Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقُلۡنَا
dan Kami berfirman
يَٰٓـَٔادَمُ
wahai adam
ٱسۡكُنۡ
tinggallah
أَنتَ
kamu
وَزَوۡجُكَ
dan isterimu
ٱلۡجَنَّةَ
surga
وَكُلَا
dan makanlah
مِنۡهَا
daripadanya
رَغَدًا
(hingga) puas/senang
حَيۡثُ
sebagaimana
شِئۡتُمَا
kalian berdua sukai
وَلَا
dan janganlah
تَقۡرَبَا
kalian berdua mendekati
هَٰذِهِ
ini
ٱلشَّجَرَةَ
pohon
فَتَكُونَا
maka kalian berdua adalah
مِنَ
dari/termasuk
ٱلظَّـٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
وَقُلۡنَا
dan Kami berfirman
يَٰٓـَٔادَمُ
wahai adam
ٱسۡكُنۡ
tinggallah
أَنتَ
kamu
وَزَوۡجُكَ
dan isterimu
ٱلۡجَنَّةَ
surga
وَكُلَا
dan makanlah
مِنۡهَا
daripadanya
رَغَدًا
(hingga) puas/senang
حَيۡثُ
sebagaimana
شِئۡتُمَا
kalian berdua sukai
وَلَا
dan janganlah
تَقۡرَبَا
kalian berdua mendekati
هَٰذِهِ
ini
ٱلشَّجَرَةَ
pohon
فَتَكُونَا
maka kalian berdua adalah
مِنَ
dari/termasuk
ٱلظَّـٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
Terjemahan
Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!”
Tafsir
(Dan Kami berfirman, "Hai Adam! Berdiamlah kamu) yakni kamu sendiri 'kamu' yang kedua berfungsi sebagai penguat bagi yang pertama dan dihubungkan dengannya yang ditampilkan sebagai dhamir atau kata ganti yang tersembunyi.
(bersama istrimu) yakni Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri.
(dalam surga ini dan makanlah di antara makanan-makanannya) (yang banyak) dan tidak dilarang.
(di mana saja kamu sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini) pohon anggur atau batang gandum ini atau lain-lainnya, maksudnya jangan memakan buahnya.
(hingga kamu menjadi orang-orang yang lalim.") atau durhaka.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 35-36
Dan Kami berfirman, "Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah dengan nikmat berbagai makanan yang ada disana sesukamu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, yang dapat menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang zalim. Lalu setan menggelincirkan keduanya dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula (yang penuh kenikmatan), dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Ayat 35
Allah ﷻ berfirman memberitakan kehormatan yang dianugerahkan-Nya kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepadanya, lalu mereka sujud kepadanya kecuali iblis; bahwa Dia memperbolehkan bagi Adam dan isterinya surga untuk tempat tinggalnya di mana pun yang dikehendakinya. Mereka boleh memakan makanan yang mereka sukai dengan leluasa, yakni dengan senang hati, berlimpah, dan penuh dengan kenikmatan.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Mikail, dari Al-Laits, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar yang menceritakan hadits berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu Adam, apakah dia seorang nabi?" Rasul ﷺ menjawab, "Ya, dia seorang nabi lagi rasul, Allah berbicara dengannya secara terang-terangan, dan Allah berfirman, 'Tinggallah kamu dan istrimu di surga ini'."
Surga yang ditempati oleh Adam ini masih diperdebatkan, apakah surga yang di langit atau surga yang di bumi? Kebanyakan ulama berpendapat yang pertama, yakni surga yang di langit. Al-Qurthubi meriwayatkan dari golongan mu'tazilah dan Qadariyah suatu pendapat yang mengatakan bahwa surga tersebut ada di bumi. Mengenai pembahasan masalah ini secara rinci, insya Allah akan dikemukakan dalam tafsir surat Al-A'raf.
Konteks ayat menunjukkan bahwa Siti Hawa diciptakan sebelum Adam memasuki surga, hal ini telah dijelaskan oleh Muhammad ibnu Ishaq dalam keterangannya: Ketika Allah telah selesai dari urusan-Nya melaknat iblis, lalu Allah kembali kepada Adam yang telah Dia ajari semua nama-nama itu, kemudian berfirman, "Wahai Adam, sebutkanlah nama benda-benda itu," sampai dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Al-Baqarah: 31-32).
Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Setelah itu ditimpakan rasa kantuk kepada Adam, menurut keterangan yang sampai kepada kami dari kaum ahli kitab yang mempunyai kitab Taurat, juga dari kalangan ahli ilmu selain mereka yang bersumber dari Ibnu Abbas dan lain-lain. Kemudian Allah mengambil salah satu dari tulang iga sebelah kirinya dan menambal tempatnya dengan daging, sedangkan Adam masih tetap dalam keadaan tidur, belum terbangun. Lalu Allah menjadikan tulang iganya itu istrinya yaitu Siti Hawa berupa seorang wanita yang sempurna agar Adam merasa tenang hidup dengannya. Ketika tidur dicabut darinya dan Adam terbangun, dia melihat Siti Hawa telah berada di sampingnya, lalu dia berkata menurut dugaan mereka, tetapi Allah-lah Yang lebih mengetahui kebenarannya, "Oh dagingku, darahku, dan istriku," lalu Adam merasa tenang dan tentram bersamanya.”
Setelah Allah mengawinkannya dan menjadikan rasa tenang dan tentram dalam diri Adam, maka Allah berfirman kepadanya secara langsung: “Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah dengan nikmat berbagai makanan yang ada disana sesukamu, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, yang dapat menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang zalim” (Al-Baqarah: 35).
Menurut pendapat lain, penciptaan Siti Hawa terjadi sesudah Adam masuk surga, seperti yang dikatakan oleh As-Suddi dalam salah satu riwayat yang diketengahkannya dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat. Disebutkan, setelah iblis diusir dari surga dan Adam ditempatkan di dalam surga, maka Adam berjalan di dalam surga dengan perasaan kesepian karena tiada teman hidup yang membuat dia merasa tenang dan tentram dengannya. Kemudian Adam tidur sejenak. Setelah terbangun, ternyata di dekat kepalanya terdapat seorang wanita yang sedang duduk. Allahlah yang telah menciptakannya dari tulang iga Adam. Lalu Adam bertanya kepadanya, "Siapakah kamu ini?" Hawa menjawab, "Seorang wanita." Adam bertanya, "Mengapa engkau diciptakan?" Hawa menjawab, "Agar kamu merasa tenang dan tentram bersamaku." Para malaikat bertanya kepada Adam seraya menguji pengetahuan yang dicapai oleh Adam, "Siapakah namanya wahai Adam?" Adam menjawab, "Dia bernama Hawa." Mereka bertanya lagi, "Mengapa dinamakan Hawa?" Adam menjawab, "Sesungguhnya dia dijadikan dari sesuatu yang hidup."
Allah ﷻ berfirman: “Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah dengan nikmat berbagai makanan yang ada disana sesukamu” (Al-Baqarah: 35). Adapun firman Allah ﷻ : “Dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini” (Al-Baqarah: 35). Hal ini merupakan pilihan dari Allah ﷻ dan sengaja dijadikan-Nya sebagai ujian buat Adam. Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis pohon ini. As-Suddi mengatakan dari orang yang mendapat kisah dari Ibnu Abbas, bahwa pohon yang dilarang oleh Allah didekati Adam adalah pohon anggur. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, As-Suddi, Asy-Sya'bi, Ja'dah ibnu Hubairah, dan Muhammad ibnu Qais. As-Suddi mengatakan dalam salah satu riwayatnya dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: “dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini” (Al-Baqarah: 35) bahwa pohon tersebut adalah pohon anggur. Tetapi orang-orang Yahudi menduga pohon tersebut adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Samurah Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr (yaitu Abu Umar Al-Kharraz), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon yang dilarang bagi Adam a.s. mendekatinya adalah pohon gandum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyainah dan Ibnul Mubarak, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari seorang ahlul ilmi, dari Hajjaj, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan Bani Tamim, bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada Abul Jalad untuk menanyakan tentang pohon yang dimakan oleh Adam dan pohon tempat Adam bertobat. Lalu Abul Jalad membalas surat Ibnu Abbas yang isinya menyatakan, "Engkau menanyakan kepadaku tentang pohon yang dilarang Nabi Adam mendekatinya adalah pohon gandum, dan engkau menanyakan kepadaku tentang pohon tempat Nabi Adam bertobat di bawahnya adalah pohon zaitun." Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri, Wahab ibnu Munabbih, Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, Muharib ibnu Disar dan Abdur Rahman ibnu Abu Laila.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari sebagian penduduk Yaman dari Wahab ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum. Akan tetapi, satu biji dari padanya di dalam surga sama dengan kedua paha sapi, lebih lembut daripada zubdah dan rasanya lebih manis daripada madu.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Husain, dari Abu Malik, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan janganlah kamu dekati pohon ini” (Al-Baqarah: 35). Pohon tersebut adalah pohon kurma.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan janganlah kamu dekati pohon ini” (Al-Baqarah: 35). Pohon tersebut adalah pohon tin. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Juraij. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, bahwa pohon tersebut bila dimakan oleh seseorang, maka orang yang bersangkutan akan mengalami hadas, sedangkan hadas tidak layak di dalam surga.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Mihran yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Wahab ibnu Munabbih berkata, "Setelah Allah menempatkan Adam dan istrinya di dalam surga, lalu Dia melarangnya memakan suatu buah. Buah tersebut berasal dari suatu pohon yang ranting-rantingnya lebat sekali hingga sebagian darinya bersatu dengan yang lain. Buah pohon tersebut dimakan oleh para malaikat karena mereka ditakdirkan kekal. Pohon inilah yang dilarang Allah dimakan oleh Adam dan istrinya."
Keenam pendapat di atas merupakan tafsir dari pohon tersebut. Imam Al-Allamah Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ telah melarang Adam dan istrinya untuk memakan buah dari suatu pohon di dalam surga, tetapi bukan seluruh pohon surga, dan ternyata Adam dan istrinya memakan buah yang terlarang baginya itu.
Kami tidak mengetahui jenis pohon apa yang terlarang bagi Adam itu secara tertentu, karena Allah tidak memberikan suatu dalil pun bagi hamba-hamba-Nya yang menunjukkan hal tersebut, baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunnah yang shahih. Ada pula yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum, pendapat lain mengatakan pohon anggur, dan pendapat lain lagi mengatakan pohon tin. Memang, mungkin saja salah satu di antaranya ada yang benar, tetapi hal ini merupakan suatu ilmu yang tidak membawa manfaat bagi orang yang mengetahuinya, dan jika tidak mengetahuinya tidak akan membawa mudarat. Hal yang sama dikuatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya dan kitab-kitab lain, yakni pendapat yang memisterikan nama pohon yang terlarang itu, dan inilah pendapat yang benar.
Ayat 36
Firman Allah ﷻ : “Lalu setan menggelincirkan keduanya dari surga itu” (Al-Baqarah: 36). Dapat diinterpretasikan bahwa dhamir yang terdapat di dalam firman-Nya, "Anha," kembali ke surga. Atas dasar i'rab ini berarti makna ayat adalah lalu keduanya dijauhkan oleh setan dari surga, demikianlah menurut bacaan ‘Ashim (yakni fa-azallahuma). Dapat juga diartikan bahwa damir tersebut kembali kepada matkur yang paling dekat dengannya, yaitu asy-syajarah. Dengan demikian, berarti makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah adalah 'maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut'. Pengertiannya sama dengan makna firman-Nya: “Dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan” (Adz-Dzariyat: 9). Maksudnya, dipalingkan oleh sebab Rasul dan Al-Qur'an orang yang dipalingkan.
Karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah berfirman: “Dan keduanya dikeluarkan dari keadaan semula” (Al-Baqarah: 36). Yakni dari semua kenikmatan, seperti pakaian, tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak. Dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (Al-Baqarah: 36). Yaitu tempat tinggal, rezeki, dan ajal. Yang dimaksud dengan ila hin adalah waktu yang terbatas dan yang telah ditentukan, kemudian terjadilah kiamat.
Ulama tafsir dari kalangan ulama Salaf seperti As-Suddi dengan sanad-sanadnya, Abul Aliyah, Wahab ibnu Munabbih, dan lain-lain dalam pembahasan ini telah mengetengahkan kisah-kisah israiliyat yang menceritakan tentang ular dan iblis. Dijelaskan di dalamnya bagaimana iblis dapat memasuki surga dan menggoda Adam. Hal ini insya Allah akan dijelaskan secara rinci dalam tafsir surat Al-A'raf; kisah yang akan disebutkan di dalam tafsir surat Al-A'raf jauh lebih panjang daripada yang ada dalam surat ini (Al-Baqarah).
Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan hal ini mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu ‘Ashim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk seorang lelaki yang berperawakan sangat tinggi lagi berambut lebat, seakan-akan sama dengan pohon kurma yang rindang. Ketika dia memakan buah (terlarang) itu, maka semua pakaiannya terlucuti darinya, dan yang mula-mula kelihatan dari bagian anggota tubuhnya adalah kemaluannya. Ketika Adam melihat aurat tubuhnya, maka ia berlari di dalam surga dan rambutnya tersangkut pada sebuah pohon hingga merobeknya. Lalu Tuhan yang Maha Pemurah memanggilnya, "Wahai Adam, apakah engkau lari dari-Ku?" Ketika Adam mendengar firman Allah Yang Maha Pemurah, lalu ia berkata, "Wahai Tuhanku, aku tidak lari, tetapi aku merasa malu."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula: Telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Ahmad ibnul Hakam Al-Qurasyi pada tahun 254, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Mansur ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu ‘Ashim, dari Sa'id ibnu Sa'id, dari Qatadah, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Setelah Adam memakan buah terlarang itu, maka dia lari dan ada sebuah pohon yang terkait pada rambutnya, kemudian diseru, "Wahai Adam, apakah Engkau lari dari-Ku?" Adam menjawab, "Tidak, aku hanya malu kepada-Mu." Allah berfirman, "Wahai Adam, keluarlah kamu dari sisi-Ku, demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menempatkan di dalamnya (surga) orang yang durhaka kepada-Ku. Seandainya Aku menciptakan makhluk yang serupa denganmu sepenuh bumi, lalu mereka durhaka kepada-Ku, niscaya Aku akan menempatkan mereka di tempat tinggal orang-orang yang durhaka (neraka)." Hadits ini berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat inqita', bahkan i'dal antara Qatadah dan Ubay ibnu Ka'b.
Al-Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Bakuwaih, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnun Nadr, dari Mu'awiyah ibnu Amr, dari Zaidah, dari Ammar ibnu Abu Mu'awiyah Al-Bajali, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Tidak sekali-kali Adam tinggal di dalam surga melainkan hanya tenggat waktu antara shalat Ashar sampai dengan tenggelamnya matahari." Kemudian Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi ternyata Syaikhain tidak mengetengahkannya.
Abdur Rahman ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya, telah menceritakan kepada kami Rauh, dari Hisyam, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Adam tinggal di dalam surga hanya selama sesaat di siang hari. Satu saat tersebut sama lamanya dengan 130 tahun hari dunia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa Adam keluar dari surga pada pukul sembilan atau pukul sepuluh; ketika keluar, Adam membawa serta sebuah tangkai pohon surga, sedangkan di atas kepalanya memakai mahkota dari dedaunan surga yang diuntai sedemikian rupa merupakan untaian daun-daunan surga.
As-Suddi mengatakan bahwa Allah berfirman: “Turunlah kalian semua dari surga itu” (Al-Baqarah: 38). Maka turunlah mereka, sedangkan Adam turun di India dengan membawa Hajar Aswad dan segenggam dedaunan surga, lalu ia menaburkannya di India, maka tumbuhlah pepohonan yang wangi baunya. Sesungguhnya asal mula wewangian dari India itu adalah dari segenggam dedaunan surga yang ikut dibawa turun oleh Adam. Sesungguhnya Adam menggenggamnya hanya terdorong oleh rasa penyesalannya karena dia dikeluarkan dari surga.
Imran ibnu Uyaynah meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di Dahna, salah satu wilayah negeri India.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di suatu daerah yang dikenal dengan nama Dahna, terletak di antara Mekah dan Taif.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Siti Hawa di Jeddah; dan iblis di Dustamisan yang terletak beberapa mil dari kota Basrah, sedangkan ular diturunkan di Asbahan. Demikianlah riwayat Abu Hatim.
Muhammad ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Qais, dari Az-Zubair ibnu Addi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di Safa, dan Hawa diturunkan di Marwah.
Raja ibnu Salamah mengatakan bahwa Adam A.S diturunkan dengan kedua tangannya diletakkan pada kedua lututnya seraya menundukkan kepalanya. Iblis diturunkan dengan jari jemari tangannya ia satukan satu sama lain seraya mengangkat kepalanya ke langit.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa, "Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, terlebih dahulu Dia mengajarkan kepadanya membuat segala sesuatu dan membekalinya dengan buah-buahan surga. Maka buah-buahan kalian ini berasal dari buah-buahan surga, hanya bedanya buah-buahan yang ini berubah, sedangkan buah-buahan surga tidak berubah."
Az-Zuhri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sebaik-baik hari yang terbit matahari padanya adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam diciptakan, pada hari Jumat pula ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari Jumat pula ia dikeluarkan darinya." (Riwayat Imam Muslim dan Imam An-Nasai)
Ar-Razi mengatakan, menurut sepengetahuannya di dalam ayat ini terkandung makna peringatan dan ancaman yang besar terhadap semua perbuatan maksiat bila ditinjau dari berbagai segi. Antara lain adalah bahwa orang yang menggambarkan kejadian yang dialami oleh Nabi Adam hingga ia dikeluarkan dari surga hanya karena telah melakukan kekeliruan yang kecil, niscaya dia sangat malu terhadap perbuatan maksiat.
Seorang penyair mengatakan: “Wahai orang bermata yang memandang dengan pandangan terpejam seperti orang tidur; dan wahai orang yang menyaksikan suatu perkara, padahal dia tidak menyaksikannya. Dosa-dosa dihubungkan dengan dosa-dosa lainnya, tetapi engkau mengharapkan untuk menaiki tangga surga dan meraih keberuntungan ahli ibadah. Apakah engkau telah lupa kepada Tuhanmu yang mengeluarkan Adam dari surga ke dunia karena hanya melakukan satu dosa?”
Ibnul Qasim mengatakan: “Tetapi kita adalah tawanan musuh, maka apakah kita dapat kembali ke tanah air kita dalam keadaan selamat, menurutmu?” Ar-Razi meriwayatkan dari Fathul Mausuli yang pernah mengatakan bahwa kita ini pada awalnya adalah kaum penghuni surga, kemudian kita ditawan oleh iblis ke dunia. Maka tiadalah yang kita alami selain kesusahan dan kesedihan sebelum kita dikembalikan ke rumah tempat kita dahulu dikeluarkan.
Apabila ada yang mengatakan, "Jika surga tempat Adam dikeluarkan berada di langit, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, maka mengapa iblis dapat memasukinya, padahal dia telah diusir darinya untuk selama-lamanya, sedangkan pengertian untuk selama-lamanya itu apakah tidak bertentangan dengan kisah tersebut?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Memang pemikiran seperti inilah yang dijadikan dalil bagi orang yang mengatakan bahwa surga yang dahulunya ditempati oleh Adam berada di bumi bukan di langit, seperti yang kami jelaskan secara rinci dalam permulaan kitab kami Al-Bidayah Wan Nihayah.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut jumhur ulama mengemukakan berbagai jawaban, antara lain: Iblis memang dilarang masuk surga bila memasukinya secara baik-baik. Jika dia memasukinya dengan mencuri-curi dan menyusup dengan cara yang hina, tiada yang mencegahnya. Karena itu, ada sebagian dari mereka yang mengatakan sebagaimana apa yang disebut di dalam kitab Taurat, bahwa iblis masuk ke dalam surga melalui mulut ular yang ia masuki terlebih dahulu (lalu ular itu masuk ke dalam surga).
Menurut sebagian ulama, dapat pula diinterpretasikan iblis menggoda keduanya (Adam dan Hawa) dari luar pintu surga. Sebagian yang lain mengatakan bahwa iblis menggoda keduanya dari bumi, sedangkan keduanya masih berada di dalam surga di langit. Demikian menurut Az-Zamakhsyari dan lain-lain. Al-Qurthubi dalam pembahasan ini mengetengahkan banyak hadits tentang kisah ular dan membunuhnya serta penjelasan mengenai hukumnya, dan ternyata pembahasan yang dikemukakannya itu baik lagi berfaedah.
Setelah persoalan dengan malaikat selesai dengan sujudnya malaikat kepada Nabi Adam, dan persoalan dengan Iblis juga selesai dengan menolaknya Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam, maka pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Adam dan istrinya, Hawa, untuk menghuni surga sebagai penghormatan kepadanya. Inilah bentuk lain dari anugerah dan kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia di samping menjadi khalifah dan sujudnya malaikat kepadanya. Dan Kami berfirman, Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, yakni surga yang dijanjikan Allah bagi orang mukmin di akhirat kelak, atau bisa juga berarti suatu taman. Allah melanjutkan firman-Nya, Dan makanlah dengan nikmat berbagai makanan yang ada di sana sesukamu secara bebas, di mana saja, dan kapan saja. Tetapi, Allah mengingatkan mereka agar jangan memakan satu buah tertentu, bahkan melarang mereka mendekati tanaman tersebut, karena mendekatinya dapat menggoda mereka untuk memetiknya. Janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu Lalu setan memperdayakan keduanya dengan berbagai macam cara agar mereka keluar dari dalam surga sehingga keduanya benar-benar dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya di sana, yakni di dalam surga. Sebagai manusia yang tercipta dari tanah liat (materi), Nabi Adam mempunyai titik lemah yaitu keinginan untuk tetap abadi di dalam surga, karena surga adalah gudangnya materi. Adanya materi berarti keabadian. Setelah Nabi Adam dan Hawa memakan buah larangan tersebut, keduanya mendapatkan sanksi berupa terlucutinya pakaian mereka sehingga mereka berdua mencari penutup auratnya dengan daun-daun pepohonan surga. Di samping itu, Allah memerintahkan mereka untuk turun ke dunia. Dan Kami berfirman, Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, yakni antara manusia (Nabi Adam) dengan setan, atau bisa juga antarsesama manusia. Dan bagi kamu, manusia dan setan, ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan, yakni hari Kiamat. Selanjutnya Nabi Adam dan Hawa dipersilakan Allah untuk hidup menetap di dunia, memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada di bumi, baik berupa makanan, minuman, tempat tinggal, flora, fauna, dan lain-lainnya, sampai pada masa yang ditentukan, yaitu pada saat kematiannya yang tidak tahu kapan hal itu datang. Inilah babak baru bagi Adam dalam menjalani misi kekhalifahannya di bumi.
Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan Adam a.s. dan istrinya untuk menempati surga yang telah disediakan untuk mereka. Mengenai surga yang disebutkan dalam ayat ini, sebagian besar mufasir, mengatakan bahwa surga yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah surga di langit yang dijanjikan Allah sebagai balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Menurut mufasir lain, surga yang tersebut dalam ayat itu adalah suatu taman, tempat Adam dan istrinya berdiam dan diberi kenikmatan hidup yang cukup.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa Adam a.s. dan istrinya dibolehkan menikmati makanan apa saja dan di mana saja dalam surga tersebut dengan aman dan leluasa, hanya saja Allah ﷻ melarang mereka mendekati dan memakan buah pohon tertentu yang hanya merupakan salah satu pohon saja di antara banyak pohon yang ada dalam surga itu. Setan menamakan pohon tersebut pohon keabadian, karena menurutnya, jika Adam a.s. dan istrinya memakan buah pohon itu maka mereka akan dapat kekal selama-lamanya dalam surga. Padahal yang sebenarnya adalah sebaliknya, yaitu apabila ia dan istrinya memakan buah pohon itu maka mereka akan dikeluarkan dari surga, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap larangan Allah ﷻ Jika mereka melanggar larangan itu, maka mereka termasuk golongan orang zalim terhadap diri mereka, dan akan menerima hukuman dari Allah ﷻ yang akan mengakibatkan mereka kehilangan kehormatan dan kebahagiaan yang telah mereka peroleh.
Dalam ayat ini Allah ﷻ tidak menjelaskan hakikat dari pohon tersebut. Seseorang tak akan dapat menentukannya tanpa ada dalil yang pasti. Lagi pula, maksud utama dari kisah ini sudah tercapai tanpa memberikan keterangan tentang hakikat pohon tersebut. Tetapi dapat dikatakan bahwa larangan Allah swt, kepada Adam a.s. dan istrinya untuk mendekati pohon itu dan memakan buahnya, tentulah berdasarkan suatu hikmah daripada-Nya, yaitu merupakan suatu ujian dari Allah ﷻ terhadap Adam a.s. dan istrinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 34-39
Ayat 34
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami berkata kepada Malaikat, ‘Sujudlah, kamu kepada Adam!' Maka sujudlah mereka, kecuali Iblis, enggan dia dan menyombong, karena adalah dia dari golongan makhluk yang kafir.'"
Inilah kelanjutan dari pelaksanaan keputusan Allah mengangkat khalifah di bumi itu. Adam telah dijadikan dan telah diajarkan kepadanya berbagai nama dan banyak ilmu yang diberikan kepadanya, yang tidak diberikan kepada malaikat. Kemudian diperintahkan Tuhanlah malaikat-malaikat itu menyatakan hormat kepada Adam, dengan bersujud.
Seluruh makhluk bersujud kepada Tuhan, sejak dari malaikat, atau isi semua langit dan bumi, bahkan kayu-kayuan, bahkan bintang di langit pun sujud kepada Tuhan. Kita manusia pun sujud dan diperintah sujud kepada Tuhan. Bagi kita manusia, yang dikatakan sujud itu ialah mencecahkan kening ke bumi, lengkap dengan anggota yang tujuh, yaitu kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki ditambah kepala. Akan tetapi, bagaimana sujudnya pohon-pohon? Bagaimana sujudnya malaikat? Niscaya tidaklah sampai pengetahuan kita ke sana. Yang jelas, dengan sujud itu terkandunglah sikap hormat dan memuliakan. Maka, diperintahlah malaikat memuliakan Adam dan bersujud, yaitu sujud cara malaikat, yang kita tidak tahu, dan tidak perlu dikorek-korek lagi buat tahu. Malaikat pun melaksanakan perintah itu kecuali satu makhluk, yaitu Iblis. Dia enggan menjalankan perintah Tuhan itu dan dia menyombong. Mengapa dia enggan dan menyombong? Di ujung ayat sudah ada penjelasannya, yaitu karena memang dia telah mempunyai dasar buat kufur. Dan dalam ayat-ayat yang lain sampai dia menyatakan sebab kesombongan itu, yaitu karena Tuhan menjadikannya dari api, sedangkan manusia Adam yang disuruh dia bersujud kepadanya itu dijadikan Tuhan dari tanah.
Dengan sikap iblis yang menyombong sendiri itu, mulailah kita mendapat pelajaran bahwasanya Allah menakdirkan di dalam iradat-Nya bahwasanya tanda kekayaan Tuhan itu bukanlah jika Dia menjadikan ruh yang baik saja. Di samping yang baik pun dijadikan-Nya yang buruk. Di samping yang patuh di-jadikan-Nya pula yang durhaka. Ini sudah ada sejak dari permulaan. Sehingga bagi Nabi kita Muhammad ﷺ sendiri yang tengah berjuang menyampaikan seruan Allah seketika ayat ini diturunkan, menjadi pengertian lebih mendalamlah bahwa keingkaran dan kekufuran penentang-penentang beliau, baik waktu di Mekah maupun waktu di Madinah, sudahlah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Kalau dasar telah ada kufur, Tuhan Allah pun mereka tentang sebagai yang dilakukan oleh iblis itu.
Ayat 35
“Dan berkata Kami, Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di taman ini, dan makanlah berdua darinya dengan senang sesuka-sukamu berdua; dan janganlah kamu berdua mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang-orang yang aniaya.'"
Setelah lepas dari ujian tentang nama-nama ilmu yang diajarkan Allah dan lulus dari ujian ini melebihi malaikat, setelah lepas dari ujian kepada malaikat yang diperintahkan sujud, dan sujud semua kecuali iblis, barulah Adam disuruh berdiam di dalam taman itu bersama istrinya. Nyatalah sekarang dalam ayat ini bahwa sementara itu istri beliau telah dijadikan Allah, Adalah yang telah diketahui namanya oleh pemeluk ketiga agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani, yang bernama Hawa, dan dalam ejaan orang Eropa disebut Eva.
Tidaklah dijelaskan dalam ayat ini asal kejadian itu dan tidak pula diterangkan pada ayat yang lain.
Orang Yahudi dan Nasrani, berdasar pada Kitab Perjanjian Lama (Kejadian, Pasal 2 ayat 20 sampai 24) mempunyai kepercayaan bahwa Hawa itu dijadikan Tuhan daripada tulang rusuk Nabi Adam; dicabut tulang rusuknya sedang dia tidur, lalu diciptakan menjadi perempuan dijadikan bininya.
Di dalam Islam, kepercayaan yang umum tentang Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam itu, bukanlah karena percaya kepada Kitab Kejadian Pasal 2 tersebut, karena Nabi ﷺ telah memberi ingat bahwa kitab-kitab Taurat yang sekarang ini tidaklah asli lagi; sudah banyak catatan manusia dan manusianya itu tidak terang siapa orangnya. Bahkan naskah aslinya sampai sekarang tidak ada. Hal ini diakui sendiri oleh orang Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, Nabi ﷺ sendiri pernah bersabda, ketika beliau memberi ingat kepada orang laki-laki tentang perangai dan tabiat perempuan supaya pandAl-pandai membimbingnya. Maka, tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, demikian sabda beliau,
“Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena sesungguhnya perempuan dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok pada tulang rusuk itu ialah yang sebelah atasnya. Maka jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau patahkan dia. Dan jika engkau tinggalkan saja, dia akan tetap bengkok. Sebab itu, peliharalah perempuan-perempuan baik-baik."
Hadits ini Muttafaq ‘alaihi, artinya sesuai riwayat Bukhari dengan riwayat Muslim.
Apabila kita perhatikan bunyi hadits ini dengan saksama, tidaklah dia dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perempuan atau terutama Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam.
Tidak ada tersebut sama sekali dalam hadits ini dari hal tulang rusuk Nabi Adam. Yang terang maksud hadits ini ialah membuat perumpamaan dari hal bengkok atau bengkoknya jiwa orang perempuan, sehingga payah membentuknya, sama keadaannya dengan tulang rusuk; tulang rusuk tidaklah dapat diluruskan dengan paksa. Kalau dipaksa-paksa meluruskannya, dia pun patah. Kalau dibiarkan saja, tidak dihadapi dengan sabar, bengkoknya itu akan terus.
Apalah lagi hadits ini dituruti oleh hadits lain di dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga, demikian bunyinya.
Dan, pada satu riwayat pada kedua shahih, Bukhari dan Muslim.
“Perempuan itu adalah seperti tulang rusuk; jika engkau coba meluruskannya, dia pun patuh. Dan jika engkau bersuka-sukaan dengan dia, maka bersuka-suka juga engkau, tetapi dia tetap bengkok."
Dan, pada satu riwayat lagi dengan Muslim,
“Sesungguhnya, perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk. Dia tidak akan dapat lurus untuk engkau atas suatu jalan. Jika engkau mengambil kesenangan dengan dia, namun dia tetap bengkok. Dan jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau mematahkannya. Patahnya itu talaknya."
Ada lagi hadits lain dengan makna yang serupa, diriwayatkan oleh ahli hadits yang lain pula.
Pada hadits pertama sudah nyata tidak ada tersebut bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam. Pada hadits yang kedua sudah lebih jelas lagi bahwa itu hanya perumpamaan. Hadits yang ketiga menjadi lebih jelas karena telah ada hadits yang kedua bahwa itu adalah perumpamaan. Hadits yang ketiga menambah jelas lagi bahwa kalau laki-laki tidak hati-hati membimbing istrinya, kalau terus bersikap keras saja, talaklah yang terjadi dan patah aranglah rumah tangga.
Maka, teranglah sekarang bahwa yang dimaksud di sini ialah jiwa atau bawaan segala perempuan dalam dunia ini. Pertimbangannya tidak lurus, kata orang sekarang, tidak objektif. Perempuan di dalam mempertimbangkan suatu lebih banyak memperturutkan hawanya, yang cara sekarang kita namai sentimen.
Hadits-hadits ini telah memberi petunjuk bagi seorang laki-laki, terutama bagi seorang suami, bagaimana caranya menggauli istrinya dan mendidik anak-anaknya yang perempuan. Supaya terjadi rumah tangga yang bahagia, hendaklah seorang laki-laki mengenal kelemahan jiwa perempuan ini, yaitu laksana tulang rusuk yang bengkok. Seorang suami yang berpengalaman, dapat mengerti dan memahami apa maksud hadits-hadits ini. Kelemahan perempuan yang seperti ini, pada hakikatnya, kalau laki-laki pandai membawakannya, inilah yang menjadi salah satu dasar penguatan satu rumah tangga.
Jiwa perempuan itu akan tampak bengkoknya di dalam mempertimbangkan sesuatu keuntungan dan muslihat yang umum, jika bertentangan dengan muslihat rumah tangga. Seorang suami yang sedang kesusahan belanja, tidaklah boleh dengan kekerasan meminta supaya istrinya meminjami perhiasan gelang dan subang emasnya untuk digadaikan sementara guna dijadikan modal, meskipun menurut akal yang waras, sudahlah patut dia menyerahkan pada waktu itu, sebab barang itu pun digunakan untuk pertahanan di waktu sangat susah. Kalau diminta dengan keras, dia akan bertahan. Kalau sama-sama keras, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau laki-laki mengenal rahasia jiwa perempuan yang bengkok itu, dia mesti menjauhi jalan kekerasan. Setengah dari sifat bengkoknya jiwa perempuan ialah jelas iba kepada orang yang sedang susah. Kalau kelihatan nyata oleh istrinya bahwa dia susah, dan kalau ditanyai oleh istri, tidak lekas-lekas menyatakan kesusahan itu, dia akan gelisah melihat kesusahan suaminya. Dia tidak akan enak makan dan tidak akan terpicing matanya tidur karena melihat kesusahan yang menimpa suaminya yang sangat dicintainya itu. Kalau si suami pandai, dia sendiri yang akan menanggalkan gelang atau subangnya itu, untuk dikorbankannya bagi kepentingan suaminya. Inilah satu contoh!
Contoh yang lain ialah keinginannya akan perhiasan. Kalau si laki-laki tidak pandai membimbing, berapa saja belanja tidaklah akan cukup untuk memenuhi keinginannya akan perhiasan. Kalau si suami keras, bakhil, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau si suami memperturutkan saja keinginan-keinginan istrinya itu, akan sangsailah (sengsaralah) mereka dalam rumah tangga, sehingga berapa pun persediaan belanja tidaklah akan sedang-menyedang.
Kalau laki-laki tidak mengenal bengkoknya jiwa istri ini lalu bersikap keras, akan terjadilah perceraian. Atau kalau diperturutkan saja, akhirnya karena tidak terpikul, cerai juga yang akan timbul. Sebab itu, hadits ini memberikan tuntunan yang sangat mendalam agar laki-laki jangan lekas-lepas menjatuhkan talak kau tidak puas dengan perangai istrinya. Orang Minangkabau mempunyai pepatah “tidak ada lesung yang tidak berdetak", artinya tidak ada perempuan seorang pun yang sunyi dari kelemahan jiwa yang demikian.
Akan tetapi, laki-laki yang memegang ketiga-tiga hadits ini akan sanggup hidup rukun dengan istrinya, dalam irama rumah tangga, yang kadang-kadang gembira dan kadang-kadang muram.
Kembali kepada hadits-hadits tadi. Memang ada sebuah riwayat pula yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, dan Ibnu Asakir, yaitu perkataan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan beberapa orang dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ Mereka berkata.
“Tatkala Adam telah berdiam di dalam surga itu, berjalanlah dia seorang diri dan kesepian, tidak ada pasangan (istri) yang akan menenteramkan-nya. Maka tidurlah dia, lalu dia bangun. Tiba-tiba di sisi kepalanya seorang perempuan sedang duduk, yang telah dijadikan Allah dari tulang rusuknya."
Riwayat ini sudah terang bukanlah dari sabda Rasulullah ﷺ melainkan perkataan Abdullah bin Abbas dari Abdullah bin Mas'ud.
Oleh karena riwayat ini adalah perkataan sahabi, bukan sabda Rasul, niscaya nilainya untuk dipegang sebagai suatu aqidah tidak sama lagi dengan hadits yang shahih dari Nabi, apalah lagi dengan Al-Qur'an. Mungkin sekali, bahkan besar sekali kemungkinan itu bahwa pernyataan kedua sahabat itu terpengaruh oleh berita-berita orang Yahudi yang ada di Madinah ketika itu, yang berpegang kepada isi Kitab Kejadian, Pasal 2, ayat 21, “Maka, didatangkan Tuhan Allah kepada Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah tulang ditutupkannya pula dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkannya pada diri Adam itu, diciptakan Tuhan seorang perempuan, lalu dibawanya dia kepada Adam."
Sebagaimana telah kita beri penerangan di mukadimah tafsir ini, Rasulullah ﷺ telah memberikan pedoman kepada sahabat-sahabat beliau dalam hal menilai berita-berita yang disampaikan oleh Ahlul Kitab.
“Dan telah mengeluarkan Bukhari daripada hadits Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah itu, ‘Adalah Ahlul Kitab itu membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dia ke dalam bahasa Arab untuk orang-orang Islam.' Maka berkatalah Rasulullah ﷺ, ‘Janganlah kamu langsung membenarkan Ahlul Kitab itu dan jangan pula langsung kamu dustakan, tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah.'"
Berdasarkan hadits ini, jadi besarlah kemungkinan bahwa riwayat Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam yang diberikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud ini didengar mereka dari Taurat yang dibacakan oleh Ahlul Kitab itu lalu mereka terima saja bagaimana adanya sebagai satu fakta yang mereka terima, yang boleh diolah dan diselidiki pula oleh orang lain.
Kalau laki-laki tidak mengenal bengkoknya jiwa istri ini lalu bersikap keras, akan terjadilah perceraian. Atau kalau diperturutkan saja, akhirnya karena tidak terpikul, cerai juga yang akan timbul. Sebab itu, hadits ini memberikan tuntunan yang sangat mendalam agar laki-laki jangan lekas-lepas menjatuhkan talak kau tidak puas dengan perangai istrinya. Orang Minangkabau mempunyai pepatah “tidak ada lesung yang tidak berdetak", artinya tidak ada perempuan seorang pun yang sunyi dari kelemahan jiwa yang demikian.
Lantaran itu pula, tidaklah salah pada pendapat penafsir yang dhaif ini kalau ada orang yang tidak memegang teguh bahwasanya Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam, sebab tidak ada firman Tuhan menyebutkannya di dalam Al-Qur'an dan tidak pula ada sabda Nabi yang tepat menerangkan itu. Yang ada hanya berita atau penafsiran dari Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas'ud dan beberapa sahabat yang lain yang besar kemungkinan bahwa cerita ini mereka dengar dari orang Yahudi yang membaca Kitab Kejadian salah satu dari kitab catatan Yahudi yang mereka sebut Taurat itu.
Dan, hadits-hadits Bukhari dan Muslim yang tiga buah di atas tadi kita terima dan kita amalkan dengan segala kerendahan hati, untuk pedoman hidup menghadapi kaum pe-rempuan, sebagai teman hidup laki-laki dalam dunia ini. Apatah lagi setelah datang hadits lain yang menguatkan nasihat bagi kaum laki-laki di dalam bergaul baik-baik dengan perempuan, yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga,
“Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena kamu telah mengambilnya dengan amanah dari Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat-kalimat Allah."
Syekh Muhammad Abduh di dalam pelajaran tafsirnya, yang dicatat oleh muridnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar menyatakan pula pendapat bahwa hadits mengatakan perempuan terjadi dari tulang rusuk itu bukanlah benar-benar tulang rusuk, melainkan suatu kias perumpamaan belaka, sebagai ada juga contoh demikian di dalam surah al-Anbiyaa': 37,
“Telah dijadikan manusia itu dari sifat terburu-buru."
Dalam segala urusan dia mau lekas saja, padahal kesanggupannya terbatas. Mungkin tidak juga ada salahnya kalau kita berpaham tentang arti hadits yang mengatakan bahwa kaum perempuan terjadi dari tulang rusuk itu, selain dari satu perumpamaan tentang keadaan jiwanya ialah pula satu perlambang tentang kehidupan manusia di atas dunia ini. Seorang laki-laki yang telah patut kawin, adalah seumpama orang yang masih belum ada tulang rusuknya, sebab istri itu pun disebut dalam kata lain dengan teman hidup. Seorang duda adalah seorang yang goyah jiwanya karena tidak ada sandaran. Demikian juga seorang perempuan, kalau belum juga dia bersuami, padahal sudah patut bersuami, samalah keadaannya dengan sebuah tulang rusuk yang terlepas dari perlindungan. Bila dia telah bersuami, dia telah diletakkan ke tempatnya semula dan dia telah terlindung oleh kulit pembungkus rusuk itu, yaitu perlindungan suaminya.
Sebab, benar atau tidaknya riwayat Siti Hawa terjadi daripada tulang rusuk Nabi Adam itu. Namun, sekalian istri tidaklah terjadi dari tulang rusuk suaminya!
Sekarang kita kembali kepada tafsir.
Maka, disuruhlah Adam dan istrinya duduk di dalam taman indah berseri itu. Mereka keduanya diberi kebebasan, makan dan minum, memetik buah-buahan yang lezat ranum, yang hanya tinggal memetik. Artinya, bebas merdeka. Akan tetapi, di dalam ayat ini kita bertemu lagi satu pelajaran tentang filsafat merdeka. Kemerdekaan ialah kebebasan membatasi diri! Semua bebas dimakan kecuali buah daripada pohon yang terlarang, “Jangan kamu berdua mendekat kepada pohon ini." Sama juga dengan beberapa larangan dalam Al-Qur'an, “Jangan kamu mendekati zina." Karena kalau sudah mendekat ke sana, niscaya termakan juga kelaknya buah itu. Kalau dia kamu makan, niscaya kamu merugi.
Orang yang tidak sanggup memelihara kemerdekaannya, niscaya akan kehilangan kemerdekaan itu. Dan jika kemerdekaan telah hilang, kerugianlah yang akan berjumpa.
Penafsir tidak hendak menyalinkan buah pohon apakah yang dilarang mereka memakan itu? Ada orang yang mengatakan buah khuldi atau buah kekal. Penafsiran ini niscaya salah. Sebab yang menamainya syajaratul-khuldi, pohon kekal siapa yang memakannya tidak mati-mati, bukanlah Tuhan, tetapi setan sendiri seketika merayu Adam (lihat surah Thaahaa: 120) Padahal kita bertemu firman Tuhan yang lain untuk mendekatkan kita memahamkan syajarah atau pohon apakah yang dilarang Adam dan Hawa memakannya itu.
Maka, pelanggaran pada larangan saja, sudahlah namanya mulai memakan buah pohon yang buruk. Adam dan Hawa dilarang mendekati pohon yang terlarang itu.
Ayat 36
“Maka, digelincirkanlah keduanya oleh setan dari (tunangan) itu, dan dikeluarkanlah keduanya dari keadaan yang sudah ada Mereka padanya."
Artinya, masuklah setan ke tempat mereka lalu merayu dan memperdayakan mereka, supaya mereka makan juga buah pohon yang terlarang itu, sampai setan mengatakan bahwa itulah pohon kekal, siapa yang memakan tidak akan mati-mati. Sampai karena pandainya setan merayu, keduanya tergelincir, termakan juga akhirnya buah pohon terlarang itu. Demi mereka makan, keadaan mereka menjadi berubah, ternyata terbukalah aurat mereka (surah al-A'raaf: 22), bertukarlah keadaan, insaflah mereka bahwa mereka telah bertelanjang, alangkah malunya. Maka tahulah Tuhan bahwa larangan-Nya telah dilanggar."Dan berkatalah Kami, ‘Turunlah semua'" adalah tiga pribadi yang dimaksud oleh ayat itu, yaitu Adam dan Hawa dan setan yang menggelincirkan keduanya itu. Semua disuruh turun dari tempat yang mulia itu, tidak boleh tinggal di sana lagi; yang berdua karena melanggar larangan, yang satu lagi karena menjadi si langkanas memper-dayakan orang.
“Yang setengah kamu dengan yang setengah jadi bermusuh!" Karena, dasar permusuhan sudah tampak sejak semula si iblis atau setan tidak mau sujud karena sombong merasa diri lebih, tetapi menanam dendam dalam batin untuk mencelakakan manusia. Rupanya sudah ditakdirkan Allah-lah bahwa permusuhan ini akan terus-menerus dibawa ke muka bumi.
“Dan untuk kamu di bumi adalah tempat berdiam, dan perbekalan, sampai satu waktu."
Disuruhnya mereka, semuanya, ketiganya, meninggalkan tempat itu, pindah ke bumi. Di sanalah ditentukan tempat kediaman mereka; tetapi hanya buat sementara, tidak akan kekal di sana. Di bumi itulah mereka menyediakan bekal yang akan mereka bawa kembali menghadap Tuhan apabila waktu yang tertentu bagi hidup itu sudah habis.
Niscaya menyesallah Adam atas kesalahan yang telah diperbuatnya, telah dilanggarnya larangan, karena tidak tahan dia oleh rayuan setan Iblis. Lalu memohon ampunlah dia kepada Allah,
Ayat 37
“Maka menerimalah Adam daripada Tuhannya beberapa kalimat, maka diampuninyalah akan dia; sesungguhnya Dia adalah pemberi ampun, lagi Maha Penyayang."
Menyesallah Adam akan nasibnya. Dia yang bertanggung jawab sehingga istrinya pun telah turut tergelincir karena rayuan setan itu. Dia memohonkan kepada Tuhan agar mereka diampuni, diberi maaf, diberi tobat atas kesalahan itu. Kesalahan yang timbul karena belum ada pengalaman atau karena kurang awas atas perdayaan musuh yang selalu mengintai kelemahan dan kelalaian. Tetapi Adam pun tidak tahu dengan cara apa menyusun kata yang berkenan kepada Tuhan, yang pantas buat diucapkannya, agar permohonannya diterima.
Setelah Adam dan istrinya diberi ampun, barulah mereka disuruh berangkat,
Ayat 38
“Kami firmankan, turunlah kamu sekalian dari taman ini.'"
Berangkatlah dan tinggalkanlah tempat ini. Pergilah ke bumi yang telah Aku sediakan buat kamu itu. Setelah kamu sampai di sana kelak, tidaklah akan Aku biarkan saja kamu, melainkan akan Aku kirimkan kepada kamu petunjuk-Ku kelak.
“Maka barangsiapa yang menurut petunjuk-Ku, tidaklah akan ada ketakutan atas Mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Sungguh terharu kita membaca ayat ini, apatah lagi kalau dalam asli bahasa Al-Qur'an.
Benar, Adam telah salah melanggar larangan karena rayuan, bujuk, dan cumbu iblis. Dan, dia menyesal lalu memohonkan ampun. Oleh Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang telah diberi ampun. Maksud pertama dari Adam bukanlah berbuat salah; dasar isi jiwa manusia adalah baik, bukan jahat. Dia disuruh pindah ke bumi karena akan diberi tugas yaitu apa pun kesenangan di tempat itu, di taman atau di surga, tetapi tidak layak lagi baginya. Dan disuruh pindah ke bumi karena akan diberi tugas, yaitu menurunkan umat manusia. Mengumpulkan bekal di bumi, yang akan dibawa kembali menghadap Allah.
Memang Adam telah berdosa, tetapi dosanya telah diampuni. Sekarang, dia harus berani menempuh hidup di bumi itu. Jangan ke sana dengan hati iba dan duka cita. Hidup di bumi berketurunan beranak-cucu. Tuhan berjanji akan selalu mengiriminya tuntunan, petunjuk, dan bimbingan. Lantaran itu, betapapun hebat permusuhannya dengan setan Iblis, dengan adanya tuntunan Tuhan itu, asal dipegangnya teguh, dipegang teguh pula oleh anak-cucu di belakang hari, mereka akan selamat dari rayuan setan Iblis. Mereka tidak akan diserang oleh rasa takut dan tidak pula akan ditimpa penyakit duka cita.
Apabila saudara-saudara kaum Muslimin telah merenungkan ayat-ayat ini dapAllah saudara-saudara melihat perbedaan dan persimpangan jalan di antara kepercayaan kita kaum Muslimin dan pemeluk agama Nasrani. Keduanya sama mengaku bahwa Adam telah berdosa melanggar larangan. Tetapi kita kaum Muslimin percaya bahwa dosa itu telah diampuni. Dia tidak usah takut dan duka cita lagi. Adam bukanlah diusir dari surga, tetapi diberi tugas menegakkan kebenaran dalam bumi dan diberi tuntunan. Orang Nasrani mengatakan bahwa dosa Adam itu telah menjadi dosa waris turun-temurun kepada segala anak-cucunya, dan naiknya Isa al-Masih ke atas kayu saliblah yang menebus dosa warisan Adam itu. Kita mengakui bahwa kejadian dari manusia, gabungan akal dan nafsu, pertentangan cita-cita mulia dengan kehendak-kehendak kebinatangan berperang dalam diri kita. Kalau kita berbuat dosa, bukanlah itu karena dosa yang kita warisi dari Adam. Dan kita sendiri-sendiri bisa meminta ampun dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan niscaya akan diampuni karena Tuhan itu pengasih dan penyayang. Tidak masuk dalam akal murni kita bahwa Allah menurunkan dosa waris Adam kepada anak-cucunya dan mengutus Isa al-Masih ke dunia untuk naik ke atas kayu palang, buat mati di sana bagi menebus dosa waris manusia tadi. Padahal dikatakan pula bahwa Isa al-Masih itu adalah Allah sendiri menjelma ke dalam tubuh gadis suci Maryam kemudian menjelma menjadi putra. Inilah yang dijadikan dasar keper-cayaan, yaitu Allah Ta'aala sendiri menjelma menjadi anak-Nya, yaitu Kristus.
Islam mengajarkan bahwa dosa bukanlah timbul karena warisan, melainkan karena gejala-gejala pertentangan yang ada dalam batin manusia itu sendiri. Adam sendiri telanjur memakan buah yang terlarang, karena pertentangan hebat yang ada dalam jiwa, sehingga ciri mulia kalah oleh hawa nafsu keinginan. Akan tetapi, sebagaimana terdapat pada tiap-tiap manusia kemudiannya, bila telah lepas dari berbuat dosa itu, sesal pun timbul. Adam memohon ampun kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh lalu dia diampuni. Lalu dianjurkan tiap-tiap manusia mengikuti imannya kepada Allah dengan amal yang saleh. Sehingga kalahlah timbangan yang jahat oleh timbangan yang baik. Dengan tidak perlu membuat gelisah jiwa sendiri, dengan merasa berdosa terus-menerus, karena dosa itu diwarisi.
Tanda kasih Tuhan akan hamba-Nya bukanlah dengan cara dia sendiri menjelma ke dalam tubuh perawan suci lalu lahir ke dunia menjadi anak, melainkan Tuhan dari masa ke masa mengutus rasul-rasul-Nya, yaitu di antara manusia-manusia sendiri yang Dia pilih untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada seluruh manusia. Barangsiapa yang menurut tuntunan wahyu itu selamAllah dia dalam perjalanan hidupnya dan barangsiapa yang tidak memedulikannya celakalah dia. Di antara rasul yang diutus itu termasuklah Isa al-Masih sendiri.
Ada juga perbincangan di antara ulama-ulama tafsir tentang jannah tempat kediaman Adam dan Hawa itu. Sebagaimana dimaklumi, arti yang asal dari jannah ialah taman atau kebun, yang di sana terdapat kembang-kembang, bunga-bunga, air mengalir, dan penuh keindahan. Dan diberi arti dalam bahasa kita Indonesia dengan suarga atau surga. Yang menjadi perbincangan, apakah ini sudah jannah yang selalu dijanjikan akan menjadi tempat istirahatnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh di Hari Akhirat? Apakah ini sudah Darul Qarar (negeri tempat menetap) dan Darul Jaza' (negeri tempat menerima balas jasa). Ataukah jannah yang dimaksud di sini baru menurut artinya yang ash saja, yaitu suatu taman yang indah di dalam dunia ini?
Kata setengah ahli tafsir, memang ini sudah surga yang dijanjikan itu terletak di luar dunia ini, di suatu tempat yang tinggi. Oleh sebab itu, setelah Adam, Hawa, dan Iblis disuruh keluar dari dalamnya, disebut ihbithu, yang berarti turunlah! Atau ke bawahlah!
Akan tetapi, setengah penafsir lagi mengatakan bahwa tempat itu bukanlah surga yang dijanjikan di akhirat esok. Salah seorang yang berpendapat demikian ialah Abui Manshur al-Maturidi, pelopor ilmu kalam yang terkenal. Beliau berkata di dalam tafsirnya at-Ta'wilaat, “Kami mempunyai kepercayaan bahwasanya jannah yang dimaksud di sini ialah suatu taman di antara berbagai taman yang ada di dunia ini, yang di sana Adam dan istrinya mengecap nikmat Ilahi. Namun, tidaklah ada perlunya atas kita menyelidiki dan mencari kejelasan di mana letaknya taman itu. Inilah Madzhab Salaf. Dan tidaklah ada dalil yang kuat bagi orang-orang yang menentukan di mana tempatnya itu, baik dari Ahlus Sunnah maupun dari yang lain-lain."
Ini pun dapat kita pahamkan, sebagaimana dikemukakan oleh setengah ahli tafsir. Kata mereka bagi menguatkan bahwa itu belum surga yang dijanjikan di hari depan ialah karena di surga yang disebutkan ini masih ada lagi makanan yang dilarang memakannya, sebagaimana dapat kita lihat pada ayat-ayat yang menyatakan sifat-sifat dan keadaan surga; bahkan khamr yang istimewa dari pabrik surge pun boleh diminum di sana. Yang kedua, kalau itu sudah surga yang dijanjikan, tidaklah mungkin ruh jahat sebagaimana iblis itu dapat masuk ke dalamnya.
Maka, mengaji di mana letak jannah itu, jannah duniakah atau jannah yang telah dijanjikan, demikianlah halnya, menunjukkan betapa bebasnya ulama-ulama dahulu berpikir. Dan kita tidak mendapat alasan kuat pula buat mengatakan bahwa yang satu lebih kuat dari yang lain.
Sebagai kunci dari sabda-sabda mengenai Adam dan istrinya ini, berfirmanlah Tuhan selanjutnya,
Ayat 39
“Dan orang-orang yang kafir, dan mendustakan ayat-ayat Kami."
Yaitu, yang tidak mau memedulikan pesan-pesan yang telah diberikan Allah kepada Adam dan istrinya seketika mereka dilepas dari Jannah itu ke dalam dunia ini sehingga orang-orang itu jatuh ke dalam perangkap setan Iblis yang menjadi musuhnya turun-temurun.
“Mereka itulah penghuni neraka, yang mereka di dalamnya akan kekal."
Dengan ayat ini sebagai pengunci kisah, terbentanglah di hadapan kita suatu petunjuk bahwa kita tidak akan berhenti berjihad, bersungguh-sungguh, bekerja keras, bersemangat di dalam dunia ini. Kita sebagai turunan Adam telah diangkat menjadi khalifah Allah, menyambung tugas nenek moyang kita. Dan kita menghadapi satu kenyataan, yaitu di dalam melaksanakan tugas itu kita selalu diganggu dan diperdayakan oleh setan Iblis.