Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
قُمۡتُمۡ
berdiri/mengerjakan
إِلَى
kepada/untuk
ٱلصَّلَوٰةِ
sholat
فَٱغۡسِلُواْ
maka basuhlah
وُجُوهَكُمۡ
mukamu
وَأَيۡدِيَكُمۡ
dan tanganmu
إِلَى
sampai
ٱلۡمَرَافِقِ
siku-siku
وَٱمۡسَحُواْ
dan sapulah
بِرُءُوسِكُمۡ
dengan/pada kepalamu
وَأَرۡجُلَكُمۡ
dan kaki-kakimu
إِلَى
sampai
ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
kedua mata-kaki
وَإِن
dan jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
جُنُبٗا
berjunub
فَٱطَّهَّرُواْۚ
maka bersucilah kamui
وَإِن
dan jika
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٍ
perjalanan
أَوۡ
atau
جَآءَ
datang
أَحَدٞ
seseorang
مِّنكُم
di antara kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡغَآئِطِ
tempat buang air
أَوۡ
atau
لَٰمَسۡتُمُ
kamu menyentuh
ٱلنِّسَآءَ
perempuan
فَلَمۡ
maka tidak
تَجِدُواْ
kamu mendapatkan
مَآءٗ
air
فَتَيَمَّمُواْ
maka bertayamunlah kamu
صَعِيدٗا
debu/tanah
طَيِّبٗا
baik/bersih
فَٱمۡسَحُواْ
maka usaplah
بِوُجُوهِكُمۡ
dengan/pada mukamu
وَأَيۡدِيكُم
dan tangan-tangan kamu
مِّنۡهُۚ
dari padanya
مَا
tidak
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
لِيَجۡعَلَ
untuk menjadikan
عَلَيۡكُم
atas kalian
مِّنۡ
dari
حَرَجٖ
kesempitan/kesulitan
وَلَٰكِن
akan tetapi
يُرِيدُ
Dia menghendaki
لِيُطَهِّرَكُمۡ
untuk membersihkan kamu
وَلِيُتِمَّ
dan untuk menyempurnakan
نِعۡمَتَهُۥ
nikmat
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
قُمۡتُمۡ
berdiri/mengerjakan
إِلَى
kepada/untuk
ٱلصَّلَوٰةِ
sholat
فَٱغۡسِلُواْ
maka basuhlah
وُجُوهَكُمۡ
mukamu
وَأَيۡدِيَكُمۡ
dan tanganmu
إِلَى
sampai
ٱلۡمَرَافِقِ
siku-siku
وَٱمۡسَحُواْ
dan sapulah
بِرُءُوسِكُمۡ
dengan/pada kepalamu
وَأَرۡجُلَكُمۡ
dan kaki-kakimu
إِلَى
sampai
ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
kedua mata-kaki
وَإِن
dan jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
جُنُبٗا
berjunub
فَٱطَّهَّرُواْۚ
maka bersucilah kamui
وَإِن
dan jika
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٍ
perjalanan
أَوۡ
atau
جَآءَ
datang
أَحَدٞ
seseorang
مِّنكُم
di antara kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡغَآئِطِ
tempat buang air
أَوۡ
atau
لَٰمَسۡتُمُ
kamu menyentuh
ٱلنِّسَآءَ
perempuan
فَلَمۡ
maka tidak
تَجِدُواْ
kamu mendapatkan
مَآءٗ
air
فَتَيَمَّمُواْ
maka bertayamunlah kamu
صَعِيدٗا
debu/tanah
طَيِّبٗا
baik/bersih
فَٱمۡسَحُواْ
maka usaplah
بِوُجُوهِكُمۡ
dengan/pada mukamu
وَأَيۡدِيكُم
dan tangan-tangan kamu
مِّنۡهُۚ
dari padanya
مَا
tidak
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
لِيَجۡعَلَ
untuk menjadikan
عَلَيۡكُم
atas kalian
مِّنۡ
dari
حَرَجٖ
kesempitan/kesulitan
وَلَٰكِن
akan tetapi
يُرِيدُ
Dia menghendaki
لِيُطَهِّرَكُمۡ
untuk membersihkan kamu
وَلِيُتِمَّ
dan untuk menyempurnakan
نِعۡمَتَهُۥ
nikmat
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri) maksudnya hendak berdiri (mengerjakan salat) dan kamu sedang berhadas (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku) artinya termasuk siku itu sebagaimana diterangkan dalam sunah (dan sapulah kepalamu) ba berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya tanpa mengalirkan air. Dan ini merupakan isim jenis, sehingga dianggap cukup bila telah tercapai sapuan walaupun secara minimal, yaitu dengan disapunya sebagian rambut. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii (dan kakimu) dibaca manshub karena diathafkan kepada aidiyakum; jadi basuhlah tetapi ada pula yang membaca dengan baris di bawah/kasrah dengan diathafkan kepada yang terdekat (sampai dengan kedua mata kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadis. Dua mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah betis dengan tumit. Dan pemisahan di antara tangan dan kaki yang dibasuh dengan rambut yang disapu menunjukkan diharuskannya/wajib berurutan dalam membersihkan anggota wudu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafii. Dari sunah diperoleh keterangan tentang wajibnya berniat seperti halnya ibadah-ibadah lainnya. (Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah) maksudnya mandilah (dan apabila sakit) yang akan bertambah parah dengan menyentuh air (atau dalam perjalanan) musafir (atau kamu kembali dari tempat buang air) artinya berhadas (atau menyentuh wanita) hal ini telah dibicarakan dulu pada surah An-Nisa (lalu kamu tidak memperoleh air) yakni setelah mencarinya (maka bertayamumlah) dengan mencari (tanah yang baik) tanah yang bersih (sapulah muka dan tanganmu) beserta kedua siku (dengan tanah itu) dengan dua kali pukulan. Ba menunjukkan lengket sementara sunah menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah hendaklah sapuan itu meliputi kedua anggota secara keseluruhan (Allah tidaklah hendak menyulitkan kamu) dengan kewajiban-kewajiban berwudu, mandi atau tayamum itu (tetapi Dia hendak menyucikan kamu) dari hadas dan dosa (dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu) yakni dengan Islam dengan menerangkan syariat-syariat agama (semoga kamu bersyukur) atas nikmat-Nya itu.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 6
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki; dan jika kalian junub, maka mandilah; dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.
Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Apabila kalian hendak mengerjakan shalat.” (Al-Maidah: 6) Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hendak mengerjakan shalat. Kedua makna tersebut berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu.
Ayat ini memerintahkan berwudhu di saat hendak mengerjakan shalat; tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib, sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat. Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap shalat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh (direvisi).
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Nabi ﷺ selalu wudu setiap hendak mengerjakan shalat.
Pada hari kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang sepatunya serta melakukan beberapa shalat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya." Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya aku melakukannya dengan sengaja, wahai Umar.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadits Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedangkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abbad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnut Tufail Al-Buka-i, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnul Mubasysyir yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Jabir ibnu Abdullah melakukan beberapa kali shalat (fardu) dengan sekali wudu. Apabila ia buang air kecil atau berhadas, maka barulah ia wudu lagi dan mengusap sepasang sepatunya dengan sisa air wudunya. Maka aku (Al-Fadl ibnul Mubasysyir) bertanya, "Wahai Abu Abdullah, apakah sesuatu yang engkau lakukan ini berdasarkan pendapatmu sendiri?" Jabir ibnu Abdullah menjawab, “Tidak, bahkan aku pernah melihat Nabi ﷺ melakukannya, dan sekarang aku melakukan seperti apa yang kulihat Rasulullah ﷺ melakukannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Bukai.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.
Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sumbernya?" Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan berwudu untuk setiap shalat, baik dalam keadaan suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat olehnya, maka beliau ﷺ memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan shalat dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas.
Tetapi Abdullah merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap shalat, dia selalu melakukannya hingga meninggal dunia.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi, Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar. Kemudian Imam Abu Dawud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa'd meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadits yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.
Walau bagaimanapun juga sanad hadits ini shahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah menceritakan hadits ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan. Tetapi Al-Hafidzh ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafal yang sama.
Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkandung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu melakukan wudu untuk setiap shalat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah mendengar dari Mas'ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa sahabat Ali selalu melakukan wudunya untuk setiap shalat, lalu ia membaca firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat.” (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang mengatakan bahwa ia pernah melihat sahabat Ali shalat Zuhur, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah.
Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas."
Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Khalifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu melakukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, "Inilah cara wudu orang yang tidak berhadas." Jalur-jalur periwayatan atsar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali , sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan satu wudu agak singkat, lalu ia mengatakan, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas." Sanad atsar ini shahih.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.
Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Tayalisi, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa melakukan wudu tanpa hadas merupakan perbuatan yang melampaui batas. Maka atsar ini berpredikat gharib dari Sa'id ibnul Musayyab. Kemudian atsar ini dapat diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ditujukan terhadap orang yang meyakininya sebagai hal yang wajib, barulah ia dikatakan sebagai orang yang melampaui batas.
Mengenai pentasyrian sunat wudu untuk setiap kali shalat, maka banyak sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Amir Al-Ansari; ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi ﷺ sering melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya, "Bagaimana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?" Anas ibnu Malik menjawab, "Kami (para sahabat) melakukan semua shalat hanya dengan sekali wudu selagi kami tidak berhadas."
Imam Bukhari meriwayatkannya begitu pula Ahlus Sunan melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, dari Harim, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang melakukan wudu dalam keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadits Isa ibnu Yunus, dari Al-Afriqi, dari Abu Auf, dari Ibnu Umar, lalu ia menuturkan hadits ini yang di dalamnya terdapat suatu kisah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah melalui hadits Al-Afriqi dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits berpredikat dha’if.
Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyatakan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila hendak mengerjakan shalat saja; adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak wajib. Demikian itu karena Rasulullah ﷺ apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah ﷺ apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau ﷺ tidak mau berbicara dengan kami; dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau ﷺ tidak mau menjawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah, yaitu firman-Nya yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat.” (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Muslim, dari Abu Kuraib dengan lafal yang serupa dan sanad yang sama, tetapi hadits ini gharib jiddan (aneh sekali).
Jabir yang disebutkan di dalam sanadnya adalah Ibnu Zaid Al-Ju'fi, dinilai dha’if oleh mereka. Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ baru saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka (para sahabat) menawarkan, "Maukah kamu kami datangkan untukmu air untuk berwudu?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan shalat.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Ahmad ibnu Mani', juga oleh Imam An-An-Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Ketika kami berada di rumah Nabi ﷺ, Nabi ﷺ memasuki kakus dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau hendak berwudu terlebih dahulu?' Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Aku bukan akan melakukan shalat yang karenanya aku harus berwudu.”
Firman Allah ﷻ: “Maka basuhlah muka kalian.” (Al-Maidah: 6)
Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: “Apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian.” (Al-Maidah: 6) sebagai dalil bagi mereka yang menyatakan wajib berniat dalam berwudu.
Karena penjabaran makna firman-Nya: “Apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian.” (Al-Maidah: 6) Yakni demi hendak mengerjakan shalat. Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab, "Apabila kamu melihat amir, berdirilah yakni untuk menghormatinya.” Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits yang mengatakan: “Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut nama Allah ﷻ sebagai permulaan wudunya, karena berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid (baik) dari sejumlah sahabat, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.” Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi kesunatannya bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadits di dalam kitab Shahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum membasuhnya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui di mana tangannya berada semalam.”
Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuhnya rambut dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala) sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut, menurut ukuran panjangnya. Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Ada dua pendapat sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut, apakah termasuk kepala atau muka dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas.
Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits bahwa Nabi ﷺ melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wajah.”
Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidakkah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan dengan anak laki-laki remaja yang tumbuh janggutnya, mereka mengatakannya, “Telah tampak raut mukanya." Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyela rambut janggutnya jika tebal.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata Khalifah Usman menyela-nyela rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh mukanya. Kemudian ia berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.”
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Abdur Razzaq, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.
Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi' ibnu Nafi, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangannya, kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nyelai janggutnya dengan air itu dan bersabda: “Beginilah cara yang diperintahkan oleh Tuhanku.”
Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Dawud. Hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehubungan dengan masalah menyela-nyelai janggut sebuah hadits dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi ﷺ. Kemudian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha'i dan segolongan dari kalangan tabi'in.
Di dalam berbagai kitab shahih disebutkan dari Nabi ﷺ melalui berbagai jalur juga dalam kitab-kitab lainnya bahwa Nabi ﷺ apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan beristinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa'ah ibnu Rafi' Az-Zurqi, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada orang yang melakukan salatnya secara tidak baik: “Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu!”
Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah; atau yang diwajibkan hanya istinsyaq, bukan berkumur, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadits di dalam kitab Shahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.”
Menurut riwayat yang lain disebutkan: “Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah. Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung dengan sedotan yang kuat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh wajahnya, kemudian menciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan beristinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan untuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya, lalu mengambil seciduk air, kemudian ia tuangkan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya hingga mencucinya bersih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan, "Beginilah cara wudu yang pernah kulihat Rasulullah ﷺ melakukannya."
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza'i dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Dan kedua tangan kalian sampai siku.” (Al-Maidah: 6)
Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam firman-Nya: “Dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.” (An-Nisa: 2)
Al-Hafidzh Ad-Daruqutni dan Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkan melalui jalur Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari kakeknya, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: “Rasulullah ﷺ apabila melakukan wudu, memutarkan (meratakan) air ke sekitar kedua sikunya.” Akan tetapi, Al-Qasim yang disebut dalam sanad hadits ini hadisnya tidak dapat dipakai, dan kakeknya berpredikat dha’if.
Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya dengan memulainya dari lengan sehingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Na'im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya karena bekas air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kalian mampu memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukannya.”
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan: Dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang dikasihinya (yakni Nabi ﷺ) bersabda: “Perhiasan orang mukmin kelak sampai sebatas yang dicapai oleh air wudunya.”
Firman Allah ﷻ: “Dan sapulah kepala kalian.” (Al-Maidah: 6)
Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab'id; tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, karena ada dua pendapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya ia merujuk kepada sunnah.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan: Melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu ‘Ashim, yaitu kakek Amr ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi ﷺ, "Apakah engkau dapat memperagakan kepadaku cara wudu Rasulullah ﷺ?" Abdullah ibnu Zaid menjawab, "Ya." Lalu ia meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali dan berkumur serta ber-istinsyaq sebanyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjutnya ia mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke arah depan, kemudian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas tengkuknya, kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula, sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.
Di dalam hadits Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah ﷺ disebutkan hal yang serupa. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Mu'awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah ﷺ dengan keterangan yang serupa. Di dalam hadits-hadits di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadits-hadits ini merupakan keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur'an.
Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun.
Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii), sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dinamakan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempunyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap sebagian dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi. Tetapi kedua belah pihak berhujah (beralasan) dengan hadits Al-Mugirah ibnu Syu'bah yang menceritakan, "Nabi ﷺ memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya. Setelah beliau ﷺ selesai dari menunaikan hajatnya, beliau bersabda, 'Apakah kamu membawa air?' Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu, lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhirnya kedua tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan sepasang sepatunya." Lanjutan hadits ini disebutkan dengan panjang lebar di dalam kitab Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya.
Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ terbatas hanya mengusap pada ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapannya pada bagian kepala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan pengertian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadits lain. Disebutkan bahwa beliau ﷺ mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang sepatunya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap pada bagian luar kain serban.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari ‘Atha’ ibnu Yazid Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudunya. Dia memulainya dengan menuangkan air pada kedua telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, dan membasuh tangan kiri dengan basuhan yang serupa. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali pula, sama dengan basuhan yang pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa ia telah melihat Rasulullah ﷺ melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah itu Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini, lalu ia shalat dua rakaat tanpa mengalami hadas pada keduanya, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahihain melalui jalur Az-Zuhri dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa. Di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan melalui riwayat Abdullah ibnu Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Usman, tentang gambaran wudu yang disebut di dalamnya bahwa ia mengusap kepalanya hanya sekali.
Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali dengan lafal yang serupa. Sedangkan orang-orang yang menyunatkan mengulangi usapan atas kepala berpegang kepada pengertian umum hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Usman , bahwa Rasulullah ﷺ melakukan (basuhan dan usapan) wudunya masing-masing sebanyak tiga kati.
Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Adh-Dhahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Wardan, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepadaku Hamran yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudu. Kemudian ia menyebut hadits yang serupa (dengan hadits di atas), tanpa menyebut berkumur dan istinsyaq. Hamran menyebutkan di dalamnya bahwa kemudian Usman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali dan membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali pula. Setelah itu ia berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan wudu seperti ini, lalu beliau ﷺ bersabda: 'Barang siapa yang berwudu seperti ini, sudah cukuplah baginya'."
Hadits ini diriwayatkan secara munfarid (sendirian) oleh Imam Abu Dawud. Kemudian Abu Dawud mengatakan bahwa hadits-hadits Usman di dalam kitab-kitab shahih menunjukkan bahwa dia mengusap kepalanya hanya sekali.
Firman Allah ﷻ: “Dan (basuhlah) kaki kalian sampai kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6)
Lafal arjulakum dibaca nasab karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya: “Maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: “Dan (basuhlah) kaki kalian.” (Al-Maidah: 6) Ia mengatakan bahwa makna ayat ini dikembalikan kepada membasuh.
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Urwah, ‘Atha’, Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, Ibrahim, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, dan Ibrahim At-Taimi hal yang serupa. Qiraat ini jelas, maknanya menunjukkan wajib membasuh, seperti apa yang dikatakan oleh ulama Salaf. Berdasarkan pengertian ini ada sebagian orang yang berpendapat wajib tertib dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.
Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat berbeda karena ia tidak mensyaratkan adanya tertib ini. Karena itu, seandainya seseorang membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu mengusap kepala; dan membasuh kedua tangan, kemudian membasuh wajah, menurutnya sudah cukup; karena ayat ini memerintahkan agar anggota-anggota tersebut dibasuh, dan huruf wawu bukan menunjukkan makna tertib.
Jumhur ulama dalam membantah pendapat ini mengemukakan suatu pembahasan menurut caranya masing-masing.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian wajah saat hendak mengerjakan shalat, karena perintahnya memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta'qib pengertiannya identik dengan tertib (yakni berurutan). Tidak ada seorang pun yang mengatakan wajib membasuh muka pada permulaannya, kemudian tidak wajib tertib pada basuhan berikutnya. Bahkan hanya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan wajib tertib seperti yang disebutkan oleh ayat, dan pendapat lainnya mengatakan tidak wajib tertib secara mutlak.
Padahal makna ayat menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian muka; diwajibkan tertib pada berikutnya menurut kesepakatan ulama, mengingat tidak ada bedanya. Di antara mereka ada yang berpendapat, "Kami tidak menerima bahwa huruf wawu tidak menunjukkan kepada pengertian tertib, bahkan huruf wawu memang menunjukkan pengertian tertib, seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama nahwu dan ahli bahasa (saraf) serta sebagian kalangan ulama fiqih.
Kemudian mereka berkata, “Seandainya kita hipotesiskan huruf wawu di sini tidak menunjukkan makna tertib secara lugawi (bahasa), maka ia masih menunjukkan makna tertib menurut pengertian syara' dalam hal yang seharusnya berurutan." Sebagai dalilnya ialah sebuah hadits yang menceritakan bahwa setelah Nabi ﷺ melakukan tawaf di Baitullah, beliau keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Safa dan Marwa adalah sebagian dari syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158) Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Aku memulai dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh Allah.” Lafal hadits adalah menurut apa yang ada pada Imam Muslim. Sedangkan menurut lafal Imam An-An-Nasai disebutkan seperti berikut: “Mulailah oleh kalian dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh Allah.”
Ini merupakan kata perintah, dan sanad haditsnya shahih, maka hal ini menunjukkan wajib memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan pengertian tertib menurut syara'. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa setelah Allah menyebutkan dalam ayat ini suatu gambaran yang menunjukkan pengertian tertib pada mulanya, lalu hal-hal yang sama diputuskan, kemudian disisipkan hal-hal yang diusap di antara dua hal yang dibasuh; hal ini jelas menunjukkan kepada pengertian tertib.
Di antara mereka ada ulama yang mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa Imam Abu Dawud telah meriwayatkan, juga yang lain-lainnya, melalui jalur Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan wudu dengan basuhan dan sapuan sekali pada masing-masing anggotanya. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Inilah wudu yang Allah tidak mau menerima shalat kecuali dengannya.” Mereka mengatakan, masalahnya tidak terlepas dari adakalanya beliau ﷺ melakukan wudu secara berurutan yang berarti wajib tertib, atau beliau lakukan wudu tanpa tertib, berarti tidak wajib tertib; hal ini jelas tidak akan ada orang yang mengatakannya. Dengan demikian, berarti apa yang telah kami sebutkan yakni tertib merupakan suatu hal yang wajib dalam wudu.
Mengenai qiraat lain yang membacanya wa-arjulikum dengan dibaca jar, yang menjadikannya sebagai dalil adalah golongan Syi'ah untuk memperkuat pendapat mereka yang mengatakan wajib mengusap kedua kaki. Karena lafal ini menurut mereka di-'ataf-kan kepada mas-hurra-si (menyapu kepala). Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekatnya, "Wahai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajjaj pernah berkhotbah kepada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudu).
Maka ia mengatakan, 'Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta (basuhlah) kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya'."
Maka Anas berkata, "Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajjaj. Allah ﷻ telah berfirman, 'Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian' (dengan bacaan jar pada lafal arjulikum)." Tersebutlah bahwa Anas apabila mengusap kedua telapak kakinya, ia membasahinya (dengan air). Sanad atsar ini shahih sampai kepada Anas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur'an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Sanad atsar ini pun shahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua usapan (sapuan).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sapulah kepala kalian dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6) Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Alqamah, Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali, Al-Hasan menurut salah satu riwayat, Jabir ibnu Zaid dan Mujahid menurut salah satu riwayat, hal yang serupa dengan atsar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub yang mengatakan bahwa ia melihat Ikrimah mengusap kedua kakinya. Ia sering mengatakan apa yang dilakukannya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril turun seraya membawa perintah untuk mengusap (kedua kaki). Kemudian Asy-Sya'bi mengatakan, "Tidakkah engkau perhatikan bahwa tayamum itu dilakukan dengan mengusap anggota yang tadinya (dalam wudu) dibasuh, dan menghapuskan apa yang tadinya disapu (diusap)?"
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ismail yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Amir bahwa orang-orang ada yang mengatakan, "Sesungguhnya Malaikat Jibril turun membawa perintah membasuh (kaki)." Maka Amir menjawab, "Jibril turun dengan membawa perintah mengusap (kaki)." Atsar ini gharib jiddan (asing sekali).
Makna yang dimaksud dari usapan ini dapat diinterpretasikan ke dalam pengertian membasuh ringan, karena berdasarkan sunnah yang telah terbukti kesahihannya yang di dalamnya mewajibkan membasuh kedua kaki. Sesungguhnya bacaan jar ini adakalanya karena faktor berdampingan dan untuk keserasian bacaan, seperti yang terdapat di dalam pepatah orang Arab yang mengatakan, "Juhru dabbin kharibin" (liang biawak yang rusak). Dan sama dengan firman-Nya: “Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal.” (Al-Insan: 21) Hal seperti ini berlaku di dalam bahasa Arab, lagi sudah terkenal.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bacaan ini diinterpretasikan mengandung makna mengusap kedua telapak kaki bila memakai sepatu, menurut Abu Abdullah Asy-Syafii rahimahullah. Ada pula yang menginterpretasikannya kepada pengertian membasuh ringan, bukan hanya sekadar mengusap, seperti yang disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, bagaimanapun juga hal yang diwajibkan ialah membasuh kedua kaki, sebagai suatu fardu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi karena berdasarkan makna ayat ini dan hadits-hadits yang akan kami kemukakan.
Termasuk dalil yang paling baik yang menunjukkan bahwa mengusap diartikan membasuh ringan adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Baihaqi. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Ali Ar-Rauzabadi, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad ibnu Ahmad ibnu Hamawaih Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad Al-Qalanisi, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Maisarah, bahwa ia pernah mendengar An-Nizal ibnu Sabrah menceritakan sebuah hadits dari Ali ibnu Abu Thalib.
Disebutkan bahwa Ali ibnu Abu Thalib melakukan shalat Zuhur, kemudian duduk melayani keperluan orang-orang banyak di halaman Masjid Kufah, hingga masuk waktu shalat Asar. Kemudian diberikan kepadanya satu kendi air, maka ia mengambil sebagian darinya sekali ambil dengan kedua telapak tangannya, lalu ia gunakan untuk mengusap wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kakinya. Kemudian ia bangkit berdiri dan meminum air yang masih tersisa seraya berdiri.
Khalifah Ali ibnu Abu Thalib mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang menilai makruh minum sambil berdiri, tetapi sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah melakukan seperti apa yang aku lakukan (yakni minum sambil berdiri)." Ali berkata, "Inilah wudu orang yang tidak berhadas."
Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab shahih, dari Adam yang sebagiannya semakna dengan hadits ini. Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang sepatu dari kalangan ulama Syi'ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan. Demikian pula pendapat orang yang membolehkan mengusap keduanya; dan membolehkan membasuh keduanya, pendapatnya ini pun keliru. Orang yang menukil dari Abu Ja'far Ibnu Jarir, bahwa Ibnu Jarir telah mewajibkan membasuh kedua kaki berdasarkan hadits-hadits, dan mewajibkan mengusap keduanya berdasarkan makna ayat.
Maka sesungguhnya pengertian ini tidak mencerminkan mazhabnya dalam masalah yang dimaksud. Sesungguhnya apa yang dikatakannya di dalam kitab tafsirnya hanyalah menunjukkan bahwa dia bermaksud mewajibkan menggosok kedua kaki, bukan anggota wudu lainnya, karena keduanya menempel di tanah dan tanah liat serta hal-hal yang kotor lainnya. Karena itu, keduanya wajib digosok untuk menghilangkan apa yang menempel pada keduanya.
Akan tetapi, Ibnu Jarir mengungkapkan pengertian menggosok ini dengan kata-kata mengusap, sehingga bagi orang yang tidak merenungkan kata-katanya menyangka bahwa Ibnu Jarir bermaksud menghimpun keduanya sebagai hal yang wajib, yakni membasuh dan menggosoknya. Maka sebagian orang meriwayatkan darinya atas dasar pemahaman yang dangkal itu, karenanya masalah ini dinilai sulit oleh kebanyakan ulama fiqih, sedangkan Ibnu Jarir sendiri dimaafkan. Mengingat tidak ada gunanya menghimpun antara mengusap dan membasuh, baik mencuci ataupun menggosok lebih dahulu, karena pengertian menggosok termasuk ke dalam pengertian membasuh.
Sesungguhnya yang dimaksud oleh Ibnu Jarir hanyalah seperti ulasan yang telah kami kemukakan tadi (yakni berupaya menggabungkan antara membasuh dan mengusap). Kemudian kami renungkan kembali kata-katanya, ternyata dapat kesimpulan baru bahwa dia bermaksud menggabungkan di antara kedua bacaan pada firman-Nya ini antara bacaan wa-arjulikum dibaca jar yang menunjukkan makna mengusap, yakni menggosok; dan bacaan wa-arjulakum dibaca nasab yang menunjukkan pengertian membasuh. Karena itulah ia mewajibkan keduanya karena berpegang kepada penggabungan di antara kedua qiraat (bacaan) tersebut.
Hadits-hadits yang menyebutkan membasuh kedua kaki dan bahwa membasuh kedua kaki merupakan suatu keharusan.
Dalam hadits Amirul Muminin Usman, Ali, Ibnu Abbas, Mu'awiyah, Abdullah ibnu Zaid ibnu ‘Ashim, dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membasuh kedua kaki dalam wudunya, adakalanya dua kali atau tiga kali, menurut riwayat masing-masing yang berbeda-beda. Di dalam hadits Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan wudu dan di dalamnya beliau membasuh kedua kakinya, kemudian bersabda: “Ini adalah wudu yang Allah tidak mau menerima shalat kecuali dengannya.”
Di dalam kitab Shahihain melalui riwayat Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan bersama kami berhenti, lalu beliau menyusul kami dan masuklah waktu shalat Asar, yang saat itu kami dalam keadaan lelah. Maka kami lakukan wudu dan kami mengusap pada kedua kaki kami. Lalu Rasulullah ﷺ berseru dengan sekuat suaranya: “Sempurnakanlah wudu, celakalah bagi tumit yang tidak dibasuh karena akan dibakar oleh neraka.”
Hal yang sama disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Abu Hurairah.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Sempurnakanlah wudu, celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar oleh neraka.”
Al-Al-Laits ibnu Sa'd meriwayatkan dari Haiwah ibnu Syuraih, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Hirz, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit dan telapak-telapak kaki yang dibakar neraka (karena tidak dibasuh).”
Imam Baihaqi dan Imam Hakim meriwayatkannya. Sanad hadits ini shahih.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abi Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Abu Karb atau Syu'aib ibnu Abu Karb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika berada di atas bukit mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar neraka (karena tidak dibasuh dalam wudu).”
Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Abu Karb, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah melihat ke arah kaki seorang lelaki yang padanya terdapat bagian sebesar uang dirham belum terbasuh. Maka beliau ﷺ bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.”
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Sa'id dengan sanad dan lafal yang serupa. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Sa'id ibnu Abu Kuraib, dari Jabir, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah melihat suatu kaum sedang melakukan wudu tanpa menuangkan air pada tumit mereka. Maka beliau ﷺ bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ayub ibnu Uqbah, dari Yahya ibnu Kasir, dari Abu Salamah, dari Mu'aiqib yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.” Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Mit-rah ibnu Yazid, dari Ubaidillah ibnu Zahr, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.” Abu Umamah mengatakan, "Sejak saat itu di dalam masjid tiada seorang pun yang terhormat dan tiada pula seorang pun yang kecil, melainkan kulihat dia membolak-balikkan kedua tumitnya seraya memandang kepada keduanya (untuk memeriksa apakah ada bagian yang belum terbasuh oleh air wudunya)."
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Zaidah, dari Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Abu Umamah atau dari saudara lelaki Abu Umamah, bahwa Rasulullah ﷺ memandang ke arah suatu kaum yang sedang mengerjakan shalat, sedangkan pada tumit seseorang atau mata kaki seseorang dari mereka terdapat bagian sebesar uang dirham atau sebesar kuku yang masih belum tersentuh air. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.” Abu Umamah melanjutkan kisahnya, bahwa sesudah itu lelaki tersebut bila melihat sesuatu bagian dari tumitnya yang masih belum terkena air, maka ia mengulangi lagi wudunya.
Segi pengambilan dalil dari hadits-hadits ini jelas. Karena itu, seandainya yang diwajibkan adalah mengusap kedua kaki atau sudah cukup hanya dengan mengusap keduanya, maka niscaya Rasulullah ﷺ tidak mengancam orang yang meninggalkan pembasuhan. Karena mengusap itu tidak dapat menyeluruh ke semua bagian kaki, melainkan hanya seperti apa yang dilakukan terhadap mengusap sepatu. Demikianlah analisis yang digunakan oleh Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bantahannya terhadap aliran Syi'ah.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui jalur Abuz Zubair, dari Jabir, dari Umar ibnul Khattab, bahwa seorang lelaki melakukan wudu, dan meninggalkan bagian sebesar kuku tanpa terbasuh pada telapak kakinya.
Nabi ﷺ melihatnya, maka Nabi ﷺ bersabda: “Kembalilah dan lakukanlah wudumu dengan baik.”
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, bahwa ia pernah mendengar Qatadah ibnu Di'amah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ dalam keadaan telah berwudu, tetapi ada sebagian dari tumitnya sebesar kuku yang belum terbasuh. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Kembalilah dan lakukanlah wudumu dengan baik.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Harun ibnu Ma'ruf dan Ibnu Majah, dari Harmalah dan Yahya, keduanya dari Ibnu Wahb dengan lafal yang sama; sanad hadits ini jayyid (baik) dan semua perawinya berpredikat tsiqah (bisa dipercaya).
Tetapi Imam Abu Dawud mengatakan bahwa hadits ini tidak dikenal, mereka tidak mengenalnya kecuali Ibnu Wahb. Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Yunus dan Humaid, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah ﷺ dan seterusnya sama dengan hadits Qatadah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'dan, dari salah seorang istri Nabi ﷺ yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ melihat seorang lelaki sedang shalat, sedangkan pada bagian luar telapak kakinya terdapat bagian yang kering sebesar uang dirham karena tidak terkena air, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadanya agar mengulangi wudunya.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Baqiyyah,dan dalam hadits riwayatnya ditambahkan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ agar diulangi lagi oleh lelaki itu adalah wudu dan salatnya. Sanad hadits ini jayyid dan kuat lagi shahih.
Di dalam hadits Hamran dari Usman mengenai gambaran wudu Nabi ﷺ disebutkan bahwa Nabi ﷺ menyela-nyela di antara jari jemarinya.
Ahlus Sunan meriwayatkan melalui hadits Ismail ibnu Kasir, dari ‘Ashim ibnu Laqit ibnu Sabrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, jelaskanlah cara wudu kepadaku." Nabi ﷺ bersabda: “Lakukanlah wudu secara merata dan sela-selailah di antara jari jemari dan lakukanlah istinsyaq dengan kuat, kecuali jika kamu sedang puasa.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Syaddad ibnu Abdullah Ad-Dimasyqi yang mengatakan bahwa Abu Umamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Absah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang wudu (yang baik), maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mendekati (akan melakukan) wudunya, lalu ia berkumur dan beristinsyaq dan beristintsar (menyedot air untuk membersihkan hidung, kemudian mengeluarkannya), melainkan gugurlah semua kesalahan (dosa-dosa)nya dari mulut dan lubang hidungnya bersamaan dengan air ketika ber-istinsar.
Setelah itu ia membasuh wajahnya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah semua dosa wajahnya dari ujung janggutnya bersamaan dengan air. Kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua tangannya dari ujung-ujung jemarinya. Kemudian menyapu kepalanya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kepalanya dari semua ujung rambut bersamaan dengan air. Kemudian membasuh kedua telapak kakinya berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua telapak kakinya dari ujung jari jemarinya bersamaan dengan air.
Setelah itu ia berdiri dan membaca hamdalah serta pujian kepada Allah dengan pujian yang layak bagiNya, lalu melakukan shalat dua rakaat, melainkan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Abu Umamah berkata, "Wahai Amr, perhatikanlah apa yang kamu katakan tadi, apakah kamu mendengar semuanya dari Rasulullah ﷺ Apakah beliau memberi hadits ini seluruhnya kepada lelaki yang seperti kamu?" Maka Amr ibnu Absah menjawab, "Wahai Abu Umamah, sesungguhnya aku telah berusia lanjut dan semua tulangku sudah rapuh, usiaku telah di ambang senja. Aku tidak perlu berdusta atas nama Allah dan atas nama Rasulullah. Seandainya aku tidak mendengar hadits ini dari Rasulullah ﷺ kecuali hanya satu kali atau dua kali atau tiga kali (niscaya aku tidak akan menceritakannya). Sesungguhnya aku mendengarnya dari beliau sebanyak tujuh kali atau lebih dari itu."
Sanad hadits ini shahih. Hadits ini terdapat pula di dalam kitab Shahih Muslim melalui jalur lain, yang di dalamnya disebutkan seperti berikut: Kemudian ia membasuh kedua telapak kakinya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Kalimat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuhnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Ishaq As-Subaihi: Dari Al-Haris, dari Ali ibnu Abu Thalib yang mengatakan: “Basuhlah kedua telapak kaki kalian berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan kepada kalian.”
Dari atsar ini tampak jelas bahwa makna yang dimaksud di dalam hadits Abdu Khair dari Ali yang menyebutkan: Bahwa Rasulullah ﷺ mencipratkan air pada kedua telapak kakinya. Saat itu beliau ﷺ memakai terompah, lalu beliau menggosok kedua telapak kakinya. Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud adalah basuhan ringan karena kedua telapak kakinya memakai terompah (yakni masih suci). Tetapi tiada yang mencegah bila yang dimaksud ialah membasuh, sedangkan telapak kaki memakai terompah. Hanya saja di dalam hadits ini terkandung bantahan terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan dan terlalu apik dari kalangan orang-orang yang waswas.
Hadits yang sama dikemukakan oleh Ibnu Jarir melalui riwayatnya, dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ masuk ke dalam kakus suatu kaum, lalu membuang air seni seraya berdiri. Setelah itu beliau meminta air, lalu berwudu dan mengusap sepasang terompahnya. Hadits ini shahih.
Ibnu Jarir membantah hadits ini, bahwa orang-orang yang tsiqah dan para huffaz meriwayatkan hadits ini dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ buang air kecil sambil berdiri, kemudian berwudu dan mengusap pada sepasang sepatunya. Yakni dengan lafal sepatu, bukan na'l (terompah).
Menurut kami, dapat pula digabungkan pengertian keduanya, misalnya Nabi ﷺ saat itu memakai sepatu dan terompahnya. Berikut ini hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Ya'la, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ melakukan wudu dan beliau menyapu kedua terompahnya, kemudian bangkit untuk shalat.
Abu Dawud meriwayatkannya dari Musaddad dan Abbad ibnu Musa, keduanya dari Hasyim, dari Ya'la ibnu ‘Atha’, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ mendatangi kakus suatu kaum, lalu beliau buang air kecil, setelah itu beliau berwudu dan menyapu sepasang terompahnya dan kedua telapak kakinya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Syu'bah dan jalur Hasyim. Kemudian ia mengatakan bahwa makna hadits ini dapat diinterpretasikan dengan pengertian bahwa beliau dalam keadaan tidak berhadas pun melakukan wudunya dengan cara yang sama, karena mustahil bila fardu Allah dan sunnah Rasul-Nya bertentangan atau berlawanan. Menurut hadits yang shahih dari Nabi ﷺ, ada perintah yang mengandung pengertian umum menganjurkan membasuh kedua telapak kaki dengan air dalam wudu.
Hal ini diriwayatkan melalui penukilan yang cukup banyak lagi memastikan keakuratan periwayatannya sampai kepada beliau serta penyampaiannya. Mengingat Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuh kedua kaki seperti dalam pengertian qiraat nasab dan seperti yang diwajibkan pula dalam interpretasi qiraat jar. Hal ini membuat ulama Salaf mempunyai dugaan bahwa ayat ini memansukh (merevisi) rukhsah (keringanan) mengusap sepasang sepatu. Hal ini memang disebutkan di dalam suatu riwayat dari Ali ibnu Abu Thalib, tetapi sanadnya tidak shahih. Mengingat hal yang terbukti darinya menyatakan hal yang berbeda, tidak seperti apa yang mereka duga. Karena sesungguhnya telah terbukti bahwa Nabi ﷺ mengusap sepasang sepatunya sesudah ayat ini diturunkan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnu Ilasah, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali yang menceritakan: “Aku masuk Islam setelah turunnya surat Al-Maidah, dan aku melihat Rasulullah ﷺ mengusap (kedua sepatunya) sesudah aku masuk Islam.” Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui hadits Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, yang menceritakan bahwa Jarir buang air kecil, setelah itu ia berwudu dan mengusap sepasang sepatunya. Ketika ditanyakan, "Mengapa engkau lakukan itu?" Ia menjawab, "Ya, aku pernah melihat Rasulullah ﷺ buang air kecil, lalu berwudu dan mengusap sepasang sepatunya." Al-A'masy mengatakan bahwa Ibrahim mengatakan bahwa hadits ini dikagumi di kalangan mereka (ulama), mengingat Islamnya Jarir sesudah surat Al-Maidah diturunkan. Demikianlah menurut lafal Imam Muslim.
Terbukti melalui riwayat yang mutawatir dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ mensyariatkan mengusap sepasang sepatu, baik melalui sabdanya ataupun perbuatannya, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan keterangan yang lebih rinci menyangkut masalah batasan waktu mengusap, tidak diperlukan mengusap atau hal-hal lain yang menyangkut rinciannya; semua itu diterangkan di dalam bagiannya masing-masing.
Orang-orang Syiah Rafidah berpendapat berbeda dalam masalah ini tanpa sandaran dan dalil, bahkan hanya dengan kebodohan dan kesesatan, padahal telah terbukti di dalam kitab Shahih Muslim melalui riwayat Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib. Seperti halnya terbukti di dalam kitab Shahihain, dari Ali ibnu Abu Thalib , dari Nabi ﷺ adanya larangan mengenai nikah mut'ah, tetapi mereka membolehkannya.
Demikian pula ayat yang mulia ini menunjukkan wajib membasuh kedua kaki yang diperkuat dengan hadits yang mutawatir melalui perbuatan Rasulullah ﷺ yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini. Akan tetapi, mereka (orang-orang Syiah Rafidah) bertentangan dengan semuanya itu, padahal mereka dalam waktu yang sama tidak mempunyai dalil yang shahih yang menguatkan pendapatnya.
Demikian pula halnya mereka berbeda dengan para imam dan ulama Salaf dalam memahami pengertian dua mata kaki pada telapak kaki. Menurut mereka, dua mata kaki tersebut terdapat pada punggung telapak kaki. Dengan kata lain, setiap telapak kaki mempunyai satu mata kaki. Padahal menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan dua mata kaki ialah dua buah tulang yang menonjol, terletak pada pergelangan betis dan telapak kaki. Ar-Rabi' mengatakan,"Asy-Syafii mengatakan bahwa menurut pengetahuannya, tiada seorang pun yang berpendapat berbeda bahwa dua mata kaki yang disebut oleh Allah di dalam Al-Qur'an dalam masalah wudu adalah dua buah tulang menonjol yang menghubungkan persendian betis dan telapak kaki." Demikianlah menurut lafal yang ada pada Asy-Syafii.
Hal yang sama dikatakan oleh para imam, bahwa setiap telapak kaki mempunyai dua mata kaki, seperti yang dikenal di kalangan semua orang dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sunnah. Di dalam kitab Shahihain melalui jalur Hamran, dari Usman , disebutkan bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh telapak kaki kanannya berikut dua mata kakinya, kemudian membasuh telapak kaki kirinya seperti telapak kaki kanannya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq dan majzum mengenai hal ini, dan Imam Abu Dawud serta Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya: Melalui riwayat Abul Qasim Al-Husaini ibnul Haris Al-Jadali, dari An-Nu'man ibnu Basyir yang menceritakan, "Rasulullah ﷺ mengarahkan wajahnya ke arah kami, lalu bersabda: 'Luruskanlah saf kalian sebanyak tiga kali. Demi Allah, kalian benar-benar meluruskan saf kalian atau kelak Allah benar-benar akan memecah belah di antara hati kalian'." An-Nu'man ibnu Basyir mengatakan, "Lalu aku melihat setiap orang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki teman yang ada di sampingnya, lutut dengan lutut temannya, dan pundak dengan pundak temannya." Lafal hadits menurut apa yang ada pada Ibnu Khuzaimah.
Suatu hal yang tidak mungkin bila seseorang menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya, melainkan jika yang dimaksud dengan mata kaki adalah tulang yang menonjol pada bagian bawah betis, sehingga menjadi lurus sejajar dengan mata kaki temannya. Hal ini menunjukkan kebenaran dari apa yang telah kami katakan, yaitu bahwa dua mata kaki adalah dua buah tulang yang menonjol pada pergelangan betis dan telapak kaki, seperti halnya yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah (bukan Syiah Rafidah, pent.).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Yahya Al-Haris At-Taimi (yakni Al-Khabir). Dia mengatakan bahwa dia melihat orang-orang yang gugur dari kalangan pasukan Zaid, maka ia menjumpai mata kaki berada pada bagian punggung telapak kaki. Hal ini merupakan hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang Syi'ah sesudah mereka terbunuh, sebagai pembalasan buat mereka karena mereka menentang hal yang benar dan selalu menolak kebenaran.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6) Apa yang disebutkan dalam ayat ini semuanya telah dikemukakan dalam tafsir surat An-Nisa. Oleh karena itu, untuk lebih hematnya kami tidak ulangi lagi dalam tafsir surat ini.
Kami telah kemukakan penyebab turunnya ayat tayamum dalam surat An-Nisa. Tetapi Imam Bukhari dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadits khusus mengenai ayat yang mulia ini sebagai berikut.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris bahwa Abdur Rahman ibnul Qasim pernah menceritakan kepadanya, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan, "Kalungku terjatuh di padang pasir, saat itu kami telah berada di lingkungan kota Madinah. Maka Rasulullah ﷺ memberhentikan unta kendaraannya dan turun. Lalu beliau merebahkan kepalanya di pangkuanku dan tidur. Kemudian datanglah Abu Bakar dan memukulku dengan pukulan yang keras seraya berkata, 'Kamulah yang menyebabkan orang-orang tertahan karena kalung itu. Maka aku berharap untuk mati saat itu karena pukulannya terasa sangat menyakitkan, tetapi aku ingat kepada Rasulullah ﷺ yang sedang tidur di pangkuanku. Tidak lama kemudian Nabi ﷺ bangun, dan waktu subuh masuk. Lalu beliau mencari air, tetapi tidak ditemukan air. Maka turunlah firman-Nya: 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian'.” (Al-Maidah: 6) hingga akhir ayat. Maka Usaid ibnul Hudair berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberkati manusia melalui kalian, wahai keluarga Abu Bakar. Kalian tiada lain merupakan berkah bagi mereka."
Firman Allah ﷻ: “Allah tidak hendak menyulitkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Karena itu, Dia memberikan kemudahan kepada kalian dan tidak menyulitkan kalian, bahkan Dia membolehkan bertayamum bagi orang yang sakit dan di saat air tidak ada, sebagai keluasan dan sebagai rahmat untuk kalian dari-Nya. Dia menjadikan debu sebagai sarana bersuci untuk menggantikan air bagi orang yang tayamum disyariatkan untuknya, kecuali bila dipandang dari beberapa segi seperti yang dijelaskan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar.
Firman Allah ﷻ: “Tetapi Dia hendak menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Yakni supaya kalian mensyukuri nikmat-nikmat-Nya atas kalian dalam hal-hal yang telah disyariatkan-Nya bagi kalian; semuanya mengandung keluasan, belas kasihan, rahmat, kemudahan, dan toleransi buat kalian.
Sunnah telah menganjurkan berdoa sesudah wudu sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah menjadikan pelakunya termasuk orang-orang yang bersih, dan sebagai realisasi dari pengamalan ayat yang mulia ini.
Imam Ahmad dan Imam Muslim serta Ahlus Sunan telah meriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan, "Dahulu kami mendapat tugas untuk menggembalakan ternak unta, maka datanglah giliranku. Pada sore harinya ketika aku hendak mengandangkan ternak unta, aku berjumpa dengan Rasulullah ﷺ yang sedang berdiri dan berbicara kepada orang-orang. Sabdanya yang sempat kudengar ialah: ‘Tidak sekali-kali seorang muslim melakukan wudunya dengan baik, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadapkan sepenuh hati dan dirinya (kepada Allah) dalam dua rakaat itu, melainkan surga merupakan suatu keharusan baginya.' Lalu aku berkata, 'Alangkah baiknya hadits ini.' Tiba-tiba ada seorang yang ada di hadapanku berkata, 'Hadits sebelumnya jauh lebih baik daripada yang ini.' Ketika kulihat dia, ternyata dia adalah Umar. Maka Umar mengatakan bahwa dia telah melihat kedatanganku tadi, lalu dia menceritakan hadits yang dimaksud, yaitu: 'Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian melakukan wudu, lalu ia melakukannya dengan penuh kesungguhan atau dengan sempurna, kemudian mengucapkan doa berikut: ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluh’ (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) melainkan dibukakan baginya semua pintu surga yang delapan, dia boleh memasukinya dari pintu mana pun yang disukainya'." Demikianlah menurut lafal Im
Setelah Allah menjelaskan hukum tentang makanan dan hewanhewan sembelihan yang dihalalkan dan menjelaskan ketentuan menyangkut wanita-wanita yang boleh dinikahi, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah dimulai dengan salat sebagai ibadah yang paling mulia. Ayat ini memberikan petunjuk tentang persiapan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan salat, yaitu cara menyucikan diri dengan berwudu, tayamum, dan mandi. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah membulatkan hati hendak melaksanakan salat, sedangkan kamu saat itu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudulah, yaitu dengan cara basuhlah wajahmu dengan air dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga, dan basuhlah tanganmu sampai ke siku, dan sapulah sedikit atau sebagian atau seluruh kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, yakni keluar mani karena bersetubuh atau karena sebab lain, maka mandilah, yakni basuhlah dengan air seluruh badanmu. Dan jika kamu sakit yang menghalangi kamu menggunakan air karena khawatir penyakitmu bertambah parah atau memperlambat kesembuhan kamu, atau kamu berada dalam perjalanan yang dibenarkan agama dan dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air, yakni kakus, setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni persentuhan dalam arti pertemuan dua alat kelamin yang berbeda atau dalam arti persentuhan kulit seorang laki-laki dan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, tidak dapat menggunakannya, baik karena tidak ada, tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan debu yang baik, yakni debu yang bersih dan suci; yaitu dengan cara sapulah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah Yang Mahakuasa tidak ingin menyulitkan kamu dan tidak menghendaki sedikit pun kesulitan bagimu dengan mengharuskan kamu berwudu ketika tidak ada air atau ketika dalam keadaan sakit yang dikhawatirkan kamu bertambah sakit apabila anggota badanmu terkena air, tetapi Dia hendak membersihkan kamu, menyucikan kamu dari dosa maupun dari hadas, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu agar kamu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamuTuntunan tersebut di atas merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri sekaligus merupakan perjanjian yang harus ditaati sebagaimana tersebut pada permulaan surat ini. Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu, berupa tuntunan agama dan nikmat-Nya yang bermacam-macam yang dianugerahkan kepadamu dan perjanjianNya yang telah diikatkan dengan kamu, yakni perjanjian yang diambil melalui Rasulullah berupa ketaatan kepada Allah, baik dalam hal yang mudah maupun yang sulit, dan perjanjian-perjanjian lain yang diikatkan dengan kamu ketika kamu mengatakan, Kami dengar, yakni kami mengetahui dan memahami perjanjian itu, dan kami taati semua yang dinyatakan dalam perjanjian itu, baik berupa perintah maupun larangan. Dan bertakwalah kepada Allah, janganlah kamu melanggar perjanjian itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati setiap makhluk-Nya.
.
Ayat ini menerangkan cara-cara berwudu. Rukun wudu ada enam. Empat rukun di antaranya disebutkan dalam ayat ini, sedang dua rukun lagi diambil dari dalil lain. Empat macam itu ialah:
1. Membasuh muka, yaitu mulai dari rambut sebelah muka atau dahi sampai dengan dagu, dan dari telingga kanan sampai telinga kiri.
2. Membasuh dua tangan dengan air bersih mulai dari ujung jari sampai dengan dua siku.
3. Menyapu kepala, cukup menyapu sebagian kecil kepala menurut mazhab Syafii.184)
4. Membasuh dua kaki mulai dari jari-jari sampai dengan dua mata kaki. Kesemuanya itu dengan menggunakan air. Sedang dua rukun lagi yang diambil dari hadis ialah:
a. Niat, pekerjaan hati, dan tidak disebutkan dalam ayat ini tetapi niat itu diharuskan pada setiap pekerjaan ibadah sesuai dengan hadis:
"Sesungguhnya segala amalan adalah dengan niat" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Umar bin al-Khattab).
b. Tertib, artinya melakukan pekerjaan tersebut di atas sesuai dengan urutan yang disebutkan Allah dalam ayat ini. Tertib itu tidak disebutkan dengan jelas di dalam ayat ini, tetapi demikianlah Nabi melaksanakannya dan sesuai pula dengan sabdanya yang berbunyi:
Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah. (Riwayat an-Nasai dan Jabir bin Abdillah).
Adapun selain enam rukun itu, seperti membasuh tiga kali, berkumur
kumur adalah sunat hukumnya. Kewajiban wudu ini bukanlah setiap kali
hendak mengerjakan salat, tetapi wudu itu diwajibkan bagi seorang yang
akan salat, jika wudunya sudah batal atau belum berwudu, sesuai dengan
hadis yang berbunyi:
Allah tidak menerima salat salah seorang di antara kalian, apabila ia berhadas hingga ia berwudu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Berikutnya Allah menerangkan hal-hal yang mengharuskan seseorang wajib mandi di antaranya :
a. Keluar mani;
b. Jima' (bersetubuh);
c. Haid;
d. Nifas;
e. Wiladah (melahirkan);
f. Mati (orang yang hidup wajib memandikan yang mati).
Orang yang terkena salah satu dari (a) sampai (e) dinamakan orang yang berhadas besar, wajib mandi dan berwudu sebelum salat. Orang yang berhadas kecil, hanya wajib berwudu saja. Kewajiban wudu disebabkan :
a. Keluar sesuatu dari lubang buang air kecil dan buang air besar;
b. Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, antara keduanya tanpa pembatas188;
c. Tidur yang tidak memungkinkan seseorang tahu jika keluar angin dari duburnya;
d. Hilang akal karena mabuk, gila dan sebagainya;
e. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau menyentuh lubang dubur;
f. Murtad (keluar dari agama Islam).
Selanjutnya ayat ini menerangkan cara-cara bertayamum. Jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak boleh memakai air, atau dalam keadaan musafir tidak menemukan air untuk berwudu, maka wajib bertayamum dengan debu tanah. Caranya ialah dengan meletakkan kedua belah telapak tangan pada debu tanah yang bersih lalu disapukan ke muka, kemudian meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas debu tanah yang bersih, lalu telapak tangan yang kiri menyapu tangan kanan mulai dari belakang jari-jari tangan terus ke pergelangan sampai dengan siku, dari siku turun ke pergelangan tangan lagi untuk menyempurnakan penyapuan yang belum tersapu, sedang telapak tangan yang sebelah kanan yang berisi debu tanah jangan diganggu untuk disapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang sama seperti menyapu tangan kanan. Demikianlah cara Nabi bertayamum.
Kemudian akhir ayat ini menjelaskan bahwa perintah berwudu dan tayamum bukanlah untuk mempersulit kaum Muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara bersuci, dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya, agar kaum Muslimin menjadi umat yang bersyukur.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
WUDHU DAN TAYAMUM
Di dalam surah an-Nisaa' ayat 43, kita baru diberi keterangan tentang tayamum saja, tetapi di dalam ayat 6 ini kita tambahi penjelasan yang penting lagi, yaitu tentang wudhu. Setelah diterangkan soal makanan, sebab per-nikahan ialah kelanjutan hidup manusia dan soal pernikahan yang halal sekarang akan dijelaskan lagi soal menghadapkan diri, beribadah kepada Allah; yaitu shalat. Makan, beristri, dan shalat bertali berkelindan dalam hidup Mukminin. Dengan sesama manusia seorang Mukmin membuat akad berbagai macam janji. Dengan istri seorang Mukmin diakadkan dengan nikah. Dengan shalat manusia pun mengikat akad dengan Allah.
“Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, dan hidupku dan matiku, adalah untuk Allah, Rabbal ‘Alamin,"
Tetapi sebelum shalat bersihkan diri terlebih dahulu dan berwudhulah,
Ayat 6
“Wahai orang-orang yang berilman! Apabila kamu bendiri akan shalat, maka basuhlah muka kamu dan tangan kamu sampai kepada siku kamu."
Maka ambillah air yang bersih basuhlah muka kamu terlebih dahulu. Inilah yang pertama; membasuh muka! Dapatlah diketahui apa yang dikatakan muka, yaitu ke atasnya sampai batas tumbuh rambut, ke bawahnya sampai ke ujung dagu, ke kiri kanannya sampai ke telinga.
Niscaya lebih baik dilebihkan sedikit, sehingga terkena semua. Setelah selesai membasuh muka, basuh pulalah kedua tangan, dimulai dari yang kanan, sampai kedua mata siku. Itulah yang kedua.
“Dan sapulah kepala kamu." Sampai kepada tidak usah dibasuh, tetapi disapu saja dengan air; menurut contoh Rasulullah ialah dibasahi kedua telapak tangan, lalu disapukan sejak dari pangkal tempat tumbuh rambut di kening dan diteruskan ke belakang, sampai ke kuduk. Itulah yang ketiga.
“Dan (basuhlah) kaki kamu sampai kepada kedua mata kaki." Sampai di kaki dibasuh kembali; itulah yang keempat! Batas mata kaki sudah terang, dan meliputi kaki itu akan seluruh ujung kaki yang di bawah mata kaki itu menurut tertib yang telah ditentukan Allah, itulah yang bernama wudhu. Dengan demikian, teranglah bahwasanya akan memulai shalat tidaklah sah kalau terlebih dahulu tidak melakukan wudhu itu, yang sedang memulai akan melakukannya kita telah memasang niat akan menghadap Allah dengan hati yang suci dan bersih, tulus dan iklas, yang diperlihatkan dengan melakukan memberikan anggota badan yang telah ditentukan Allah itu.
Imam Ghazali di dalam kitab al-Ihya menuliskan hikmat wudhu itu dengan indah sekali. Bahwasanya kita membasuh muka, ialah karena di wajah kita itu terletak mata dan telinga kita, mulut dan hidung kita, yang tiap waktu giat menghubungkan diri kita dengan kehidupan; melihat, mendengar, membaui, dan bercakap. Banyaklah bagian muka itu menampak dan mendengar segala macam hal di dalam dunia ini. Maka sebelum kita bershalat menghadap Allah, kita bersihkanlah dahulu muka itu dari pengaruh yang lain tadi, yang banyak atau sedikit membawa kesan kepada jiwa kita. Entah mulut bercakap telanjur salah, entah lidah dan bibir telanjur memakan barang yang tidak bersih di sisi Allah, entah hidung salah mencium dan membaui sesuatu, entah mata salah lihat dan telinga salah dengar. Inilah yang kita basuh, kita bersihkan sebelum berdiri menghadap Allah. Demikian juga membasuh tangan; entah terjemba oleh tangan ini, entah terpegang perkara yang membawa kontak buruk kepada jiwa. Kita bersihkan dia dahulu sebelum menghadap Allah. Demikian juga kaki ini, entah melangkah dia ke tempat yang tidak berkenan di sisi Allah. Kita bersihkan terlebih dahulu, karena kita akan berdiri lurus di hadapan Allah. Karena kata Ghazali selanjutnya untuk membersihkan diri kita sama sekali dari najis, tentu kita tidak sanggup dan Allah pun tidak menyuruhkan yang demikian. Bukankah perut kita ini kantong najis? Dan darah yang mengalir dalam tubuh kita itu pun najis? Lantaran itu perbuatan kita berwudhu, kalau hanya ditilik zahirnya saja, belumlah dapat menghilangkan perbuatan najis, namun kita telah membersihkan apa yang dapat dibersihkan, bagian badan yang penting, yang aktif dalam kehidupan, sebagai tanda bahwa hati kita sendiri telah kita bersihkan.
“Dan jika kamu sedang berjunub maka bersucilah komu."Junub ialah keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani karena yang lain, misalnya mimpi! Ketika itu letih lelahlah segala persendian dan urat saraf, sebab mani itu adalah sari seluruh badan. Setelah kamu dalam keadaan junub itu, kamu adalah dalam keadaan tidak bersih atau tidak suci, maka belumlah sah kamu shalat kalau hanya semata-mata dengan berwudhu saja. Melainkan hendaklah kamu bersuci dengan memandikan seluruh badanmu, yang di dalam surah an-Nisaa' ayat 43 pun dahulu telah diterangkan dengan kata maka mandilah kamu. Dengan ini mendapat pengertianlah kita bahwa cara membersihkan diri di dalam hendak mengerjakan ibadah shalat itu ialah dua macam; pertama wudhu mengenai anggota wudhu yang telah disebutkan; kedua mandi wajib karena junub. Selain dari itu ada pula semacam mandi lagi, yaitu mandi yang sangat dianjurkan walaupun tidak junub, sekurang-kurangnya sekali se-jumat, yaitu pada tiap-tiap hari Jum'at, ketika akan berangkat pergi ke masjid.
Tetapi karena agama tidak memberatkan suatu perintah ketika terdapat masyaqqat mengerjakannya, selalu terdapat juga pengecualian. Sebab itu berkatalah lanjutan ayat, “Dan jika kamu sedang sakit." Entah karena demam sehingga tidak dapat menyinggung air, atau karena luka yang tidak boleh kena air, atau karena sakit itu payah engkau akan dapat mencari air. “Atau dalam perjalanan." Yang dinamai musafir, meninggalkan rumah tangga pergi keluar karena suatu urusan. “Atau datang seorang kamu dari jamban." Artinya habis buang air, baik buang air besar atau buang air kecil.
“Atau kamu telah menyentuh perempuan-perempuan" Di sini dalam bahasa yang dipakai di dalam ayat disebutkan laamastum, dari pokok kata mulamasah, yang berarti telah terjadi sentuh-menyentuh. Lantaran menilik isi kata yang demikian, dapatlah dipahamkan bahwa ini bukan lagi semata-mata bersentuh kulit, melainkan kata-kata yang halus me-nyindirkan kata persetubuhan, yang dalam Al-Qur'an mengenai persetubuhan itu tidak sekali juga dipakai kata yang tepat menuju itu. “Padahal kamu tidak mendapat air"
Maka jika terjadi salah satu dari keempat sebab itu, yakni:
1. Sakit yang menyebabkan tidak dapat bersentuh dengan air.
2. Dalam perjalanan karena sukarnya air.
3. Kembali dari buang air besar atau buang air kecil, padahal air tidak ada.
4. Bersentuhan dengan perempuan, padahal air tidak ada atau tidak dapat menyentuh air karena ada sakit.
“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik Maka sapulah muka kamu dan tangan kamu dengan dia." Dengan ini dijelaskan lagi ayat 43 dari surah an-Nisaa' yang dahulu.
Di dalam ayat ini dapatlah kita memahami bahwa tayamum adalah ganti air, untuk wudhu dan untuk mandi wajib. Inilah yang disebut di dalam kitab-kitab fiqih, terutama di dalam Kitabut Thaharah, dua macam hadats; yaitu hadats besar dan hadats kecil. Keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani dari sebab yang lain, dan selesai haid dan nifas bagi perempuan, semuanya itu adalah di dalam keadaan berhadats besar sebelum mandi.
Sehabis buang air besar dan kecil, sehabis keluar angin (kentut) atau sehabis tidur, atau setelah menyentuh kemaluan sendiri, terjadilah hadats kecil, maka wajiblah berwudhu kalau akan shalat atau akan thawaf di Ka'bah. Kalau air tidak ada atau sukar mendapat air, atau tidak boleh menyentuh air karena sakit, maka tayamum jadi pengganti wudhu dan pengganti mandi junub. Dengan tayamum hadats besar dan hadats kecil jadi hilang, dan kita telah suci untuk mengerjakan shalat. Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Artinya ambillah tanah yang baik, yang nyata tidak ada najis padanya; pukulkanlah kedua belah telapak tangan kepada tanah yang baik itu, pertepukkan kedua tangan sesudah itu, embus debunya lalu sapukan atau barutkan ke muka sekali dan terus tangan yang kiri menyapu ujung tangan yang kanan sampai ke pergelangan dan tangan yang kanan menyapu tangan yang kiri pula sampai ke pergelangan; sekali pula. Keterangan panjang lebar sudah kita perdapat ketika menafsirkan ayat tayamum yang pertama pada surah an-Nisaa' Maka tersebutlah di dalam Al-Qur'an dan Sunnah tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu karena keluar sesuatu dari kedua pelepasan, muka dan belakang (qubul dan dubur) termasuk keluar angin atau keluar madzi (air bergetah) dari kemaluan muka, selain itu panjang lebar juga perbincangan para ulama fiqih tentang tidur yang macam mana yang membatalkan wudhu. Dan jadi perbincangan juga tentang bersentuh kulit laki-laki dan perempuan, atau bersentuh kulit istri, yaitu persentuhan yang tidak ada hambatan (di balik kain)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar dari sahabat Rasulullah, dan az-Zuhri dari Tabi'in, menyatakan batal wudhu karena bersentuh kulit laki-laki dan perempuan. Begitu pula pendapat Syafi'i. Tetapi ada riwayat bahwa Ali dan Ibnu Abbas dari sahabat, dan Thawus dan Atha dan Tabi'in, berpendapat tidak batal kalau hanya bersentuh kulit saja. Inilah madzhab Imam Hanafi dan madzhab Ahiul Bait. Yang setengahnya lagi menyatakan hanya batal wudhu kalau persentuhan itu dengan syahwat. Golongan ini menyatakan, sehingga menyentuh kulit laki-laki yang manis (amracf) pun bisa membatalkan wudhu kalau timbul syahwat. Sebab memang ada juga orang laki-laki yang timbul syahwatnya melihat anak laki-laki manis yang belum tumbuh kumisnya. Pangkal perlainan pendapat ialah pengertian sentuh (laamas, al-Iamsit) Setengah mengatakan menurut arti yang asli, yaitu sentuh; sebab itu jadi batal wudhu. Setengah mengambil arti majaz (sindiran), yaitu setubuh. Tetapi terdapat hadits-hadits yang shahih, terutama riwayat Aisyah bahwa Aisyah pernah memegang kaki Nabi sedang beliau shalat dan beliau shalat terus. Hadits istri beliau Ummu Salamah mengatakan pula bahwa dia pernah berebut mengambil wudhu dalam satu timba dengan Rasulullah, sehingga singgung-menyinggung dan sentuh-menyentuh sampai selesai wudhu, bahkan ada hadits menyatakan bahwa beliau pernah mencium istrinya sedang beliau berwudhu, setelah itu beliau terus shalat. Untuk memperluas pengetahuan tentang ini bacalah buku-buku fiqih yang memberikan keterangan-keterangan yang luas, Dalam bahasa Indonesia ialah seumpama karangan Prof. M. Hasbi ash-Shiddiqiy dan Syekh A. Hassan dan lain-lain.
“Tidaklah Allah hendak membuat keberatan atas kamu, tetapi dia menghendaki untuk membersihkan kamu." Inilah alasan pokok maka ketika sukar mendapat air atau membawa kesusahan atau bertambah sakit karena memakai air, walaupun air ada, diizinkan menggantikannya dengan tayamum, karena Allah tidak hendak memberatkan hamba-Nya dalam hal yang akan menyusahkan dirinya. Sekeras-keras peraturan, tetapi ada pengecualian. Bukan saja dalam hal wudhu dan mandi junub, bahkan dalam hal shalat sendiri, dalam hal puasa, semuanya ada pengecualian. Tidak sanggup shalat berdiri boleh duduk, tidak sanggup duduk, boleh tidur. Dalam musafir boleh mengqashar menjamak, dalam perang boleh shalat satu rakaat sebagaimana telah dituntunkan di surah an-Nisaa'. Dan hal ini telah menjadi perundang-undangan atau kaidah dalam ilmu ushul fiqih seumpama,
“Masyaqqat membawa kemudahan. “
“Suatu hal kalau sudah amat sempit, menjadi lapang."
“Menolak yang akan merusak lebih didahulukan dari mencapai yang manfaat. “
“Yang darurat menyebabkan halalnya yang terlarang. “
“Hal yang diharamkan karena zatnya, diboleh-kan karena darurat. Dan hal yang diharamkan karena menutup pintu bahaya, dihalalkan kalau ada keperluan. “
Dan sebagainya.
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kehendak Allah yang utama ialah supaya kamu menjadi suci bersih. Yuthah hirakum, membersihkan kamu. Di sinilah sumber kata tentang thaharah, yang telah menjadi penga-jian pertama dalam seluruh kitab-kitab ilmu fiqih dalam sekalian madzhab. Sampai membicarakan air berpanjang lebar, air yang suci lagi menyucikan, atau air yang musta'mal, tentang air yang kurang dari dua kulah atau pun lebih. Cuma kadang-kadang, meskipun yang dimaksud oleh ulama-ulama itu adalah baik, mengasah otak untuk ijtihad, karena panjangnya pengkajian thaharah itu, ada orang yang mengkajinya sampai tiga empat tahun belum juga tamat. Padahal maksud agama bukan kesukaran melainkan kemudahan. Diganti air dengan tanah dan disuruh bertayamum karena sukarnya air, ialah karena maksud Allah tidak hendak memberati, akan tetapi tujuan Allah tetap, yaitu agar hamba-Nya tetap bersih dan suci. Kalau orang hanya berpikir sepintas-lalu, tentu dia akan bertanya-tanya, dengan air memang tercapai kebersihan, tetapi dengan tanah tidaklah tampak kebersihan itu. Tetapi kalau berpikir itu sudah lebih mendalam, teranglah bahwa mengganti dengan tanah sesudah air tidak ada atau tidak bisa dipakai, adalah suatu pembersihan juga; yaitu pembersihan dan kesucian yang telah tumbuh dari dalam jiwa seseorang, karena taatnya kepada Allah. Allah telah memerintahkan, sebab shalat hendaklah bersihkan diri dengan air wudhu atau mandi junub. Jangan shalat kalau belum bersih dan suci. Sekarang air tidak ada, namun perintah bersih suci itu dilaksanakan juga, sebagaimana mestinya. Belum mau berdiri shalat menghadap Allah sebelum syaratnya dilengkapi. Yaitu dilengkapi dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah sendiri.
“Dan Dia hendak menyempurnakan nikmat-Nya atas kamu." Maka dengan perintah ber-wudhu lebih dahulu, atau mandi bagi yang junub, dan mengganti keduanya dengan tayamum pada waktu air tidak ada atau membawa susah, adalah semuanya itu untuk menyempurnakan nikmat Allah bagi hamba-Nya. Nikmat Allah yang amat utama bagi Mukmin ialah pendidikan kebersihan dan kesucian itu, bersih suci jasmani dan ruhani. Dibersihkan terlebih dahulu anggota tubuh, lalu menghadap kepada Allah dengan segala ingatan kepada yang lain, dibersihkan dari sekalian pengaruh, dibulatkan pikiran kepada Allah, dimulai dengan Allahu Akbar; hanya Allah saja Yang Mahabesar; yang lain kecil dan tidak ada artinya. Ditutup dengan salam, Assalaamu'alaikum, dengan hati bersih membawa jiwa yang damai ke tengah-tengah masyarakat. Inilah nikmat yang dianugerahkan Allah yang tiada taranya bagi seorang Muslim.
Alangkah elok buah tempayang,
Sugi-sugi mengarang benih;
Alangkah elok orang shalat,
Hati suci mukanya bersih.
“Dan supaya kamu bersyukur." Dengan jasmani bersih dan hati suci, mengerjakan pula shalat dengan hati yang suci bersih dari pengaruh yang lain, bertimpalah datangnya nikmat, dirasai oleh jiwa sendiri. Banyak kesusahan yang dapat diatasi, karena shalat. Dengan shalat terlatihlah jiwa mensyukuri nikmat, sehingga berkekalan di dalam hidup, di waktu senang dan di waktu susah pun.
Untuk menyempurnakan kehendak Allah, agar umat yang beriman itu suci dan bersih, selalulah Nabi kita ﷺ memberikan contoh dan teladan, sehingga untuk menggenapkan ayat itu, hendaklah kita pelajari pula hadits-hadits Rasulullah ﷺ.
Dan wudhu itu sendiri hendaklah dilengkapi dengan berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan bersikat gigi. Perintah bersikat gigi, atau menggosok gigi, bersugi, sangatlah dipentingkan, sampai ketika perintah itu diulang-ulangkan oleh Rasulullah ﷺ. Ada sahabat berkata, “Saya sangka perintah menggosok gigi itu akan diwajibkan pula sebagaimana wajibnya shalat." Sampai pun di dalam mengerjakan puasa, perintah menggosok gigi itu dipentingkan juga. Sampai beliau tunjukkan kayu yang amat bagus penggosok gigi, yaitu urat kayu arak namanya; harum baunya, dan disunnahkan menggosok gigi dengan dia ketika akan shalat.
Gambarkanlah sendiri, betapa bersihnya seorang Mukmin itu; sekurangnya lima kali sehari semalam mereka berwudhu membersihkan anggota-anggota yang selalu dipakai praktis sehari-hari, bahkan sunnah pula membaru-barui wudhu; selalu pula gigi bersih digosok, sunnah tiap-tiap akan shalat, jadi sekurangnya lima kali pula sehari.
Beberapa orang tabib Eropa telah menyelidiki urat kayu arak itu. Mereka jadi heran, sehingga ada yang menganjurkan kepada pasiennya, gosoklah gigimu dengan “Kayu Muhammad!"
Pada suatu hari, Rasulullah bersama-sama sahabat beliau berjalan keluar kota. Mereka sampai ke dekat sebuah perkuburan. Beliau tertegun tegak sebentar, lalu beliau suruh ambilkan dua pelepah kurma yang masih baru, lalu beliau letakkan di atas dua buah kubur di situ. Kemudian beliau katakan bahwa beliau mendengar pekik gerung yang ngeri sekali dari dua orang yang berkubur di situ. Moga-moga kata beliau—rasa sejuk dan daun-daun itu akan dapat mendoakan mereka. Kesalahan yang seorang dari mereka adalah karena ketika hidupnya dia tidak suka istinja' sehabis kencing. Habis kencing tidak dibasuh atau dicucinya ujung kemaluannya.
Dan ingat pulalah perintah beliau tentang mandi. Selain dan mandi wajib, hendaklah mandi sekurang-kurangnya tiap-tiap pagi hari Jum'at, Padahal lantaran itu ada ulama mengatakan bahwa mandi sekali jum'at itu adalah wajib. Padahal sampai sekarang, konon-nya bangsa-bangsa di Eropa yang kelihatan bersih pakaian itu, ada yang mandi hanya sekali sebulan. Hanya bangsa Inggris, karena biasa menjajah di negeri-negeri Islam, telah belajar banyak mandi.
Sampai disebutkan pula oleh Rasulullah ﷺ bahwasanya mencabut bulu ketiak, mencabut bulu ari-ari dan mengerat kuku dan berkhitan adalah kebersihan yang fitri atau yang murni bagi manusia.
Ketika kaum Muslimin telah kalah di Spanyol, ketika diadakan pembersihan besar-besar oleh penguasa Kristen, malanglah nasib mereka itu, karena salah satu tanda dari orang Islam, yang akan menyebabkan sia-sia mereka yang masih tinggal di Spanyol diusir dari sana ialah karena mereka bersih-bersih.
Rupanya wudhu itu memang memberi bekas kepada kejernihan muka. Dan Rasulullah
saw, dalam hadits yang shahih pernah mengatakan bahwa salah satu dari tanda umatnya di akhirat kelak, ialah ghurran muhajjalin, berseri-seri wajah mereka karena wudhu.
Demikianlah, pada suatu hari pada tahun 1943 zaman kekuasaan Jepang, penuiis tafsir ini melawat ke Singapura bersama beberapa orang Jepang, menjadi tetamu mereka. Waktu Ashar telah hampir habis, padahal penulis mengqashar dan menjamak, sedang air belum juga bertemu. Maka sampailah kami ke sebuah taman, di sana ada air. Penulis terus mengambil wudhu dan shalat di rumput. Dan mereka menunggu. Setelah selesai penulis shalat, penulis temuilah mereka kembali. Serentak mereka mengatakan bahwa mukaku kelihatan lebih jernih daripada tadi sebelum shalat. Memang, sebab sehabis wudhu dan melakukan shalat, pikiran kita menjadi lapang dan wajah kita menjadi jernih.
Dan apabila hati telah lapang, wajah jadi jernih, apa pun tugas yang akan dilakukan, terasalah ringan. Inilah yang dikehendaki Allah dari umat Mukminin.
Dan pada hari Jum'at disuruh berpakaian bersih, bahkan berhias berharum-haruman ke masjid, karena akan bertemu dengan orang banyak dan akan duduk bershaf.
Ayat 7
“Dan ingatlah olehmu akan nikmat Allah atas kamu."
Nikmat yang diberikan kepada kamu ingatlah baik-baik. Dari berpecah belah kamu menjadi bersatu, dari gelap gulita kamu dibawa kepada Nur Islam. Dari bangsa yang tidak berarti, hanya jadi mangsa dari bangsa-bangsa yang kuat di kiri kanan tanah kelahiranmu, tersebab Islam kamu telah menjadi suatu umat yang kuat dan disegani. Dan ingat pulalah, “Dan perjanjian-Nya yang telah Dia janjikan-Nya kepada kamu, ketika kamu berkata, ‘Kami dengarkan dan kami taati/" Yakni ingatlah bahwa di saat-saat yang penting, di atas nama Allah, Nabi kamu dan pemimpin kamu Muhammad ﷺ telah memadu janji dengan kamu, baiat akan sehidup semati di dalam menegakkan agama Allah. Ketika baiat itu diambil kamu pun telah menyanggupinya, akan mendengar segala perintah dan akan taat melakukannya. Baik di waktu senang maupun di waktu susah, baik karena ada harapan keuntungan maupun akan meminta pengorbanan. Janji baiat di saat-saat penting diadakan Rasulullah ﷺ Yang termasyhur ialah barat dengan utusan-utusan al-Anshar di Aqabah (Mina) Demikian pula baiat di bawah pohon di Hudaibiyah, dan di dalam surah al-Mumtahanah, ketika Utsman bin Affan belum juga kembali dari tugasnya jadi utusan kepada orang Quraisy di Mekah. Dan diterangkan pula bahwa perempuan pun pernah diambil baiat mereka yang tersendiri, sebagai tersebut di dalam surah al-Mumtahanah.
“Dan takwalah kamu kepada Allah.'1 Wahai orang-orang yang beriman! Karena kamu adalah umat yang telah dipercaya untuk membantu Rasul di dalam menjalankan kewajiban yang suci, tetapi berat. Namun jika badanmu telah bersih, sekurangnya lima kali sehari kamu berwudhu untuk menghadap Allah dengan hati yang suci pula, kamu tegakkan shalatiljama'ah untuk menyatupadukan hatimu semuanya, dan kamu taat setia mendengar dan menjalankan bimbingan Rasulmu itu, niscaya tidaklah ada perkara berat yang tidak akan dapat dipikul dan tidaklah ada yang sukar yang tidak akan dapat diatasi.
“Sesungguhnya Allah amat mengetahui akan isi dada-dada kamu. “
Maka karena bagi Allah tidak dapat disembunyikan niat yang tidak ikhlas, bahkan Dia selalu memasang teropongnya, atas tiap-tiap isi dada kamu, selalulah adakan pembersihan itu. Janganlah dimungkiri perjanjian dengan Allah, jangan diingkari baiat dengan Rasul dan setialah memegang janji dengan sesamamu manusia, dan patuhilah janji dengan dirimu sendiri. Tegakkanlah ikhlas, hilangkanlah beramal karena riya.
Sebab itu dari wudhu dimulai pelaksanaan kebersihan, dengan shalat dilanjutkan pembersihan itu, karena langsung menghadapkan hati yang khusyu kepada Allah, dan selesai shalat menghadapi setiap tugas hidup dengan hati yang tulus ikhlas pula, dan kelak setelah meninggal dunia akan kembali menghadap Allah biqalbin salt min, dengan hati yang bersih suci pula.
Memang ada pertalian di antara kebersihan badan dengan kebersihan hati. Rasakan sendirilah apabila kain yang kotor telah ditanggalkan dari badan, lalu mandi dan bersabun. Setelah itu berwudhu dan shalat. Rasakan betapa lapangnya dada setelah habis mengerjakan ibadah itu.
Dan kebersihan hati tadi membawa pengaruh pula kepada kebersihan sikap hidup, keikhlasan dan kejujuran. Itu pula sebabnya maka shalat shubuh dan dzikir dan wirid sesudah shalat matahari pun terbit. Kita pun menerima hari yang baru dengan dada terbuka dan hati yang bersih. Pintu rezeki pun terbuka, dan alam yang berada keliling kita menjadi saksi bahwa kita semuanya selalu dalam perlindungan Allah ﷻ
Sebagaimana kita sebutkan ketika menafsirkan ayat tayamum dalam surah an-Nisaa' ayat 43 dahulu. (Juz 5), penggantian dengan tanah ketika air tidak dapat dipakai, pun menunjukkan kebersihan hati. Syah Waliyullah ad-Dahlawy secara filosifis telah menerangkan bahwa menggantikan air dengan tanah adalah mengingatkan manusia akan asal jadinya. Mendidik manusia berendah hati. Ingatlah ketika Rasulullah ﷺ masuk ke dalam kota Mekah untuk menaklukkannya, setelah 11 tahun dia terasing di Madinah, dengan penuh rindu agar satu waktu tanah tumpah darahnya itu dapat hendaknya dibebaskannya dari masyarakat jahiliyyah.
Ketika beliau memasuki kota itu, dengan penuh kemenangan, dan orang-orang yang dahulu memusuhi dan mengusirnya telah berdiri di pinggir jalan menonton kedatangannya dengan penuh ketakutan, kalau-kalau Nabi Muhammad saw, membalas dendam, tetapi apa yang beliau perbuat?
Beliau sedang mengendarai tunggangannya, tetapi beliau merunduk serendah-rendahnya ke bumi, sampai tangannya dapat mencapai tanah. Diambilnya tanah pasir itu segenggam, lalu ditaburkannya ke atas kepalanya sendiri. Untuk merekan perasaannya, jangan sampai merasa sombong atas kemenangannya.
Demikianlah sikap kita bila satu waktu mengganti air buat berwudhu dengan tanah buat tayamum.
Tujuannya ialah kebersihan lahir dan batin; dan kebersihan hidup. Sebagai penutup tafsiran ayat ini, kita kutipkan hadits,
“Telah merawikan Ibnu Jarir, dari Abu Umamah, berkata dia; Berkata Rasulullah ﷺ, “Barang-siapa yang berwudhu, lalu dibaguskannya wudhu itu, kemudian itu dia berdiri shalat, keluarlah dosa-dosanya dari pendengarannya dan penglihatannya dan kedua tangannya dan kedua kakinya." (HR Ibnu Jarir)