Ayat
Terjemahan Per Kata
لَيۡسَ
tidak ada
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
dosa
أَن
untuk
تَبۡتَغُواْ
kamu mencari
فَضۡلٗا
karunia
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡۚ
Tuhan kalian
فَإِذَآ
maka apabila
أَفَضۡتُم
kamu telah bertolak
مِّنۡ
dari
عَرَفَٰتٖ
Arafah
فَٱذۡكُرُواْ
maka berdzikirlah
ٱللَّهَ
Allah
عِندَ
disisi
ٱلۡمَشۡعَرِ
Masy'aril
ٱلۡحَرَامِۖ
Haram
وَٱذۡكُرُوهُ
dan berdzikirlah padaNya
كَمَا
sebagaimana
هَدَىٰكُمۡ
Dia telah memberi petunjuk kepadamu
وَإِن
dan sungguh
كُنتُم
kalian adalah
مِّن
dari
قَبۡلِهِۦ
sebelumnya
لَمِنَ
sungguh dari/termasuk
ٱلضَّآلِّينَ
orang-orang yang sesat
لَيۡسَ
tidak ada
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
dosa
أَن
untuk
تَبۡتَغُواْ
kamu mencari
فَضۡلٗا
karunia
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡۚ
Tuhan kalian
فَإِذَآ
maka apabila
أَفَضۡتُم
kamu telah bertolak
مِّنۡ
dari
عَرَفَٰتٖ
Arafah
فَٱذۡكُرُواْ
maka berdzikirlah
ٱللَّهَ
Allah
عِندَ
disisi
ٱلۡمَشۡعَرِ
Masy'aril
ٱلۡحَرَامِۖ
Haram
وَٱذۡكُرُوهُ
dan berdzikirlah padaNya
كَمَا
sebagaimana
هَدَىٰكُمۡ
Dia telah memberi petunjuk kepadamu
وَإِن
dan sungguh
كُنتُم
kalian adalah
مِّن
dari
قَبۡلِهِۦ
sebelumnya
لَمِنَ
sungguh dari/termasuk
ٱلضَّآلِّينَ
orang-orang yang sesat
Terjemahan
Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Tafsir
(Tidak ada dosa bagi kamu) dalam (mencari) atau mengusahakan (karunia) atau rezeki (dari Tuhanmu) yakni dengan berniaga di musim haji. Ayat ini turun untuk menolak anggapan mereka yang keliru itu (Maka jika kamu telah bertolak), artinya berangkat (dari Arafah) yakni setelah wukuf di sana, (maka berzikirlah kepada Allah), yakni setelah bermalam di Muzdalifah sambil membaca talbiah, tahlil dan berdoa (di Masyarilharam) yaitu nama sebuah bukit di ujung Muzdalifah disebut Quzah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi ﷺ wukuf di sana, berzikir dan berdoa kepada Allah hingga hari telah amat benderang." (H.R. Muslim). (Dan berzikirlah kepada-Nya disebabkan petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) untuk mengetahui pokok-pokok agama dan tata cara hajinya. 'Kaf' menunjukkan sebab atau motifnya. (Dan sesungguhnya) dibaca 'in' bukan 'inna' (kamu sebelum itu) maksudnya sebelum petunjuk itu (termasuk orang-orang yang sesat).
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan; mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji.
Maka turunlah firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yaitu dalam musim haji. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id ibnu Mansur serta lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafal yang sama. Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka masih tetap merasa berdosa bila melakukan perniagaan (dalam musim haji), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai hal tersebut, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, tempat perniagaan orang-orang berada di Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz.
Setelah Islam datang, mereka tidak menyukai hal tersebut. Maka turunlah ayat ini. Imam Abu Dawud dan lain-lainnya meriwayatkan melalui hadits Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa mereka selalu menghindarkan dirinya dari melakukan perniagaan dalam musim haji, dan mereka mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari zikir. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yakni dalam musim haji.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: "Tidak ada dosa bagi kalian dalam melakukan transaksi jual beli, sebelum dan sesudah ihram." Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Amr Al-Hadrami, dari ‘Atha’, dari ibnu Abbas, bahwa ia membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) dalam musim haji.
Abdurrahman mengatakan dari Ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, "Aku pernah mendengar Ibnu Zubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 'Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian' (Al-Baqarah: 198). dalam musim haji." Tafsir yang sama dikemukakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mansuf ibnul Mu'tamir, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Umaimah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Ibnu Umar ketika Ibnu Umar ditanya mengenai perihal seorang lelaki yang menunaikan ibadah haji dengan membawa barang dagangannya.
Lalu Ibnu Umar membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Maka Nabi ﷺ memanggilnya dan bersabda kepadanya. Predikat atsar ini mauquf, tetapi sanadnya kuat dan baik. Sesungguhnya atsar ini telah diriwayatkan pula secara marfu'. Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asbat, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami biasa melakukan transaksi kira (sewa-menyewa), maka apakah kami beroleh ibadah haji?" Ibnu Umar balik bertanya, "Bukankah kamu telah melakukan tawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambutmu?" Lelaki itu menjawab, "Tentu saja." Ibnu Umar berkata bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya kepadanya tentang masalah seperti apa yang kamu tanyakan kepadaku, maka beliau tidak menjawab hingga Malaikat Jibril turun membawa ayat ini, yaitu firman-Nya: Kalian adalah jamaah haji.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ai-Sauri, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ib-nu Umar, lalu berkata, "Wahai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami adalah dari kaum yang berprofesi sewa-menyewa, dan mereka menduga bahwa kami tidak akan mendapat haji (karena berbisnis)." Ibnu Umar menjawab, "Bukankah kalian telah berihram seperti mereka berihram, dan kalian bertawaf seperti mereka bertawaf, serta melempar jumrah seperti yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kamu beroleh haji." Kemudian Ibnu Umar mengemukakan hadits berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku ini, maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian." (Al-Baqarah: 198) Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya melalui Abdur Razzaq dengan lafal yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Abu Huzaifah, dari Ats-Tsauri secara marfu', dan telah diriwayatkan pula melalui jalur lainnya secara marfu'. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah kaum yang suka berniaga kira ke arah ini yakni ke Mekah dan sesungguhnya ada segolongan orang yang menduga bahwa kami tidak akan memperoleh pahala haji.
Bagaimanakah menurutmu, apakah kami memperoleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian berihram, bertawaf di Baitullah, dan menunaikan semua manasik?" Ia menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kalian adalah orang-orang yang telah berhaji." Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya kepad-nya mengenai pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu, maka Nabi ﷺ tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada-nya atau beliau tidak menjawab sepatah kata pun hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198).
Maka beliau memanggil lelaki itu dan membacakan ayat ini kepadanya, lalu bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang telah berhaji." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Mas'ud ibnu Sa'd dan Abdul Wahid ibnu Ziyad serta Syarik Al-Qadi, dari Al-Ala ibnul Musayyab dengan lafal yang sama secara marfu'. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Taliq ibnu Muhammad Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Umar (yaitu Al-Faqimi), dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang suka sewa-menyewakan.
Apakah kami beroleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian tawaf di Baitullah, datang di Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?" Kami menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar menjawab dengan mengemukakan hadits berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku, maka beliau tidak mengetahui apa yang harus beliau katakan kepadanya, hingga turunlah Jibril a.s.
membawa firman-Nya, "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198), hingga akhir ayat. Dan Nabi ﷺ bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang berhaji." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gundar, dari Abdur Rahman ibnul Muhajir, dari Abu Saleh maula Umar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Khalifah Umar, "Wahai Amirul Muminin, mengapa kalian berdagang dalam musim haji?" Umar menjawab, "Karena tiada lain penghidupan mereka hanyalah dari hasil perniagaan dalam musim haji." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Sesungguhnya lafal arafah di-fathah-kan, sekalipun ia sebagai alam yang muannas, karena pada asalnya berbentuk jamak seperti muslimat dan muminat, kemudian dijadikan nama untuk suatu daerah tertentu, maka bentuk asalnya ini dipelihara hingga ia menerima tanwin.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Arafah merupakan tempat wuquf dalam ibadah haji dan sebagai tiang dari semua pekerjaan haji. Karena itu, Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunan meriwayatkan sebuah hadits yang shahih sanad-nya: dari Ats-Tsauri, dari Bukair bin ‘Atha’, dari Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Haji itu hanyalah di Arafah sebanyak tiga kali. Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji.
Dan hari-hari Mina itu adalah tiga hari, karenanya barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya. Waktu wuquf itu dimulai dari tergelincirnya matahari (dari pertengahan langit) di hari Arafah sampai dengan munculnya fajar yang kedua dari hari Kurban, karena Nabi ﷺ melakukan wuqufnya dalam haji wada' sesudah shalat Lohor sampai dengan matahari terbenam, lalu beliau bersabda: Ambillah (contoh) manasik-manasik kalian dariku. Dalam hadits ini Nabi ﷺ bersabda pula: Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf dimulai dari permulaan hari Arafah. Ia dan para pengikutnya mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadits dari Asy-Sya'bi, dari Urwah ibnu Midras ibnu Harisah ibnu Lamut Ta-i yang menceritakan: Aku datang kepada Rasulullah ﷺ di Muzdalifah ketika beliau berangkat untuk menunaikan shalat. Maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari Pegunungan Ta-i, unta kendaraanku telah lelah dan juga diriku. Demi Allah, tiada suatu bukit pun yang aku tinggalkan melainkan aku berwuqufpa-danya.
Maka apakah aku memperoleh haji?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Barang siapa yang mengikuti shalat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami berangkat, sedang sebelum itu ia telah wuquf di Arafah di malam. atau siang hari, maka sesungguhnya hajinya telah lengkap dan keperluannya telah dipenuhinya." Hadits riwayat Imam Ahmad dan As-Habus Sunan dinilai shahih oleh Imam At-Tirmidzi. Kemudian dikatakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf itu dinamakan Arafah karena ada sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang menceritakan bahwa Ibnul Musayyab pernah menceritakan kisah yang pernah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib seperti berikut: Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Jibril a.s.
kepada Nabi Ibrahim a.s., lalu menuntunnya menunaikan ibadah haji. Dan ketika sampai di Arafah, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah kenal daerah ini," sebelum itu Nabi Ibrahim pernah mendatanginya sekali. Karena itulah maka tempat wuquf dinamakan Arafah. Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari ‘Atha’ yang menceritakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf dinamakan Arafah, karena ketika Malaikat Jibril memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim a.s.
tempat-tempat manasik, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah mengenal ini" (yang dalam bahasa Arabnya disebut 'Araftu), kemudian dinamakanlah Arafah. Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Abu Mijlaz. Arafah dinamakan pula dengan sebutan Al-Masy'aril Haram, Al-Masy'aril Aqsa, dan Hal, sama wazannya dengan Hilal. Bukit yang ada di tengah-tengahnya dinamakan Jabal Rahmah. Sehubungan dengan hal ini Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu syairnya yang terkenal, yaitu:
Apabila mereka hendak melakukan wuquf maka mereka berada di Al-Masy'aril Aqsa, yaitu dikenal pula dengan sebutan Hal sebagai kata persamaannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnul Hasan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah (yaitu Ibnu Saleh), dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Jahiliah melakukan wuqufnya di Arafah.
Manakala matahari berada di atas bukit seakan-akan seperti kain sorban di atas kepala laki-laki, maka mereka berangkat. Karena itu, maka Rasululluh ﷺ menangguhkan keberangkatan dari Arafah hingga matahari tenggelam. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui Zam'ah ibnu Saleh, dan menambahkan, "Kemudian Rasulullah ﷺ berhenti di Muzdalifah, lalu melakukan shalat Subuh di pagi buta. Manakala segala sesuatu tampak kuning dan berada di akhir waktu Subuh, barulah beliau bertolak." Hadits ini lebih baik sanadnya. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais, dari Al-Miswar ibnu Makhramah yang menceritakan hadits berikut: Ketika Rasulullah ﷺ berada di Arafah, beliau berkhotbah kepada kami.
Untuk itu beliau mengucapkan hamdalah, puja serta puji kepada Allah subhanahu wa ta’ala, setelah itu baru beliau bersabda, "Amma Ba'du, dan memang kebiasaan beliau apabila berkhotbah selalu mengucapkan kalimat amma ba'du pada permulaannya- Sesungguhnya hari ini adalah hari haji akbar. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang musyrik dan para penyembah berhala berangkat pada hari ini sebelum matahari tenggelam. Yaitu bila matahari berada di atas bukil-bukit seakan-akan seperti kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya.
Sesungguhnya kami bertolak sesudah matahari tenggelam. Dahulu mereka bertolak dari Masy'aril Haram sesudah matahari terbit, yaitu bila matahari (kelihatan) berada di atas bukit seakan-akan kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sebelum matahari terbit agar petunjuk kita berbeda dengan petunjuk kaum musyrik. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih, dan hadits ini berdasarkan lafal darinya; Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, kedua-duanya melalui hadits Abdur Rahman ibnul Mubarak Al-Aisyi, dari Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Ibnu Juraij.
Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Sesungguhnya terbukti dengan benar apa yang telah kami sebutkan di atas yang menyatakan bahwa Al-Miswar benar-benar mendengar langsung dari Rasulullah ﷺ Tidak seperti apa yang diduga oleh segolongan teman-teman kami yang mengatakan bahwa Al-Miswar termasuk orang yang hanya pernah melihat Nabi ﷺ, tetapi tidak pernah mendengar hadits darinya. Waki' meriwayatkan dari Syu'bah, dari Ismail ibnu Raja Az-Zubaidi, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid yang menceritakan bahwa ia pernah melihat sahabat Umar ketika bertolak dari Arafah, seakan-akan ia melihatnya seperti lelaki yang botak dengan mengendarai untanya seraya bertolak dan berkata, "Sesungguhnya kami menemukan cara berifadah (bertolak) ialah dengan langkah-langkah yang cepat." Di dalam hadits Jabir ibnu Abdullah yang cukup panjang yang berada pada kitab Shahih Muslim disebutkan di dalamnya bahwa Nabi ﷺ masih tetap berwuquf, yakni di Arafah, hingga matahari tenggelam dan awan kuning mulai tampak sedikit, hingga bulatan matahari benar-benar tenggelam.
Nabi ﷺ memboncengkan Usamah di belakangnya, lalu beliau bertolak seraya mengencangkan tali kendali qaswa unta kendaraannya, sehingga kepala unta kendaraannya hampir menyentuh bagian depan rahl (pelana)nya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya seakan-akan mengatakan: Wahai manusia, tenanglah, tenanglah. Manakala menaiki bukit, beliau mengendurkan tali kendalinya sedikit agar qaswa dapat naik dengan mudah, hingga sampailah di Muzdalifah, lalu shalat Magrib dan Isya padanya dengan sekali azan dan dua kali iqamah, tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya.
Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit, lalu shalat Subuh ketika fajar Subuh telah tampak baginya dengan sekali azan dan sekali iqamah. Sesudah itu beliau mengendarai qaswa dan berangkat hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu menghadap ke arah kiblat dan berdoa kepada Allah seraya bertakbir, bertahlil, dan menauhidkan-Nya. Beliau ﷺ masih tetap dalam keadaan wuquf hingga cahaya pagi kelihatan kuning sekali. Kemudian beliau bertolak sebelum matahari terbit. Di dalam kitab Shahihain, dari Usamah ibnu Zaid disebutkan bahwa ia pernah ditanya mengenai kecepatan kendaraan Rasulullah ﷺ ketika bertolak (dari Muzdalifah ke Masy'aril Haram).
Maka Usamah menjawab bahwa beliau ﷺ memacu kendaraannya dengan langkah-langkah yang sedang; dan apabila menjumpai tanah yang legok, maka beliau memacunya dengan langkah yang lebih lebar lagi. Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad (anak lelaki dari anak perempuan Imam Syafii) dalam surat yang ditujukannya kepadaku. Ia menceritakannya dari ayahnya atau dari pamannya, dari Sufyan ibnu Uyaynah sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Yang dimaksud dengan zikir dalam ayat ini ialah menjamak dua shalat.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Ainr ibnu Maimun, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang Masy'aril Haram. Maka Ibnu Amr diam, tidak menjawab. Tetapi ketika kaki depan unta kendaraan kami mulai mengambil jalan menurun di Muzdalifah, ia bertanya, "Ke manakah orang yang tadi bertanya tentang Masy'aril Haram? Inilah Masy'aril Haram." Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim yang mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Masy'aril Haram adalah seluruh Muzdalifah." Hisyam meriwayatkan dari Hajjaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: Berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Maka Ibnu Umar menjawab bahwa Masy'aril Haram ialah bukit ini dan daerah sekitarnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Ibnu Umar melihat mereka berkumpul di Quzah. Maka ia berkata, "Mengapa mereka berkumpul di suatu tempat, padahal semua kawasan ini adalah Masy'aril Haram." Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, As-Suddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa mereka pernah mengatakan, "Masy'aril Haram itu terletak di antara kedua buah bukit." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Atha’ letak Muzdalifah, maka ‘Atha’ menjawab, "Apabila kamu bertolak dari kedua ma'zam 'Arafah yang menuju ke arah lembah Muhassar, dan bukan kedua ma'zam 'Arafah itu termasuk bagian dari Muzdalifah, melainkan jalan menuju ke arah keduanya; maka berhentilah kamu di antara keduanya jika kamu suka.
Aku suka bila kamu berhenti sebelum Quzah. Sekarang marilah bersamaku untuk memberi kesempatan kepada jalan yang dilalui oleh orang banyak." Menurut kami, tempat-tempat untuk menunaikan haji merupakan rambu-rambu yang sudah jelas, dan sesungguhnya Muzdalifah dinamakan Masy'aril Haram hanyalah karena masih termasuk bagian dari Tanah Suci. Tetapi apakah melakukan wuquf di Muzdalifah merupakan rukun haji; bila tidak dilakukan, hajinya tidak sah? Seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama Salaf dan sebagian murid-murid Imam Syafii, antara lain Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan kepada hadits Urwah ibnu Midras.
Ataukah hukumnya wajib, seperti yang dikatakan oleh salah satu dari dua pendapat Imam Syafii yang mengatakan jika ditinggalkan dapat ditambal dengan membayar dam Ataukah hukumnya sunat; dengan kata lain, tidak ada sanksi apa pun bila ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh selainnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama, pembahasannya secara panjang lebar terdapat dalam kitab lain.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Arafah semuanya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian (lembah Arafah). Dan Jam'un (Arafah) seluruhnya adalah tempat wuquf kecuali lembah Muhassar. Hadits ini mursal. Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Musa, dari Jubair ibnu Mut'im, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Semua kawasan Arafah adalah tempat wuquf dan tinggalkanlah oleh kalian (lembah) Arafah. Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian lembah Muhassar. Dan seluruh pelosok Mekah adalah tempat penyembelihan kurban.
Dan seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari penyembelihan kurban. Hadits ini pun munqathi’', karena sesungguhnya Sulaiman ibnu Musa yang dikenal dengan sebutan Al-Asydaq tidak menjumpai masa Jubair ibnu Mut'im. Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim dan Suwaid ibnu Abdul Aziz, dari Said ibnu Abdul Aziz, dari Sulaiman; dan Al-Walid mengatakan dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya.
Sedangkan Suwaid mengatakan dari Nafi' ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ, lalu ia mengetengahkannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 198) Ayat ini mengingatkan mereka akan limpahan nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa hidayah, keterangan, dan bimbingan kepada masya'irul hajji. Hal ini sesuai dengan hidayah yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.
Karena itulah sesudahnya disebutkan: dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah: 198) Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sebelum itu ialah sebelum adanya petunjuk tersebut. Menurut pendapat yang lain, sebelum adanya Al-Qur'an; dan menurut pendapat yang lainnya lagi sebelum adanya Rasul ﷺ Akan tetapi, pada prinsipnya masing-masing pendapat berdekatan pengertiannya, saling mengukuhkan dan benar."
Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu beru-pa rezeki yang halal melalui berdagang, menawarkan jasa, dan menyewakan barang. Di antara kaum muslim ada yang merasa berdosa untuk berdagang dan mencari rezeki yang halal pada musim haji, padahal Allah membolehkannya dengan cara-cara yang diatur dalam Al-Qur'an. Maka apabila kamu bertolak dari Arafah setelah wukuf, sejak matahari terbenam pada tanggal 9 Zulhijah dan sudah sampai di Muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam, yakni di Muzdalifah, dengan tahlil, talbiah, takbir, dan tahmid. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu mengikuti agama yang benar, keyakinan yang kukuh, ibadah yang istikamah, dan akhlak yang mulia, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu. Zikir itu merupakan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah membimbing para jamaah haji menjadi orang-orang berimanKemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak, yakni dari Arafah setelah wukuf menuju Masyarilharam, Muzdalifah, Mina, dan Mekah, dan mohonlah ampunan kepada Allah di tempat-tempat tersebut dari semua dosa yang pernah dilakukan. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang kepada orang yang tobat dan memohon ampun. Orang Arab Jahiliah ketika menunaikan ibadah haji merasa tidak perlu mengikuti cara-cara orang banyak berwukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, dan melempar jamrah, padahal semuanya berasal dari manasik haji yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Mereka meyakini bahwa tidak keluar dari Mekah merupakan penghormatan terhadap Kakbah dan tanah haram. Al-Qur'an meluruskan hal ini, menegaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam tata cara ibadah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Prinsip ibadah adalah menaati perintah Allah dan mengikuti aturan-Nya dengan ikhlas.
Pada musim haji seseorang tidak dilarang berusaha, seperti berdagang dan lain-lain, asal jangan mengganggu tujuan yang utama, yaitu mengerjakan haji dengan sempurna. Ayat ini diturunkan sehubungan dengan keragu-raguan orang Islam pada permulaan datangnya Islam untuk berusaha mencari rezeki, sehingga banyak di antara mereka yang menutup toko-toko mereka pada waktu musim haji, karena takut berdosa. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu 'Abbas, dia berkata, "Pada zaman jahiliah ada 3 pasar, yaitu Ukaz, Majannah, dan Zulmajaz."
Pada waktu musim haji, kaum Muslimin merasa berdosa berdagang di pasar-pasar itu, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini. Berusaha mencari rezeki yang halal selama mengerjakan haji adalah dibolehkan selama usaha itu dilakukan secara sambilan, bukan menjadi tujuan. Tujuan utama ialah mengerjakan ibadah haji dengan penuh takwa kepada Allah dan dengan hati yang tulus ikhlas.
Kemudian dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada setiap orang yang mengerjakan haji agar berzikir kepada Allah bila telah bertolak dari Padang Arafah menuju ke Muzdalifah, yaitu bila telah sampai di Masy'aril Haram. Masy'aril Haram ialah sebuah bukit di Muzdalifah yang bernama Quzah. Bila telah sampai di tempat itu hendaknya memperbanyak membaca doa, takbir, dan talbiyah. Berzikirlah kepada Allah dengan hati yang khusyuk dan tawadhu', sebagai tanda bersyukur kepada-Nya atas karunia dan hidayah-Nya yang telah melepaskan seseorang dari penyakit syirik pada masa dahulu, menjadi orang yang telah bertauhid murni kepada Allah ﷻ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 198
“Tidaklah mengapa bahwa kamu mencari anugenah dari Tuhan kamu."
Artinya, meskipun bekal kamu yang sebenarnya takwa semata-mata, jika kebetulan kamu berusaha atau berniaga, berjual beli atau segala pekerjaan mencari rezeki, menerima upah dan sebagainya di waktu haji itu, tidaklah mengapa, tidaklah terlarang. Yang terlarang ialah jika tujuan kamu ke Mekah yang pertama ialah berniaga dan naik haji hanyalah akan jadi sebab buat berniaga. Sebagaimana beberapa saudagar yang cerdik di negeri kita, menye-lingkit dengan segala usaha mencari “kuotum" haji karena ada beberapa barang yang sangat besar untungnya jika diperniagakan di Mekah dan berlipat ganda untungnya sampai di negeri sendiri. Apatah lagi bulan suasana haji amat panjang, yaitu tiga bulan.
Imam Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai seorang ulama besar yang amat menjaga hidupnya jangan terlalu bergantung kepada pertolongan orang lain. Tersebutlah di dalam riwayat hidup beliau yang sangat sederhana itu bahwa beliau menolak hadiah-hadiah orang buat belanja perjalanan ke Mekah. Apabila naik haji, beliau tidak keberatan menolong memikul beban orang dan menerima upah mengangkat barang itu. Kasarnya jadi kuli. Beliau mengamalkan ayat ini bahwa tidak ada salahnya mencari rezeki, baik menjadi kuli maupun berniaga selama naik haji itu, asal jangan itu yang dijadikan tujuan pertama. Sehabis wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah, kita pun menurun kembali ke Mina buat melempar jamrah. Sehabis melempar jamrah, kita pun berhenti di Mina sampai tiga hari, waktu kita laksanakan berhari raya sampai tiga hari tiga malam atau empat hari empat malam. Kita sudah bebas dari memakai pakaian ihram, kita sudah bergembira mensyukuri ibadah haji yang telah selesai dan kita akan kembali pulang. Tidak ada salahnya jika di waktu senggang yang luas itu kita berniaga, berkuli, menerima upah, dokter mengobati orang sakit. Saudagar-saudagar yang besar bertemu sesamanya memperkatakan urusan dagang yang luas, urusan impor dan ekspor.
Dan, bertali dengan ini juga, tidak ada salahnya jika selama di Mina itu ahli-ahli cerdik pandai dunia Islam bermusyawarah memperkatakan soal-soal nasib negeri masing-masing, soal ekonomi, politik dan kemasyarakatan, dan soal dakwah Islam. Semuanya ini termasuk di dalam fadhilah, anugerah Allah, atau rezeki yang dikaruniakan Allah. Maka, amat luaslah maksud yang terkandung di dalam pangkal ayat ini.
“Maka, apabila telah berduyun-duyun kamu dari Arafah." Dalam ayat ini disebut afidhu, kita artikan berduyun-duyun karena kata aslinya itu berasal dari arti membanjir. Sebab, orang haji wukuf di Arafah itu serentak di hari kesembilan, beratus ribu banyaknya, tersebar di seluruh Padang Arafah itu. Malahan saat akhir-akhir ini telah mencapai jutaan. Sehabis wukuf di petang hari, membanjirlah mereka meninggalkan Arafah atau berduyun-duyun."Maka, hendaklah kamu menyebut nama Allah di'Masy'ari! Haram" yaitu di tempat yang bernama Muzdalifah. Berhentilah orang haji di sana yang dinamai mabit, berhenti sampai lepas tengah malam, sambil membaca talbiyah, membaca tahlil dan tahmid serta takbir. Dan, pada waktu itu pula mencari batu-batu kecil buat melempar jamrah di Mina kelak."Dan sebutlah akan Dia sebagaimana Dia telah memberimu petunjuk!' Bersyukur nyatakan syukur itu sebab kamu telah dikeluarkannya dari gelap gulita dan jahiliyyah kepada petunjuk tauhid. Kamu telah menjadi orang Islam yang insaf akan diri. Kamu telah membina takwa kepada Allah. Dengan susah payah kamu telah datang ke sana dibawa oleh rasa iman.
“Dan meskipun pada sebelumnya adalah kamu dari orang-orang yang sesat."
Meskipun penyebab turun ayat ialah Muhajirin dan Anshar yang akan ikut berhaji dengan Rasulullah ﷺ, tetaplah ayat ini menjadi pegangan selanjutnya bagi kita umat Muhammad ﷺ Bagi kita umat Muhammad yang telah jauh dari masa hidup beliau ini dan jauh pula negeri kita sehingga disebut orang Timur Jauh, ketika kita berhenti di Muzdalifah itu marilah kita kenangkan diri. Karena ketika itu hari adalah malam, beratus ribu kawan seagama duduk bersama-sama berlepas lelah sebentar. Dan, malam itu adalah malam sepuluh Dzulhijjah, bulan mulai terang. Kita syukuri Allah, kita puja asma-Nya yang kudus, sebab kita pun telah menjadi bangsa yang besar dalam tauhid, dan kita sendiri pribadi moga-moga kembali dari haji ini akan mendapat perubahan yang besar dan kemajuan dalam tingkat iman, padahal selama ini banyak perbuatan sesat yang telah kita kerjakan karena hawa nafsu se"bagai manusia. Ampunan Allah jualah yang kita harapkan.
Ayat 199
“Kemudian, berduyunlah kamu di tempat yang orang-orang lain telah berduyun."
Artinya, berbuatlah seperti orang lain berbuat. Sebab, orang Quraisy di zaman jahiliyyah suka menyisihkan diri, mengambil tempat istimewa, tidak mau campur dengan orang Arab suku-suku lain yang datang dari pelosok lain karena merasa diri golongan terutama. (Demikian menurut riwayat Bukhari Muslim dari hadits Aisyah r.a.) Dan lantaran pengaruh ayat ini, dapatlah hal itu kita rasai, baik waktu wukuf sehari di Arafah maupun ketika mabit sampai lepas tengah malam di Muzdalifah itu.
Dengan peringatan pada ayat ini, supaya berduyun ke mana orang lain berduyun, berkumpul di mana tempat orang lain berkumpul, hilanglah bekas ajaran kaum jahiliyyah Quraisy yang merasa diri istimewa itu, jangan sampai menular pula kepada kita umat Muhammad yang datang di belakang, membuat kelompok sendiri-sendiri, Arab lain, Iran lain, Indonesia lain, Pakistan lain. Yang satu tiada kenal yang lain sehingga agama membentuk suatu umat yang besar tidak tercapai, melainkan tetap di dalam kebangsaan yang sempit, padahal ibadah haji inilah salah satu sendi asas yang utama bagi membentuk ummatan wahidatan, yang sama pandangan hidupnya, sama suka dukanya di dalam alam ini, sehingga dia telah bersifat sebagai suatu Kongres Keagamaan Internasional yang mahabesar dan dahsyat. Apatah lagi hal ini kelihatan nyata pada persamaan corak dan bentuk pakaian ketika mengerjakan haji itu. Segala pakaian kebangsaan sendiri, yang dibentuk oleh iklim, ruang, dan waktu, sehingga berbeda pakaian orang Mesir dengan Saudi Arabia, orang Indonesia dengan Muslim Tiongkok, pada hari wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah sampai tahallul di Mina, habis hilang pakaian itu, berganti dengan kain ihram berwarna putih, selendang dan penutup aurat, tidak berjahit dengan bahu sebelah kanan terbuka. Meski demikian pakaiannya, walaupun dia seorang amir dari Nejed, syahin syah dari Iran, raja dari Afghanistan, presiden dari Indonesia, fallah dari Mesir, atau pengembala ternak dari Mongolia.
“Dan memohon ampunlah kamu kepada Allah." Sebagaimana sehabis selesai mengerjakan shalat lima waktu sebagai tiang agama, dianjurkan juga kita mengucapkan istighfar sampai tiga kali memohon ampun, demikian jugalah sehabis kita selesai wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah, dan sekarang dalam perjalanan kembali menuju Mina, yang kelak dari sana akan menuju Mekah lagi.
“Sesungguhnya, Allah adalah Pemberi ampun dan Penyayang."
Kata-kata (firman) Allah dalam rangkaian ini dapatlah menghindarkan rasa takabur karena telah berlepas dari mengerjakan haji sebagai suatu ibadah yang berat. Meskipun telah selesai, kita masih memohon ampun karena kita insaf bahwa kita ini manusia adanya. Kita tidak mempunyai kesempurnaan. Yang sempurna adalah Allah. Betapa lengkapnya yang kita kerjakan, tetapi kekurangan masih akan terdapat di sana-sini. Yang kita ketahui ataupun tidak kita ketahui.