Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِنۡ
dan jika
خِفۡتُمۡ
kamu khawatir
شِقَاقَ
(adanya)perpecahan
بَيۡنِهِمَا
antara keduanya
فَٱبۡعَثُواْ
maka utuslah/kirimlah
حَكَمٗا
seorang hakam (pendamai)
مِّنۡ
dari
أَهۡلِهِۦ
keluarganya (laki-laki)
وَحَكَمٗا
dan seorang hakam (pendamai)
مِّنۡ
dari
أَهۡلِهَآ
keluarganya (perempuan)
إِن
jika
يُرِيدَآ
keduanya menghendaki
إِصۡلَٰحٗا
perdamaian
يُوَفِّقِ
akan memberi taufik
ٱللَّهُ
Allah
بَيۡنَهُمَآۗ
kepada keduanya (suami-isteri)
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيمًا
Maha mengetahui
خَبِيرٗا
Maha Mengerti
وَإِنۡ
dan jika
خِفۡتُمۡ
kamu khawatir
شِقَاقَ
(adanya)perpecahan
بَيۡنِهِمَا
antara keduanya
فَٱبۡعَثُواْ
maka utuslah/kirimlah
حَكَمٗا
seorang hakam (pendamai)
مِّنۡ
dari
أَهۡلِهِۦ
keluarganya (laki-laki)
وَحَكَمٗا
dan seorang hakam (pendamai)
مِّنۡ
dari
أَهۡلِهَآ
keluarganya (perempuan)
إِن
jika
يُرِيدَآ
keduanya menghendaki
إِصۡلَٰحٗا
perdamaian
يُوَفِّقِ
akan memberi taufik
ٱللَّهُ
Allah
بَيۡنَهُمَآۗ
kepada keduanya (suami-isteri)
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيمًا
Maha mengetahui
خَبِيرٗا
Maha Mengerti
Terjemahan
Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Tafsir
(Dan jika kamu khawatir timbulnya persengketaan di antara keduanya) maksudnya di antara suami dengan istri terjadi pertengkaran (maka utuslah) kepada mereka atas kerelaan kedua belah pihak (seorang penengah) yakni seorang laki-laki yang adil (dari keluarga laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-masingnya mewakili pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak atau menerima khuluk/tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui khuluk. Kedua mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh pihak yang aniaya supaya sadar dan kembali, atau kalau dianggap perlu buat memisahkan antara suami istri itu. Firman-Nya: (jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua penengah itu (mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada mereka) artinya suami istri sehingga ditakdirkan-Nyalah mana-mana yang sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan ataukah perceraian. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Mengenali) yang batin seperti halnya yang lahir.
Tafsir Surat An-Nisa': 35
Dan jika kalian khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz (sikap durhaka) dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan jika kalian khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.” (An-Nisa: 35) Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang zalim dari keduanya melakukan perbuatan zalimnya.
Jika perkara keduanya masih bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Namun imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.” (An-Nisa: 35) Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang serupa dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakim mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah.
Jika kedua hakim sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakim berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakim." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Thalib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya. Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan, “Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakim, dan dari rombongan yang lain seorang hakim lagi.
Kemudian ia berkata kepada kedua hakim itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua melihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafal yang serupa. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafal yang sama. Para ulama sepakat bahwa dua orang hakim diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, “Jika dua orang hakim menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakim mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud. Dalil mereka ialah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.” (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya. Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakim ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.” (An-Nisa: 35) Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakim, dan sudah sepantasnya bagi hakim menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat. Sedangkan menurut qaul jadid (pendapat baru) dari mazhab Syafii juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakim niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakim itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).
Bila upaya yang diajarkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak dapat meredakan sengketa yang dialami oleh sebuah rumah tangga, maka lakukanlah tuntunan yang diberikan oleh ayat ini. Dan jika kamu khawatir akan terjadi syiqa'q atau persengketaan yang kemungkinan besar membawa perceraian antara keduanya, maka kirimlah kepada suami istri yang bersengketa itu seorang juru damai yang bijaksana dan dihormati dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai yang juga bijaksana dan dihormati dari keluarga perempuan. Jika keduanya, baik suami istri, maupun juru damai itu, bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik jalan keluar kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahamengetahui atas segala sesuatu, lagi Maha telitiAyat-ayat di atas yang berbicara tentang aturan dan tuntunan kehidupan rumah tangga dan harta waris, memerlukan tingkat kesadaran untuk mematuhinya. Ayat ini menekankan kesadaran tersebut dengan menunjukkan perincian tempat tumpuan kesadaran itu dipraktikkan. Dan sembahlah Allah Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan janganlah kamu sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah dengan sungguh-sungguh kepada kedua orang tua, juga kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh walaupun tetangga itu nonmuslim, teman sejawat, ibnu sabil, yakni orang dalam perjalanan bukan maksiat yang kehabisan bekal, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan membanggakan diri di hadapan orang lain.
.
Jika kamu khawatir akan terjadi syiqaq (persengketaan) antara suami istri, sesudah melakukan usaha-usaha tersebut di atas, maka kirimlah seorang hakam (perantara, wasit, juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib atau oleh suami istri, atau oleh keluarga suami istri.
Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan keduanya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.
Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara kedua suami istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
LAKI-LAKI ADALAH PEMIMPIN
Ayat 34
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, Utusan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas yang sebagian."
Di sini mulailah diterangkan apakah sebab yang terpenting, maka dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, dan mengapa maka laki-laki yang membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istrinya dengan baik. Mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil? Sedangkan perempuan tidak? Ayat inilah yang memberikan jawabannya. Sebab laki-lakilah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan. Meskipun beristri empat adalah satu kerepotan, tetapi umumnya laki-laki lebih dapat mengendalikan empat istri, daripada misalnya seorang istri bersuami empat orang. Terang dia tidak akan dapat mengendalikan keempat laki-laki itu. Malahan perempuanlah yang akan sengsara jika misalnya dia diizinkan bersuami empat
Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidak pun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan sebab tidaksesuai dengan kenyataan hidup manusia. Laki-laki memimpin perempuan, bukan saja pada manusia bahkan pada binatang. Para rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya. Kera dan beruk di hutan pun mengangkat pemimpin, beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertama di dalam ayat ialah lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka, yaitu mereka laki-laki atas yang sebagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan, sebab itu lebih pula dalam tanggung jawab. Misalnya berdiri rumah tangga, ada bapak, ada istri, dan ada anak, dengan sendirinya— meskipun tidak disuruh—laki-lakilah, yaitu si bapak yang menjadi pimpinan. Seibarat batang tubuh manusia, ada kepala, ada tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting, tetapi yang kepala tetap kepala.
Kepala tidak dapat tegak ke atas, kalau kaki lumpuh atau tangan patah. Tidaklah tangan mengomel mengapa dia jadi tangan dan kaki mengapa terletak di bawah. Atau ibarat kapal berlayar mempunyai nakhoda (kapten kapal) dan juru batu (masinis) Kedudukan masinis sangat penting, kalau dia tak ada, kapal tidak dapat berlayar. Tetapi masinis tetap mengetahui bahwa kepala tertinggi adalah nakhoda. Maka di dalam ayat ini diterangkanlah kenyataan itu, mau atau tidak mau, laki-lakilah pemimpin perempuan. Mungkin sekali-sekali kedapatan laki-laki tolol dan perempuan cerdik, sehingga terbalik, perempuan yang memimpin. “Yang jarang terjadi adalah seumpama tidak ada". Tidak ada dalam dunia orang yang menjadikan hal yang jarang terjadi menjadi pokok dan dalil hukum. Sebab yang kedua disebutkan lagi, “Dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka." Artinya, perwilahan atas harta benda pun adalah tanggung jawab laki-laki. Dalam bersuami istri, dimisalkan harta benda mereka berdua yang punya, yang dinamai oleh adat orang Minangkabau harato suarang namun hak terakhir di dalam menentukan tetap pada laki-laki.
Hal ini boleh kita katakan naluri atau insting dari orang perempuan. Walaupun dalam rumah tangga orang yang masih belum beradab, primitif, atau orang kampung, atau orang modern sekalipun, tinggal di kota, siang malam membicarakan hak-hak kaum perempuan. Sedang bertengkar-tengkar di dalam rumah memperkatakan hak dan kewajiban, tiba-tiba datang orang jahat hendak merampok rumah itu. Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu yang bersiap menghadapi musuh itu ialah laki-laki dan yang disuruh oleh laki-laki bersembunyi ialah istri dan anak-anaknya. Dan kalau ada anak laki-laki yang besar-besar, diperintah mereka oleh ayahnya sama bertahan dengan dia.
Agama Islam mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada istri yang akan dikawini. Mahar adalah seakan-akan mengandung undang-undang yang tidak tertulis tentang tanggung jawab, bahwa mulai mahar dibayar, si istri menyerahkan pimpinan atas dirinya kepada suaminya. Bangsa-bangsa Barat mempunyai adat bahwa perempuanlah yang membayar mahar kepada laki-laki. Yang juga mengandung undang-undang yang tidak tertulis, bahwa mulai laki-laki menerima mahar istrinya itu, menjadi kewajibanlah bagi dia membela dan memimpin istri itu sebab mulai saat itulah dia telah lepas dari tanggung jawab ayah bundanya.
Betapa pun modern rumah tangga, ke-putusan terakhir tetap pada laki-laki. Di dalam rumah tidak mungkin ada dua kekuasaan yang sama hak dan sama kewajiban, mesti ada pimpinan. Pimpinan itu, menurut kejadian jasmani dan ruhani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Bertambah kecerdasan pikiran manusia, bertambah dia menyetujui hal ini. Maka atas dasar demikianlah tegak hukum agama sehingga perkabaran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah irama hidup. Maka ayat berkata selanjutnya tentang watak perempuan yang dipimpin oleh laki-laki itu, “Maka perempuan yang baik-baik ialah yang taat." Yaitu taat kepada Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri, bertanggung jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami, dan pendidikan anak-anak. “Yang memelihara hal ihwal yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah."
Artinya bahwasanya tiap-tiap persuami-istrian, pasti ada rahasia kamar yang mesti ditutup terus, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian termasuklah dalam rangka sopan santun seorang istri. Sebab itu dikatakan dengan cara yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh Allah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama, merahasiakan alat kelamin sebab ilham dari Allah. Demikian pula hendaknya perempuan memelihara rahasia itu. Entah apa senda gurau dengan suami, jangan orang lain diberi tahu.
Oleh ulama-ulama diperluas lagi, bukan saja menyimpan rahasia hubungan suami istri di dalam bilik peraduan, bahkan juga kekayaan dan kesanggupan suami dalam memberikan nafkah harta benda, hendaklah dirahasiakan juga. Jangan dikeluhkan kepada orang lain jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan atau istri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki dengan lancar dan berbahagialah pergaulan mereka. Tetapi di samping yang baik, tentu ada juga yang buruk. Yaitu istri yang membuat pusing suami,
NUSYUZ
Berkatalah lanjutan ayat tentang perempuan kalau terjadi sebaliknya. “Dan perempuan yang kamu takut kedurhakaan mereka." Yang terkenal di dalam bahasa aslinya dengan nu-syuz, tidak patuh dan tidak taat, baik kepada Allah maupun suami sebagai pimpinan mereka, terhadap istri yang begini, tempuhlah tiga cara, “Maka ajarilah mereka." Beri mereka petunjuk dan pengajaran, tunjuk ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka atas kesalahannya. Suami yang baik akan dapat menentukan dan memilih kata-kata dan sikap yang layak untuk mengajari istri. Kadang-kadang ada istri yang tinggi hati, sombong. Karena hidupnya biasa senang dengan orang tuanya, lalu dipandang enteng suaminya. Diberi hadiah sebuah barang misalnya, dipandang enteng saja hadiah itu, dan dikatakannya bahwa pemberian ayah ibunya dahulu lebih mahal daripada itu. Sampai pernah dia berkata, “Aku tidak biasa memakai kain sekasar itu!" Maka suami hendaklah mengajarinya dan menyadarkannya, bahwasa-nya setelah bersuami, halus ataupun kasar, terimalah dengan baik. Karena apabila seorang telah bersuami, apabila bercerai dengan suaminya, jika dia pulang kembali ke dalam tanggungan ibu bapaknya, tidaklah lagi akan seperti sewaktu dia masih gadis. Dan beberapa misal yang lain, yang si suami untuk memberi pengajaran itu tidak boleh bosan, tetapi jangan nyinyir. Karena mendirikan dan menegakkan ketenteraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun.
Si suami hendaklah menunjukkan pimpinan yang tegas dan bijaksana. Tetapi ada lagi cara yang kedua, yang bagi setengah perempuan lebih pahit dari diajari dengan mulut, “Dan memisahlah dari mereka pada tempat-tempat tidur." Ada zaman-zamannya bagi seorang perempuan adalah satu hukuman yang mengibakan hati, kalau si suami menunjukkan marah dengan memisah tidur. Memang kalau pergaulan telah berpuluh tahun, “hukuman" pisah tempat tidur tidak demikian besar artinya, sebab sudah biasa juga suami istri yang telah banyak anak dan bercucu, sebab telah tua-tua berpisah tempat tidur. Tetapi di waktu masih muda, memisah tempat tidur karena menunjukkan hati tidak senang termasuk pukulan yang agak keras bagi seorang istri.
Dan perempuan kadang-kadang merasa dirinya cantik benar, dibuat-buatnya perangai untuk menguji atau untuk merekan perasaan suaminya. Kadang-kadang kalau si laki-laki tidak insaf atas tugasnya sebagai pemimpin, datanglah dia mengaki, “menyembah" kepada istrinya karena ingin bercumbu-cumbuan. Tetapi laki-laki yang tahu harga diri berbuat sebaliknya dari itu. Melihat istri yang telah mulai nusyuz, dialah yang pindah ke kamar lain untuk tidur sendiri. Kerap kali si istri menjadi hilang kesombongannya karena pengajaran yang demikian. Dia akan bertanya dalam hatinya, apa benar salah saya maka suami saya memisah tidur?
Ibnu Abbas terang-terang saja menafsirkan, berpisah seketiduran maksudnya ialah jangan dia disetubuhi, jangan tidur di dekatnya, atau belakangi dia sedang setempat tidur.
Dan berkata dia di dalam kesempatan yang lain, dikuatkan oleh as-Suddi dan adh-Dhahhak dan Ikrimah, jangan diajak bercakap dan jangan pula ditegur!
Satu hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud
“Dari Mu'awiyah bin Haidah al-Qusyairi, bahwa dia pernah bertanya kepada beliau, ‘Ya Rasul Allah. Apakah, hak istri seorang kami atas suami-nya?' (Artinya apakah kewajiban kami sebagai suami terhadap istri kamil-penafsir)' Beliau jawab, ‘Jika engkau makan dia pun hendaklah diberi makan. Jika engkau membuat pakaian, dia pun hendaklah diberi pakaian. Dan kalau memukul, jangan mukanya dipukul dan jangan dikatakan dia buruk (jelek)'" (HR Abu Dawud)
Tetapi ada lagi perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih kasar. Maka dipakailah jalan yang ketiga, “Dan pukullah mereka." Tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan yang sudah memang patut dipukul!
Ada kaum perempuan terpelajar yang mengukur seluruh perempuan dengan dirinya sendiri, menyanggah keras adanya kebolehan seperti ini terhadap kaum ibu yang lemah! Dia agaknya tidak sadar bahwa memang ada perempuan yang memang pukul yang hanya dapat memperbaiki kedurhakaannya. Memang ada perempuan yang ingin hendak menginjak kepala suaminya, menghina, mencarut, memaki, ribut, membuat malu dengan tetangga. Di dalam kitab-kitab fiqih, para ulama memberi juga petunjuk cara memukul itu, yaitu supaya jangan memukul mukanya, jangan pada bagian badannya yang akan merusak, serupa juga dengan memukul anak.
Sebagaimana juga keizinan yang diberikan Allah kepada seorang suami beristri sampai empat dengan syarat adil, dan di ujung ayat dianjurkan lebih baik istri satu orang saja supaya aman dari tanggung jawab yang berat, maka dalam hal keizinan untuk memukul ini, oleh beberapa hadits didapati kesimpulan bahwa sikap memukul hanyalah kalau sudah terpaksa sangat.
Menurut riwayat, awal mula ayat mengizinkan memukul itu ialah bahwa ada seorang sahabat Rasulullah, yang termasuk salah seorang guru (naqib) mengajarkan agama kepada kaum Anshar, namanya Sa'ad bin Rabi' bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair. Satu ketika, Habibah menyanggah (nusyuz) kepada suaminya, Sa'ad. Lalu Sa'ad menempeleng muka istrinya. Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah ﷺ ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya, “Diseketidurinya anakku, lalu ditempelengnya." Serta-merta Rasulullah menjawab, “Biar dia ambil balas (qisas?)"
Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman.
Tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi. Rasulullah berkata, “Kembali! Kembali! Ini Jibril datang!" Maka turunlah ayat ini (membolehkan memukul) Maka berkatalah Rasulullah ﷺ “Kemauan kita lain, kemauan Allah lain, maka kemauan Allah-lahyang lebih baik."
Ada riwayat lain bahwa nama perempuan itu ialah Khaulah binti Muhammad bin Salamah.
Apabila diperhatikan jalan riwayat itu nyata benar bahwa Rasulullah sendiri secara pribadi tidaklah menyukai memukul istri, bahkan disuruhnya istri membalas. Itu dapat dimaklumi karena beliau sendiri yang beristri sampai sembilan orang, tidaklah pernah, walaupun menjentik salah seorang istri beliau. Tetapi setelah ayat turun, beliau taat akan ketentuan Allah sehingga beliau berkata, “Kehendak kita lain, kehendak Allah lain, kehendak Allah-lah yang baik."
Menunjukkan bahwa satu-satu waktu, memang ada istri yang makanan pukul. Maka orang yang berbudi tinggi, khusus Nabi Muhammad ﷺ dan manusia-manusia budiman tentu tidak akan melakukannya. Tetapi memang sewaktu-waktu di dalam rumah tangga, ada terdapat istri yang mesti dipukul. Ini pun adalah rahasia rumah tangga yang oleh orang lain tidak perlu dicampuri.
Tepat sekali sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Abdullah bin Zam'ah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apakah (patut) seorang kamu memukuli istri, sebagaimana memukuli budak, kemudian di malam harinya dia disetubuhi pula." (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abdurrazak pun hampir serupa pula bunyinya.
Dengan hadits ini, laki-laki yang suka memukuli istrinya, seakan-akan dipandangnya istrinya sebagai budak atau hamba sahaya, adalah laki-laki yang kasar budi. Padahal istri bukan budak, bukan barang benda, tetapi ma-nusia dan teman hidup. Maka setelah memerhatikan sabda Rasulullah ini, sudah bertambah jelaslah apa maksud pukul. Sudah bertambah jelas pula apa maksud keterangan Ibnu Abbas, pukul dengan sikat gigi atau pukul dengan tongkat kecil. Bukan sebagaimana memukul budak. Amat hinalah engkau, pagi-pagi engkau pukul, engkau sepak terjangi dia laksana seorang budak, malam hari engkau datang lagi kepadanya minta dibawa tidur!
Dalam hal ini bertemu pula sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Baihaqi, diriwayatkan dari Ummi Kultsum binti ash-Shiddiq (saudara perempuan dari Aisyah), bahkan memukul istri hanya dibolehkan oleh Nabi kalau amat terpaksa. Dalam hal sangat terpaksa itu, yang pernah juga kejadian, ada yang menyampaikannya kepada Rasulullah, maka bersabdalah Rasulululah,
“Orang baik-baik di antara kamu, niscaya tidak akan memukul istrinya." (HR al-Baihaqi)
Pendeknya, peraturan Allah itulah yang baik. Ada keizinan memukul kalau sudah sangat perlu, tetapi orang baik-baik berbudi tinggi, akan berupaya supaya memukul dapat dielakkan. Dan tidaklah benar sama sekali kalau memukul sama sekali tidak diizinkan, kalau laki-laki telah diakui Allah sebagai pemimpin.
Sebagaimana sikap Nabi itu sendiri, beliau kurang senang jika ada orang mempergunakan kesempatan memukul itu. Beliau sendiri tidak pernah memukul istri-istrinya. Maka pihak perempuan pun niscaya wajib pula berusahalah dengan budi bahasanya agar kalau suaminya mengajarinya, janganlah sampai dengan pukul.
Ibnu Abbas memberikan tafsir, “Pukullah, tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita." Atha berkata, “Pukullah dengan sikat gigi (siwak)!"
Lalu ulama-ulama fiqih menjelaskan, “Jangan sampai melukai, jangan sampai patah tulang, jangan berkesan, dan jauhi memukul muka karena mukalah kumpulan segala kecantikan. Dan hendaklah berpisah-pisah pukulan itu, jangan hanya di satu tempat supaya jangan menyakitkan benar." Bahkan ada pula ahli fiqih berkata, “Pukul saja dengan tangan yang diselubungi sapu tangan, jangan dengan cambuk dan jangan dengan tongkat."
Ar-Razi menjelaskan pula dalam tafsirnya bahwa melakukan itu hendaklah cara bertingkat. Mulanya diajari baik-baik, tingkat kedua barulah memisah tidur, dan tingkat ketiga barulah pukul. Tidak boleh dimulai dengan memukul terlebih dahulu.
Dengan mengemukakan segala hadits yang bersangkut dengan ini dan penafsiran sahabat Rasulullah, terutama Ibnu Abbas dan sikap fuqaha, sudah terang bahwa hanya perempuan yang sangat karengkang (keras kepala) yang akan sampai kena pukul, dan hanya laki-laki yang kasar budi yang akan mempermudah-mudah memukul atau “lancang tangan".
Seorang teman saya di waktu mudanya bercerita bahwa karena terlalu marah pernah menyepakkan istrinya pada lututnya sehingga istrinya sangat kesakitan. Bekas sepaknya meninggalkan kesan hijau pada tulang lutut istrinya berhari-hari lamanya. Dia sangat menyesal atas perbuatannya itu sampai bertahun-tahun lamanya. Apatah lagi setelah dibacanya hadits Nabi tadi, “Orang baik-baik di antara kamu tidaklah akan memukul istrinya."
Kemudian datanglah lanjutan ayat, “Tetapi jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu cari-cari jalan buat menyusahkan mereka."
Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada tuannya. Taat ialah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu akan tenggang-menenggang, dan juga tahu akan harga dirinya. Kepada istri yang sudah semacam itu keadaannya, janganlah cari-cari fasal. Berlakulah hormat-menghormati dalam rumah tangga. Karena kalau istri sudah demikian baiknya, lalu laki-laki cari fasal saja membuat gaduh, jangan disesalkan kalau dia melawan. Janganlah suatu kesalahan yang terjadi ditimpakan saja kepada istri karena meskipun dia perempuan, dia juga manusia yang patut dihormati. Keadaan dirimu sendiri pun sebagai laki-laki akan canggung kalau-kalau dia tidak ada.
Imam Ghazalididalam kitab Ihya Ulumiddin memberikan nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggungkan perangai-perangai istrinya. Sebab tiap-tiap perempuan, tegasnya tiap-tiap manusia, ada saja segi kelemahannya. Bahkan engkau laki-laki pun mempunyai segi kelemahan, yang kesabaran istrimu pulalah yang akan mengekalkan rumah tangga.
Di akhir ayat Allah memperingatkan,
“Sesungguhnya Allah, adalah Mahatinggi, lagi Mahabesar."
Ujung ayat menyebut nama Allah yang Mahatinggi dan Mahabesar ini adalah pengebat dan kunci dari hak yang telah diberikan Allah di atas tadi, yaitu bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Mentang-mentang kamu telah diberi Allah kelebihan menjadi pemimpin, jangan kamu berlaku meninggikan diri dan menyombong, takabur dan membesarkan diri terhadap istrimu, berbuat sewenang-wenang, menyalahgunakan kekuasaan. Mulut kasar, mengata-ngatai atau menyebut jasa, atau main terjang main tempeleng.
Kamu mesti ingat, kalau kamu telah berlaku demikian terhadap istrimu, Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar akan tetap memberikan perlindungan-Nya kepada makhluk yang lemah. Seorang yang zalim pasti dapat pembalasan!
Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwasanya jenis kaum perempuan yang lemah adalah salah satu isi dari khutbah Nabi Muhammad ﷺ yang terakhir di waktu Haji Wada' Ketika itulah beliau berkata antara lain,
“Takutlah kamu sekalian kepada Allah berkenaan dengan perempuan; sesungguhnya dia adalah teman hidup sejati di sisi kamu."
Dan perempuan pulalah pesan dan petaruhnya yang terakhir seketika beliau akan meninggal dunia. Ada dua pesan beliau waktu akan meninggal dunia, yang sangat diper-ingatkannya. Pertama, shalat di awal waktu dan kedua, perempuan. Aku takut, kata beliau bahwa kedua soal inilah yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.
SYIQAQ
Ayat 35
“Dan jika kamu takut perselisihan di antara mereka berdua, maka hendaklah kamu utus seorang hakam dari ahlinya (si laki-laki) dan seorang hakam dari ahlinya (si perempuan)."
Meskipun pada ayat 34 di atas sudah dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing bahwa si laki-laki sebagai pemimpin bagi istrinya dan si perempuan hendaklah taat, kadang kalanya tidak juga dapat dielakkan perselisihan, yang kerap kali menyebabkan pergaulan menjadi retak. Sebab yang menimbulkan perselisihan mesti salah satu dari dua atau sekali keduanya. Atau si suami zalim dalam melakukan pimpinan. Atau si perempuan durhaka dari pimpinan (nusyuz) Atau karena si laki-laki bertambah zalim, maka si perempuan bertambah nusyuz; dan si perempuan bertambah nusyuz, maka si laki-laki pun bertambah zalim.
Kalau ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan yang lain. Si suami mengatakan istrinya sangat nusyuz sebab itu dia berhak menghukum, bahkan tidak wajib nafkah. Si istri mengadu, mengatakan bahwa suaminya tidak mempedulikan dia lagi, tidak ada nafkah lahir dan batin, jadi si suami zalim. Keduanya telah mempertahankan pendirian masing-masing. Tidak ada perdamaian lagi sehingga syiqaq telah tumbuh.
Arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Padahal belum cerai. Kalau orang lain (tangan ketiga) tidak campur, hal ini bisa berlarut-larut. Maka datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua pihak, atau masyarakatsekitarnya,sekampungsehalaman, atau pemerintah—sebab pemerintahan yang memegang tampuk masyarakat—supaya segera mencampuri hal itu. Datanglah perintah Allah: Maka utuslah seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan. Hakam yang pokok artinya sama dengan Hakim. Hakam ialah penyelidik duduk perkara yang sebenarnya sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Kedua hakam itu diutus oleh kedua masyarakat kaum Muslimin atau keluarga terdekat kedua belah pihak. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan saksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan saksama pula. Setelah lengkap diketahui, mereka bertemu kembali, lalu sopl itu dikaji dengan kepala dingin. “Jika keduanya mau akan perdamaian, niscaya akan diberi taufik oleh Allah di antara mereka keduanya."
Perdamaian atau ishlah, itulah hendaknya yang menjadi kedua hakam. Asal kedua-duanya benar-benar mau ishlah, niscaya Allah akan memberik taufik, yakni akan dapat persetujuan paham di antara mereka berdua, apakah yang ishlah di antara kedua suami istri yang berselisih ini? Adakah ishlah itu dengan mendamaikan mereka kembali sehingga segala perselisihan hilang dan mereka hidup rukun karena apa yang disukai atau apa yang menjadi keberatan kedua pihak sudah sama-sama diketahui? Atau apakah akan lebih timbul perdamaian, surut semula sebagai Muslim sesama Muslim dengan bercerai saja? Karena kalau diteruskan akan lebih besar bahayanya karena memang tidak ada kecocokan lagi? Kalau benar-benar kedua hakam ini mendapat kesimpulan bahwa ishlah hanya didapat dengan bercerai, itu pun mesti mereka katakan dengan terus terang.
Perceraian dengan damai tersebut juga kelak pada ayat 130.
Menurut riwayat Imam Syafi'i di dalam al-Umm, al-Baihaqi di dalam as-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu dari Ubaidah al-Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib (moga-moga Allah memuliakan wajahnya) dan bersama dengan mereka turut pula segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami istri itu. Maka Ali memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam itu, ‘Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki, kalau pada pandangan kamu berdua masih dapat orang-orang ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka!"
Mendengar itu berkatalah si perempuan, “Hamba tunduk kepada Kitab Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah, “Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!"
Ali menjawab, “Kalau begitu, engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."
Demikianlah penetapan dari Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjadi khalifah.
Serupa dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas, “Ayat ini ialah mengenai laki-laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. Allah menyuruh utus seorang laki-laki yang saleh dari ahli si laki-laki dan seorang laki-laki yang saleh dari ahli si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya ditarik dari dia dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima waris." Demikian Ibnu Abbas.
Dalam kedua pendapat dari dua orang sahabat Rasulullah ﷺ yang besar ini— Ali dan Ibnu Abbas—tampak bahwa kedua hakam mempunyai hak penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan, kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama madzhab banyak yang membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak menceraikan.
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Telah sependapat para ulama bahwa kedua hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara suami istri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan."
Ibrahim an-Nakha'i berkata, “Jika kedua hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan talak satu, atau talak dua, atau talak tiga, boleh saja."
Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik. Tetapi Hasan Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin Aslam. Itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Dawud az-Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik oleh Allah. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul kembali, bukan bercerai.
Tetapi golongan pertama yang mengatakan apa yang diputuskan oleh kedua hakam akan berlaku—baik berkumpul kembali maupun bercerai—ialah karena mengutus kedua hakam adalah perintah wajib kepada keluarga kedua pihak. Keputusan hukum dari kedua hakam sudah barang tentu tidak selalu akan disukai saja oleh yang diberi hukum. Untuk menghilangkan keraguan, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah memberi syarat supaya kedua suami istri yang berselisih itu benar-benar menyerahkan kekuasaan mengambil apa saja keputusan kepada kedua hakam itu, dan mereka akan taat menerimanya. Sebab Sayyidina Ali belum mau melepaskan laki-laki yang tidak mau menyerah kalau mau diceraikan itu sebelum dia menyerahkan keputusan kepada hakam sepenuhnya.
Setelah pada suatu hari penulis tafsir ini bertanya kepada guru dan ayahnya tentang adanya hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan kalau terjadi syiqaq, beliau telah menyatakan bahwa inilah langkah yang sebaik-baik dan seaman-amannya kalau terjadi syiqaq. Kata beliau bahwa di dalam kitab-kitab fiqih telah banyak diperbincangkan tentang fasakh nikah dan hak hakim buat menfaraq (memisahkan) di antara kedua suami istri. Tetapi ahli-ahli fiqih pun banyak sekali menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Beliau menyebut pengalamannya tentang fasakh nikah si Kani yang pada tahun dua puluhan menjadi perbincangan agak hebat di alam Minangkabau. Beliau telah berani mem-fasakhkan nikah si Kani dengan suaminya. Karena suaminya itu ternyata tidak sanggup memberikan nafkah kepada si Kani dengan secukupnya.
Pada suatu hari seorang perempuan bernama si Kani datang mengadukan nasibnya kepada beliau sebagai seorang ulama besar tempat orang mengadu dan meminta hukum. Bahwasanya sudah sekian lama dia kawin de-ngan suaminya ternyata suaminya itu tidak sanggup memberinya nafkah dengan sepatutnya sehingga kehidupannya sangat melarat Perempuan itu berkata pula bahwa jika pergaulan suami istri mereka teruskan juga, kemelaratanlah yang akan menimpa mereka kedua belah pihak untuk selama hidup.
Lalu ayahku bertanya, “Apakah engkau benci atau suka kepada suamimu itu?"
Si Kani menjawab, “Aku tetap suka kepadanya."
Kemudian diadakanlah penyelidikan tentang kehidupan si suami. Memang ada alasan buat menetapkan bahwa si suami memang tidak sanggup meneruskan pergaulan ini walaupun keduanya suka sama suka. Lalu beliau mengambil keputusan, sesudah mengadakan beberapa penyelidikan, bahwa nikah si Kani di/osaWikan. Artinya mereka dipisahkan, diceraikan dengan keputusan beliau sendiri.
Wibawa beliau dalam agama di Minangkabau pada waktu itu menyebabkan tidak ada bantahan yang tegas dari ulama-ulama yang lain. Pihak laki-laki akhirnya mengadu kepada Adviseur voor Inlandsche Zaken di Betawi. Ketika itu Kepala Kantor Inlandsche Zaken ialah Dr. Hazen, seorang Orientalis Belanda yang terkenal. Terjadilah surat-menyurat di antara ayahku dengan Dr. Hazen dan akhirnya Dr. Hazen tidak dapat membantah keputusan itu, walaupun Dr. Hazen telah meminta nasihat pula kepada ulama-ulama lain di Jawa pada waktu itu.
Ayahku, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, telah mengambil dasar keputusan ini dari hadits Rasulullah ﷺ,
“Jungan ada yang memberi mudharat dan jangan ada kemudharatan."
Kemudian ayahku memberi ingat kepada kami, murid-muridnya, di antaranya ialah pamanku, Syekh Yusuh Amrullah, yang menjadi qadhi di dalam negeri kami, Sungai Batang, 50 tahun lamanya, bahwa jalan fasakh yang telah beliau tempuh itu bukanlah jalan yang mudah. Banyak belat-belitnya. “Misalnya," kata beliau, “Kalau sekiranya mulai ditanya, sukakah engkau kepada suamimu itu atau tidak? Lalu dia menjawab dia benci atau dia tidak suka kepada suaminya itu, sukar untuk di/osok/ikan. Karena perempuan itu bisa dihukum nuzyuz, durhaka. Sebab orang yang benci kepada suaminya dengan tidak ada alasan, tiadalah wajib suaminya itu memberinya nafkah, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin."
Sehingga perempuan itu bisa tinggal “tergantung tidak bertali". Tetapi kalau dia menjawab bahwa dia tetap suka kepada suaminya, cuma dia tidak sanggup membayar nafkah, barulah ada jalan buat fasakh. Tetapi hendaklah diselidiki benar-benar lebih dahulu berapa patutnya nafkah perempuan itu dan berapa pula kesanggupan si laki-laki. Kalau teryata sesudah diselidiki memang si laki-laki tidak sanggup memberikan yang patut, barulah hakim boleh memutuskan fasakh karena pergaulan tidak dapat diteruskan.
Kemudian ayahku berkata bahwasanya jalan yang sebaik-baiknya ditempuh ialah memutuskan dan mengutus hakam dari keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Hendaklah kedua belah pihak menyerahkan keputusan perkara ini kepada kedua hakam itu. Beliau tampaknya menganut pendapat golongan yang mengatakan bahwa keputusan hakam terus berlaku, walaupun mengumpulkan kedua suami istri itu kembali ataupun menceraikan.
Dahulu hakim-hakim agama belum berani mengambil tindakan ini. Mereka masih saja berpegangkepada pendapat fiqih ulama-ulama mutaakhkhirin Syafi'iyah yang menyatakan bahwa perempuan yang nusyuz tidak wajib diberi nafkah. Maka banyaklah perempuan yang hidup terkatung-katung; bersuami tetapi tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. Apabila dia mengadu kepada hakim agama, dialah yang disalahkan karena dia nusyuz, tidak taat kepada suami. Akhirnya berkali-kali kejadian seorang perempuan masuk ke masjid ketika orang akan Jum'at atau sehabis Jum'at mengatakan bahwa mulai hari itu dia tidak lagi bertuhan kepada Allah dan bernabi kepada Muhammad. Dia telah murtad dari Islam. Karena ada orang yang mengajarkan kepadanya bahwa apabila seseorang perempuan telah murtad dengan sendirinya putuslah nikahnya dengan suaminya.
Inilah suatu kekacauan pikiran yang tumbuh karena hakim-hakim agama berpaham terlalu sempit, hanya taqlid kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan tidak ada kesanggupan memikirkan inti sari ajaran agama dan tidak mengerti maksud hadits Nabi yang kita salinkan tadi, bahwa maksud segala hukum agama bukanlah memberi mudharat dan ke-mudharatan.
Alhamdulillah sekarang berpikir tentang agama kian lama kian maju sehingga hukum zalim dituduh nusyuz kepada perempuan sudah jarang terdengar. Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama. Sekarang mengutus hakam karena syiqaq telah menjadi hal biasa.
Untuk membebaskan perempuan dari siksaan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sejak tahun 1916 di nagari Sungai Batang dan Tanjung Sani (Minangkabau), atas anjuran ayahku telah diadakan satu Shighat Ta'liq Thalaq yang akan menolong bagi kaum perempuan. Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,
“Jika istriku bernama si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp2.50,— (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama si Anu itu satu kali."
Dengan ta'liq semacam ini, terbukalah pintu luas bagi si istri, kalau tidak suka boleh mengadu kepada qadhi. Kalau qadhi menerima pengaduan itu dan perempuan itu membayar uang khulu', dengan sendirinya talak satu jatuh. Tidak usah pusing-pusing, tidak usah memperkatakan bernafkah atau tidak, atau gaib dari rumah tiga bulan, jalan laut enam bulan, dan sebagainya. Asal tidak suka boleh mengadu kepada hakim. Diterima oleh hakim, cerai jatuh dengan sendirinya.
Sejak itu tidak pernah lagi terdengar hal nusyuz, hal fasakh, hal murtad, dan sebagainya itu. Inilah salah satu ketangkasan paham guru saya dan ayah saya.
Sejak itu negeri-negeri yang lain di Minangkabau meniru cara Shighat Ta'liq yang ringkas itu. Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri. Sebagai akibatnya pula, perempuan yang tahu malu jaranglah yang melakukan kesempatan yang diberikan ini. Apatah lagi seorang qadhi yang berpengetahuan luas terlebih dahulu memberi nasihat dan menyelidiki sebab dan musabab sehingga bukan jarang kejadian seorang perempuan yang telah mendatangi qadhi dengan uang seringgit pulang saja dengan “tangan kosong" karena telah dapat nasihat dari qadhi. Dan telah menjadi pendapat umum di kampung kami bahwa perempuan yang “minta ta'liq—talak" itu mendapat nama yang kurang baik di kampung.
Dan mengutus hakam ketiga ditakuti timbulnya syiqaq suami istri itu tidaklah keluar dari garis madzhab Syafi'i sebagai suatu madzhab yang mempunyai penganut terbanyak dalam negeri kita ini, asal orang kembali kepada pendiri madzhab yang sebenarnya, bukan terikat dengan taqlid kepada ulama yang jauh berabad-abad sesudah Syafi'i. Karena salah seorang ulama madzhab yang menyokong pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas, sebagai dua ulama sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam hukum, adalah Imam Syafi'i sendiri, sebagai tersebut di dalam kitabnya al-Umm.
Sebagai penutup dari ayat syiqaq Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi sangat Mengerti."
Artinya, bahwasanya Allah Maha Mengetahui dan sangat mengerti gerak-gerik kedua hakam. Apakah mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, yaitu perbaikan dan perdamaian. Asal mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, akan terdapatlah persetujuan di antara mereka keduanya. Keduanya akan sama-sama mendapat taufik dari Allah, artinya sesuai keputusan mereka berdua dengan yang diridhai oleh Allah. Itu sebabnya Sayyidina Abdullah (Ibnu Abbas) di dalam menafsirkan ini memberi pensyaratan hendaklah kedua hakam itu orang yang saleh. Sebab orang yang saleh itu niscaya jujur di dalam mencari kebenaran. Sesudah menyelidiki dan mengkaji fakta (kenyataan) dari kedua belah pihak, mereka bisa sepakat mendamaikan kedua orang suami istri ini kembali. Yang kusut diselesaikan dan yang keruh dijernihkan. Jika ternyata bahwa penyelesaiannya hanya akan didapat dengan perceraian, mereka akan bersesuaian paham menceraikannya.
Oleh sebab Allah Maha Mengetahui dan Mahamengerti, hendaklah kedua hakam itu berhati-hati benar menjalankan tugas dan jangan mengkhianati kepercayaan yang ditimpakan orang kepada mereka.