Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱللَّهُ
Allah
لَآ
tidak
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّا
melainkan
هُوَ
Dia
ٱلۡحَيُّ
yang hidup
ٱلۡقَيُّومُۚ
terus menerus mengurus
لَا
tidak
تَأۡخُذُهُۥ
menimpaNya
سِنَةٞ
kantuk
وَلَا
dan tidak
نَوۡمٞۚ
tidur
لَّهُۥ
kepunyaanNya
مَا
apa
فِي
didalam
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۗ
bumi
مَن
siapakah
ذَا
orang
ٱلَّذِي
yang
يَشۡفَعُ
memberi syafa'at
عِندَهُۥٓ
disisiNya
إِلَّا
kecuali
بِإِذۡنِهِۦۚ
dengan izinnya
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
مَا
apa
بَيۡنَ
diantara
أَيۡدِيهِمۡ
tangan/hadapan mereka
وَمَا
dan apa
خَلۡفَهُمۡۖ
dibelakang mereka
وَلَا
dan tidak
يُحِيطُونَ
mereka mengetahui
بِشَيۡءٖ
dengan sesuatu
مِّنۡ
dari
عِلۡمِهِۦٓ
ilmu Allah
إِلَّا
kecuali
بِمَا
dengan apa
شَآءَۚ
Dia kehendaki
وَسِعَ
luas/meliputi
كُرۡسِيُّهُ
kekuasaanNya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَۖ
dan bumi
وَلَا
dan tidak
يَـُٔودُهُۥ
Dia merasa berat
حِفۡظُهُمَاۚ
memelihara keduanya
وَهُوَ
dan Dia
ٱلۡعَلِيُّ
Maha Tinggi
ٱلۡعَظِيمُ
Maha Besar
ٱللَّهُ
Allah
لَآ
tidak
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّا
melainkan
هُوَ
Dia
ٱلۡحَيُّ
yang hidup
ٱلۡقَيُّومُۚ
terus menerus mengurus
لَا
tidak
تَأۡخُذُهُۥ
menimpaNya
سِنَةٞ
kantuk
وَلَا
dan tidak
نَوۡمٞۚ
tidur
لَّهُۥ
kepunyaanNya
مَا
apa
فِي
didalam
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۗ
bumi
مَن
siapakah
ذَا
orang
ٱلَّذِي
yang
يَشۡفَعُ
memberi syafa'at
عِندَهُۥٓ
disisiNya
إِلَّا
kecuali
بِإِذۡنِهِۦۚ
dengan izinnya
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
مَا
apa
بَيۡنَ
diantara
أَيۡدِيهِمۡ
tangan/hadapan mereka
وَمَا
dan apa
خَلۡفَهُمۡۖ
dibelakang mereka
وَلَا
dan tidak
يُحِيطُونَ
mereka mengetahui
بِشَيۡءٖ
dengan sesuatu
مِّنۡ
dari
عِلۡمِهِۦٓ
ilmu Allah
إِلَّا
kecuali
بِمَا
dengan apa
شَآءَۚ
Dia kehendaki
وَسِعَ
luas/meliputi
كُرۡسِيُّهُ
kekuasaanNya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَۖ
dan bumi
وَلَا
dan tidak
يَـُٔودُهُۥ
Dia merasa berat
حِفۡظُهُمَاۚ
memelihara keduanya
وَهُوَ
dan Dia
ٱلۡعَلِيُّ
Maha Tinggi
ٱلۡعَظِيمُ
Maha Besar
Terjemahan
Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah yang Mahatinggi lagi Mahaagung.
Tafsir
(Allah, tak ada Tuhan), artinya tak ada ma`bud atau sembahan yang sebenarnya di alam wujud ini, (melainkan Dia Yang Maha Hidup), artinya Kekal lagi Abadi (dan senantiasa mengatur), maksudnya terus-menerus mengatur makhluk-Nya (tidak mengantuk) atau terlena, (dan tidak pula tidur. Milik-Nyalah segala yang terdapat di langit dan di bumi) sebagai kepunyaan, ciptaan dan hamba-Nya. (Siapakah yang dapat), maksudnya tidak ada yang dapat (memberi syafaat di sisi-Nya, kecuali dengan izin-Nya) dalam hal itu terhadapnya. (Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka), maksudnya di hadapan makhluk (dan apa yang di belakang mereka), artinya urusan dunia atau soal akhirat, (sedangkan mereka tidak mengetahui suatu pun dari ilmu-Nya), artinya manusia tidak tahu sedikit pun dari apa yang diketahui oleh Allah itu, (melainkan sekadar yang dikehendaki-Nya) untuk mereka ketahui melalui pemberitaan dari para Rasul. (Kursinya meliputi langit dan bumi) ada yang mengatakan bahwa maksudnya ialah ilmu-Nya, ada pula yang mengatakan kekuasaan-Nya, dan ada pula Kursi itu sendiri yang mencakup langit dan bumi, karena kebesaran-Nya, berdasarkan sebuah hadis, "Tidaklah langit yang tujuh pada kursi itu, kecuali seperti tujuh buah uang dirham yang dicampakkan ke dalam sebuah pasukan besar (Dan tidaklah berat bagi-Nya memelihara keduanya), artinya memelihara langit dan bumi itu (dan Dia Maha Tinggi) sehingga menguasai semua makhluk-Nya, (lagi Maha Besar).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 255
Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk, dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada seorang pun yang dapat memberi syafaat di sisi Allah melainkan dengan seizin-Nya. Allah mengetahui semua apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat 255
Ayat ini disebut "ayat Kursi", ia mempunyai kedudukan yang besar. Di dalam sebuah hadits sahib, dari Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa ayat Kursi merupakan ayat yang paling utama di dalam Kitabullah.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Sa'id Al-Jariri, dari Abus Salil, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Nabi ﷺ pernah bertanya kepadanya, "Ayat Kitabullah manakah yang paling agung?" Ubay menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi ﷺ mengulang-ulang pertanyaannya, maka Ubay menjawab, "Ayat Kursi." Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Selamatlah dengan ilmu yang kamu miliki, wahai Abul Munzir. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya ayat Kursi itu mempunyai lisan dan sepasang bibir yang selalu menyucikan Tuhan Yang Maha Kuasa di dekat pilar Arasy.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abdul A'la ibnu Abdul A'la, dari Al-Jariri dengan lafal yang sama. Akan tetapi, pada hadits yang ada pada Imam Muslim tidak terdapat kalimat "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya", hingga akhir hadits.
Hadits yang lain diriwayatkan dari Ubay pula mengenai keutamaan ayat Kursi ini. Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah menceritakan kepada kami Maisarah, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ubaidah ibnu Abu Lubabah, dari Abdullah ibnu Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan, ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahwa ia memiliki sebuah wadah besar yang berisikan buah kurma.
Ayahnya biasa menjaga tong berisikan kurma itu, tetapi ia menjumpai isinya berkurang. Di suatu malam ia menjaganya, tiba-tiba ia melihat seekor hewan yang bentuknya mirip dengan anak lelaki yang baru berusia balig. Lalu aku (Ka'b) bersalam kepadanya dan ia menyalami salamku. Aku bertanya, "Siapakah kamu, jin ataukah manusia?" Ia menjawab, "Jin." Aku berkata, "Kemarikanlah tanganmu ke tanganku." Maka ia mengulurkan tangannya ke tanganku, ternyata tangannya seperti kaki anjing, begitu pula bulunya.
Lalu aku berkata, "Apakah memang demikian bentuk jin itu?" Ia menjawab, "Kamu sekarang telah mengetahui jin, di kalangan mereka tidak ada yang lebih kuat daripada aku." Aku bertanya, "Apakah yang mendorongmu berbuat demikian?" Ia menjawab, “Telah sampai kepadaku bahwa kamu adalah seorang manusia yang suka bersedekah, maka kami ingin memperoleh sebagian dari makananmu." Lalu ayahku (Ka'b) berkata kepadanya, "Hal apakah yang dapat melindungi kami dari gangguan kalian?" Jin itu menjawab, "Ayat ini," yakni ayat Kursi.
Pada keesokan harinya Ka'b berangkat menemui Nabi ﷺ, lalu menceritakan hal itu kepadanya. Nabi ﷺ bersabda: “Benarlah (apa yang dikatakan oleh) si jahat itu.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadits Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Harb ibnu Syaddad, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Al-Hadrami ibnu Lahiq, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Ubay ibnu Ka'b, dari kakeknya dengan lafal yang sama. Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini berpredikat shahih, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Itab yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abus Salil menceritakan hadits berikut: Ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ menceritakan hadits kepada orang-orang hingga banyak orang yang datang kepadanya. Lalu lelaki itu naik ke loteng sebuah rumah dan menceritakan hadits (dari tempat itu) kepada orang banyak. Rasulullah ﷺ mengajukan pertanyaan (kepada lelaki itu), "Ayat Al-Qur'an manakah yang paling agung?" Lelaki itu menjawab: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah; 255) Lelaki itu melanjutkan kisahnya, "Setelah itu Nabi ﷺ meletakkan tangannya di antara kedua pundakku, dan aku merasakan kesejukan di dadaku." Atau ia mengatakan, "Nabi ﷺ meletakkan tangannya di dadaku dan aku merasakan kesejukan tangannya menembus sampai ke bagian di antara kedua pundakku," lalu Nabi ﷺ bersabda: “Selamatlah dengan ilmumu itu, wahai Abul Munzir.”
Hadits yang lain diriwayatkan dari Al-Asqa' Al-Bakri.
Imam Ath-Thabarani mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Yazid Al-Qaratisi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abu Abbad Al-Maliki, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu ‘Atha’ atau Maula Ibnul Asqa', seorang lelaki yang jujur; dia menceritakan hadits ini dari Al-Asqa' Al-Bakri.
Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Al-Asqa' menceritakan hadits berikut: Nabi ﷺ datang kepada mereka dengan ditemani oleh orang-orang suffah dari kalangan Muhajirin. Lalu ada seorang lelaki bertanya kepadanya, "Ayat apakah yang paling agung di dalam Al-Qur'an?" Maka Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah: 255), hingga akhir ayat.
Hadits lain diriwayatkan dari Anas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Wardan, bahwa sahabat Anas ibnu Malik pernah menceritakan hadits berikut kepadanya: Bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada salah seorang lelaki dari kalangan sahabatnya, untuk itu beliau bertanya, "Wahai Fulan, apakah kamu sudah kawin?" Lelaki itu menjawab, "Belum, karena aku tidak mempunyai biaya untuk kawin." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu telah hafal qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas)?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda, "Seperempat Al-Qur'an." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu telah hafal qul ya ayyuhal kafirun (surat Al-Kafirun)?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda, "Seperempat Al-Qur'an." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu telah hafal Ida zulzilal (surat Az-Zalzalah)?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda, "Seperempat Al-Qur'an." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu hafal Idza ja'a nasrullahi (surat An-Nasr)?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda, "Seperempat Al-Qur 'an." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu hafal ayat Kursi, yaitu 'Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia'?"Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda, "Seperempat Al-Qur'an."
Hadits lain diriwayatkan dari Abu Dzar, yaitu Jundub ibnu Junadah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnul Jarrah, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepadaku Abu Umar Ad-Dimasyqi, dari Ubaid ibnul Khasykhasy, dari Abu Dzar yang menceritakan hadits berikut: Aku datang kepada Nabi ﷺ yang saat itu berada di dalam masjid, lalu aku duduk, maka beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, apakah kamu telah shalat?" Aku menjawab, "Belum." Nabi ﷺ bersabda, "Bangkitlah dan salatlah!" Aku bangkit dan shalat, kemudian duduk lagi. Maka beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan-setan manusia dan jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setan ada yang berupa manusia?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan shalat?" Beliau menjawab, "Shalat merupakan sebaik-baik tempat. Barang siapa yang ingin sedikit melakukannya, ia boleh mengerjakannya sedikit; dan barang siapa yang ingin mengerjakannya banyak, maka ia boleh mengerjakannya banyak." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan ibadah puasa?" Beliau menjawab, "Puasa adalah fardu yang pasti diberi balasan pahala dan di sisi Allah ada (pahala) tambahan(nya)." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan sedekah?" Nabi ﷺ menjawab, "Pahalanya dilipatgandakan dengan penggandaan yang banyak." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling afdal?" Beliau menjawab, "Jerih payah dari orang yang miskin atau sedekah kepada orang fakir dengan sembunyi-sembunyi." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, nabi manakah yang paling pertama?" Beliau menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Adam adalah seorang nabi (rasul)?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya, dia adalah seorang nabi yang diajak berbicara (secara langsung oleh Allah)." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para rasul itu?" Nabi ﷺ menjawab, "Tiga ratus lebih belasan orang, jumlah yang banyak," dan di lain waktu disebutkan "Lebih lima belas orang." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ayat apakah yang paling agung di antara yang diturunkan kepada engkau?" Beliau menjawab, "Ayat Kursi, yaitu 'Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)'." (Al-Baqarah: 255) (Riwayat Imam An-Nasai)
Hadits lain diriwayatkan dari Abu Ayyub, yaitu Khalid ibnu Zaid Al-Ansari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Laila, dari saudaranya (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Laila), dari Abu Ayyub, bahwa ia selalu kedatangan jin yang mengganggu dalam tidurnya. Ia mengadukan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: Apabila kamu melihatnya, maka ucapkanlah, "Bismillah (dengan menyebut asma Allah), tunduklah kepada Rasulullah!" Ketika jin itu datang, Abu Ayyub mengucapkan kalimat tersebut dan akhirnya ia dapat menangkapnya. Tetapi jin itu berkata, "Sesungguhnya aku tidak akan kembali lagi," maka Abu Ayyub melepaskannya.
Abu Ayyub datang dan Nabi ﷺ bertanya, "Apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu?" Abu Ayyub menjawab, "Aku dapat menangkapnya dan ia berkata bahwa dirinya tidak akan kembali lagi, akhirnya dia kulepaskan." Nabi ﷺ menjawab, "Sesungguhnya dia akan kembali lagi." Abu Ayyub melanjutkan kisahnya, "Aku menangkapnya kembali sebanyak dua atau tiga kali. Setiap kutangkap, ia mengatakan, 'Aku sudah kapok dan tidak akan kembali menggoda lagi.' Aku datang lagi kepada Nabi ﷺ dan beliau bertanya, 'Apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu?' Aku menjawab, 'Aku menangkapnya dan ia berkata bahwa tidak akan kembali lagi.' Maka beliau ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya dia akan kembali lagi.' Kemudian aku menangkapnya kembali dan ia berkata, 'Lepaskanlah aku, dan aku akan mengajarkan kepadamu suatu kalimat yang harus kamu ucapkan, niscaya tiada sesuatu pun yang berani mengganggumu, yaitu ayat Kursi'.
Abu Ayyub datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu beliau ﷺ bersabda: “Engkau benar, tetapi dia banyak berdusta.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi di dalam Bab "Keutamaan Al-Qur'an", dari Bandar, dari Abu Ahmad Az-Zubairi dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan gharib. Makna al-gaul yang ada dalam teks hadits menurut istilah bahasa adalah jin yang menampakkan dirinya di malam hari.
Imam Al-Bukhari menyebutkan pula kisah hadits ini dari sahabat Abu Hurairah. Imam Al-Bukhari di dalam Bab "Fadailil Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an)", yaitu bagian Wakalah, mengenai sifat iblis, dalam kitab sahihnya mengatakan: Usman ibnul Haisam yang dijuluki Abu Amr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ menugasi diriku untuk menjaga (hasil) zakat Ramadan. Datanglah kepadaku seseorang yang langsung mengambil sebagian dari makanan, maka aku menangkapnya dan kukatakan (kepadanya), "Sungguh aku akan melaporkan kamu kepada Rasulullah." Ia menjawab, "Lepaskanlah aku, sesungguhnya aku orang yang miskin dan banyak anak serta aku dalam keadaan sangat perlu (makanan)." Aku melepaskannya, dan pada pagi harinya Nabi ﷺ bersabda (kepadaku), "Wahai Abu Hurairah, apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengadu tentang kemiskinan yang sangat dan banyak anak, hingga aku kasihan kepadanya, maka kulepaskan dia." Nabi ﷺ bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia pasti akan kembali lagi." Aku mengetahui bahwa dia pasti akan kembali karena sabda Rasul ﷺ yang mengatakan bahwa dia akan kembali.
Untuk itu aku mengintainya, ternyata dia datang lagi, lalu mengambil sebagian dari makanan itu. Maka kutangkap dia, dan aku berkata kepadanya, "Sungguh aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah ﷺ." Ia berkata, "Lepaskanlah aku, karena sesungguhnya aku orang yang miskin dan banyak tanggungan anak-anak, aku kapok tidak akan kembali lagi." Aku merasa kasihan kepadanya dan kulepaskan dia.
Pada pagi harinya Rasulullah ﷺ bertanya kepadaku, "Wahai Abu Hurairah, apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengadukan keadaannya yang miskin dan banyak anak, aku merasa kasihan kepadanya, akhirnya terpaksa kulepaskan dia." Nabi ﷺ bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia pasti akan kembali lagi." Kuintai untuk yang ketiga kalinya, ternyata dia datang lagi, lalu mengambil sebagian dari makanan. Maka aku tangkap dia, dan kukatakan kepadanya, "Sungguh aku akan menghadapkan dirimu kepada Rasulullah. Kali ini untuk yang ketiga kalinya kamu katakan bahwa dirimu tidak akan kembali, tetapi ternyata kamu kembali lagi." Ia menjawab, "Lepaskanlah aku, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat yang akan membuatmu mendapat manfaat dari Allah karenanya." Aku bertanya, "Kalimat-kalimat apakah itu?" Ia menjawab, "Apabila kamu hendak pergi ke peraduanmu, maka bacalah ayat Kursi, yaitu 'Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)', hingga kamu selesaikan ayat ini. Sesungguhnya engkau akan terus-menerus mendapat pemeliharaan dari Allah dan tiada setan yang berani mendekatimu hingga pagi harinya." Maka aku lepaskan dia. Pada pagi harinya Rasulullah ﷺ bertanya kepadaku, "Apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengira bahwa dirinya mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang menyebabkan aku mendapat manfaat dari Allah karenanya, maka dia kulepaskan." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah kalimat-kalimat itu?" Aku menjawab, "Dia mengatakan kepadaku, 'Apabila engkau hendak pergi ke peraduanmu, bacalah ayat Kursi dari awal hingga akhir ayat, yaitu: Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).' Dia mengatakan kepadaku, 'Engkau akan terus-menerus mendapat pemeliharaan dari Allah dan tidak ada setan yang berani mendekatimu hingga pagi harinya'." Sedangkan para sahabat adalah orang-orang yang paling suka kepada kebaikan.
Maka Nabi ﷺ bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia percaya kepadamu, tetapi dia sendiri banyak berdusta. Wahai Abu Hurairah, tahukah kamu siapakah orang yang kamu ajak bicara selama tiga malam itu?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi ﷺ bersabda, "Dia adalah setan."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari secara ta'liq dengan memakai ungkapan yang tegas.
Imam An-Nasai meriwayatkan hadits ini di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah melalui Ibrahim ibnu Ya'qub, dari Usman ibnul Haisam, lalu ia menuturkan hadits ini. Telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Abu Hurairah dengan konteks yang lain, tetapi maknanya berdekatan dengan hadits ini.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan di dalam kitab tafsirnya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amruwaih As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Muslim Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Abul Mutawakkil An-Naji, bahwa sahabat Abu Hurairah diserahi tugas memegang kunci rumah sedekah (Baitul Mal) yang di dalamnya saat itu terdapat buah kurma.
Pada suatu hari ia berangkat menuju rumah sedekah dan membuka pintunya, ternyata dia menjumpai buah kurma telah diambil sebanyak segenggam tangan penuh. Di hari yang lain ia memasukinya, dan menjumpainya telah diambil sebanyak segenggam tangan penuh pula. Pada hari yang ketiganya ia kembali memasukinya, ternyata telah diambil lagi sebanyak segenggam tangan penuh, sama dengan hari-hari sebelumnya.
Kemudian Abu Hurairah melaporkan hal tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka beliau ﷺ bersabda kepadanya: "Apakah engkau ingin menangkap seterumu itu?" Abu Hurairah menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda, "Apabila kamu membuka pintunya, maka katakanlah, 'Maha Suci Tuhan yang telah menundukkanmu kepada Muhammad'." Maka Abu Hurairah berangkat dan membuka pintu rumah sedekah itu, lalu mengucapkan, "Maha Suci Tuhan yang telah menundukkanmu kepada Muhammad." Dengan tiba-tiba muncul sesosok makhluk di hadapannya, lalu Abu Hurairah berkata, "Wahai musuh Allah, kamukah yang melakukan ini?" Ia menjawab, "Ya, lepaskanlah aku, sungguh aku tidak akan kembali lagi. Tidak sekali-kali aku mengambil ini melainkan untuk ahli bait dari kalangan makhluk jin yang miskin." Maka Abu Hurairah melepaskannya.
Pada hari yang kedua jin itu kembali lagi, begitu pula pada hari yang ketiganya. Abu Hurairah berkata, "Bukankah kamu telah berjanji kepadaku bahwa kamu tidak akan kembali lagi? Aku tidak akan melepaskanmu pada hari ini sebelum aku hadapkan kamu kepada Nabi ﷺ" Jin itu menjawab, "Tolong jangan kamu lakukan itu. Jika kamu melepaskan diriku, aku sungguh-sungguh akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat yang bila kamu ucapkan niscaya tidak ada satu jin pun yang mendekatimu, baik jin kecil maupun jin besar, jin laki-laki maupun jin perempuan." Abu Hurairah bertanya, "Kamu sungguh akan melakukannya?" Jin itu menjawab, "Ya." Abu Hurairah bertanya, "Apakah kalimat-kalimat itu?" Jin itu membacakan ayat Kursi hingga akhir ayat, yaitu: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255), hingga akhir ayat.
Maka Abu Hurairah melepaskannya, lalu jin itu pergi dan tidak kembali lagi. Selanjutnya Abu Hurairah menuturkan hal tersebut kepada Nabi ﷺ. Beliau ﷺ bersabda, "Tidakkah kamu tahu, memang hal tersebut adalah benar seperti apa yang dikatakannya."
Imam An-Nasai meriwayatkan pula dari Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ubaidillah, dari Syu'aib ibnu Harb, dari Ismail ibnu Muslim, dari Abul Mutawakkil, dari Abu Hurairah dengan lafal yang sama. Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan hadits dari Ubay ibnu Ka'b, menceritakan hal yang serupa. Semuanya itu merupakan tiga peristiwa.
Kisah yang lain diriwayatkan oleh Abu Ubaid di dalam Kitabul Garib-nya: telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Abu ‘Ashim As-Saqafi, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Mas'ud, bahwa ada seorang lelaki dari kalangan manusia berangkat, lalu ia bertemu dengan lelaki dari kalangan makhluk jin.
Jin berkata kepadanya, "Maukah engkau berkelahi denganku? Jika kamu dapat mengalahkan aku, aku akan mengajarkan kepadamu suatu ayat yang jika kamu katakan ketika hendak memasuki rumahmu niscaya tidak ada setan yang berani memasukinya." Maka manusia itu berkelahi dengannya, dan ternyata dia dapat mengalahkannya. Lalu si manusia berkata, "Sesungguhnya aku menjumpaimu berbadan kurus lagi kasar, seakan-akan kedua tanganmu seperti tangan (kaki depan) anjing. Apakah memang demikian semua bentuk dan rupa kalian golongan jin, ataukah kamu hanya salah satu dari mereka?" Jin itu menjawab, "Sesungguhnya aku di antara mereka adalah jin yang paling kuat. Sekarang marilah kita bertarung lagi." Maka manusia itu bertarung dengannya dan dapat mengalahkannya. Akhirnya jin itu berkata: “Kamu baca ayat Kursi, karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang membacanya bila hendak memasuki rumahnya, melainkan setan (yang ada di dalamnya) keluar seraya terkentut-kentut, seperti suara keledai.”
Kemudian dikatakan kepada Ibnu Mas'ud, "Apakah yang dimaksud dengan manusia tersebut adalah sahabat Umar?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Siapa lagi orangnya kalau bukan Umar." Abu Ubaid mengatakan bahwa ad-dail artinya bertubuh kurus, dan al-khaikh yang adakalanya juga dibaca al-haih artinya suara kentut.
Hadits lain diriwayatkan dari Abu Hurairah.
Imam Hakim (yaitu Abu Abdullah) telah mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hamsyad, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Hakim ibnu Jubair Al-Asadi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Surat Al-Baqarah di dalamnya terdapat sebuah ayat, yaitu penghulu semua ayat Al-Qur'an. Tidak sekali-kali ia dibaca di dalam sebuah rumah yang ada setannya, melainkan setan itu pasti keluar darinya, yaitu ayat Kursi.”
Hal yang sama diriwayatkan melalui jalur lain, dari Zaidah, dari Hakim ibnu Jubair, lalu Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut Imam Hakim.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Zaidah yang lafal (teks) yang berbunyi seperti berikut: “Segala sesuatu itu mempunyai puncaknya, dan puncak Al-Qur'an ialah surat Al-Baqarah; di dalamnya terdapat sebuah ayat, penghulu semua ayat Al-Qur'an, yaitu ayat Kursi.”
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya kecuali dari hadits Hakim ibnu Jubair. Sedangkan sehubungan dengan Hakim ibnu Jubair ini, Syu'bah meragukannya dan menilainya dha’if. Menurut kami, Hakim ibnu Jubair dinilai dha’if pula oleh Ahmad, Yahya ibnu Mu'in, dan tidak hanya seorang dari kalangan para Imam. Ibnu Mahdi tidak memakai hadisnya, dan As-Sa'di menilainya dusta.
Hadits yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi ibnu Nafi telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Muhammad Al-Al-Bukhari, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Musa (yaitu Ganjar), dari Abdullah ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Uqail, dari Yahya ibnu Ya'mur, dari Ibnu Umar, dari Umar ibnul Khattab, bahwa pada suatu hari ia keluar menemui orang banyak yang saat itu mereka terdiam, lalu Umar bertanya, "Siapakah di antara kalian yang mengetahui ayat Al-Qur'an manakah yang paling agung?" Maka Ibnu Mas'ud menjawab: “Engkau bertanya kepada orang yang tepat, aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ayat Al-Qur'an yang paling agung ialah 'Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)'." (Al-Baqarah: 255)
Hadits lain mengatakan bahwa di dalamnya terdapat asma Allah yang paling agung.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda sehubungan dengan kedua ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255) Dan firman-Nya: “Alif lam Mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Ali Imran: 1-2) Beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di dalam kedua ayat tersebut terdapat asma Allah yang paling agung.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui Musaddad, sedangkan Imam At-Tirmidzi melalui Ali ibnu Khasyram, dan Ibnu Majah melalui Abu Bakar ibnu Abu Syaibah; ketiga-tiganya menceritakan hadits ini dari Isa ibnu Yunus, dari Abdullah ibnu Abu Ziyad dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih. Hadits lain semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari Abu Umamah.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Ala ibnu Zaid, bahwa dia pernah mendengar Al-Qasim ibnu Abdur Rahman menceritakan hadits berikut dari Abu Umamah yang me-rafa'-kannya (kepada Nabi ﷺ), yaitu: “Asma Allah yang paling agung yang apabila dibaca di dalam doa pasti dikabulkan ada dalam tiga tempat, yaitu surat Al-Baqarah, surat Ali Imran, dan surat Thaha.”
Hisyam (yaitu Ibnu Ammar, khatib kota Damaskus) mengatakan, yang di dalam surat Al-Baqarah ialah firman-Nya: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255).
Di dalam surat Ali Imran ialah firman-Nya: “Alif Lam Mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Ali Imran: 1-2)
Dan yang di dalam surat Thaha ialah firman-Nya: “Dan tunduklah semua muka kepada Tuhan Yang Hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya).” (Thaha: 111)
Hadits lain dari Abu Umamah dalam keutamaan membacanya sesudah shalat fardu.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muharriz ibnu Yanawir Al-Adami, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Bisyr di Tartus, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang membaca ayat Kursi sehabis setiap shalat fardu, maka tiada penghalang baginya untuk memasuki surga kecuali mati.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah dari Al-Hasan ibnu Bisyr dengan lafal yang sama. Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan dari hadits Muhammad ibnu Humair (yaitu Al-Himsi, salah seorang Rijal Imam Al-Bukhari), hadits ini dapat dinilai shahih dengan syarat Imam Al-Bukhari. Abul Faraj yakni Ibnul Jauzi menduga bahwa hadits ini maudu'.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Ali dan Al-Mugirah ibnu Syu'bah serta Jabir ibnu Abdullah mirip dengan hadits ini, tetapi di dalam sanad masing-masing terdapat ke-dha’if-an.
Ibnu Mardawaih mengatakan pula: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Ziyad Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Durustuwaih Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah As-Sukari, dari Al-Musanna, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Abu Musa Al-Asy'ari, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Allah mewahyukan kepada Musa ibnu Imran a.s., "Bacalah ayat Kursi pada tiap-tiap sehabis shalat fardu, karena sesungguhnya barang siapa yang membacanya setelah selesai dari tiap shalat fardu, niscaya Aku jadikan baginya kalbu orang-orang yang bersyukur, lisan orang-orang yang berzikir, pahala para nabi dan amal para siddiqin. Dan tidak sekali-kali melestarikan hal tersebut kecuali hanya seorang nabi atau seorang siddiq atau seorang hamba yang Aku uji kalbunya untuk iman atau Aku menghendakinya terbunuh di jalan Allah."
Hadits ini munkar sekali. Hadits lain menyebutkan bahwa ayat Kursi memelihara pembacanya pada permulaan siang hari dan permulaan malam hari.
Abu Isa At-At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah (yaitu Abu Salamah Al-Makhzumi Al-Madini), telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, dari Abdur Rahman Al-Mulaiki, dari Zararah ibnu Mus'ab, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang membaca Ha-Mim surat Al-Mumin sampai kepada firman-Nya, ‘Ilaihil masir,’ dan ayat Kursi di saat pagi hari, maka ia akan dipelihara oleh keduanya hingga petang hari. Dan barang siapa yang membaca keduanya hingga petang hari, maka ia akan dipelihara berkat keduanya hingga pagi hari.”
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib. Sebagian dari kalangan ahlul ilmi meragukan hafalan Abdur Rahman ibnu Abu Bakar ibnu Abu Mulaikah Al-Mulaiki. Sesungguhnya banyak hadits lain yang menceritakan keutamaan ayat Kursi ini, sengaja tidak kami ketengahkan untuk meringkas, mengingat predikatnya tidak ada yang shahih lagi sanadnya dha’if, seperti hadits Ali yang menganjurkan membacanya di saat hendak ber-hijamah (berbekam).
Disebutkan bahwa membaca ayat Kursi di saat hendak berhijamah sama kedudukannya dengan melakukan hijamah dua kali. Dan hadits Abu Hurairah yang menceritakan perihal menulis ayat Kursi pada telapak tangan kiri dengan memakai minyak za'faran sebanyak tujuh kali, lalu dijilat yang faedahnya untuk menguatkan hafalan dan tidak akan lupa pada hafalannya. Kedua hadits tersebut diketengahkan oleh Ibnu Mardawaih, juga hadits-hadits yang lain mengenainya.
Ayat Kursi Mengandung Sepuluh Kalimat yang Menyendiri.
Firman Allah ﷻ: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia.” (Al-Baqarah: 255)
Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Esa bagi semua makhluk.
“Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255)
Yakni Dia adalah Zat Yang Hidup kekal, tidak mati selama-lamanya, lagi terus-menerus mengurus selain-Nya. Sahabat Umar membacanya qiyamun dengan pengertian bahwa semua makhluk berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya dari semua makhluk. Dengan kata lain, segala sesuatu tidak akan berujud tanpa perintah dari-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya.” (Ar-Rum: 25)
Adapun firman Allah ﷻ: “Tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah: 255)
Artinya, Dia tidak pernah terkena kekurangan, tidak lupa, tidak pula lalai terhadap makhluk-Nya. Bahkan Dia mengurus semua jiwa berikut amal perbuatannya, lagi menyaksikan segala sesuatu. Tiada sesuatu pun yang gaib (tidak diketahui) oleh-Nya, tiada suatu perkara yang samar pun yang tidak diketahui-Nya. Di antara kesempurnaan sifat Qayyum-Nya ialah Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah pula tidur. Lafal la ta-khuzuhu artinya tidak pernah terkena; sinatun, artinya mengantuk, yaitu pendahuluan dari tidur. Wala naum, dan tidak pula tidur, lafal ini disebutkan karena pengertiannya lebih kuat daripada yang pertama.
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan dari Abu Musa: Rasulullah ﷺ berdiri di antara kami, lalu mengucapkan empat kalimat berikut, yaitu: "Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur. Dia merendahkan dan mengangkat timbangan (amal perbuatan); dilaporkan kepada-Nya semua amal perbuatan siang hari sebelum amal perbuatan malam hari; dan amal perbuatan malam hari sebelum amal perbuatan siang hari. Hijab (penghalang)-Nya adalah nur atau api. Seandainya Dia membuka hijab-Nya, niscaya Kesucian Zat-Nya akan membakar semua makhluk sejauh pandangan-Nya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepadaku Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah maula Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah: 255) Bahwa Musa a.s. pernah bertanya kepada para malaikat, "Apakah Allah ﷻ pernah tidur?" Maka Allah mewahyukan kepada para malaikat dan memerintahkan mereka untuk membuat Musa mengantuk selama tiga hari, dan mereka tidak boleh membiarkannya terjaga. Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan itu. Mereka memberi dua buah botol kepada Musa supaya dipegang, lalu mereka meninggalkannya. Sebelum itu mereka mewanti-wanti kepada Musa agar hati-hati terhadap kedua botol tersebut, jangan sampai pecah. Maka Musa mulai mengantuk, sementara kedua botol itu dipegang oleh masing-masing tangannya.
Kemudian Musa mengantuk dan sadar, dan mengantuk serta sadar. Akhirnya ia mengantuk selama beberapa saat, lalu salah satu dari kedua botol itu beradu dengan yang lainnya hingga pecah. Ma'mar mengatakan, sesungguhnya apa yang disebutkan oleh kisah di atas merupakan misal (perumpamaan) yang dibuat oleh Allah ﷻ. Ma'mar 'mengatakan bahwa demikian pula halnya langit dan bumi di tangan kekuasaan-Nya (seandainya Dia mengantuk, niscaya keduanya akan hancur berantakan).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Hasan ibnu Yahya, dari Abdur Razzaq yang mengetengahkan kisah ini.
Pada kenyataannya kisah ini merupakan salah satu dari berita kaum Bani Israil, yang kesimpulannya menyatakan bahwa hal seperti ini termasuk salah satu hal yang diajarkan kepada Musa untuk mengetahui bahwa Allah ﷻ itu tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dan bahwa Dia Maha Suci dari hal tersebut.
Hal yang lebih gharib (aneh) lagi daripada kisah di atas ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Abu Israil, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Umayyah ibnu Syibl, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ yang ada di atas mimbarnya mengisahkan kejadian yang dialami oleh Musa a.s.: “Timbul pertanyaan di dalam hati Nabi Musa, apakah Allah tidur? Maka Allah mengutus malaikat kepadanya dan Musa dibuatnya mengantuk selama tiga hari. Sebelumnya malaikat itu memberikan dua buah botol kepadanya, pada masing-masing tangan satu botol; dan memerintahkan kepadanya agar kedua botol itu dijaga (jangan sampai pecah). Lalu Musa tertidur dan kedua tangannya hampir saja bertemu satu sama lainnya, tetapi ia keburu bangun, lalu ia menahan keduanya supaya jangan beradu dengan yang lainnya. Akhirnya Musa tertidur sejenak dan kedua tangannya beradu hingga kedua botol itu pecah.”
Nabi ﷺ bersabda, "Allah ﷻ membuat suatu perumpamaan; seandainya Allah tidur, niscaya langit dan bumi tidak dapat dipegang-Nya."
Hadits ini gharib sekali, yang jelas hadits ini adalah kisah israiliyat, tidak marfu' (sampai kepada Nabi ﷺ).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dustuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Bani Israil pernah bertanya, "Wahai Musa, apakah Tuhanmu tidur?" Musa menjawab, "Bertakwalah kalian kepada Allah." Maka Tuhan berseru kepadanya, "Wahai Musa, mereka menanyakan kepadamu, apakah Tuhanmu tidur? Maka ambillah dua buah botol, lalu peganglah pada kedua tanganmu dan janganlah kamu tidur pada malam harinya." Musa melakukan hal itu.
Ketika sepertiga malam hari lewat, Musa merasa mengantuk hingga ia jatuh terduduk, tetapi ia terbangun, lalu dengan segera ia membetulkan letak kedua botol itu. Tetapi ketika malam hari berada pada penghujungnya, Musa mengantuk dan kedua botol itu jatuh, lalu pecah. Maka Allah ﷻ berfirman, "Wahai Musa, seandainya Aku mengantuk, niscaya terjatuhlah langit dan bumi dan hancur berantakan, sebagaimana kedua botol yang ada pada kedua tanganmu itu terjatuh." Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat Kursi ini kepada Nabi-Nya ﷺ.
Firman Allah ﷻ: “Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.” (Al-Baqarah: 255)
Ayat ini memberitakan bahwa semuanya adalah hamba-hamba-Nya, berada dalam kekuasaan-Nya dan di bawah pengaturan dan pemerintahan-Nya.
Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 93-95)
Adapun firman Allah ﷻ: “Tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya melainkan dengan seizin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Makna ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan berapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-(Nya).” (An-Najm: 26) Sama pula dengan firman-Nya: “Dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah.” (Al-Anbiya: 28) Demikian itu karena keagungan dan kebesaran serta ketinggian-Nya, hingga tidak ada seorang pun yang berani memberikan syafaat kepada seseorang di sisi-Nya melainkan dengan izin dari-Nya.
Seperti hal yang disebutkan di dalam hadits mengenai syafaat, yaitu: Aku datang ke bawah Arasy, lalu aku menyungkur bersujud, dan Allah membiarkan diriku dalam keadaan demikian selama yang dikehendaki-Nya. Kemudian Dia berfirman, "Angkatlah kepalamu dan katakanlah (apa yang engkau kehendaki), niscaya kamu didengar; dan mintalah syafaat, niscaya kamu diberi izin untuk memberi syafaat." Nabi ﷺ melanjutkan kisahnya, "Kemudian Allah memberikan suatu batasan kepadaku, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga."
Firman Allah ﷻ: “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.” (Al-Baqarah: 255)
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pengetahuan Allah meliputi semua yang ada, baik masa lalu, masa sekarang, maupun masa depannya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung dalam ayat lain yang mengisahkan malaikat: “Dan tidaklah kami (Jibril) turun kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Maryam: 64)
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Yakni tidak ada seorang pun yang mengetahui sesuatu dari ilmu Allah kecuali sebatas apa yang Allah beri tahukan kepadanya dan apa yang diperlihatkan kepadanya.
Akan tetapi, makna ayat ini dapat ditafsirkan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka tidak dapat mengetahui sesuatu pun mengenai pengetahuan tentang Zat dan sifat-sifat-Nya melainkan hanya sebatas apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 110) “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 255)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Mutarrif, dari Tarif, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan 'Kursi-Nya' ialah ilmu-Nya. Hal yang sama telah diriwayatkan Ibnu Jarir melalui hadits Abdullah ibnu Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutarrif ibnu Tarif dengan lafal yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair hal yang serupa. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Yang dimaksud dengan Kursi ialah tempat kedua telapak kaki (kekuasaan-Nya)."
Kemudian ia meriwayatkannya dari Abu Musa, As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan Muslim Al-Batin.
Syuja' ibnu Makhlad mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Sufyan, dari Ammar Az-Zahabi, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 255) Maka beliau ﷺ menjawab: “Kursi Allah ialah tempat kedua telapak kaki (kekuasaan-Nya), sedangkan Arasy tiada yang dapat menaksir luasnya kecuali hanya Allah ﷻ sendiri.”
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Syuja' ibnu Makhlad Al-Fallas yang menceritakan hadits ini, tetapi ke-marfu'-an hadits ini adalah suatu kekeliruan. Karena Waki' meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ammar Az-Zahabi, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Kursi adalah tempat kedua telapak kaki (kekuasaan)-Nya; dan Arasy, tidak ada seorang pun yang dapat menaksir luasnya.
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abul Abbas (yaitu Muhammad ibnu Ahmad Al-Mahbubi), dari Muhammad ibnu Mu'az, dari Abu ‘Ashim, dari Sufyan (yaitu Ats-Tsauri) berikut sanadnya, dari Ibnu Abbas, tetapi mauquf sampai kepada Ibnu Abbas saja (dan tidak marfu' sampai kepada Nabi ﷺ). Selanjutnya Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkan atsar ini. Ibnu Mardawaih meriwayakan pula melalui jalur Al-Hakim ibnu Zahir Al-Fazzari Al-Kufi yang dikenal hadisnya tak terpakai, dari As-Suddi, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu', tetapi tidak shahih predikatnya.
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik bahwa Kursi terletak di bawah Arasy. As-Suddi sendiri mengatakan bahwa langit dan bumi berada di dalam Kursi, sedangkan Kursi berada di hadapan Arasy. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Seandainya langit dan bumi yang masing-masingnya terdiri atas tujuh lapis dihamparkan, kemudian satu sama lainnya disambungkan, maka semuanya itu bukan apa-apa bila dibandingkan dengan luasnya Kursi, melainkan hanya seperti suatu halqah (sekerumunan manusia) yang berada di tengah-tengah padang pasir." Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, bahwa Ibnu Zaid pernah mengatakan, ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tiadalah langit yang tujuh (bila) diletakkan di dalam Kursi, melainkan seperti tujuh keping uang dirham yang dilemparkan di atas sebuah tameng.”
Disebutkan pula, Abu Dzar pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tiadalah Kursi itu (bila) diletakkan di dalam Arasy melainkan seperti sebuah halqah (lingkaran) besi yang dilemparkan di tengah-tengah sebuah padang pasir dari bumi.”
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wuhaib Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abul Yusri Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah At-Tamimi, dari Al-Qasim ibnu Muhammad As-Saqafi, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Dzar Al-Gifari, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang Kursi.
Maka beliau ﷺ bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiadalah langit yang tujuh dan bumi yang tujuh lapis bila diletakkan pada Kursi melainkan seperti sebuah lingkaran (besi) yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir. Dan sesungguhnya keutamaan Arasy atas Kursi sama dengan keutamaan padang pasir atas lingkaran itu.”
Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli telah mengatakan di dalam kitab Musnad-nya: Telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abdullah ibnu Khalifah, dari Umar yang menceritakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Doakanlah kepada Allah, semoga Dia memasukkan diriku ke dalam surga." Sahabat Umar melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi ﷺ menyebutkan asma Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi, lalu bersabda: “Sesungguhnya Kursi Allah meliputi semua langit dan bumi, dan sesungguhnya Kursi Allah mengeluarkan suara seperti suara pelana besi karena beratnya.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafidzh Al-Bazzar di dalam kitab Musnad-nya yang terkenal, juga Abdu Humaid serta Ibnu Jarir di dalam kitab tafsir masing-masing, Imam Ath-Thabarani dan Ibnu Abu ‘Ashim di dalam kitab sunnah masing-masing; Al-Hafidzh Ad-Diya di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mukhtar melalui hadits Ishaq As-Subai'i, dari Abdullah ibnu Khalifah. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjamin hadits ini menjadi masyhur, sedangkan mengenai mendengarnya Abdullah ibnu Khalifah dari sahabat Umar masih perlu dipertimbangkan.
Kemudian di antara mereka ada orang yang meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Khalifah, dari Umar secara mauquf (hanya sampai pada dia). Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Khalifah secara mursal. Ada yang menambahkan pada matannya dengan tambahan yang gharib (aneh), dan ada pula yang membuangnya. Hal yang lebih aneh daripada kisah di atas ialah hadits yang diceritakan oleh Jabir ibnu Mut'im mengenai sifat (gambaran) Arasy, seperti hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud di dalam kitab sunnahnya. Ibnu Mardawaih dan lain-lainnya meriwayatkan banyak hadits dari Buraidah, Jabir, dan selain keduanya yang isinya mengisahkan bahwa kelak di hari kiamat Kursi akan diletakkan untuk menyelesaikan masalah peradilan. Tetapi menurut makna lahiriahnya, hal tersebut tidak disebut di dalam ayat ini (Al-Baqarah: 255).
Sebagian ahli ilmu filsafat mengenai astrologi dari kalangan orang-orang Islam mengatakan bahwa Kursi menurut mereka adalah falak yang jumlahnya ada delapan, yaitu falak yang bersifat tetap; di atasnya terdapat falak lain yang kesembilan, yaitu falak asir yang dikenal dengan sebutan atlas. Akan tetapi, pendapat mereka di-sanggah oleh golongan yang lain.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Juwaibir, dari Al-Hasan Al-Basri, ia pernah mengatakan bahwa Kursi adalah Arasy. Tetapi menurut pendapat yang benar, Kursi itu lain dengan Arasy; Arasy jauh lebih besar daripada Kursi, seperti yang ditunjukkan oleh banyak atsar dan hadits. Dalam hal ini Ibnu Jarir berpegang kepada hadits Abdullah ibnu Khalifah, dari Umar. Menurut kami, kesahihan atsar tersebut masih perlu dipertimbangkan.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.” (Al-Baqarah: 255)
Maksudnya, tidak memberatkan-Nya dan tidak mengganggu-Nya sama sekali memelihara langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya, bahkan hal tersebut mudah dan sangat ringan bagi-Nya. Dialah yang mengatur semua jiwa beserta semua apa yang diperbuatnya, Dialah yang mengawasi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang terhalang dari-Nya, dan tiada sesuatu pun yang gaib bagi-Nya.
Segala sesuatu seluruhnya hina di hadapan-Nya dalam keadaan tunduk dan patuh bila dibandingkan dengan-Nya, lagi berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, Maha melakukan semua yang dikehendaki-Nya, tidak dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan-Nya, sedangkan mereka dimintai pertanggungjawaban. Dia Maha Menang atas segala sesuatu, Maha Menghitung atas segala sesuatu, Maha Mengawasi (Waspada), Maha Agung. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Firman-Nya: “Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)
Sama maknanya dengan firman-Nya: “Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (Ar-Ra'd: 9) Cara memahami ayat-ayat ini dan hadits-hadits shahih yang semakna dengannya lebih baik memakai metode yang dilakukan oleh ulama Salaf yang saleh dan dianjurkan oleh mereka, yaitu tidak serupa dan tidak mirip dengan apa yang digambarkan dalam teksnya.
Allah; tidak ada tuhan yang pantas disembah dan dipertuhan selain Dia. Yang Mahahidup, kekal, dan memiliki semua makna kehidupan yang sempurna, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya. Tidak seperti manusia, Dia tidak mengantuk dan tidak pula tidur, sebab keduanya adalah sifat kekurangan yang membuat-Nya tidak mampu mengurus makhluk-Nya. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia Yang menciptakan, memelihara, memiliki, dan bertindak terhadap semua itu. Tidak ada yang dapat memberi syafaat pertolongan di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia demikian perkasa dan kuasa sehingga berbicara di hadapan-Nya pun harus setelah memperolah restu-Nya, bahkan apa yang disampaikan itu harus sesuatu yang benar. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka, yakni apa saja yang sedang dan akan terjadi, dan apa yang di belakang mereka, yakni sesuatu yang telah berlalu. Allah mengetahui apa yang mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa kini, masa lampau, atau masa depan. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki untuk mereka ketahui dengan memperlihatkan dan memberitahukannya. Kursi-Nya, yaitu kekuasaan, ilmu, atau kursi tempat kedua kaki Tuhan (yang tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah) berpijak, sangat luas, meliputi langit dan bumi. Dan jangan menduga karena kursi-Nya terlalu luas, Dia letih mengurus itu semua. Tidak! Dia tidak merasa berat maupun kesulitan memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi zat dan sifat-sifat-Nya jika dibanding makhluk-makhlukNya, Mahabesar dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya. Inilah Ayat Kursi, ayat teragung dalam Al-Qur'an karena mencakup namanama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan kesempurnaan zat, ilmu, kekuasaan, dan keagungan-Nya. Ayat ini dinamakan Ayat Kursi. Siapa yang membacanya akan memperoleh perlindungan Allah dan tidak akan diganggu setan. Meski memiliki kekuasaan yang sangat luas, Allah tidak memaksa seseorang untuk mengikuti ajaran-Nya. Tidak ada paksaan terhadap seseorang dalam menganut agama Islam. Mengapa harus ada paksaan, padahal sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Oleh karena itu, janganlah kamu menggunakan paksaan apalagi kekerasan dalam berdakwah. Ajaklah manusia ke jalan Allah dengan cara yang terbaik. Barang siapa ingkar kepada Tagut, yaitu setan dan apa saja yang dipertuhankan selain Allah, dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang teguh pada ajaran agama yang benar sehingga tidak akan terjerumus dalam kesesatan, sama halnya dengan orang yang berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus sehingga dia tidak akan terjatuh. Agama yang benar ibarat tali yang kuat dan terjulur menuju Allah, dan di situ terdapat sebab-sebab yang menyelamatkan manusia dari murka-Nya. Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan oleh hamba-Nya, Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan mereka, sehingga semua itu akan mendapat balasannya di hari kiamat.
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, dan hanya Dia yang berhak untuk disembah. Adapun tuhan-tuhan yang lain yang disembah oleh sebagian manusia dengan alasan yang tidak benar, memang banyak jumlahnya. Akan tetapi Tuhan yang sebenarnya hanyalah Allah. Hanya Dialah Yang hidup abadi, yang ada dengan sendiri-Nya, dan Dia pulalah yang selalu mengatur makhluk-Nya tanpa ada kelalaian sedikit pun.
Kemudian ditegaskan lagi bahwa Allah tidak pernah mengantuk. Orang yang berada dalam keadaan mengantuk tentu hilang kesadarannya, sehingga dia tidak akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik, padahal Allah ﷻ senantiasa mengurus dan memelihara makhluk-Nya dengan baik, tidak pernah kehilangan kesadaran atau pun lalai.
Karena Allah tidak pernah mengantuk, sudah tentu Dia tidak pernah tidur, karena mengantuk adalah permulaan dari proses tidur. Orang yang tidur lebih banyak kehilangan kesadaran daripada orang yang mengantuk.
Sifat Allah yang lain yang disebutkan dalam ayat ini ialah bahwa Dialah yang mempunyai kekuasaan dan yang memiliki apa yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tak terbatas, sehingga Dia dapat berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya ada dalam kekuasaan-Nya, sehingga tidak ada satu pun dari makhluk-Nya termasuk para nabi dan para malaikat yang dapat memberikan pertolongan kecuali dengan izin-Nya, apalagi patung-patung yang oleh orang-orang kafir dianggap sebagai penolong mereka.
Yang dimaksud dengan "pertolongan" atau "syafaat" dalam ayat ini ialah pertolongan yang diberikan oleh para malaikat, nabi dan orang-orang saleh kepada umat manusia pada hari kiamat untuk mendapatkan keringanan atau kebebasan dari hukuman Allah. Syafaat itu akan terjadi atas izin Allah. Dalam hadis disebutkan :
Nabi ﷺ bersabda, "?Kemudian Allah berfirman, "Para Malaikat memberikan syafaat, para Nabi memberikan syafaat, dan orang-orang mukmin juga memberikan syafaat. (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri)
Sifat Allah yang lain yang disebutkan dalam ayat ini ialah: bahwa Allah senantiasa mengetahui apa saja yang terjadi di hadapan dan di belakang makhluk-Nya, sedang mereka tidak mengetahui sesuatu pun dari ilmu Allah, melainkan sekadar apa yang dikehendaki-Nya untuk mereka ketahui. Kursi Allah mencakup langit dan bumi. Allah tidak merasa berat sedikit pun dalam memelihara makhluk-Nya yang berada di langit dan di bumi, dan di semua alam ciptaan-Nya. Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Mereka tidak mengetahui ilmu Allah, kecuali apa yang telah dikehendaki-Nya untuk mereka ketahui. Dengan demikian, yang dapat diketahui oleh manusia hanyalah sekadar apa yang dapat dijangkau oleh pengetahuan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, dan jumlahnya amat sedikit dibanding dengan ilmu-Nya yang luas. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
"? Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit." (al-Isra'/17:85)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AYAT KURSI
Ayat 255
Pada ayat-ayat yang sebelumnya kita telah diberi pengertian yang dalam sekali tentang perjuangan hidup. Ketika membicarakan Bani Israil mencari raja lama sesudah Nabi Musa meninggal, demikian juga sesudah Dawud menang berhadapan dengan Jalut, kita telah diberi pengertian bahwa Allah memberi kekuatan kepada yang lemah untuk mempertahankan diri dari tindasan yang lebih kuat. Di ayat berikutnya diterangkan pula bahwa Allah telah menakdirkan manusia berselisih dan bertengkar. Akan tetapi, kita pun telah diberi tahu bahwasanya inti jiwa manusia selalu ingin kepada kebenaran, tidak suka kepada yang mudharat, dan suka kepada yang manfaat. Bertambah dipelajari keadaan manusia, bertambah kita tafakur akan kekuasaan Allah. Niscaya timbullah pertanyaan: siapa Tuhan? Tuhan itu ialah: ALLAH. Tidak ada TUHAN melainkan DIA!
Apa arti Tuhan? Tuhan ialah yang menurut naluri manusia wajib dipuji dipuja, disembah disanjung. Tuhan itu ialah Kekuasaan Tertinggi yang mutlak yang diakui ADA-Nya oleh akal manusia yang sehat. Dia tidak dapat ditangkap oleh pancaindra dan tidak terlihat oleh mata, tetapi akal murni manusia mengakui akan adanya Kekuasaan Tertinggi itu. Bekas per-buatan-Nya inilah yang membuktikan bahwa Dia ada. Bertambah mendalam pengetahuan dalam segala segi, bertambah jelas adanya peraturan dalam alam ini. Akal manusia membuktikan adanya akal raya, akal agung. Kecil rasanya manusia di hadapan akal yang agung itu, sehingga akhirnya ahli filsafat keagamaan sampai kepada kesimpulan akal (logika) bahwa yang ada itu ialah ilmu maka ilmu adalah salah satu dari sifat-Nya atau nama-Nya.
Maka, terdapatlah di dalam yang diada-kan-Nya itu hidup. Maka, timbullah kesan bahwasanya segala yang hidup ini, baik manusia dengan akalnya, nabatat (tumbuh-tumbuhan) dengan kesuburannya, maupun haya-wanat (binatang-binatang) dengan nalurinya, semuanya itu hidup, pasti diberi hidup oleh yang sebenar hidup.
Dalam akal mencari-cari itu datanglah tuntunan ayat ini: yang ada itulah Allah! Tidak Tuhan, artinya tidak ada yang patut dipuja, disembah, dimuliakan, melainkan Dia sebab tidak ada yang berkuasa seperti Dia."Yang Hidup, yang berdiri sendiri-Nya." Mustahil berarti tidak serupa dalam akal bahwa segala yang didapati hidup ini adalah hidup dengan sendirinya, atau dia hidup, tetapi hidupnya itu berasal dari tidak apa-apa atau bersumber dari yang mati.
Boleh untuk mengetahui ini kita pinjam perkataan Socrates, “Kenalilah dirimu!" Dan boleh kita meminjam perkataan pelopor ahli filsafat modern Descartes, “Aku berpikir, sebab itu aku ada!" Dan boleh kita lanjutkan kepada kata ahli agama, “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya kenallah dia akan Tuhannya."
Kita hidup dan alam sekeliling kelihatan hidup. Niscaya hidup yang ada ini adalah bersumber dari hidup yang sebenar hidup. Allah itulah yang hidup. Atau boleh diteruskan: Allah itulah hidup. Dia berdiri sendiri-Nya, artinya Dia tidak bersekutu dengan yang lain sebab persekutuan adalah alamat dari kelemahan. Kedua atau ketiga yang bersekutu. Makanya, bersekutu ialah apabila kedua atau ketiganya lemah berdiri sendiri-sendiri. Maka, yang sanggup berdiri sendiri itulah dia yang Allah.
Kita ini hidup. Kesadaran kita akan adanya diri kitalah yang menunjukkan bahwa kita hidup. Kemudian kita coba menoleh kepada alam yang ada di sekeliling kita, kepada tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, pada berbagai buah-buahan dan berbagai rasanya, ada mangga, ada rambutan, ada durian, ada jeruk berbagai ragam. Semuanya tumbuh dalam setumpak tanah. Tanah yang diisapnya tempatnya hidup, tanah yang itu juga. Air hujan yang turun pun air hujan yang itu juga, bahkan angin yang berembus sepoi-sepoi pun yang itu juga. Mengapa semuanya itu jadi hidup dan masing-masing membawa rasa sendiri-sendiri serta warna sendiri-sendiri. Mengapa jeruk yang asam-pahit berdekat tumbuh dengan nenas yang manis? Kadang-kadang buah yang masih mengkal bercampur dan bertambah masak dan ranum menjadi manis rasanya. Apakah semuanya itu terjadi atas kehendak hidup dari tumbuh-tumbuhan itu sendiri, hasil permusyawaratan mereka? Niscaya mustahil!
Kita lihat ikan yang hidup di air tawar (ikan darat) dan yang hidup di air asin (ikan laut). Kita pindahkan ke dalam aquarium, kita lihat pagi dan petang; alangkah tenteram ikan-ikan itu hidup di dalam air, padahal kita sendiri tidak sanggup pindah buat hidup di dalam air itu. Para ahli dapat mengatakan bahwa karena adanya insang pada ikan, ikan pun sanggup hidup dalam air, tidak sanggup hidup di darat. Mengapa para ahli itu tidak membuatkan insang kepada manusia sehingga manusia dapat hidup di dalam air karena bumi itu sudah terlalu sempit buat tempat berkelahi?
Ikan yang hidup di dalam air asin sekali-kali tidaklah pernah asin. Setelah ikan itu mati, barulah dia dapat dijadikan ikan asin. Namun, selama dia masih hidup di dalam air yang sangat asin, dia sendiri selamanya tidak akan asin.
Seorang penyelidik kuman, duduk dengan tekun di hadapan mikroskopnya, melihat dan meneropong seekor tungau atau tuma atau kutu. Ternyata tungau, tuma, dan kutu yang amat kecil itu, setelah dibesarkan dengan mikroskop, rupanya mempunyai hati dan jantung juga, mempunyai mata dan telinga juga, dan bentuk bikinannya tidak kurang dahsyatnya dengan alat-alat yang terdapat pada gajah.
Orang telah mempelajari ilmu hayat di dalam satu universitas atau fakultas yang khusus mempelajari itu. Orang hanya dapat mengetahui serba serbi keganjilan hidup pada segala yang hidup itu. Akan tetapi, di belakang pengetahuan tentang keadaan hidup, orang belumlah dapat memecahkan apakah hakikat hidup dan dari mana datangnya hidup. Orang akan sampai kepada satu pertanyaan: segala keganjilan hidup yang terdapat itu mungkinkah terjadi dengan sendirinya? Apakah ada asal-usulnya? Kalau ada asal-usul hidup, mungkinkah asal-usul itu mati? Artinya, mungkinkah timbul yang hidup dari yang mati? Tentu tidak mungkin.
Di sinilah permulaan sampainya pikiran kepada al-Hayyu, kepada hidup yang sebenarnya hidup. Dialah sumber segala kehidupan yang sebenarnya, Dialah Tuhan, Dialah Allah. Tidak ada yang sebenarnya hidup, melainkan Dia. Ini karena segala yang kelihatan hidup ini bersumber dari hidup itu dan kembali ke dalam hidup itu. Maka, hidup yang sebenarnya hidup itu tidaklah pernah merasai mati. Dia hidup terus.
Al-Qayyum berarti yang berdiri sendirinya, tidak bersandar atau bergantung kepada yang lain, sebab yang lain seluruhnya adalah makhluk-Nya. Yang lain ini ada juga, tetapi karena Dia yang menghidupkan. Yang lain hanya bisa berdiri karena Dia yang mendirikan.
Berkata Mujahid, “Al-Qayyum ialah yang berdiri sendiri-sendirinya, sedangkan yang lain adalah bergantung kepada-Nya."
Berkata ar-Rabi, “Al-Qayyum ialah bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu, Dia yang memberinya rezeki, dan Dia yang memelihara."
Berkata Qatadah, “Al-Qayyum berarti memberi ukuran kekuatannya dan rezekinya."
Berkata Ibnul Arabi, “Al-Qayyum berarti Pengatur."
Pendeknya, al-Qayyum ialah yang mutlak berdiri sendiri, tidak bergantung kepada yang lain. Dia yang menegakkan segala yang ada ini, sehingga tidak terupa pada akal adanya sesuatu atau tetap adanya kecuali dengan Dia.
Lantaran itu, sifat Allah Al-Qayyum itu disebut sebagai salah satu rangkaian Ism Allah al-A'zham.
“Dia tidak dihampiri oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur" Hidup yang sejati itu, yaitu Allah, tidaklah masuk pada akal kalau Dia pernah mengantuk. Yang mengantuk itu hanya manusia dan binatang yang lain karena lelah dan payah. Oleh karena beratnya pekerjaan sehari-hari, urat saraf menjadi lesu, mesti ditidurkan terlebih dahulu, barulah badan segar kembali setelah bangun dari tidur. Memanglah demikian manusia ataupun makhluk melata di atas bumi ini; ada masa giat dan gesit, ada masa payah dan lelah. Maka, tidak terupa pada akal kalau Allah yang hidup mengenal kantuk dan payah, sebab adanya Allah bukanlah terdiri atas darah dan daging serta urat-urat saraf. Kalau Dia mengantuk dan tidur, samalah keadaannya dengan makhluk yang Dia jadikan. Apatah lagi sementara manusia ditimpa kantuk dan tidur, niscaya pekerjaan manusia terbengkalai. Tidak dapat diteruskannya selama dia mengantuk dan tidur. Ingatannya menjadi hilang, dia tidak tahu diri. Mungkinkah Pengatur Mahatinggi dari alam, sumber dari segala kehidupan, terbengkalai pekerjaannya? Matahari selalu beredar, tidak terlambat walaupun seperempat detik dia tiba pada ukurannya yang ditentukan pada waktunya yang tepat. Bumi pun mengedari matahari sehingga terjadi siang dan malam.
Tidaklah terkhayat dalam pikiran bahwa Maha Pen-tadbir itu pernah terkantuk atau tertidur. Dia lebih Mahabesar daripada hanya peredaran siang dan malam, yang pada siang kita bekerja keras dan pada malam kita mengaso istirahat. Alam cakrawala, langit tujuh tingkat, dan bintang-gemintang, termasuk bumi ini adalah lebih besar, mahabesar daripada hanya peredaran siang dan malam, yang bila matahari telah turun ke barat badan mulai letih dan minta istirahat.
Bagaimana Dia akan mengantuk ataupun tidur, padahal “kepunyactn-Nyalah apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi". Maka, sangatlah tidak masuk dalam akal kalau Yang Mahakuasa atas segala sesuatu yang ada di semua langit dan di bumi itu akan mengantuk dan tertidur. Sebab, bagaimana pun gagah perkasanya manusia, tetapi di saat dia mengantuk ataupun tertidur adalah saat yang benar-benar menunjukkan kelemahan dan tidak berkuasanya. Maka, sifat kekurangan yang demikian adalah mustahil, artinya tidak masuk akal jika dipikirkan pada Yang Mahakuasa atas segala sesuatu itu.
“Siapa yang akan memohonkan syafaat di sisi-Nya, kalau bukan dengan izin-Nyai" Ini menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak, sehingga pemberian ampun atau karunia yang akan Dia berikan kepada hamba-Nya yang terlalai ataupun lengah tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebab, tidak ada orang lain yang boleh disebut lain, sebab semua adalah hamba-Nya. Kalau dalam ayat ini Dia menyebutkan “kecuali dengan izin-Nya", bukanlah maksudnya ada orang lain yang akan diberi-Nya izin, ini hanya untuk menjelaskan mutlak-Nya kekuasaan saja.
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka." Hanya Dia yang mengetahui apa yang di hadapan kita meskipun kita bermata untuk melihat apa yang di hadapan kita maka banyak-lah yang kelindungan yang tidak terlihat oleh mata. Meskipun dia mempunyai akal dan perhitungan, tetapi perhitungan kita untuk menghitung zaman depan kita, tidaklah selalu tepat. Lebih banyak yang tidak tepat daripada yang tepat. Demikian pula yang ada di belakang kita, baik yang di belakangi oleh badan kita maupun masa lampau yang telah kita tinggalkan. Sedang Allah mengetahui itu semuanya; kadang-kadang seakan-akan tersenyum-senyumlah Tuhan menertawakan kita ketika kita mengelak-elak dari sesuatu yang kita sangka berbahaya, padahal kita tidak melihat bahwa bahaya itu sudah berdiri dekat sekali dengan kita. Sebab itu, Allah berfirman selanjutnya, “Sedang mereka tidaklah meliputi sesuatu jua pun dari ilmu-Nya." Kadang-kadang hanya secubit kecil kita diberi-Nya ilmu, dan oleh karena diberi-Nya pengetahuan tentang yang secubit kecil itu, waktu kita pun tidak ada tersedia lagi buat mengetahui yang lain. Bertambah orangmenjadi spesialis dalam satu ilmu, bertambahlah bingungnya menghadapi ilmu yang lain."Kecuali apa yang Dia kehendaki" Artinya, apa yang Dia kehendaki buat diberikan sajalah yang diberikan kepada kita manusia, serba sedikit. Ini karena kalau sudah agak banyak, otak kita bisa pecah tidak dapat memikulnya. Sebab, “meliputi pengetahuan-Nya akan semua langit dan bumi", yang dapat kita ketahui hanyalah serba sedikit daripada pengetahuan Allah yang ada di bumi. Waktu yang dimiliki manusia tidak cukup untuk pergi menyelidiki ilmu Allah yang ada di semua langit. Kalau manusia mencoba-coba mendekati matahari, belum sampai ke sana, masih di tengah jalan, dia akan hangus oleh panas sinar matahari itu. Yang paling dekat dari bumi hanya satu bintang satelit bumi yang bernama bulan. Waktu Tafsir ini dibuat, manusia sedang berusaha mempersiapkan perkakas buat sampai ke sana, moga-moga Allah memberi izin manusia sampai ke bulan. Bukan untuk membuktikan manusia berkuasa sebab bulan hanyalah satu bintang kecil, pengiring bumi yang paling dekat kepada kita saja. Padahal di samping matahari kita ini, ada lagi berjuta matahari dan di samping bumi kita ada lagi berjuta-juta bintang lagi. Semuanya itu hanya untuk meyakinkan bahwa memang ada Yang Mahakuasa."Dan tidaklah membera ti-Nya memelihara keduanya." Kekuasaan mutlak kepunyaan Allah yang mengatur seluruh alam itu niscaya tidak merasa keberatan atau penat dan lelah mengatur seluruh langit dan bumi. Sebab, keberatan dan penat hanya terdapat pada makhluk, mustahil pada Allah yang tidak mengenal masa kecil ataupun masa tua, yang meliputi segala ruang dan meliputi segala waktu.
“Dan Dia adalah Mahatinggi, lagi Mahaagung."
Mahatinggilah Allah dari perumpamaan. Kekuasaan-Nyayang meliputi langit dan bumi, demikian tinggi dan agungnya, sehingga terasa oleh tiap-tiap orang yang berpengetahuan tentang alam dalam serba-serbi cabangnya. Dan, ilmu hayat dalam segala seginya dan ilmu tubuh manusia (anatomi) dengan segala keajaibannya.
Maka, kalau banyak kita dengar keterangan dari ahli-ahli agama bahwa kita selalu dianjurkan membaca ayat ini, yang dikenal dengan nama “Ayatul Kursi", dapatlah kita memahami bahwa maksudnya ialah untuk menambah khusyu kita kepada Allah dan untuk menambah kita berusaha beribadah dengan langsung menghadapkan jiwa raga kepada-Nya, dengan tidak memakai syafaat dan perantaraan. Memang berpahala siapa yang membacanya dan memahamkan maksudnya sebab di dalamnya tersimpul tauhid yang sedalam-dalamnya. Adapun kalau hanya dibaca-baca saja, untuk obat sakit kepala, untuk menjadi azimat tangkal bahaya pianggang maka samalah artinya dengan kata pepatah “asing biduk kalang diletak".