Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَرۡمُونَ
(mereka) menuduh
أَزۡوَٰجَهُمۡ
isteri-isteri mereka
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُمۡ
bagi mereka
شُهَدَآءُ
saksi-saksi
إِلَّآ
kecuali
أَنفُسُهُمۡ
diri mereka
فَشَهَٰدَةُ
maka kesaksian
أَحَدِهِمۡ
seorang dari mereka
أَرۡبَعُ
empat
شَهَٰدَٰتِ
saksi/sumpah
بِٱللَّهِ
dengan Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya dia
لَمِنَ
termasuk dari
ٱلصَّـٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَرۡمُونَ
(mereka) menuduh
أَزۡوَٰجَهُمۡ
isteri-isteri mereka
وَلَمۡ
dan tidak
يَكُن
ada
لَّهُمۡ
bagi mereka
شُهَدَآءُ
saksi-saksi
إِلَّآ
kecuali
أَنفُسُهُمۡ
diri mereka
فَشَهَٰدَةُ
maka kesaksian
أَحَدِهِمۡ
seorang dari mereka
أَرۡبَعُ
empat
شَهَٰدَٰتِ
saksi/sumpah
بِٱللَّهِ
dengan Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya dia
لَمِنَ
termasuk dari
ٱلصَّـٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
Terjemahan
Orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah atas (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.
Tafsir
(Dan orang-orang yang menuduh istrinya) berbuat zina (padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi) atas perbuatan itu (selain diri mereka sendiri) kasus ini telah terjadi pada segolongan para Sahabat (maka persaksian orang itu) lafal ayat ini menjadi Mubtada (ialah empat kali bersumpah) lafal ayat ini dapat dinashabkan karena dianggap sebagai Mashdar (dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar) dalam tuduhan yang ia lancarkan kepada istrinya itu, yakni tuduhan berbuat zina.
Tafsir Surat An-Nur: 6-10
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami kesulitan). Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pembuktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan lian terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah ﷻ Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim.
Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7) Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama.
Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Lian lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.
dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9) Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8). Yakni hukuman had. oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 8-9) Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya.
Sebaliknya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya. Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 10) tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian. dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 10) kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat. lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 10) dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebutkan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Mansur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (An-Nur: 4) Sa'd ibnu Ubadah (pemimpin orang-orang Ansar) bertanya, "Apakah memang demikian ayat tersebut diturunkan?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Hai golongan orang-orang Ansar, tidakkah kalian dengar apa yang telah dikatakan oleh pemimpin kalian?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau cela dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki pencemburu.
Demi Allah, tidak sekali-kali dia mengawini seorang wanita, melainkan perawan; dan tidak sekali-kali dia menceraikan istrinya, lalu ada seseorang lelaki yang berani mengawini bekas istrinya itu, karena kecemburuannya yang sangat." Maka Sa'd berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya batin saya meyakini bahwa ayat itu adalah hak (benar), dan bahwa ia diturunkan dari Allah ﷻ Tetapi saya merasa heran (saat mendengarnya), bahwa seandainya saya menjumpai istri saya berbuat khianat dengan seorang lelaki, maka saya tidak diperbolehkan mengusiknya dan tidak boleh pula menyingkirkannya sebelum mendatangkan empat orang saksi (laki-laki).
Demi Allah, sesungguhnya sebelum saya mendatangkan empat orang saksi itu, si lelaki durjana itu pasti sudah melampiaskan nafsunya." Tidak lama kemudian Hilal ibnu Umayyah, salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya. Dan ternyata ia menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.
Pada keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya dan mendengar dengan kedua telinga saya." Rasulullah ﷺ tidak suka mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya. Orang-orang Ansar berkumpul, lalu berkata.Kami telah dicoba oleh perkataan yang dikemukakan Sa'd ibnu Ubadah kemarin, dan sekarang Rasulullah ﷺ akan menghukum dera Hilal ibnu Umayyah serta tidak menerima kesaksiannya lagi di kalangan orang-orang." Hilal berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa demi Allah, saat Rasulullah ﷺ hendak memerintahkan agar menjatuhkan hukuman dera terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah ﷺ Dan Rasulullah ﷺ bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman mukanya yang kelihatan berubah.
Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum wahyu selesai diturunkan. Wahyu tersebut adalah firman Allah ﷻ yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6) Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah ﷺ bersabda: Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya. Hilal berkata, "Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Panggillah istrinya!" Maka mereka memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah ﷺ membacakan ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia. Maka Hilal berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya." Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong." Rasulullah Saw; bersabda, "Adakanlah sumpah Lian di antara keduanya." Lalu dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah kamu." Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam dakwaannya.
Ketika sumpahnya menginjak yang kelima, dikatakan kepadanya, "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Hilal menjawab, "Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya." Maka Hilal tanpa ragu-ragu mengucapkan sumpahnya yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila ia dusta.
Kemudian dikatakan kepada istrinya, "Bersaksilah kamu sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)." Dan pada sumpahnya yang kelima dikatakan kepada istri Hilal, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Maka dia diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata, "Demi Allah aku tidak akan mempermalukan kaumku." Maka ia menyatakan sumpahnya yang kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.
Lalu Rasulullah ﷺ menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina. Barang siapa menuduh ibunya sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh orang lain berbuat zina). Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula karena suami meninggal dunia. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka anak itu adalah anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi, dan pantatnya besar, maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan berbuat zina dengannya.
Ternyata ia melahirkan bayi yang berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ". Seandainya tidak ada sumpah, tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan. Ikrimah mengatakan bahwa sesudah dewasa anak tersebut menjadi amir di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya. Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal, tetapi secara ringkas.
Hadis ini mempunyai syawahid (bukti) yang banyak di dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Antara lain ialah apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Addi, dari Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal ibnu Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi ﷺ Maka Nabi ﷺ bersabda: Bukti ataukah hukuman dera menimpa punggungmu. Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?" Maka Nabi ﷺ bersabda: Kemukakanlah buktimu.
Jika tidak, maka hukuman dera menimpa punggungmu. Hilal berkata, "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya, dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada Nabi ﷺ, yaitu: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (An-Nur: 9) Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Nabi ﷺ mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya. Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat di antara kamu berdua? Kemudian istri Hilal bangkit dan bersumpah.
Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab Allah menimpa pelakunya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku di masa mendatang." Lalu ia mengemukakan sumpahnya yang kelima.
Maka Nabi ﷺ bersabda: ". Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma. Ternyata dia melahirkan anak dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ Maka Nabi ﷺ bersabda, ". "Seandainya tidak ada ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam suatu keadaan." Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Bukhari melalui jalur ini. Selain Imam Bukhari ada pula yang meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Az-Ziyadi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu kulaib, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ, lalu menuduh istrinya berbuat zina dengan seorang lelaki.
Rasulullah ﷺ tidak suka mendengar berita itu, sedangkan si lelaki tersebut mengulang-ulang pengaduannya, hingga turunlah firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan ayat berikut ini dengan selanjutnya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya dipanggil untuk membawa pesannya bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang berkenaan dengan masalah mereka berdua. Lelaki itu dipanggil, lalu dibacakan kepadanya ayat-ayat ini. Maka ia menyatakan sumpahnya dengan nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian lelaki itu dibungkam mulutnya atas perintah dari Rasulullah, dan Rasulullah ﷺ menasihatinya, "Segala sesuatu lebih ringan baginya daripada laknat Allah." Kemudian lelaki itu dilepaskan dan bersabdalah Rasulullah ﷺ, "Laknat Allah atas lelaki itu jika dia termasuk orang-orang yang berdusta." Kemudian Nabi ﷺ memanggil istrinya dan membacakan kepadanya ayat-ayat tersebut.
Maka ia bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar mulut perempuan itu dibungkam, lalu diberinya nasihat "Celakalah kamu, segala sesuatu itu lebih ringan daripada murka Allah." Lalu dilepaskan dan perempuan itu menyatakan sumpahnya, bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Ingatlah, demi Allah, aku sungguh-sungguh akan memutuskan peradilan di antara kamu berdua dengan keputusan yang pasti. Maka wanita itu melahirkan anaknya, dan ternyata tiada seorang bayi pun di Madinah yang lebih besar daripada bayi perempuan tersebut.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika dia melahirkan bayi yang berciri khas anu dan anu, maka itu adalah hasil hubungannya dengan suaminya. Dan jika dia melahirkan bayi seperti anu dan anu, berarti hasil hubungannya dengan lelaki lain." Ternyata bayi itu mirip dengan lelaki yang dituduh berbuat mesum dengannya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair ketika ditanya mengenai dua orang (suami istri) yang saling melaknat (sumpah li'an), apakah keduanya dipisahkan.
Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Ibnuz Zubair. Sa'id ibnu Jubair tidak mengetahui apa yang harus ia jawab, maka ia bangkit menuju ke rumah Ibnu Umar dan bertanya kepadanya, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah dua orang yang saling melaknat (sumpah li'an) dipisahkan?" Ibnu Umar menjawab, "Mahasuci Allah, sesungguhnya orang yang mula-mula menanyakan masalah tersebut adalah Fulan bin Fulan." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa si Fulan tersebut bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang melihat istrinya sedang melakukan perbuatan keji (zina).
Jika lelaki itu berbicara, berarti ia mengatakan suatu perkara yang besar; dan jika dia diam, berarti dia mendiamkan suatu perkara yang besar." Rasulullah ﷺ diam dan tidak menjawabnya, kemudian lelaki itu pergi. Di lain waktu lelaki itu datang kembali menghadap kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata kepadanya, "Masalah yang pernah saya tanyakan kepada engkau benar-benar menimpa diri saya." Maka Allah ﷻ menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur, dimulai dari firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9) Maka Rasulullah ﷺ memulai dari pihak laki-laki. Untuk itu beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat.
Lelaki itu menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak berdusta." Kemudian perhatian beliau beralih kepada pihak wanita. Beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Maka pihak wanita menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya suaminya itu dusta." Pihak laki-laki dipersilakan untuk memulai menyatakan sumpahnya sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar.
Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah menimpa dirinyajika ia termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian pihak wanita menyatakan sumpahnya. Ia mengemukakan sumpah sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya). Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa murka Allah akan menimpa dirinyajika suaminya termasuk orang-orang yang benar.
Kemudian Rasulullah ﷺ memisahkan di antara keduanya. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hammad,.telah menceritakan kepada kami Abu Uwanah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami pernah duduk di petang hari Jumat di dalam masjid, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Apabila seseorang di antara kita melihat ada lelaki lain bersama istrinya (sedang berbuat zina), maka jika dia membunuh lelaki itu, kalian tentu akan membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kalian akan menderanya; dan jika dia diam, maka terpaksa ia memendam rasa amarahnya.
Demi Allah, jika keesokan hari aku dalam keadaan sehat, sungguh aku akan bertanya kepada Rasulullah ﷺ" Maka lelaki itu bertanya dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya seseorang di antara kami bila melihat seorang lelaki sedang berbuat zina bersama istrinya, jika dia membunuh lelaki itu, tentulah kamu membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kamu menderanya; dan jika ia diam, tentu ia diam dengan memendam kemarahan.
Ya Allah, berilah keputusan hukum." Maka turunlah ayat li'an, dan lelaki yang bertanya itu adalah orang yang mula-mula mendapat cobaan kasus tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya secara tunggal, ia meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy dengan sanad yang sama. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sahi ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Uwaimir datang kepada Asim ibnu Addi, lalu berkata kepadanya, "Tanyakanlah kepada Rasulullah ﷺ, bagaimanakah pendapatnya tentang seorang lelaki yang menjumpai lelaki lain berbuat zina bersama istrinya, lalu lelaki itu membunuhnya.
Apakah ia dihukum mati karenanya, ataukah ada cara lain yang harus dilakukannya?" Asim menanyakan masalah itu kepada Rasulullah ﷺ, tetapi beliau mencela orang yang mengajukan pertanyaan tersebut. Ketika Asim ditemui oleh Uwaimir, maka Uwaimir bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan dengan pesanku?" Asim menjawab, "Kamu tidak membawa kebaikan kepadaku. Sesungguhnya aku telah menanyakan masalah itu kepada Rasulullah ﷺ, tetapi beliau mencela pertanyaan tersebut." Uwaimir berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan datang kepada Rasulullah ﷺ untuk menanyakan masalah ini kepadanya." Ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan menjumpainya dalam keadaan telah diturunkan wahyu mengenai masalahnya itu.
Maka Rasulullah ﷺ memanggil keduanya dan mengadakan sumpah li'an di antara keduanya. Lalu Uwaimir berkata, "Wahai Rasulullah, jika saya pulang dengan membawanya, berarti saya dusta terhadapnya." Maka Uwaimir menceraikannya sebelum diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ketetapan bagi dua orang yang terlibat dalam sumpah li'an. Rasulullah ﷺ bersabda: Perhatikanlah oleh kalian wanita itu, jika dia melahirkan bayi yang berkulit hitam, bermata lebar, berpantai besar, maka tiada lain menurutku Uwaimir benar. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit kemerah-merahan seakan-akan seperti wahrah, maka tiada lain menurutku dia dusta. Ternyata ia melahirkan bayinya seperti yang disebutkan dalam sifat yang tidak disukai.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya, juga Jama'ah lainnya kecuali Imam Turmuzi. Imam Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang samar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Falih, dari Az-Zuhri, dari Sahi ibnu Sa'd, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang masalah seorang lelaki yang melihat lelaki lain bersama istrinya (berbuat zina), apakah dia boleh membunuhnya, yang tentunya kalian akan membunuhnya pula, atau bagaimanakah seharusnya yang ia lakukan?" Maka Allah ﷻ menurunkan wahyu berkenaan dengan keduanya, yaitu ayat tentang sumpah li'an.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah telah memutuskan (hukum) mengenai dirimu dan istrimu. Maka keduanya menyatakan sumpah li'an-nya, sedangkan saya menyaksikan peristiwa itu di hadapan Rasulullah ﷺ Lalu Rasulullah ﷺ menceraikan (memisahkan) keduanya. Sejak saat itu merupakan suatu ketentuan, bila ada orang yang saling bersumpah li'an dipisahkan untuk selama-lamanya. Kemudian wanita yang terlibat mengandung, dan bekas suaminya mengingkarinya, maka anaknya itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian ketentuan ini berlaku pula dalam hal waris mewaris, si anak mewarisi ibunya dan si ibu mewarisi anaknya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ baginya. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami lshaq ibnud Daif, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari Zaid ibnu Bati', dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada Abu Bakar, "Seandainya kamu melihat Ummu Ruman (istri Abu Bakar) bersama seorang lelaki, apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan perbuatan yang buruk terhadapnya." Rasulullah ﷺ bertanya (kepada Umar), "Dan kamu, hai Umar, apakah yang akan kamu lakukan?" Umar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan hal yang sama.
Aku berpendapat bahwa semoga Allah melaknat lelaki yang lemah (tidak pencemburu), karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang jahat (buruk)." Maka turunlah firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. (An-Nur: 6) Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui ada seseorang yang me-musnad-kan hadis ini selain An-Nadr ibnu Syamil, dari Yunus ibnu Ishaq. Kemudian Al-Bazzar meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid ibnu Bati' secara mursal.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abu Muslim Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya mula-mula terjadinya sumpah li'an dalam Islam adalah karena Syarik ibnu Sahma. Ia dituduh oleh Hilal ibnu Umayyah melakukan perbuatan zina dengan istrinya, lalu Hilal melaporkannya kepada Rasulullah ﷺ Maka beliau ﷺ bersabda, "Datangkanlah empat orang saksi laki-laki atau punggungmu terkena hukuman had." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diriku benar, dan sesungguhnya Allah pasti akan menurunkan kepadamu wahyu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka Allah menurunkan ayat li'an, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6), hingga akhir ayat li'an.
Maka Nabi ﷺ memanggil Hilal, lalu beliau ﷺ bersabda: Aku bersaksi kepada Allah, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan yang kamu lancarkan terhadap istrimu, bahwa dia telah berbuat zina. Maka Hilal menyatakan sumpah li'an-nya sebanyak empat kali (dengan menyebut nama Allah). Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: Dan laknat Allah atas dirimu jika kamu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang kamu lancarkan terhadap istrimu. Maka Hilal mengucapkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ Kemudian Rasulullah ﷺ memanggil istri Hilal dan bersabda kepadanya: Berdirilah dan bersaksilah (bersumpahlah) kamu dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suamimu itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang dia lancarkan terhadap dirimu. Maka si istri menyatakan sumpah tersebut sebanyak empat kali. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: Dan murka Allah atas dirimu jika suamimu termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang dilancarkannya terhadapmu. Ketika tiba pada sumpahnya yang keempat atau yang kelima, ia berhenti dan diam sejenak sehingga orang-orang menduga bahwa ia akan mengakui perbuatannya secara jujur.
Tetapi ternyata ia berkata, "Aku tidak akan mempermalukan kaumku di masa mendatang." Dan ia melakukan apa yang ditekadkannya. Maka Rasulullah ﷺ memisahkan di antara keduanya, dan bersabda: Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang berambut keriting, berbetis padat, maka dia adalah anak Syarik ibnu Sahma. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit putih, berperawakan sedang, bermata tidak lebar, maka ia adalah anak Hilal ibnu Umayyah. Ternyata dia melahirkan bayi yang berambut keriting dan berbetis padat. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Seandainya tidak diturunkan wahyu Kitabullah mengenai keduanya, tentulah aku dan dia berada dalam keadaan yang lain."
6-7. Setelah menjelaskan ketentuan hukum terhadap penuduh zina secara umum, Allah lalu menguraikan hukum apabila seorang suami menuduh istrinya berzina. Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi yang menguatkan tu-duhan itu selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu, yaitu suami, ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia termasuk orang yang berdusta dalam tuduhan yang dialamatkan kepada istrinya. 6-7. Setelah menjelaskan ketentuan hukum terhadap penuduh zina secara umum, Allah lalu menguraikan hukum apabila seorang suami menuduh istrinya berzina. Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi yang menguatkan tu-duhan itu selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu, yaitu suami, ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia termasuk orang yang berdusta dalam tuduhan yang dialamatkan kepada istrinya.
Ayat ini menerangkan bahwa suami yang menuduh istrinya berzina, dan ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan zina yang dituduhkan itu, maka ia diminta untuk bersumpah demi Allah sebanyak empat kali bahwa istrinya itu benar-benar telah berzina. Sumpah empat kali itu untuk pengganti empat orang saksi yang diperlukan bagi setiap orang yang menuduh perempuan berzina.
Seorang suami menuduh istrinya berzina adakalanya karena ia melihat sendiri istrinya berbuat mesum dengan laki-laki lain, atau karena istrinya hamil, atau melahirkan, padahal ia yakin bahwa janin yang ada di dalam kandungan istrinya atau anak yang dilahirkan istrinya itu bukanlah dari hasil hubungan dengan istrinya itu.
Untuk menyelesaikan kasus semacam ini, suami membawa istrinya ke hadapan yang berwenang dan di sanalah dinyatakan tuduhan kepada istrinya. Maka yang berwenang menyuruh suaminya bersumpah empat kali, sebagai pengganti atas empat orang saksi yang diperlukan bagi setiap penuduh perempuan berzina, bahwa ia adalah benar dengan tuduhannya. Kata-kata sumpah itu atau terjemahannya adalah:
(Demi Allah Yang Maha Agung, saya bersaksi bahwa sesungguhnya saya benar di dalam tuduhanku terhadap istriku "si Anu" bahwa dia berzina)
Sumpah ini diulang empat kali.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dan orang-orang yang menuduh isteri-isteri mereka sendiri, padahal tidak ada mempunyai saksi-saksi, kecuali diri mereka sendiri saja, maka kesaksian seorangnya
laian empai Kali Kesaksian di atas nama Allah, bahwa sungguh-sungguh dia berkata benar
(7) Dan kelima, ialah bahwa laknat Allah atas dirinya jika dia berkata dusta.
(8) Dan akan dihindarkan dari perempuan itu siksaan, jika dia naik saksi pula empat kali, di atas nama Allah, bahwa suaminya itu adalah pendusta.
£jjl «J D'
(9) Dan kelima, bahwa kemurkaan Allah akan menimpa dirinya, kalau suaminya itu di pih^k yang benar.
(77) Dan kalaulah tak ada, kurnia Tuhan Allah beserta rahmatNya, dan bahwa Tuhan Allah adalah pemberi taubat dan Maha Bijaksana.
Hukum Li'an
Sudahlah jelas pada ayat-ayat yang telah lalu betapa beratnya hukum yang harus ditimpakan kepada orang yang kedapatan oleh empat saksi atau mengakui terus-terang, bahwa dia berzina. Dan sudah jelas pula bagaimana beratnya hukuman bagi orang yang berani menuduh perempuan baik-baik melakukan zina."Kalau dia dapat mengemukakan empat saksi yang jelas melihat Taksana
pIsau dimasukkan ke sarungnya' lalu aia meiancamnn tuaunan juga, maKa hukuman beratlah yang akan diterimanya, akan dipukuli badannya dengan cemeti 80 kali.
Cobalah renungkan betapa coraknya masyarakat Islam itu. Yaitu masyarakat yang tinggi mutunya, tidak mengorek-ngorek kesalahan orang dan tidak membuka rahasia orang. Bersopan-santun. Tidak ada dalam majlianya perkataan yang hina dan rendah dan tidak bertanggungjawab. Yang satti menjaga kehormatan yang lain, atau satu rumahtangga yang lain. Kalau orang membicarakan suatd soal dalam majlianya, isi pembicaraan hanyalah hasil ketinggian budi, bukan merunyut budi turun ke bawah.
Pangkalan masyarakat (siam itu ialah rumahtangga yang bahagia, rukun damai suami-isteri. Dari rumahtangga yang rukun damai itulah akan keluar kelaknya anak-anak yang berbakti, yang akan menyambung terus tugas hidup orang tuanya. Memberituk rumahtangga pun bukanlah perkara yang mudah, percobaan-percobaan atasnya pun amat banyak pula. Tiang dan sendiriya ialah percaya-mempercayai dan harga-menghargakan. Hormat-menghormati dan mulia-memuliakan. KesetIsan dan menjaga perasaan. Si isteri menumpahkan kasih kepada suami. Si suami menumpahkan percaya kepada isteri.
Orang laki-laki hendaknya tidak bermata ke belakang ketika dia harus keluar rumah mencari rezeki untuk sandang dan pangan. Rasa cemburu dari kedua belah pihak akan menjadikan rumahtangga laksana neraka, laksana telur di ujung tanduk. Oleh sebab itu Rasulullah s.a.w. mengajarkan, jika seorang laki-laki kembali dari perjalanannya yang jauh pada larut malam, sebaiknya dia tidur di luar rumah saja, jangan mengganggu isterinya sedang enak tidur. Atau, kalau kita menyebut yang buruk, mana tahu, entah si isteri itu telah berlaku curang, sehingga pada waktu itu dia sedang tidur dengan laki-laki lain, jangan sampai menyinggung perasaan kita. Niscaya kita sebagai laki-laki yang tahu harga diri, yang mempunyai syaraf, tidak akan membiarkan hal itu. Niscaya kita akan membayar kontan keadaan itu, kita sentak pIsau dan bunuh keduanya pada waktu itu juga, habis perkara.
Menurut riwayat tarikh, seketika Saiyidiria Umar bin Khalhab menjadi Khatifah, sedang beliau duduk dihartapi oleh orang-orang besar Islam, tiba-tiba datanglah seorang pemuda dengan pedang tersentak ke hadapan majlia beliau, dan pedang itu berlumur darah. Lalu orang itu menceritakan dengan nafas sesak, bahwa pedangnya berlumur darah karena telah menikam isterinya sendiri yang sedang kedapatan seketiduran dengan laki-laki lain. Keduanya mati ditikamnya. Harga diri seorang laki-laki dalam saat seperti demikian, harus ditunjukkan. Kalau tidak begitu adalah Dayyuts namanya. Hina kejatuhan derajat.
Tetapi sikap yang demikian hanya boleh berlaku pada saat yang tidak ada jalan lain lagi.'Sebagai seorang manusia beradab lebih baik kita mengelakkan jangan kejadian. Lebih baik supaya hati jangan luka, kalau perlu jika pulang tengah malam, jangan langsung ke rumah. Tidur saja di tempat lain, mIsalnya di mesjid.
Sekarang timbullah soal keraguan seorang suami terhadap keapda isterinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan ayat 6 sampai 10, Surat an-Nur ini.
Kalau seorang laki-laki mengetahui isterinya berbuat zina, dan dia mengadukan halnya itu kepada hakim, padahal saksi-saksi tidak ada, dia sendiri boleh mengemukakan empat kali kesaksian. Bolehlah susun kata tuduhan itu demikian bunyinya; “Dengan ini saya si lulan anak si fulan menuduh isteri saya nama si anu telah berbuat zina dengan si anu. Di atas nama Allah saya bersumpah bahwa keterangan yang saya berikan ini adalah benar." Perkataan ini diulangnya sampai empat kali.
Sebagai ucapan yang kelima dIsambungkan lagi: “Dan laknat kutuk Tuhan Allah biarlah menimpa diri saya sendiri jika keterangan saya itu dusta."
. Pada saat itu si perempuan tidaklah langsung dirajam atau diriera (dipukul dengan cemeti), tetapi dia diberi kesempatan pula untuk membela dirinya. Yaitu apabila dia menangkia serangan itu dengan kata-kata seumpama; “Saya naik saksi pula di hadapan Allah, bahwasanya suami saya itu adalah bercakap dusta." Dijelaskannya perkataan itu sampai empat kali.
Dan kelima, sebagai penutup kata hendaklah diiringinya: “Dan biarlah kemurkaan Allah menimpa atas diri saya kalau suami saya itu berkata benar."
Hal yang seperti ini bIsa kejadian. Karena kalau sekiranya perempuan itu bunting, sedang suaminya sendiri merasa ragu-ragu, bahkan merasa tidak yakin bahwa anak yang dalam kandungan perempuan itu adalah anaknya sendiri yang akan menyambung keturunannya yang akan menerima warIsan pusakanya jika dia meninggal, sedang saksi yang mengetahui sampai empat orang bahwa perempuan itu berzina, tidak ada, adalah amat berat bagi laki-laki itu. Dia dilarang menuduh isterinya berzina kalau tidak ada empat orang saksi, sedang dia pun bebas buat tidak mengakui anak yang dalam kandungan itu, yang akan dijadikan tanggungjawabnya. Padahal ini adalah soal keturunan, soal darah. Seorang ayah berhak buat meyakini bahwa anak yang dalam kandungan itu adalah sah anaknya sendiri.
Tetapi si perempuan berhak pula mempertahankan dirinya. Kalau hanya tuduhan, meskipun telah dituduhkan sampai empat kali, dan telah dikeluarkan pula dengan kesedIsan menerima kutuk laknak Allah kalau dia berdusta. Namun derajat kesaksian demikian tidaklah sama dengan empat orang saksi yang menyaksikan dengan jelas. Karena betapa pun seorang mempertahankan diri dengan seribu sumpah mIsalnya, kalau ada saksi-saksi menyaksikan berempat, namun sumpah itu tidak berlaku lagi. Sumpah bIsa dipandang sumpah palsu, kalau bukti cukup. Oleh sebab itu maka si perempuan boleh mempertahankan diri dan menolak pula dengan empat kali tolakan segala tuduhan suaminya, pada kata kelima dikuatkannya pula dengan sumpah bahwa dia bersedia pula menerima murka dan kutuk laknat Allah kalau apa yang dituduhkan suaminya itu benar adanya.
Seketika itu hakim hendaklah mengambil keputusan yang tepat. Kalau suami-isteri ini wajib dipIsahkan, tegasnya bercerai atas kehendak hakim. Jika anak itu lahir kelak, tidaklah boleh dia disebut anak dari suami yang menuduh
«u, aan segaia Kewajioan suami temaaap men purusmn suaan sejaK masa Itu. Kalau selama ini si perempuan tinggal di rumah yang disediakan suaminya, mulai hakim melancarkan keputusannya, perempuan itu tidak dalam tanggungan bekas suaminya lagi. Tentang bagaimana keadaan yang seberianya, tidaklah dapat lagi dijangkau oleh hukum yang diatur manusia, sebab sudah terserah kepada Ilmu Allah Ta'ala.
Sebab turunnya ayat ini adalah suqtu riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Abbas:
Ayat 4
“Tatkala diturunkan Tuhan ayat: “Dan orang yang menuduh perempuan baik-baik." (ayat 4). Berkatalah ‘Ashim bin Adi dari sahabat Anshar: Betapa seorang masuk ke dalam rumahnya, diriapatinya seorang laki-laki sedang di atas perut isterinya. Kalau dia terlebih dahulu pergi mencari empat orang saksi orang itu telah selesai melepaskan nafsunya sebelum dia kembali, dan orang itu telah pergi, sedang kalau dibunuhnya, dia mesti dihukum bunuh pula.
Kalau dia berkata bahwa dia mendapati isterinya seketiduran dengan si futan, dia mesti dihukum dera 80 kali karena tidak ada empat saksi. Kalau dia diamkan saja, terpendamlah kemarahan dalam hatinya menjadi dendam. Bagaimana yang baik? “Ya Tuhan, bukakanlah jalan."
Kata Ibnu Abbas selanjutnya: “Si ‘Ashim itu kebetulan mempunyai seorang anak saudara laki-laki ‘Uwainir namanya, dan ‘Uwainir ini telah kawin dengan seorang perempuan bernama Khaulah binti Qaia. Pada suatu hari si ‘Uwainir ini datang kepada ‘Ashim dan berkata: “Saya telah melihat Syuraik bin Samhaak di atas perut isteri saya Khaulah." Terkejut ‘Ashim mendengar berita itu sambil mengucapkan “Inna Lillahi wa Inna llaihi Raji'un". Lalu dia segera menghadap Rasulullah s.a.w. dIsanipaikannyalah kepada beliau berita itu: “Ya Utusan Allah, dengan cepat keadaan yang tuan katakan itu telah terjadi dalam keluargaku sendiri." Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apakah yang telah kejadian?" ‘Ashim menjawab: “Kemenakanku ‘Uwainir mengatakan kepadaku bahwa dia melihat sendiri dengan mata kepalanya Syuraik bin Samhaak tidur di atas perut isterinya Khaulah." Padahal baik ‘Uwainir, ataupun Khaulah atau Syuraik itu sendiri adalah dari keluarga anak saudaranya ‘Ashim belaka.
Mendengar itu -kata Ibnu Abbas selanjutnya — Rasulullah s.a.w. memanggil sekalian orang yang bersangkutan, dan setelah hadir semua, berkatalah beliau kepada ‘Uwainir: “Takwalah kepada Allah dari hal isterimu dan anak saudaramu, janganlah engkau menuduh isterimu iiu." Menjawablah si ‘Uwainir, “Ya Rasulullah, saya bersumpah Demi Allah, saya lihat sendiri si Syuraik di atas perut isteriku, sehingga lantaran itu sudah empat bulan saya tidak mendekatinya lagi, karena dia telah bunting dari perhubungannya dengan orang lain."
Maka berkata pulalah Rasulullah s.a.w.: “Takwalah engkau kepada Allah dan katakan terus-terang apa yang telah kau perbuat!"
Si perempuan itu menjawab: “Ya Kasulullah! Si ‘Uwainir ini sangat pencemburu. Dilihatnya si Syuraik memandang lama kepada wajahku, dan bercakap-cakap kepada saya, lalu timbul cemburunya."
Tidaklah dapat diambil keputusan. Kalau diturutkan bunyi Wahyu di ayat empat, tidaklah dapat dijalankan, karena yang menuduh ini adalah suaminya, sendiri Si suami betapa pun jua, tidaklah akan dapat dipaksa mengakui anak yang dalam kandungan itu sebagai anaknya, padahal sudah empat bulan dia tidak mencampuri isterinya itu, yaitu sejak timbul keraguan di hatinya. Oleh sebab itu maka soal ini adalah soal baru, yang tidak serupa lagi dengan masalah Qazaf (menuduh perempuan muhshanat). Nabi s.a.w. pun belum dapai mengambil tindakan, sebelum ada ketentuan Wahyu Ilahi. Maka turunlah ayat yang sedang kita perbincangkan ini.
Sekarang kita lanjutkan terus keterangan Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas berkata selanjutnya: “Tiba-tiba turunlah ayat-ayat ini. Maka Rasulullah s.a.w. pun menyuruh pada sahabat berkumpul buat sembahyang “Ash-Shalatu Jami'atun". Maka berkumpullah orang untuk mengerjakan sembahyang ‘Ashar. Sehabis sembahyang, berkatalah Nabi kepada si ‘Uwainir (yang menuduh isterinya itu):
“Berdirilah engkau dan ucapkanlah: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa si Khaulah (isteriku) telah berzina, dan tuduhanku ini adalah benar." Si ‘Uwainir mengulangi perkataan itu dengan tegas.
Lalu Nabi berkata pula: “Katakanlah olehmu: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa saya melihat sendiri si Syuraik telah tidur di atas perutnya, dan saya adalah berkata benar." Ucapan itu pun dikatakan dengan tegas oleh ‘Uwainir.
Lalu Nabi berkata pula: “Katakan: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa dia bunting dari laki-laki lain, bukan dari saya. Dan saya adalah di pihak yang benar." Perkataan itu diulang oleh ‘Uwainir dengan tegas.
Nabi melanjutkan pula: “Katakanlah: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa dia telah berzina, dan saya telah tidak mendekatinya sejak 4 bulan, dan saya adalah berkata benar." Itu pun diturutinya sejelas-jelasnya.
Kemudian itu Nabi berkata: “Katakan: Kutuk laknat Allah akan jatuh ke atas diri ‘Uwainir (dirinya sendiri), kalau dia berkata dusta."
Setelah selesai dia mengatakan perkataan yang diajarkan Nabi itu, satu demi satu, Nabi pun bersabda: “Sekarang duduklah!" Si ‘Uwainir pun duduk.
“Sekarang, engkau pula berdiri!" ujar Nabi s.a.w. kepada Khaulah. Lalu dia pun berdiri dan diajarkan Nabi pula kepadanya ucapan-ucapan yang pertama: Saya bersaksi di hadapan Allah bahwa saya tidaklah berzina, dan suami saya tidak pernah melihat si Syuraik tidur di atas perut saya. Percakapan suami saya itu adalah dusta." Memang ‘Uwainir adalah bercakap dusta!"
Ucapan yang kedua: “Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa dia tidak pernah melihat si Syuraik tidur di atas perut saya."
Ucapan ketiga: “Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya bunting ini adalah dari suami saya sendiri. Tuduhannya itu adalah dusta."
Ucapan keempat: “Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa suami saya tidaklah pernah melihat saya berbuat jahat. Segala tuduhannya itu adalah dusta."
Ucapan kelima ialah: “Kemurkaan Allah biarlah menimpa Khaulah (dirinya sendiri), kalau tuduhan ‘Uwainir itu benar."
Berkata Ibnu Abbas selanjutnya: “Setelah mendengar kedua keterangan itu, maka Rasulullah s.a.w. memutuskan memfarak (memIsahkan) di antara keduanya."
Menurut riwayat !bnu Abbas juga dari silsilah yang lain: “Setelah si Khaulah itu sampai kepada syahartah yang kelima, adalah orang mengatakan kepadanya, apabila engkau ucapkan syahartah kelima, meskipun engkau terlepas dari hukuman dera, namun siksa Tuhan Allah atas dirimu kelak adalah amat besar. Mendengar itu si Khaulah kelihatan agak gugup, nyaria dia mengaku saja terus-terang. Tetapi kedengaran dia berbisik: “Saya tidak hendak memberi malu kaumku." Maka dengan segera diucapkannyalah kesaksian yang kelima itu."
Maka selesailah perkara, si ‘Uwainir tidaklah dihukum dera 80 kali karena menuduh dengan tidak mengemukakan empat saksi. Karena hal itu telah digantinya dengan 4 kali perkataan dengan dikuatkan dengan kesaksian di hadapan Allah, ditutup dengan ucapan kelima bahwa dia bersedia menerima kutuk laknat Allah, kalau dia berkata dusta.
Si perempuan telah terlepas dari hukum rajam sampai mati, atau dera sampai mati karena berzina, karena yang menuduh tidak dapat mengemuka-kan 4 saksi, dan dia diberi kesempatan menangkia tuduhan 4 kali pula dengan memakai “Kesaksian Allah" itu, dengan 4 kali tangkIsan kesaksian Allah pula dikuatkan pada yang kelimanya dengan kesedIsan menerima risiko, yaitu kemurkaan Allah dunia dan akhirat.
Hidup itu telah rusak, rumahtangga telah hancur lebur, sehingga tidak dapat diteruskan lagi. Kesaksian si laki-laki di muka umum bahwa anak yang dalam kandungan itu bukanlah anaknya, tidaklah dapat hakim yang mana jua pun memaksanya mengubahnya.
Keduanya pun dipIsahkan buat selamanya, si laki-laki tidak berkewajiban apa-apa lagi kepada perempuan itu, dan anak itu tidak berhak selama-lamanya buat mengakui bahwa dia anak laki-laki yang telah menuduh ibunya berzina. Dan konsekwensi selanjutnya ialah bahwa tidak diakui sah hubungan nasab turunan di antara anak itu dengan bekas suami ibunya itu. Tidak ada pembagian harta pusaka jika mati.
Hukum begInilah yang dinamai “Li'an" atau “Mula'anah", artinya kutuk-mengutuk.
Ada juga riwayat yang lain menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata bahwa jika anak itu lahir kelak, kalau matanya hitam bulat dan pinggulnya tegap, benarlah perkataan si ‘Uwainir, tetapi kalau kulitnya kemerah-merahan, artinya menyerupai si ‘Uwainir sendiri, bohonglah dia dan benarlah
pertahanan perempuan itu. L.alu ada berita bahwa anak itu lahir cnembawa wajah yang tidak menyenangkan, entah barangkali merugikan pihak yang perempuan. Maka soal-soal yang begitu tidak dibicarakan lagi. Perkaranya sudah habis, keadaan yang seberianya terserahlah kepada Tuhan, karena di belakang hidup kita yang sekarang ini akan ada lagi ‘‘Yaumul HIsab ‘, hari berhitung yang seberianya. Di situlah perkara akan lebih jelas.
Di dalam pelaksanaan hukum ini nampaklah anugerah kurnia Ilahi dan rahmatNya. Begitu beratnya hukuman atas orang berzina jika cukup saksi, dan begitu pula beratnya hukuman bagi si penuduh kalau saksi tidak cukup. Maka dengan kurnia Ilahi, hukum ini bertjbah jadiriya kalau tuduh-mengduh ini terjadi di antara suami-isteri. Tidak akan dijalankan hukum itu, adalah kurnia dan rahmat. Tetapi harus dikemukakan pertanggunganjawab jiwa yang maha berat, yaitu 4 kali naik saksi dengan nama Allah dan bersedia dikutuk laknat Allah atau ditimpa murkaNya kalau ada yang bohong. Bagi seorang Mu'min soal ini lebih berat daripada hanya pukulan dan cambuk.
Dengan adanya sebutan Tuhan adalah pemberi taubat, terbayanglah betapa besanya soal ini. Tuduh-menuduh, yang sampai mengelakkan pe-ngakuan terhadap anak yang dalam kandungan, bukanlah perkara kecil dan patut diabaikan. Seorang Mu'min tidak akan berani menempuh jalan ini kalau tidak sangat dharurat.
Dengan adanya sebutan sifat tuan hakim, maha bijaksana, nampaklah bahwa tidak akan ada pelanggaran atas keadilan. Si laki-laki tidaklah akan begitu lancang menuduh isterinya bunting bukan mengandung anaknya. Si perempuan tidaklah akan langsung dihukum rajam lantaran tuduhan itu, karena saksi yang cukup tidak ada. Tuhan Allah adalah Maha Bijaksana, karena seakan-akan Tuhan Yang Maha Bijaksana itulah sekarang yang mengambil tanggungjawab dari tangan manusia, halta pun dari tangan Nabi Muhammad s.a.w. sendiri dan kelak di hari akhirat akan dibukalah keadaan yang seberianya. Walaupun mIsalnya jika anak itu lahir kelak, akan jelas pada wajahnya, anak siapa dia seberianya, karena anak itu menyerupai orang tuanya, perkara tidak boleh dibuka-buka lagi.
Tidak ada faedahnya membuka-buka soal seperti itu kembali dalam masyarakat Islam yang tinggi mutunya.