Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-oarng yang
يُنفِقُونَ
(mereka) menafkahkan
أَمۡوَٰلَهُمۡ
harta mereka
رِئَآءَ
riya'
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَا
dan tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَلَا
dan tidak
بِٱلۡيَوۡمِ
dengan/kepada hari
ٱلۡأٓخِرِۗ
akhirat
وَمَن
dan barang siapa
يَكُنِ
ia adalah/menjadikan
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
لَهُۥ
baginya
قَرِينٗا
(sebagai) teman
فَسَآءَ
maka sejahat-jahat
قَرِينٗا
teman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-oarng yang
يُنفِقُونَ
(mereka) menafkahkan
أَمۡوَٰلَهُمۡ
harta mereka
رِئَآءَ
riya'
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَا
dan tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَلَا
dan tidak
بِٱلۡيَوۡمِ
dengan/kepada hari
ٱلۡأٓخِرِۗ
akhirat
وَمَن
dan barang siapa
يَكُنِ
ia adalah/menjadikan
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
لَهُۥ
baginya
قَرِينٗا
(sebagai) teman
فَسَآءَ
maka sejahat-jahat
قَرِينٗا
teman
Terjemahan
(Allah juga tidak menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang (lain) dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir. Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, (ketahuilah bahwa) dia adalah seburuk-buruk teman.
Tafsir
(Dan orang-orang yang) diathafkan kepada orang-orang yang sebelumnya (menafkahkan harta mereka karena riya kepada manusia) artinya karena mereka ingin dipuji (dan mereka tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir) misalnya orang-orang munafik dan kafir Mekah. (Barangsiapa yang menjadi sejawat setan) artinya temannya, maka ia akan mengikuti perintahnya dan akan melakukan seperti apa yang dilakukannya (maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya).
Tafsir Surat An-Nisa': 37-39
(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang paling buruk.
Apakah kerugiannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.
Ayat 37
Allah ﷻ berfirman mencela orang-orang yang kikir dengan harta benda mereka, tidak mau menginfakkannya untuk keperluan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berbakti kepada kedua orang tua, berbuat kebajikan kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh dan teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang mereka miliki. Mereka tidak mau membayarkan hak Allah yang ada pada harta mereka, bahkan mereka menganjurkan orang lain untuk bersikap kikir.
Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Penyakit apakah yang lebih parah dari penyakit kikir?” Dalam kesempatan yang lain Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Hati-hatilah kalian terhadap sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk memutuskan hubungan silaturahmi, lalu mereka memutuskannya. Dan sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk berbuat maksiat, lalu mereka mengerjakannya.”
Firman Allah ﷻ: “Dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (An-Nisa: 37)
Orang yang kikir adalah orang yang ingkar kepada nikmat Allah; nikmat Allah tidak tampak pada dirinya, tidak kelihatan pada makanan, pakaian, tidak pula pada pemberian dan sumbangan.
Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya.” (Al-Adiyat: 6-7) Yakni menyaksikan keadaan dan sepak terjangnya sendiri yang ingkar itu. “Dan sesungguhnya dia sangat kikir karena cintanya kepada harta.” (Al-Adiyat: 8)
Sedangkan dalam surat An-Nisa ini disebutkan: “Dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (An-Nisa: 37) Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah ﷻ mengancam mereka:
“Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (An-Nisa: 37)
Al-Kufru artinya menutupi dan menyembunyikan; orang yang kikir menutupi nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu ia sembunyikan dan ia ingkari, maka dia kafir terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya.
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, Dia suka bila si hamba menampakkan pengaruh dari nikmat itu pada dirinya.”
Dalam doa Nabawi disebutkan: “Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, memuji-Mu karenanya, menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.”
Sebagian ulama Salaf menginterpretasikan makna ayat ini ditujukan kepada kekikiran orang-orang Yahudi, karena mereka telah mengetahui perihal sifat Nabi Muhammad ﷺ melalui kitab-kitab yang ada di tangan mereka, tetapi mereka menyembunyikannya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (An-Nisa: 37) Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang. Tidak diragukan memang ayat ini mengandung pengertian tersebut. Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan sifat kikir dalam masalah harta benda, sekalipun kikir dalam masalah ilmu termasuk pula ke dalam maknanya dengan pengertian yang prioritas.
Konteks ayat ini berkaitan dengan memberi nafkah kepada kaum kerabat dan orang-orang lemah (miskin).
Ayat 38
Begitu pula ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya: “Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan harta-harta mereka karena riya (pamer) kepada manusia.” (An-Nisa: 38) Pada ayat pertama disebutkan perihal orang-orang yang menyembunyikan hartanya lagi tercela; mereka adalah orang-orang yang kikir. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena pamer, dengan tujuan ingin dipuji dan dihormati, dan dalam hal tersebut mereka sama sekali tidak mengharapkan pahala Allah ﷻ. Di dalam hadits mengenai tiga macam orang yang api neraka dibesarkan untuk mereka yaitu orang alim, orang yang berperang, dan orang yang berinfak; yang semuanya itu dilakukan mereka karena riya (pamer) dengan amal perbuatan mereka disebutkan seperti berikut: Pemilik harta berkata, “Aku tidak pernah membiarkan suatu jalan pun yang Engkau sukai bila aku berinfak untuknya, melainkan aku mengeluarkan infak di jalan-Mu itu." Maka Allah berfirman, "Kamu dusta, sesungguhnya yang kamu ingini ialah agar dikatakan bahwa kamu orang yang dermawan, dan hal itu telah kamu dapatkan." Yakni kamu telah mengambil (menerima) pahalamu di dunia yang merupakan tujuan dari perbuatanmu itu.
Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Addi ibnu Hatim: “Sesungguhnya ayahmu menghendaki suatu perkara, dan ia telah mencapai (mendapatkan)nya.” Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai Abdullah ibnu Jad'an, apakah infak dan memerdekakan budak yang dilakukannya bermanfaat bagi dia. Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, karena sesungguhnya dia dalam suatu hari dari masa hidupnya belum pernah mengatakan, ‘Ya Tuhanku, ampunilah kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)ku di hari pembalasan (nanti)’." Karena itulah dalam ayat ini disebutkan: “Dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian.” (An-Nisa: 38), hingga akhir ayat. Dengan kata lain, sesungguhnya yang mendorong mereka berbuat perbuatan yang buruk itu dan menyimpang dari jalan ketaatan adalah setan. Setanlah yang membisikkan hal itu kepada mereka dan membuat mereka berangan-angan untuk melakukannya. Dan setan selalu menemani mereka hingga semua perbuatan yang buruk akan mereka kerjakan dengan baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan seperti berikut:
“Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang paling buruk. (An-Nisa: 38)
Salah seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini telah mengatakan: “Jangan kamu tanyakan kepada seseorang siapa dia adanya, tetapi lihatlah siapa temannya, karena setiap teman mempengaruhi orang yang ditemaninya.”
Ayat 39
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Apakah kerugiannya bagi mereka kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka?” (An-Nisa: 39), hingga akhir ayat. Apakah bahayanya sekiranya mereka beriman kepada Allah dan menempuh jalan yang terpuji, membebaskan diri dari riya (pamer) dan berikhlas serta beriman kepada Allah semata dengan mengharapkan janji-Nya di hari akhirat bagi orang yang beramal baik, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka ke jalan-jalan yang disukai dan diridai Allah ﷻ?
Firman Allah ﷻ: “Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.” (An-Nisa: 39)
Dia Maha Mengetahui niat mereka; apakah baik atau buruk, dan Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak dari mereka yang mendapat taufik, lalu Dia memberinya jalan petunjuk dan memberinya ilham untuk mengerjakanya serta menggerakkannya untuk melakukan amal saleh yang diridai-Nya. Dia Maha Mengetahui tentang orang yang berhak mendapat kehinaan dan yang terusir dari sisi-Nya Yang Maha Besar, yaitu orang yang terusir dari rahmat-Nya. Sesungguhnya orang tersebut sangat kecewa dan merugi di dunia dan akhirat. Semoga Allah melindungi kita semua dari keadaan seperti itu.
Dan termasuk ke dalam orang-orag yang sombong dan membanggakan diri itu adalah orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ria kepada orang lain agar dilihat dan dipuji, dan juga orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari Kemudian. Barang siapa menjadikan setan sebagai temannya, karena sombong dan membanggakan diri itu adalah sifat setan, maka ketahuilah bahwa dia, setan itu, adalah teman yang sangat jahat bagi manusiaSebenarnya beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta menginfakkan sebagian dari karunia yang diberikan oleh Allah yang sangat banyak itu, tidaklah berat. Dan apa sebenarnya keberatan bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan apa kesulitannya jika mereka menginfakkan sebagian, bukan seluruhnya, dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya' Sungguh tidak ada kesulitan sedikit pun untuk melakukan hal itu. Dan ingatlah bahwa Allah sesungguhnya Maha Mengetahui segala sesuatu tentang keadaan mereka
Pada ayat ini dijelaskan sifat dan perbuatan orang yang sombong dan takabur, yaitu mereka menafkahkan hartanya karena ria. Mereka mau memberikan pertolongan kepada seseorang dengan hartanya, karena ingin dilihat orang, dibesarkan dan dipuji orang. Bukan karena ingin membayar kewajiban terhadap sesama manusia.
Pada hakikatnya mereka sama saja dengan orang yang bakhil cuma bedanya orang yang bakhil tidak mau sama sekali mengeluarkan hartanya untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia, malahan selalu loba dan tamak mengumpulkan harta benda dan kadang-kadang tidak peduli dari mana diperolehnya harta itu, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram. Sedangkan orang ria, kadang-kadang mau berbuat kebaikan terhadap sesama manusia dengan mengeluarkan hartanya, asal dia mendapat pujian dan sanjungan. Bahkan untuk yang tidak baik sekalipun dia mau mengeluarkan hartanya, asal dia dapat pujian dari manusia. Jadi orang ria itu mengeluarkan hartanya bukan karena bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya yang banyak dan bukan pula karena kesadarannya dalam membayarkan kewajibannya sesama manusia, tetapi hanya semata-mata karena hendak dipuji saja.
Perbuatan seperti itu adalah perbuatan orang yang tidak percaya kepada Allah dan tidak percaya kepada hari akhirat. Orang yang percaya kepada Allah, mau mengeluarkan hartanya dengan ikhlas, tidak untuk mencari pujian, tetapi hanya mengharapkan balasan dari Allah nanti. Yang mendorong orang itu berbuat demikian, tidak lain hanya karena menurut ajaran setan saja, tidak mau mengikuti petunjuk Allah. Ajaran setan selalu membawa manusia kepada perbuatan yang keji dan terlarang. Maka dengan sendirinya manusia yang seperti itu telah menjadi teman dan pengikut setan, sedang setan itu adalah teman yang jahat. Maka akan celakalah akhirnya manusia bila telah berteman dengan setan. Dia akan terjauh dari jalan yang benar yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat nanti.
Teman mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Berapa banyak orang yang baik bisa rusak karena berteman dengan orang yang jahat, dan berapa banyak pula orang yang jadi baik karena berteman dengan orang yang baik. Berhati-hatilah mencari teman, jangan berteman dengan sembarang orang.
Seperti halnya pada masa Rasulullah ﷺ orang Ansar disuruh berhati-hati berteman dengan orang Yahudi, karena ternyata orang-orang Yahudi itu selalu mempengaruhi orang mukmin agar jangan mau mengeluarkan harta untuk membantu seseorang, dengan alasan nanti bisa jatuh miskin, atau bisa mengakibatkan sengsara di hari depan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat-ayat yang telah lalu tadi mengandung peraturan-peraturan yang wajib dipelihara dan dijalankan di dalam menegakkan rumah tangga, bersuami beristri, termasuk juga peraturan pembagian harta waris jika seseorang meninggal dunia. Sampai juga kepada peraturan tanggung jawab suami dan ketaatan istri dan sikap keluarga luar jika terjadi perselisihan. Semuanya itu peraturan. Islam telah memberikan peraturan yang demikian baik supaya terbentuk suatu masyarakat yang baik atau yang di dalam agama dinamai umat.
Peraturan-peraturan itulah yang kemudian membuka pikiran ulama-ulama Islam buat menentukan hukum mana yang wajib dan mana yang sunnah, mana yang haram dan mana yang makruh, dan mana yang mubah.
Peraturan-peraturan itu pula yang telah menimbulkan ilmu fiqih yang telah demikian luas di dalam Islam sehingga timbullah berbagai madzhab yang terkenal. Tetapi ayat-ayat tentang peraturan ini tidak jugalah membawa selamat bagi membangunkan suatu umat jika dasarnya yang sejati tidak berdiri, yaitu rasa taat ibadah kepada Allah dan rasa ihsan kepada ibu bapak dan kepada sesama manusia, sebab kalau manusia hanya hidup memegang peraturan saja, sedang di dalam hatinya tidak ada dasar dan alas iman, dengan mudah dia akan mencari jalan melepaskan diri dari peraturan-peraturan itu sehingga di dalam agama timbul semacam pokrol-pokrolan, atau yang dinamai orang hilah. Cobalah perhatikan misalnya riwayat tentang dua suami istri yang datang kepada Sayyidina Ali diiringkan oleh serombongan keluarga mereka, sebagaimana yang telah tersebut dahulu itu. Sayyidina Ali hendak menyelesaikan perkara mereka menurut ayat syiqaq (ayat 35 di atas tadi)
Si perempuan tunduk dan berjanji akan mengikuti segala keputusan yang menurut ketentuan Allah, sedang si laki-laki berkata, “Kalau keputusan hakam itu bercerai, saya tidak mau!" Di sini nyata betapa lebih dalamnya rasa takwa dan iman perempuan itu daripada iman suaminya, sehingga Sayyidina Ali terpaksa marah dan mengatakan bahwa dia itu adalah seorang yang mendustakan peraturan Allah, sebelum mau menuruti keputusan itu, dia tidak akan dilepaskan.
Lantaran itu nyatalah bahwa sesudah menerangkan ayat-ayat yang mengandung peraturan, Allah mendatangkan lagi perintah yang lebih mendalam sehingga manusia Muslim menerima segala ketentuan Allah dengan ridha. Kalau hai ini telah dijalankan, tidaklah akan timbul soal-soal yang melanggar peraturan atau hukum yang kaku dari pelanggaran itu.
Ayat 36
“Dan sembahlah olehmu akan Allah."
Hendaklah tegakkan ibadah, hendaklah engkau sadar selalu bahwa engkau ini adalah ‘abdun, yaitu hamba dari Allah dan Dia adalah ma'bud-mu, yaitu tempat menghadapkan sembah. Kalau hal ini telah disadari, kelak dengan sendirinya segala gerak-gerik kehidupan kita telah jelas tujuannya, yaitu mencapai ridha Allah ﷻ Sepintas lalu kita hanya mengenal bahwa yang dikatakan ibadah hanya shaiat, puasa, zakat, dan naik haji. Tetapi kalau kita telah menyadari bahwa kita ini adalah hamba dan Allah yang jadi ma'bud, akan terasalah kelak bahwa ibadah yang tersebut hanyalah sebagian dari ibadah. Dan segala perbuatan yang baik, seumpama berdagarg, bersawah, dan berladang, membelanjai istri dan mendidik anak, sampai pun menjaga kesehatan sendiri, menjadi ibadah semua, Dan ibadah akan kita kerjakan dengan penuh kesadaran karena selaku kita dzikir, yaitu ingat kepada Allah. Dan dzikir itu menimbulkan thuma'ninah yaitu ketenteraman hati, sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ra'd, ayat 38, bahwasanya ingat akan Allah membawa tenteram bagi hati.
Maka kalau orang telah beribadah kepada Allah, dengan sendirinya tidaklah lagi dia akan memakan harta anak yatim, atau memakan harta kamu di antara kamu dengan batil, atau membagikan harta waris dengan curang, atau berlaku zalim kepada istri, atau berlaku nusyuz kepada suami, atau syiqaq yang membawa pecah rumah tangga.
Maka beribadah kepada Allah, hendaklah semata-mata kepada Allah, Esa tujuan. Satu yangdicitakansehinggadijelaskanpada terusan ayat, “Dan jangan kamu persekutukan dengan Dia sesuatu jua pun." Artinya jangan musyrik. Jangan memandang ada sesuatu yang lain dari Allah mempunyai pula sifat-sifat ketuhanan, menolong melepaskan dari kesulitan dan membawa kemanfaatan, lalu yang lain itu disembah dan dibesarkan pula. Padahal tidak sesuatu pun yang selain Allah yang memberi manfaat atau mendatangkan mudharat. Syirik sudahlah pasti mendatangkan mudharat bagi diri dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Syirik memecah belah tujuan jiwa. Zaman ja-hiliyyah orang Arab menyembah berhala, tetapi setelah memeluk agama Islam, ada yang tidak disadari telah mempersekutukan yang lain pula dengan Allah.
Mereka mengadakan tawassul, meminta supaya Tuan Guru menjadi orang perantara buat menyampaikan permohonan mereka kepada Allah, Lebih syirik lagi setelah Tuan Guru itu mati, meminta berkat pula kepada kuburan mereka. Kadang-kadang sebagai di negeri kita ini, Islam telah diterima sebagai agama, tetapi pusaka kepercayaan animisme nenek moyang masih dipegang teguh. Sehingga ada orang yang mengasapi keris pusaka dengan kemenyan dan setanggi tiap-tiap malam Jum'at dan dimandikan keris itu ke sungai pada tiap-tiap hari Arba'a akhir dari bulan Shafar. Karena kata mereka itu, keris itu mengandung tuah atau angker bisa membawa laba keuntungan dan bisa pula membawa marabahaya.
Malahan ada pula syirik yang lebih celaka lagi, yaitu menganggap ada di antara anak kandung sendiri yang membawa untung; sejak dia lahir ke dunia mendapat banyak laba dan kekayaan. Dan ada pula anak yang membawa sial; sejak dia lahir berturut-turut saja kesusahan yang menimpa sehingga perlulah nama anak itu ditukar!
Banyaklah macam syirik yang garis besarnya sudah dapat kita rumuskan, yaitu apabila ada sedikit saja kepercayaan kita bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai pula kekuasaan membawa mudharat dan manfaat, memberi keuntungan dan kerugian, mendatangkan rezeki dan kemiskinan sehingga kita puja, sembah, dan hormati dia dengan cara yang tidak masuk akal, syirik itu namanya. (In syaa Allah pada ayat-ayat yang lain akan ada kesempatan lagi untuk kita mengetahui hal syirik itu)
Kadang-kadang mulut sendiri tidaklah mengatakan bahwa dia metnpertuhan yang lain, tetapi dalam kenyataan, yang lain itu memang dipertuhankan. Ketika Adi bin Hatim, seorang pemuka Nasrani masuk Islam, Rasulullah ﷺ menerangkan isi ayat bahwa orang yang keturunan Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengambil pendeta mereka jadi tuhan selain Allah. Adi bin Hatim mengatakan bahwa menurut pengalamannya sebagai bekas pemeluk Nasrani, orang Nasrani tidaklah ada yang menuhankan pendetanya. Tetapi Rasulullah bertanya bukankah mereka telah menganggap segala keputusan yang dikeluarkan oleh pendeta, sama kuatnya dengan keputusan Allah sendiri? Salah atau benar wajib ditaati? Adi bin Hatim mengaku, memanglah demikian kenyataannya. “Itu pun syirik!" kata Nabi ﷺ.
Maka untuk dasar kehidupan, menjadi umat Islam yang hidup dan bersemangat, teguhkanlah ibadah kepada Allah yang Satu, dan jangan sekali-kali diperserikatkan yang lain dengan Dia.
Ibadah atau Tauhid menyingkirkan segala sesuatu kemusyrikan atau yang membawa kepada syirik adalah hubungan langsung dengan Allah. Kalau hubungan ini telah disadari, akan ringanlah terasa segala peraturan yang diturunkan Allah, tidak akan ada lagi pokrol-pokrolan atau helah, mencari jalan keluar, yang selalu terjadi dalam masyarakat Islam yang kesadaran hubungannya dengan Allah telah mulai hilang atau samar. Setelah demikian teguh pertalian “ke atas" (ke Allah), lanjutkanlah pertalian yang murni “ke bawah" yaitu kepada sesama manusia, dimulai dari yang paling dekat.
Tibalah lanjutan ayat, “Dan dengan kedua ibu bapak hendaklah berlaku baik." Berlaku hormat dan khidmat, cinta dan kasih. Inilah yang kedua sesudah taat kepada Allah. Sebab dengan perantaraan kedua beliaulah Allah telah memberimu nikmat yang besar, yaitu sempat hidup di dalam dunia ini. Dengan adanya ibu bapak, engkau merasakan bahwa engkau mempunyai urat tunggang dalam kehidupan ini. Allah pun telah menakdirkan dan telah meniupkan rasa kasih sayang di dalam hati kedua ibu bapak, kepada dirimu, sejak matamu terbuka melihat dunia. Apabila engkau telah dianugerahi pula anak oleh Allah, barulah akan engkau ketahui benar betapa kasih ibu bapak kepadamu, jasa mereka tidaklah akan dapat dibayar dengan uang, walaupun berapa banyaknya. Budi tidak dapat diganti dengan harta. Ganti budi hanyalah budi pula. Di kala engkau kecil tenaga mereka telah habis buat memelihara engkau dan mengasuh. Lalat seekor pun diusirnya jika mendekat hendak menggigit kulitmu. Betapa pun nyenyak tidur ibumu tengah malam, terdengar saja engkau menangis hendak menyusu, di saat itu juga dia terbangun. Ayahmu pun pagi-pagi benar sudah bersiap keluar rumah mencari makan. Ada orang makan gaji berpuluh tahun, menahankan derita kepayahan kerja, menahankan hamun maki sang majikan, takut akan berhenti sebab makan minummu amat bergantung kepada usaha dan pekerjaan itu.
Maka betapalah akan terebut hati mereka di hari tua, yang mengasuh anak tidak menerima upah kalau mereka merasakan betapa khidmat anak-anak mereka kepada mereka. Mereka akan merasa bangga dengan adanya engkau, bahkan kadang-kadang memuji nama engkau dan menjunjung engkau apabila mereka duduk bersama teman-temannya adalah kesukaan terakhir di hari tua. Mohonkanlah usia ibu bapakmu panjang supaya mereka merasai khidmatmu kepada mereka. Jika mereka meninggal lebih dahulu, jangan lupa mendoakan moga-moga Allah mengasihi mereka seperti mereka mengasihi-mu di kalamu masih kecil dan agar mereka diampuni dari segala dosa. Kononnya—menurut sabda Nabi ﷺ—doa anak yang saleh adalah laksana “pensiun" yang diterima terus oleh ibu bapak di alam barzakh. (Di dalam surah al-lsraa' diterangkan lagi panjang lebar hubungan anak dengan kedua orang tua)
Kemudian lanjutan ayat lagi,"Dan keluarga karib." Yaitu saudara-saudara seibu sebapak, atau sebapak saja atau seibu saja, saudara dari bapak laki-laki dan perempuan, saudara dari ibu laki-laki dan perempuan dan lain-lain; berbuat baiklah selalu dengan mereka. Mereka itulah yang disebut juga Ulul Arham, berarti kasih bertali sayang. Dengan adanya mereka kita merasa rimbun-rampak hidup di dunia ini. Kasih sayang menimbulkan kode-kode, kehormatan, kekeluargaan, tradisi yang tidak tertulis, kebiasaan yang istimewa kepunyaan satu keluarga besar. Sebab tabiat pindah-memindah, perangai tiru-meniru sehingga masyarakat luar dapat mengetahui budi baik isti-mewa kepunyaan satu keluarga.
Memang, diakui bahwa percobaan dalam hubungan keluarga dekat itu banyak pula, ada saja soal yang akan mengganggu, kadang-kadang soal-soal tetek bengek. Tetapi ajaib sekali! Bila datang suatu bahaya, semuanya turut merasakan. Robek keluarga adalah laksana robek-robek bulu ayam, robek buat bertaut lagi. Sebab itu, terutama di zaman sekarang, zaman urbanisasi orang kampung ber-doyong hidup ke kota, hendaklah orang tua mengenalkan kepada anak-anaknya yang lahir di rantau siapa keluarganya, siapa mamaknya, pamannya, andungnya, dan uncunya, sehingga sampai turun-temurun silaturahim tidak putus. Jangan sampai terlepas kehidupan itu dari ikatan Islam, yaitu pertautan keluarga. Jangan dipengaruhi oleh hidup zaman modern yang nafsi-nafsi sehingga ada yang merasa takut didatangi keluarga.
“Dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin." Di ayat-ayat yang telah lalu sudah banyak dibicarakan yang khusus anak yatim, jangan sampai harta bendanya termakan. Sekarang diperingatkan lagi bahwa anak-anak yatim itu adalah beban bagi keluarganya yang dekat. Terutama jika ibu si yatim itu bersuami lagi, hendaklah suami ibunya itu memandangnya sebagai anak sendiri. Bukankah di dalam ayat-ayat menentukan mahram sudah dikatakan bahwa anak tiri atau anak tepatan itu haram pula dinikahi jika dia perempuan sebab dia sudah laksana anak sendiri? Keluarga dari si mati, saudaranya, atau yang lain, berkewajiban membela anak itu sampai dia dewasa. Terutama pendidikannya. Jangan sampai dia menjadi anak luntang-lantung karena tak ada lagi ayahnya yang menjaga. Terutama kalau dia miskin, harta pusaka ayahnya tidak banyak. Pendeknya, jika dia telah dewasa kelak jangan sampai dia merasa jiwa kecil sebab tidak ada ayah. Bahkan banyak kali terjadi anak-anak yatim menjadi orang berjiwa besar menghadapi hidup karena kebangkitan semangatnya. Pelopor anak yatim yang paling besar selama dunia ini terkembang ialah Nabi Muhammad ﷺ.
Orang miskin pun demikian pula. Tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka, ingatlah bahwa dalam harta benda kita ada pula hak mereka. Lebih-lebih orang-orang miskin yang tahu harga diri, yang tidak mau mem-perlihatkan kemiskinannya kepada orang lain. Ini harus mendapat perhatian istimewa dari Muslim yang mampu.
“Dan tetangga dekat dan tetangga jauh." Hubungan yang baik dengan tetangga atau jiran adalah hal yang mempertinggi budi dan memperluas pergaulan. Inilah yang kadang-kadang kita namai rukun tetangga. Malahan di dalam hadits yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Syuraih Khuzaa'i bahwa Nabi ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya." (HR Bukhari dan Muslim)
Di ayat ini disebut tetangga dekat dan tetangga jauh, namun keduanya tetangga dan keduanya hendaklah sama-sama dihormati. Tetangga dekat kata setengah ahli tafsir ialah tetangga yang seagama, tetangga jauh ialah tetangga yang berlainan agama. Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf kelayakannya. Ziarah-menziarahi dalam suasana kegembiraan, lawat-melawat ketika ada yang sakit, jenguk-menjenguk ketika ada kematian.
Apabila seorang Muslim Mukmin bertetangga dengan orang yang berlainan agama, si Muslim wajib terlebih dahulu memperlihatkan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan hanya satu siasat mengambil muka, tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib.
Rasulullah ﷺ bertetangga dengan orang Yahudi di Madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi dalam suasana bertetangga, Rasulullah menunjukkan kemuliaan budi beliau. Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja selesai menguliti, dia sudah menyuruh khadam beliau menghantar dagingnya ke rumah tetangga Yahudinya itu. Kemudian beliau tanyakan sampai dua tiga kali, “Sudahkah engkau antarkan daging itu ke rumah tetangga kita Yahudi itu?"
“Dan sahabat di samping." Ada ahli tafsir mengartikannya istri sendiri, sebab dialah sahabat di samping kita siang dan malam, tetapi ahli tafsir lain mengatakan ini bukan buat istri meskipun memang dia hidup di samping kita. Sebab ayat terkhusus tentang pergaulan dengan istri sudah ada. Ash-Shaahib (sahabat) Bil janbi (di samping, di dekat diri) Sebab itu kita condong kepada arti dari penafsir yang lain, yaitu teman sejawat atau sahabat karib. Bukankah di samping anak dan istri kita, kaum keluarga kita yang jauh ataupun dekat, kita pun mempunyai sahabat atau teman karib, yang kadang-kadang dapat tempat menumpahkan rahasia hati kita. Teman seperjuangan, sahabat sehaluan, kawan yang sama mata kehidupan, atau yang di zaman sekarang kita namai relasi (re/ot/on)? Bukankah teman sahabat di samping kita ini amat penting kedudukannya dalam pergaulan hidup kita sehari-hari? Maka ayat ini mengkhususkan perhatian kita kepada sahabat di samping itu supaya persahabatan jangan diperkendur. Sehingga ada pula hadits shahih dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau sangat memujikan jika seorang anak menyambung kembali persahabatan ayahnya yang telah wafat dengan anak-anak sahabat ayah itu. Artinya anak sama anak. Di dalam kitab-kitab tasawuf banyak dibicarakan tentang syarat-syarat memelihara persaudaraan dan persahabatan. Khusus oleh Imam Ghazali di dalam Ihya.
“Dan anak jalan." Disebut Ibnu Sabii. Umum ahli tafsir memberinya tafsir orang yang sedang musafir untuk maksud-maksud yang baik, menambah pengalaman dan ilmu, atau mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu ke kota dan negeri lain.
Kita sudah mengetahui amat banyak ayat dalam Al-Qur'an menganjurkan supaya seorang Muslim keluar dari kampung halamannya, mengembara di atas bumi, menambah pemandangan dan penglihatan, melihat kemajuan negeri orang yang patut ditiru, dan yang buruk yang akan dijauhi, dan perbandingan dalam sejarah. Maka ayat ini memberi perhatian yang khusus kepada mereka, bahkan mereka pun berhak menerima bagian dari zakat. Dalam anak perjalanan ini dimasukkan juga tamu yang datang dengan tiba-tiba. Sehingga menjadi sambungan daripada hadits shahih Bukhari dan Muslim tadi yaitu, sabda Nabi ﷺ,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (HR Bukhari dan Muslim)
Lantaran itu, dengan berpedoman kepada ayat ini, tidaklah akan telantar—in syaa Allah— seorang musafir menuntut ilmu, menambah pengalaman, memperbanyak sahabat, jika mereka memulai perjalanan misalnya dari Irian Barat, melalui Flores, Sumbawa, Lombok, Bali,
Madura, Jawa, Sumatera sampai ke Malaysia sampai ke Siam, dan terus berlarat-larat melalui India, Pakistan, Bashrah, Mekah dan Madinah sampai ke Mesir, Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu “Assalamu'alaikum" belanja dalam perjalanan, makan dan minum, pakaian ala kadarnya, niscaya akan diterimanya pada tiap negeri yang disinggahinya, asal ditunjukkannya bahwa dia orang Islam. Di dalam tiap-tiap saku baju yang Mukmin ada sedia semua perbekalan untuk melanjutkan perjalanannya.
Di dalam tafsir-tafsir lama tidaklah orang sampai menafsirkan kata Ibnu Sabil itu kepada anak-anak bergelandangan di tepi jalan, yang disebut oleh orang Belanda Kwayongen anak-anak yang terpelanting diempaskan gelombang masyarakat, tidak tentu siapa bapaknya ataupun siapa ibunya. Anak zina, korban dari hidup modern.
Memang tidak ada Ibnu Sabil diartikan demikian di dalam tafsir-tafsir lama, yang berpuluh-puluh banyaknya, tetapi mulai diper-katakan oleh penafsir-penafsir zaman terakhir karena kehidupan yang demikian pun meskipun belum merata di negeri-negeri Islam, tetapi sudah mulai ada.
Saya lihat Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar telah mulai menyinggung hal itu. Menprut beliau anak-anak yang malang itu pun termasuk di dalam Ibnu Sabil. Rupanya beliau mengartikan ibnu (anak) dan sabil (jalan) jauh lebih mendekati maksud kedua kalimat itu daripada jika diartikan musafir atau anak dalam perjalanan maka beliau pujikanlah bagaimana kegiatan negeri-negeri besar di Eropa dan Amerika mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak-anak yang demikian sehingga jangan sampai mereka menjadi manusia malang yang terlunta-lunta selama hidup. Beliau pujikan pula betapa orang-orang Barat pemeluk Kristen telah berusaha menjalankan perintah agama mereka. Dan kita orang islam jangan mencap saja bahwa seluruh orang Barat tidak menjalankan agama mereka.
Kita sebagai orang Islam, jika kembali kepada pokok asli ajaran agama, sudah mengetahui bahwa anak-anak itu tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah orang tua mereka. Patutlah kita meniru badan-badan sosial agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan yang mengadakan usaha memelihara dan mendidik mereka dan kadang-kadang juga menyerahkan mereka kepada suami istri yang mandul atau beranak banyak, tetapi berhati rahim, lalu me-melihara pula anak itu.
“Dan orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Yaitu budak, hamba sahaya. Cita-cita yang tertinggi ialah agar mereka dimerdekakan. Dan diberi dia kesempatan menebus kemerdekaannya sehingga ada bagian zakat untuk penebusan itu yang dinamai Wafir Riqabi. Kalau belum sanggup memerdekakan mereka, berlakulah pada mereka dengan baik, jangan sampai jiwa mereka tertekan. Dira-wikan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari hadits Abu Dzar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Mereka adalah tolanmu dan saudaramu, yang telah ditakdirkan Allah mereka di bawah tanganmu. Maka barangsiapa saudara-saudaranya di bawah tangannya, beri makanlah mereka dengan apa yang biasa kamu makan, dan beri pakaian dengan apa yang biasa kamu pakai, dan jangan diberati mereka dengan pekerjaan yang berat bagi mereka, kalau kamu memberati mereka dengan sesuatu pekerjaan, maka tolonglah mereka." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)
Bahkan sampai telah dekat ajalnya, budak-budak ini juga yang jadi wasiat beliau yang penghabisan. Menurut riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi,
“Adalah wasiat umum dan Rasulullah ﷺ ketika dekat wafat ialah, ‘Shalat dan hamba sahaya kamu!'" (HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi)
Syukurlah hamba sahaya tidak ada lagi sekarang. Tetapi dalam susunan masyarakat zaman kini, kita pun mempunyai pembantu-pembantu rumah tangga, bujang, kacung, koki, babu, khadam, pelayan. Dalam hal ini pun Rasulullah ﷺ memesankannya pula. Sahabat beliau Anas bin Malik delapan tahun bekerja menjadi khadam beliau. Sahabat Anas berkata, “Delapan tahun aku melayani beliau, tidak pernah beliau bercakap yang menyinggung perasaan. Beliau tidak pernah mengatakan, ‘Hai khadamku, hai babuku!' Beliau hanya berkata, ‘Wahai orang muda, wahai gadis (Fataa-ya dan Fataa-ti)'“
Di dalam penutup ayat, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang yang keadaannya sombong sikap, dan sombong kata."
Sombong sikap, sombong lagak, laksana cerita Rancak di Labuah. “Bumi serasa dilangkahi, langit serasa dipersunting, awak berasa tinggi benar, hina dan mulia tak dikenal, tua dan muda tak disapa." Itulah gambaran orang yang sedang sombong sikap hidup. Lalu diiringi lagi oleh cakap yang sombong, perkataan yang selalu meninggi, memandang rendah orang lain, seakan-akan diri tidak ada tandingan. Kesombongan karena jiwa yang “tidak tahu diri".
Menurut satu riwayat yang dirawikan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaihi, dari sahabat Rasulullah ﷺ lalu beliau baca ayat ini, kemudian beliau terangkan tentang kejahatan takabur dan bagaimana besar dosanya. Mendengar itu aku pun menangis. Bertanyalah Rasulullah kepadaku, “Mengapa engkau menangis?" Tsabit menjawab, “Ya Rasulullah! Aku ini suka sekali keelokan sehingga aku senang sekali kalau ikatan terompaku pun indah." Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau demikian, engkau menjadi penghuni surga. Sebab takabur itu bukan karena indah kendaraanmu atau langkah kakimu, tetapi takabur ialah membantah kebenaran dan memandang rendah orang lain."
Ada dua tiga hadits yang sama arti dan maksudnya dengan itu. Mukhtaai. melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Itulah takabur pada sikap. Ulama-ulama mengecualikan sikap langkah yang tegap dan gagah itu hanya ketika mengadakan latihan perang ataupun setelah berhadapan dengan musuh di medan perang. Sebab itu jika tentara berbaris tegap janganlah dikatakan sombong.
Ada pula sebuah hadits, Nabi ﷺ memberi izin berlagak sebagai orang takabur jika berhadapan dengan orang yang memang sikapnya takabur dan sombong. Beliau katakan,
“Takabur kepada orang yang takabur itu adalah sebagai sedekah. “
Artinya ialah jika orang takabur menghadapi engkau, janganlah engkau merendah merunduk kepadanya. Sayyid Abdulqadir Jailani yang masyhur itu, ketika Wazir Besar atau Khalifah datang menziarahinya dengan sikap angkuh karena jabatan, mungkin segera beliau keluar dan ketika menghidangi orang itu makan, beliau sendiri yang melayaninya, bahkan beliau duduk bersila di hadapannya.
Fakhur. Bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling pintar atau gagah berani, atau si anu telah pernah dibantunya. Atau membanggakan keturunan, nenek moyang, kabilah, dan suku. Orang jahiliyyah selalu membanggakan karena dia adalah ujung dari kebesaran orang dahulu, tetapi tidak sanggup membanggakan bahwa pangkal dari kebesaran yang akan disambut oleh anak cucu.
Ayat 37
“(Yaitu) orang-orang yang bakhil dan menyuruh manusia agar bakhil pula."
Ini adalah manusia-manusia yang telah mulai keluar dari garis Allah. Penyakitnya yang pertama ialah bakhil. Ini pun sudah mulai suatu bayangan dari syirik. Dia telah mencintai harta lebih daripada mencintai Allah yang mengaruniakan harta. Orang yang begini hendak mengambil sebanyak-banyaknya dari masyarakat, tetapi memberi sangat sedikit. Kebakhi-lannya itu dianjurkan pula kepada orang lain. Dia memujikan kesalahan dirinya, bahwa begitulah yang benar. “Dan menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka dari kurnia-Nya."
Apa yang telah masuk ke pundi-pundinya jangan diharap keluar lagi. Nanti barang itu akan keluar juga setelah dia mati untuk dibagi centang perenang oleh orang lain. Mereka menjadi bakhil karena cinta mereka telah tertumpah kepada harta itu saja. Kepada Allah yang mengaruniakan harta, mereka tidak cinta lagi. Kepada ibu bapak, keluarga, tetangga dekat dan jauh, anak yatim dan orang miskin, mereka pun tidak cinta lagi. Kalau mereka bersahabat di samping seperti yang dikatakan di ayat tadi, hanyalah kalau sahabat itu akan mendatangkan keuntungan dan harta kepada mereka. Bakhil mereka ini telah mendekati kepada pintu gerbang kufur, amat berbahaya.
Menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah daripada kurnia-Nya, bukan saja bakhil tidak mau mengeluarkan harta, malahan lebih luas dari: Misalnya seorang yang telah mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam hal agama, tinggal di dalam satu desa atau negeri yang penduduknya tidak mengerti agama, tetapi si Alim tidak mau memberi ajaran kepada mereka itu. Ini pun bakhil namanya!
Atau seorang dokter yang telah mendapat telepon tengah malam bahwa ada orang sakit payah sangat mengharapkan pertolongannya, padahal halangannya hanyalah karena dia mengantuk sehingga dia tidak mau datang, lalu orang itu meninggal. Ini pun bakhil!
Atau perumpamaan-perumpamaan yang lain tentang keahlian, kurnia Allah kepada seseorang, lalu didiamkan saja, padahal keahliannya itu amat diperlukan oleh masyarakat. Itu pun bakhil!
Apabila iman telah mendalam, didorong-lah orang yang hati sanubarinya sendiri buat mendarmabaktikan kurnia Allah yang ada padanya bagi kepentingan ummat. Kalau tidak, kemurkaan Allah-lah yang akan diterimanya. Sebab itu sambungan ayat pun tegas,
“Dan telah Kami sediakan untuk orang-orang yang kafir itu adzab yang menghina. “
Setelah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dituju dalam mencela kebakhilan ini ialah orang Yahudi, Syekh Mohammad Abduh jadi heran, mengapa setengah ahli tafsir membawanya kepada orang Yahudi saja, padahal dia adalah sambungan dari ayat sebelumnya, menyuruh orang Islam beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada ibu bapak dan segala yang patut dibuat baik kepadanya, sampai pun dikuatkan oleh hadits berbuat baik kepada tetangga jauh meskipun berlainan agama, dan mencela orang yang angkuh dan sombong, tiba-tiba ujungnya menjadi kepada orang Yahudi saja? Mengapa seruan yang baik-baik dikatakan buat kita dan yang buruk di-lemparkan ke Yahudi?
Lantaran itu beliau—Mohammad Abduh— tidak mau pemisahan ayat ini dengan yang sebelumnya sebab dia bertali. Sebagai lawan dari ibadah dan ihsan ialah sombong dan angkuh. Sombong dan angkuh mengandung juga perangai busuk yang lain, yaitu bakhil. Bakhil dengan harta atau bakhil dengan ilmu. Orang sombong memang bakhil dan orang bakhil memang sombong. Mereka membentengi dirinya dengan dirinya sendiri. Mereka puji keburukan perangai mereka di hadapan orang lain dan dianjurkan mereka pula agar orang lain meniru mereka. Ini jangan hendaknya bertemu pada orang yang mengaku dirinya Muslim. Pendeknya bakhil adalah perangai kufur dan untuk orang yang kufur adalah adzab yang menghina. Kadang-kadang di kala matinya, yang akan datang menguruskan jenazahnya hanyalah orang-orang yang terpaksa karena menjaga jangan bangkainya busuk saja sebab tidak ada yang akan diingat orang dari dirinya dalam masyarakat. Itu sudah penghinaan yang pertama dan penghinaan yang lebih besar adalah adzab akhirat.
Selain dari kejahatan bakhil, baik bakhil harta, bakhil budi, maupun bakhil pada ilmu, menyembunyikan nikmat Allah, ialah beramal karena riya!
Ayat 38
“Dan orang-otang yang membelanjakan harta benda mereka karena ingin dilihat orang,"
Inilah yang dinamai riya. Ini pun sudah musyrik lagi. Kalau bakhil ialah mempersekutukan Allah dengan harta itu sendiri, riya ialah mempersatukan manusia dengan Allah. Dia mengeluarkan harta bukan karena ingat bahwa harta itu pinjaman Allah kepadanya, nikmat yang wajib disyukurinya, melainkan karena ingin akan dipuji-puji orang supaya dikatakan dia dermawan. Kalau puji tidak datang, dia tidak akan mengeluarkan harta. Termasuk juga dalam riya yang hangat yaitu memberikan harta hendak di atas atau hendak mengatur agar orang lain tunduk kepadanya, agar namanya terpampang di atas sekali. Kalau kehendaknya tidak diturutkan, dia pun surut laksana labi-labi tempo buat mengangkat-angkat dia dan menanainya laksana menanai minyak penuh, pantang terlenggang, pantang tersinggung.
“Dan tidak mereka percaya kepada Allah dan tidak kepada hari yang akhir."
Meskipun mungkin hal itu tidak mereka katakan dengan mulut, tetapi tampak dalam perbuatan dan sikap. Mereka tidak percaya bahwa walaupun harta yang diberikannya tidak dipuji oleh manusia atau puji manusia itu tidak memuaskannya, namun dia tercatat di sisi Allah, dan di akhirat akan mendapat ganjaran dan pahala. Yang itu mereka tidak percaya. Sebab itu kalau mengeluarkan harta itu akan disanjung-sanjung orang dan akan disiarkan dalam surat-surat kabar, dia tidak berkeberatan mengeluarkan walau berjuta-juta. Kalau hanya karena Allah atau karena ikhlas dan pahala di akhirat, mereka tidak mau mengeluarkan dan kalau akan mereka keluarkan juga hanya sedikit sekali, menyakitkan hati. Setanlah yang selalu membisik-kannya sehingga sikap hidupnya demikian. Sebab itu, ujung ayat berkata,
“Dan barangsiapa yang setan menjadi temannya, maka itulah yang sejahat-jahat teman."
Mungkin setan yang menjadi temannya itu setan halus, mungkin juga setan kasar sehingga dia menjadi orang yang “balik belahan" hatinya jauh dari Allah, tidak peduli hidup atau mati, yang dicarinya hanya fulus dan puji sebanyak-banyaknya.
Sebab itu seharusnyalah orang laki-laki mencari teman, terutama kalau harta sudah mulai banyak. Sebab harta itu pun membawa cobaan yang banyak. Inilah suatu peringatan yang penting dalam kegunaan shalat jamaah tiap waktu. Kalau sudah kaya biasanya orang sudah lalai berjamaah ke langgar, atau surau, atau masjid sebab di sana memang banyak orang yang miskin. Lalu mencari teman yang sama-sama mau menghabiskan harta kepad nya yang tidak berfaedah. Teman-teman yang demikian itu pun setan yang nyata. Sebab teman amat besar pengaruhnya di dalam menentukan arah hidup.
Ayat 39
“Dan akan bagaimanalah atas mereka, jika mereka percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan mereka belanjakan dari apa-apa yang telah diberi nezeki oleh Allah kepada mereka? Dan Allah adalah Mahatahu akan mereka."
Suatu pertanyaan dari Allah yang mengandung penjelasan. Dapat diartikan, apalah salahnya, apalah ruginya jika mereka beriman betul-betul, beribadah dan berihsan, tidaklah mereka akan rugi, bahkan beruntunglah mereka dunia dan akhirat. Orang yang riya kerap kali mengejar keuntungan cari nama dengan terburu-buru. Tetapi kalau umat telah tahu harga diri, tidak akan lama mereka itu dihargai orang.
Apa salahnya jika mereka insaf dan mengeluarkan harta dengan hati yang ikhlas dan iman, mengharapkan ridha Allah dan pahala akhirat. Dadanya sendiri kian lama kian merasa lapang dan dia pun akan merasai kasih cinta manusia, yang tidak didapatnya selama ini, baik dari harta itu atau dan manusia yang lain. Kalau dia riya, lama-lama dia akan merasakan sendiri bahwa dia hanya didatangi orang ketika sangat perlu saja, sambil memuji-muji dan mengangkat-angkat. Di belakang dia diperbisikkan orang, “Angkat-angkat dia, uangnya keluar!"
Alangkah baiknya demikian ini tanya se-salan Allah di ayat ini jika orang-orang yang riya mengubah pendirian dan mengoreksi kesalahannya. Lalu dia beriman betul-betul kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia. Dia telah mendapat rezeki yang besar, yaitu harta dan kemegahan. Alangkah baiknya jika keduanya itu dijadikan jembatan buat mendekatkan diri kepada Allah dan berkhidmat dalam masyarakat. Karena mujur dan malang tidak akan cerai dari badan. Akan datang suatu masa yang harta itu tidak akan dapat menolong. Yang dapat menolong di waktu itu hanya iman dan kasih cinta sesama manusia.
Saya teringat seorang yang kaya raya, terkenal nama dan kekayaannya dan megahlah hidupnya. Tiba-tiba dia ditimpa sakit yang berat. Dia terpaksa terbenam di rumah sakit berbulan-bulan untuk berobat. Mobilnya yang mahal tidak dapat dipakainya, rumahnya yang indah tidak dapat didiami, bertemu dengan istri dan keluarga hanya waktu dokter mengizinkan melawat (besuk) Makanan diatur, padahal selama ini bebas. Penyakit belum tentu akan sembuh, pulang ke rumah tidak boleh. Siapakah yang dapat menolongnya di waktu itu dan apakah obat hati yang murung karena terpencil, selain dari iman dan cinta kasih? Dia pernah mengatakan, “Kekayaanku sekarang hanya iman!"
Apatah lagi kalau kekayaan tiba-tiba punah, laksana Paul Kruger, jutawan korek api yang terkenal di Sweden. Sedang di puncak tiba-tiba hancur kekayaan itu, datang kerugian dan bangkrut. Apatah lagi pertahanan batin, kalau selama ini pertahanan hanya harta itu saja? Kepada Allah tidak percaya atau tidak berkenalan? Jalan ke akhirat tidak pernah diterangi? Dalam saat inilah orang kerap kali silap, lalu membunuh diri. Paul Kruger yang kaya raya menembak dirinya sendiri.
Padahal kalau orang ada beriman, dan telah pernah menanamkan cinta kasih dan ihsan dengan sesama manusia, sisa hidupnya tidaklah akan kecewa, sebab modalnya yang asli tidak habis.
Teringat pula saya seorang jutawan terkenal di Jakarta, pernah namanya membubung naik, dikenal di dunia dagarg. Tetapi karena kegedangan bergelar, nama perusahaannya terpaksa dijalankan orang lain dan dia jatuh. Sebab namanya sendiri telah menjadi nama perusahaan setelah perusahaan dipegang orang lain. Yang dirinya sendiri biasanya sudah turut hilang. Tetapi dia tidak hilang. Dia susuk kembali mulai dari bawah, dibukanya sebuah lepau nasi: Restoran!
Sejak dia membuka restoran, dia kelihatan tenang, mukanya berseri. Diaturnya restoran itu sehingga di waktu Maghrib selesai. Malam hari dia pergi beribadah, shalat, mengaji, tahajud. Pernah dia mengatakan bahwa nikmat rasa kehidupan lebih dirasainya sekarang karena dia merasa lebih dekat kepada Allah. Dia mengatakan bahwa baik dahulu ketika kekayaannya membubung naik atau sekarang ketika dia memulai kembali dari bawah, sekali-kali dia tidak merasa canggung sebab dia berpegang kepada ajaran agama. Yaitu sesudah beriman kepada Allah hendaklah beramal artinya bekerja. Pekerjaan itu hendaklah yang saleh dan baik. Jatuh pekerjaan yang lama, mulai lagi pekerjaan yang baru. Islam melarang keras pengangguran. Dia senang dengan pendiriannya dan dia tidak merasa jiwa-kecil karena perubahan.
Orang-orang yang saya ceritakan ini sudah sama-sama meninggal dunia. Mereka telah meninggalkan pengajaran yang baik buat orang yang hidup. Mereka meninggal dengan baik tidak karena membunuh diri.
Demikianlah isi pertanyaan Allah yang terkandung di dalam ayat ini. Apalah salahnya jika orang-orang yang diberi Allah nikmat dan kurnia serta rezeki yang berlimpah-limpah, jika mereka tetap memupuk iman kepada Allah dan hari Akhirat, jangan berteman dengan setan-setan, padahal mereka sendiri jugalah yang akan merasai ketenteraman di dalam jiwa mereka sendiri, sebab harta benda dunia tidak mengikatkan mereka ke dunia dan insaf bahwa yang akan dibawa menghadap Allah, lain tidak hanyalah iman dan amal saleh juga.
Sebab itu kembalilah ke ayat 36 tadi, beribadahlah kepada Allah, janganlah yang lain dipersekutukan dengan Dia, berbuat ihsanlah kepada ibu bapak, keluarga, anak yatim, fakir miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, musafir dan tetamu, dan ketahuilah ada kekayaan yang lebih dari segala kekayaan, yaitu rasa diri yang dekat kepada Allah dan cinta kasih sesama manusia. Itulah yang tidak lekang di panas dan tidak lapuk di hujan. Keten-teraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.