Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
طَلَّقۡتُمُ
kamu mentalak
ٱلنِّسَآءَ
isteri-isteri
فَبَلَغۡنَ
maka/lalu dia sampai
أَجَلَهُنَّ
masa (iddah) mereka
فَلَا
maka jangan
تَعۡضُلُوهُنَّ
kamu menghalangi mereka
أَن
bahwa
يَنكِحۡنَ
mereka kawin
أَزۡوَٰجَهُنَّ
(bakal) suami-suami mereka
إِذَا
apabila
تَرَٰضَوۡاْ
mereka saling rela
بَيۡنَهُم
diantara mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ
dengan cara yang baik
ذَٰلِكَ
itulah
يُوعَظُ
dinasehatkan
بِهِۦ
dengannya
مَن
orang
كَانَ
adalah dia
مِنكُمۡ
diantara kamu
يُؤۡمِنُ
dia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۗ
akhirat
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَزۡكَىٰ
lebih baik
لَكُمۡ
bagi kalian
وَأَطۡهَرُۚ
dan lebih suci
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
وَإِذَا
dan apabila
طَلَّقۡتُمُ
kamu mentalak
ٱلنِّسَآءَ
isteri-isteri
فَبَلَغۡنَ
maka/lalu dia sampai
أَجَلَهُنَّ
masa (iddah) mereka
فَلَا
maka jangan
تَعۡضُلُوهُنَّ
kamu menghalangi mereka
أَن
bahwa
يَنكِحۡنَ
mereka kawin
أَزۡوَٰجَهُنَّ
(bakal) suami-suami mereka
إِذَا
apabila
تَرَٰضَوۡاْ
mereka saling rela
بَيۡنَهُم
diantara mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ
dengan cara yang baik
ذَٰلِكَ
itulah
يُوعَظُ
dinasehatkan
بِهِۦ
dengannya
مَن
orang
كَانَ
adalah dia
مِنكُمۡ
diantara kamu
يُؤۡمِنُ
dia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۗ
akhirat
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَزۡكَىٰ
lebih baik
لَكُمۡ
bagi kalian
وَأَطۡهَرُۚ
dan lebih suci
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Apabila kamu (sudah) menceraikan istri(-mu) lalu telah sampai (habis) masa idahnya, janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan (calon) suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang patut. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hal itu lebih bersih bagi (jiwa)-mu dan lebih suci (bagi kehormatanmu). Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Tafsir
(Apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu sampai idahnya), maksudnya habis masa idahnya, (maka janganlah kamu halangi mereka itu) ditujukan kepada para wali agar mereka tidak melarang wanita-wanita untuk (untuk rujuk dengan suami-suami mereka yang telah menceraikan mereka itu). Asbabun nuzul ayat ini bahwa saudara perempuan dari Ma`qil bin Yasar diceraikan suaminya, lalu suaminya itu hendak rujuk kepadanya, tetapi dilarang oleh Ma`qil bin Yasar, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim (jika terdapat kerelaan), artinya kerelaan suami istri (di antara mereka secara baik-baik), artinya menurut syariat. (Demikian itu), yakni larangan menghalangi itu (dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari yang akhir). Karena hanya mereka sajalah yang mengerti nasihat ini (Itu), artinya tidak menghalangi (lebih suci) lebih baik (bagi kamu dan lebih bersih) baik bagi kamu maupun bagi mereka karena dikhawatirkan kedua belah pihak bekas suami istri akan melakukan hubungan gelap, mengingat kedua belah pihak sudah saling cinta dan mengenal. (Dan Allah mengetahui) semua maslahat (sedangkan kamu tidak mengetahui yang demikian itu), maka mohonlah petunjuk dan ikutilah perintah-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 232
Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu habis idahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bekas suaminya, apabila telah terdapat ketetapan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagi kalian dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Ayat 232
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang menalak istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si istri menyelesaikan masa idahnya. Kemudian pihak lelaki berminat untuk mengawininya dan merujukinya kembali, dan pihak wanita menyetujuinya. Akan tetapi, para wali pihak wanita mencegah hal tersebut. Maka Allah melarang mereka mencegahnya untuk kembali kepada suaminya itu. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Adh-Dhahhak, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah tersebut.
Pendapat yang mereka katakan memang tampak jelas dari makna lahiriah ayat, dan di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita tidak mempunyai hak untuk mengawinkan dirinya sendiri. Dalam suatu pernikahan diharuskan adanya seorang wali, seperti apa yang dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Jarir dalam mengulas makna ayat ini. Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits yang mengatakan: “Seorang wanita tidak dapat mengawinkan wanita lainnya, dan seorang wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang mengawinkan dirinya sendiri.”
Di dalam atsar yang lain disebutkan seperti berikut: “Tiada nikah kecuali dengan seorang wali mursyid dan dua orang saksi laki-laki yang adil.”
Sehubungan dengan masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang tercatat di dalam kitab-kitab yang khusus membahas mengenainya, yaitu kitab-kitab fiqih. Sesungguhnya kami telah menetapkan masalah ini di dalam Kitabul Ahkam.
Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar Al-Muzani dan saudara perempuannya.
Imam Al-Bukhari mengatakan di dalam kitab Shahih-nya ketika menafsirkan ayat ini, bahwa Ubaidillah ibnu Sa'id telah menceritakan kepada kami, Abu Amir Al-Aqdi telah menceritakan kepada kami, Ibad ibnu Rasyid telah menceritakan kepada kami, Al-Hasan telah menceritakan kepada kami; dia mengatakan bahwa Ma'qal ibnu Yasar menceritakan kepadanya, "Aku pernah mempunyai saudara perempuan yang dilamar melaluiku."
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, dari Yunus, dari Al-Hasan, telah menceritakan kepadaku Ma'qal ibnu Yasar dan telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Al-Hasan, bahwa saudara perempuan Ma'qal ibnu Yasar ditalak oleh suaminya. Lalu suaminya membiarkannya hingga habislah masa idah istrinya itu. Setelah itu ia datang lagi melamarnya, maka Ma'qal menolaknya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bekas suaminya.” (Al-Baqarah: 232)
Demikian pula menurut riwayat Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mardawaih melalui berbagai jalur, dari Al-Hasan, dari Ma'qal ibnu Yasar dengan lafal yang sama.
Hadits ini dinilai shahih oleh Imam At-Tirmidzi, lafaznya berbunyi seperti berikut: Disebutkan dari Ma'qal ibnu Yasar bahwa ia rnengawinkan saudara perempuannya dengan seorang lelaki dari kalangan kaum muslim di masa Rasulullah ﷺ. Saudara perempuannya itu selama beberapa masa menjadi istri lelaki tersebut, kemudian lelaki itu menceraikannya dan membiarkan dia menjalani idahnya sampai habis. Sesudah itu ternyata lelaki itu masih tetap mencintainya, begitu pula sebaliknya. Kemudian lelaki itu melamarnya bersamaan dengan para pelamar lainnya. Maka Ma'qal ibnu Yasar berkata, "Wahai si dungu anak si dungu, aku menghormatimu dengan mengawinkan dia denganmu, tetapi kamu menalaknya. Demi Allah, kamu tidak boleh rujuk dengan dia kembali untuk selamanya, aku sudah kapok denganmu." Ma'qal ibnu Yasar melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata keinginan keduanya itu didengar oleh Allah ﷻ. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir idahnya.” (Al-Baqarah: 231) sampai dengan firman-Nya: “Sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 232); Ketika Ma'qal ibnu Yasar mendengar ayat ini, maka ia mengatakan, "Aku tunduk dan patuh kepada Tuhanku," lalu ia memanggil bekas suami adik perempuannya dan mengatakan kepadanya, "Aku nikahkan kamu, dan aku hormati kamu."
Menurut riwayat Ibnu Mardawaih ditambahkan bahwa Ma'qal ibnu Yasar mengatakan pula, "Dan aku bayar kafarat sumpahku." Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa perempuan tersebut bernama Jamil binti Yasar; dia adalah istri Abul Badah.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang menceritakan bahwa perempuan tersebut bernama Fatimah binti Yasar. Hal yang sama dikatakan pula oleh ulama lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Semuanya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya. As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Jabir ibnu Abdullah dan anak perempuan pamannya (sepupunya). Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama (yaitu Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya).
Firman Allah ﷻ: “Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 232)
Larangan ini yang kalian dilarang melakukannya, yaitu para wali mencegah wanita mereka untuk kawin dengan bekas suaminya masing-masing bila mereka sama-sama rela di antara sesamanya dengan cara yang baik, merupakan nasihat dan perintah serta hal yang perlu ditanggapi.
“Kepada orang-orang di antara kalian yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 232) Yakni kepada orang-orang yang beriman kepada syariat (hukum) Allah dan takut kepada ancaman serta azab-Nya di akhirat serta pembalasan yang akan terjadi padanya.
“Itu lebih baik bagi kalian dan lebih suci.” (Al-Baqarah: 232) Yaitu bila kalian (para wali) mengikuti syariat Allah dalam masalah mengembalikan wanita kalian kepada suaminya masing-masing, dan meninggalkan sikap fanatismenya, maka hal ini lebih baik bagi kalian dan lebih suci untuk hati kalian.
“Allah mengetahui.” (Al-Baqarah: 232) Yakni tentang maslahat-maslahat yang terkandung di dalam apa yang Dia perintahkan dan apa yang Dia larang. “Sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 232) Maksudnya, kalian tidak mengetahui kebaikan dari apa yang kalian lakukan dan apa yang tidak kalian lakukan.
Setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perihal wanitawanita yang dicerai sebelum idahnya habis, maka pada ayat ini Allah menjelaskan status mereka setelah habis masa idahnya. Dan apabila kamu, para suami, menceraikan istri-istri kamu lalu sampai idahnya habis, maka jangan kamu, mantan suami dan para wali atau siapa pun, halangi atau paksa mereka yang ditalak suaminya untuk kembali rujuk. Biarkanlah ia menetapkan sendiri masa depannya untuk menikah lagi dengan calon suaminya,6 baik suami yang telah menceraikannya atau pria lain yang menjadi pilihannya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Wanita yang dicerai suaminya dan telah habis masa idahnya mempunyai hak penuh atas dirinya sendiri, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah, Janda lebih berhak atas dirinya daripada orang lain atau walinya. Itulah yang dinasihatkan kepada orangorang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Apabila mengikuti petunjuk-petunjuk dan nasihat tentang pemenuhan hak wanita yang diceraikan untuk kembali kepada suaminya atau memilih pasangan baru, itu lebih suci bagimu dan lebih bersih terhadap jiwamu. Dan Allah mengetahui sesuatu yang dapat membawa kemaslahatan bagi hamba-Nya, sedangkan kamu tidak mengetahui di balik ketentuan hukum yang ditetapkan Allah. Wali atau mantan suami tidak boleh memaksa perempuan itu baik untuk rujuk dengan mantan suaminya dengan ketentuan harus memperbarui nikahnya, maupun menikah dengan laki-laki lain Usai menjelaskan masalah keluarga, berikutnya Allah membicarakan masalah anak yang lahir dari hubungan suami istri. Di sisi lain, dibicarakan pula ihwal wanita yang dicerai dalam kondisi menyusui anaknya. Dan ibu-ibu yang melahirkan anak, baik yang dicerai suaminya maupun tidak, hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh sebagai wujud kasih sayang dan tanggung jawab ibu kepada anaknya. Air susu ibu (ASI) adalah makanan utama dan terbaik bagi bayi yang tidak bisa digantikan oleh makanan lain. Hal itu dilakukan bagi yang ingin menyusui secara sempurna yaitu dua tahun, seperti dijelaskan dalam Surah Luqma'n/31: 41. Apabila kurang dari dua tahun, dianjurkan setidaknya jumlah masa menyusui jika digabung dengan masa kehamilan tidak kurang dari tiga puluh bulan sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Ahqa'f/43:15. Bila masa kehamilan mencapai sembilan bulan maka masa menyusui adalah dua puluh satu bulan. Apabila masa menyusui dua tahun, berarti masa kehamilan paling pendek adalah enam bulan. Dan kewajiban ayah dari bayi yang dilahirkan adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka berdua, yaitu anak dan ibu walaupun sang ibu telah dicerai, dengan cara yang patut sesuai kebutuhan ibu dan anak dan mempertimbangkan kemampuan ayah. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Demikianlah prinsip ajaran Islam. Karena itu, janganlah seorang ayah mengurangi hak anak dan ibu menyusui dalam pemberian nafkah dan pakaian, dan jangan pula seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu melebihi kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anaknya yang sedang disusui. Jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walaupun ayahnya telah meninggal dunia. Apabila ayah telah meninggal dunia maka ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula, yaitu memenuhi kebutuhan ibu dan anak. Apabila keduanya, yaitu ibu dan ayah, ingin menyapih anaknya sebelum usia dua tahun dengan persetujuan bersama, bukan akibat paksaan dari siapa pun, dan melalui permusyawaratan antara keduanya dalam mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain karena ibu tidak bersedia atau berhalangan menyusui, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran kepada wanita lain berupa upah atau hadiah dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dalam segala urusan dan taatilah ketentuan-ketentuan hukum Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan dan membalas setiap amal baik maupun buruk yang kamu kerjakan. Perceraian antara suami dan istri hendaknya tidak berdampak pada anak yang masih bayi. Ibu tetap dianjurkan merawatnya dan memberinya ASI. Demikian pula ayah wajib memberi nafkah kepada anak dan ibu selama menyusui. Agama sangat memperhatikan kelangsungan hidup anak agar tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
.
Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan kemungkinan akan kawin lagi, baik dia akan kawin dengan bekas suaminya maupun dengan laki-laki lain. Dalam menanggapi ayat ini, para ulama fikih berselisih tentang siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut, khususnya dalam kalimat "janganlah kamu menghalang-halangi".
Imam Syafi'i berpendapat bahwa larangan itu ditujukan kepada wali, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tentang Qasim Ma'qil bin Yasir. Ma'qil mempunyai seorang saudara perempuan yang dinikahi oleh Abibaddah. Kemudian ia dicerai oleh suaminya. Setelah selesai idahnya, Abibaddah merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu. Tetapi Ma'qil, sebagai wali, tidak menyetujuinya sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah ﷺ dan kemudian turunlah ayat di atas dan Ma'qil memperkenankan Abibaddah kembali kepada saudaranya.
Dari riwayat yang merupakan sebab turunnya ayat ini, jelas bahwa larangan itu ditujukan kepada wali. Seandainya larangan dalam ayat itu tidak ditujukan kepada wali, niscaya perempuan itu dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma'qil tersebut sebagai walinya.
Maka jelas bahwa akad nikah tetap dilangsungkan oleh wali. Imam Hanafi berpendapat sebaliknya; larangan itu ditujukan bukan kepada wali tetapi kepada suami. Hal ini dapat terjadi bila bekas suami menghalangi bekas istrinya untuk kawin dengan orang lain. Dengan demikian ayat tersebut menurut Abu Hanifah tidak menunjukkan bahwa wali menjadi syarat sah akad pernikahan. Sebagaimana diketahui, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang berstatus janda dapat melakukan akad nikah tanpa melalui wali.
Baik wali atau pun bekas suami tidak boleh menghalang-halangi seorang perempuan yang akan kawin. Adat yang berlaku pada zaman jahiliah para wali terlalu mencampuri dengan cara sewenang-wenang soal perkawinan sehingga perempuan tidak mempunyai kebebasan dalam memilih calon suaminya, bahkan mereka dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Demikianlah ajaran Al-Qur'an mengenai hukum perkawinan, ajaran yang hanya dapat diterima oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, karena hanya orang yang berimanlah yang dapat menerima ajaran Allah dengan menyingkirkan keinginan hawa nafsu dalam mengekang kaum perempuan.
Kembali kepada ajaran Allah ini adalah suatu perbuatan yang baik dan terpuji, Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahui.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN MAIN PAKSA
Ayat 232
“Dan apabila kamu talak perempuan-perempuan itu, lalu sampai janjinya (iddahnya) maka janganlah kamu hambat-hambat mereka akan kawin dengan suami-suami mereka, apabila telah berkesukaan di antara mereka dengan secara patut."
Di dalam ayat ini terdapat berbagai tafsiran. Adapun tafsir yang cepat masuk pikiran kita— setelah membaca susunan ayat—bahwa yang dimaksud dengan apabila kamu talak perempuan-perempuan itur yang diper"kamu" di sini ialah orang-orang yang menalak istrinya, istri yang telah diceraikan itu menurut bahasa kita disebut janda. Ayat ini melarang orang-orang yang telah menceraikan istrinya itu melarang jandanya kawin dengan orang lain apabila telah sampai iddahnya. Dan, telah ada pula persetujuan di antara janda itu dan laki-laki lain menurut jalan yang halal dan patut Karena kalau iddahnya sudah lepas dengan suaminya yang pertama, terbukalah baginya pintu menurut peraturan syara buat bersuami orang lain pula. Maka, ada jugalah orang yang merasa keberatan jika jandanya bersuami lain. Dia merasa dirinya dihina kalau jandanya dikawini orang lain. Atau karena sombongnya, dia merasa kalau tidak dengan dia, jandanya itu tidak akan bersuami lagi sebab dia orang kaya atau berkuasa besar, seumpama terjadi pada raja-raja.
Maka, ayat ini melarang keras orang yang beriman mencegah, menghambat-hambat bekas istrinya akan bersuami lain jika iddahnya telah sampai. Misalnya, mengancam atau memfitnah sehingga perempuan itu menjadi takut atau laki-laki yang akan menikahinya itu jadi mundur dari maksudnya, takut ancaman dari laki-laki yang berkuasa itu. Padahal, kalau iddah perempuan itu sampai, Artinya, suami pertama tidak rujuk selama dalam iddah, agama telah memberi izin perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Apatah lagi lanjutan ayat menerangkan pula, “Apabila telah berkesukaan di antara mereka dengan secara yang patut."
Perbuatan itu dilarang dengan kalimat la ta'dhuluhunna, yang kita artikan “jangan kamu hambat-hambat". Diambil dari kalimat ‘adhal, yaitu membuat sehingga perempuan itu tidak berdaya karena kekejaman suaminya itu. Di dalam penafsiran yang lain disebutkan bahwasanya yang dilarang menghambat-hambat di dalam ayat ini ialah wali si perempuan itu sendiri.
“Demikianlah yang diberi nasihat dengan dia barangsiapa di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari yang akhir." Nasihat ini disampaikan kepada orang-orang yang bersangkutan, baik kepada laki-laki yang menghalangi jandanya akan kawin lagi dengan laki-laki lain, padahal iddahnya sudah sampai dan syarat-syarat kesukaan kedua belah pihak sudah cukup menurut patutnya, maupun terhadap wali-wali yang menghalang-halangi perempuan yang di bawah wilayahnya buat surut kepada jandanya. Ataupun umum kepada segenap wali di dalam memimpin perempuan yang diwilayahinya atau perempuan modern di dalam memilih jodoh. Hendaklah mereka perhatikan nasihat ini kalau mereka mengakui beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Hendaklah orang yang beriman tunduk kepada peraturan Allah. Hidup kita bukanlah hingga di dunia ini saja. Perkawinan di antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan hendaklah jangan hingga dunia ini saja.
Maka, tidaklah layak bagi setiap orang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat menghalang-halangi berdirinya rumah tangga orang lain, entah mereka akan berbahagia dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, datanglah lanjutan ayat,
“Itulah yang sebersih-bersihnya bagi kamu dan sesuci-sucinya “
Yaitu mempermudah perjodohan seorang perempuan dengan seorang laki-laki walaupun perempuan itu sudah cukup. Itulah tanda hati yang bersih dan jiwa yang tidak kotor, yaitu jiwa yang besar, bukan perangai hina. Akhirnya ayat berkata pula,
“Dan Allah lah yang mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui"
(ujung ayat 232)