Ayat
Terjemahan Per Kata
فِي
di dalam
قُلُوبِهِم
hati mereka
مَّرَضٞ
penyakit
فَزَادَهُمُ
maka menambah
ٱللَّهُ
Allah
مَرَضٗاۖ
penyakit
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
siksaan
أَلِيمُۢ
yang sangat pedih
بِمَا
dengan sebab
كَانُواْ
adalah mereka
يَكۡذِبُونَ
berdusta
فِي
di dalam
قُلُوبِهِم
hati mereka
مَّرَضٞ
penyakit
فَزَادَهُمُ
maka menambah
ٱللَّهُ
Allah
مَرَضٗاۖ
penyakit
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
siksaan
أَلِيمُۢ
yang sangat pedih
بِمَا
dengan sebab
كَانُواْ
adalah mereka
يَكۡذِبُونَ
berdusta
Terjemahan
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta.
Tafsir
(Dalam hati mereka ada penyakit) berupa keragu-raguan dan kemunafikan yang menyebabkan sakit atau lemahnya hati mereka. (Lalu ditambah Allah penyakit mereka) dengan menurunkan Al-Qur'an yang mereka ingkari itu. (Dan bagi mereka siksa yang pedih) yang menyakitkan (disebabkan kedustaan mereka.) Yukadzdzibuuna dibaca pakai tasydid, artinya amat mendustakan, yakni terhadap Nabi Allah dan tanpa tasydid 'yakdzibuuna' yang berarti berdusta, yakni dengan mengakui beriman padahal tidak.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 10
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya itu; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
As-Suddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasul ﷺ sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradhun, di dalam hati mereka ada penyakit, yakni keraguan. Fazadahumullahu maradhan," lalu ditambah Allah penyakitnya itu, yakni keraguannya. Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa fi qulubihim maradhun artinya keraguan.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta Qatadah. Dari Ikrimah dan Tawus disebutkan sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradhun" di dalam hati mereka ada penyakit, yang dimaksud adalah riya (pamer). Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ‘fi qulubihim maradhun’ artinya nifaq (sifat munafik), dan fazadahumullahu maradhan yakni nifaq juga; pendapat ini sama dengan yang pertama. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan ‘fi qulubihim maradhun’ artinya penyakit dalam masalah agama, bukan penyakit pada tubuh. Mereka yang mempunyai penyakit ini adalah orang-orang munafik, sedangkan penyakit tersebut adalah berupa keraguan yang merasuki hati mereka terhadap Islam. Fazadahumullahu maradhan artinya "lalu Allah tambah kekafirannya."
Selanjutnya Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan firman-Nya: “Adapun orang-orang yang beriman, maka surat itu menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)” (At-Taubah: 124-125). Menurutnya, makna yang dimaksud ialah bertambahlah kejahatan mereka di samping kejahatan yang telah ada dan bertambahlah kesesatan mereka di samping kesesatan yang telah ada pada diri mereka. Apa yang dikemukakan oleh Abdurrahman bin Zaid ini sungguh bagus, sesuai dengan kaidah "Al-Jaza' min Jinsil-Amal": Balasan akan sesuai dengan jenis perbuatan, demikian pula pendapat ulama yang mendahuluinya, ini juga mirip dengan firman Allah: “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya” (Muhammad: 17). Firman-Nya, "Bima kanu yakdzibuna" (disebabkan mereka berdusta). Lafal yakdzibuna dapat dibaca yukazzibuna (disebabkan apa yang mereka dustakan). Dikatakan demikian karena mereka mempunyai kedua sifat tersebut, yakni mereka adalah orang-orang yang berdusta, juga mendustakan yang gaib. Dengan kata lain, di dalam diri mereka terdapat sifat ini dan sifat itu.
Imam Qurtubi dan lainnya dari kalangan ulama tafsir pernah ditanya mengenai hikmah Nabi ﷺ tidak membunuh orang-orang munafik, padahal beliau mengetahui dengan jelas sebagian dari mereka. Lalu mereka mengemukakan jawabannya yang antara lain adalah melalui apa yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada Umar ibnul Khattab : Aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab mengatakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya. Dengan kata lain, beliau merasa khawatir bila hal tersebut dilakukannya akan mengubah sikap kebanyakan orang-orang Arab hingga mereka antipati untuk masuk Islam, mengingat mereka tidak mengetahui hikmah di balik hukuman mati yang beliau ﷺ jatuhkan terhadap mereka (orang-orang munafik), dan mereka sama sekali tidak mengerti bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ menghukum mereka hanya karena kekufuran; yang mereka simpulkan hanyalah lahiriah yang tampak bagi mereka, lalu mereka katakan bahwa Muhammad telah membunuh teman-temannya sendiri.
Al-Qurthubi mengatakan, demikianlah pendapat ulama mazhab kami dan selain mereka, keadaannya sama dengan pemberian yang diberikan oleh Nabi ﷺ kepada kaum mu'allafah (orang-orang yang sedang dibujuk hatinya masuk Islam), padahal Nabi ﷺ jelas mengetahui keburukan keyakinan mereka. Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah yang dianut oleh murid-murid Imam Malik, pendapat ini di-nas-kan oleh Muhammad ibnul Jahm dan Al-Qadhi Ismail serta Al-Abhuri dan Ibnu Majisyun. Jawaban lainnya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Malik, sesungguhnya Rasulullah ﷺ menahan diri terhadap orang-orang munafik hanyalah untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh main hakim sendiri atas dasar pengetahuannya sendiri. Imam Al-Qurthubi mengatakan, semua ulama telah sepakat bahwa seorang kadi (hakim) tidak boleh menjatuhkan hukuman mati atas dasar pengetahuannya sendiri, sekalipun para ulama berbeda pendapat dalam hukum-hukum lainnya.
Jawaban lainnya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i, sesungguhnya Rasulullah ﷺ menahan diri tidak menghukum mati orang-orang munafik atas perbuatan mereka yang lahiriahnya menampakkan Islam, padahal batin mereka diketahui munafik, karena apa yang mereka tampakkan itu dapat menutupi apa yang dilakukan sebelumnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi ﷺ dalam sebuah hadits yang telah disepakati keshahihannya di dalam kitab Shahihain dan kitab-kitab lain, yaitu: Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah." Apabila mereka mengucapkannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali berdasarkan alasan yang dibenarkan, sedangkan hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allah ﷻ. Makna hadits ini menunjukkan bahwa "barang siapa yang telah mengucapkan kalimat tersebut, maka diberlakukan terhadapnya hukum Islam menurut lahiriahnya." Jika orang yang bersangkutan mengucapkan hal itu disertai dengan keyakinan, maka ia memperoleh pahalanya di hari kemudian. Jika dia tidak meyakininya, maka tiada manfaat pemberlakuan hukum dunia baginya dan pergaulannya dengan orang-orang yang beriman.
Allah ﷻ berfirman: “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka (orang-orang mukmin) menjawab, "Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami), dan kalian ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah” (Al-Hadid: 14). Mereka (orang-orang munafik) itu bergaul dengan orang-orang mukmin dalam sebagian dari pergaulannya. Tetapi apabila orang-orang munafik itu dituntut melakukan suatu kewajiban, mereka berbeda dengan orang-orang yang beriman dan berada di belakang kaum mukmin. Allah ﷻ berfirman: “Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan” (Saba': 54). Orang-orang munafik itu tidak mungkin ikut sujud bersama kaum mukmin, sebagaimana dijelaskan oleh banyak hadits.
Jawaban lainnya adalah sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, sesungguhnya Nabi ﷺ tidak menghukum mati mereka karena beliau tidak merasa khawatir terhadap kejahatan dan makar mereka, mengingat beliau ﷺ masih hidup di antara kaum mukmin dan membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Sesudah beliau ﷺ wafat, mereka dihukum mati bila menampakkan kemunafikannya dan diketahui oleh kaum muslim. Imam Malik mengatakan bahwa orang munafik di masa Rasulullah ﷺ sama keadaannya dengan kafir zindiq di masa sekarang (yakni masa Imam Malik). Menurut kami, para ulama berselisih pendapat mengenai hukuman mati terhadap kafir zindiq jika dia menampakkan kekufurannya, apakah diminta bertobat atau langsung dihukum mati, apakah ada bedanya antara orang zindiq yang telah mendengar dakwah Islam dan yang belum pernah tersentuh oleh dakwah Islam; ataukah disyaratkan bahwa perbuatan murtadnya itu bersifat berulang-ulang atau tidak, dan apakah masuk Islamnya atau kekafirannya disyaratkan atas kehendak sendiri atau sesudah Islam tampak baginya.
Ada berbagai pendapat tentang ini. Hanya, tempat untuk menjelaskannya secara rinci dan keputusannya ada di dalam Bab "Hukum-Hukum Pendapat orang yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ mengetahui secara pasti sebagian orang-orang munafik, sesungguhnya yang dijadikan sandaran dalil baginya hanyalah hadits Hudzaifah ibnul Yaman yang di dalamnya disebut nama-nama mereka yang jumlahnya ada empat belas orang munafik dalam Perang Tabuk, yaitu mereka yang, berniat membunuh Rasulullah ﷺ di dalam kegelapan malam di salah satu lembah di Tabuk. Mereka bermaksud melaratkan unta yang dikendarainya dengan tujuan agar Nabi ﷺ terjatuh. Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya mengenai makar mereka, kemudian Nabi ﷺ menceritakan hal tersebut kepada Hudzaifah. Barangkali Nabi ﷺ menahan diri tidak menghukum mati mereka karena adanya pemberitahuan melalui wahyu tersebut, atau karena faktor lain, hanya Allah yang mengetahuinya. Selain mereka, sesungguhnya Allah ﷻ menyebutkannya melalui firman-Nya: “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekeliling kalian itu ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah.”
“Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka” (At-Taubah: 101). “Sungguh jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu untuk memerangi mereka, kemudian mereka tidak akan menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan hanya dalam waktu sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh tanpa ampun” (Al-Ahzab: 60-61). Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Nabi ﷺ sebenarnya tidak mengetahui mereka dan tidak mengenal mereka secara perorangan, melainkan hanya disebutkan kepadanya mengenai sifat orang-orang munafik. Dengan bekal tersebut beliau dapat menandainya pada sebagian dari kalangan mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman lain: “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka melalui tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (Muhammad: 30).
Di antara mereka yang terkenal kemunafikannya adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Kemunafikannya telah disaksikan oleh Zaid ibnu Arqam setelah ada penjelasan mengenai sifat-sifat orang munafik. Sekalipun demikian, ketika Abdullah ibnu Ubay bin Salul mati, Nabi ﷺ ikut menyalatkannya dan bahkan menyaksikan penguburannya, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap kaum muslim lainnya. Ketika Umar ibnul Khattab menegurnya karena perbuatan tersebut, maka beliau ﷺ bersabda: "Sesungguhnya aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab Badui membicarakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya sendiri." Di dalam riwayat lain dalam hadits shahih disebutkan: "Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku melakukan pilihan (yakni ikut menyalatkan dan menguburkannya). Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukan istighfar buatnya lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, niscaya aku akan menambahnya."
Hal itu karena dalam hati mereka ada penyakit, seperti penyakit iri dan dengki kepada orang-orang yang beriman, keraguan terhadap ajaran Islam, keyakinan yang keliru, dan lainnya, lalu Allah menambah parah penyakitnya itu dengan kemenangan yang besar bagi orang-orang yang beriman. Kemenangan itu sangat menyakitkan mereka karena rasa iri, dengki, dan sombong yang ada dalam diri mereka. Keraguan mereka pun semakin menjadi. Dan, sebagai akibatnya, selain menderita di dunia, mereka akan mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta dengan memperlihatkan keimanan padahal hati mereka ingkar. Dan apabila dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka, Janganlah berbuat kerusakan di bumi, dengan melanggar nilai-nilai yang ditetapkan agama, menghalangi orang dari jalan Allah, menyebar fitnah, dan memicu konflik, mereka justru mengklaim bahwa diri mereka bersih dari perusakan dan tidak bermaksud melakukan kerusakan. Mereka menjawab, Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Itu semua akibat rasa bangga diri mereka yang berlebihan. Begitulah perilaku setiap perusak yang tertipu oleh dirinya: selalu merasa kerusakan yang dilakukannya sebagai kebaikan.
Pada ayat ini diterangkan keburukan dusta atau sikap berpura-pura dan akibat-akibatnya. Dendam, iri hati dan ragu-ragu termasuk penyakit jiwa. Penyakit ini akan bertambah parah, bilamana disertai dengan perbuatan nyata. Misalnya rasa sedih pada seseorang akan bertambah dalam, apabila disertainya dengan perbuatan nyata, seperti menangis, meronta-ronta dan sebagainya. Penyakit-penyakit dengki demikian itu terdapat dalam jiwa orang-orang munafik. Oleh karena itu mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya, menipu dengan sikap pura-pura dan berusaha mencelakakan Rasul dan umatnya. Kemudian penyakit itu bertambah-tambah setelah melihat kemenangan-kemenangan Rasul. Setiap kali Rasul memperoleh kemenangan, bertambah pulalah penyakit mereka. Terutama sekali penyakit bimbang dan ragu-ragu, menimbulkan ketegangan jiwa yang sangat pada orang-orang munafik. Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan memahaminya, bahkan pancaindra mereka tidak mampu menangkap obyek dengan benar, seperti yang diungkapkan Allah dengan firman-Nya:
"Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah" (al-A'raf/7: 179)
Bukti-bukti telah nyata, cahaya kebenaran yang terang benderang juga jelas bagi mereka, namun mereka enggan menerimanya, bahkan mereka tambah erat berpegang kepada pendiriannya yang lama. Cahaya terang menjadi gelap di mata mereka dan menjadi penyakit di hati mereka. Hati mereka bertambah susah disebabkan lenyapnya kepemimpinan mereka. Iri dan dengki tambah mendalam karena menyaksikan kukuhnya Islam dari hari ke hari. Akibat pendustaan mereka, yaitu mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir dan tipu daya mereka terhadap Allah, mereka akan menderita azab yang pedih.
Dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya, Allah menerangkan sebagian dari sifat-sifat orang munafik yang melakukan tindakan-tindakan yang merusak, antara lain membantu orang-orang kafir (musuh-musuh Islam) dengan membukakan rahasia kaum Muslimin, mendorong orang-orang kafir segera menghancurkan kaum Muslimin, mengadakan perjanjian kerja sama dengan lawan-lawan Islam, menimbulkan pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, menghasut orang-orang Islam agar meninggalkan Nabi ﷺ dan lain sebagainya. Firman Allah:
Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan. (al-Baqarah/2: 205)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-13
NIFAK (I)
Ayat 8
“Dan sebagian dari manusia ada yang berkata, Kami percaya kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal tidaklah mereka itu orang-orang yang beriman."
Sudah dibicarakan pada ayat yang lalu tentang orang yang kafir. Orang yang dengan tegas telah menyatakan bahwa dia tidak percaya. Betapa pun mereka diajak, diberi peringatan ancaman adzab kehancuran di dunia dan siksa neraka di akhirat, mereka tidak akan mau karena hati mereka sudah dicap. Dengan hanya dua ayat saja, hal itu sudah selesai. Namun, mulai ayat 8 ini sampai ayat 20 akan dibicarakan yang lebih sulit daripada kufur, yaitu orang yang berlain apa yang diucapkannya dengan mulutnya dengan pendirian hatinya yang sebenarnya. Sifat ini bernama nifak dan pelakunya bernama munafik. Mereka berkata dengan mulut bahwa mereka percaya; mereka percaya kepada Allah, percaya akan Hari Kemudian, tetapi yang sebenarnya adalah mereka itu orang-orang yang tidak percaya.
Inilah macam manusia yang ketiga; yang pertama tadi percaya hatinya, percaya mulutnya, dan percaya perbuatannya, tegasnya dibuktikan kepercayaan hatinya itu oleh perbuatannya. Itulah orang Mukmin.
Yang kedua, tidak mau percaya; hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan. Itulah orang yang disebut kafir.
Namun, yang ketiga ini menjadi golongan yang pecah di antara hati dan mulutnya.
Mulutnya mengakui percaya, tetapi hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan di hati.
Kalimat munafik atau nifak itu asal artinya ialah lubang tempat bersembunyi di bawah tanah. Lubang perlindungan dari bahaya udara disebut nafaq. Dari sinilah diambil arti dari orang yang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sebagai suatu pengicuhan atau penipuan,
Ayat 9
“Hendak mereka coba memperdayakan Allah dan orang-orang yang beriman."
Dengan mulut yang manis, kecindan yang murah, berlagak sebagai orang yang jujur, pura-pura sebagai orang yang beriman, fasih lidah berkata-kata, dihias dengan firman Tuhan, sabda Rasul, supaya orang percaya bahwa dia bersungguh-sungguh.
“Padahal tidaklah yang mereka percayakan, kecuali diri mereka sendiri, dan tidaklah mereka rasakan."
Sikap pura-pura itu sudah nyata tidak dapat memperdayakan Allah; niscaya Allah tidak dapat dikicuh. Mungkin sesama manusia dapat tertipu sementara, tetapi akan berapa lamanya?
Ayat 10
“Di dalam hati mereka ada penyakit."
Pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena pantang kelintasan, merasa diri lebih pintar. Akhirnya “maka menambahlah Allah akan penyakit mereka!' penyakit dengki, penyakit hati busuk, dan penyakit penyalah terima. Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga yang kena, karena walaupun telah mengambil muka kian kemari, tetapi dalam hati sendiri ada juga keinsafan bahwa orang tidak percaya.
“Dan untuk mereka adzab yang pedih, dari sebeda mereka telah berdusta."
Kaum munafik itu mengatakan percaya kepada Allah dan Hari Akhirat; bahwa Allah ada dan Hari Akhirat pasti terjadi, adalah benar. Akan tetapi, karena sikap hidup selalu menyatakan bahwa mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan tidak ada bukti perbuatan yang menunjukkan bahwa kedua hal itu benar-benar keyakinannya, kian lama tampak jugalah dustanya. Orang pun akhirnya tahu dan dapat pula mengatur sikap menghadapi orang yang seperti ini. Mereka telah disiksa oleh dusta mereka sendiri. Apa saja yang mereka kerjakan menjadi serba salah.
Beginilah digambarkan jiwa orang munafik di Madinah seketika Islam mulai berkembang di sana. Kaum munafik itu dua corak. Pertama, munafik dari kalangan orang Yahudi, yang kian lama kian merasa bahwa mereka telah terdesak, padahal selama ini merekalah yang jadi tuan di Madinah, karena kehidupan mereka lebih makmur dari penduduk Arab asli dan merasa lebih pintar. Kian lama kian mereka rasakan bahwa kekuasaan Nabi Muhammad dan kebebasan Islam kian naik, sedangkan mereka kian terdesak ke tepi. Mereka inilah yang mengatakan kami percaya kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi sudah disengaja buat tidak menyebut bahwa mereka pun percaya kepada kerasulan Muhammad dan wahyu Al-Qur'an.
Munafik kedua ialah orang Arab Madinah sendiri, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Sebelum Nabi datang, dialah yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah yang terdiri atas persukuan Aus dan Khazraj. Akan tetapi, sedatang Nabi ﷺ dia kian lama ditinggalkan orang sebab kian nyata bahwa dia tidak jujur. Kerjanya hanya duduk mence-mooh-mencemooh dan memperenteng kepribadian Nabi ﷺ
Akan tetapi, berhadapan dengan orang tidak pula dia berani karena takut akan disisihkan. Beginilah gambaran umum dari golongan munafik pada masa itu.
Ayat 11
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu berbuat kemuakan di bumi,' Mereka menjawab, ‘Tidak lain kerja kami, hanyalah berbuat kebaikan.'"
Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha menghalang-halangi perbaikan, pembangunan ruhani dan jasmani yang sedang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang yang beriman. Hati mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan begitu, mereka menjawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka mencari jalan perbaikan atau jalan yang damai. Lidah yang tidak bertulang pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya, padahal kosong isinya.
Ayat 12
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu perusak-perusak, akan tetapi mereka tidak sadar."
Dengan cara diam-diam, munafik Yahudi telah mencari daya upaya bagaimana supaya segala rencana Nabi kandas. Orang-orang Arab dusun yang belum ada kepercayaan, kalau datang ke Madinah, kalau ada kesempatan, mereka bisiki, mencemoohkan Islam. Padahal, sejak Nabi datang ke Madinah, telah diikat janji akan hidup berdampingan secara damai. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu merusak dan berbahaya, terutama pada kedudukan mereka sendiri, sebab Islam tidak akan lemah, tetapi akan bertambah kuat. Kalau ditanyakan, mereka menyatakan bahwa maksud mereka baik, mencari jalan damai. Jelaslah bahwa perbuatan mereka yang amat berbahaya itu tidak mereka sadari karena hawa nafsu belaka.
Nafsu yang pantang kerendahan. Kalau mereka berpegang benar-benar dengan agama mereka, agama Yahudi, tidaklah mungkin mereka akan berbuat demikian. Namun, setelah agama menjadi satu macam ta'ashshub, membela golongan, walaupun dengan jalan yang salah, tidaklah mereka sadari lagi apa akibat dari pekerjaan mereka itu. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berkumpul menjadi satu dengan munafik golongan Abdullah bin Ubay. Ayat ini sudah menegaskan: Alal Ketahuilah! Sesungguhnya, mereka itu perusak-perusak semua. Akan tetapi, mereka tidak sadar. Ayat ini telah membayangkan apa yang akan kejadian di belakang, yang akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari akibat di belakang.
Ayat 13
“Dan apabila dikatakan orang kepada Mereka, ‘Senimanlah sebagaimana telah beriman manusia (lain).' Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh-bodoh itu?' Ketahuilah, sesungguhnya Mereka itulah yang bodoh-bodoh, tetapi Mereka tidak tahu."
Inilah rahasia pokok. Merasa diri lebih pintar. Merasa diri turun derajat kalau mengakui percaya kepada Rasul, sebab awak orang berkedudukan tinggi selama ini, baik pemuka-pemuka Yahudi maupun Abdullah bin Ubay dan pengikutnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang telah menyatakan iman kepada Rasulullah itu bukanlah dari golongan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat selama ini: Apa mereka tahu! Anak-anak kemarin! Belum ada kedudukan mereka dalam masyarakat!
Mereka tidak hendak menilai apa artinya beriman. Yang mereka nilai hanya kedudukan dari orang-orang yang telah menyatakan iman. Mereka pandang bahwa orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad itu hanyalah orang bodoh-bodoh, sedangkan mereka orang pintar-pintar, lebih banyak mengerti soal agama sebab mereka mempunyai kitab Taurat.
Kesombongan inilah di zaman dahulu kala yang menyebabkan umat Nabi Nuh menentang Nabi Nuh. Mereka merasa pakaian mereka kotor kalau duduk bersama-sama dengan orang-orang yang telah percaya lebih dahulu kepada Nabi Nuh. Maka, bagi kaum munafik Yahudi ini, kepintaran mereka dalam soal agama tidak lagi untuk diamalkan, tetapi untuk dimegahkan. Namun, mereka sendiri tidak dapat bertindak apa-apa. Mereka terpecah-belah sebab masing-masing hendak mengatasi kepintaran. Lantaran sikap jiwa yang demikian, apakah yang dapat mereka perbuat selain dari mencemooh? Segala yang dikerjakan orang salah semua menurut mereka. Akan tetapi, mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
Kadang-kadang, tentu keluar perkataan mereka mencela pribadi orang. Misalnya, mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad itu ada baiknya juga. Sayangnya, pengikutnya banyak si anu dan si fulan. Padahal, misalnya, orang-orang yang mereka cela dan hinakan itu keluar dan mereka masuk, mereka pun tidak akan dapat berbuat apa-apa selain dari mengemukakan rencana-rencana dan rancangan, tetapi orang lain yang disuruh mengerjakan karena mereka sendiri tidak mempunyai kesanggupan. Mereka mencap semua orang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti akan kebodohan mereka sendiri.