Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
قُلۡتُمۡ
kamu berkata
يَٰمُوسَىٰ
wahai musa
لَن
tidak
نَّصۡبِرَ
kami bersabar
عَلَىٰ
atas
طَعَامٖ
makanan
وَٰحِدٖ
satu macam
فَٱدۡعُ
maka mohonlah
لَنَا
untuk kami
رَبَّكَ
Tuhanmu
يُخۡرِجۡ
agar Dia mengeluarkan
لَنَا
untuk kami
مِمَّا
dari apa
تُنۢبِتُ
menumbuhkan
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
مِنۢ
dari
بَقۡلِهَا
sayur-mayurnya
وَقِثَّآئِهَا
dan ketimunnya
وَفُومِهَا
dan bawang putihnya
وَعَدَسِهَا
dan kacang adas
وَبَصَلِهَاۖ
dan bawang merahnya
قَالَ
(Musa) berkata
أَتَسۡتَبۡدِلُونَ
maukah kamu mengganti
ٱلَّذِي
yang
هُوَ
ia (sesuatu)
أَدۡنَىٰ
lebih rendah
بِٱلَّذِي
dengan yang
هُوَ
ia (sesuatu)
خَيۡرٌۚ
lebih baik
ٱهۡبِطُواْ
pergilah kalian
مِصۡرٗا
kota
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
سَأَلۡتُمۡۗ
kamu pinta
وَضُرِبَتۡ
dan ditimpakan
عَلَيۡهِمُ
atas mereka
ٱلذِّلَّةُ
kehinaan
وَٱلۡمَسۡكَنَةُ
dan kenistaan
وَبَآءُو
dan mereka kembali
بِغَضَبٖ
dengan kemurkaan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۚ
Allah
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِأَنَّهُمۡ
karena sesungguhnya mereka
كَانُواْ
mereka adalah
يَكۡفُرُونَ
mereka mengingkari
بِـَٔايَٰتِ
dengan ayat-ayat
ٱللَّهِ
Allah
وَيَقۡتُلُونَ
dan mereka membunuh
ٱلنَّبِيِّـۧنَ
para Nabi
بِغَيۡرِ
dengan tidak
ٱلۡحَقِّۚ
hak/benar
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِمَا
dengan apa
عَصَواْ
mereka durhaka
وَّكَانُواْ
dan mereka adalah
يَعۡتَدُونَ
mereka melampaui batas
وَإِذۡ
dan ketika
قُلۡتُمۡ
kamu berkata
يَٰمُوسَىٰ
wahai musa
لَن
tidak
نَّصۡبِرَ
kami bersabar
عَلَىٰ
atas
طَعَامٖ
makanan
وَٰحِدٖ
satu macam
فَٱدۡعُ
maka mohonlah
لَنَا
untuk kami
رَبَّكَ
Tuhanmu
يُخۡرِجۡ
agar Dia mengeluarkan
لَنَا
untuk kami
مِمَّا
dari apa
تُنۢبِتُ
menumbuhkan
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
مِنۢ
dari
بَقۡلِهَا
sayur-mayurnya
وَقِثَّآئِهَا
dan ketimunnya
وَفُومِهَا
dan bawang putihnya
وَعَدَسِهَا
dan kacang adas
وَبَصَلِهَاۖ
dan bawang merahnya
قَالَ
(Musa) berkata
أَتَسۡتَبۡدِلُونَ
maukah kamu mengganti
ٱلَّذِي
yang
هُوَ
ia (sesuatu)
أَدۡنَىٰ
lebih rendah
بِٱلَّذِي
dengan yang
هُوَ
ia (sesuatu)
خَيۡرٌۚ
lebih baik
ٱهۡبِطُواْ
pergilah kalian
مِصۡرٗا
kota
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
سَأَلۡتُمۡۗ
kamu pinta
وَضُرِبَتۡ
dan ditimpakan
عَلَيۡهِمُ
atas mereka
ٱلذِّلَّةُ
kehinaan
وَٱلۡمَسۡكَنَةُ
dan kenistaan
وَبَآءُو
dan mereka kembali
بِغَضَبٖ
dengan kemurkaan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۚ
Allah
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِأَنَّهُمۡ
karena sesungguhnya mereka
كَانُواْ
mereka adalah
يَكۡفُرُونَ
mereka mengingkari
بِـَٔايَٰتِ
dengan ayat-ayat
ٱللَّهِ
Allah
وَيَقۡتُلُونَ
dan mereka membunuh
ٱلنَّبِيِّـۧنَ
para Nabi
بِغَيۡرِ
dengan tidak
ٱلۡحَقِّۚ
hak/benar
ذَٰلِكَ
demikian itu
بِمَا
dengan apa
عَصَواْ
mereka durhaka
وَّكَانُواْ
dan mereka adalah
يَعۡتَدُونَ
mereka melampaui batas
Terjemahan
(Ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa, kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan. Maka, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.” Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” Kemudian, mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena sesungguhnya mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu ditimpakan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Tafsir
(Dan ketika kamu berkata, "Hai Musa! Kami tidak bisa tahan dengan satu makanan saja!") maksudnya satu macam saja, yaitu manna dan salwa. (Oleh sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami) sesuatu (dari apa yang ditumbuhkan bumi berupa) sebagai penjelasan (sayur-mayur, ketimun, bawang putih) (kacang adas dan bawang merah, maka jawabnya) yaitu jawab Musa kepada mereka, ("Maukah kamu mengambil sesuatu yang lebih rendah atau lebih jelek sebagai pengganti) (dari yang lebih baik) atau lebih utama?" Pertanyaan ini berarti penolakan, tetapi mereka tidak mau menarik permintaan itu hingga Musa pun berdoa kepada Allah, maka Allah Taala berfirman, ("Turunlah kamu) pergilah (ke salah satu kota) di antara kota-kota (pastilah kamu akan memperoleh) di sana (apa yang kamu minta") dari tumbuh-tumbuhan itu. (Lalu dipukulkan) ditimpakan (atas mereka kenistaan) kehinaan dan kenistaan (dan kemiskinan) yakni bekas-bekas dan pengaruh kemiskinan berupa sikap statis dan rendah diri yang akan selalu menyertai mereka walaupun mereka kaya, tak ubahnya bagai mata uang yang selalu menurut dan tidak akan lepas dari cetakannya, (dan kembalilah mereka) (membawa kemurkaan dari Allah, demikian itu), yakni pukulan dan kemurkaan Allah itu (disebabkan mereka) (mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi) seperti Nabi Zakaria dan Yahya (tanpa hak) hanya karena keaniayaan semata. (Demikian itu terjadi karena mereka selalu berbuat kedurhakaan dan karena mereka melanggar batas) artinya batas-batas peraturan hingga jatuh ke dalam maksiat. Kalimat pertama diulangnya untuk memperkuatnya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 61
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Wahai Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah." Musa berkata, "Apakah kalian mau mengambil sesuatu yang bernilai rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian memperoleh apa yang kalian minta."
Ayat 61
Allah berfirman, "Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian di kala Aku menurunkan manna dan salwa kepada kalian sebagai makanan yang baik, bermanfaat, enak dan mudah. Ingatlah ungkapan keluhan serta kebosanan kalian terhadap apa yang telah Kami limpahkan kepada kalian, dan kalian meminta kepada Musa menggantinya dengan makanan yang bermutu rendah, seperti sayur mayur dan lain-lain yang kalian minta."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka terlanjur terbiasa dengan hal tersebut, maka mereka tidak sabar terhadap makanan manna dan salwa. Mereka teringat kepada kehidupan sebelumnya yang biasa mereka jalani. Mereka merupakan kaum yang biasa memakan kacang adas, bawang merah, sayur-sayuran, dan bawang putih (vegetarian). Lalu mereka berkata: "Wahai Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah." (Al-Baqarah: 61) Sesungguhnya mereka mengatakan satu jenis makanan karena makanan yang mereka konsumsi hanyalah manna dan salwa saja, setiap harinya hanya itu saja yang mereka makan.
Al-buqul (sayur mayur), al-qitstsa (mentimun), al-'adas (kacang adas) dan al-bashal (bawang merah), semuanya sudah dikenal. Mengenai al-fum menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebut tsum dengan memakai huruf tsa yang artinya ialah bawang putih. Hal yang sama ditafsirkan oleh Mujahid di dalam riwayat Al-Laits ibnu Abu Salim, dari Ibnu Mas'ud, bahwa al-fum artinya tsaum (bawang putih). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Rafi', telah menceritakan kepada kami Abu Imarah (yakni Ya'qub ibnu Ishaq Al-Basri), dari Yunus, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wafumiha." Menurut Ibnu Abbas artinya bawang putih, dan di dalam bahasa kuno disebutkan fummu lana yang artinya 'buatkanlah roti untuk kami'.
Ibnu Jarir mengatakan, apabila hal tersebut benar, maka lafal fumiha termasuk di antara huruf-huruf yang ada penggantian di dalamnya, seperti perkataan mereka, "Waqa'u fi 'atsuri syarrin (mereka terjerumus di dalam kemelut keburukan)," dikatakan 'afur syarrin (huruf tsa diganti menjadi fa). Contoh lainnya ialah atsafi diucapkan menjadi asatsi, magafir diucapkan menjadi magatsir, dan lain sebagainya yang serupa; di mana huruf fa diganti menjadi tsa, dan huruf tsa diganti menjadi fa, karena makhraj keduanya berdekatan.
Ulama lainnya mengatakan bahwa al-fum artinya gandum yang biasa dipakai untuk membuat roti. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul Ala secara bacaan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb secara bacaan, telah menceritakan kepadaku Nafi' ibnu Abu Na'im, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya wafumiha: "Apakah yang dimaksud dengan fumiha?" Ibnu Abbas menjawab, "Gandum." Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Bukankah kamu pernah mendengar ucapan Uhaihah ibnul Jallah yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya, yaitu: "Dahulu aku adalah orang yang paling berkecukupan secara pribadi, akulah yang mula-mula melakukan penanaman gandum di Madinah."
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muslim Al-Juhani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Rasyid ibnu Kuraib, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Wa-fumiha." Disebutkan bahwa al-fum adalah gandum menurut dialek Bani Hasyim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ali ibnu Abu Tal-hah dan Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas; juga oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa al-fum artinya gandum.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Mujahid dan ‘Atha’ mengenai firman-Nya, "Wafumiha." Keduanya mengatakan, yang dimaksud ialah roti.
Hasyim meriwayatkan dari Yunus, dari Al-Husain dan Husain, dari Abu Malik mengenai firman-Nya, "Wafumiha," bahwa fum artinya gandum. Pendapat ini dikatakan oleh Ikrimah, As-Suddi, Al-Ha-san Al-Basri, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan lain-lain.
Al-Jauhari mengatakan bahwa al-fum artinya gandum.
Ibnu Duraid mengatakan, al-fum artinya tsunbulah (bulir gandum).
Al-Qurthubi meriwayatkan dari ‘Atha’ dan Qatadah, bahwa al-fum ialah segala jenis biji-bijian yang dapat dijadikan roti.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-fum adalah kacang hums menurut dialek Syamiyah, dan orang yang menjualnya disebut fami yang diambil dari kata fumi setelah diubah sedikit.
Imam Al-Bukhari mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa fum artinya segala jenis biji-bijian yang dapat dimakan.
Firman Allah ﷻ: Musa berkata, "Apakah kalian mau mengambil sesuatu yang bernilai rendah sebagai pengganti yang lebih baik?" (Al-Baqarah: 61) Di dalam ungkapan ayat ini terkandung teguran dan celaan terhadap permintaan mereka yang meminta jenis-jenis makanan yang bernilai rendah ini, padahal mereka sedang dalam kehidupan yang menyenangkan dan memiliki makanan yang enak lagi baik dan bermanfaat.
Firman Allah ﷻ: "Pergilah kalian ke suatu kota" (Al-Baqarah: 61) Demikianlah bunyinya dengan di-tanwi'n-kan serta ditulis dengan memakai alif pada akhirnya menurut mushaf para Imam Utsmaniyah. Qiraat inilah yang dipakai oleh jumhur ulama. Ibnu Jarir mengatakan, "Aku tidak memperbolehkan qiraat selain dari qiraat ini, karena semua mushaf telah sepakat membacanya demikian."
Ibnu Abbas mengatakan, ihbitu mishran artinya 'pergilah kalian ke suatu kota'. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadits Abu Sa'id Al-Baqqal (yaitu Sa'id ibnul Mirzaban), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari As-Suddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah didapati di dalam qiraat Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Mas'ud bacaan ihbitu mishra, yakni tanpa memakai tanwin, yang artinya 'pergilah kalian ke negeri Mesir'. Kemudian diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan hal tersebut sebagai negeri Mesir tempat Fir'aun berkuasa. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Abul Aliyah dan Ar-Rabi', dari Abul A'masy.
Ibnu Jarir mengatakan, dapat pula diinterpretasikan makna yang dimaksud ialah negeri Mesir Fir'aun menurut qiraat orang yang mem-fathah-kannya (tanpa tanwin). Dengan demikian, berarti hal ini termasuk ke dalam Bab "Ittiba' dalam Menulis Mushaf, seperti yang dilakukan terhadap firman-Nya, "Qawariran qawarira," kemudian di-waqaf-kan bacaannya. Permasalahannya terletak pada makna mishra, apakah makna yang dimaksud adalah Mesir negerinya Fir'aun, atau salah satu negeri (kota) secara mutlak? Pendapat yang mengatakan bahwa kota tersebut adalah negeri Mesir masih perlu dipertanyakan.
Bagaimanapun juga, yang benar ialah suatu kota secara mutlak, seperti yang disebut oleh riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Berdasarkan pengertian ini makna ayat adalah seperti berikut "Musa berkata kepada mereka, 'Apa yang kalian minta itu bukanlah merupakan hal yang sulit, bahkan hal tersebut banyak didapat di kota mana pun yang kalian masuki, dan tidaklah pantas bagi kalian meminta kepada Allah ﷻ hal yang serendah itu lagi banyak didapat'." Karena itulah maka Musa berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya: "Apakah kalian mau mengambil sesuatu yang bernilai rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian memperoleh apa yang kalian minta." (Al-Baqarah: 61) Ma sa-altum artinya apa yang kalian minta; dan mengingat permintaan mereka itu termasuk ke dalam kategori keterlaluan dan sangat buruk, maka bukan merupakan suatu keharusan untuk diperkenankan.
Dan ingatlah pula sikap-sikap yang tidak menyenangkan, yaitu ketika kamu berkata kepada Nabi Musa, Wahai Musa! Kami sudah tidak tahan lagi bila hanya makan dengan satu macam makanan saja yang tetap dan tidak berubah-ubah yaitu al-mann dan as-salwa', maka mohonkanlah kepada Tuhanmu Yang Maha Pemurah untuk kami, agar Dia memberi kami yang sudah jenuh dengan makanan yang sama, apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah. Dia, Nabi Musa, dengan nada marah, menjawab, Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik dengan menukar al-mann dan as-salwa' yang merupakan anugerah Allah dengan jenis-jenis makanan yang disebutkan itu' Bila itu yang kamu kehendaki, tinggalkanlah tempat ini dan pergilah ke suatu kota yang kamu inginkan, pasti kamu di tempat itu akan memperoleh apa saja sesuai yang kamu minta. Akibat tidak adanya rasa syukur itu, kemudian mereka ditimpa kenistaan dalam hidup dan kemiskinan dari rezeki atau harta, dan mereka selanjutnya kembali mendapat kemurkaan dari Allah yang tidak senang dengan keingkaran mereka. Hal itu, yakni kenistaan dan kemiskinan dapat terjadi karena mereka tidak mau mensyukuri nikmat yang dianugerahkan, bahkan sering mengingkari ayat-ayat Allah yang ada di sekitarnya dan membunuh para nabi tanpa hak atau alasan yang benar. Yang demikian itu sebagai akibat dari sikap dan tingkah laku yang tidak terpuji, selain karena mereka juga selalu durhaka dan melampaui batas dalam segala tindak-tanduknya.
Ayat ini menunjukkan betapa Allah Maha Pengampun lagi Maha Pemberi rahmat bagi semua manusia, karena sesungguhnya orang-orang yang beriman, yaitu umat Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi yang merupakan umat Nabi Musa, orang-orang Nasrani yang merupakan umat Nabi Isa, dan orang-orang Ša'biin, yaitu umat sebelum Nabi Muhammad yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang, tentunya siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari Akhir dengan sebenarbenar iman sebelum diutusnya Nabi Muhammad , dan selalu melakukan kebajikan yang memberikan manfaat bagi yang lainnya, mereka pasti akan mendapat pahala dari Tuhannya berupa surga, selain itu tidak ada rasa takut pada mereka dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat, dan mereka tidak pula bersedih hati ketika menghadapi beragam cobaan.
Ketika Bani Israil tersesat di padang pasir Sinai, mereka berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak tahan terhadap satu jenis makanan saja, sedang yang ada hanya mann dan salwa saja (al-Baqarah/2:57). Mereka berkata demikian karena keingkaran mereka terhadap Nabi Musa a.s. dan kebanggaan terhadap kehidupan mereka dahulu.
Bani Israil kemudian meminta kepada Musa a.s. agar berdoa kepada Tuhan semoga Dia mengeluarkan sayur-sayuran yang ditumbuhkan bumi sebagai ganti mann dan salwa. Mereka tidak mau berdoa sendiri, tetapi mengharapkan Musa yang berdoa kepada Tuhan, karena mereka memandang Musa orang yang dekat kepada Tuhan dan lagi pula dia seorang Nabi yang dapat bermunajat kepada Allah. Sayur-mayur dan lain-lain yang mereka minta itu banyak terdapat di kota-kota, tapi tidak terdapat di padang pasir. Sebenarnya permintaan itu tidak sukar dicari, karena mereka dapat memperolehnya asal saja mereka pergi ke kota. Nabi Musa menolak permintaan itu dengan penuh kekecewaan dan kejengkelan serta mencela sikap mereka karena mereka menolak mann dan salwa, makanan yang sebenarnya mengandung nilai gizi yang tinggi dan sangat diperlukan oleh tubuh, diganti dengan sayur-mayur yang lebih rendah gizinya.
Kemudian Nabi Musa menyuruh mereka keluar dari gurun Sinai dan pergi menuju kota. Di sana mereka akan mendapatkan yang mereka inginkan, sebab gurun Sinai tempat mereka tinggal sampai batas waktu yang telah ditentukan Allah, tidak dapat menumbuhkan sayur-sayuran. Mereka tinggal di gurun Sinai itu karena mereka lemah dan tidak tabah untuk mengalahkan penduduk negeri yang dijanjikan bagi mereka. Mereka akan lepas dari hal yang tidak mereka sukai, bilamana mereka memiliki keberanian memerangi orang-orang yang di sekitar mereka, yaitu penduduk bumi yang dijanjikan Allah dan menjamin memberi pertolongan kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya mereka mencari jalan untuk mendapatkan kemenangan dan keuntungan.
Setelah Allah menceritakan penolakan Musa terhadap permintaan mereka dan sebelumnya telah membentangkan pula segala nikmat yang dikaruniakan kepada mereka, dalam ayat ini Allah mengemukakan beberapa kejahatan keturunan Bani Israil yang datang kemudian, yaitu mereka mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh nabi-nabi dan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah. Oleh sebab itu, Allah menimpakan kepada mereka kehinaan dan kemiskinan sebagai wujud kemurkaan-Nya.
Sudah semestinya mereka menerima murka Ilahi, menanggung bencana dan siksaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Demikian pula mereka mendapatkan kehinaan dan kemiskinan karena mereka selalu menolak ayat-ayat Allah yang telah diberikan kepada Nabi Musa berupa mukjizat yang telah mereka saksikan sendiri. Kedurhakaan dan penolakan mereka terhadap Nabi Musa adalah suatu bukti bahwa ayat-ayat Allah tidak berpengaruh pada jiwa mereka. Mereka tetap mengingkarinya.
Mereka membunuh para nabi dari golongan mereka, tanpa alasan yang benar. Memang sesungguhnya orang yang berbuat kesalahan kadang-kadang meyakini bahwa yang diperbuatnya adalah benar. Perbuatan mereka yang demikian itu bukanlah karena salah dalam memahami atau menafsirkan hukum, tetapi memang dengan sengaja menyalahi hukum-hukum Allah yang telah disyariatkan di dalam agama mereka.
Kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan kelancangan mereka membunuh para nabi, karena mereka banyak melampaui batas ketentuan agama mereka. Seharusnya agama mempunyai pengaruh yang besar pada jiwa manusia, sehingga penganutnya takut menyalahi perintah Allah. Apabila seseorang melampaui peraturan-peraturan atau batas-batas agamanya berarti pengaruh agama pada jiwanya sudah lemah. Semakin sering dia melanggar batas hukum agama itu semakin lemah pulalah pengaruh agama pada jiwanya. Sampai akhirnya pelanggaran ketentuan-ketentuan agama itu menjadi kebiasaannya, seolah-olah dia lupa akan adanya batas-batas agama dan peraturan-peraturannya. Akhirya lenyaplah pengaruh agama dalam hatinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 57-61
Ayat 57
“Dan tidaklah Mereka yang menganiaya Kami, akan tetapi adalah Mereka menganiaya diri mereka sendiri."
Tegasnya, jika Allah Ta'aala mendatangkan suatu perintah dan menurunkan agama, bukanlah Tuhan menyia-nyiakan jaminan hidup bagi manusia, bahkan diberi-Nya perlindungan dan makanan cukup. Maka, sebagai tanda syukur kepada Ilahi, patutlah mereka beribadah kepada-Nya. Kalau nikmat Tuhan tidak disyukuri, sengsaralah yang akan menimpa. Maka, kalau sengsara menimpa, janganlah Tuhan disesali, tetapi sesahlah diri sendiri. Dan, Tuhan tidaklah akan teraniaya oleh perbuatan manusia. Misalnya, kalaupun manusia durhaka kepada Allah, tidaklah Allah akan celaka lantaran kedurhakaan manusia itu, melainkan manusialah yang mencelakakan dirinya.
Ayat 58
“Dan (Ingatlah) ketika Kami berkata, ‘Masuklah kamu ke dalam negeri ini, maka makanlah daripadanya sebagaimana yang kamu kehendaki dengan puas, dan masukilah pintu itu dengan merendah diri dan ucapkanlah kata permohonan ampun, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, dan akan Kami tambah (nikmat) kepada orang-orang yang berbuat baik."
Setelah mereka dikeluarkan dari tempat perhambaan di Mesir itu dan dijanjikan kepada mereka tanah-tanah pusaka nenek moyang mereka, yaitu bumi Kanaan atau tanah-tanah Mesopotamia yang sekarang ini: Palestina, sekeliling Sungai Yordaria.
Namun, masuk ke sana tidaklah secara melenggang saja, melainkan dengan perjuangan. Kepada mereka diberikan perintah bagaimana cara menaklukkan sebuah negeri; hasil bumi negeri itu boleh dimakan sebab sudah menjadi hak mereka. Sebab itu, boleh kamu makan dia dengan puas dan gembira. Dan, ketika masuk ke negeri itu hendaklah dengan budi yang baik, sikap yang runduk, jangan menyombong, jangan membangkitkan sakit hati pada orang lain, dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya dan kemenangan yang telah diberikan-Nya, dan ucapkanlah perkataan yang mengandung semangat mohon ampun kepada Ilahi. Kalau perintah ini mereka turuti, niscaya jikapun ada kesalahan mereka dalam peperangan atau dalam hal yang lain akan diampuni oleh Tuhan, dan kepada orang-orang yang sudi berbuat baik akan dilipatgandakan Tuhan nikmat-Nya.
Untuk melihat contoh teladan tentang me-naklukkandan memasuki negeri musuh dengan jalan begini, ialah teladan Nabi Muhammad sendiri seketika beliau menaklukkan Mekah, setelah sepuluh tahun beliau diusir dari negeri itu. Beliau masuk dengan muka tunduk, sampai tercecah kepala beliau kepada leher untanya yang bernama al-Qashwa' itu, tidak ada sikap angkuh dan sombong.
Ayat 59
“Maka menggantilah orang-orang yang durhaka dengan kata-kata yang tidak diperintahkan kepada mereka."
Maka, kata hiththah yang berarti permohonan ampun kepada Ilahi, mereka ganti dengan kata lain, yaitu hinthah yang berarti minta gandum kepada Ilahi. Artinya, bukanlah mereka merundukkan kepala dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan, sebab negeri itu telah dapat ditaklukkan, melainkan hanya mengingat berapa puluh karung gandumkah yang akan mereka dapat dengan merampas kekayaan penduduk yang ditaklukkan.
Meskipun memang demikian ditulis oleh setengah penafsir, yang terang ialah bahwa tidak mereka lakukan sebagai yang diperintahkan, melainkan mereka ubah perintah Tuhan sekehendak hati, tidak sebenar-benar patuh jiwa mereka kepada disiplin Tuhan. Ada rupanya yang membuat langkah-langkah dan cara yang lain.
“Lalu Kami turunkanlah atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, oleh karena mereka melanggar perintah."
Maksud ayat ini sudah tegas, yaitu ada dalam kalangan mereka yang tidak setia menjalankan apa yang diperintahkan. Tidak menurut sebagaimana yang diinstruksikan. Disuruh tunduk, mereka menyombong. Disuruh memakai kata-kata yang berisi memohon ampun, mereka minta gandum. Disuruh makan baik-baik, mereka makan dengan rakus. Padahal itulah pantang besar dalam perjuangan. Karena tentara adalah alat semata-mata dari panglima yang memegang komando.
Oleh karena mereka mengubah-ubah perintah, mana yang mengubah itu atau yang zalim itu mendapAllah siksaan dari langit. Dengan memperingatkan ini kembali kepada Bani Israil di zaman Nabi, terbukalah rahasia kebiasaan mereka, yaitu tidak tulus menjalankan perintah, dan bagi Nabi ﷺ sendiri pun menjadi peringatan bahwa keras kepala adalah bawaan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Kalau kita lihat catatan sejarah Bani Israi! ketika dibawa dan dibimbing Nabi Musa itu, dia sendiri pun kerap kali mencela mereka dengan memberikan cap keras kepala, keras tengkuk, dan sebagainya. Dan siksaan yang datang pun sudah bermacam-macam terhadap yang salah.
Kadang-kadang ditenggelamkan, kadang-kadang disapu oleh bahaya sampar.
Ayat 60
“Dan (Ingatlah) seketika Musa memohonkan air untuk kaumnya, lalu Kami katakan, ‘Pukullah dengan tongkatmu itu akan batu.'"
Dalam perjalanan jauh itu tentu bertemu juga dengan padang belantara yang kering dari air. Kalauberjumpa dengan keadaan yang demikian, Bani Israil itu sudah ribut, mengomel, dan melepaskan kata-kata yang menunjukkan jiwa yang kecil kepada Nabi Musa. Tiba di tempat yang kering kurang air, mereka mengomel, mengapa kami dibawa ke tempat ini. Mengapa kehidupan kami yang senang cukup air di Mesir disuruh meninggalkannya dan dibawa ke tempat yang kering ini. Apa kami disuruh mati? Musa pun memohonlah kepada Tuhan agar mereka diberi air.
Maka, Tuhan menyuruh Musa memukul batu dengan tongkat, “Maka memancarlah darinya dua belas mata air," sebanyak suku-suku Bani Israil, “yang sesungguhnya telah tahu tiap-tiap golongan akan tempat minum mereka Dan, sebagaimana rahmat turunnya manna dan salwa, disuruhkan juga kepada mereka agar nikmat ini diterima dengan syukur. Kalau bukanlah dengan mukjizat dan karunia Ilahi tidaklah mereka akan mendapat air di tempat sekering itu, padang pasir yang tandus. Sebab itu, Tuhan berfirman,
“Makanlah dan minumlah dari karunia Allah, dan janganlah kamu mengacau dan membuat kemuakan di bumi."
Ini diingatkan kembali kepada Bani Israil, demikian besar nikmat Tuhan atas mereka. Dan diperingatkan juga kepada manusia umumnya, janganlah sampai setelah nikmat bertimpa-tim-pa datang, lalu lupa kepada yang memberikan nikmat, lalu berbuat kekacauan dan kerusakan. Jangan hanya mengomel menggerutu ketika kekeringan nikmat lalu mengacau dan menyombong setelah nikmat ada.
Ayat 61
“Dan (Ingatlah) seketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, tidaklah kami akan tahan atas makanan hanya semacam."
Ini juga menunjukkan kekecilan jiwa dan kemanjaan. Mereka telah diberi jaminan makanan yang baik, manna dan salwa. Manna yang semanis madu dan daging burung, salwa yang empuk lezat. Dengan demikian, mereka tidak usah menyusahkan lagi makanan lain pada tanah kering dan tidak subur serta tidak dapat ditanami itu. Akan tetapi, mereka tidak tahan. Masih mereka lupa dari sebab apa mereka dipindahkan dari Mesir. Manakah perjuangan menuju tempat bahagia yang tidak ditebus dengan kesusahan? Lalu mereka mengeluh, “Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya dikeluarkan untuk kami dari apa yang ditumbuhkan bumi." Kami telah terlalu ingin perubahan makanan, jangan dari manna ke manna, dari salwa ke salwa saja. Kami ingin “dari sayur mayurnya, dan mentimunnya dan bawang putihnya dan kacangnya dan bawang merahnya". Mendengar permintaan yang menunjukkan jiwa kecil dan kerdil itu, Nabi Musa jawab, “Berkata dia, ‘Adalah hendak kamu tukar dengan yang amat hina barang yang amat baik?'"
Mengapa Nabi Musa menyambut demikian? Memang, mereka meminta sayur sayur yang demikian ialah karena mereka teringat akan makanan mereka tatkala masih tinggal di Mesir, ada mentimun, ada bawang merah, ada kacang, ada bawang putih. Akan tetapi, dalam suasana apakah mereka di waktu itu? Ialah suasana perbudakan dan kehinaan. Sekarang, mereka berpindah meninggalkan negeri itu karena Allah hendak membebaskan mereka, tetapi karena tujuan terakhir belum tercapai, yaitu merebut tanah yang dijanjikan dengan keperkasaan, karena pengecut mereka juga, ditahanlah mereka di Padang Tih selama empat puluh tahun. Makanan dijamin, ransum disediakan. Itu pun bukan ransum sembarang ransum. Nabi Musa mengatakan tegas bahwa makanan yang mereka minta itu adalah makanan hina, makanan zaman perbudakan. Dan makanan yang mereka tidak tahan lagi itu adalah makanan zaman pembebasan. Makanan karena cita-cita.
Untuk misal yang dekat kepada kita, adalah keluhan orang tua-tua yang biasa hidup senang di zaman penjajah Belanda dahulu, mengeluh karena kesukaran di zaman perjuangan kemerdekaan. Mereka selalu teringat zaman itu yang mereka namai Zaman Normal. Dengan uang satu rupiah zaman itu sudah dapat beli baju dan lebihnya dapat dibawa pulang untuk belanja makan minum. Tetapi sekarang setelah merdeka, hidup jadi susah. Sampai ada yang berkata, “Bila akan berhenti merdeka ini!"—Lalu Musa berkata, “Pergilah ke kota besar. Maka sesungguhnya di sana akan kamu dapatkan apa yang kamu minta itu." Inilah satu teguran yang keras, kalau me-reka sudi memahamkan. Pergilah ke salah satu kota besar, apa artinya? Ialah keluar dari kelompok dan menyediakan diri jadi budak kembali. Atau melepaskan cita-cita. Laksana pengalaman kita bangsa Indonesia di zaman perjuangan bersenjata dahulu yang makanan tidak cukup, kediaman di hutan. Mana yang kita tidak tahan menderita, silakan masuk kota. Di kota ada mentega dan ada roti, cokelat dan kopi susu. Namun, artinya ialah meninggalkan perjuangan, menghentikan sejarah diri sendiri dalam membina perjuangan. Kalimat ihbithu mishran yang berarti pergilah ke kota besar, kalau menurut qiraat (bacaan) al-Hasan dan Aban bin Taghlib dan Thalhah bin Mushrif ialah ihbithu mishra dengan tidak memakai tanwin (baris dua). Menurut qiraat ini artinya ialah, “Pergilah kamu pulang kembali ke Mesir, di sana akan kamu dapati apa yang kamu minta itu!" Dengan demikian, perkataan Nabi Musa menjadi lebih keras lagi. Segala yang kamu minta itu hanya ada di Mesir. Kalau kamu ingin juga, pulanglah ke sana kembali menjadi orang yang hina, diperbudak kembali.
Akhirnya, berfirmanlah Tuhan tentang keadaan jiwa mereka, “Dan dipukulkaniah atas mereka kehinaan dan kerendahan, dan sudah layaklah mereka ditimpa kemurkaan dari Allah." Kehinaan ialah hina akhlak dan hina jiwa, tidak ada cita-cita tinggi. Jatuh harga diri, padam kehormatan diri, jatuhmoral. Itulahyangdikenal dengan jiwa budak (slavengeest). Apabila diri sudah hina, niscaya rendahlah martabat, menjadi miskin. Mata kuyu kehilangan sinar. Ukuran cita-cita hanya sehingga asal perut akan berisi saja, payah dibawa naik. Atau malas berjuang karena ingin makanan yang enak-enak saja. Dengan demikian, tentu tidak lain yang akan mereka terima hanyalah kemurkaan Allah.
Lalu, disebutnya penyebab utama, “Yang demikian itu, ialah karena mereka kufur kepada perintah-perintah Allah, dan mereka bunuh nabi-nabi dengan tidak patut" Sedangkan membunuh sesama manusia biasa lagi tidak patut, apalagi kalau sudah berani mengangkat senjata membunuh nabi-nabi yang menunjuki mereka jalan yang benar. Menurut riwayat selama riwayat Bani Israil, tidak kurang dari tujuh puluh nabi yang telah mereka bunuh. Itulah akibat dari jiwa yang telah jahat karena meninggalkan imam.
“Yang demikian itu ialah karena mereka lelah durhaka dan adalah Mereka melewati batas."