Ayat
Terjemahan Per Kata
إِيَّاكَ
hanya kepadaMu
نَعۡبُدُ
kami menyembah
وَإِيَّاكَ
dan hanya kepadaMu
نَسۡتَعِينُ
kami mohon pertolongan
إِيَّاكَ
hanya kepadaMu
نَعۡبُدُ
kami menyembah
وَإِيَّاكَ
dan hanya kepadaMu
نَسۡتَعِينُ
kami mohon pertolongan
Terjemahan
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Tafsir
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) Artinya kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 5
Hanya Engkaulah Yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Qiraah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz dan tidak dipakai, karena iya artinya "cahaya matahari.” Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian lain membacanya hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair: “Maka hati-hatilah kamu terhadap suatu urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.” Lafal nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; di mana keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.
Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari kesempurnaan gabungan rasa cinta, tunduk, dan takut". Mafid, yakni lafal iyyaka, didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan.
Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu. Lafal iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah ﷻ sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya: "Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan” (Hud: 123). “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal" (Al-Mulk 29). “(Dialah) Tuhan masyrik (Timur) dan magrib (Barat), tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (Al-Muzzammil: 9).
Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (Al-Fatihah: 5). Pembicaraan berubah dari bentuk ghaibah (orang ketiga) kepada bentuk muwajahah (orang kedua) melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah ﷻ maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah ﷻ Karena itu, ia mengatakan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan” (Al-Fatihah: 5). Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah ﷻ yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut.
Karena itu, tidaklah sah shalat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ubadah ibnus Shamit yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada shalat (tidak sah shalat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Aku bagi shalat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan bagian lain untuk hamba-Ku; dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku." Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus,yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat", maka Allah berfirman,"Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta".
Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa makna iyyaka na'budu ialah ‘Engkaulah Yang kami Esakan’. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau’; Wa iyyaka nasta'inu maknanya ’dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami’.
Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu adalah ‘Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian’.
Sesungguhnya lafal iyyaka na'budu didahulukan atas lafal iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting. Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu'?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, tapi ternyata yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya. Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud adalah menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan shalat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam shalat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan.
Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan takzim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan” (Al-Fatihah: 5). Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah ﷻ.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafal iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafal kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah kepada Allah ﷻ dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya. Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah ﷻ. Salah seorang penyair mengatakan: “Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan 'wahai hamba-Nya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.” Allah ﷻ menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya” (Al-Kahfi: 1). “Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya” (Al-Jin: 19). “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam” (Al-Isra: 1). Dalam ayat-ayat tersebut Allah ﷻ menamakannya dengan sebutan “hamba” di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di saat dilakukan isra (perjalanan) kepadanya.
Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai ajal datang kepadamu.” (Al-Hijr. 97-99).
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Hak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Maha Hak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya." Akan tetapi (berikut merupakan kritik Ibnu Katsir terhadap Ar-Razi) pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya. Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.
Sebagian kaum sufi/sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya adalah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah adalah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah ﷻ, pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar adalah yang mengartikan ‘hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Maha Suci lagi Maha Sempurna’. Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang shalat mengucapkan niat shalatnya, "Aku shalat karena Allah." Seandainya shalat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksa, maka batallah shalatnya. Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah ﷻ bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui shalatnya itu. Keadaannya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui: "Adapun aku, sesungguhnya aku tidak dapat mengucapkan dialek (cara pengucapan)-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi ﷺ menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."
Atas dasar itu semua, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan beribadah dengan penuh ketulusan, kekhusyukan, dan tawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dalam segala urusan dan keadaan kami, sambil kami berusaha keras.
Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.
Iyyāka (hanya kepada Engkau). Iyyāka adalah ḍamir untuk orang kedua dalam kedudukan manṣūb karena menjadi maf‘ūl bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf‘ūl bih harus sesudah fi‘il dan fā‘il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qaṣr, yaitu pembatasan yang bisa diartikan “hanya“. Jadi arti ayat ini “Hanya kepada Engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan“.
Iyyāka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti‘ānah (meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyyāka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:
“Ya Allah, Żat yang wājibul wujūd, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong kami”.
Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan sabdanya:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ. (رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب)
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb).
Karena surah al-Fātiḥah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.
Na‘budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta‘īnu, karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Melihat kata-kata na‘budu dan nasta‘īnu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a‘budu dan asta‘īnu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama.
Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya
Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah. Arti “ibadah” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.
Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya. Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah, dan ibadah memupuk tauhid.
Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia
Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:
اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.“ (al-‘Ankabūt/29: 45)
Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak.
Berusaha, Berdoa dan Bertawakal
Isti‘ānah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan.
Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa”. (al-Mā’idah/5: 2)
Adakah Pertentangan antara Dua Ayat itu?
Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui.
Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong.
Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma‘ūnah. Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya.
Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma‘ūnah dari Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma‘ūnah khusus kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
Ucapannya : O, untuk menambah penambahan, dan tindakan digunakan, dan dikatakan: "Bangun untukmu, dan mereka akan dikatakan."
Akhir-akhir ini, secara terpisah, dikatakan : Saya tidak bermaksud apa-apa selain Anda .
Perkataannya : Nabati: Kita bersatu, dan mereka ditundukkan, dan ibadah ketaatan harus direndahkan.
Yaitu : terhina, dan Anda kami mencari bantuan, kami meminta bantuan Anda dalam menyembah Anda dan dalam semua urusan kami .
Perlu bagiku untuk membuat kemampuan sebelum bertindak, [5] ini [4] [dikatakan], maka dikatakan: Karena penyebutan ibadah adalah mencari pertolongan, dan pertolongan itu sebelum ibadah,
Dengan kata kerja, tidak ada perbedaan antara didahulukan dan ditunda, dan dikatakan : kemampuan adalah jenis ibadah, seolah-olah ini adalah kalimat [6] Kami membuat kesuksesan dan kemampuan ? dan kami berterima kasih kepada Tuhan
. [7] Beribadah dulu, kemudian mengingat detailnya.
Akhir-akhir ini, secara terpisah, dikatakan : Saya tidak bermaksud apa-apa selain Anda .
Perkataannya : Nabati: Kita bersatu, dan mereka ditundukkan, dan ibadah ketaatan harus direndahkan.
Yaitu : terhina, dan Anda kami mencari bantuan, kami meminta bantuan Anda dalam menyembah Anda dan dalam semua urusan kami .
Perlu bagiku untuk membuat kemampuan sebelum bertindak, [5] ini [4] [dikatakan], maka dikatakan: Karena penyebutan ibadah adalah mencari pertolongan, dan pertolongan itu sebelum ibadah,
Dengan kata kerja, tidak ada perbedaan antara didahulukan dan ditunda, dan dikatakan : kemampuan adalah jenis ibadah, seolah-olah ini adalah kalimat [6] Kami membuat kesuksesan dan kemampuan ? dan kami berterima kasih kepada Tuhan
. [7] Beribadah dulu, kemudian mengingat detailnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Fatihah: 5
Ayat 5
“Engkaulah yang kami sembah, dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan."
Kata na'budu berpangkal dari kalimat ibadah dan nasta'inu berpangkal dari kalimat isti'anah. Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadah saja. Karena, meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita, yaitu sembah atau kami sembah, hakikat ibadah hanya khusus kepada Allah. Adapun dalam bahasa kita kata sembah itu terpakai juga kepada raja; di Minangkabau, kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mereka namai juga sembah-menyembah. Jadi, kalau kita artikan “hanya kepada Engkau kami beribadah" barangkali lebih tepat, apalah lagi kalimat ibadah itu pun telah menjadi bahasa kita.
Kalimat isti'artah pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau menurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman, menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau me-minta tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa disebut isti'anah juga. Padahal, yang demikian tidak terlarang oleh agama.
Dalam ayat ini, bertemulah kita dengan tujuan. Kita menyatakan pengakuan bahwa hanya kepada-Nya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang lain.
Sebagaimana telah kita maklumi pada keterangan di atas, Allah adalah Tuhan Yang Mencipta dan Memelihara. Dia adalah Rabbun. Sebab itu. Dia adalah Ilahi. Tidak ada Ilah yang lain, melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang Mencipta dan Memelihara, hanya Dia pula yang patut disembah. Adalah satu hal yang tidak wajar kalau Dia menjadikan dan memelihara, lalu kita menyembah kepada yang lain.
Oleh sebab itu, ayat yang lima ini memperkuat lagi ayat yang kedua “segala puji-pujian bagi Allah, Pemelihara dari sekalian alam". Hanya Dia yang patut dipuji karena hanya Dia sendiri yang menjadikan dan memelihara alam, tidak bersekutu dengan yang lain. Alhamdu di atas didahulukan menyebutkan bahwa yang patut menerima pujian hanya Allah sebab hanya Dia yang mencipta dan memelihara alam. Adapun pada ayat iyyaka na'budu ini dilebih-jelaskan lagi, hanya kepada-Nya dihadapkan sekalian persembahan dan ibadah sebab hanya Dia sendiri saja, tidak bersekutu dengan yang lain, yang memelihara alam ini.
Maka, mengakui bahwa yang patut disembah sebagai ilah hanya Allah, dinamai Tauhid Uluhiyah.
Dan, mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Rabbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.
Untuk contoh yang mudah tentang Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman, dilepaskan dari satu kesulitan. Tentu kita mengucapkan terima kasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong, misalnya, oleh si Ahmad, lalu kita mengucapkan terima kasih kepada si Hamid? Maka, orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, berarti orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah-belah; menerima nikmat dari Allah, mengucapkan terima kasih pada berhala.
Sekarang tentang arti ibadah.
Arti yang luas daripada Ibadah ialah mem-perhambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan, dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita hamba-Nya, budak-Nya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadah kepada-Nya disertai oleh raja', yaitu pengharapan akan kasih dan sayang-Nya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain. Sehingga, jika pun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia. Misalnya, kita mencintai anak dan istri, harta dan benda. Atau, kita mencintai tanah air tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain. Semuanya itu adalah karena nikmat dari Dia. Tidak dapat kita mencintai yang lain langsung, di samping mencintai Dia. Karena, kalau ada cinta lain di samping cinta kepada-Nya, itulah cinta yang terbagi. Apabila telah terbagi, itulah pangkal dari syirik.
Dan, tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa ibadah. Karena, yang lain itu semuanya adalah makhluk-Nya belaka.
Kita diperintah-Nya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruh-Nya kasih kepada ibu bapak, setia pada negara dan raja atau kepala negara, dan kita diperintahkan-Nya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan karena Allah yang menyuruhkan. Akan tetapi, kita tidak akan sampai beribadah kepada ibu-bapak atau kepada negara dan raja serta kepada kepala negara, atau kepada guru.
Kemudian datanglah isti'anah, yaitu memohonkan pertolongan. Pada ayat ini, kita disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita memohonkan pertolongan. Dengan demikian, kita mengakui bahwa kita sendiri tidaklah berkuasa untuk mencapai segala rencana yang telah kita cadangkan di dalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas dan kita tidak akan sampai kalau tidak Allah yang menolong.
Sebagaimana telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut iyyaka nasta'inu telah terkandung lagi tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan mendahulukan iyyaka, yang berarti “hanya Engkau saja", sudah lebih tegas lagi maksudnya daripada, misalnya kita berkata nasta'inuka, yang berarti “kami meminta tolong kepada Engkau". Dan, dia pun menimbulkan kekuatan di dalam jiwa kita bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan dari yang lain sebab yang lain tidak berkuasa dan tidak ada daya upaya untuk menolong kita.
Jangan kita campur adukkan di antara isti'anah dengan mu'awanah. Di dalam hal memohonkan pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah. Namun, di antara kita, manusia sesama manusia, makhluk sesama makhluk pun diperintah oleh Allah supaya saling tolong, berkoperasi, itu namanya bukan isti'anah, tetapi mu'awanah. Di dalam surah al-Maa'idah: 2, Tuhan berfirman agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kita tolong-menolong di dalam hal dosa dan permusuhan. Namun di dalam ayat, mu'awanah ini bertemu lagi inti sari pertahanan isti'anah. Artinya, sebagai Muslim yang sadar akan nilai imannya, di dalam isti'anah kita tetap hanya kepada Allah. Akan tetapi, terhadap orang lain, kita sudi menolong sebab melaksanakan perintah Tuhan juga. Kita tahu sabda Nabi bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.
Maka tolong-menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, dan yang lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari, tidaklah terlarang. Karena, hal itu bukan dalam rangka memandang bahwa tempat manusia tolong itu sebagai tempat beribadah. Di atas manusia yang tolong-menolong itu ada lagi kekuasaan tertinggi yang memutuskan dengan mutlak dan Mahakuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah kekuasaan Allah, yang kekuasaan-Nya meliputi akan seluruhnya. Kepada-Nyalah kita bersama sesudah saling tolong sesama kita, memohonkan petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang dicita-cita, dituntun sebaik-baiknya pada yang baik dan yang benar.
Tauhid dengan jalan isti'anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri, supaya langsung berhubungan dengan Allah, yang jadi sumber dari segala kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kele-mahan, tetapi di sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki. Adapun orang yang berilmu, ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak sanggup mengetahui segala.