Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّا
tidak
يُؤَاخِذُكُمُ
menghukum kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِٱللَّغۡوِ
dengan tidak sengaja
فِيٓ
didalam
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpahmu
وَلَٰكِن
tetapi
يُؤَاخِذُكُم
Dia menghukum kamu
بِمَا
dengan sebab
كَسَبَتۡ
diusahakan/disengaja
قُلُوبُكُمۡۗ
hatimu
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
لَّا
tidak
يُؤَاخِذُكُمُ
menghukum kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِٱللَّغۡوِ
dengan tidak sengaja
فِيٓ
didalam
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpahmu
وَلَٰكِن
tetapi
يُؤَاخِذُكُم
Dia menghukum kamu
بِمَا
dengan sebab
كَسَبَتۡ
diusahakan/disengaja
قُلُوبُكُمۡۗ
hatimu
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
Terjemahan
Allah tidak menghukummu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukummu karena sumpah yang diniatkan oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Tafsir
(Allah tidaklah menghukum kamu disebabkan sumpah kosong), artinya yang tidak dimaksud (dalam sumpah-sumpahmu) yakni yang terucap dari mulut tanpa sengaja untuk bersumpah, misalnya, "Tidak, demi Allah!" Atau "Benar, demi Allah!" Maka ini tidak ada dosanya serta tidak wajib kafarat. (Tetapi Allah akan menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu), artinya kamu sadari bahwa itu sumpah yang tidak boleh dilanggar. (Dan Allah Maha Pengampun) terhadap hal-hal yang tidak disengaja (lagi Maha Penyantun) hingga sudi menangguhkan hukuman terhadap orang yang akan menjalaninya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 224-225
Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan islah (perbaikan) di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Ayat 224
Allah ﷻ berfirman bahwa janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian atas nama Allah menghalang-halangi kalian untuk berbuat kebajikan dan silaturahmi dengan bersumpah untuk tidak melakukannya. Perihalnya sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?” (An-Nur: 22) Berpegang teguh dengan sumpah yang demikian menyebabkan pelakunya berdosa.
Karena itu, ia harus melepaskan sumpahnya dan membayar kafarat. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih Al-Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa kalimat berikut merupakan hadits yang diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, yaitu bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Kami (umat Muhammad) adalah orang-orang yang terakhir (adanya), tetapi orang-orang yang paling dahulu (masuk surga) di hari kiamat.” Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Demi Allah, sesungguhnya seseorang dari kalian berpegang teguh pada sumpahnya terhadap keluarganya menjadi orang yang berdosa menurut Allah daripada dia membayar kafarat yang telah diwajibkan oleh Allah atas sumpahnya itu.”
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq dengan lafal yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi'.
Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yaitu Ibnu Salam), dari Yahya (yaitu ibnu Abu Kasir), dari Ikrimah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang bersitegang terhadap keluarganya dengan memegang sumpahnya, maka perbuatan itu dosanya amat besar, kafarat tidak cukup untuk menutupinya.”
Menurut riwayat yang lain, hendaklah ia melanggar sumpahnya, lalu membayar kafarat. Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang.” (Al-Baqarah: 224) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah 'janganlah kamu jadikan sumpahmu menghalang-halangi dirimu untuk berbuat kebaikan, tetapi bayarlah kafarat sumpahmu itu dan berbuat kebaikanlah'. Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Asy-Sya'bi, Ibrahim, An-Nakha'i, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, lkrimah, Makhul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Kurrasani, dan As-Suddi rahimahumullah.
Pendapat mereka diperkuat oleh sebuah hadits di dalam kitab Shahihain: Dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya aku, demi Allah, insya Allah, tidak sekali-kali mengucapkan sumpah, kemudian aku memandang bahwa hal lain lebih baik darinya, melainkan aku akan melakukan hal yang lebih baik itu dan aku ber-tahallul dari sumpahku (dengan membayar kafarat).”
Telah disebutkan pula di dalam kitab Shahihain bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada Abdur Rahman ibnu Samurah: “Wahai Abdur Rahman ibnu Samurah, janganlah kamu meminta imarah (jabatan), karena sesungguhnya jika kamu aku beri imarah tanpa ada permintaan dari pihakmu, niscaya aku akan membantunya. Dan jika kamu diberi karena meminta, maka imarah itu sepenuhnya atas tanggung jawabmu sendiri. Dan apabila kamu mengucapkan suatu sumpah, lalu kamu melihat hal lain yang lebih baik daripada sumpahmu itu, maka kerjakanlah hal yang lebih baik darinya itu dan bayarlah kafarat sumpahmu.”
Imam Muslim meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:”Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia melihat hal lain yang lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia membayar kafarat sumpahnya dan melakukan hal yang lebih baik itu.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Khalifah ibnu Khayyat, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lain yang lebih baik daripada sumpahnya, maka meninggalkan sumpahnya itu merupakan kafaratnya.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan melalui jalur Abu Ubaidillah ibnul Akhnas, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tiada nazar dan tiada sumpah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam (orang yang bersangkutan), tidak pula dalam maksiat kepada Allah, dan tidak pula dalam memutuskan silaturahmi. Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lain yang lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia meninggalkan sumpahnya dan hendaklah ia melakukan hal yang lebih baik itu, karena sesungguhnya meninggalkan sumpah merupakan kafaratnya.”
Kemudian Imam Abu Dawud mengatakan bahwa hadits-hadits yang dari Nabi ﷺ semuanya mengatakan: “Maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya.” Riwayat inilah yang shahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Harisah ibnu Muhammad, dari Umrah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah untuk memutuskan silaturahmi dan berbuat maksiat, maka untuk menunaikan sumpahnya itu adalah dengan melanggarnya dan mencabut kembali sumpahnya.” Hadits ini dha’if, mengingat Harisah adalah Ibnu Abur Rijal yang dikenal dengan sebutan Muhammad ibnu Abdur Rahman; hadisnya tidak dapat dipakai dan dinilai lemah oleh semuanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Musayyab, Masruq serta Asy-Sya'bi, bahwa mereka mengatakan: “Tidak berlaku sumpah dalam hal maksiat, dan tidak ada kafarat atasnya.”
Ayat 225
Firman Allah ﷻ: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah).” (Al-Baqarah: 225)
Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak pula mewajibkan suatu sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.
Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dengan nada yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan dalam sumpah-nya, "Demi Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan pula, "Tidak ada Tuhan selain Allah." Hal ini dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada orang-orang Jahiliah yang baru masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih terikat dengan kebiasaannya di masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata tanpa sengaja.
Untuk itu mereka diperintahkan mengucapkan kalimah ikhlas, mengingat mereka mengucapkannya tanpa sengaja, dan kalimat terakhir (kalimat tauhid) berfungsi meralat kalimat yang pertama. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan: “Tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian.” (Al-Baqarah: 225) Di dalam ayat yang lain disebutkan: “Disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah: 89)
Imam Abu Dawud di dalam Bab "Sumpah yang Tidak Disengaja" mengatakan: telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan kepada kami Ibrahim (yakni As-Saig), dari ‘Atha’ mengenai sumpah yang tidak disengaja; Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang lelaki di dalam rumahnya, ‘Tidak demikian, demi Allah; dan memang benar, demi Allah’."
Kemudian Abu Dawud mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Saig, dari ‘Atha’, dari Siti Aisyah secara mauquf. Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul meriwayatkannya pula, semuanya melalui jalur ‘Atha’, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, Ibnu Abu Laila, dari ‘Atha’, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki', Abdah dan Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah).” (Al-Baqarah: 225) Yang dimaksud adalah sumpah seperti 'Tidak, demi Allah. Memang benar, demi Allah'.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari ‘Atha’, dari Siti Aisyah, dan perkataan Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah).” (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara.
Maka Abdurrazzaq mengatakan demikian, 'Tidak, demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah' dan 'Tidak demikian, demi Allah', mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara, tidak ada kesengajaan dalam hati mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun Ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah).” (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti perkataan seorang lelaki, ‘Tidak, demi Allah', 'Memang benar demi Allah'.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Al-Laits), telah menceritakan kepadaku ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang tidak disengaja itu hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, yaitu seperti perkataan seorang lelaki, 'Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, demi Allah.' Maka hal seperti itu tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya yang ada kafaratnya ialah sumpah yang timbul dari niat hati orang yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak melakukannya."
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Asy-Sya'bi dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta Urwah ibnuz Zubair, Abu Saleh, dan Adh-Dhahhak dalam salah satu pendapatnya; juga Abu Qilabah dan Az-Zuhri.
Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan kepada Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku orang yang tsiqah (bisa dipercaya), dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah).” (Al-Baqarah: 225) Menurutnya makna yang dimaksud ialah jika seseorang di antara kalian mengemukakan sumpahnya atas sesuatu hal, sedangkan dia tidak bermaksud, melainkan hanya kebenaran belaka, tetapi kenyataannya berbeda dengan apa yang disumpahkannya.
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pada salah satu pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pendapatnya, Al-Hasan, Zararah ibnu Aufa, Abu Malik, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Bakr ibnu Abdullah, salah satu pendapat Ikrimah, Habib ibnu Abu Sabit, As-Suddi, Makhul, Muqatil, Tawus, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan Rabi'ah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Maimun Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al-A'rabi, dari Al-Hasan ibnu Abul Hasan yang menceritakan: Rasulullah ﷺ bertemu dengan suatu kaum yang sedang berlomba memanah, ketika itu Rasulullah ﷺ ditemani oleh salah seorang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari kalangan kaum, lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi Allah; dan panah yang lainnya melenceng dari sasaran, demi Allah." Maka berkatalah orang yang menemani Nabi ﷺ kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, lelaki itu telah melanggar sumpahnya." Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidaklah demikian, sumpah yang diucapkan oleh orang-orang yang memanah merupakan sumpah yang tidak disengaja, tidak ada kafarat padanya, tidak ada pula hukuman." Hadits ini berpredikat mursal dan hasan dari Al-Hasan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Siti Aisyah semuanya (kedua pendapat). Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Jabir, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah ucapan seseorang, "Tidak, demi Allah; dan memang benar, demi Allah," dia menduga bahwa apa yang dikatakannya itu benar, tetapi kenyataannya berbeda.
Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur Razzaq, dari Hasyim, dari Mughirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, kemudian ia lupa kepada sumpahnya.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut adalah seperti ucapan seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan penglihatanku jika aku tidak melakukan anu dan anu," atau "Semoga Allah melenyapkan hartaku jika aku tidak datang kepadamu besok, yakni hartaku yang ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan kepada kami ‘Atha’, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, sedangkan kamu dalam keadaan emosi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada kafaratnya bagimu jika kamu melanggarnya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Imam Abu Dawud mengatakan di dalam Bab "Sumpah dalam Keadaan Emosi": Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Mu'allim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara dari kalangan Anshar, keduanya mempunyai bagian warisan. Lalu salah seorang meminta bagian dirinya kepada saudaranya, kemudian saudaranya berkata, "Jika kamu kembali meminta bagian kepadaku, maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah." Maka Khalifah Umar berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan hartamu. Maka bayarlah kafarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan saudaramu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Tidak berlaku sumpah atas dirimu dan tidak pula nazar dalam hal maksiat terhadap Allah ﷻ, tidak pula dalam memutuskan silaturahmi, serta tidak pula dalam apa yang tidak kamu miliki'."
Adapun firman Allah ﷻ: “Tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian.” (Al-Baqarah: 225) Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang tidak hanya seorang, yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu, sedangkan ia mengetahui bahwa dirinya tidak bermaksud begitu (berdusta dalam sumpahnya itu).
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya: “Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: "Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Baqarah: 225)
Setelah menjelaskan larangan bersumpah untuk tidak berbuat baik, Allah pada ayat ini menjelaskan jenis sumpah lain. Allah tidak menghukum dengan memberi sanksi berupa kafarat terhadap kamu karena sumpahmu yang diucapkan dengan tidak kamu sengaja, yakni ucapan sumpah namun tidak ada maksud bersumpah, tetapi Dia menghukum kamu dengan memberi sanksi atau mengazab di akhirat karena niat yang terkandung dalam hatimu, yakni bila kamu bersumpah untuk meyakinkan orang lain. Allah Maha Pengampun atas sumpah yang telah kamu ucapkan, Maha Penyantun dengan tidak segera mengazab orang yang berbuat dosa agar mereka sadar dan bertobat Bagi orang laki-laki yang meng-ila istrinya, yaitu bersumpah tidak akan mencampuri istri, dan lantaran sumpah tersebut seorang istri menderita karena tidak dicampuri dan tidak pula diceraikan; dalam kondisi ini maka istri harus menunggu empat bulan sebagai batas atau tenggang waktu bagi istri untuk menerima keputusan suami, apakah rujuk dengan membayar kafarat sumpah atau cerai. Kemudian jika dalam masa empat bulan itu mereka kembali kepada istrinya dan hidup bersama sebagai suami-istri dan saling memaafkan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas kesalahan yang telah mereka perbuat, Maha Penyayang kepada hamba-hamba yang menyadari kesalahan mereka.
Ayat ini memperingatkan manusia agar berhati-hati mem-pergunakan nama Allah dalam bersumpah. Jangan berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk hal-hal yang tidak baik dan yang dilarang oleh agama, sebab nama Allah sangat mulia dan harus diagungkan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa sebab turunnya ayat 224 ini, ialah ketika Abu Bakar bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa ia tidak akan membantu lagi seorang kerabatnya (an-Nur/24 :22) yang bernama Mistah yang turut menyiarkan kabar bohong menjelek-jelekkan nama Aisyah istri Rasulullah ﷺ Riwayat yang mencemarkan nama baik Aisyah oleh orang-orang munafik disebut hadisul-ifki (kabar bohong).
Dalam ayat ini dilarang bersumpah untuk tidak berbuat baik atau tidak bertakwa atau tidak mengadakan islah di antara manusia. Kalau sumpah seperti itu sudah diucapkan, wajib dilanggar (dibatalkan), sebab sumpah tersebut tidak pada tempatnya, tetapi sesudah sumpah itu dilanggar, harus ditebus dengan membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang budak atau memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau kalau tak sanggup, berpuasa selama 3 hari.
Allah selalu mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh setiap orang. Bersumpah yang hanya ucapan lidah saja tanpa sungguh-sungguh tidaklah akan dihukum Allah. Tapi sumpah yang keluar dari hati dan diucapkan oleh lidah akan dinilai sebagai sumpah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERSUMPAH
Ayat 224
“Dan janganlah kamu jadikan Allah sebagai penghalang bagi sumpah kamu, (yang menghalangi kamu) berbuat kebajikan dan bertakwa dan mendamaikan di antara manusia."
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Atha' bahwa seorang laki-laki datang kepada Aisyah r.a. Orang itu berkata, “Saya bernadzar bahwa saya tidak akan bercakap-cakap dengan si Fulan. Kalau aku bercakap dengan dia, sekalian budak-budakku akan merdeka dan segala harta bendaku akan aku jadikan belan buat menutupi (aku belikan pakaian) bagi Kabah." Mendengar nadzar yang ganjil itu, Aisyah berkata padanya, “Janganlah engkau lanjutkan sumpah atau nadzar demikian. Janganlah engkau jadikan yang demikian akan sebab merdeka budak-budakmu dan jadikan harta bendamu akan jadi pakaian Kabah. Sebab, cara yang demi-kian telah dilarang Allah dengan ayat ‘dan janganlah kamu jadikan Allah jadi penghalang dari sumpahmu'. Sebab itu, hendaklah segera engkau bayar kaffarah dari sumpahmu itu." Nyata sekarang bahwa ayat ini melarang keras orang bersumpah dengan memakai nama Allah untuk menghambat dirinya dari satu pekerjaan yang baik. Banyaklah lagi misal-misal yang dapat dikemukakan untuk itu. Misalnya orang berkata, “Demi Allah, saya tidak akan ke Mekah selama si anu masih bercokol di sana" Atau, “Demi Allah, biar si anu dan si fulan itu berkelahi terus-menerus, aku tidak akan mendamaikan mereka." Maka, sumpah-sumpah seperti ini, yang menjadikan Allah jadi penghalang dari suatu perbuatan yang baik atau menjadikan Allah menjadi sasaran sumpah, amatlah dicela oleh Allah. Di ujung ayat, Allah berfirman.
“Dan Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
Allah mendengar perkataan-perkataan yang telanjur itu sebab nama-Nya telah dijadikan penghalang atau sasaran dan Allah pun mengetahui bahwa perbuatan dan percakapan yang demikian adalah timbul dari kekurangan adab kepada Allah yang tiada pantas bagi seorang yang beriman.
Kemudian, datanglah lanjutan peraturan Allah lagi berkenaan dengan sumpah,
Ayat 225
“Tidaklah diperhitungkan oleh Allah apa yang sia-sia pada sumpah kamu."
Di sini terdapat kata laghwi, yang di dalam terjemahannya kita artikan sia-sia.
Menurut arti yang biasa, laghwi berarti kata-kata telanjur atau kata-kata yang tidak diperhitungkan masak-masak. Bercakap asal bercakap saja. Maka, dalam hal ini ahli-ahli tafsir yang mu'tabar telah mengeluarkan berbagai pendapat. Menurut Ibnu Abbas, Aisyah, dan sebagian ahli-ahli tafsir, arti laghwi di sini ialah kata terbiasa yang diucapkan orang sekadar menguatkan kata saja, misalnya “tidak!", “demi Allah!" atau “memang begitu halnya! Demi Allah". Ini diucapkan di dalam percakapan sehari-hari, dengan tidak maksud hati sebagai bersumpah.
Menurut al-Maruzi, begitulah arti laghwi pada sumpah itu, yang telah sama pendapat-pendapat ulama-ulama atasnya.
Menurut Abu Hurairah, sumpah laghwi itu ialah bersumpah untuk memastikan bahwa yang akan kejadian ialah begini. Akan tetapi, kemudian setelah sampai waktunya, yang kejadian itu berbeda dengan yang telah dipasti-kannya itu. Itu pun termasuk sumpah laghwi.
Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, sumpah laghwi ialah sumpah seseorang ketika dia sangat marah. Pendapatnya itu dianut juga oleh Thawus dan Makhul. Menurut satu riwayat dari Imam Malik, sumpah laghwi ialah sumpah atas keinginan akan berbuat maksiat. Pendapat ini pun diterima dari Said bin Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan Abdullah bin Zubair dari saudaranya Urwah. Seumpama kalau orang bersumpah bahwa dia akan meminum khamar (tuak) atau bersumpah hendak memutuskan silaturahim. Menurut Zaid bin Aslam, sumpah laghwi ialah sumpah seseorang atas dirinya sendiri, seumpama dia berkata, “Biarlah Allah membutakan mataku,"
Dia menjawab, “Ee, wallah (benar, demi Allah)!"
Orang Islam Indonesia yang tidak terbiasa atau tidak mempunyai kalimat wallah untuk menguatkan kata dan hanya untuk bersumpah saja, apabila mulai bergaul dengan orang Arab, kerap kali merasa terkejut dan menuduh orang Arab mempermudah-mudah nama Allah dan mempermudah-mudah sumpah, padahal bagi mereka hal itu bukan sengaja sumpah, hanya penguat kata saja. Rupanya karena ini telah kebiasaan lama dan bukan sengaja bersumpah, tidaklah dia ditarik oleh Tuhan. Sumpah yang ditarik dan diperhitungkan ialah sumpah yang datang dari hati atau sebagai disebut dalam ayat “diusahakan oleh hati". Sumpah sebenar sumpah yang wajib dikuatkan dengan nama Allah, sumpah yang demikianlah yang dikenakan kaffarah kalau hendak dibatalkan, sebagaimana tersebut dalam surah al-Maa'idah.
Dari segala macam penafsiran ini dapatlah kita simpulkan bahwasanya orang yang sedang sangat marah dan kalap sehingga dia bersumpah memakai nama Allah maka sumpahnya itu tidaklah dimakan hukum. Misalnya kata seorang yang sangat marah kepada anak kandungnya, “Demi Allah, mulai hari ini engkau tidak akan saya beri belanja lagi!" Sumpah waktu marah ini dipandang laghwi, sama juga dengan orang yang menjatuhkan talak kepada istrinya di waktu dia sedang sangat marah.
Di ujung ayat, Allah berfirman,
“Sedang Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(ujung ayat 225)