Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تُصَلِّ
kamu menyembahyangkan
عَلَىٰٓ
atas
أَحَدٖ
seseorang
مِّنۡهُم
diantara mereka
مَّاتَ
yang mati
أَبَدٗا
selamanya
وَلَا
dan jangan
تَقُمۡ
kamu berdiri
عَلَىٰ
diatas
قَبۡرِهِۦٓۖ
kuburnya
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
بِٱللَّهِ
dengan Allah
وَرَسُولِهِۦ
dan RasulNya
وَمَاتُواْ
dan mereka mati
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
فَٰسِقُونَ
orang-orang fasik
وَلَا
dan jangan
تُصَلِّ
kamu menyembahyangkan
عَلَىٰٓ
atas
أَحَدٖ
seseorang
مِّنۡهُم
diantara mereka
مَّاتَ
yang mati
أَبَدٗا
selamanya
وَلَا
dan jangan
تَقُمۡ
kamu berdiri
عَلَىٰ
diatas
قَبۡرِهِۦٓۖ
kuburnya
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
بِٱللَّهِ
dengan Allah
وَرَسُولِهِۦ
dan RasulNya
وَمَاتُواْ
dan mereka mati
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
فَٰسِقُونَ
orang-orang fasik
Terjemahan
Janganlah engkau (Nabi Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik) selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (berdoa) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Tafsir
Ketika Nabi ﷺ melakukan salat jenazah atas kematian Ibnu Ubay (pemimpin orang-orang munafik), maka turunlah firman-Nya: (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya) untuk keperluan menguburkannya atau menziarahinya. (Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik) yaitu dalam keadaan kafir.
Tafsir Surat At-Taubah: 84
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Allah ﷻ memerintahkan kepada Rasul-Nya agar berlepas diri dari orang-orang munafik, jangan menyalatkan jenazah seorang pun dari mereka yang mati, dan janganlah berdiri di kuburnya untuk memohonkan ampun baginya atau berdoa untuknya; karena sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafirannya.
Hal ini merupakan hukum yang bersifat umum berlaku terhadap setiap orang yang telah dikenal kemunafikannya, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin orang-orang munafik.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Isma'il, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika Abdulah ibnu Ubay mati, maka anaknya yang juga bernama Abdullah datang menghadap Rasulullah ﷺ dan meminta baju gamis Rasul ﷺ untuk dipakai sebagai kain kafan ayahnya. Maka Rasulullah ﷺ memberikan baju gamisnya kepada Abdullah. Kemudian Abdullah meminta kepada Rasul ﷺ untuk menyalatkan jenazah ayahnya. Maka Rasulullah ﷺ bangkit untuk menyalatkannya. Tetapi Umar bangkit pula dan menarik baju Rasulullah ﷺ seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan jenazahnya, padahal Tuhanmu telah melarangmu menyalatkannya?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah hanya memberiku pilihan. Dia telah berfirman, ‘Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.’ Dan aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali.” Umar berkata, "Dia orang munafik." Tetapi Rasulullah ﷺ tetap menyalatkannya. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abu Usamah Hammad ibnu Usamah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Munzir, dari Anas ibnu Iyad, dari Ubaidillah (yakni Ibnu Umar Al-Umari) dengan sanad yang sama. Antara lain disebutkan bahwa Nabi ﷺ tetap menyalatkannya, maka kami (para sahabat) ikut shalat bersamanya, lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka.” (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Ubaidillah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hal yang mirip dengan hadits ini melalui hadits Umar ibnul Khattab juga. Untuk itu, Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq; telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab mengatakan, "Ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah ﷺ diundang untuk ikut menyalatkan jenazahnya. Maka Rasulullah ﷺ bangkit untuk menyalatkannya. Ketika beliau berdiri di hadapan jenazah itu dengan maksud akan menyalatkannya, maka aku (Umar) berpindah tempat hingga aku berdiri di depan dadanya, lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan musuh Allah si Abdullah ibnu Ubay ini yang telah melakukan hasutan pada hari anu dan hari anu?' seraya menyebutkan bilangan hari-hari yang telah dilakukannya.
Rasulullah ﷺ hanya tersenyum, hingga ketika aku mendesaknya terus, maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Minggirlah dariku, wahai Umar. Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Allah telah berfirman kepadaku: “Kamu mohonkan ampun bagi mereka.” (At-Taubah: 80), hingga akhir ayat. Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukannya lebih dari tujuh puluh kali, lalu mendapat ampunan, niscaya aku akan menambahkannya.'
Kemudian Rasulullah ﷺ menyalatkannya, berjalan mengiringi jenazahnya, dan berdiri di kuburnya hingga selesai dari penguburannya. Umar berkata, 'Saya sendiri merasa aneh mengapa kali ini saya berani berbuat demikian kepada Rasulullah ﷺ. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang-pun yang mati di antara mereka.” (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat. Sesudah itu Rasulullah ﷺ tidak pernah lagi menyalatkan jenazah orang munafik, tidak pula berdiri di kuburnya hingga beliau wafat’."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Yahya ibnu Bukair, dari Al-Al-Laits, dari Aqil, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama, lalu disebutkan hal yang mirip. Antara lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Minggirlah dariku, wahai Umar." Ketika Umar mendesaknya terus, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Dan seandainya aku mengetahui bahwa bila aku memohonkan ampun baginya lebih dari tujuh puluh kali diampuni baginya, niscaya aku akan menambahkannya.” Lalu Rasulullah ﷺ menyalatkannya. Setelah itu beliau pergi, dan tidak lama kemudian turunlah dua ayat dari surat Al-Baraah (At-Taubah) yang dimulai dari firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat berikutnya.
Umar berkata, "Sesudah itu saya merasa heran mengapa saya begitu berani terhadap Rasulullah ﷺ, padahal Rasulullah ﷺ jelas lebih mengetahui."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, dari Ibnuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Abdullah ibnu Ubay meninggal dunia, maka anaknya datang menghadap kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau jika tidak mendatanginya, maka kami tetap akan merasa kecewa karenanya." Maka Nabi ﷺ datang dan menjumpai jenazahnya telah dimasukkan ke dalam liang kuburnya. Rasul ﷺ bersabda, "Mengapa kalian tidak mengundangku sebelum kalian memasukkannya ke dalam liang kubur?" Lalu jenazahnya dikeluarkan dari liang kubur, dan Rasul ﷺ meludahinya dari bagian atas hingga telapak kakinya, lalu memakaikan baju gamis yang dipakainya kepada jenazah itu.
Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Abu Daud Al-Harrani, dari Ya'la ibnu Ubaid, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Abu Sulaiman) dengan sanad yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr yang telah mendengar Jabir ibnu Abdullah menceritakan hadits berikut, bahwa Nabi ﷺ datang kepada jenazah Abdullah ibnu Ubay sesudah dimasukkan ke dalam kuburnya. Beliau memerintahkan agar dikeluarkan, maka jenazah itu dikeluarkan. Kemudian Rasulullah ﷺ meletakkannya di atas kedua lututnya dan meludahinya serta memakaikan baju gamisnya kepada jenazah itu.
Imam Muslim dan Imam An-Nasai telah meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
Imam Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir. telah menceritakan kepada kami Jabir. Dan telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Migra Ad-Dausi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang mengatakan bahwa ketika pemimpin orang-orang munafik mati menurut Yahya ibnu Sa'id disebutkan di Madinah, sebelumnya ia berwasiat minta disalatkan oleh Nabi ﷺ. Maka anaknya datang menghadap Nabi ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya ayahku telah berwasiat bahwa ia minta agar dikafani dengan baju gamismu." Teks ini ada pada hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Migra.
Yahya dalam haditsnya mengatakan, “Lalu Nabi ﷺ menyalatkannya dan memakaikan baju gamisnya kepada jenazah itu." Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84)
Dalam riwayatnya Abdur Rahman menambahkan bahwa Nabi ﷺ menanggalkan baju gamisnya, kemudian memberikannya kepada anak pemimpin munafik itu, lalu beliau berangkat dan menyalatkannya serta berdiri di kuburnya. Setelah beliau pergi dari tempat itu, datanglah Malaikat Jibril menyampaikan firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84)
Sanad hadits ini tidak ada masalah, hadits yang sebelumnya menjadi syahid (bukti) yang menguatkannya.
Imam Abu Ja'far At-Jabari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas bahwa Rasulullah ﷺ bermaksud menyalatkan jenazah Abdullah ibnu Ubay. Maka Malaikat Jibril memegang bajunya dan berkata menyampaikan firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.” (At-Taubah: 84)
Al-Hafizh Abu Ya'la di dalam kitab Musnad-nya telah meriwayatkannya melalui hadits Yazid Ar-Raqqasyi, tetapi dia orangnya dha’if.
Qatadah mengatakan bahwa Abdullah ibnu Ubay ketika sedang sakit keras mengirimkan utusannya kepada Rasulullah ﷺ untuk mengundangnya. Ketika Nabi ﷺ masuk menemuinya, maka Nabi ﷺ bersabda, "Cintamu kepada agama Yahudi membinasakan dirimu." Abdullah ibnu Ubay berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengundangmu untuk memohonkan ampun bagiku, dan aku tidak mengundangmu untuk menegurku." Kemudian Abdullah meminta kepada Nabi ﷺ agar baju gamis Nabi ﷺ diberikan kepadanya untuk ia pakai sebagai kain kafan. Lalu Nabi ﷺ memberikannya.
Setelah Abdullah ibnu Ubay mati, Nabi ﷺ menyalatkannya dan berdiri di kuburnya (mendoakannya). Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka.” (At-Taubah: 84), hingga akhir ayat.
Sebagian ulama Salaf menyebutkan, "Sesungguhnya Nabi ﷺ mau memberikan baju gamisnya kepada Abdullah ibnu Ubay karena Abdullah ibnu Ubay pernah memberikan baju gamisnya kepada Al-Abbas paman Nabi ﷺ di saat datang ke Madinah. Saat itu Nabi ﷺ mencari baju gamis yang sesuai dengan ukuran tubuh pamannya, tetapi tidak menemukannya kecuali pakaian Abdullah ibnu Ubay, karena Abdullah ibnu Ubay sama tinggi dan besarnya dengan Al-Abbas. Maka Rasulullah ﷺ melakukan hal itu sebagai balas jasa kepadanya. Sesudah itu yakni sesudah turunnya ayat ini Rasulullah ﷺ tidak lagi menyalatkan jenazah seorang pun dari orang-orang munafik yang mati, tidak pula berdiri di kuburnya."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Qatadah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila diundang untuk menghadiri jenazah, terlebih dahulu menanyakan tentangnya. Jika orang-orang menyebutnya dengan sebutan memuji karena baik, maka beliau bangkit dan mau menyalatkannya. Tetapi jika keadaan jenazah itu adalah sebaliknya, maka beliau ﷺ hanya bersabda, "Itu terserah kalian," dan beliau tidak mau menyalatkannya. Disebutkan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab tidak mau menyalatkan jenazah orang yang tidak dikenalnya, kecuali bila Huzaifah ibnul Yaman mau menyalatkannya, maka barulah ia mau menyalatkannya; karena Huzaifah ibnul Yaman mengetahui satu per satu dari orang-orang munafik itu, Nabi ﷺ telah menceritakan hal itu kepadanya. Oleh sebab itu, Huzaifah ibnul Yaman diberi julukan sebagai pemegang rahasia yang tidak diketahui oleh sahabat lainnya.
Abu Ubaid di dalam Kitabul Garib mengatakan sehubungan dengan hadits Umar, bahwa ia pernah hendak menyalatkan jenazah seorang lelaki, tetapi Huzaifah menjentiknya seakan-akan bermaksud mencegahnya supaya jangan menyalatkan jenazah orang itu. Kemudian diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa istilah al-mirz yang disebutkan dalam hadits ini ialah menjentik dengan ujung jari.
Setelah Allah ﷻ melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik dan berdiri di kubur mereka untuk memohonkan ampun bagi mereka, maka perbuatan seperti itu terhadap orang-orang mukmin merupakan amal taqarrub yang paling besar, yakni melakukan kebalikannya; dan pelakunya akan mendapat pahala yang berlimpah, seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab Shahih dan kitab-kitab hadits yang lainnya melalui hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang menyaksikan jenazah hingga menyalatkannya, maka baginya pahala satu qirat; dan barang siapa yang menyaksikannya hingga mengebumikannya, maka baginya pahala dua qirat.” Ketika ditanyakan, "Apakah dua qirat itu?" Maka Nabi ﷺ bersabda, "Yang paling kecil di antara keduanya besarnya sama dengan Bukit Uhud."
Adapun mengenai berdiri di kubur orang mukmin yang meninggal dunia maka Imam Abu Daud mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnu Musa Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abdullah ibnu Buhair, dari Hani' (yaitu Abu Sa'id Al-Bariri maula Usman ibnu Affan) dari Usman ibnu Affan yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila telah selesai dari mengebumikan jenazah, maka beliau berdiri di kuburannya dan bersabda: “Mohonkanlah ampun bagi saudara kalian, dan mintakanlah keteguhan buatnya, karena sesungguhnya sekarang ia akan ditanyai.” Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Dan juga jika kelak mereka meninggal dunia, maka janganlah engkau, wahai Nabi Muhammad, melaksanakan salat jenazah untuk seseorang yang mati di antara mereka, orang-orang munafik, selama-lamanya dan janganlah engkau mengantar jenazahnya serta berdiri untuk mendoakan di atas kuburnya yang berarti memohon rahmat dan ampunan, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya, baik melalui ucapan maupun tindakan, dan tidak sempat bertobat sehingga mereka mati dalam keadaan fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah, baik lahir maupun batin, makanya mereka tidak layak disalatkan dan didoakan. Ayat ini menjadi landasan hukum haramnya mendoakan seseorang yang mati dalam keadaan kafir. (Lihat: Surah at-Taubah/9: 113). Setelah Allah melarang untuk menyalatkan kaum munafik, kemudian Dia mengingatkan agar juga tidak terpedaya oleh kekayaan mereka. Dan janganlah engkau, wahai Nabi Muhammad dan juga kaum mukmin, kagum terhadap harta mereka sebanyak apa pun dan juga anak-anak mereka. Sesungguhnya dengan itu, yakni harta dan anak-anak tersebut, Allah hendak menyiksa mereka di dunia sehingga berani menyombongkan diri dengan menolak kebenaran dan agar dalam keadaan bergelimang harta itu juga nyawa mereka melayang, sedang mereka mati dalam keadaan kafir.
.
Dalam ayat ini Allah ﷻ melarang menyalati jenazah orang-orang munafik. Juga melarang berdoa di atas kuburannya sesudah dikuburkan, seperti yang biasa dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang mukmin yang sudah dikubur sebagaimana tersebut dalam hadis berikut:
Adalah Nabi apabila sesudah menguburkan seorang mayat, beliau berdiri di kubur itu seraya berkata, "Mintakanlah ampunan bagi saudaramu ini doakanlah agar dia tetap (dalam keimanan) sebab sekarang dia sedang ditanya." (Riwayat Abu Dawud dan al-Bazzar dari 'Utsman)
Peristiwa yang terjadi pada 'Abdullah bin Ubay ini cukup menggentarkan orang-orang munafik lainnya, suatu penghinaan yang cukup berat dijatuhkan atas diri mereka. Tetapi mereka masih tetap dalam kemunafikannya. Ini merupakan hukuman bagi mereka di dunia, sebab mereka selalu ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tergolong orang-orang yang fasik, terlampau berani mempermainkan perintah dan larangan Allah.
(85) Ayat ini hampir bersamaan bunyinya dengan ayat 55 dalam surah ini. Maka pada ayat ini Allah ﷻ mengulangi lagi, agar kaum Muslimin jangan sampai terpengaruh oleh kekayaan dan harta benda orang-orang munafik itu. Begitu pula jangan sampai terpengaruh oleh anak-anak mereka. Kalau ada di antaranya mereka yang kaya, banyak harta, banyak anak dan keturunannya, semua itu tidaklah akan membahagiakan mereka dan tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah.
Semuanya itu akan menyusahkan mereka, menjadikan mereka teraniaya dan sengsara karenanya. Bagaimana mereka bersusah payah dalam mencari harta dan kekayaan itu, begitu pula mereka dibikin susah olehnya. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi karena harta dan kekayaannya, dan anak-anak mereka cukup membuat mereka seolah-olah mendapat azab dunia. Maka harta dan kekayaan serta anak-anak mereka itu, bukan lagi menjadi nikmat, tetapi menjadi azab bagi mereka. Mereka tidak akan mendapat pertolongan sedikitpun dari harta dan anak-anaknya. Tidak ada manfaatnya sama sekali, dan akhirnya mereka mati dalam kekafiran.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENGHINA DAN MENCEMOOH
Kesukaan menghina, mengejek, mencemooh perbuatan orang, adalah termasuk sifat munafik juga.
Berkata yang mengandung sikap menghina dan mencemooh dalam bahasa Arab disebut lamaz. Dalam surah al-Humazah ayat 1, telah dijelaskan kutuk Allah terhadap orang yang suka mengejek dan menghina. Dalam surah al-Hujuraat, sudah dinyatakan larangan, “Janganlah kamu binasakan diri-diri kamu."
Tegasnya menghina diri orang lain, samalah artinya dengan menghinakan diri sendiri juga. Sebab diri-diri orang lain itu adalah diri-diri kamu juga.
Maka di dalam ayat 79 surah at-Taubah yang sedang kita tafsirkan ini, dalam rangka menerangkan tingkah laku orang-orang munafik dinyatakanlah salah satu kelakuan itu.
Ayat 79
“(Yaitu) orang-orang yang menghina terhadap orang-orang yang dengan kemauannya sendiri, dari kalangan orang-orang beriman, yang mengeluarkan sedekah."
Di pangkal ayat ini diterangkan bahwa ada orang yang menghina atau mengejek terhadap orang yang mengeluarkan sedekah dengan sukarela, dengan keinginannya sendiri, karena imannya. Dia memberikan itu tidak ada yang memaksa. Benar-benar timbul dari kesadaran dan iman. Orang yang mengeluarkan sedekah dengan sukarela itu disebut muthawwi'in.
Orang bersedekah dengan sukarelanya sendiri ini dihina oleh orang-orang munafik itu. “Dan terhadap orang-orang yang tidak sanggup kecuali sekadar tenaga."
Di sambungan ayat ini diterangkan bahwa ada pula yang tidak sanggup memberikan ba-nyak. Dia pun memberikan juga, tetapi hanya dalam tenaga yang terbatas. Terhadap yang kedua ini si munafik itu masih menghina juga, atau lebih menghina lagi. Yang pertama memberikan banyak. Mereka dihina oleh si munafik karena memberikan banyak. Yang kedua masih dihina oleh si munafik karena dia memberikan sedikit.
Maka tersebutlah di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang disampaikan oleh al-ufi dan kita simpulkan dari riwayat yang lain-lain bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ memanggil sahabat-sahabatnya menyuruh bergotong royong mengeluarkan sedekah, ka-rena pada waktu itu sangat diperlukan. Maka berlombalah sahabat-sahabat mengeluarkan sedekah, dan zakatnya, sehingga terkumpullah. Akhirnya, datanglah seorang yang menurut riwayat dari Ibnu) Ishaq, namanya Abu Uqail, dari keluarga Bani Unaif al-Arsyi, sahabat seperkutuan dengan Bani Amer bin Auf. Dia tampil ke muka membawa sedekahnya satu gantang buah kurma. Menurut keterangannya, dia mendapat hasil kurma sebanyak dua gantang. Segantang untuknya sendiri serumah tangga dan segantang untuk disedekahkannya. Sedekah ini diterima baik oleh Rasulullah ﷺ sebagai yang lain-lain juga. Tetapi ada sekelompok orang duduk di sudut-sudut tersembunyi mengomel dan menghina, mengatakan, “Apa gunanya bersedekah kalau hanya sekian saja, segantang kurma!"
Kemudian, tampillah ke muka sahabat Nabi ﷺ yang terkenai, termasuk enam orang pilihan terdekat Nabi, yaitu Abdurrahman bin Auf. Dia pun tampil ke muka, kemudian bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Masih adakah yang belum mengeluarkan sedekahnya, ya Rasulullah ﷺ?" Rasulullah ﷺ menjawab, “Semua sudah mengeluarkan sedekahnya, hanya engkau saja yang belum."
Maka berkatalah Abdurrahman, “Kekayaanku ada 100 uqiyah emas, yang sedia untuk aku sedekahkan."
Umar bin Khaththab yang hadir ketika itu tercengang, sampai dia berkata, “Apakah engkau telah gila? 100 uqiyah emas hendak engkau sedekahkan?" Dengan sangat tenang Abdurrahman menjawab, “Aku bukan gila, Umar! Aku sehat!"
Lalu Umar bertanya pula, “Mengapa engkau' seberani itu mengeluarkan sebanyak itu?"
Abdurrahman menyahut, “Memang. Hartaku sekarang sudah ada 8.000. Yang 4.000 akan aku pinjamkan kepada Allah, dan yang 4.000 lagi, tinggal untukku." Mendengar itu bersabdalah Rasulullah ﷺ,
“Moga-moga Allah akan melimpahkan berhat-Nya atas harta yang engkau simpan untukmu itu dan atas harta yang engkau berikan." (HR al-Bazzar)
Maka kedengaran pulalah bisik-desus di sudut sana bahwa Abdurrahman memberikan harta sebanyak itu, lain tidak hanyalah karena riya karena ingin dipuji orang, beramal karena manusia. Padahal Nabi ﷺ sendiri telah memohonkan kepada Allah semoga harta yang ditahannya 4.000 dan yang disedekahkannya 4.000 itu sama-sama diberkati Allah.
Menurut keterangan Qatadah, hartanya yang 8.000 itu ialah 8.000 dinar emas.
Dan menurut satu riwayat lagi dari Imam Ahmad bahwa pada suatu hari di Padang Baqi, Rasulullah ﷺ pernah menyerukan untuk mengeluarkan sedekah lagi, sampai Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang bersedekah dengan satu macam sedekah, akulah yang akan menjadi saksinya di hari Kiamat." (HR Imam Ahmad)
Menurut keterangan Abus-Salil yang meriwayatkan hadits ini, berduyun-duyunlah orang mengantarkan sedekahnya ke hadapan Rasulullah ﷺ Kemudian, datang dan tampillah ke muka seorang laki-laki yang sangat hitamnya, lagi pendek dan buruk rupanya, membawa seekor unta yang besar dan sangat bagus, berlawanan sekali dengan rupa orang yang membawa itu. Lalu, dia bertanya, “Apakah kita diminta bersedekah, ya Rasulullah ﷺ?" Rasulullah ﷺ menjawab, “Memang!" Lalu dia berkata, “Ambillah sedekah saya, unta ini!"
Tiba-tiba kedengaran pula orang berbisik-bisik, “Rupa orangnya begitu buruk, unta sedekahnya lebih bagus dari dia."
Bisik-bisik itu terdengar oleh Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata, “Kamu adalah pem-bohong. Dia lebih baik dari kamu dan lebih bagus dari unta yang disedekahkannya itu."
Dari kedua keterangan ini dan beberapa keterangan lain di dalam kitab-kitab tafsir, dapatlah kita pahami bahwasanya tukang-tukang cemooh itu biasanya sangat pandai memberi nilai rendah atas perbuatan orang lain. Yang memberi sedikit, dinilainya rendah, dan yang memberi banyak, dinilainya rendah juga, sedang dia sendiri biasanya sangat kikir dan kedekut, tidak memberikan apa-apa. Abu Uqail memberikan hanya segantang kurma, mereka cemoohkan; guna apa memberi kalau hanya sekian.
Padahal hanya sekian kesanggupannya. Abdurrahman memberikan banyak Sehingga Umar bin Khaththab sampai terkejut dan mengatakan, “Engkau gila!" tetapi tukang cemooh berdiri di tepi jalan dan mencemooh mengatakan bahwa perbuatan itu riya.
Hal itulah yang disebutkan pada lanjutan ayat,"Maka mereka randahkan mereka itu" Mereka rendahkan, mereka cemoohkan, bersedekah sedikit, dikatakannya mengapa se-dikit, Allah kaya kalau hanya sekian bersedekah. Kalau banyak, mereka akan berkata bahwa bersedekah banyak karena riya karena ingin dipuji. Maka Allah pun mengambil ke-tentuan."Allah pun merendahkan mereka." Si munafik itulah yang akan direndahkan oleh Allah. Hatinya yang busuk, dengki, dan memandang segala sesuatu dari segi hati busuk itu akan tetaplah rendah kedudukan mereka di mata orang banyak. Mereka tidak akan dapat terkemuka selama-lamanya.
“Dan bagi mereka adalah adzab yang pedih"
Mereka tersiksa dalam pergaulan hidup ini karena hati mereka yang busuk; didahulukan menyepak, dikemudiankan menunduk! Di akhirat pun kelak mereka akan disiksa oleh kehinaan di tempat yang hina dalam neraka.
TAK ADA AMPUNAN BUAT MUNAFIK
Ayat 80
“Mohonkanlah ampun untuk mereka atau jangan engkau mohonkan ampun untuk mereka, jika pun engkau mohonkan mereka ampun tujuh puluh kali, sekali-kali tidaklah Allah akan memberi ampun mereka."
Begitulah lanjutan sikap yang harus dilakukan terhadap orang yang munafik itu. Orang-orang semacam itu, yang hanya menjadi batu penarung, tukang cemooh, merendahkan orang yang bersedekah sedikit dan menuduh riya orang yang bersedekah banyak, suka menghina dalam pergaulan yang menghendaki kesopanan, tidaklah ada jalannya buat diberi ampun.
Rasulullah ﷺ sebagai seorang rasul dan pemimpin adalah sangat berhati rahim dan belas-kasihan kepada umatnya. Kadang-kadang terhadap orang-orang yang munafik itu ditunjukkannya juga belas kasihan dan harapannya, moga-moga orang ini dapat di-perbaiki. Kadang-kadang dimohonkan juga kepada Allah agar orang itu diberi ampun oleh Allah. Maka di dalam ayat ini Allah menjelaskan, baik pun beliau memohonkan ampun buat orang semacam itu ataupun beliau tidak memohonkan ampun buat dia, namun Allah tidak akan memberi ampun-Nya lagi. Nabi Muhammad ﷺ sendiri harus membedakan di antara hati rahim dengan menegakkan hukum. Perasaan iba kasihan Nabi kepada orang semacam itu boleh saja, tetapi hukum mesti berlaku dan disiplin mesti tegak. Orang yang zalim tidak ada yang akan menolongnya. “Begitulah jadinya, karena mereka itu telah kafir terhadap Allah dan Rasul-Nya."
Begitulah jadinya, yaitu bahwa orang munafik tidak boleh diberi ampun, tidak boleh dimintakan ampun kepada Allah. Karena pada hakikatnya mereka itu masih kafir hatinya kepada Allah dan kepada Rasul, walaupun mulut mereka telah mengakui beriman.
Kepercayaan kepada Allah dan Rasul ﷺ, wajiblah dibuktikan dengan perbuatan dan ketaatan. Bukan menjadi tukang mencemooh dan melemahkan iman orang lain, atau menghambat orang berbuat baik, atau tidak suka berkorban dengan harta benda dan diri sendiri untuk menegakkan dan memperjuangkan agama Allah, bahkan orang lain mengorbankan harta benda, mereka ejek dan cemoohkan. Sungguh orang-orang yang seperti ini hanya datang ketika menyangka ada keuntungan buat diri sendiri, tetapi tidak mau berkorban.
“Sedang Allah tidaklah hendak membelikan petunjuk kepada kaum yang fasik."
Artinya, bahwa sunnatullah (peraturan Allah) tetap berlaku di dalam kehidupan manusia bahwa orang yang sudah sangat mendalam fasik dan durhaka, memandang serba salah segala perbuatan orang yang baik, sedang mereka sendiri tiada sudi berbuat baik, yang kejahatan dan perbuatan buruk telah mengepung segenap hidup mereka, sudah hilanglah dari dalam lubuk hati mereka kesediaan buat menerima iman. Seibarat sebuah mobil yang sopirnya tidak berhati-hati ketika melalui tempat yang curam, padahal di pinggir jatan sudah dipampangkan tulisan-tulisan peringatan, tidak juga dipedulikannya. Tiba-tiba di tempat sangat curam itu mobilnya selip, maka handam-karamlah dia masuk jurang. Maka adalah satu sunnatullah bahwa dia mesti terguling masuk jurang dan remuk di sana. Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menahan kejatuhan itu.
Bandingkanlah ayat ini dengan ayat 5 dan 6 dari surah al-Munafiqun, yaitu walaupun kaum munafik itu telah dipanggil Rasul ﷺ untuk dirdohonkan ampun kepada Allah, namun mereka tetap berpaling. Maka dijelaskanlah bahwa meskipun Rasul ﷺ me-mohonkan ampun atau tidak memohonkan ampun, namun Allah tidaklah akan memberi ampun orang semacam itu. Di ayat ini dijelaskan bahwa, walaupun 70 (tujuh puluh) kali dimintakan ampun, tidaklah mereka akan diberi ampun.
Bandingkanlah kembali dengan ayat yang terlebih dahulu, yaitu ayat 74, “Kalau mereka bertobat, itulah yang baik bagi mereka." Artinya, mereka sendiri yang berusaha melakukan koreksi ke dalam diri sendiri, lalu benar-benar bertobat, yaitu kembali kepada kebenaran, Dengan demikianlah baru mungkin mereka diampuni. Adapun pertolongan orang lain, walaupun orang lain itu Nabi ﷺ sendiri, tidaklah ada kekuasaan untuk mengubah orang yang telah sesat walaupun 70 kali, yaitu hitungan untuk banyak yang biasa dipakai orang Arab, berulang-ulang memohonkan ampun untuknya, namun ampunan tidaklah akan diberikan. Maka, dapatlah kita hubungkan pula pertalian ayat-ayat ini dengan ayat yang terkenal dan biasa dibaca orang dalam surah ar-Ra'd (Petir) bahwa sesungguhnya Allah tidaklah akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri, dan jika Allah menghendaki suatu malapetaka bagi satu kaum, tidaklah ada yang sanggup menangkisnya, dan tidak ada selain Dia seorang pun yang dapat menjadi pelindung.
Setelah dibongkar rahasia hati dari berbagai ragam orang munafik itu, maka sekarang diulang kembali membongkar pula rahasia hati dari munafikin yang telah meminta izin tidak akan turut berperang ke Tabuk itu.
Ayat 81
“Telah bergembira orang-orang yang ditinggalkan itu, dengan sebab tertinggalnya mereka di belakang Rasulullah."
Mereka telah bergembira karena tidak ikut pergi karena mereka telah tinggal di rumah. Mereka gembira karena tidak ikut memikul kewajiban yang telah dipikulkan Allah kepada mereka, supaya berperang di bawah pimpinan Rasul saw,. Mereka gembira—alangkah rusaknya jiwa yang seperti ini. Gembira karena tidak ikut memikul kewajiban. Di mana akan terjadi gembira dalam hal seperti ini, kalau bukan pada orang munafik? Kalau sekiranya kelak orang lain pulang dengan selamat dan dengan hasil-hasil yang gemilang, akan bagaimanakah perasaan mereka? Mereka gembira karena melupakan bahwa keluar itu adalah kewajiban. Dan mereka gembira karena tidak ingat betapa lebib gembiranya perasaan kelak kalau pulang dengan selamat, atau mati di medan jihad? Di bawah pimpinan Rasul ﷺ? “Dan mereka memang keberatan bahwa akan berjihad dengan harta benda mereka dan jiwa-jiwa mereka pada jalan Allah." Dengan tekanan kata ayat seperti ini, lebih nyatalah lagi bagaimana nilainya kegembiraan mereka lantaran tidak pergi itu. Gembira karena tidak mengorbankan harta benda di jalan Allah. Bagaimana jadinya orang seperti ini? Mengakui diri Islam, tetapi tidak mau berjihad? Dan gembira dengan sikap demikian? Bukankah ini suatu kemunafikan yang sudah sangat di puncak? “Dan mereka telah mengatakan, janganlah kamu pergi berperang di waktu panas.'" Mereka berkata demikian sambil mengajak orang lain. Mereka kemukakan suatu alasan, karena musim panas, sangat panas di padang pasir. Tetapi Rasulullah ﷺ sendiri pergi di dalam panas yang terik itu. Sahabat-sahabat yang lain pun pergi dan sanggup menderita panas. Alasan yang mereka kemukakan lantaran panas, adalah satu alasan yang hanya timbul dari orang-orang munafik. Padahal bahaya mengancam agama, terutama dari orang Rum, yang terdengar berita telah hendak menyerbu dengan tentara besar ke pusat Islam sendiri, ke kota Madinah, tidaklah memperhitungkan panas. Kalau musuh itu
datang dalam musim panas, dapatkah kamu meminta kepada musuh itu supaya jangan menyerbu negeri kami, karena sekarang masih panas?
“Katakanlah, ‘Neraka Jahannam lebih panas, jikalau adalah kamu orang-orang yang tmpikinan.'"
Katakanlah olehmu wahai Rasul bahwasanya neraka Jahannam disediakan untuk orang-orang yang mendurhakai perintah Rasul ﷺ, buat orang-orang yang mengemukakan berbagai yang dusta untuk melepaskan diri dari tanggung jawab. Sedang neraka Jahannam itu adalah beribu kali ganda panasnya daripada terik matahari di padang pasir. Apa artinya panas terik? Apa artinya angin samun yang melambai muka demikian panas di padang pasir, jika dibandingkan dengan panasnya api neraka, yang akan menghancurkan mereka?
Jika terlalu panas dalam perjalanan sehingga sangat haus dan badan pun terbakar, orang pun mati kepanasan. Tetapi mati di dalam jihad. Sedang mendurhakai perintah Allah akan masuk kelak ke dalam neraka, yang panasnya tidak dapat digambarkan dan diperbandingkan dengan siksaan panas dunia sekarang. Dan di dalam neraka itu, betapa pun sakitnya penderitaan, orang tidaklah akan dimatikan, melainkan tersiksa terus. Kalau orang merasa susah dan menderita di dalam hidup ini, kerapkali orang ingin mati saja. Tetapi berapa susah di neraka? Berkali-kali meminta mati karena sangatnya penderitaan, namun mati tidak diberi. Alangkah ngerinya. Maka kalau mereka pikirkan hal ini, tidaklah mereka patut bergembira karena tidak ikut berperang dengan Rasulullah itu, melainkan selayaknya mereka menangisi diri karena kesalahan ber-fikir. Dan ayat ini pun menjadi pengasah pikiran dan budi bagi kita dalam perjuangan hidup. Jangan terlalu terpesona oleh duduk diam tidak bergerak, tidak mau ikut berjuang menegakkan agama Allah, enggan menghadapi bahaya, ka-
meskipun kamu datang meminta dengan sungguh-sungguh."(Karena), sesungguhnya kamu lebih suka tinggal pada permulaan kali." Karena pada saat yang genting dan sangat sulit, yang aku sangat memerlukan tenaga kamu, dan pada waktu itu telah aku ajak kamu dengan sungguh-sungguh, mengorbankan harta dan nyawa, kamu tidak mau ikut. Kamu kemukakan berbagai alasan bohong, supaya kamu bisa tinggal duduk di rumah. Dengan demikian, sudah nyata pada saat permulaan, di saat yang amat sulit itu, kamu telah menunjukkan sendiri bahwa kamu bukanlah orang-orang yang setia. Kamu hanya mau menerima yang enaknya saja, tidak mau menelan yang pahit. Padahal di dalam menegakkan agama, orang mesti tahan menderita panas dan dingin, senang dan susah.
“Maka tinggallah kamu (sekarang) bersama-sama orang yang tinggal."
Apabila nafir peperangan sudah datang, sebagaimana dahulu telah kita maklumi pada ayat 41, hendaklah semua orang bersiap dan datang menyatakan kesediaannya kepada Rasulullah ﷺ, baik ringan maupun berat. Dan kalau datang anjuran mengorbankan harta benda, hendaklah keluarkan dengan segera, baik 4.000 dinar sebagai yang dikeluarkan oleh Abdurrahman bin Auf maupun setengah gantang kurma sebagai yang hanya dapat disanggupi oleh Abu Malahan orang perempuan yang merasa dirinya kuat, pun ada yang pergi. Tentu saja ada kecuali, yaitu orang lumpuh dan orang sakit, atau orang yang sedang merawat orang sakit. Orang-orang begitu boleh tinggal, tidak diwajibkan pergi. Maka kamu, hal munafik, yang pada permulaan kali di Perang Tabuk telah mengelakkan diri dan mencari berbagai alasan, kalau terjadi perang lagi, karena budimu telah kami ketahui. Kamu boleh tinggal solo bersama kanak-kanak, perempuan, dan orang sakit atau orang lumpuh. Padahal kamu bukan kanak-kanak, bukan
perempuan, bukan sakit, dan bukan lumpuh. Apa jadinya nama kamu? Apakah si pengecut? Atau orang yang telah diketahui kekurangan kesetiaannya?
Hukum yang begini sungguh amat keras bagi munafik. Kalau mereka ada hati, niscaya mereka akan menangis tersedu-sedu banyak sekali, dan akan sedikit tertawa.
(84) Dan sekali-kali janganlah engkau shalatkan atas seorangpun yang telah mati dari mereka itu selama-lamanya dan jangan engkau berdiri di kuburannya. Sesungguhnya mereka itu telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka telah mati, padahal mereka dalam fisik.
(85) Dan janganlah engkau terpesona oleh harta benda mereka dan anak-cucu mereka. Kehendak Allah hanya akan mengadzab mereka dengan dia dunia dan di akhirat, dan akan mampus jiwa mereka, sedang mereka itu adalah kafir.
SIKAP TEGAS TERHADAP MUNAFIK
Setelah menguraikan betapa banyaknya perbuatan dan sikap mereka yang benar-benar merugikan agama itu, sedangkan mereka tidak boleh diperangi sebagai memerangi orang kafir, dan seketika Hudzaifah meminta izin Rasul ﷺ hendak membunuh orang-orang yang nyata-nyata telah bermaksud mengkhianati Rasul ﷺ di tempat yang curam ketika pulang dari Tabuk itu, Rasul ﷺ telah menyatakan bahwa beliau tidak mau melakukan itu, sebab kalau dituduh oleh orang luar bahwa Muhammad ﷺ membunuh sahabatnya. Oleh sebab itu, apakah hukuman yang akan diberikan kepada munafik?
Di ayat yang terdahulu diterangkan bahwa orang semacam itu kalau hendak turut berperang mengikuti Rasul ﷺ, tidak boleh dibawa lagi. Tinggalkan saja mereka bersama-sama kanak-kanak, perempuan, orang lumpuh, dan orang sakit. Setelah itu apa lagi?
Ayat 84
“Dan sekali-kali janganlah engkau shalatkan atas seorang pun yang telah mati dari mereka itu, selama-lamanya “
Masyarakat islam yang kukuh di zaman Rasul ﷺ menunjukkan bahwa ukhuwwah Islamiyah yang beliau bangun itu telah tersusun sejak manusia lahir ke dunia sampai mati. Anak yang lahir ke dunia disambut dengan upacara, seumpama upacara aqiqah dan diberi nama yang baik.
Setelah dikhitankan dan perkawinan pun kelak diatur dengan ijab kabul dan wali-mah. Kalau mati dikafani, dishalatkan dan dikuburkan sebaik-baiknya. Maka terhadap si munafik itu Rasulullah ﷺ dilarang Allah menshalatkannnya, Rasulullah saw, dilarang Allah turut mengurus upacara kematian itu. Kalau Rasulullah ﷺ tidak turut, niscaya sahabat-sahabatnya yang lain pun tidak akan turut pula. Selama-lamanya Rasulullah ﷺ mesti bersikap demikian terhadap orang-orang yang telah didapati bukti-bukti kemu-nafikannya itu. Menurut keterangan tafsir-tafsir, yang terang terbukti pada masa itu ialah Abdullah bin Ubay dan 11 (sebelas) orang atau 12 (dua belas) orang yang nyaris membunuh Nabi di tempat curam itu."Dan jangan engkau berdiri di kuburannya." Karena sudah menjadi sunnah daripada Rasulullah ﷺ jika jenazah seorang Mukmin telah selesai dikuburkan dan ditimbun, berdirilah beliau sejenak dan beliau
suruh seluruh hadirin berdiri sejenak, buat mendoakan orang itu, moga-moga dia diberi keteguhan hati. Sabda beliau yang terkenal,
“Mohonkanlah kepada Allah, moga-moga dia diteguhkan. Sebab dia sekarang mulai ditanya."
Artinya, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
Maka terhadap orang munafik itu, selain dari Rasul jangan ikut menshalatkannya, Rasulullah ﷺ pun dilarang ikut ke kuburannya, buat berdiri sejenak bagi memohonkan orang itu diberi keteguhan pendirian seketika ditanya.
Apa sebab sampai demikian berat hukumannya?
“Sesungguhnya mereka itu telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya." Perbuatan-per-buatan dan tingkah laku mereka, kebohongan, kepalsuan, mulut manis hati jahat, pengha-lang dan perintang, mencemooh dan mencela, mengelak dari tanggung jawab. Keberatan ketika memikul bahan berat, tetapi datang segera ketika akan meminta keuntungan, semuanya itu adalah berpokok dari hati mereka yang tidak benar-benar percaya kepada Allah dan Rasul.
“Dan mereka telah mati, padahal mereka dalam fasik."
Itulah sebab yang terpenting mengapa Rasulullah ﷺ dilarang menshalatkan mereka kalau mati dan dilarang berdiri pada kuburannya untuk mendoakannya. Artinya, sampai mereka menutup mata, mereka masih tetap dalam fasik, dalam durhaka, dalam melanggar batas yang ditentukan oleh agama, meskipun mereka masih mencampur di dalam pergaulan Islam.
Ayat 85
“Dan janganlah engkau terpesona oleh harta benda mereka dan anak cucu mereka."
Jangan heran, jangan terpengaruh, dan jangan terpesona, mentang-mentang si munafik itu kaya raya, berpengaruh atau berkedudukan tinggi. Dan, jangan terpengaruh oleh sebab banyak anaknya dan ramai cucunya, sebagai kebanggaan dari satu kepala keluarga besar. Jangan terpengaruh oleh itu. “Kehendak Allah hanya akan mengadzab mereka dengan dia."
Yaitu dengan sebab banyak harta mereka itu dan banyak anak mereka. “Di dunia dan di akhirat." Di dunia harta benda itu akan membuat mereka pusing, dan harta benda itulah yang merantai kaki mereka akan berbuat baik, menjadi bakhil dan sombong. Anak-anak pun memusingkan kepala mereka.
“Dan akan mampus jiwa mereka, sedang mereka itu adalah kafir."
Ayat yang serupa ini pun telah lalu, yaitu ayat 55 di atas tadi. Diulangkan kembali, supaya Rasul ﷺ dan orang-orang yang Mukmin di segala zaman jangan sampai terpesona melihat kaya orang, jangan terpengaruh melihat gagah orang atau banyak anaknya, tinggi pangkatnya dan pengaruhnya. Jangan tercengang melihat kulit. Karena kalau hati mereka telah kafir atau munafik, mulut manis sehingga bibir, tetapi hatinya bulat membelakang, semua harta dan anak itu tidak akan menolong. Dan, manusia yang beriman tidaklah dapat dibeli keyakinan hatinya dengan uang yang banyak. Orang-orang semacam itu, akan mampus jiwanya, akan mati dengan rasa sengsara. Akan mati di saat hatinya sangat terpaku kepada dunia, harta, dan anak. Soclang jalan ke akhirat tertutup dan semak.
Ada beberapa hadits yang dirawikan oleh ahli-ahli hadits terkemuka, di antaranya Imam Ahmad, Bukhari, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Abdullah bin Ubay kepala orang-orang munafik itu meninggal, Rasulullah ﷺ diundang oleh anaknya Abdullah bin Abdullah bin Ubay buat menshalatkan ayahnya. Hadits itu menyebutkan bahwa ketika beliau hendak berdiri menshalatkannya, Umar bin Khaththab telah bertanya kepada beliau, mengapa beliau hendak shalatkan dia, padahal ini katanya, itu katanya, begini sikapnya, begitu perbuatannya, lalu Umar menghitung perbuatan-perbuatan Abdullah bin Ubay, pada hari-hari yang telah lalu.
Kata hadits itu, Rasulullah ﷺ telah menjawab kepada Umar, “Biarkanlah daku! Sebab aku telah disuruh Allah memilih, memohonkan ampun atau tidak memohonkan ampun, biar sampai 70 kali. Lantaran itu kalau butuh ditambah dari 70 kali, akan aku coba juga memohonkannya ampun." Setelah itu Rasulullah menshalatkan dia, terus pula diantarkannya ke kuburan dan beliau pun berdiri di kubur itu. Kata hadis itu, tidak lama kemudian, datanglah ayat melarang menshalatkan ini.
Satu hadits lain dirawikan Bukhari dan Muslim dan lain-lain, dari Abdullah bin Umar. Tersebut bahwa setelah Abdullah bin Ubay mati, anaknya Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang kepada Rasulullah ﷺ, memberitakan kematian ayahnya dan memohon sudi kiranya beliau memberikan gamis1 beliau untuk di-pakaikannya kepada jenazah ayahnya. Lalu gamis itu beliau berikan, lalu dipakaikan putranya itu. Kemudian Rasulullah ﷺ Datang Camis, kata asalnya qamish, artinya kemeja. Yaitu baju bagian dalam yang dipakai sehari-hari, terutama di dalam rumah. Kalau keluar dari remah, di atas gamis itu dipakai jubah sebagai kita di Indonesia pun. dalam pertemuan terhormat, di luar kemeja itu kita pakai jas. Kedua, kata gamis dan kemeja itu sama ambilan katanya, yaitu dari qamish. Dan kedua kalimat itu terpakai dalam bahasa kita. Kalimat kemeja berasal dari kata Portugis yang mereka bawa ke tanah air kita, masuk ke dalam bahasa Indonesia (Melayu ketika mulai masuk ke tanah air kita pada 1511).
Mereka ambil dari bahasa Arab qamish. sebab 700 tahun lamanya bangsa Arab menduduki Spanyol dan Portugis. Dan kalimat gamis dibawa oleh orang-orang haji Indonesia yang pulang dari Mekah, sebab dalam bahasa Arabnya orang Hejaz yang terpakai tiap hari, huruf qaf ditukar dengan ga.
menshalatkannya, bertanya Umar mengapa beliau menshalatkan dia, padahal begini dan begitu kesalahannya. (Sebagaimana tersebut pada hadits yang pertama tadi).
Malahan ada satu hadits lagi diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah, katanya bahwa Abdullah bin Ubay telah masuk kubur, Rasulullah ﷺ terlambat datang, lalu dibongkar kembali kuburnya, lalu disandarkan mayat itu ke atas haribaan Rasulullah ﷺ dipakaikan gamis beliau kepada tubuhnya, baru dikuburkan kembali.
Menurut ilmu hadits, melihat dari nama-nama orang yang merawikannya, termasuklah hadits-hadits ini dalam golongan hadits-hadits yang shahih. Sanad, yaitu rantai sambung-ber-sambung dari orang yang merawikan, tidaklah dapat dicela. Tetapi,, matan hadits-hadits ini sangat menarik perhatian buat ditinjau secara mendalam.
Ulama-ulama hadits dan ahli-ahli pikir (fiqih) dan peneliti sejarah berbincang panjang dalam soal ini. Di dalam kitab tafsir—kita yang kecil ini, tidaklah akan Kita uraikan pem-bahasan ulama-ulama itu dengan cara terperinci, tetapi kita ambil kesimpulannya saja.
Pertama benarkah ayat-ayat ini turun sesudah Rasulullah ﷺ menshalatkan Abdullah bin Ubay, ataukah turun sebelumnya? Umar bertanya kepada Nabi ﷺ mengapa beliau shalatkan dia, padahal Allah telah melarang? Benarkah Nabi ﷺ mengatakan bahwa kalau Allah tidak mengampuninya, walaupun dimohonkan ampun 70 kali, dia akan meminta tambah 70 kali lagi? Dan kemudian setelah selesai beliau shalatkan baru turun ayat melarang keras menshalatkan segala mereka itu yang munafik selama-lamanya? Kalau demikian apa maksud kata-kata Umar bahwa lebih dahulu beliau telah dilarang? Atau sangat jauhkah jarak di antara turunnya ayat istighfar 70 kali itu, yang datang sebelum Abdullah bin Ubay mati, lalu sambungan ayat, yaitu melarang menshalatkan dan berdiri di kuburnya setelah mayatnya dikuburkan?
Ayat-ayat surah Bara'ah ini turun pada tahun kesembilan, dan memang Abdullah bin Ubay pun mati pada tahun kesembilan itu. Padahal ayat melarang meminta ampunkan untuk orang munafik itu sudah ada yang tegas-tegas di dalam surah al-Munafiquun sendiri, yang diwahyukan pada tahun kelima, yaitu empat tahun sebelum surah Bara'ah turun.
Hadits jabir yang menyatakan Nabi ﷺ terlambat datang, lalu kubur Abdullah bin Ubay dibongkar kembali dan dipakaikan gamis Nabi kepada mayatnya lalu dikuburkan pula kembali, ini pun menarik perhatian orang.
Setengah ahli hadits membenarkan kejadian ini, menerima shahihnya, sanad hadits, lalu mengatakan bahwa Nabi ﷺ menenggang hati Abdullah bin Abdullah, anak Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang sahabat yang setia, yang sangat berlain haluan dengan ayahnya, tetapi dia sangat khidmat kepada ayahnya itu. Tetapi pertahanan itu dilemahkan pula oleh pihak yang lain.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, di dalam syarah hadits Bukhari yang terkenal, yaitu kitab Fathul Bari, menguraikan juga hasil selidik yang mendalam tentang hadits-hadits ini.
Betapa tidak? Bila kita baca, niscaya timbul dalam pikiran kita bahwa Rasulullah ﷺ telah mengambil pertimbangan sendiri menshalatkan Abdullah bin Ubay, sampai menghadiahi gamis dan musykil bagi Umar.
Berkata Ibnu Munir, “Mafhum dari ayat ini bisa saja menggelincirkan kaki kita sehingga al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, tidak bisa menerima sama sekali kebenaran atau kesha-hihan hadits ini. Sehingga dengan tegas beliau berkata, ‘Hadits ini tidak bisa diterima! Tidak sah bahwa Rasulullah ﷺ berkata demikian!"‘
Di dalam kitab at-Taqrib tersebut alasan tegas dari al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani itu. Kata beliau, “Hadits ini termasuk khabar-khabar Ahad, yang tidak diketahui ketetapan-nya."
Imamul-Haramain ai-juwaini pun menyatakan pendapat di dalam Mukhtashar-nya, “Hadits ini tidak ada dikeluarkan di dalam ash-Shahih." Dan kata beliau pula dalam al-Burhan, “Hadits ini tidak disahkan oleh ahlul hadits."
Dan berkata pula ad-Dawudi pensyarah Bukhari, “Hadits ini tidak mahfuzh..."
Imam Ghazali dalam al-Mushtashfa, berkata pula, “Yang jelas ialah bahwa khabar ini tidak shahih." Yaitu tentang Nabi ﷺ berkata menurut hadits itu bahwa kalau tidak bisa dimintakan ampun sampai 70 kali, akan dilebihinya memintakan ampun 70 kali itu.
Kata Ibnul Munir, “Tidaklah boleh di-bangsakan kata-kata begitu kepada Nabi ﷺ Karena Allah telah mengabarkan bahwa Dia tidak akan memberi ampun buat orang-orang yang kafir. Maka kalau Allah sendiri yang telah mengatakan bahwa Dia tidak akan memberi ampun yang kafir, maka memintakan ampun buat kafir adalah perbuatan mustahil. Dan meminta yang mustahil tidaklah akan terjadi pada Nabi ﷺ.
Kemudian itu Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya, sebagai sebuah tafsir yang telah keluar pada zaman kita ini, menyatakan pula pendapatnya dengan tegas, “Sebenarnya hadits ini bertentangan dengan kedua ayat itu (Pertama ayat tidak bisa dimintakan ampun walau 70 kali atas orang munafik. Kedua Nabi ﷺ dilarang menshalatkan orang munafik. Pen). Maka orang-orang yang memerhatikan Ushuluddin dengan teliti, dan memegang pula dalil-dalilnya yang qath'i (tegas), lebih banyak dari memegang riwayat-riwayat dan dalil-dalil yang zhanni, tidaklah lain jalan untuk menjawab pertentangan keduanya ini, lain daripada memutuskan bahwa hadits ini ddak shahih. Walaupun dari pihak matan hadits sekalipun. Yang terkemuka sekali da-iam pendapat ini ialah orang besar-besar dalam penyelidikan yang mendalam, sebagai al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan Imam al-Haramain al-Juwaini dan imam Ghazali.
Dalam hal ini ad-Dawudi salah seorang pensyarah dari hadits-hadits Bukhari sendiri pun ikut serta pula menolak kebenarannya. Tetapi orang-orang yang lebih mementingkan sanad hadits, lebih dari memerhatikan matan. Dan mementingkan furu' lebih dari usul, mereka terpaksa mencari jalan yang berat buat kita menerimanya.
Sebagai yang dilakukan oleh hafizh yang besar (Ibnu Hajar) itu sendiri. Dan setengah daripada pokok pegangan yang disetujui bersama ialah bahwa tidaklah segala hadits yang sah sanadnya bahwa matannya shahih. Barulah shahihnya sanad diterima, apabila matannya tidak bertentangan dengan dalii qath'i yang terjadi atau nash-nash. Dan bahwasanya Al-Qur'an didahulukan daripada hadits-hadits jika terjadi pertentangan yang tidak dapat dipertemukan. Dan barangsiapa yang telah tenteram hatinya menerima jika ayat dan hadits itu dapat dipersesuaikan, atau dia menampak jalan lain, maka cara begitu lebih baik baginya daripada menolak hadits. Tetapi kalau dia tidak menampak ada jalan buat mempersesuaikan, tidaklah salah kalau dia mengambil pendirian yang tepat saja, yaitu menarjihkan Al-Qur'an." Sekian Sayyid Rasyid Ridha.
Dengan ini, sudah dua kali kita melihat perbincangan ulama di dalam menafsirkan Al-Qur'an, terutama cara yang ditempuh oleh Sayyid Rasyid Ridha, yang menganut aliran dari al-Ustadz Imam Syekh Muhammad Abduh. Yang pertama tadi ialah riwayat Tsa'labah yang ditolak permohonan tobatnya, walaupun telah menangis dan menyiramkan tanah ke atas kepalanya minta agar zakatnya diterima. Kedua ialah kisah kematian Abdullah bin Ubay ini yang haditsnya dirawikan oleh ahli-ahli hadits yang besar-besar. Dan nanti di akhir tafsir, ketika menafsirkan surah al-Falaq dan surah an-Naas, kita pun akan melihat bantahan Syekh Muhammad Abduh atas hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa kedua surah itu diturunkan Allah sebab Nabi ﷺ Disihir orang. Syekh Muhammad Abduh menolak matan hadits itu, sebab pada pendapat beliau, orang yang berjiwa besar sebagai Muhammad ﷺ itu, tidaklah akan dapat dipengaruhi sihir. Maka terkenallah suatu pendirian yang pernah beliau tegaskan, bahwa apabila berlawanan suatu naqal dengan aqal, hendaklah aqal yang didahulukan.
Niscaya akan ada orang terburu nafsu menuduh bahwa cara yang seperti ini ialah cara yang dilalui oleh kaum Mu'tazilah. Tetapi, kalau mempergunakan akal untuk membanding-membandingkan, sudah langsung saja dicap Mu'tazilah, niscaya al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan Imam Ghazali telah dimasukkan pula ke dalam golongan al-Mu'tazilah, padahal beliau-beliau dikenal sebagai pemuka Ahlus Sunnah, apalagi Imam al-Haramain al-Juwaini, guru dari Imam Ghazali. Dan dengan demikian, niscaya kita dengan terburu-buru pula menuduh bahwa Ahlus Sunnah tidak perlu mempergunakan akal kalau telah bertemu dengan hadits yang dirawikan oleh ahli-ahli hadis yang ternama, walaupun akal tidak menerimanya karena amat bertentangan dengan isi Al-Qur'an.
Contoh-contoh penafsiran yang telah kita lihat ini, sehendaknya membangkitkan hati kita buat menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam pertimbangan akal. Dan, yang jadi inti dari semuanya itu ialah memperkuat ketaatan kita beribadah dan memohonkan hi-dayat kepada Allah sehingga kebebasan kita berpikir tidak sampai menyimpang daripada yang diridhai oleh Allah. Sehingga kebebasan akal kita tetap dalam bimbingan petunjuk Ilahi, bukan dari petunjuk setan.
Maka setelah merenungkan hadits-hadits yang kerap disalinkan oleh ahli-ahli tafsir ter-hadap kedua ayat ini, berkenaan dengan ke-matian Abdullah bin Ubay itu, dapatlah kita beri kepada tiga kesimpulan:
• Riwayat Nabi ﷺ mau memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali, kalau Allah tidak mau menerima dengan tujuh puluh kali, payahlah buat diterima. Sebab ayat yang melarang memintakan ampun buat munafik itu, bukanlah ayat yang satu itu saja, melainkan disebutkan lagi pada ayat yang lain di dalam surah al-Munafiqun, yang terlebih dahulu turun dari surah Bara'ah, dalam jarak empat tahun. Dan, secara tegas lagi payah hati menerima bahwa Nabi ﷺ sendiri yang melanggar wahyu.
• Nabi ﷺ menshalatkan Abdullah bin Ubay pun payah diterima. Payah pula untuk di-terima bahwa jarak antara ayat 79 dengan ayat 84, akan memakan waktu berbulan atau bertahun. Payah buat diterima bahwa Nabi ﷺ yang telah dilarang memohonkan ampun buat munafik, walaupun sampai 70 kali, lalu menshalatkan karena larangan belum turun, padahal di dalam me-nyembahyang karena larangan belum turun, padahal dalam menshalatkan itu sudah termasuk memintakan ampun: “Allahummagh firLahu warhamhu."
• Payah juga buat diterima bahwa jenazah Abdullah bin Ubay yang telah masuk kubur, dikeluarkan kembali untuk dipakaikan gamis pemberian Nabi ﷺ, lalu jenazah itu dipeluk Nabi ﷺ, dan diletakkan ke atas haribaan beliau.
Tetapi riwayat bahwa'beliau mengirimkan gamis beliau buat dipakaikan kepada jenazah Abdullah bin Ubay, dan buat menenggang hati putranya yang beriman, dapat agaknya di-terima. Sebab ini bukan melanggar perintah Allah, bukan pula karena memberi ampun kepada Abdullah bin Ubay, melainkan semata-mata menunjukkan kasih kepada putranya. Bahkan setelah Abdullah bin Ubay itu meninggal, Rasulullah ﷺ melarang sahabat-sahabat yang lain mencela-cela Abdullah bin Ubay yang akan menyakitkan hati putranya itu.