Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَهۡلَ
Wahai ahli
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
قَدۡ
sungguh
جَآءَكُمۡ
telah datang kepadamu
رَسُولُنَا
Rasul Kami
يُبَيِّنُ
dia menjelaskan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَلَىٰ
atas
فَتۡرَةٖ
terputusnya
مِّنَ
dari
ٱلرُّسُلِ
para Rasul
أَن
supaya
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
مَا
tidak
جَآءَنَا
datang kepada kami
مِنۢ
dari
بَشِيرٖ
pembawa berita gembira
وَلَا
dan tidak
نَذِيرٖۖ
pembawa peringatan
فَقَدۡ
maka sungguh
جَآءَكُم
telah datang kepadamu
بَشِيرٞ
pembawa berita gembira
وَنَذِيرٞۗ
dan pembawa peringatan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٞ
Maha Kuasa
يَٰٓأَهۡلَ
Wahai ahli
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
قَدۡ
sungguh
جَآءَكُمۡ
telah datang kepadamu
رَسُولُنَا
Rasul Kami
يُبَيِّنُ
dia menjelaskan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَلَىٰ
atas
فَتۡرَةٖ
terputusnya
مِّنَ
dari
ٱلرُّسُلِ
para Rasul
أَن
supaya
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
مَا
tidak
جَآءَنَا
datang kepada kami
مِنۢ
dari
بَشِيرٖ
pembawa berita gembira
وَلَا
dan tidak
نَذِيرٖۖ
pembawa peringatan
فَقَدۡ
maka sungguh
جَآءَكُم
telah datang kepadamu
بَشِيرٞ
pembawa berita gembira
وَنَذِيرٞۗ
dan pembawa peringatan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٞ
Maha Kuasa
Terjemahan
Wahai Ahlulkitab, sungguh rasul Kami telah datang kepadamu untuk memberi penjelasan setelah beberapa saat terhentinya (pengutusan) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami, baik pembawa berita gembira maupun pemberi peringatan.” Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tafsir
(Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami) yakni Muhammad (menjelaskan kepada kamu) syariat-syariat agama (ketika terputusnya pengiriman rasul-rasul) karena antara dia dengan Isa tak seorang pun rasul yang diutus Allah sedangkan jarak masanya ialah 569 tahun (agar) tidak (kamu katakan) jika kamu disiksa nanti ("Tidak ada datang kepada kami) min sebagai tambahan (pembawa berita gembira dan tidak pula pembawa peringatan karena sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira maupun pembawa peringatan itu") sehingga tak ada kemaafan bagimu lagi! (Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) di antaranya menyiksamu jika kamu tidak taat dan patuh kepada-Nya.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 19
Wahai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami menjelaskan (syariat Kami) kepada kalian ketika terputus pengiriman rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan, "Tidak ada datang kepada kami, baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan." Sesungguhnya telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah ﷻ berfirman ditujukan kepada kaum Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad ﷺ kepada mereka sebagai nabi terakhir, tiada nabi lagi dan tiada pula rasul sesudahnya; dia adalah penutup bagi semua nabi dan rasul. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul.” (Al-Maidah: 19)
Yakni sesudah berlalunya masa yang panjang antara pengangkatan Nabi Muhammad sebagai rasul dan zaman Nabi Isa ibnu Maryam.
Para ulama berselisih pendapat mengenai masa fatrah (terputusnya pengiriman rasul-rasul) ini. Menurut Abu Usman An-Nahdi dan Qatadah dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, masa fatrah tersebut adalah 600 tahun. Menurut riwayat Imam Bukhari, dari Salman Al-Farisi dan Qatadah, fatrah itu selama 560 tahun. Ma'mar telah mengatakan dari sebagian teman-temannya bahwa fatrah itu adalah 540 tahun. Menurut Adh-Dhahhak, lama fatrah adalah 430 tahun lebih beberapa tahun.
Ibnu Asakir telah menyebutkan di dalam bibliografi Isa a.s., dari Asy-Sya'bi bahwa Asy-Sya'bi telah mengatakan, "Dari masa pengangkatan Nabi Isa ke langit sampai hijrah Nabi ﷺ ke Madinah lamanya 933 tahun." Tetapi pendapat yang terkenal adalah pendapat yang pertama tadi, yaitu 600 tahun. Di antara mereka ada yang mengatakan 620 tahun, tetapi pada hakikatnya di antara kedua pendapat ini tidak ada perbedaan; karena pendapat pertama dimaksudkan berdasarkan hitungan tahun Syamsiyah, sedangkan pendapat kedua berdasarkan perhitungan tahun Qamariyah.
Padahal terdapat perbedaan antara setiap seratus tahun Syamsiyyah dengan seratus tahun Oamariyyah, yaitu tiga tahun. Karena itulah disebutkan di dalam kisah "Ashabul Kahfi" oleh firman-Nya: “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Al-Kahfi: 25) Yakni berdasarkan perhitungan tahun Qamariyah, untuk melengkapi hitungan tiga ratus tahun Syamsiah yang telah dikenal di kalangan orang-orang Ahli Kitab.
Fatrah yang panjang terjadi antara masa Nabi Isa ibnu Maryam yang merupakan nabi terakhir dari kalangan kaum Bani Israil dan Nabi Muhammad penutup para nabi dari semua anak Adam secara mutlak, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih Bukhari melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Aku adalah orang yang paling dekat kepada Ibnu Maryam, karena antara dia dan aku tidak ada seorang nabi pun.”
Hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang menduga bahwa telah diutus seorang nabi sesudah Isa yang dikenal dengan nama Khalid ibnu Sinan, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Quda'i dan lain-lainnya. Maksud Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ setelah lama terputusnya pengiriman rasul-rasul adalah agar mereka merasakan bahwa nikmat pengutusannya lebih sempurna dan kedatangannya sangat diperlukan. Dalam masa fatrah tersebut seluruhnya diwarnai zaman yang kelabu, semua agama berubah dari asalnya, dan banyak dilakukan penyembahan terhadap berhala, api serta salib.
Kerusakan ini melanda semua negeri, kezaliman dan kebodohan telah memasyarakat di kalangan banyak hamba Allah, sedikit sekali dari mereka yang tetap berpegang kepada sisa-sisa agama para nabi terdahulu; mereka terdiri atas kalangan para rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani serta pendeta-pendeta Sabiah.
Sehubungan dengan hal ini, Imam Ahmad mengatakan: Bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Mutarrif, dari Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i, bahwa pada suatu hari Nabi ﷺ berkhotbah, antara lain berbunyi sebagai berikut: “Dan sesungguhnya Tuhanku telah memerintahkan aku untuk memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dari apa yang telah diajarkan-Nya kepadaku hari ini, yaitu, ‘Semua harta benda yang Aku berikan kepada hamba-hamba-Ku halal, dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang benar) semuanya. Tetapi sesungguhnya setan datang kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan kepada mereka. Setan pun memerintahkan mereka untuk mempersekutukan Aku, padahal Aku sekali-kali tidak menurunkan hujah untuk itu’. Kemudian Allah ﷻ memandang kepada penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka, baik yang Arab maupun yang 'Ajam (non Arab), kecuali sisa-sisa dari Bani Israil.
Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengutusmu hanyalah untuk mengujimu dan menjadikanmu sebagai ujian (buat mereka). Dan Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak luntur karena air, kamu membacanya baik dalam keadaan tidur ataupun terjaga." Kemudian sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku membakar (memerangi) orang-orang Quraisy, maka aku menjawab, "Wahai Tuhanku, kalau demikian niscaya mereka akan mengelupas kepalaku dan akan membuatnya seperti adonan roti." Allah berfirman, "Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu. Perangilah mereka, niscaya Aku akan membantumu. Berinfaklah untuk menghadapi mereka, niscaya Aku akan menggantikannya untukmu. Kirimkanlah pasukan, niscaya Aku akan membantu dengan lima kali lipatnya; dan berperanglah bersama orang-orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang durhaka kepadamu."
Ahli surga itu ada tiga macam, yaitu penguasa yang adil, bijaksana lagi dermawan; lelaki yang kasih sayang lagi lembut hatinya kepada setiap kerabat yang muslim; dan seorang lelaki yang memelihara dirinya dari meminta-minta, walau miskin lagi banyak tanggungannya (anak-anaknya).
Ahli neraka itu ada lima macam, yaitu orang lemah yang tidak beragama, orang-orang yang berada di antara kalian sebagai pengikut yang ragu, pengkhianat yang tidak pernah melewatkan suatu kesempatan pun betapapun kecilnya pasti dikhianatinya, dan seorang lelaki yang setiap pagi dan petangnya tiada lain selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu. Selain itu disebutkan pula, "Orang yang kikir atau pendusta, dan orang yang buruk akhlaknya lagi tukang mencaci."
Imam Ahmad pun meriwayatkannya, demikian pula Imam Muslim serta Imam An-An-Nasai melalui berbagai jalur, dari Qatadah, dari Mutarrif ibnu Abdullah ibnusy Syikhkhir. Di dalam riwayat Syu'bah, dari Qatadah, terdapat penjelasan bahwa Qatadah mendengar hadits ini dari Mutarrif.
Imam Ahmad telah menyebutkan di dalam kitab Musnad-nya bahwa Qatadah tidak mendengarnya dari Mutarrif, melainkan dari empat orang, dari Mutarrif. Kemudian Qatadah meriwayatkannya pula dari Rauh, dari Auf, dari Hakim Al-Asram, dari Al-Hasan yang telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Mutarrif, dari Iyad ibnu Hammad, lalu ia menyebutkan hadits ini. Imam An-An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Gundar, dari Auf Al-A'rabi dengan lafal yang sama.
Maksud mengetengahkan hadits ini ialah menyitir kalimat yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah memperhatikan penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka semuanya, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, kecuali sisa-sisa dari Bani Israil.” Menurut lafal Imam Muslim adalah sisa-sisa Ahli Kitab. Dahulu agama masih kabur bagi seluruh penduduk bumi, hingga Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ. Maka Allah memberi petunjuk kepada semua makhluk dan mengeluarkan mereka melalui Nabi Muhammad ﷺ dari kegelapan menuju ke cahaya yang terang benderang, dan membiarkan mereka berada pada hujah yang jelas dan syariat yang bercahaya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Agar kalian tidak mengatakan, ‘Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan’.” (Al-Maidah: 19)
Yakni agar kalian tidak beralasan dan tidak mengatakan, "Wahai orang-orang yang mengubah agamanya dan menggantinya, tidak pernah datang kepada kita seorang rasul pun yang membawa berita gembira dengan kebaikan dan memperingatkan kita dari perbuatan jahat." Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Maidah: 19)
Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ini ialah "sesungguhnya Aku berkuasa untuk menghukum orang-orang yang durhaka terhadap-Ku dan berkuasa untuk memberi pahala orang orang yang taat kepadaKu."
Setelah meluruskan pandangan Ahli Kitab tentang Tuhan, ayat ini menyatakan sekali lagi tentang kedatangan Nabi Muhammad. Wahai Ahli Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani! Sungguh, Rasul Kami, yaitu Nabi Muhammad, telah datang kepadamu menjelaskan syariat Kami kepadamu dan meluruskan apa yang keliru dari keyakinan dan perilaku kamu ketika terputus pengiriman rasul-rasul dalam masa yang sangat lama, lebih dari enam ratus tahun antara masa Nabi Isa dengan diutusnya Nabi Muhammad, agar kamu tidak mengatakan, kelak ketika kamu mempertanggungjawabkan dosa dan kesalahan kamu, Tidak ada yang datang kepada kami, baik seorang pembawa berita gembira yang memberitakan kepada kami ganjaran bagi orang yang berbuat kebajikan maupun seorang pemberi peringatan yang mengingatkan kami akan siksa bagi orang yang berbuat dosa. Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang pengingkaran janji orangorang Yahudi dan Nasrani yang diikuti dengan peringatan Allah bahwa banyak sekali kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada mereka, tetapi mereka tidak bersyukur dan tidak mematuhi perintah-Nya. Ayat ini menyatakan sekali lagi kenikmatan Allah yang dianugerahkan kepada mereka. Dan ingatlah, wahai Nabi Muhammad, dan ingatkan pula orang-orang yang beriman, ketika Musa berkata kepada kaumnya untuk menasihati mereka, Wahai kaumku, yakni orang-orang Yahudi! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu yang banyak jumlahnya, yakni para nabi leluhur mereka yaitu Nabi Yakub dan anak cucunya, dan menjadikan kamu sebagai orangorang merdeka, memiliki istri dan pelayan-pelayan layaknya raja setelah kamu tertindas bertahun-tahun lamanya oleh Fir'aun. Dan ingatlah pula bahwa Allah telah memberikan nikmat kepada kamu, yaitu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain. Di antara nikmat yang diturunkan Allah kepada Bani Israil adalah manna dan salwa', melindungi mereka dengan awan, dan mengutus nabi-nabi yang banyak jumlahnya.
Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Ibnu Abbas menceritakan sabab nuzul ayat ini bahwa Rasulullah mengajak orang-orang Yahudi supaya masuk Islam, maka mereka menolak, lalu Mu'adz bin Jabal, Sa'ad bin 'Ubadah, 'Uqbah bin Wahab berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Yahudi hendaklah kamu takut kepada Allah, sesungguhnya Muhammad adalah Rasul." Lalu Rafi'i bin Murairah dan Wahab bin Yahuza berkata, "Kami tidak pernah berkata demikian kepada kamu, dan Allah tidak menurunkan kitab sesudah Musa dan tidak mengutus rasul sesudahnya untuk membawa berita gembira dan tidak pula untuk memperingatkan", maka turunlah ayat ini.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Ahli Kitab bahwa sesungguhnya telah datang rasul Allah yang mereka tunggu, sesuai dengan yang mereka ketahui dari kitab-kitab yang diberikan oleh Allah melalui Rasul-Nya Musa dan Isa a.s. Rasul Allah yang telah datang itu menerangkan syariat Allah, pada periode yang dinamakan "Fatrah", yaitu antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad, selama itu wahyu tidak turun, sedang isi Taurat dan Injil sudah banyak yang kabur dan tidak banyak diketahui; dan yang ada banyak pula mengalami perubahan atau dilupakan, baik disengaja atau tidak disengaja. Sekarang sudah datang rasul Allah yaitu Muhammad saw, membawa berita gembira dan peringatan untuk menjelaskan segala apa yang diperlukan untuk kehidupan duniawi dan ukhrawi, menunjukkan jalan yang benar yang harus ditempuh oleh umat manusia, sehingga tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk mengatakan bahwa tidak tahu karena tidak adanya rasul yang membimbing dan membawa berita gembira serta peringatan. Sekarang ahli Kitab dan seluruh umat manusia hendaklah menentukan sikap. Kalau mereka ingin selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat, maka haruslah mereka percaya kepada Muhammad, rasul Allah yang terakhir dan mengikuti segala petunjuk dan perintah-Nya. Barang siapa membangkang maka dia sendirilah yang akan memikul resikonya dan tidak ada orang lain yang akan menolongnya. Barang siapa tidak percaya kepada Allah dan semua rasul yang diutus sebelumnya maka mereka akan merasakan azab yang pedih dari Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sebagian besar dari sekte dan golongan Kristen masih teguh pada pokok kepercayaan yang telah diterima dari nenek moyang atau yang telah diputuskan oleh gereja di zaman dahulu, bahwasanya yang Allah itu ialah al-Masih Isa anak Maryam, atau pun bahwa Isa al-Masih itulah yang Allah. Yang menjadi pokok pegangan ialah apa yang ditulis oleh Yahya (Yohannes), dalam karangannya yang dinamai Injil Yahya itu. Pasal 1:1 yang demikian bunyinya, “Maka pada awal pertama adalah Kalam, dan Kalam itu bersama-sama dengan Allah dan Kalam itulah juga Allah."
Seorang penulis Zending Kristen, Dr. Peterson Smith, menulis buku dengan judul Kehidupan Yesus (disalin ke bahasa Arab oleh seorang Kristen Mesir, Habib Sa'id), di dalam kitab itu mengakui bahwa memang di waktu hidupnya sendiri, tidaklah terlintas di pikiran orang, terutama dalam pikiran murid-muridnya sendiri bahwa dia itu Allah, atau anak Allah, atau Allah sendiri yang telah menjelma menjadi manusia. Barulah dia dikenal sebagai Allah setelah dia diangkatkan ke langit. Dan di antara keempat Injil yang disahkan oleh gereja itu, adalah Injil yang terakhir ditulis, Injil karangan Yahya (Yohannes) yang terang-terang memuliakan kalimat-kalimat yang membawa arti bahwa Nabi Isa itu adalah Allah, Allah yang menyatakan dirinya sebagai manusia. Sedang di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang dijadikan dasar pertama untuk menguatkan Nubuwwat Isa, diakui sendiri oleh pemuka-pemuka Kristen bahwa tidak ada kata yang tepat menuhankan Isa, kecuali kalau dicari-cari jalan buat menafsirkan.
Maka datanglah sekarang Al-Qur'an menegaskan dan mengajak supaya kembali berpikir yang wajar.
Ayat 17
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah itu, adalah Dia al-Masih anak Maryam."
Kepercayaan ini dapat kita dengarkan dari keterangan pendeta-pendeta mereka sendiri dalam berbagai bentuknya. Yang pokok ialah bahwa tabiat Allah itu ada Tiga Oknum, yang sama keadaannya. Yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Ruhul Qudus. Allah Bapa, mencipta dengan perantaraan Putra, Allah Putra penebus dosa, dan Allah Ruhul Qudus pembersih. Tetapi ketiga oknum ini memberi kekuasaan atas segala penciptaan dengan sama. Ini didasarkan kepada perkataan Yahya (Yohannes) bahwa Kalam Allah beserta Allah dan Kalam itulah juga Allah. Dan yang dimaksud dengan Kalam itu ialah al-Masih.
Menurut rumusan kepercayaan Kristen Orthodox (Gereja Iskandariyah), termasuk gereja Raja Abissinia, Aremenia, Siriani ialah, “Allah itu mempunyai satu zat yang tiga oknumnya. Oknum Bapa, Oknum Putra, dan Oknum Ruhul Qudus. Dan Oknum kedua— yaitu Oknum Putra menubuhkan dirinya dari Ruhul Qudus dan dari Maryam yang suci— yang menyebabkan tubuh ini jadi satu dengan Dia dan Zat dan jauhar. Bukan bercampur dan berpadu, dan sekali-kali tidak terpisah. Karena kesatuan ini maka Putra yang menjelmakan diri itu mempunyai tabiat yang satu dari dua tabiat dan kehendak yang satu.
Orthodox Yunani dan Katolik berpercaya-an bahwa Oknum Putra mempunyai dua tabiat dan dua kehendak. Yaitu Lahut (Ketuhanan) dan Nasut (Kemanusiaan)
Maka terdapatlah perbedaan-perbedaan yang berbagai ragam tentang cara menegakkan kepercayaan tentang Allah itu adalah Isa bin Maryam atau bahwa Isa anak Maryam adalah Allah.
Sudah panjang lebar kita menerangkan betapa simpang siurnya kepercayaan kaum Kristen ketika kita menafsirkan ayat 157 dari surah an-Nisaa' pada juz 6 ini juga. Dalam rangka kepercayaan bahwa Nabi Isa mati di atas kayu salib karena menebus dosa manusia yang diwarisinya dari Adam. Sekarang kita jelaskan sekali lagi bagaimana sangkut-pautnya kepercayaan Kristen sampai mereka mengatakan Isa al-Masih itu adalah Allah sendiri, atau bahwa yang Allah sebenarnya ialah Isa al-Masih anak Maryam.
Menurut dugaan mereka, Adam telah berdosa besar sebab memakan buah yang terlarang. Oleh karena itu patutlah dia dihukum karena dosa itu. Tetapi Allah tidak sampai hati menghukumnya, atau ragu-ragu buat menghukum, sebab di samping mempunyai sifat adil, Allah juga mempunyai sifat Kasih. Sehingga terkatung-katunglah Allah dilamun keraguan di antara sifat adil dan kasih itu, beribu-ribu tahun lamanya. Akhirnya barulah dia mendapat keputusan. Yaitu dosa yang diwariskan Adam kepada seluruh anak cucunya itu hendak ditebus oleh Allah sendiri dengan dirinya. Maka turunlah Allah itu ke dunia, lalu menjelma ke dalam satu anak perawan yang suci, bernama Maryam. Kalau menurut jalan pikiran itu, sampai Allah masuk ke dalam dirinya, niscaya Maryam itu masih mewarisi dosa nenek moyangnya Adam juga, sebab dia pun keturunan Adam. Setelah sembilan bulan Allah itu bersemayam dalam perut Maryam, Allah itu pun lahirlah ke dunia ini! Tetapi namanya bukan Allah lagi, melainkan menjelma menjadi anaknya sendiri, tegasnya anak dari dirinya sendiri. Itulah Yesus Kristus, yaitu anaknya. Maksud kedatangannya ke dunia ialah untuk membebaskan manusia dari dosa warisan itu. Sebab sebelum dosa manusia itu ditebus, pintu surga belum terbuka dan manusia belum boleh masuk ke dalamnya.
Bagaimana jalan menebus itu?
Maka Allah yang telah menjelma jadi Yesus, yang ragu beribu-ribu tahun tadi memilih satu jalan yang ganjil sekali. Yaitu dia mati melalui tiang salib. Setelah dikorbankannya jiwa ragarya di atas tiang salib itu, maka matilah Allah yang bernama Yesus Kristus itu, atau Bapa yang bernama Isa anak itu tiga hari lamanya. Setelah dia mati tiga hari, atau setelah dia mendekam dalam kubur tiga hari, dia pun bangkit dari dalam kubur. Dan tidak berapa lama kemudian naiklah dia ke langit, duduk di sebelah kanan Allah Bapa itu di surga.
Kepercayaan inilah yang wajib diyakinkan dalam hati setiap pemeluk Kristen dengan berbagai sektenya. Ditanamkan sejak dari kecil. Apabila timbul pertanyaan dalam hati, misalnya, “Kalau Yesus itu adalah Allah sendiri, bagaimana dia bisa mati? Kalau memang Yesus itu Allah sendiri yang menjelma jadi anaknya, dan sampai dia disalibkan dia masih Allah juga, mengapa setelah tiga hari dalam kubur, lalu naik ke langit dan duduk ke sebelah kanan Bapanya di surga. Apakah Bapa itu telah naik ke langit lebih dahulu dan anaknya tinggal sendirian menderita salib? Lebih-lebih Yesus itu sendiri pernah mengatakan ketika akan disalib orang, “Eloy, Eloy, Lama Sabaktani!" “Ya Allah, Ya Allah, mengapa Engkau tinggalkan daku!" Kalau demikian halnya, rupanya yang Allah itu lain, dan Yesus itu lain. Apakah yang berlain? Apakah badan kasarnya yang bernama Yesus dan nyawanya bernama Allah? Atau dia mempunyai dua nyawa, pertama nyawa yang bernama Allah dan kedua nyawa yang bernama Yesus? Dan Allah itu lekas-lekas “lari1' ke langit, ke dalam surga buat menunggu kedatangan anaknya? Dan setelah anak itu datang mereka berpisah, lalu Allah Bapa duduk di sebelah kiri, dan Allah Yesus duduk di sebelah kanannya? Dan sampai sekarang mereka duduk berdekatan berdua?"
Kalau ada anak Kristen sendiri yang menanyakan kepada bapaknya atau ibunya atau pendetanya, dia akan kena marah besar sekali. Karena berani menanyakan hal yang tidak boleh ditanyakan.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini Allah menyatakan dengan tegas, sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih anak Maryam.
Apa arti kafir?
Kafir ialah menolak kebenaran. Pertama mereka kafir, sebab tidak pernah Allah mengajarkan yang demikian itu kepada seorang Nabi pun sejak Adam sampai kepada Isa al-Masih sendiri. Tidak ada kepercayaan demikian dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, dan sekali-kali tidak pernah Isa al-Masih mengajarkan yang demikian. Cobalah cari dalam Kitab Perjanjian Baru sendiri satu catatan pun, baik dari Matius, atau Markus, atau Lukas, atau pun Yohannes (Yahya) yang mencatatkan bahwa Isa al-Masih pernah mengatakan, “Bahwa Allah itu ialah aku sendiri, dan aku (Allah) datang ke dunia menjelma jadi anak, buat disalib, guna menebus dosamu!" Tidak ada! Barulah kemudian, lama setelah dia mati, Yohannes mencatat dalam Injilnya, dari pendapatnya sendiri yang berbunyi, “Pada awal pertama ialah kalam, dan Kalam itu bersama-sama dengan Allah, dan Kalam itulah juga Allah."
Dari mana Yohannes mendapat wahyu itu? Mengapa wahyunya berbeda dari Hukum Sepuluh yang diterima Musa dan berbeda dari sabda Yesus sendiri tentang Allah Yang Esa, yang mengutusnya ke dunia ini? Kalau dari Allah juga, mengapa berlain? Pencatat sejarah Injil sendiri mengakui bahwasanya Injil Yohannes ini adalah Injil yang keempat, yang terakhir sekali. Artinya jauh terkemudian dari Injil Matius, Markus, dan Lukas.
Perkataan Yohannes yang jelas bahwa sumbernya ini bukan dari agama tauhid yang diwahyukan Allah kepada seluruh nabi-nabi, hanya dapat dilihat sumbernya pada agama-agama kuno dari bangsa Yunani atau agama Hindu atau Filsafat Filo di Iskandariyah. Supaya sesuai dengan selera bangsa-bangsa kafir yang diajak ke dalam Kristen, dipertahankan saja Yohannes ini, dan dicarilah berbagai dalih, yang akal sehat pasti tidak mau menerimanya. (Hal ini akan kita perbincangkan lagi kelak bila membicarakan kepercayaan Kristen bahwa Allah itu adalah yang ketiga dari yang tiga, ayat 73 dari surah al-Maa'idah ini juga, di akhir Juz 6 ini juga)
Kafir kedua ialah karena akal mereka sendiri membantahnya. Sehingga untuk mempertahankannya orang wajib kafir, artinya menolak akalnya sendiri.
Maka datanglah lanjutan ayat.
“Katakanlah! Kalau begitu, siapakah yang berkuasa menahan sesuatu dari Allah, jika Dia hendak membinasakan al-Masih anak Maryam, dan ibunya pun dan orang-orang yang di bumi ini sekaliannya?"
Di dalam ayat ini sampai dua kali al-Masih disebut anak Maryam, supaya jelas bahwa dia manusia, bukan Tuhan. Disebutkan lagi ibunya, disebut pula segala manusia yang ada di muka bumi ini, yang dalam kedudukan mereka sebagai manusia, semuanya tidak bisa menangkis jika Allah hendak membinasakannya, jika Allah hendak mematikannya. Jika memang yang Allah itu ialah Isa al-Masih, mengapa dia sampai mengalami mati? Yang sebenarnya ialah bahwa Allah adalah tetap hidup, tidak mati-mati dan Mahakuasa atas seluruh alam ini, termasuk manusia. Di antara yang banyak itu ialah isa al-Masih dan ibunya.
Kalau benar Isa al-Masih mati tiga hari, atas kehendak siapakah dia mati? Kalau dia Tuhan, niscaya mati ialah atas kehendaknya sendiri. Padahal mustahil Tuhan mati dan Dia tidak berkehendak kepada mati, Dia hidup terus. Sudah terang pula bahwa Isa al-Masih, manusia itu, mati bukan atas kehendaknya sendiri.
Kalau benar kepercayaan Kristen bahwa Isa al-Masih itu ialah Allah yang menjelma ke dunia sebagai Putra Allah, maka sebelum Dia lahir ke dunia, sudah adakah Tuhan Allah? Dan setelah lahir ke dunia, mengapa Tuhan Allah yang jadi al-Masih itu bisa dibawa setan ke gunung? Sampai ditipu dan dibujuk oleh setan itu, supaya sudi menuruti perintahnya? Dan soal jawabnya dengan setan, sebagaimana yang tersebut dalam Injil-Injil yang mereka percayai itu, tampak sekali kecilnya Tuhan Allah Yesus di hadapan setan. Cuma dia menolak tawaran setan, sebagaimana manusia yang lain juga apabila diperdayakan setan, mereka ada yang menolak karena kekuatan iman.
Kalau benar bahwa dia yang Allah, yang datang ke dunia ini menubuhkan dirinya, lalu kemudian mati, apakah sekarang dia masih mati juga? Kalau bukan begitu, dan memang dalam Injil-Injil mereka sendiri dikatakan bahwa dia memang enggan menghadapi maut.
“Maka berjalanlah ia ke halaman sedikit, lalu sujudlah ia berdoa, katanya, ‘Ya, Bapaku, jika boleh biarlah kiranya cawan ini lepas daripadaku; tetapi di dalam pada itu pun bukanlah kehendakku, melainkan kehendakmu juga.'“ (Matius 26: 39)
Terang di sini bahwa kehendak Yesus tidak sama dengan kehendak Allah, padahal dikatakan bahwa dia sendiri adalah Allah.
Kemudian diulangnya lagi, “Maka pergilah ia pula pada kedua kalinya berdoa, katanya, ‘Ya Bapaku, jikalau cawan ini tiada boleh lepas daripadaku, melainkan aku juga meminum dia, biarlah kehendakmu jadi.'" (Matius 26:42)
Dengan bahasa apa musti kita artikan lagi, kalau bukan di kedua ayat ini nyata sekali bahwa Yesus yang dikatakan Allah itu bukan Allah? Sebab dia menaklukkan juga kemauannya kepada kemauan Allah? Bahasa apakah yang kita cari buat mengelakkan kenyataan bahwa Yesus sebenarnya enggan menerima maut itu?
Nyata di sini bahwa Yesus yang dikatakan Allah itu, tidaklah dapat membantah kehendak bapanya, dan nyata di sini terdapat dua zat, yaitu Zat Allah Yang Mahakuasa dan Zat Yesus yang tidak ada kekuasaan atas dirinya, sebab dia makhluk.
Orang Kristen membuat tafsiran bahwa Yesus itu mempunyai dua tabiat dan dua kehendak. Yang dua bersifat ketuhanan dan yang dua lagi sifatnya sebagai manusia. Kalau memang mungkin begitu di saat yang penting jelas sekali kelihatan mengalahnya tabiat kemanusiaannya, padahal dia mempunyai tabiat ketuhanan. Sehingga dia menyerah saja kepada kehendak Allah. Padahal dikatakan bahwa dia sendiri adalah Allah? Manakah yang lebih kuat kuasa tabiatnya sendiri sebagai Tuhan, dengan tabiatnya sendiri sebagai manusia?
Terang sekali di sini bahwa Yesus sudah mati atas kehendak Allah, bukan atas kehendaknya sendiri. Terang sekali dia enggan menghadapi maut, tetapi apa boleh buat, Allah Mahakuasa! Sebab itu jelaslah kalau akal ini masih hendak dipakai, bahwa Allah bukan Yesus dan Yesus bukan Allah. Demikian pula ibunya. Dia telah mati atas kehendak Allah, dan seluruh yang bernyawa di atas dunia ini pun mulanya tidak ada, kemudian dihidupkan oleh Allah, dan kemudian dimatikan, mau tidak mau, enggan atau tidak enggan.
Setelah itu dibawalah manusia ke dalam lapangan yang lebih luas, Dan bagi Allah-lah kekuasaan semua langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya."
Di pangkal ayat sebelumnya sudah dinyatakan kecilnya al-Masih anak Maryam di antara seluruh manusia, kecil ibunya bahkan kecil seluruh manusia yang hidup di atas dunia ini. Kecil, sehingga tidak ada yang dapat bertahan kalau panggilan maut datang. Mesti minum isi cawan elmaut itu bila datang waktunya. Kemudian datanglah lanjutan ayat, bahwasanya Allah itu bukanlah semata kuasa menghidupkan dan mematikan seluruh insan, termasuk Yesus dan ibunya, bahkan meliputi juga akan semua langit dan peringkat dan tingkatnya, dan bumi dengan segala isinya. Demikian juga apa yang ada di antara langit dan bumi itu; bintang-bintang, bulan dan matahari, awan sumawan, dan lain-lain.
Kalau misalnya kita ambil satu di antara apa yang ada di antara langit dan bumi itu, yaitu matahari, yang sudah bermilyar tahun dunia terkembang, masih tetap memancarkan cahaya, tnasih tetap mempunyai zat pembakar, padahal besarnya matahari itu beribu kali, bahkan beribu-ribu kali besarnya bumi tempat manusia hidup, tempat al-Masih pernah hidup, atau tempat manusia singgah sebentar, kemudian mati. Termasuk al-Masih anak Maryam itu, tidaklah ada artinya manusia ini dibandingkan kepadanya.
“Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki." Alangkah luasnya daerah kudrat iradat yang tercakup dalam ayat ini, dan dapat dirasakan apabila kita renungkan. Di bumi kuasa-Nya meliputi segala, sejak adanya lautan dan daratan, tumbuh-tumbuhan, dan buah-buahan, kejadian manusia, hidup dan mati. Di langit terkembang ruang angkasa yang sangat luas, mahaluas. Semuanya berjalan teratur menurut kehendak Allah. Dibandingkan di antara semuanya ini, maka kelahiran Yesus Kristus ke dunia dengan tidak perantaraan bapa, tidak dengan persetubuhan seorang laki-laki dan seorang perempuan, adalah soal kecil saja. Sebab kehendak Allah meliputi akan segala-galanya.
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Berkuasa."
Maka segala hal-ihwal itu takluklah kepada kehendak-Nya. Berlakulah apa yangdimaui-Nya. Kalau ada yang ganjil, maka keganjilan itu bukanlah ganjil di sisi Allah, melainkan ganjil dipandang dari segi manusia apabila ilmunya belum dapat menyelami rahasianya. Bahkan kadang-kadang masih tetap ada yang ganjil, yang ajaib; cuma karena kelihatan tiap hari, sampai bila-bila masa pun tidak juga akan terpecahkan oleh manusia rahasianya. Misalkan saja setumpuk tanah perkebunan. Di sana tumbuh segala macam tumbuh-tumbuhan, hasil berbagai-bagai buah-buahan, dan rumput-rumputan. Padahal hujan yang turun hanya satu ragam, tanah tempat tumbuh pun hanya satu tumpak. Mengapa berlain? Mengapa ada durian dan mengapa ada mangga?
Profesor yang mana pun dan fakultas pertanian atau ahli ilmu hayat dari bagian dunia yang mana pun, tidaklah ada yang sanggup menjawab jika ditanyakan, mengapa dari sebidang tanah dapat tumbuh berbagai ragam tumbuhan, sedang air yang turun sebagai hujan, menyirami tanah itu hanya satu macam air saja? Dan tanah tempat tumbuh itu juga?
Ahli pengetahuan hanya dapat mengetahui kenyataan yang tadinya tersembunyi, tetapi tidak ada yang dapat menjawab apa sebabnya. Kalau dia tidak mengembalikan kepada Allah.
Semua kejadian di semua lapisan langit, di bumi dan di udara, di ruang angkasa antara langit dan bumi, dengan serba-serbi keganjilannya itu, adalah karena demikian Kalam Allah, Yaitu kemauan dan kehendak Allah, dan karena demikian firman-Nya. Sehingga kelahiran Isa al-Masih di luar adat yang biasa, adalah termasuk Kalam Allah itu juga. Sebagaimana matahari, selalu berapi, selalu tidak habis-habis zat bakarnya, atas kehendak Kalam Allah juga.
ANAK ALLAH
Ayat 18
“Dan berkata Yahudi-Yahudi dan Nasrani-Nasrani itu, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihnya
Ada pun sebab turunnya ayat ini, menurut tafsiran Ibnu Abbas yang dirawikan oleh ibnu Ishaq, dan Ibnu Jarir, dan Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqi dalam Dalaailun-Nubuwwah ialah bahwa pada suatu hari datanglah beberapa pemuka Yahudi kepada Rasulullah ﷺ, yaitu Ibnu Ubay, dan Bahri bin Amr, dan Syasy bin Adiy. Mereka diajak bercakap-cakap oleh Rasulullah ﷺ, dan diajak kembali kepada jalan Allah, dan diberi ingat betapa siksaan yang akan mereka terima jika mereka tidak mau menerima kebenaran. Lalu mereka berkata kepada Nabi, “Engkau tak usah mengancam-ancam kami, ya Muhammad! Demi Allah, kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya belaka!"
Berkata Ibnu Abbas, tidak lama sesudah orang itu berkata demikian, turunlah ayat ini.
Memang, dalam kitab-kitab lama itu selalu tersebut Anak Allah. Nabi Adam juga disebut Anak Allah. (Lukas 3:38) Ya'qub, yang nama kecilnya Israil juga disebut Anak Allah bahkan dikatakan Anak Sulung Allah. (Kitab Keluaran 4:22) Dawud pun disebut Anak Allah. (Mazmur 89: 27-28) Efrayim juga disebut Anak Allah yang sulung. (Yaremia 31: 9)
Itulah beberapa kenyataan yang memang tertulis di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru. Dan dapatlah dipahamkan bahwa arti firman Allah mengaku nabi-nabi itu sebagai anak-Nya, ialah sebagai pembelaan kepada mereka, tanda kasih Allah kepada mereka. Karena tidak demikian maksudnya, tentunya tidak mungkin sampai berbilang anak sulung. Yang patut disebut anak sulung, tentu hanya Adam; sebab dia manusia yang tua sekali, ayah dari sekalian manusia. Padahal di sini disebutkan lagi bahwa Israil anak sulung, dan Efrayim anak sulung pula.
Dari segala ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang dikasihi dan dibela Allah ini sebagai Anak Allah, dapatlah kita memahamkan bahwa maksud anak Allah di sini bukanlah anak seperti yang biasa kita pikirkan; seorang laki-laki beristri lalu dapat anak Karena yang demikian itu sangat mustahil bagi Allah.
Pengertian yang begini menjalar sejak zaman sebelum al-Masih, zaman Perjanjian Lama, sampai kepada zaman Perjanjian Baru, sehingga setelah al-Masih diutus Allah, beliau pun memakai kata-kata Anak Allah ini pula, tetap dalam pengertian yang demikian.
Maka bersabdalah Isa al-Masih, “Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah." (Matius 5:9)
Dan beliau bersabda lagi, “Sebab itu hendaklah kamu ini sempurna, sama seperti bapamu yang di surga sempurna adanya." (Matius 5:48) “Ingatlah baik-baik. Jangan kamu berbuat segala ibadahmu di hadapan orang hendak menunjukkan kepada mereka itu; jikalau demikian, tidaklah kamu mendapat pahala daripada bapamu yang di surga." (Matius 6:1) “Sebab itu hendaklah kamu berdoa demikian, ‘Ya bapa kami yang di surga, dipermuliakanlah kiranya namamu."‘ (Matius 6:9) — “Karena kalau kamu mengampuni kesalahan orang, tak dapat tiada bapamu yang di surga, akan mengampuni kesalahan kamu pun." “Tetapi tiada kamu mengampuni kesalahan orang, niscaya bapamu tiada akan mengampuni kesalahan kamu." (Matius 6:14-15)
“Tengoklah burung di udara, tiada ia menabur benih, dan tiada ia menuai, atau menghimpunkan bekal ke dalam lumbung, maka bapamu yang di surga juga yang memeliha-rakan dia. Bukankah kamu terlebih dari segala burung itu?" (Matius 6: 26)
“Karena semuanya itu dituntut oleh orang kafir, padahal bapamu yang di surga terlebih mengetahui segala perkara itu perlu bagi kamu." (Matius 6: 32)
“Sebab itu, jikalau kamu yang jahat sekali pun tahu juga memberi pemberian yang baik kepada anakmu, apatah lagi bapamu yang di surga akan memberi barang yang baik kepada orang yang memohonkan daripadanya." (Matius 7: 11)
Dan beberapa ayat lagi dalam catatan Matius. Dan terdapat pula dalam catatan Markus, Lukas, dan Yohannes. Yang semuanya itu jika dibaca dan direnungkan, dapatlah memberikan kesimpulan bahwasanya setiap orang yang taat kepada Allah, yang suka mendapatkan orang yang penuh sifat kasih, yang dermawan, dibahasakan semuanya itu sebagai Anak Allah, dan Allah sebagai Bapanya. Kemudian terdapat pulalah ucapan orang terhadap kepada Isa al-Masih sebagai Anak Allah. Bila dipertautkan ucapan terhadap Adam, atau Ya'qub, atau Efrayim sebagai Anak Sulung Allah, dapatlah disimpulkan bahwasanya kata-kata Anak Allah dan Bapa yang di surga, tidak lain artinya daripada kasih Allah kepada rasul-rasul dan nabi-nabi yang diutus Allah, dan terhadap manusia-manusia yang benar-benar tunduk mengerjakan perintah Allah.
Sebaliknya orang yang durhaka kepada Allah, yang fasik tidak menyesuaikan hidup dengan kehendak Allah. Paulus menjelaskan hal ini dalam surahnya kepada orang Rum,
“Karena beberapa orang yang dipimpin oleh Ruh Allah, maka itulah anak-anak Allah “ (Rum 8:14)
Sebaliknya, orang yang fasik, durhaka, tidak mau menuruti kebenaran, diperintah oleh hawa nafsu, disebut Anak Iblis. Hal ini dituliskan oleh Yahya dalam Injilnya, ketika menceritakan soal jawab di antara Isa al-Masih dengan Yahudi. Beliau berkata,
“Apakah sebabnya tiada kamu mengerti akan peribahasaku? Memang sebab kamu tidak dapat mendengar perkataan ini."
“Kamu ini daripada bapamu iblis, dan segala hawa nafsu bapamu itulah yang kamu turut. Ialah pembunuh manusia dari mulanya, tiada ia berdiri di atas yang benar, karena kebenaran tidak ada di dalamnya. Jikalau ia mengatakan bohong, maka ia mengatakan menurut tabiatnya sendiri, karena ia pembohong dan bapa pembohong." (Yahya 8:43-44)
Menulis pula Yahya dalam surah kirimannya yang pertama, “Tengoklah, alangkah besarnya kasih yang dikurniakan oleh Bapa kepada kita, sehingga kita dikatakan anak-anak Allah." (Surah kiriman Yahya 3: 2) — Dan katanya lagi, “Barangsiapa yang berasal daripada Allah, tiadalah dia berbuat dosa, karena benih Allah tinggal di dalam orang itu; maka tiada dapat ia berbuat dosa, karena ia berasal dari Allah."
“Di dalam hal ini telah nyata segala Anak Allah dengan Anak Iblis. Barangsiapa yang tidak berbuat barang yang benar dan bukannya daripada Allah, demikianlah juga orang yang tiada mengasihi saudaranya." (surat kiriman Yahya 1-3 :9-10)
Demikianlah kita salinkan beberapa ayat dari kitab-kitab pegangan orang Yahudi dan Nasrani tentang asal-usul pemakaian kalimat Anak Allah adalah kata kasih sayang Allah kepada barangsiapa yang menyesuaikan hidup-nya dengan kehendak Allah. Dan yang melakukan dosa disebut Anak Iblis. Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapat, bahwa orang Yahudi atau pun Nasrani kerap kali membanggakan diri bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih Allah. Yang ujudnya ialah membanggakan diri dan memandang bahwa golongan mereka adalah istimewa di sisi Allah.
Maka disuruhlah Nabi kita Muhammad ﷺ menolak pendakwaan yang sombong itu, “Katakanlah! Kalau begitu, mengapa dia mengadzab kamu dengan sebab dosa-dosa kamu?"
Setelah kita gali sisa-sisa yang tinggal di dalam kitab-kitab mereka tadi, dapatlah kita pahamkan betapa dalamnya isi pertanyaan yang disuruh tanyakan oleh Allah kepada Rasul-Nya ini. Dapat kita uraikan demikian: Memang, di dalam kitab-kitab kamu yang dahulu itu kerap kali bertemu bahwa nabi-nabi yang dikasihi Allah diberi kehormatan nama Anak Allah. Orang yang suka mendamaikan orang dinamai Anak Allah. Sebab itu gelar kehormatan zaman purbakala itu adalah karena suatu sebab. Yaitu menjauhi dosa. Dan barangsiapa yang berbuat dosa diberi gelar anak iblis.
Sekarang kamu hai Yahudi, hai Nasrani, masih saja mendakwakan diri Anak Allah, padahal berbagai adzab dan siksaan Allah telah kamu rasakan karena dosa-dosa kamu. Sebab itu, gelar apa yang layak diberikan kepada kamu? Anak Allah atau Anak Iblis?
Lalu datanglah sambungan ayat, “Bahkan kamu itu adalah manusia (saja) dari makhluk yang Dia jadikan." Kamu itu adalah manusia, sama saja dengan makhluk Allah yang lain-lain, bukanlah kamu Anak Allah. Manusia itu tidaklah sunyi daripada dosa atau pahala. Jika kamu bersalah, kamu dihukum dan diadzab oleh Allah, baik adzab di dunia ini, atau pun adzab kelak di akhirat.
“Diberi-Nya ampun siapa yang dikehen-daki-Nya dan disiksa-Nya barangsiapa yang dikehendaki-Nya dan disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya." Sama-rata, dengan tidak berpilih kasih, dengan tidak ada perbedaan keturunan atau perbedaan warna kulit. Tidak ada satu bangsa atau pun satu suku yang diistimewakan. Orang menjadi istimewa hanyalah karena usahanya sendiri mendekatkan diri kepada Allah. Barangsiapa ying men-durhakai Allah dan mengikuti hawa nafsu dan rayuan setan, maka dia pun menjadi anak iblis.
Sebagaimana ayat yang sebelumnya juga, lalu datanglah lanjutan ayat, “Dan bagi Allahlah kekuasaan semua langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya." Kekuasaan Allah yang Mahabesar itu bukan saja berkhusus bagi manusia, bahkan meliputi seluruh langit dan bumi, ruang angkasa di antara langit dan bumi. Dan manusia adalah sejemput makhluk kecil saja sebagai penghuni bumi. Semua isi alam itu diatur, ditadbir oleh Allah dengan kuat kuasa-Nya, sama jauh sama dekat, dalam garis kasih sayang dan adil. Tidak ada yang ini anak kandung, yang ini anak tiri, yang itu anak sulung dan yang itu lagi anak bungsu. Tidak ada yang diistimewakan walaupun bersalah. Semuanya adalah makhluk yang Dia jadikan.
“Dan kepada-Nyalah tempat kembali."
Al-Mashilr artinya tempat kembali, atau tempat mengembalikan segala urusan. Urusan langit dan bumi dengan segala yang ada di antara langit dan bumi, termasuk peredaran bumi dan bulan, peredaran matahari dan bintang. Bintang, termasuk perkisaran siang dengan malam; demikian juga perikehidupan segala makhluk hidup yang di dalam bumi ini; burung di udara, ikan di lautan, tumbuh-tumbuhan di dataran subur, air yang mengalir dari sungai ke laut, padang pasir terhampar luas, gunung-gunung dan bukit-bukit, semuanya itu hanya kembali ke dalam satu pusat kekuasaan. Yaitu Allah.
Manusia pun demikian pula. Perjalanan hidupnya, sejak manusia itu masih segumpal mani, gabungan mani ayah dan mani ibu yang menjadi nuthfah, meningkat menjadi ‘Aiaqah, dan menjadi Mudh-ghah, lalu cukup bulan dalam kandungan, lalu lahir ke dunia.
Hidup masa kecil, kadang-kadang mati muda. Hidup sampai dewasa, sampai tua, sampai kadang-kadang jadi pikun, semuanya itu kembali urusannya kepada Allah. Di dunia kita diberi akal buat pelita hidup guna mem-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik, mana yang mudharat dan mana yang manfaat, dipertimbangkan baik-baik dan disadari bahwasanya semuanya dikembalikan kepada Allah. Maka pada hakikatnya tidaklah ada yang anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan atau yang sulung atau anak yang bungsu. Dan tidak ada manusia yang jadi Anak Allah dan manusia lain jadi Anak Iblis. Bahkan berfirman Allah.
“Maka tiadalah selayaknya Allah Pemurah itu mempunyai anak. Segala apa yang di langit dan di bumi, hanya kepada Allah Pemurah itu jualah mengabdikan diri."
Dan mulai saat datangnya Al-Qur'an kata-kata “Anak Allah" itu tidak dipakai lagi, karena sudah banyak yang menyalah tafsirkan dan dijadikan kebanggaan. Dalam Islam hanya dipakai kalimat rabbun yang berarti pendidik, pengasuh, pemelihara terus-terusan. Bukan abun yang berarti Bapa. Dan buat kita manusia ini tidak dipakai kata-kata ibnun, yang berarti Anak. Melainkan dipakai kata abdun, yang berarti hamba Allah. Dan siapa yang mengikuti Iblis, disebut memperhambakan diri kepada Iblis.
Atau disebut Allah itu al-Khaliq, yang berarti Pencipta. Dan kita dinamai makhluk, yang berarti yang dicipta.
PERBANDINGAN UNTUK KITA MUSLIMIN
Ayat ini pun dapatlah menjadi cermin perbandingan, untuk melihat muka sendiri bagi kita yang mengakui diri pengikut Nabi Muhammad ﷺ.
Di dalam Al-Qur'an terdapat pula kata-kata yang bisa menghancurkan kita dan menyerupakan kita dengan Yahudi dan Nasrani yang mengakui diri “Anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya" itu, yang bisa pula disalahartikan sehingga kita merasa diri istimewa, padahal kehendak ayat itu tidak pernah kita jalankan.
Di dalam surah Aali ‘Imraan ayat 110 dikatakan bahwa, “Adalah kamu sebaik-baik umat dikeluarkan di antara manusia." Kalau hanya pangkal ayat itu saja yang dipegang, niscaya akan timbullah perasaan bangga dan kesombongan kelompok sebagaimana yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani itu pula. Padahal lanjutan ayat itu adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai “sebaik-baik umat", yaitu sanggup menyuruh berbuat baik (ma'ruf) dan mencegah sikap hidup yang tidak disukai (mungkar)
Ditambah lagi dengan dasar pokok yang pertama dan utama, yaitu iman kepada Allah. Bagaimana akan dicapai martabat sebaik-baik umat kalau tak berani menyuruh berbuat ma'ruf, mencegah berbuat mungkar, dan tidak pula matang iman kepada Allah?
Demikian pula tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 143, bahwa kita umat Muhammad diberi kehormatan menjadi ummatan wasa-than, umat yang berdiri di tengah-tengah. Kata setengah ahli tafsir, ialah di tengah-tengah antara kekerasan perintah Musa dengan kelemahlembutan perintah Isa al-Masih. Disebut pula bahwa umat kita ini akan menjadi kesaksian bagi seluruh manusia, dan Rasul menjadi saksi pula atas kesanggupan kita memegang teguh perintah dan agama Allah. Ayat ini pun dapat menjadi kebanggaan kosong, kalau yang diambil hanya kulitnya, tidak dipenuhi apa yang jadi isinya.
Dan bukan sendiri pula orang yang ber-bangga dengan menyebut sebuah hadits, yang artinya mengatakan bahwa agama Islam adalah sangat tinggi, di atas sekali, dan tidak ada satu agama pun yang dapat mengatasinya. Lalu umat menjadi bangga karena ketinggian agama yang dipeluknya, padahal dia sendiri tidak memegang teguh apa yang menyebabkan Islam itu tinggi. Maka tetaplah Islam tinggi sebagai satu ajaran, dan tetaplah rendah umat yang mengakui dirinya sebagai pemeluknya, karena inti sari yang menyebabkan ketinggian ajaran Islam itu tidak dijalankannya.
Oleh sebab itu, ayat ini dapatlah menjadi kaca perbandingan untuk melihat wajah kita sendiri. Apakah kita telah terperosok pula ke tempat terperosoknya Yahudi dan Nasrani tadi, mengakui diri anak-anak Allah dan ke-kasih-kekasih Allah, padahal dalam praktik hidupnya, mereka telah menjadi anak iblis, sebagai yang disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka itu.
KEDATANGAN RASULULLAH ﷺ
Ayat 19
“Wahai Ahlul Kitab! Sesungguhnya telah datang kepada kamu utusan Kami."
Itulah dia Muhammad bin Abdullah keturunan Quraisy, keturunan Isma'il anak Ibrahim, yang diantarkan oleh ayahnya Ibrahim itu ke Faran (Mekah) ketika Isma'il itu masih dikandung oleh ibunya Hajar, lalu menurunkan Arab Adnan, menurunkan Quraisy, menurunkan Muhammad ini. “Menerangkan kepada kamu sesudah terputus rasul-rasul." Yaitu karena setelah Isa al-Masih, tidak ada rasul-rasul diutus sehingga terdapat kekosongan lebih dari 5 abad lamanya. Inilah dia Nabi itu, yang dijanjikan oleh Musa, bahwa dari pihak saudaranya Bani Isma'il akan timbul seorang nabi. Yang telah dijanjikan oleh Isa al-Masih, biarlah dia pergi, sebab akan datang kelak Ruh Kebenaran dari sisi Allah menyempurnakan sabdanya. Yang sebagai tersebut di dalam karangan Yahya, Injil kamu yang keempat, bahwa pendeta-pendeta Yahudi dan orang Lewi pernah menanyakan kepada Yahya bin Zakariya,
Engkaukah akMasih itu;
Dia menjawab, Bukan!
Lalu mereka bertanya, Engkaukah Eliya!
Dia pun menjawab, Bukan!
Lalu mereka berkata pula, Engkaukah Nabi itu! Yahya pun menjawab, Bukan!
Sudah lama kamu menunggu-nunggu kedatangan Nabi itu, masih tertulis harapan akan kedatangannya dalam kitab-kitabmu sendiri; ini dia sudah datang! Tidak ada lagi Nabi lain yang ditunggu lagi. Dia datang menerangkan kepada kamu akan perintah-perintah Allah, sebab sudah lama rasul-rasul terputus, supaya semangat keimanan kepada Allah dibarui kembali.
Kalimat Fatrat atau Fatrah dalam kalimat ini kita artikan ‘terputus'. Ahli bahasa menerangkan, arti fatrat ialah sesuatu yang telah diam, hening, atau telah hilang ketajamannya.
Raghib Ashfahany ahli bahasa mengatakan, “Diam sesudah bergerak, lunak sesudah keras, lemah sesudah kuat. Maksudnya kata Raghib ialah terputusnya wahyu dan rasul-rasul, tidak lagi diutus Allah selama berabad-abad."
Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya, “Maksud ayat ini ialah bahwa Allah telah mengutus Muhammad ﷺ setelah rasul-rasul terputus, tidak ada sambungannya lagi, sehingga laksana suatu jalan yang biasa ditempuh, sekarang telah semak. Ajaran agama telah mengubah-ubah dari keasliannya karena banyak tambahan manusia. Dan telah timbul banyak sekali penyembah berhala, penyembah api, dan penyembah kayu salib. Maka dengan kedatangan Muhammad ﷺ itu sempurnalah nikmat Allah, dan terasalah perlunya kedatangannya itu untuk seluruh isi dunia. Sebab kerusakan dan kebobrokan di masa kedatangannya itu telah meliputi sekalian negeri. Kezaliman dan kebodohan telah membelit seluruh hamba Allah. Kecuali hanya sedikit sisanya, yaitu orang-orang yang masih memegang sisa-sisa agama yang dibawa oleh nabi-nabi."
Pendeknya, di antara zaman kelahiran Isa al-Masih dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, boleh dikatakan telah terputus rasul, sehingga manusia telah berleluasa menurut sekehendak hati. Jarak itu kononnya ialah 569 tahun.
Menurut yang tersebut dalam surah Yaasiin, bahwa ada tiga orang rasul diutus Allah ke satu negeri, kononnya negeri Anthakiyah. Tetapi rasul yang bertiga itu tidak mendapat sambutan yang baik. Ahli-ahli tafsir mengatakan bahwa ketiga rasul itu hanyalah penyokong syari'at Musa dan Isa, tidak membawa syari'at baru. Artinya tidak rasul besar.
Ada pula tersebut bahwa sesudah Isa itu terdapat juga dua nabi, yaitu Darjis dan Khalid bin Sinan. Menurut penyelidikan ilmu hadits, riwayatnya tidak kuat.
Kita dapatlah mengambil kesimpulan bahwasanya kerusakan agama di antara zaman Isa dengan zaman Muhammad itu telah sangat memuncak. Sehingga kedatangan nabi atau rasul yang kecil-kecil tidak membawa kesan lagi.
Bila kita lihat sejarah dunia pada masa itu akan nyatalah bahwa penghargaan atas nilai-nilai keruhanian, nilai wahyu sudah benar-benar dikesampingkan. Di zaman itu kita hanya mendapati perebutan kekuasaan di antara Barat (Romawi) dengan Timur (Persia) Pesta pora di antara Anthonius dengan Cleopatra di Sungai Nil di Mesir adalah salah satu gambaran kehidupan zaman Fatrat itu. Agama Yahudi menerima, usiran di mana-mana dan agama Kristen diubah isi maksudnya karena dia telah dicampuri oleh kekuasaan Kaisar Konstantin, kemudian oleh rapat-rapat pendeta (Counsil) sehingga aslinya telah hilang. Semuanya itulah yang dinamai zaman Fatrat.
Syekh Muhammad Abduh, menulis dalam buku beliau Risalatut Tauhid dengan gambaran yang nyata bagaimana kacaunya di zaman Fatrat itu.
“Supaya jangan kamu mengatakan, ‘Tidaklah datang kepada kami seorang pun pembawa kabar kesukaan dan tidak pula pembawa ancaman.'"
Kedatangan seorang Rasul adalah membawa basyir, yaitu kabar kesukaan, kabar gembira bagi siapa yang sudi menerima petunjuk Allah, dan nadziir artinya ancaman atas barangsiapa yang tidak mau mempedulikan petunjuk Allah. Seorang rasul menunjukkan dengan tegas kebahagiaan dunia dan akhirat bagi barangsiapa yang menurutkan jalan yang baik dan memberikan peringatan ancaman peringatan Allah bagi barangsiapa yang tidak mau percaya kepada ajaran Rasul itu. Oleh karena yang demikian maka kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sangatlah cocok waktunya. Kalau sekiranya keonaran, kezaliman, dan kemusyrikan berlarut-larut, lalu manusia tadi dihukum oleh Allah, tentu manusia dapat menegakkan hujjah, “Kami tidak salah, yang salah ialah Allah sendiri, mengapa kami dibiarkan saja, tidak dikirim seorang yang akan menunjuki kami jalan yang benar, memberikan kabar gembira, dan memberi kabar ancaman."
“Maka sesungguhnya telah datanglah kepada kamu pembawa berita kesukaan dan ancaman itu."
Sekarang Rasul itu telah datang. Sebab itu kamu tidak ada alasan lagi buat membela diri jika tuntutan Allah datang. Apatah lagi di dalam kitab-kitab suci kamu sendiri kedatangannya itu telah diisyaratkan oleh Allah, dalam wahyu yang disampaikan kepada Musa dan Isa, itulah Muhammad ﷺ yang dalam Taurat disebutkan seorang nabi dari kalangan saudaramu dan oleh Isa disebut Ruhul Haq, Ruh Kebenaran, yang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Perclit atau Pariclit.
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Ayat ini ditutup oleh Allah dengan menyebut kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Gunanya ialah untuk menolak bantahan orang Yahudi, yang selama ini tidak mau percaya kalau ada seorang nabi yang bukan dari Bani Israil. Setengah mereka waktu itu memang mengakui bahwa dalam Taurat memang ada nubuwwat bahwa nabi akhir zaman akan datang menggenapkan isi Taurat dan Injil, tetapi mereka tidak dapat menerima kalau nabi itu bukan dari keturunan Bani Israil. Sekarang Nabi Muhammad datang, ternyata bahwa dari keturunan Bani Isma'il atau Arab; bukan Yahudi, sebab itu mereka tidak mau percaya. Maka datanglah ujung ayat mengatakan bagi Allah adalah kekuasaan mutlak buat membangkitkan pula seorang rasul dari yang bukan Bani Israil.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dan Ibnu Jarir, dan Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Dalaailun Nubuwwah. Mereka terima dari Ibnu Abbas. Kata Ibnu Abbas, “Pada suatu hari Rasulullah ﷺ mengajak orang-orang Yahudi yang duduk dalam majelis beliau supaya masuk Islam saja. Beliau terangkan betapa besar keuntungan jiwa yang akan mereka peroleh di dunia ini dan surga di akhirat jika mereka sambut seruan itu, dan beliau terangkan pula bahaya yang menimpa diri mereka jika mereka menolak. Tetapi mereka masih tetap berkeras menolak dengan tidak dapat mengemukakan alasan yang jitu. Di dalam majelis itu ada hadir tiga orang sahabat Anshar penduduk Madinah, yaitu Mu'adz bin jabal, Sa'ad bin Ubadah, dan Uqbah bin Wahab, maka berkatalah mereka kepada pemuka-pemuka Yahudi itu, “Wahai saudara-saudara kami orang Yahudi! Takwalah kamu sekalian kepada Allah dan insafilah kebenaran. Sesungguhnya kamu sendiri telah tahu bahwa beliau memang Rasulullah. Tidakkah saudara-saudaraku ingat bahwa dahulu saudara-saudaraku selalu mengatakan kepada kami, bahwa seorang rasul akan datang, lalu saudara-saudara tunjukkan tanda-tandanya dengan beralasan kepada kitab saudara-saudara sendiri dan telah saudara-saudara katakan sifat-sifatnya."
Lalu menjawab Rafi bin Harmalah dan Wahab bin Yahudza, “Kami tidak pernah mengatakan itu kepada kamu! Sesudah Musa tak ada nabi lagi, dan tidak akan diutus lagi seorang pembawa berita kesukaan dan ancaman!"
Artinya mereka memungkiri perkataan yang pernah mereka ucapkan kepada orang-orang Arab Madinah itu. Padahal salah satu sebab penting orang-orang Arab Madinah itu menerima Islam ialah karena telah banyak kali menerima berita itu dari mereka, orang Yahudi. Artinya, mudah saja mereka memungkirinya.
Berkata Ibnu Abbas, “Di saat mereka memungkiri perkataan mereka itulah ayat ini turun, sebagai sanggahan atas keengganan dan kemungkiran mereka."