Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
ذُو
mempunyai
عُسۡرَةٖ
kesukaran
فَنَظِرَةٌ
maka berilah tangguh
إِلَىٰ
sampai
مَيۡسَرَةٖۚ
kelapangan/kelonggaran
وَأَن
dan jika
تَصَدَّقُواْ
kamu menyederhanakan
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡ
bagi kalian
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
ذُو
mempunyai
عُسۡرَةٖ
kesukaran
فَنَظِرَةٌ
maka berilah tangguh
إِلَىٰ
sampai
مَيۡسَرَةٖۚ
kelapangan/kelonggaran
وَأَن
dan jika
تَصَدَّقُواْ
kamu menyederhanakan
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡ
bagi kalian
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).
Tafsir
(Dan jika dia), yakni orang yang berutang itu (dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh) maksudnya hendaklah kamu undurkan pembayarannya (sampai dia berkelapangan) dibaca 'maisarah' atau 'maisurah'. (Dan jika kamu menyedekahkannya), dibaca dengan tasydid, yakni setelah mengidgamkan ta pada asalnya pada shad menjadi 'tashshaddaqu', juga tanpa tasydid hingga dibaca 'tashaddaqu', yakni telah dibuang ta, sedangkan artinya ialah mengeluarkan sedekah kepada orang yang sedang dalam kesusahan itu dengan jalan membebaskannya dari utang, baik sebagian maupun keseluruhan (itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui) bahwa demikian itu baik, maka kerjakanlah! Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang memberi tangguh orang yang dalam kesusahan atau membebaskannya dari utang, maka Allah akan melindunginya dalam naungan-Nya, di hari saat tak ada naungan selain naungan-Nya." (H.R. Muslim).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 278-281
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian memang orang-orang yang beriman.
Maka jika kalian tidak melaksanakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menzalimi dan tidak (pula) dizalimi.
Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.
Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dizalimi (dirugikan).
Ayat 278
Allah ﷻ berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.” (Al-Baqarah: 278)
Yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.
“Dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut).” (Al-Baqarah: 278)
Maksudnya, tinggalkanlah harta kalian yang ada di tangan orang lain berupa kelebihan dari pokoknya sesudah adanya peringatan ini.
“Jika kalian memang orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278)
Yaitu jika kalian beriman kepada apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian, yaitu penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan lain-lainnya.
Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Juraij, Muqatil ibnu Hayyan dan As-Suddi mengatakan bahwa konteks ini diturunkan berkenaan dengan Bani Amr ibnu Umair dari kalangan Bani Saqif, dan Banil Mugirah dari kalangan Bani Makhzum; di antara mereka terjadi transaksi riba di masa Jahiliah.
Ketika Islam datang, lalu mereka memeluknya, maka Bani Saqif melakukan tagihannya kepada Bani Mugirah, yaitu meminta kelebihan dari pokok harta mereka (bunganya). Maka orang-orang Bani Mugirah mengadakan musyawarah, akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka tidak akan membayar riba (bunga) itu dalam Islam, sebab usaha mereka telah sesuai ajaran Islam. Lalu Attab ibnu Usaid yang menjadi Naib Mekah berkirim surat kepada Rasulullah ﷺ, menanyakan masalah tersebut, lalu turunlah ayat ini.
Jawaban dari Rasulullah ﷺ kepada Usaid berisikan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian memang orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak melaksanakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 278-279) Maka mereka mengatakan, "Kami bertobat kepada Allah dan kami tinggalkan semua sisa riba." Lalu mereka meninggalkan perbuatan riba mereka. Ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih tetap mengerjakan perbuatan riba sesudah adanya peringatan.
Ayat 279
Ibnu Juraij mengatakan bahwa sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka hendaklah diketahui oleh mereka tentang adanya perang.” (Al-Baqarah: 279)
Yakni hendaklah mereka mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangi mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan melalui riwayat Rabiah ibnu Ummu Kalsum, dari ayahnya, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dikatakan kepada orang yang memakan riba kelak di hari kiamat, "Ambillah senjatamu untuk berperang." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Maka jika kalian tidak melaksanakannya (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 279)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka jika kalian tidak melaksanakannya (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 279) Bahwa barang siapa yang masih tetap menjalankan riba dan tidak mau meninggalkannya, maka sudah merupakan kewajiban bagi Imam kaum muslim untuk memerintahkannya untuk bertobat. Jika ia mau bertobat, maka bebaslah ia; tetapi jika masih tetap, maka lehernya dipukul (yakni dipancung).
Ibnu Abu Hatim (yaitu Ali ibnul Husain) meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hasan, dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin, bahwa keduanya pernah mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya bankir-bankir itu benar-benar orang-orang yang memakan riba. Sesungguhnya mereka telah mengumumkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil, niscaya imam diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertobat. Jika mereka mau bertobat, maka bebaslah mereka; tetapi jika mereka tetap melakukan perbuatan riba, maka diumumkanlah perang terhadap mereka.
Qatadah mengatakan bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di mana pun mereka berada.
Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba ini, karena sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena itu, janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah ﷻ karena takut jatuh miskin. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah mengancam orang yang memakan riba dengan perang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
As-Suhaili mengatakan, "Oleh karena itulah Siti Aisyah mengatakan kepada Ummu Mahbah budak perempuan Zaid ibnu Arqam yang telah dimerdekakan (oleh anaknya) dalam masalah riba ainiyyah, 'Sampaikanlah kepadanya bahwa jihadnya bersama Rasulullah ﷺ telah dihapus (pahalanya) kecuali jika ia bertobat'." Penyebutan jihad dalam atsar ini merupakan suatu prioritas, mengingat ia adalah lawan kata dari makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” (Al-Baqarah: 279)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa pengertian ini banyak dikatakan oleh kalangan ulama. Ia mengatakan pula bahwa sanad atsar ini sampai kepada Siti Aisyah berpredikat dha’if (lemah).
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menzalimi (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan)” (Al-Baqarah: 279)
Maksudnya, kalian tidak menzalimi orang lain karena mengambil bunga darinya, dan tidak pula dizalimi karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan, melainkan sesuai dengan apa adanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain ibnu Asykab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Syabib ibnu Garqadah Al-Mubariqi, dari Sulaiman ibnu Amr ibnul Ahwas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ dalam khotbah haji wada'-nya mengatakan: “Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah telah dihapus dari kalian. Maka bagi kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menzalimi (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan), dan riba pertama yang dihapus ialah riba Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, dihapus seluruhnya.” Demikianlah menurut apa yang ditemukan oleh Sulaiman ibnul Ahwas.
Ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Garqadah, dari Sulaiman ibnu Amr, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah telah dihapus. Maka bagi kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menzalimi (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan).”
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadits Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari Amr (yakni Ibnu Kharijah), lalu ia menuturkan hadits ini.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 280)
Allah ﷻ memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang berutang yang dalam kesulitan tidak mempunyai apa yang akan dibayarkannya buat menutupi utangnya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia berkelapangan.” (Al-Baqarah: 280)
Tidak seperti apa yang dilakukan di masa Jahiliah, seseorang di antara mereka berkata kepada orang yang berutang kepadanya, "Jika masa pelunasan utangmu telah tiba, maka adakalanya kamu melunasinya atau kamu menambahkan bunganya."
Kemudian Allah menganjurkan untuk menghapuskan sebagian dari utang itu, dan menilainya sebagai perbuatan yang baik dan berlimpah pahala. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 280).
Artinya, jika kalian menghapuskan semua pokoknya dari tanggungan si pengutang, maka hal itu lebih baik lagi bagi kalian.
Banyak hadits yang menerangkan keutamaan menghapus utang ini yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Nabi ﷺ.
Hadits pertama diriwayatkan dari Abu Umamah, yaitu As'ad ibnu Zurarah. Imam Ath-Thabarani mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Syu'aib Al-Murjani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hakim Al-Muqawwim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakr Al-Bursani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim ibnu Ubaidillah, dari Abu Umamah (yaitu As'ad ibnu Zurarah), bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang ingin mendapat naungan dari Allah pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, maka hendaklah ia memberikan kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan atau memaafkan utangnya.”
Hadits lain diriwayatkan dari Buraidah. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Juhadah, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang kesulitan, maka baginya untuk setiap harinya pahala sedekah yang senilai dengan piutangnya. Kemudian Buraidah menceritakan pula bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: "Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang sedang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang senilai dengan piutangnya untuk setiap harinya." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mendengarmu mengatakan, 'Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada berutang yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang senilai dengan piutangnya untuk setiap harinya.' Kemudian aku pernah mendengarmu bersabda, 'Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang dalam kesulitan, maka baginya pahala dua kali lipat sedekah piutangnya untuk setiap harinya'." Beliau ﷺ bersabda, "Baginya pahala sedekah sebesar piutangnya untuk setiap harinya sebelum tiba masa pelunasannya. Dan apabila masa pelunasannya tiba, lalu ia menangguhkannya, maka baginya untuk setiap hari pahala sedekah dua kali lipat piutangnya."
Hadits lain diriwayatkan dari Abu Qatadah, yaitu Al-Haris ibnu Rab'i Al-Ansari. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Al-Khatmi, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa Abu Qatadah mempunyai piutang pada seorang lelaki, dan setiap kali ia datang untuk menagih kepada lelaki itu, maka lelaki itu bersembunyi menghindar darinya. Maka pada suatu hari ia datang untuk menagih, lalu dari rumah lelaki itu keluar seorang anak kecil. Abu Qatadah menanyakan kepada anak itu tentang lelaki tersebut. Si anak menjawab, "Ya, dia berada di dalam rumah sedang makan ubi (makanan orang miskin)." Lalu Abu Qatadah menyerunya, "Wahai Fulan, keluarlah, sesungguhnya aku telah tahu bahwa kamu berada di dalam rumah." Maka lelaki itu keluar, dan Abu Qatadah bertanya, "Mengapa engkau selalu menghindar dariku?" Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya aku dalam kesulitan dan aku tidak memiliki sesuatu pun (untuk melunasi piutangmu)." Abu Qatadah berkata, "Beranikah kamu bersumpah dengan nama Allah bahwa kamu benar-benar dalam kesulitan?" Ia menjawab, "Ya." Maka Abu Qatadah menangis, kemudian berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya atau menghapuskannya, maka dia berada di bawah naungan Arasy kelak pada hari kiamat.” (Riwayat Imam Muslim di dalam kitab sahihnya). Hadits lain diriwayatkan dari Huzaifah Ibnul Yaman.
Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Akhnas (yaitu Ahmad ibnu Imran), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Malik Al-Asyja'i, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Dihadapkan kepada Allah seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya di hari kiamat, lalu Allah bertanya, "Apakah yang telah engkau amalkan untuk-Ku ketika di dunia?" Ia menjawab, "Aku tidak pernah beramal barang seberat zarrah pun untuk-Mu, wahai Tuhanku, ketika aku di dunia. Maka kumohon Engkau memaafkannya." Hal ini dikatakan oleh si hamba sebanyak tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya si hamba menambahkan, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku harta yang berlimpah, dan aku adalah seorang lelaki yang biasa bermuamalah dengan orang banyak. Dan termasuk kebiasaanku adalah memaafkan; aku biasa memaafkan orang yang dalam kesulitan, dan biasa memberi tenggang waktu kepada orang yang dalam kesulitan." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Allah ﷻ berfirman, "Aku lebih berhak untuk memberikan kemudahan, sekarang masuklah engkau ke surga."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah. Sedangkan Imam Muslim menambahkan, dan dari Uqbah ibnu Amir serta Abu Mas'ud Al-Badri, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa.
Menurut lafal yang ada pada Imam Al-Bukhari, disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut dari Nabi ﷺ yang bersabda: "Ada seorang pedagang yang biasa memberikan utang kepada orang-orang. Apabila ia melihat pengutang yang dalam kesulitan, maka ia berkata kepada anak buahnya, ‘Maafkanlah dia, mudah-mudahan Allah memaafkan kita.’ Maka Allah membalas memaafkannya."
Hadits lain diriwayatkan dari Sahl ibnu Hanif. Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Ya'qub), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abul Walid (yaitu Hisyam ibnu Abdul Malik), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, dari Abdullah ibnu Sahl ibnu Hanif; Sahl pernah menceritakan hadits kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang membantu orang yang berjihad di jalan Allah, atau orang yang berperang, atau orang yang berutang dalam kesulitannya, atau budak mukatab yang masih dalam ikatan perbudakannya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya (hari pembalasan).”
Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadits lain diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, dari Yusuf ibnu Suhaib, dari Zaid Al-Ama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang ingin dikabulkan doanya dan dilenyapkan kesusahannya, maka hendaklah ia membebaskan orang yang dalam kesulitan.”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Hadits lain diriwayatkan dari Abu Mas'ud, yaitu Uqbah ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Malik, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa seorang lelaki dihadapkan kepada Allah ﷻ, lalu Allah berfirman, "Apakah yang telah engkau amalkan di dunia?" Lelaki itu menjawab, "Aku tidak pernah beramal kebaikan barang seberat zarrah pun." Kalimat ini diucapkannya sebanyak tiga kali, setelah ketiga kalinya, si lelaki itu menambahkan, "Sesungguhnya aku telah diberi anugerah harta yang berlimpah oleh-Mu ketika di dunia, dan aku biasa melakukan jual beli dengan orang banyak. Aku selalu memberikan kemudahan kepada orang yang mampu dan biasa memberikan tenggang waktu kepada orang yang kesulitan." Maka Allah ﷻ berfirman: “Kami lebih berhak untuk melakukan hal itu daripada kamu, maafkanlah hamba-Ku ini oleh kalian.” Maka diberikan ampunan baginya. Abu Mas'ud mengatakan, "Demikianlah yang aku dengar dari Nabi ﷺ".
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Abu Malik, yaitu Sa'd ibnu Tariq, dengan lafal yang sama. Hadits lain diriwayatkan oleh Imran ibnu Husain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Al-A'masy, dari Abu Dawud, dari Imran ibnu Husain yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mempunyai suatu hak atas seorang lelaki, lalu ia menangguhkannya, maka baginya pahala sedekah untuk setiap hari (penangguhan)nya.”
Bila ditinjau dari jalur ini, hadits ini berpredikat gharib. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hal yang serupa dari Buraidah. Hadits lain diriwayatkan dari Abul Yusr, yaitu Ka'b ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yusr, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang yang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, kelak Allah ﷻ akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya (hari pembalasan).”
Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur yang lain, dari hadits Abbad ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang menceritakan, "Aku dan ayahku berangkat keluar untuk menuntut ilmu di kalangan kaum Anshar sebelum mereka tiada. Maka orang yang mula-mula kami jumpai adalah Abul Yusr, sahabat Rasulullah ﷺ.Ia ditemani oleh seorang pelayannya yang membawa seikat lontar catatan. Abul Yusr saat itu memakai baju burdah mu'afiri, dan pelayannya memakai pakaian yang sama. Lalu ayahku berkata kepada Abul Yusr, 'Wahai pamanku, sesungguhnya aku melihat roman wajahmu terdapat tanda-tanda kemarahan.' Ia menjawab, 'Memang benar, aku mempunyai sejumlah piutang pada si Fulan bin Fulan yang dikenal sebagai ahli memanah. Lalu aku datang kepada keluarganya dan aku bertanya, apakah dia ada di tempat. Keluarganya menjawab bahwa ia tidak ada. Lalu keluar dari rumahnya seorang anaknya yang masih kecil, maka kutanyakan kepadanya, 'Di manakah ayahmu?' Ia menjawab, 'Ia mendengar suaramu, lalu ia memasuki kamar ibuku.' Maka aku berkata, 'Keluarlah kamu untuk menemuiku, sekarang aku telah mengetahui di mana kamu berada.' Maka ia keluar, dan aku bertanya kepadanya, 'Mengapa engkau selalu menghindar dariku dan bersembunyi?' Ia menjawab, 'Demi Allah, aku akan berbicara kepadamu dan tidak akan berdusta. Aku takut, demi Allah, berbicara kepadamu, lalu aku berdusta atau aku menjanjikan kepadamu, lalu aku mengingkarinya, sedangkan aku adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ Demi Allah, sekarang aku sedang dalam kesusahan.' Aku berkata, 'Maukah engkau bersumpah kepada Allah?' Ia menjawab, 'Demi Allah.' Kemudian ia mengambil lontarnya, dan menghapusnya dengan tangannya, lalu ia berkata, 'Jika engkau telah punya, maka bayarlah kepadaku; dan jika kamu masih juga tidak punya, maka engkau kubebaskan dari utangmu.' Abul Yusr melakukan demikian karena ia pernah menyaksikan dan melihat dengan kedua matanya seraya mengisyaratkan kedua telunjuknya kepada kedua matanya sendiri dan ia pernah mendengar dengan kedua telinganya, serta hatinya telah menghafalnya dengan baik seraya mengisyaratkan ke arah ulu hatinya bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang kesusahan atau memaafkan (utang)nya, niscaya Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya.” Lalu Abul Yusr menuturkan hadits ini hingga selesai."
Hadits lain diriwayatkan dari Amirul Mukminin Usman ibnu Affan. Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Abu Yahya Al-Bazzar (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Usaid ibnu Salim Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl Al-Ansari, dari Hisyam ibnu Ziyad Al-Qurasyi, dari ayahnya, dari Mihjan maula Usman, dari Usman yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah memberikan naungan kepada seseorang di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu orang yang memberikan tenggang waktu kepada orang yang kesulitan atau memaafkan orang yang berutang (kepadanya).”
Hadits lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Ja'unah As-Sulami Al-Khurrasani, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar menuju masjid seraya bersabda dan mengisyaratkan tangannya seperti ini lalu Abu Abdur Rahman mengisahkan hadits ini seraya mengisyaratkan tangannya ke tanah: “Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, maka Allah akan melindunginya dari panas neraka Jahannam. Ingatlah, sesungguhnya amal surgawi itu (bagaikan mendaki) bukit yang terjal lagi tajam, diulangnya tiga kali; ingatlah, sesungguhnya amal neraka itu (bagaikan menempuh) dataran di atas batu besar. Orang yang berbahagia ialah orang yang dihindarkan dari berbagai fitnah; tiada suatu tegukan pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari mereguk kemarahan yang dilakukan oleh seorang hamba. Tidak sekali-kali seorang hamba Allah menahan kemarahannya, melainkan Allah memenuhi rongganya dengan iman.”
Hadits ini termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarani.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Baurani Kadi Hudaibiyyah, tempat Bani Rabi'ah; telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali As-Sada-i, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam Ibnul Jarud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abul Muttaidkhal ibnu Uyaynah, dari ayahnya, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang memberikan tenggang waktu kepada orang berutang yang kesulitan sampai masa kelapangannya, niscaya Allah akan menangguhkan dosa-dosanya sampai ia bertobat.”
Kemudian Allah memberikan wejangan kepada hamba-hamba-Nya dan mengingatkan mereka akan lenyapnya dunia ini dan semua yang ada padanya berupa harta benda dan lain-lainnya pasti lenyap. Sesudah itu mereka datang ke alam ukhrawi dan kembali kepada-Nya, lalu Allah melakukan perhitungan hisab kepada semua makhluk-Nya atas semua amal perbuatan yang telah mereka lakukan selama di dunia, kemudian Allah memberikan balasan-Nya kepada mereka sesuai dengan amal baik dan amal buruk mereka.
Ayat 281
Allah memperingatkan mereka tentang siksa-Nya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dizalimi (dirugikan).” (Al-Baqarah: 281)
Telah diriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan. Ibnu Luhaiah mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan di antara semuanya ialah firman Allah ﷻ: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah.Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dizalimi (dirugikan).” Al-Baqarah: 281).
Nabi ﷺ hidup selama sembilan malam sesudah ayat ini diturunkan, kemudian beliau wafat pada hari Senin, tanggal dua, bulan Rabi'ul Awwal. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui hadits Al-Mas'udi, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa akhir ayat Al-Qur'an dalam penurunannya ialah firman Allah ﷻ: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah.” (Al-Baqarah: 281)
Imam An-Nasai meriwayatkan melalui hadits Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah ﷻ: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dizalimi (dirugikan).” (Al-Baqarah: 281)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Adh-Dhahhak dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Ats-Tsauri meriwayatkan dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah ﷻ: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah.” (Al-Baqarah: 281) Tersebutlah bahwa antara turunnya ayat ini dan wafat Nabi ﷺ terdapat tenggang waktu selama tiga puluh satu hari.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman-Nya: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah.” (Al-Baqarah: 281), hingga akhir ayat. Ibnu Juraij mengatakan bahwa mereka (para sahabat) mengatakan, "Sesungguhnya usia Nabi ﷺ sesudah ayat ini diturunkan tinggal sembilan hari lagi; ayat diturunkan pada hari Sabtu, dan beliau ﷺ wafat pada hari Senin."
Ibnu Jarir dan Ibnu Atiyyah meriwayatkan dari Abu Sa'id, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: “Dan takutlah kalian (azab yang terjadi) pada hari (ketika) kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dizalimi (dirugikan).” (Al-Baqarah: 281)
Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan untuk melunasi, atau bila dia membayar utangnya akan terjerumus dalam kesulitan, maka berilah dia tenggang waktu untuk melunasinya sampai dia memperoleh kelapangan. Jangan menagihnya jika kamu tahu dia dalam kesulitan, apalagi dengan memaksanya untuk membayar. Dan jika kamu menyedekahkan sebagian atau seluruh utang tersebut, itu lebih baik bagimu, dan bergegaslah meringankan yang berutang atau membebaskannya dari utang jika kamu mengetahui betapa besar balasannya di sisi Allah. Dan takutlah atau hindarilah siksa yang akan terjadi pada hari yang sangat dahsyat, yang pada saat itu kamu semua dikembalikan kepada Allah, yakni meninggal dunia kemudian dibangkitkan kembali. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi yakni tidak dirugikan, bahkan yang beramal saleh akan sangat diuntungkan oleh kemurahan Allah.
Ayat ini merupakan lanjutan ayat sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, dia wajib segera membayar utangnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Allah ﷻ menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya adalah lebih baik. Jika orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya.
Dari ayat ini dipahami juga bahwa:
1. Perintah memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya.
2. Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka kesulitan dalam membayar utang.
3 Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebagian maupun seluruhnya atau dengan cara lain yang baik.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
RIBA
Sesudah sampai tiga belas ayat banyaknya Allah menunjukkan jiwa yang subur, sudi memberi karena gemblengan iman, yang di-bentuk oleh ajaran Allah maka Allah membuka kembali kejahatan hidup zaman jahiliyyah. Islam menanamkan kasih sayang di antara yang kaya dan yang miskin, dengan menyuburkan rasa sedekah dan pengorbanan, sedangkan jahiliyah ialah memberi kesempatan bagi si kaya mengisap darah si melarat untuk kepentingan diri sendiri. Yang terutama sekali ialah riba.
Apakah riba jahiliyah itu?
Dimisalkan si A sangat terdesak, entah hendak berniaga, entah hendak bercocok tanam, hartanya tidak ada, lalu dia pergi meminjam modal kepada yang mampu. Misalnya Rp1.000 dan berjanji dibayar dalam setahun. Setelah genap setahun, karena uang pembayar itu belum cukup, datanglah yang berutang itu kepada yang berpiutang menerangkan bahwa dia belum sanggup membayar sekarang. Maka, yang empunya uang berkata, “Bolehlah engkau bayar tahun depan saja asalkan lipat dua: utang Rp1.000 menjadi Rp2.000. Kalau belum juga terbayar tahun itu sehingga minta tangguh setahun lagi, boleh juga asalkan utang yang Rp2.000 menjadi Rp4.000. Akibatnya, bukanlah membantu, bukan memberi waktu, melainkan mencekik leher si melarat tadi, sehingga walaupun bagaimana dia mengangsur utang, sisa yang tinggal bertambah membuat dia melarat. Kadang-kadang harta bendanya yang ada habis licin tandas, bahkan sampai matinya menjadi utang pula kepada keluarganya yang tinggal. Inilah gambar dari riba jahiliyah itu, yang dikenal juga namanya dengan riba nasi'ah atau riba memberi tempo, yaitu memberi tempo, bukan melapangi si berutang, melainkan memperkaya yang berpiutang dan membuat melarat yang dipiutangi. Diperpanjang tempo, tetapi dipersempit bagi berutang. Maka, setelah diterangkan faedah bersedekah, sekarang diterangkanlah bahaya riba,
Ayat 275
“Orang-orang yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan."
Mengapa sampai demikian dia? Sampai seperti orang dirasuk setan? Sehingga wajahnya pun kelihatan bengis, matanya melotot penuh benci? Tetapi mulutnya manis mem-bujuk-bujuk orang supaya suka berutang ke-padanya? Sebelum orang itu jatuh ke dalam perangkapnya yang payah melepaskan diri? “Menjadi demikian karena sesungguhnya mereka berkata, ‘Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga."‘ Artinya, karena dia hendak membela pendiriannya menernakkan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itu pun serupa juga dengan pekerjaannya memakan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau sama-sama mencari makan. Keadaannya jauh berbeda. Berdagang ialah si saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah. Yang menjual mendapat untung, sedangkan yang membelinya mendapatuntung pula karena yang diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya, dia dihalalkan Allah. Bagaimana dia akan diserupakan dengan mencari keuntungan secara riba? Padahal dengan riba, yang berutang dianiaya, diisap kekayaannya, dan yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?
“Lantaran itu, barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti," dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka baginyalah apa yang telah berlalu." Artinya, yang sudah-sudah itu sudahlah! Kalau dia selama ini telah menangguk keuntungan dari riba, tidaklah perlu dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu; sama saja dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada tuntutan lagi kalau telah Islam."Dan perkaranya terserahlah kepada Allah," sehingga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali sebab yang demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah yang tidak senonoh itu.
“‘Akan tetapi, barangsiapa yang kembali (lagi)," padahal ketenangan yang sejelas ini sudah diterimanya, “maka mereka itu menjadi ahli neraka; mereka akan kekal di dalamnya."
Riba adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba tidak sedikit pun sesuai dengan kehidupan orang beriman. Kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang melakukan itu, sekarang karena sudah menjadi Muslim semua, hentikanlah hidup yang hina itu. Kalau telah berhenti, dosa-dosa yang lama itu habislah hingga itu, bahkan diampuni oleh Allah. Kalau dari harta keuntungan riba mereka mendirikan rumah, tidak usah rumah itu dibongkar. Mulai sekarang, hentikan sama sekali. Akan tetapi, kalau ada yang kembali kepada hidup makan riba itu, samalah dengan
setelah Islam kembali menyembah berhala; sama kekalnya dalam neraka.
Ayat 276
“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah."
Riba mesti dikikis habis sebab itu ter-pangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat. Dengan ini, ditegaskan bahwa berkah dari riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang membawa sial, membawa dendam dan kebencian. Kata-kata riba amat jahat. Kalau penyakit riba menjalar, kalau disebut orang “orang kaya", benci dan dendamlah yang timbul, sama dengan menyebut Kapitalisme dalam ukuran besar. Asal disebut kata kapitalisme, rasa benci yang timbul terlebih dahulu dan rasa dendam. Akan tetapi, Allah menyuburkan sedekah-sedekah sebab Dia mempertautkan kasih sayang di antara hati si pemberi dan si penerima, yang bersedekah dengan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang bantu-membantu, sokong-menyokong, doa-mendoakan. Maka, jika disebut kalimat orang kaya, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan, dan doa. moga-moga ditambah Allah rezekinya.
“Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang sangat ingkar, lagi pembuat dosa."
Sudah diterangkan manfaat masyarakat bersedekah bantu-membantu dan diterangkan pula celaka masyarakat yang orang kaya pun hidup dari makan riba. Kalau masih juga timbul makan riba dalam masyarakat demikian, nyatalah orang pemakan riba itu sudah sangat ingkar, sangat menolak kebenaran, tidak peduli kepada peraturan Allah yang tidak ada mempunyai rasa belas kasihan kepada sesama manusia. Akan berlarut-larut mereka dalam dosa. Kalau Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidak suka kepada orang yang demikian, itu adalah ancaman bahaya yang akan menimpa mereka. Bahaya kacaunya masyarakat dan suburnya rasa dendam serta benci. Orang kaya akan menjadi timbunan benci dan dendam dari orang yang miskin.
Inilah ancaman yang telah disampaikan Allah dengan wahyu kepada Nabi Muhammad saw, empat belas abad yang lalu, yang kian lama kian terasa sekarang, sehingga pertentangan antara the have (yang punya) dan the have not (yang tidak punya) telah menimbulkan Kapitalisme kemudian Imperialisme dan kemudian Kolonialisme, perjuangan kelas, pertentangan buruh dengan majikan. Sehingga, ada orang yang hidup senang, tidak pernah berusaha, hanya semata-mata dari memakan bunga uangnya yang diletakkannya dalam bank yang besar-besar. Dan, tidaklah berhenti ahli-ahli pikir berusaha membanting pikiran mencari jalan kelepasan dari kesulitan-kesulitan ini, di antaranya timbulnya ajaran Sosialisme. Akan tetapi, Sosialisme itu pun gagal karena dia hanya teori manusia dengan mengenyampingkan nilai bentukan moral dan mental manusia.
Ayat 277
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh, dan mereka pun mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, untuk mereka pahala di sisi Tuhan, dan tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Masyarakat orang yang beriman dan beramal saleh itu tidak mungkin menimbulkan riba. Ini karena baik dia kaya maupun miskin, keduanya bergabung dalam satu kepercayaan dan satu ukhuwah (persaudaraan) serta tergabung dalam satu jamaah. Di dalam masjid tidak terhitung lagi mana yang kaya dan mana yang miskin karena semuanya menghadap kepada di satu tujuan, yaitu mengharapkan ridha Allah ﷻ.
***
Ayat 278
“Wahai, orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa dari rniba itu, jikalau benar-benar kamu orang-orang yang beriman."
Orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Yang kaya kalau hendak memberi piutang tidaklah bermaksud hendak memeras keringat dan tenaga sesama manusia. Yang miskin mengelak jauh-jauh dari memberikan kesempatan orang kaya untuk memeras dirinya. Di dalam ayat ini diperingatkan Allah pada orang-orang yang beriman setelah masyarakat Muslim terbentuk di Madinah, kalau masih ada sisa-sisa hidup dengan riba itu, mulai sekarang hendaklah hentikan.
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu larir dan Ibnu Mundzir serta Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri paman Nabi ﷺ sendiri yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyyah mendirikan satu perkongsian dengan seseorang dari bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka ialah menernakkan uang (makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seseorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Abbas kemudian masuk Islam. Setelah datang zaman Islam, datanglah peraturan ini, yaitu bahwa sisa-sisa riba jahiliyah itu ditinggalkan sama sekali. Artinya orang yang berutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang diutangnya dahulu itu saja. Kalau kamu telah mengaku termasuk orang beriman, tinggalkan pekerjaan itu sama sekali. Itulah tanda beriman sebab cinta kepada harta telah kamu ganti dengan cinta kepada Allah.
Ayat 279
“Akan tetapi, jika tidak kamu kerjakan begitu."
Artinya, kamu telah mengaku beriman, padahal makan riba masih diteruskan juga, “Maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya." Inilah suatu peringatan yang amat keras, yang dalam bahasa kita zaman sekarang bisa disebut ultimatum dari Allah. Menurut penyelidikan kami, tidak terdapat dosa lain yang mendapat peringatan sekeras ancaman terhadap meneruskan riba ini.
Ancaman yang demikian sudahlah patut sebab riba adalah suatu kejahatan yang meruntuh sama sekali hakikat dan tujuan Islam dan iman. Dia menghancur leburkan ukhuwah yang telah ditanamkan sesama orang ber-iman dan sesama manusia. Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia. Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ke tahun menerima kekayaan yang limpah-melimpah, padahal dia tidak bekerja dan berusaha, sedangkan yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat orang lain, sedangkan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja; dia menjadi budak selama dalam berutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu dia dapat. Kalau sudah ada manusia yang hidup dengan cara begini, percumalah rasanya menegakkan ibadah dengan jamaah.
“Namun, jika kamu bertobat maka bolehlah kamu ambil pokok harta kamu; tidak kamu dianiaya dan tidak pula kamu menganiaya."
Di sini diterangkan bahwa meneruskan hidup dengan riba setelah menjadi orang Islam berarti memaklumkan perang kepada Allah dan Rasul. Dengan ancaman yang keras itu, dapatlah dipahamkan bahwasanya seluruh harta yang diperibakan itu, baik yang dipinjamkan, maupun bunganya dari harta itu, semuanya menjadi harta yang haram; kelanjutannya ialah bahwa daulah islamiyah berhak merampas seluruh harta itu, baik modal pokok maupun bunganya. Akan tetapi, kalau kamu telah tobat, tidak hendak melanjutkan lagi kehidupan yang jahat itu maka harta yang kamu pinjamkan sebanyak jumlah asalnya, bolehlah kamu ambil kembali. Tidak kamu akan dianiaya. Artinya, dengan perlindungan daulah islamiyah, harta kamu itu dapat diminta kembali kepada yang berutang. Kalau dia tidak mau membayar, daulah islamiyah boleh diminta turun tangan untuk mengambil harta itu dengan paksa. Kamu pun jangan pula menganiaya.
Di dalam ayat “tidak kamu akan dianiaya" ini pun terkandungsiiaturahimyangmendalam sekali. Misalnya uangmu telah berbulan-bulan dipinjamnya, sedangkan kamu tidak boleh, telah haram memakan riba dari harta itu maka Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan qardh, yaitu suatu perbuatan “timbang rasa" dari si peminjam. Setelah uang kontannya dibayar, kalau engkau ada perasaan, hendaklah engkau beri dia hadiah ala kadarnya, tanda terima kasih. Riba diharamkan, qardh dianjurkan.
Kemudian datang ayat lanjutan tuntunan iman,
Ayat 280
“Dan, jika ada yang kesusahan maka berilah tempo sampai kelapangan."
Ini sudah menjadi tuntunan kepada orang yang beriman. Hanya orang yang beriman yang mau memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya. Apatah lagi kalau yang berutang itu orang yang beriman seperti dia pula. Jangan dia didesak-desak, karena imannya, niscaya utangnya akan dibayarnya; berilah dia kesempatan.
“Akan tetapi, kalau kamu bersedekah, adalah itu lebih baik buat kamu, jikalau kamu ketahui."
Itulah lanjutan jiwa pembangunan masyarakat orang yang beriman. Alangkah baik dan mesranya jika seseorang yang berutang datang meminta maaf dan memohon diberi tempo agar sekian bulan lalu disambut oleh yang memberi utang dengan perkataan, “Utangmu itu telah aku lepaskan. Engkau tidak berutang lagi." Ayat berkata bahwa cara begini jikalau kamu pikirkan, adalah amat baik bagi dirimu sendiri. Dengan demikian, kamu telah menaikkan tingkat budimu. Dia akan berkesan dalam jiwamu sendiri, menjadi dermawan, dan mengokohkan ukhuwah dengan yang diberi utang.
Sebagai penutup dari ayat riba, yang dijiwai dengan membentuk iman dan pergaulan aman damai, kasih dan sayang, di akhir persoalan riba itu ditutuplah dengan ayat,
Ayat 281
“Dan hendaklah kamu takut akan suatu hari, yang di hari itu kamu akan dikembalikan kepada Allah."
Jika hari itu datang, segala harta benda yang membuat kepala pusing di dunia ini tidaklah ada yang akan dibawa mati. Hanya tiga iapis kain kafan, tidak lebih. Itu pun akan hancur dalam bumi, akan kembali kepada Tuhan. Kalau kita pikirkan dalam-dalam apa arti yang terkandung dalam kata kembali, niscaya kita akan merenung panjang. Orang yang kembali ialah orang yang pergi meninggalkan tempat bermula lalu dia kembali pulang. Kalau dipikir-pikir dari segi lain, kita kembali mungkin tidak ada. Sebab, Allah selalu di dekat kita, Dia tidak jauh dari kita. Akan tetapi, pikiran dan wajah hidup kita ini kerap kali lupa bahwa Allah ada di dekat kita atau kita lupa kepada-Nya, sedangkan Dia tidak pernah melupakan kita. Maut adalah kembali kepada Allah yang sebenarnya. Karena, pada waktu itu kita mulai insaf bahwa yang kita tuju adalah Allah. Hanya kemewahan hidup dan harta benda dunia ini juga yang kerap menyebabkan kita lupa."Kemudian akan disempurnakan ganjaran tiap-tiap orang dari apa yang telah mereka usahakan." Artinya, setelah kembali kepada Allah itu, setelah meninggalkan dunia dan masuk ke alam akhirat, akan datanglah waktu perhitungan. Perhitungan itu amat sempurna dan amat teliti; dikaji satu demi satu. Dipertimbangkan (mizan) mana yang lebih berat, amalan yang baikkah atau amalan yang buruk,
“Dan tidaklah mereka akan dianiaya."
Allah tidak ada berkepentingan dalam penganiayaan. Sebab, orang yang menganiaya ialah karena dia mendapat keuntungan dari menganiaya itu. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah bergembira sekali dapat memberikan ganjaran dan pahala kepada orang yang berbuat baik. Sebab itu, kalau iman telah tumbuh dalam hati, tidaklah mungkin seorang Mukmin mencari keuntungan dengan merugikan orang lain. Sehingga, ujung ayat perkara riba ini pun adalah perbandingan yang dalam di antara kasih Allah di akhirat kelak kepada hamba-Nya dengan kejahatan tukang makan riba yang menggaruk keuntungan dengan memeras keringat orang lain.
Menurut beberapa riwayat, ayat riba di dekat akhir surah al-Baqarah ini adalah ayat yang turun kemudian sekali kepada Rasulullah. Dan, dalam satu riwayat dari Tabi'in Said bin Jubair, hanya sembilan hari saja setelah ayat ini turun, wafatlah Nabi kita.