adalah yang kemudian. Tetapi untuk menambah luasnya pandangan kita baik juga kita perhatikan pertikaian pendapat ulama-ulama fiqih dalam hal ini.
Kalau seseorang rujuk saja dengan tidak disaksikan dua orang yang adil, maka terdapat padanya dua pendapat. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ada saksi itu adalah mandub (dianjurkan) saja, bukan wajib. Syafi'i berpendapat, ketika rujuk sunnah dihadirkan dua saksi, ketika talak hanya dianjurkan saja.
Satu pendapat ialah bahwa keduanya, rujuk dan talak hendaklah ada dua saksi! Kegunaan dua saksi itu amat penting. Karena kalau tiba-tiba si laki-laki meninggal sedang si perempuan dalam iddah karena talak, kalau ada saksi tentu dia masih berhak menerima warisan.
Banyak ulama menekan yang amat penting ialah kesaksian talak. Kesaksian rujuk, hanyalah mandub (dianjurkan) saja. Ulama itu berkata apabila seorang perempuan dalam iddah, dan dia masih ada dalam rumah itu, tiba-tiba datang suaminya itu menciumnya, atau memegang badannya, bahkan menyetubuhinya sekali; kalau dengan berbuat demikian, dia telah bermaksud rujuk, maka rujuklah karena perbuatannya itu, walaupun tidak dilafazhkan. Abu Hanifah menegaskan lagi, kalau diciumnya, disentuhnya, dan dipegangnya dengan syahwat, itu sudah rujuk namanya.
Setengah ulama lagi berkata, “Jika telah dipandangnya kemaluan perempuan itu, dia telah rujuk namanya.
Golongan ini mengatakan pula, “Asal saja sudah disetubuhinya, itu namanya sudah rujuk, ada niat rujuk atau tidak ada niat." Imam al-Laits berpendapat begini.
Imam Syafi'i dan Abu Tsaur berpendapat, “Kalau diucapkannya perkataan ‘aku sekarang rujuk' maka rujuklah dia."
Tetapi Imam Malik menyatakan pendapatnya, “Kalau disetubuhinya saja, padahal dia tidak berniat rujuk, maka persetubuhannya itu fasid. Tegasnya jadi zina. Dan dia tidak boleh mengulangi menyetubuhinya, sebelum dia bersihkan terlebih dahulu air ‘kotor' yang masuk itu."
Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu qaulnya menyatakan bahwa rujuk itu pun wajib ada saksi.
Keempat Imam Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hambal sama pendapat bahwa tentang rujuk, tidaklah perlu meminta persetujuan si perempuan, sebab itu tidaklah diperlukan mesti hadir saksi juga.
Kalau seseorang mendakwakan sesudah habis iddah bahwa dia telah rujuk kepada istrinya tatkala masih dalam iddah, kalau perkataannya itu diakui oleh si perempuan, perkataan itu diterima. Tetapi kalau si perempuan itu memungkiri perkataan itu, maka perempuan itu disumpah. Dan kalau si laki-laki dapat mengemukakan keterangan bahwa dia telah rujuk ketika dia masih dalam iddah, cuma perempuan itu saja yang belum tahu, maka keterangan laki-laki itu diterima. Keadaan dia tidak tahu, tidaklah jadi alasan. Tetaplah dia istri dari laki-laki itu.
Kalau perempuan itu telah bersuami, tetapi suami kedua itu belum menggaulinya, lalu di waktu itu suami pertama datang membawa keterangan lengkap bahwa dia telah rujuk tatkala perempuan itu dalam iddah, maka pendapat Imam Malik terdapat dua macam. Pertama, suami pertama lebih berhak atasnya dan dia dipisahkan dengan suami kedua. Pendapat kedua, suami kedua lebih berhak atasnya.
Tetapi kalau sampai suami kedua itu kebetulan sudah menggaulinya, maka tidaklah ada jalan lagi bagi suami pertama buat mengambil perempuan itu.
Di sini kata “dukhuul" kita artikan menggauli. Artinya, dia telah masuk ke dalam kamar bersama perempuan itu, meskipun belum disetubuhinya.
Tentang orang yang akan jadi saksi yang berdua itu pun ditegaskan pula, hendaklah saksi berdua itu laki-laki keduanya. Karena kalimat dzawai (…), artinya ialah buat dua orang laki-laki. Perempuan hanya dapat jadi saksi berdua, jadi ganti dari satu orang saksi laki-laki dan kesaksian perkara utang-piutang (surah al-Baqarah ayat 282 dan 283). Dan boleh jadi saksi seorang diri untuk mempertahankan kehormatan dari tuduhan suaminya bahwa dia berzina, dalam hal yang bernama li'aan (surah an-Nuur, ayat 8 dan 9).
“Dan dirikanlah kesaksian karena Allah." Artinya kalau tegak menjadi saksi, dirikanlah kesaksian itu karena Allah, akan berkata benar, bertindak jujur, dan tidak akan memberikan kesaksian palsu. Karena soal ini adalah sangat penting, yaitu soal rumah tangga, soal keturunan dan perdamaian di antara dua orang suami dengan istri ataupun perpisahan yang baik. Ingatlah dua patah ayat ini, mulanya dikatakan dua orang yang adil. Setelah itu orang yang adil itu disuruh pula memberikan kesaksian karena Allah.
“Demikianlah diberi pengajaran dengan dia bagi siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat." Artinya ialah bahwa yang akan memerhatikan segala syarat dan cara ini, terutama talak dengan bersaksi, rujuk pun dengan bersaksi, dengan tidak memperhitungkan terlebih dahulu khilafiyah ulama padanya, semuanya itu adalah pegangan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Sebab orang yang beriman kepada Allah itu suka kepada pekerjaan yang teratur dan jujur, dan lagi karena imannya kepada Hari Akhirat, dia tidak mau kalau ditanyai di akhirat kelak, ternyata pekerjaannya kacau balau.
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya, “Adapun orang yang tidak beriman, tidaklah ada manfaatnya yang akan didapatnya dari pengajaran ini."
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar."
Ayat ini pada hakikatnya adalah pimpinan sejati bagi hidup berumah tangga. Entah bercerai yang akan terjadi, entah rujuk damai semula lalu meneruskan perkongsian hidup, namun suatu hal sudah nyata. Yaitu bahwa memelihara kekeluargaan adalah satu seni hidup yang bukan mudah. Kadang-kadang angin sepoi-sepoi berembus sejuk membawa angin baru ke dalam rumah, membawa kesegaran. Tetapi kadang-kadang malapetaka datang timpa bertimpa, habis satu datang yang lain. Orang yang miskin mengeluh karena kemiskinan, orang kaya sibuk terus karena kekayaan. Bahkan ada orang yang di waktu dia masih berpencarian sederhana, dia merasa berbahagia dalam rumah tangga, tetapi setelah dirinya ditimbun oleh kekayaan dan kemewahan, dia tidak merasakan lagi kebahagiaan itu. Bertambah banyak harta bertambah banyak kekurangan.
Oleh sebab itu kian terasalah bahwa kebahagiaan bukan terletak pada kekayaan harta benda. Bahkan terjadi krisis dalam rumah tangga, sampai membawa perceraian. Kusut setiap hari dan sukar melepaskan diri dari ikatan atau belenggu kesusahan itu, sehingga sampai terjadi perceraian. Setelah bercerai orang kawin dengan perempuan yang baru, atau yang lebih muda. Mulanya senang, tetapi kian lama kian datang kesusahan baru. Yaitu kesusahan karena istri terlalu muda, suami sebaya dengan ayah si istri sendiri. Nafkah harta sanggup membayar berapa dia kehendaki. Tetapi si perempuan tidaklah merasa puas dengan nafkah harta benda itu. Dia tetap tidak puas, karena tidak puas mendapat nafkah batin.
1001 soal dapat tumbuh dalam rumah tangga, di antara suami dengan istri, di antara orang tua dengan anak-anak, di antara rumah tangga yang tengah berdiri dengan keluarga luar, dengan mertua, dengan menantu, dengan ipar, besan dan lain-lain. Terutama lagi tegak di tengah masyarakat, adat yang mesti diisi, lembaga yang mesti dituang. Apalah lagi bersangkut dengan hidup sebagai umat Islam di tengah alam dengan berbagai kelompoknya.
Maka di ujung ayat ini diberilah Mukmin petunjuk bahwa dengan berpegang kepada Allah, yang berarti hubungan yang tidak pernah terputus dengan Allah, Mukmin akan sanggup menghadapi dan mengatasi segala kesulitan. Allah akan membukakan bagi seorang Mukmin jalan keluar. Tidak akan ada kesulitan.
Ayat 3
“Dan akan memberinya rezeki dari anak yang tidak dikira-kiranya."
Kedua patah kalimat ayat ini, ujung ayat 2 dan pangkal ayat 3, sungguh-sungguh perkara di luar perhitungan manusia.
Memang banyaklah hal di dunia yang di luar perhitungan manusia. “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dialah yang menjadi penjaminnya." Keajaiban itu akan dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang benar-benar bertakwa dan benar-benar bertawakal.
Takwa kepada Allah menyebabkan jiwa mendapat thuma'ninah, dia akan bersabar ketika cobaan datang dan dia akan bersyukur ketika nikmat tiba. Dia bertawakal kepada Allah, menyerah dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakannya. Pendirian yang demikian itu menyebabkan dia tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali menunjukkan bahwa kesusahan tidaklah menetap susah saja, bahkan hidup ialah pergantian susah dengan senang. Karena keyakinan demikian teguh, maka pintu yang tertutup bagi orang lain namun bagi orang yang bertakwa jadi terbuka. Perbendaharaan orang yang bertawakal tidaklah akan dibiarkan Allah jadi kering ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak disangka-sangka.
Hal seperti ini tidak dapat diterangkan, tetapi dapat dibuktikan. Oleh sebab itu maka bagaimanapun keadaan diri kita, senang atau susah, janganlah lupa mengingat Allah. Shalat lima waktu jangan dilalaikan karena ini penting sekali bagi hidup.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang memutuskan harapan dari yang lain dan hanya langsung berhubungan dengan Allah, maka Allah akan mencukupkan untuknya tiap-tiap yang dia perlukan dan Dia beri rezeki dari arah yang tidak dia kira-kirakan; akan tetapi barangsiapa putus hubungan dengan Allah dan menggantungkan nasib kepada dunia, Allah akan menyerahkannya kepada dunia itu." (HR Ibnu Abi Hatim)
Dan sebuah hadits lagi dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkendaraan di belakang Rasulullah ﷺ pada suatu hari, maka berkatalah Rasulullah ﷺ kepadanya,
“Aku akan mengajar engkau beberapa kalimat. Peliharalah Allah, niscaya akan dipelihara-Nya pula engkau. Peliharalah Allah, niscaya akan engkau hadapi Dia di hadapan engkau sendiri. Maka apabila engkau memohon, mohonkanlah kepada Allah dan apabila engkau ingin pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah jikalau umat ini berkumpul hendak memberikan manfaat kepada engkau, tidaklah akan depat memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis Allah untuk engkau. Dan jikalau mereka berkumpul hendak mendatangkan bahaya kepada engkau, tidaklah mereka akan dapat mendatangkan bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah dituliskan Allah atas engkau. Qalam (pena takdir) sudah diangkat dan lembarannya sudah kering." (HR Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)
Hadits ini menanamkan tawakal dan ridha yang sedalam-dalamnya pada jiwa kita, sehingga hilanglah keraguan di dalam menghadapi hidup, terutama membimbing istri dan memelihara anak-anak.
“Sesungguhnya Allah itu sampai apa yang Dia kehendaki." Tidak ada satu pun kekuatan yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian jugalah halnya dalam berumah tangga. Dan suami-istri yang berkasih sayang dicoba difitnah atau diganggu rumah tangganya oleh orang lain, namun oleh karena takwa mereka kepada Allah rumah tangga mereka selamat. Sebaliknya pula dalam keadaan rukun dan damai disangka pergaulan akan berkekalan, tiba-tiba saja datang sengketa sehingga bercerai. Atau dalam kasih sayang tengah memuncak, tiba-tiba salah seorang ditimpa sakit, lalu mati. Kadang-kadang seorang suami yang masih muda meninggal dunia meninggalkan anak yang harus menjadi tanggungan ibunya, sehingga sukar bagi si janda untuk mengganti suami karena payah mencari laki-laki yang mau menerima nasib perempuan yang mempunyai banyak anak yatim.
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan tiap-tiap sesuatu dengan ketentuan-Nya."
Qadar atau takdir, kita biasa memberinya arti dengan ketentuan. Artinya bahwa semuanya itu Allah-lah yang menentukan, bukan manusia. Rumah tangga, pergaulan suami istri panjang atau pendek, beranak atau tidak, mana yang dahulu mati dan mana yang kemudian, semuanya itu adalah ketentuan dari Allah. Malahan penentuan jodoh itu sendiri pun pada hakikatnya Allah juga yang menentukan. Oleh sebab itu takwa dan tawakal adalah syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.