Ayat
Terjemahan Per Kata
خُذِ
ambillah/berilah
ٱلۡعَفۡوَ
maaf
وَأۡمُرۡ
dan suruhlah
بِٱلۡعُرۡفِ
dengan mengerjakan kebaikan
وَأَعۡرِضۡ
dan berpalinglah
عَنِ
dari
ٱلۡجَٰهِلِينَ
orang-orang yang bodoh
خُذِ
ambillah/berilah
ٱلۡعَفۡوَ
maaf
وَأۡمُرۡ
dan suruhlah
بِٱلۡعُرۡفِ
dengan mengerjakan kebaikan
وَأَعۡرِضۡ
dan berpalinglah
عَنِ
dari
ٱلۡجَٰهِلِينَ
orang-orang yang bodoh
Terjemahan
Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.
Tafsir
(Jadilah engkau pemaaf) mudah memaafkan di dalam menghadapi perlakuan orang-orang, dan jangan membalas (dan suruhlah orang mengerjakan makruf) perkara kebaikan (serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh) janganlah engkau melayani kebodohan mereka.
Tafsir Surat Al-A'raf: 199-200
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni ambillah dari lebihan harta mereka sejumlah yang layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari harta mereka.
Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat As-Suddi. Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf. 199) Makna yang dimaksud ialah 'infakkanlah lebihan dari hartamu'. Menurut Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-'afwa dalam ayat ini ialah lebihan. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Allah memerintahkan Nabi ﷺ agar bersifat pemaaf dan berlapang dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun.
Kemudian Nabi ﷺ diperintahkan untuk bersikap kasar terhadap mereka. Pandapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh. Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'bersikap lapang dadalah kamu dalam menghadapi akhlak mereka'. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Urwah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Zubair) yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang mengatakan, "Jadilah engkau pemaaf," yakni terhadap akhlak manusia.
Menurut riwayat lain dari selain Bukhari, disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar. Dan menurut riwayat yang lainnya lagi disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa keduanya pernah menceritakan hal yang semisal. Di dalam riwayat Sa'id ibnu Mansur disebutkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam, dari Wahb Ibnu Kaisan, dari Abuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: jadilah engkau pemaaf. (Al- A'raf: 199) Maksudnya dalam menghadapi akhlak manusia.
Selanjutnya disebutkan, "Demi Allah, aku benar-benar akan bersikap lapang dada selama aku bergaul dengan mereka." Riwayat inilah yang paling masyhur dan diperkuat oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu' Jarir dan Ibnu Abu Hatim; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ubay yang menceritakan bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Nabi-Nya, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Wahai Jibril, apakah artinya ini?" Jibril a.s.
menjawab, "'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar memaafkan terhadap perbuatan orang yang berbuat aniaya kepadamu, dan kamu memberi orang yang mencegahnya darimu, serta bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu." Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula dari Abu Yazid Al-Qaratisi secara tertulis, dari Usbu' ibnul Faraj, dari Sufyan, dari Ubay, dari Asy-Sya'bi hal yang semisal. Semua riwayat yang telah disebutkan di atas berpredikat mursal dalam keadaan apa pun, tetapi telah diriwayatkan melalui jalur-jalur lain yang memperkuatnya.
Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari Jabir dan Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah, dari Nabi ﷺ yang keduanya di-isnad-kan oleh Ibnu Murdawaih. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah. telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abu Umamah Al-Bahili, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah ﷺ, lalu ia mengulurkan tangannya, menyalami tangan Rasulullah ﷺ, kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang amal-amal perbuatan yang paling utama." Rasulullah ﷺ, bersabda: Wahai Uqbah.
bersilaturahmilah kamu kepada orang yang memutuskannya darimu, berilah orang yang mencegahnya darimu, dan berpalinglah dari orang yang aniaya kepadamu. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Yazid dengan lafal yang sama, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan. Menurut kami. Ali ibnu Yazid dan gurunya Al-Qasim alias Abu Abdur Rahman berpredikat dha’if.
Imam Bukhari telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaafdan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Yang dimaksud dengan al-'urfu ialah hal yang makruf (bajik). Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri; telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Uyaynah ibnu Husatn ibnu Huzaifah tiba (di Madinah), lalu menginap dan tinggal di rumah kemenakannya, yaitu Al-Hurr ibnu Qais. Sedangkan Al-Hurr termasuk salah seorang di antara orang-orang yang terdekat dengan Khalifah Umar.
Tersebut pula bahwa teman-teman semajelis Umar dan dewan permusyawaratannya terdiri atas orang-orang tua dan orang-orang muda. Lalu Uyaynah berkata kepada kemenakannya, 'Wahai kemenakanku, engkau adalah orang yang dikenai oleh Amirul Muminin, maka mintakanlah izin masuk menemuinya bagiku." Al-Hurr berkata, 'Saya akan memintakan izin buatmu untuk bersua dengannya'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Al-Hurr meminta izin buat Uyaynah kepada Umar, dan Khalifah Umar memberinya izin untuk menemui dirinya.
Ketika Uyaynah masuk menemui Umar, Uyaynah berkata. 'Wahai Umar. demi Allah, engkau tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.' Maka Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah, tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,' Wahai Amirul Muminin, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Dan sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh." Demi Allah, ketika ayat itu dibacakan kepada Umar.
Umar tidak berani melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada Kitabullah" Hadits diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'Ia secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Nafi', bahwa Salim ibnu Abdullah ibnu Umar bersua dengan iringan kafilah negeri Syam yang membawa sebuah lonceng.
Maka Salim ibnu Abdullah berkata, "Sesungguhnya barang ini diharamkan." Mereka menjawab, "Kami lebih mengetahui daripada kamu tentang hal ini. Sesungguhnya yang tidak disukai hanyalah lonceng besar, sedangkan lonceng seperti ini tidak apa-apa." Salim diam dan merenungkan firman-Nya: serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh, (Al-A'raf: 199) Menurut Imam Bukhari, yang dimaksud dengan istilah al-'urfu dalam ayat ini ialah perkara yang makruf (bajik). Ia menukilnya dari nas yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair, As-Saddt, Qatadah, Ibnu Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa bila dikatakan aulaituhu ma'rufan, "arifa, arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu Jarir mengatakan, Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan semua hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh. Sekalipun hal ini merupakan perintah kepada Nabi-Nya, sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi makhluk-Nya untuk bersikap sabar dalam menghadapi gangguan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka.
Tetapi pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak mengerti perkara yang hak lagi wajib yang termasuk hak Allah, tidak pula bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada Allah, tidak mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus diperangi oleh kaum muslim. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Hal ini merupakan akhlak yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk disandang oleh Nabi-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberinya petunjuk ke akhlak ini.
Sebagian orang yang bijak ada yang menuangkan pengertian ini ke dalam dua bait syair berikut: Jadilah kamu pemaaf dan serulah (orang-orang) berbuat kebajikan, sebagaimana engkau diperintahkan. Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan lemah-lembutlah dalam berbicara kepada semua orang, maka hal yang baik bagi orang yang berkedudukan ialah berkata dengan lemah-lembut. Sebagian ulama mengatakan bahwa manusia itu ada dua macam: Pertama, orang yang baik; terimalah kebajikan yang diberikannya kepadamu, janganlah kamu membebaninya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, jangan pula sesuatu yang menyempitkan dirinya.
Adapun terhadap orang yang kedua, yaitu orang yang buruk, maka perintahkanlah dia untuk berbuat yang makruf. Jika ia tetap tenggelam di dalam kesesatannya serta membangkang tidak mau menuruti nasihatmu serta terus-menerus di dalam kebodohannya, maka berpalinglah kamu darinya. Mudah-mudahan berpalingmu darinya dapat menolak tipu muslihatnya terhadap dirimu, seperti yang disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami mengetahui apa yang mereka sifatkan.
Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku. (Al-Muminun: 96-98) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 34-35) Yakni orang yang beroleh wasiat ini.
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-A'raf: 200) Sedangkan dalam surat ini (yakni Al-A'raf) disebutkan pula hal yang sama, yaitu melalui firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) ketiga ayat ini berada di dafam surat Al-A'raf, Al-Muminun, dan Ha-mim Sajdah, tidak ada lainnya lagi.
Melaluinya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan petunjuk tentang tata cara menghadapi orang yang berbuat maksiat, yaitu menghadapinya dengan cara yang baik, karena dengan cara inilah jbinalannya dalam berbuat maksiat dapat dihentikan dengan seizin Hah subhanahu wa ta’ala Karena itulah dalam surat Fushshilat disebutkan: maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia. (Fushshilat: 34) Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk meminta perlindungan ;pada-Nya dari godaan setan yang tidak kelihatan, karena sesunguhnya setan tidak senang bila kita berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya setan itu hanya bertujuan untuk menghancurkan dan membinasakan kita cara keseluruhan.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata igi kita dan bagi kakek moyang kita jauh sebefum kita (yakni Nabi dam). Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan. (Al-A'raf: 200) yaitu jika setan menggodamu dengan perasaan marah yang karena itu kamu tidak mampu berpaling dari orang yang bodoh, dan justru kamu terdorong untuk memberinya pelajaran. maka berlindunglah kepada Allah. (Al-A'raf: 200) maksudnya, mintalah perlindungan kepada Allah dari godaannya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) Allah Maha Mendengar terhadap kebodohan orang yang berbuat kebodohan terhadap dirimu, dan Maha Mendengar terhadap permintaan perlindunganmu dari godaan setan serta lain-lainnya yang berupa obrolan orang lain. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya, Dia Maha mengetahui semua urusan makhluk-Nya, termasuk godaan setan yang telah merasuki hatimu. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Al-A'raf: 199) Maka Nabi ﷺ bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dengan amarah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Ajlah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) Menurut kami, pada permulaan pembahasan mengenai isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) telah disebutkan sebuah hadits tentang dua orang lelaki yang saling mencaci di hadapan Nabi ﷺ Kemudian salah seorangnya marah, sehingga hidungnya mekar karena emosinya.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat, seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah dari dirinya emosi yang membakarnya, yaitu: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutukKetika disampaikan kepada lelaki itu apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, maka si lelaki yang emosi itu menjawab, "Saya tidak gila." Asal makna dari lafal an-nazgu ialah kerusakan, penyebabnya adakalanya karena marah (emosi) atau lainnya. Sehubungan dengan pengertian ini disebutkan di dalam firman-Nya: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).
Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (Al-Isra: 53) Makna al-'iyaz ialah memohon perlindungan, naungan, dan pembentengan dari ulah kejahatan. Sedangkan al-malaz. pengertiannya tertuju kepada memohon kebaikan, juga pengertian memohon perlindungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Hani' dalam syairnya: Wahai Tuhan yang aku berlindung kepada-Nya dalam memohon apa yang aku cita-citakan, dan Yang aku berlindung kepada-Nya dari semua yang aku hindari.
Tiada seorang manusia pun yang dapat menambal tulang yang telah Engkau pecahkan, dan mereka tidak akan dapat mematahkan suatu tulangpun yang telah Engkau tambal. Mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) kebanyakan telah kami kemukakan, sehingga tidak perlu diulangi lagi."
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dengan keras kaum musyrik dan sembahan mereka, pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad tentang cara menghadapi kesesatan mereka. Jadilah engkau wahai Nabi Muhammad dan juga umatmu orang yang pemaaf, dan tidak meminta sesuatu yang akan menyulitkan orang lain dan suruhlah orang mengerjakan dan mengucapkan yang makruf, berupa kebajikan yang dipandang baik oleh akal, agama dan tradisi masyarakat, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh, teruslah melangkah dalam berdakwahRasul sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kemungkaran orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya, dan setan akan memanfaatkan itu. Oleh karenanya, Nabi dan umatnya diingatkan, Dan jika setan datang menggodamu dengan merayu secara halus, melalui suatu bisikan, seperti saat dirimu murka karena hujatan-hujatan jahat mereka, maka berlindunglah kepada Allah, dengan memohon pertolongan kepada-Nya, niscaya Dia akan mengusir bisikan-bisikan itu. Sungguh, Dia Maha Mendengar setiap ucapan, termasuk permohonanmu itu, dan Dia Maha Mengetahui setiap perbuatan, termasuk yang direncanakan oleh setan.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya, agar berpegang teguh pada prinsip umum tentang moral dan hukum.
1. Sikap Pemaaf dan berlapang dada
Allah ﷻ menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan janganlah beliau meminta dari manusia apa yang sangat sukar bagi mereka sehingga mereka lari dari agama.
Sabda Rasullah saw:
"Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah kegembiraan, jangan kamu susahkan". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa dan Muadz)
Termasuk prinsip agama, memudahkan, menjauhkan kesukaran dan segala hal yang menyusahkan manusia. Demikian pula halnya dalam bidang budi pekerti manusia banyak dipengaruhi lingkungannya. Bahkan banyak riwayat menyatakan bahwa yang dikehendaki pemaafan di sini ialah pemaafan dalam bidang akhlak atau budi pekerti (Tafsir Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut)
Rasulullah berkata sehubungan dengan ayat ini:
"Apakah ini ya Jibril? Jawab Jibril, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadapmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya." (Riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, dari Ibn Ubay dari bapaknya)
2. Menyuruh manusia berbuat maruf (baik)
Pengertian urf pada ayat ini adalah maruf. Adapun Maruf adalah adat kebiasaan masyarakat yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur'an kata"maruf" dipergunakan dalam hubungan hukum-hukum yang penting, seperti dalam hukum pemerintahan, hukum perkawinan. Dalam pengertian kemasyarakatan kata "maruf" dipergunakan dalam arti adat kebiasaan dan muamalah dalam suatu masyarakat. Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara, dan waktu. Di antara para ulama ada yang memberikan definisi "maruf" dengan apa yang dipandang baik melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal pikiran yang sehat. Bagi kaum Muslimin yang pokok ialah berpegang teguh pada nash-nash yang kuat dari Al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nash agama secara jelas.
3. Tidak mempedulikan gangguan orang jahil
Yang dimaksud dengan orang jahil ialah orang yang selalu bersikap kasar dan menimbulkan gangguan-gangguan terhadap para Nabi, dan tidak dapat disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menghindarkan diri dari orang-orang jahil, tidak melayani mereka, dan tidak membalas kekerasan mereka dengan kekerasan pula.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TAUHID MEMBESARKAN JIWA
Ayat 193
“Dan, jika kamu ajak mereka kepada petunjuk, tidaklah mereka mau menunuti kamu."
Petunjuk asli ialah tauhid maka mereka tidak mau kepada tauhid itu. Mereka bertahan kepada berhala mereka,
“Sama saja atas kamu, apakah kamu ajak mereka ataupun kamu berdiam diri."
Walaupun diajak dan diseru dengan alasan yang kuat, mereka tidaklah akan meninggalkan kebiasaan yang buruk itu. Didiamkan saja pun, mereka tidak juga akan berubah. Sehingga di antara ajakan dengan mulut atau pun didiamkan, menjadi sama saja bagi mereka. Akan tetapi, ayat-ayat yang lain telah menunjukkan bahwa dengan begini bukanlah berarti bahwa hal syirik ini didiamkan saja. Bertambah didiamkan, niscaya penyakit mereka akan bertambah larut. Sebab itu, ayat yang selanjutnya bukanlah berarti menyuruh berdiam diri, melainkan menyuruhkan bekerja terus-menerus menyadarkan mereka.
Ayat 194
“Sesungguhnya yang kamu seru selain dari Allah itu adalah hamba-hamba seperti kamu (juga)."
Inilah salah satu inti ajaran tauhid bagi memerdekakan manusia dari pengertian syirik. Diperintahkan kepada manusia bahwa yang mereka sembah selain dari Allah itu tidaklah lebih keadaannya dari mereka yang menyembah. Kalau dia manusia maka kamu pun manusia. Sama-sama dijadikan Allah daripada air mani yang lata. Mengapa mereka akan kamu katakan lebih daripada kamu? Kalau kamu katakan mereka lebih daripada kamu, sebab mereka orang yang telah lebih dekat kepada Allah, tersebab shalihnya misalnya, mengapa tidak kamu sendiri langsung berbuat amal shalihyang diridhai Allah, sehingga kamu sendiri mencapai martabat yang sama dengan dia? Sama-sama dekat kepada Allah? Kalau yang kamu sembah itu berhala, apa yang kamu takutkan kepada batu atau kayu?
Yang dibuat oleh tangan manusia itu? Kata-kata ayat yang sepatah ini patutlah ditanamkan benar-benar di dalam hati kita, bahwasanya sekalian makhluk adalah sama-sama hamba Allah dengan kita. Pada ayat 188 di atas tadi Nabi Muhammad ﷺ sendiri memelopori menyatakan bahwa dia tidak dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan bagi diri orang lain dan tidak pula dapat menangkis bahaya. Kalau Nabi yang sudah berkata demikian, padahal syahadat kepada Allah selalu diiringkan dengan syahadat kepada Muhammad, apalah artinya lagi makhluk yang lain?
“Maka, (cobalah) kamu senu mereka, supaya memperkenankan permohonan kamu, jika adalah kamu orang-orang yang benar."
Tantangan atau suruhan menyeru mereka yang lain ini bukanlah berarti menyuruhkan, bahkan menjadi melarang karena tidak masuk di akal bahwa mereka sebagai hamba Allah akan sanggup memperkenankan doa manusia.
Kemudian dikatakan bahwa betapa pun dicoba meminta tolong kepadanya atau berdoa kepadanya, tetapi dia tidak dapat mengabulkannya sebab dia tidak ada kekuasaan sama sekali.
Ayat 195
“Apakah ada pada mereka kaki, yang mereka benjolan dengan dia? Atau adakah pada mereka tangan, yang mereka meninju dengan dia? Atau adakah bagi mereka mata yang mereka melihat dengan dia? Atau adakah bagi mereka telinga, yang mereka mendengar dengan dia!"
Sebagai yang dikatakan tadi, manusia-manusia yang setelah mereka mati, kamu jadikan berhala itu, adalah hamba Allah atau makhluk yang sama dengan kamu juga. Sekarang kamu puja dia, kamu jadikan dia berhala. Kadang-kadang kamu ambil kayu atau batu, kamu beri bentuk sebagai manusia yang kamu kenangkan itu lalu kamu puja, kamu sembah dan kamu pertuhan dia. Apa yang dapat mereka kerjakan? Sedang kakinya saja tidak ada berjalan; sebab kaki itu hanya buatan kamu saja. Kamu lebih bisa berjalan, daripadanya. Kaki, tangan, mata dan telinganya, tidak sebuah pun yang dapat dipergunakannya, sebab dia tidak bernyawa. Bagaimana kamu begitu bodoh buat menyembah dan meminta tolong kepada benda mati itu?
Kemudian dengan lebih berani lagi, Nabi ﷺ disuruh mengatakan, “Serulah sekutu-sekutu kami itu." Cara kita sekarang, pasanglah dupa, bakarlah kemenyan, ratib tegaklah memanggil segala barang pujaan itu, wahai berhala anu, hantu pemburu anu, wahai nan di bigak nan di bigau, wahai wali keramat di Luar Batang dan segala tempat atau kubur yang dikeramatkan, wahai arwah kyai anu di kampung anu, habib fulan di kampung fulan, tolonglah kami, perkenankan doa kami. “Kemudian itu cobakanlah tipu dayamu kepada -Ku." Tegasnya cara sekarang, embuskanlah segala macam mantra, segala macam sihir, segala macam tuju permaya untuk menganiaya diriku, dengan pertolongan segala berhala itu.
“Maka, cobalah jangan Aku diberi tempo."
Arti cara sekarangnya ialah, “Cobakanlah pengaruh berhalamu itu kepadaku sekarang juga, jangan aku diberi waktu lagi. Niscaya semuanya itu tidak akan memberi bekas. Semua omong kosong!"
Inilah salah satu didikan kebenaran jiwa tauhid yang dibenarkan dan dihunjani Nabi kepada orang yang beriman. Sampai beliau berani menentang. Orang yang telah teguh tauhidnya, tentu memegang ini. Pegangan orang yang bertauhid ialah bahwa alam tidak memberi bekas.
Pada 1929 ada seorang raja (Kara Eng) di negeri Kajang (Bulukumba, Makassar) bernama: Yahya Daeng Magassing. Beliau Raja di tempat itu.
Menurut adat masa itu, seorang raja di Bugis Makassar mempunyai satu barang pusaka yang diterimanya dari raja-raja dahulu yang dia gantikan. Setelah beliau menjadi raja, barang pusaka itu jatuh ke tangannya.
Barang itu diletakkan di tempat yang mulia, disucikan, diasapi dengan kemenyan, di-bungkus dengan kain kunmg dan tidak boleh dibuka-buka. Semua orang berkepercayaan, bahwa barangsiapa yang membuka bungkusan itu akan mendapat celaka besar. Akan tetapi, Kara Eng Yahya sebelum menjadi raja telah memasuki Perkumpulan Muhammadiyah, menganut paham agama yang bertauhid tulen. Tidak berapa lamasetelah dia menjadi raja, rencananya yang terlebih dahulu ialah membuka bungkusan yang membawa syirik itu. Sebab, inilah yang menyesatkan rakyatnya selama berpuluh tahun. Pada suatu hari bungkusan yang “bertuah" itu dibukanya. Apa isinya? Tidak lain daripada sebuah kepala tongkat. “Kepala tongkat", Tuan!" ujar beliau seketika menceritakan kepada kami. Dia menggelang-gelengkan kepala dan setelah itu dipanggilnyalah orang-orang besar kerajaan-nya, demikian juga guru-guru agama yang di sana dinamai “syara!" atau “syarat". Diperlihatkannya kepala tongkat itu dan dia bertanya, “Apakah ini. Tuan-tuan?"
Semuamenjawab, “Kepala tongkat!" Semua yang hadir disuruhnya memegang, bergeser dari tangan ke tangan, kemudian diletakkan ke atas meja. Dan, beliau berkata, “Telah aku buka barang sakti yang kamu bungkus berpuluh tahun ini, dengan bungkusannya yang telah kotor dan kumai. Ternyata isinya cuma ini, sebuah kepala tongkat. Berpuluh tahun kita telah sesat. Kita mengatakan bahwa inilah “tiang agung" dari kerajaan saya di negeri Kajang ini. Kita semua mengakui diri orang Islam, padahal kita telah musyrik bertahun-tahun. Apalah manfaat dan mudharat yang bisa dibawa oleh sebuah kepala tongkat atas sebuah negeri? Sudah berhari-hari dia saya buka, tetapi badan saya tetap sehat wal afiat.
Negeri kita tetap makmur, sebab saya memerintah bukan atas nama kepala tongkat yang dibungkus, melainkan dengan mengingat segala perintah Allah. Marilah kita bersihkan negeri ini dari segala “kemusyrikan!"
Yang tua-tua marah karena kepala tongkat itu dibuka dari bungkusnya. Sebab, dengan demikian “tuahM atau “perbawa"‘ negeri akan habis. Akan tetapi, Kara Eng Yahya tidak peduli. Akhirnya pihak yang tidak senang melapor kepada pemerintah Belanda, bahwa raja sendiri telah melanggar adat. Mereka namai lambang-lambang itu “gaokang" artinya, kebesaran dan kemuliaan raja yang sangat dimuliakan.
Dengan daya upaya halus atau kasar, Kara Eng Yahya Daeng Magassing diberhentikan dari jabatannya sebagai raja, diganti dengan yang lain. Akan tetapi, kebesaran kepala tongkat itu telah habis musnah dengan sendirinya dan sejak beliau berhenti itu, beliau tidak segan-segan lagi menyatakan dirinya sebagai orang Muhammadiyah, lalu mendirikan cabang Muhammadiyah di negeri Kajang itu, dan beliau sendiri ketuanya, sampai beliau wafat. Beliau adalah salah seorang pelopor pergerakan Islam di Sulawesi Selatan.
Ketika kami bertanya kepada beliau, dari mana didapatnya kepala tongkat itu, beliau katakan bahwa setelah saya selidiki benar-benar, ternyata hadiah kepada nenek moyang saya dari bangsa Portugis, ketika bangsa itu datang ke Sulawesi pada abad keenam belas.
Namun, berhasil juga perbuatan yang berani dari Kara Eng Yahya itu. Sebab, raja-raja di negeri yang lain telah berani pula membuka pusaka-pusaka yang karut, yang sudah persis sebagai berhala itu. Di antaranya ialah Kara Eng Sultan Daeng Raja, di Gantaran dekat Bonthain. Maka, sebelum tahun 1940 “gaokang-gaokang" itu macam-macam; ada kepala tongkat, ada sebilah keris, ada tanduk rusa sepotong, ada buluh seruas dan sebagainya. Dan, sebagian terbesar dari raja-raja, Kara Eng-Kara Eng dan Maradia-Maradia, dan Salewatang di Bugis Makassar itu menjadilah penganut paham tauhid. Alhamdulillah!
Nyatalah bahwa semangat ayat ini yang memengaruhi jiwa Kara Eng Yahya Daeng Magassing, yang membangkitkan beliau membuka bungkusan itu.
Satu cerita lain ialah yang terjadi pada ayah penulis tafsir ini sendiri pada kira-kira tahun 1907, sebelum si penulis lahir ke dunia.
Beliau membaca Mi'raj Nabi Muhammad ke negeri Tanjung Sani. Pada masa itu termasyhurlah bahwa di dalam negeri itu amat banyak ahli sihir atau dukun dan disebut juga datu, yang sihir mereka sangat serkas.
Kalau mereka kenakan sihir itu kepada seseorang, baik bernama tuju atau gayung atau tinggam, orang bisa mati sebentar itu juga. Demikian kepercayaan orang. Ada gayung bernama: “Tangan terhela mayat pun tinggal." Ada pula yang bernama, “Secabik kafan," atau “si untung sudah." Orang sudah memberi nasihat kepada beliau supaya berhati-hati menjaga diri kalau datang ke Tanjung Sani. Beliau pun datang memenuhi panggilan orang. Ketika itu beliau baru saja membuka pengajian mengharamkan rabitah atau beberapa perbuatan suluk yang berlawanan dengan agama, sehingga negeri menjadi ribut, ada yang menerima dan banyak yang marah karena pengajian mereka dibatalkan. Sebab, itu, ketika beliau diundang itu, pihak yang marah melepaskan dendam kepada beliau. Lantai yang akan beliau lalui, digelucaikan dari papannya, sehingga beliau terjatuh tergelincir dan lulus ke bawah surau. Beliau mengerti bahwa beliau telah dianiaya. Beliau mengakui bahwa kakinya sampai luka, syukur tidak ada yang patah. Dengan gagah beraninya beliau naik kembali ke surau dengan sarungnya yang telah kotor kena tanah; lalu beliau buka bajunya, sebab beliau tahu bahwa di antara yang hadir itu ada yang disebut orang datu atau dukun sakti tadi. Beliau buka baju dan beliau berkata, “Di sini saya lihat ada beberapa orang yang ahli obat! Yang hebat ilmunya! Saya penat karena terjatuh. Sebab itu, saya harap kalau ada di antara tuan-tuan yang bisa melekatkan ilmunya kepada saya, cobakanlah!"
Semua orang terdiam.
Beliau berkata kepada kami beberapa tahun kemudian, bahwa ketika dia telah terjatuh itu tidak ada orang yang terkejut atau bersegera datang menolong, padahal dia datang ke sana atas undangan. Sudah disengaja rupanya!
Entah ada orang yang mencobakan ilmu sihir kepada beliau pada malam itu, tidaklah beliau tahu. Cuma beliau mengatakan tidak ada perasaan dan perubahan apa-apa pada dirinya. Akan tetapi, salah seorang muridnya, bernama Muhammad Maksum tidak berapa lama sesudah kejadian itu mati diracun orang. Kata setengah orang pula, mati karena disihir.
Hal ini beliau kisahkan kepada kami kira-kira 40 tahun yang lalu, sesudah saya menceritakan cerita lucu tentang Kara Eng Yahya itu kepada beliau sekembali saya dari Makassar (tahun 1933). Lalu, sebagai anak yang nakal dan termanja saya bertanya, ‘Apakah tidak ada bacaan-bacaan Buya pada waktu itu untuk penangkal bahaya?" Lalu beliau jawab, ‘Ada! Bacaan yang Buya pegang ialah ayat ini dan sadar akan artinya, yaitu:
Ayat 196
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah, yang telah menurunkan kitab dan Dialah yang melindungi orang-orang yang shalih."
Artinya, bahwa yang beliau baca ialah ayat yang tengah kita tafsirkan ini, sebagai lanjutan dari ayat yang sebelumnya.
Sebagai orang yang bertauhid, Rasulullah ﷺ telah mempunyai pendirian yang teguh, bahwasanya berhala atau apa jua pun yang dipuja selain Allah, tidaklah memberi bekas, tidak memberi manfaat dan mendatangkan mudharat. Sebab itu, beliau yakin pula, bagaimana pun beliau menentang pemuja berhala dan berhalanya sendiri, tidak sebuah pun yang akan dapat bertindak, sebab semuanya tidak berkuasa. Kakinya terpaku tak dapat melangkah, matanya terbelalak, tetapi tidak dapat melihat, telinganya seluas tampian, tetapi tidak mendengar.
Oleh sebab keyakinannya telah bulat kepada Allah maka yang lain sudah dianggap tidak ada lagi. Ruh yang telah dekat kepada Allah, tidaklah ragu memandang ketiadaan yang lain. Sebab itu, lanjutan ayat ialah bahwa tempat aku berlindung hanya Allah. Bukan saja Allah dianggap sebagai tempat berlindung, bahkan Dia pun mengirimkan kitab pula untuk tuntunan hidup. Dan, Dia pun menjamin, memelihara dan melindungi orang-orang yang shalih, orang-orang yang berbuat baik. Oleh sebab itu, keberanian menentang berhala, bukanlah keberanian membabi buta, bukan pula karena sombong dan takabur, tetapi keberanian karena ada pedoman. Di ayat ini bertemu tiga perlengkapan ruhani. Pertama, yakin bahwa tempat berlindung hanya Allah. Kedua, yakin kepada tuntunan yang diberikan Allah, sebagai yang kita di zaman modern ini biasa menyebutnya “konsepsi" ada di dalam tangan, yaitu Al-Qur'an. Ketiga, yakin pula bahwa selama kitab yang diturunkan Allah itu diamalkan dengan sebaik-baiknya, tidak satu pun bahaya yang akan menimpa di dalam alam ini, sebab Allah selalu melindungi.
Oleh sebab itu, dapatlah dipahamkan bahwa ayat ini bukanlah diambil akan jadi mantra, meminta khasiat bacaannya. Yang patut dijadikan pegangan hidup, ialah isi ayat. Asal kita beramal baik, menjadi orang shalih, berpegang teguh dengan Kitab Allah, Allah pasti melindungi. Dan, tidak merasa takut akan bahaya, walau mati sekalipun, karena mati dalam pendirian yang demikian, adalah mati syahid.
Itu pulalah sebabnya maksud ayah penulis menyatakan bahwa yang beliau baca ialah ayat tersebut di dalam menghadapi orang-orang yang ditakuti orang karena mereka disebut datu atau dukun itu. Barulah benda, berhala, monyet, beringin, batu besar, keris, dukun atau datu memberi bahaya; kalau sekiranya jiwa orang yang menghadapinya bimbang atau memang tauhid tidak mendalam. Seumpama orang yang takut berjalan di dekat kuburan, dia menampak seakan-akan ada hantu yang mengejarnya dari kuburan itu. Kalau dia berjiwa tauhid, dia berdiri dengan tenang dan dia perhatikan dengan saksama, akan ternyata bahwa yang disangkanya hantu itu lain tidak hanyalah khayat perasaannya sendiri karena takutnya.
Padahal, menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, hantu-hantu itu lebih lagi takutnya kepada manusia, daripada manusia menakuti hantu. Lebih-lebih manusia yang mempunyai kepribadian.
Rasa takut adalah salah satu naluri manusia yang berpokok dari keinginan memelihara hidup. Oleh sebab itu dia telah termasuk naluri, tidaklah dia dapat dihapuskan dari dalam diri. Akan tetapi, dengan ajaran tauhid rasa takut itu disalurkan kepada Yang Satu, yaitu Allah.
Setelah Mekah ditaklukkan, Rasuliailah ﷺ mengeluarkan perintah agar setiap orang memecah atau menghancurleburkan setiap berhala yang masih ada dalam rumah orang masing-masing. Beliau pun memerintahkan sekaligus meruntuh dan menghancurkan berhala yang masih bersandaran di Kasbah. Laata dan Manaata, semuanya dia hancurkan bersama 360 berhala yang lain. Untuk meng
hancurkan berhala ‘Uzza yang besar di dekat kota Mekah, Nabi ﷺ memerintahkan Khalid bin Walid dengan 30 orang tentara berkuda pada lima hari terakhir dari bulan Ramadhan. Setelah dia sampai ke tempat berhala itu, segeralah dia runtuhkan. Dan, setelah selesai tugasnya, dia pun kembali kepada Rasulullah ﷺ. Dan, Rasulullah ﷺ pun bertanya, “Sudahkah engkau runtuhkan?"
Khalid menjawab, “Sudah, ya, Rasulullah!"
“Adakah engkau melihat sesuatu?" tanya Rasulullah ﷺ
“Tidak ada," jawab Khalid.
“Kalau begitu pekerjaanmu belumlah selesai. Segeralah engkau kembali ke sana dan hancurkanlah berhala itu!"
Dengan gemas dan marahnya Khalid kembali ke tempat itu. Dia masuk kembali ke dalam rumah berhala itu. Tiba-tiba keluarlah seorang perempuan tua, hitam warna kulitnya, dan kusut tergerai rambutnya. Itulah juru kunci rumah berhala tersebut. Juru kunci itu menjerit-jerit ketakutan. Khalid segera menyentak pedangnya lalu dipancungnya perempuan tua hitam itu, sehingga terpotong dua. Setelah itu Khalid kembali kepada Rasulullah ﷺ, menceritakan apa yang telah kejadian. Maka, ber-sabdalah Rasulullah ﷺ, “Memang itulah dia yang sebenarnya ‘Uzza. Dia telah putus asa buat disembah lagi di negeri ini."
Inilah kisah menghancurkan berhala ‘Uzza yang tersebut di dalam sejarah. Bagaimana kalau Khalid takut melihat hantu penghuni berhala itu, yang merupakan dirinya sebagai perempuan tua hitam?
Tentu berhala itu masih akan dipandang angker oleh pemujanya. Akan tetapi, Khalid bin Walid bukan Khalid kalau dia takut kepada hantu itu, terus dipancungnya, kudung dua!
Bersamaan dengan perjalanan Khalid itu Rasulullah ﷺ mengutus Amr bin ‘Ash pula untuk menghancurkan sebuah berhala yang dipuja oleh suku Huzail. Setelah Amr sampai ke tempat itu bertemu dia dengan juru kuncinya.
Juru kunci itu bertanya, “Apa maksud engkau?" Amr menjawab, ‘Aku diperintah Rasulullah ﷺ menghancurkan berhala ini!"
Juru kunci menjawab, “Engkau tidak akan sanggup berbuat begitu!" Jawab Amr, “Apa sebab?"
“Berhala itu akan mempertahankan diri," jawab juru kunci.
Lalu, dengan murka Amr menjawab, “Sampai kini engkau masih saja percaya kepada yang karut dan batil itu. Bagaimana dia akan dapat mempertahankan dirinya? Padahal dia tidak mendengar dan tidak melihat?"
Berkata Amr ketika mencerita kejadian itu, “Lalu saya mendekat kepada berhala itu lalu segera saya hancurkan. Setelah itu saya suruh pula kawan-kawan saya menghancurkan rumah pemujaan itu sampai rata dengan tanah. Tidak ada terdapat apa-apa. Maka, saya berkata kepada juru kunci itu, “Sekarang bagaimana engkau lihat? Apa engkau masih percaya?"
Juru kunci menjawab, “Mulai hari ini saya menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada Allah." (aslamtu iiliah)
Setelah itu Rasulullah ﷺ mengutus Sa'ad bin Zaid al-Asyhali pergi meruntuhkan berhala Manaata, berdiri di satu tempat bernama Musyallal, di dekat kampung Qadid. Pemujanya di zaman lampau sebelum Islam ialah Aus dan Khazraj dan Bani Ghassan dan lain-lain. Sa'ad datang ke sana membawa 20 orang tentara berkuda. Sampai di sana bertemu pula dengan juru kunci. Dia pun bertanya, “Apa maksud kalian?"
Sa'ad menjawab, “Hendak meruntuhkan berhala Manaata!"
“Silakan!" kata juru kunci itu.
Dengan tidak ragu-ragu sedikit pun Sa'ad masuk ke dalam rumah pemujaan. Sampai di dalam, tiba-tiba muncul pulalah seorang perempuan tua, hitam, bertelanjang bulat dan rambutnya tergerai lepas, bersorak-sorak, memekik-mekik, dan menampar-nampar dadanya. Maka, berkatalah juru kunci tadi kepada perempuan itu, “Hai, Manaata! Pertahankan dirimu. Orang yang durhaka kepadamu mencoba hendak mengganggumu!"
Perempuan tua yang menakutkan itu tampil hendak menggumuli Sa'ad, tetapi sekali pancung saja, dia pun rubuh. Lalu, Sa'ad mempergunakan kampaknya menghancurkan berhala itu, sehingga menjadi tumpukan puing dan tidak ada apa-apa.
Catatan sejarah tidak menyebut apakah perempuan itu manusia biasa yang dianggap sebagai Manaata? Atau orang-orang gila rawan yang datang ke sana lalu diangkat oleh pe-mujanya sebagai penjelmaan Manaata, sebagai pada berhala ‘Uzza tadi? Atau memang ada hantu yang menjelmakan diri dan menimbulkan takut orang yang lemah pribadi?
Kesemuanya itu mungkin saja. Namun, apa pun ancaman, entah hantu perburu, si gulambai, hantu haru-haru dan sebagainya, tetapi bagi orang-orang beriman sebagai Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Sa'ad bin Zakl al-Asyhali, tidak sebuah juga yang mereka takuti dan mereka tidak gentar menghadapinya. Semua runtuh hancur karena kekuatan tauhid.14.
Tidak ada tempat takutnya seorang Mukmin, melainkan Allah!
Ayat 197
“Dan, mereka yang kamu setu selain dari Dia, tidaklah mereka sanggup menolong kamu; dan tidak pula menolong dini mereka sendini"
Kembali lagi diulangkan tentang kebodohan menyembah dan memuja kepada yang lain itu, yang tadinya telah dikatakan tidak berkaki, tidak bertangan, tidak bermata dan tidak bertelinga. Taruhlah dia berkaki, bertangan, bermata dan bertelinga, tetapi dia tidaklah berdaya apa-apa dan dia tidak dapat menolong, sebab dia hanya benda belaka. Bah kan menolong diri mereka sendiripun, untuk menghindar dari satu bahaya, mereka pun tidak ada daya. Di ayat yang sebelumnya tadi dikatakan, pendirian yang tegas dari Nabi ﷺ, yaitu bahwa pelindung beliau ialah Allah, yaitu Allah yang menurunkan kitab. Maka, Allah menjamin memberikan perlindungan kepada orang yang shalih. Di ayat 197 ini dikatakan lagi bahwa makhluk tidak berdaya. Sekarang ke mana kita hendak pergi, meminta tolong kepada berhala atau sesama manusiakah atau langsung meminta pertolongan kepada Allah?
Lihat Zaadul Ma'ad, jilid 1 oleh Ibnul Qayyim.
Kalau ada orang berkata bahwa ayat 197 sudah memberikan ketegasan bahwa memang ada wali Allah. Orang-orang yang istimewa di sisi Allah karena shalihnya. Sebab itu, kami meminta dengan perantaraannya!
Dengan ayat ini jelaslah kebodohan mereka. Allah dan Rasul membuka pintu bagi semua orang, supaya menjadi wali Allah langsung sendiri mendekati Allah, sedang mereka masih saja mencari perlindungan yang lain. Mereka mengaku memang ada waliullah, tetapi mereka tidak berniat sendiri-sendiri hendak menjadi waiiyullah pula. Allah sendiri yang memanggil, marilah menjadi wali-Ku, tetapi mereka enggan memasuki pintu yang terbuka itu, melainkan hendak memakai perantaraan juga. Padahal, tempat meminta dari orang yang dipandang wali itu tidaklah ada yang lain, hanya Allah juga. Oleh sebab itu musyrik adalah satu kejahilan.
Ayat 198
“Dan, jika kamu seru mereka kepada petunjuk, tidaklah mereka mau mendengarkan,"
Pangkal ayat ini menyatakan betapa sulit menghadapi orang yang telah berurat-berakar kemusyrikan di dalam d iri mereka. M ereka tidak dapat diajak berunding untuk menyadarkan akal mereka yang telah ditutupi oleh ta'ashub, keras kepala mempertahankan pendirian yang salah. Mereka tidak mau mendengarkan, sebab
jiwa mereka telah ditutup oleh pengaruh hawa nafsu. Sebagaimana keadaan kaum Quraisy ketika berhala mereka dicela sedemikian rupa, tidaklah mereka segera meninjau kesalahan pendirian mereka, melainkan bersitegang urat leher mempertahankan pendirian.
“Dan engkau lihatlah mereka itu memandang kepada engkau, padahal mereka tidaklah melihat."
Alangkah tepatnya ungkapan ini. Allah memberi peringatan kepada Rasul-Nya bahwa mereka melihat kepada engkau dengan mata, tetapi hati mereka sendiri tidak ada perhatian kepada engkau. Sehingga bila berpandangan mata, sekali lihat saja sudah diketahui bahwa di dalam jiwa tidak ada kecocokan.
Inilah satu peringatan ayat yang boleh diperdalam lagi, tentang bagaimana timbulnya kontak jiwa karena pertemuan pandangan mata. Keajaiban takdir Allah pada kejadian manusia dapat kita perhatikan pada mata. Mata orang lebih jujur daripada hatinya, tetapi pada matanya selalu terkilas apa yang tersimpan dalam hati itu. Kalau bertemu pandangan mata di antara dua orang yang sama jujurnya walaupun baru satu kali, akan timbullah kecocokan jiwa. Sebab itu, jika bertemu orang yang berjiwa tauhid dengan orang yang berjiwa jujur, mereka tidak akan berpisah lagi selama hayat dikandung badan, walaupun bertemu hanya sekali-sekali. Sebaliknya kalau yang satu bertauhid dan yang satu lagi tidak tentu rebah-tegak, yang dalam istilah sekarang disebut plintat-piintut walaupun bertemu tiap hari, tidaklah akan terjadi kecocokan.
Khadijah yang agung, dalam usia 40 tahun, lagi kaya raya telah meninggal suaminya yang pertama, dan dia belum hendak kawin lagi, meskipun banyak orang yang telah meminang. Akan tetapi, setelah sekali saja dia melihat Nabi kita Muhammad ﷺ dalam usia 25 tahun, lagi miskin pula maka dia sendirilah yang meminang beliau buat menjadi suaminya.
Abu Bakar menjadi pengikut setia dari Rasulullah ﷺ, karena pertemuan mata pada pertemuan pertama dalam permulaan dakwah. Di zaman kita ini terkenallah bahwa perpaduan jiwa Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Mohammad Abduh telah terjadi sejak pertemuan yang pertama, ketika Sayyid Jamaluddin datang mengunjungi Mesir.
Ayat ini menjadi pelajaran penting bagi para mubaligh penyebar dakwah Islam, tentang betapa pentingnya kejujuran dan kebersihan hati yang akan membayang membawa sinar kepada mata, untuk mencari kontak dengan sekalian mata yang di dalam jiwanya ada kejujuran.
Ayat 199
“Ambillah cara memaafkan dan suruhlah berbuat yang ma'ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
Ini suatu pedoman perjuangan yang diperingatkan Allah kepada Rasul-Nya. Tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh di dalam menghadapi pekerjaan besar menegakkan dakwah kepada umat manusia. Pertama: ambillah cara memaafkan.
Dari berbagai macam tafsir, satu kita pilih, yaitu tafsir daripada Hisyam bin Urwah bin Zubair, yang diterimanya dari pamannya, Abdullah bin Zubair. Bahwa, arti ‘afwa di sini ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Tafsir seperti ini terdapat juga daripada Ummul Mukminin Siti Alsyah.
Tegasnya, menurut penafsiran ini, diakui-lah bahwa tiap-tiap manusia itu betapa pun baik hatinya dan shalih orangnya, tetapi pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan. Inilah yang diungkapkan oleh sebuah syair Arab:
Kalau engkau tidak sabar berkali-kali karena melihat kumis orang kotor.
Kesudahannya engkau akan haus terus karena di manakah manusia yang Jcumisnya bersih sama sekali ?
Diumpamakan orang terpaksa berganti-ganti minum dari satu cangkir di dalam perjalanan beramal-ramai, padahal semua sama-sama haus. Tiap-tiap kumis orang-orang yang minum itu tentu ada berdebu. Maka, kalau ada orang yang tidak mau minum karena melihat kumis temannya berdebu, kesudahannya dia akan tetap haus saja, sebab tidak ada kumis yang tidak berdebu.
Dalam pergaulan hidup yang luas atau dalam sekumpulan manusia yang sama cita-cita dan terdapat persamaan paham, berkumpullah banyak manusia dengan masing-masing mempunyai kelebihan, tetapi masing-masing pun mempunyai segi-segi yang lemah, yang kadang-kadang membosankan dan menyinggung perasaan. Hal inilah yang diperingatkan Allah terlebih dahulu kepada Rasul-Nya, bahwa yang demikian akan terdapat pada pengikut-pengikutnya yang beribu-ribu banyaknya itu. Maka, kekurangan-kekurangan pada perangai yang demikian itu, yang tidak mengenai dasar perjuangan, hendaklah memperbanyak maaf. Kalau dalam hal yang seperti ini terlalu bersikap keras, tidaklah ada teman itu yang bersih sama sekali dari cacat.
Kemudian laksanakanlah yang kedua: dan suruhlah berbuat yang ma'ruf.
Di dalam ayat ini ditulis ‘urfi, yang satu artinya dengan ma'ruf, yaitu pekerjaan yang diakui oleh orang banyak atau pendapat umum, bahwa pekerjaan itu adalah baik. Berkali-kali telah kita tafsirkan bahwa kalimat ma'ruf artinya ialah yang dikenal baik; demikian juga kalimat ‘uruf Dikenal baik oleh manusia, dipuji, disetujui, dan tidak mendapat bantahan. Lantaran itu, segala pekerjaan dan usaha yang akan mendatangkan kebaikan bagi diri pribadi dan segi pergaulan hidup bersama, termasuklah dalam lingkungan yang ma'ruf. Sebab itu, daerahnya luas sekali. Nabi Muhammad ﷺ disuruh memerintahkan kepada seluruh manusia atau khususnya kepada semua orang yang beriman, supaya berlomba membuat yang ma'ruf maka dengan demikian cacat dan kekurangan yang ada pada tiap-tiap orang, hendaklah diimbanginya dengan banyak-banyak membuat yang ma'ruf, sehingga masyarakat Islam itu menjadi masyarakat yang lebih menghadapkan perhatiannya kepada yang ma'ruf, berjiwa besar. Tidak hanya cela-mencela di antara satu sama lain, mencari cacat orang, sehingga pekerjaan yang ma'ruf terhambat dari sebab membicarakan kekurangan orang lain.
Kemudian datanglah perintah yang ketiga: dan berpalinglah dari orang-orangyang bodoh.
Maksud berpaling dari orang-orang yang bodoh, ialah karena ukuran yang dipakai oleh orang yang bodoh itu adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal usul yang hanya timbul daripada pikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Mereka hanya memperturutkan perasaan hati, bukan pertimbangan akal. Mereka akan mengemukakan beberapa teori, yang menurut mereka mudah, padahal sukar dijalankan. Itulah kalau orang-orang bodoh itu terdiri daripada pengikut sendiri. Apatah lagi lebih berbahaya kalau orang bodoh itu datang dari pihak musuh. Lidah mereka tidak terkunci, perkataan hanya asal keluar saja. Kadang-kadang sangat menyakitkan hati. Orang-orang bodoh, bisa diperkuda-kuda atau dipergunakan oleh pihak lawan buat mengerjakan pekerjaan yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak akan berusaha menuntut dan mencari kebenaran kalau kebenaran itu hilang. Mereka tidak mengena! apa yang dinamai janji. Dan, mereka tidak mengenal apa yang dinamai kehormatan diri. Mereka mudah menuduh orang yang setia menjadi pengkhianat dan menjunjung tinggi orang jahat karena orang jahat itu dapat memenuhi nafsu mereka. Maka, arti berpaling di sini ialah agar kita berhati-hati dengan bahaya orang-orang yang bodoh, orang yang berukuran singkat itu.
Inilah tiga pokok ajaran yang diberikan Allah kepada Rasul ﷺ di dalam memimpin umatnya, menyatu-padukan pengikutnya, menangkis serangan dan menolak segala bala dan bencana, yang bagi kita, kaum yang ingin menjawab waris dari Rasul akan menjadi pedoman pula buat selama-lamanya.
Berkata Sayyidina Ja'far ash-Shadiq r.a., “Tidak terdapat di dalam Al-Qur'an sebuah ayat yang menghimpun budi yang luhur melebihi ini. Karena akhlak itu dipandang dari segi kekuatan insaniyah terdapat tiga macam. Pertama mengenai akal, kedua mengenai syahwat, ketiga mengenai kebengisan. Yang mengenai akal ialah kebijaksanaan, yaitu menyuruh berbuat yang ma'ruf. Yang mengenai syahwat ialah iffah, menahan hati dan memberi maaf. Sifat bengis ialah syaja'ah, keberanian, yaitu berpaling dari orang yang bodoh-bodoh!"
Dan, kata kita, “Apabila seorang yang merasa dirinya bertanggung jawab dalam mengendalikan umat atau bangsa, dapat memegang teguh ketiga pedoman ini, akan jayatah pimpinannya terhadap umat."