Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka bertanya kepadamu
مَاذَا
apa yang
يُنفِقُونَۖ
mereka nafkahkan
قُلۡ
katakanlah
مَآ
apa
أَنفَقۡتُم
kamu nafkahkan
مِّنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebajikan/harta
فَلِلۡوَٰلِدَيۡنِ
maka untuk kedua orang tuamu
وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
dan kaum kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنِ
dan orang-orang yang
ٱلسَّبِيلِۗ
perjalanan
وَمَا
dan apa saja
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebajikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka bertanya kepadamu
مَاذَا
apa yang
يُنفِقُونَۖ
mereka nafkahkan
قُلۡ
katakanlah
مَآ
apa
أَنفَقۡتُم
kamu nafkahkan
مِّنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebajikan/harta
فَلِلۡوَٰلِدَيۡنِ
maka untuk kedua orang tuamu
وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
dan kaum kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنِ
dan orang-orang yang
ٱلسَّبِيلِۗ
perjalanan
وَمَا
dan apa saja
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebajikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan (dan membutuhkan pertolongan).” Kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Tafsir
(Mereka bertanya kepadamu) hai Muhammad (tentang apa yang mereka nafkahkan) Yang bertanya itu ialah Amar bin Jamuh, seorang tua yang hartawan. Ia menanyakan kepada Nabi ﷺ apa yang akan dinafkahkan dan kepada siapa dinafkahkannya? (Katakanlah) kepada mereka (Apa saja harta yang kamu nafkahkan) 'harta' merupakan penjelasan bagi 'apa saja' dan mencakup apa yang dinafkahkan yang merupakan salah satu dari dua sisi pertanyaan, tetapi juga jawaban terhadap siapa yang akan menerima nafkah itu, yang merupakan sisi lain dari pertanyaan dengan firman-Nya, (maka bagi ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan), artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya. (Dan apa saja kebaikan yang kamu perbuat) baik mengeluarkan nafkah atau lainnya, (maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nafkah tatawwu' (sunat). As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini di-nasakh oleh zakat, tetapi pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan.
Makna ayat: Mereka bertanya kepadamu bagaimanakah caranya mereka memberi nafkah. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka Allah menjelaskan kepada mereka hal tersebut melalui firman-Nya: Katakanlah, "Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (Al-Baqarah: 215) Dengan kata lain, belanjakanlah harta tersebut untuk golongan-golongan itu.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits, yaitu: Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, kemudian orang yang lebih bawah (nasabnya) darimu dan yang lebih bawah lagi darimu. Maimun ibnu Mahram pernah membacakan ayat ini, lalu berkata, "Inilah jalur-jalur nafkah, tetapi di dalamnya tidak disebutkan gendang, seruling, boneka kayu, tidak pula kain hiasan dinding." Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Al-Baqarah: 215) Yakni kebajikan apa pun yang telah kamu lakukan, sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Dan kelak Dia akan memberikan balasannya kepada kamu dengan balasan yang berlimpah, karena sesungguhnya Dia tidak akan berbuat aniaya terhadap seseorang barang sedikit pun."
Diriwayatkan bahwa seorang pria lanjut usia dan kaya raya bernama Amr bin al-Jamuh al-Anshari bertanya kepada Rasulullah, Harta apa yang sebaiknya aku nafkahkan dan kepada siapa aku berikan' Allah lalu menurunkan ayat ini untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka bertanya kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, seperti saudara kandung, paman, bibi, dan anak-anak mereka, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Mereka hendaknya diprioritaskan untuk menerima infak sebelum orang lain. Infak pada ayat ini adalah sedekah yang bersifat anjuran, bukan zakat yang diwajibkan dalam agama dan telah ditentukan siapa yang berhak menerimanya seperti dibahas pada Surah at-Taubah/9: 60. Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Dalam ayat ini kata al-khair disebut dua kali; yang pertama berarti harta (al-ma'l) dan yang kedua berarti kebajikan dalam arti umum.
Selain diuji dengan kemiskinan dan kemelaratan, orang-orang beriman juga akan diuji dengan diminta mengorbankan jiwa mereka melalui kewajiban perang. Diwajibkan atas kamu berperang melawan orang-orang kafir yang memerangi kamu, padahal berperang itu tidak menyenangkan bagimu, sebab ia mengor-bankan harta benda dan jiwa. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, yakni boleh jadi kamu tidak menyukai peperangan, padahal itu baik bagimu karena kamu mendapat kemenangan atas orang-orang kafir atau masuk surga jika terbunuh atau kalah dalam peperangan, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui apa yang baik bagimu, sedang kamu tidak mengetahui. Karena itu, tunaikanlah perintah Allah yang pasti akan membawa kebaikan bagimu.
.
Ibnu 'Abbas meriwayatkan bahwa Amir bin al-Jamuh al-Ansari, orang yang telah lanjut usia dan mempunyai banyak harta, bertanya kepada Rasulullah saw, "Harta apakah yang sebaiknya saya nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu saya berikan?" Sebagai jawaban, turunlah ayat ini. Nafkah yang dimaksud dalam ayat ini, ialah nafkah sunah, yaitu sedekah, bukan nafkah wajib seperti zakat dan lain-lain.
Ayat ini mengajarkan bahwa apa saja yang dinafkahkan, banyak ataupun sedikit pahalanya adalah untuk orang yang menafkahkan itu dan tercatat di sisi Allah ﷻ sebagai amal saleh sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis yang berbunyi:
"Bahwasannya pahala perbuatanmu adalah kepunyaanmu. Akulah yang mencatatnya untukmu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr al-Giffari).
Sesuatu yang dinafkahkan hendaklah diberikan lebih dahulu kepada orang tua yaitu ibu-bapak, karena keduanya adalah orang yang paling berjasa kepada anaknya. Merekalah yang mendidiknya sejak dalam kandungan, dan pada waktu kecil bersusah payah dalam menjaga pertumbuhannya. Sesudah itu barulah nafkah diberikan kepada kaum kerabat, seperti anak-anak, saudara-saudara yang memerlukan bantuan. Mereka itu adalah orang-orang yang semestinya dibantu, karena kalau dibiarkan saja, akhirnya mereka akan meminta kepada orang lain, akibatnya akan memalukan keluarga, lalu kepada anak-anak yatim yang belum bisa berusaha untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk menutupi keperluannya, meringankan beban karena sekalipun mereka tidak ada hubungan famili, tetapi mereka adalah anggota keluarga besar kaum Muslimin, yang sewajarnya dibantu ketika mereka dalam kesusahan.
Apa saja yang dinafkahkan oleh manusia, Allah mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak boleh digembar-gemborkan, karena Allah-lah yang akan membalasnya dan memberikan pahala berlipat ganda menurut keikhlasan seseorang.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 211
“Tanyakanlah kepada Bani Israil berapakah sudah Kami berikan kepada mereka keterangan yang nyata?"
Kalau ditanyakan kepada mereka, berapa Musa telah memperlihatkan mukjizat? Berapa nabi-nabi yang lain berpuluh banyaknya telah membawa keterangan untuk menunjukkan mereka jalan yang benar? Niscaya Bani Israil akan mengakui bahwa mereka telah menerima banyak sekali. Kalau melihat riwayat Bani Israil itu tampaklah betapa kasih Allah kepada hamba-Nya. Benar-benar dituntun dan diberi penerangan, diberi nabi-nabi dan rasul-rasul berulang-ulang, sesudah pertolongan besar yang pertama yaitu pembebasan mereka dari penindasan Fir'aun dengan mukjizat yang luar biasa. Akan tetapi, bagaimana pula riwayat Bani Israil kemudiannya? Nikmat yang diberikan Allah berganda-ganda itu mereka sia-siakan, bahkan mereka lebih mengedepankan hawa nafsu. Peraturan Allah mereka tukar-tukar. Pemuka-pemuka agama membawa cara mereka sendiri-sendiri. Bagaimana jadinya Bani Israil kemudian? Bukankah mereka hancur lebur? Sampai bangsa Babil menawan, bangsa Mesir menawan, bangsa Yunani dan Romawi menawan sehingga habis kocar-kacir? Namun mereka masih berbangga mengatakan diri mereka “Bangsa pilihan Allah di muka bumi?" Maka berfirmanlah Tuhan tentang nasib mereka lantaran itu.
“Dan barangsiapa yang mengganti nikmat Allah sesudah datang kepadanya maka sesungguhnya Allah adalah amat keras siksaan-Nya."
Inilah undang-undang Tuhan yang berlaku terhadap Bani Israil, yang dapat dilihat nyata pada waktu ayat diturunkan. Maka, supaya bahaya begini jangan menimpa umat yang telah beriman kepada Muhammad ﷺ, pun yang telah disebut ummatan wasathan, sebaik-baik umat, sebagaimana kelak akan ditafsirkan dalam surah Aali Imraan. Untuk mencegah bahaya itulah maka pada ayat yang telah terdahulu tadi (ayat 208), umat yang beriman kepada Muhammad ﷺ disuruh memasuki Islam dalam keseluruhannya. As-silmi, mencari jalan damai, jalan bersatu, jangan berpecah memperturutkan hawa nafsu dan kehendak-kehendak sendiri. Yang satu pecahan tidak mau lagi mengenal kepada pecahan yang lain, semua pihak mengatakan bahwa merekalah yang benar, sedangkan semuanya masih mengakui orang Islam.
Kemudian, diberilah keterangan yang lebih jelas lagi, apa yang membawa pecah,
Ayat 212
“Dihiaskan bagi orang-orang yang kafir kehidupan dunia dan mereka hinakan orang-orang yang beriman."
Maksud kafir di sini tentu saja perangai dan dasar tempat tegak yang tidak benar. Terutama tidak mau menerima ajakan kepada persatuan, kepada as-silmi. Mengapa orang tidak mau diajak? Ialah karena mereka telah dirayu oleh kemegahan duniawi.
Hawa nafsu dan setan-setan itulah yang senantiasa menghabiskan keduniaan itu sehingga orang tetap di dalam kekafirannya. Segala kemegahan dunia, baik pangkat dan kedudukan yang tinggi, kekuasaan, kekayaan, maupun pengaruh, mengikatnya sehingga tidak kuat dia melepaskan diri, untuk masuk ke persatuan aqidah. Di Mekah, pemuka-pemuka Quraisy menolak Islam dengan keras karena ikatan adat lama pusaka usang, dan mereka terkemuka dalam hal itu. Orang kaya-kaya mereka menolak masuk kesatuan aqidah karena riba dihalangi, sedangkan kehidupan mereka ialah dari mengisap darah si miskin. Pemuka-pemuka Yahudi di Madinah tidak mau masuk meskipun kebenaran yang dibawa Muhammad ﷺ terang-terang sesuai dengan isi Taurat, yaitu tauhid, ialah karena dengki mengapa sekarang nabi bukan dari Bani Israil, dan pendeta-pendeta mereka keberatan masuk sebab kedudukan mereka menjadi pemuka agama sudah menjadi suatu kemegahan duniawi. Kaum munafik di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay tidak mau masuk, serba benci, mengapa sejak Muhammad datang, ke-pemimpinannya terhadap orang Madinah ke-lindungan oleh cahaya nubuwat Muhammad. Maka, semuanya itu merasa dirinya jatuh kalau sekarang menjadi orang yang beriman kepada Muhammad ﷺ, “Padahal orang-orang yang bertakwa itu akan lebih atas dari mereka di hari kiamat!' Maka, oleh sebab yang mereka pikirkan hanya kemegahan dunia, tidak memikirkan hari depan, hari bahagia karena iman, mereka tidak mau turut dalam rombongan orang yang bertakwa itu.
“Dan Allah mengaruniakan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tiada dihitung."
Kemudian, Tuhan terangkan tentang kesatuan umat manusia,
Ayat 213
“Adalah manusia itu umat yang satu."
Pangkal ayat ini adalah satu dasar ilmu sosiologi yang ditanamkan oleh Islam, untuk direntang panjang oleh alam pikiran yang cerdas dan sudi menyelidik. Manusia seluruhnya ini pada hakikatnya adalah umat yang satu. Artinya, walaupun berbeda warna kulitnya, berlainan bahasa yang dipakainya, berdiam di berbagai benua dan pulau, tetapi dalam perikemanusiaan mereka itu satu. Seluruh manusia sama-sama menggunakan akal untuk menyeberangi hidup ini. Hanya manusia saja di antara makhluk yang hidup di dalam bumi ini yang mempunyai akal. Dan, semua manusia itu pun satu dalam kehendak mencari yang bermanfaat dan menjauhi yang mudharat. Semua satu dalam keinginan akan laba dan ketakutan akan rugi.
Meskipun manusia satu pada hakikatnya, baik karena satu keturunannya dari Adam maupun karena satu corak jiwa dan akal, dalam kenyataannya dari mereka menjadi berpecah-belah. Dalam kenyataannya terjadi beribu macam bahasa. Dan, karena pengaruh iklim, terjadi perlainan warna kulit, ada yang sangat hitam, ada yang putih, ada yang merah, ada yang kuning. Dalam perbedaan itu, sekali-kali jelas juga kesatuannya. Oleh karena seluruh manusia berperasaan satu dan berkeadaan satu, dan satu perasaan mencari hakikat, berusahalah manusia itu dengan akal budi yang ada padanya mencari hakikat itu. Oleh sebab itu, bilamana digali orang bekas-bekas suku bangsa purbakala yang telah beribu tahun di satu daerah, yang kadang-kadang telah terbenam ke dalam lapis bumi sampai tiga puluh atau empat puluh meter, terdapatlah kehidupan manusia purbakala, baik di Mongolia dalam atau di Mohenjodaro (di wilayah Pakistan) sekarang atau di pulau-pulau Yunani bahwa ada persamaan keperluan hidup. Sampai kepada piring dan cangkir, perhiasaan badan, dan yang lebih menakjubkan lagi ialah terdapatnya persama-an kepercayaan bangsa-bangsa purbakala itu kepada Zat Yang Mahakuasa.
Macam-macam teori telah dikemukakan oleh ahli-ahli sejarah purbakala untuk menilai kenyataan yang didapati. Tanda-tanda kepercayaan kepada Tuhan terdapat pada timbunan di Yunani sebelum Homerus, serupa dalam banyak hal dengan yang didapati di Mongolia, dan ada pula perserupaan dengan yang didapati di Mohenjodaro. Penyelidikan sejarah itu semuanya membuktikan bahwa kepercayaan akan adanya Tuhan telah sama tumbuh dengan akal manusia. Dan, itulah yang dinamai “fitrah". Kepercayaan bukan semata kepercayaan, tetapi kepercayaan senantiasa diiringi oleh penyerahan diri, yang dalam bahasa Arab disebut “Islam" Sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa sejak asal semula manusia terjadi, Islam telah ada.
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini,"Adalah manusia umat yang satu, artinya, semuanya pada mulanya adalah Islam." Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim pun meriwayatkan daripada Ubay bin Ka'ab demikian, “Manusia itu adalah umat yang satu, yaitu seketika telah diperhatikan seluruh manusia itu dalam soal dan asal kejadian kepada Adam maka telah difitrahkan Allah dalam Islam dan telah mengikrarkan semua bahwa mereka menghambakan diri (ubudiyah) kepada Allah dan semuanya Islam. Sesudah Adam kemudian barulah mereka berselisih paham."
Lantas sambungan ayat, "Lalu Allah mengutus nabi-nabi membawa berita kesukaan dan berita ancaman, dan Dia turunkan bersama mereka akan kitab dengan kebenaran," Pada pangkal yang pertama sudah jelas bahwa manusia itu pada hakikatnya ialah satu. Dalam jiwanya pun adalah kesatuan kepercayaan sejak zaman purbakala bahwa ada Kekuasaan Mahatinggi atas alam ini, yang menurunkan hujan dan yang menjadikan awan, yang mem-berikan perlindungan dari ketakutan, dan juga yang memelihara ruh dari nenek yang telah mati. Berbagai usaha telah dibuat manusia untuk menghubungi Kekuasaan Mutlak itu. Tegasnya, bahwasanya dalam fitrah manusia ada kesatuan kepercayaan itu. Maka, kemudian itu, Yang Mahakuasa itu sendiri pun mengutuslah dalam kalangan manusia itu sendiri akan orang-orang pilihan yang disebut nabi atau rasul, menuntun kepercayaan yang murni itu dan mengakuinya. Memang Tuhan itu ada, memang Dialah Yang Mahakuasa. Dia bukan saja mengadakan, tetapi juga memelihara. Bukan saja memelihara, bahkan memberi kabar kesukaan bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan adzab bagi yang berbuat kejahatan. Dengan kedatangan nabi-nabi itu, kesatuan manusia tadi dipimpin melalui jalannya yang wajar sehingga benar-benar satu. Kepada manusia yang satu itu, tetapi selama ini belum tahu bahwa mereka adalah satu, oleh nabi-nabi itu diingatkanlah bahwa mereka memang adalah satu dan hakikat Kebenaran serta Kekuasaan Tertinggi itu pun adalah satu pula.
Bersama nabi-nabi itu diturunkan kitab dengan kebenaran, yaitu tuntunan bagi umat itu dalam mencari hakikat Yang Mahakuasa yang memang telah diakui adanya oleh akal murninya."Supaya (kitab) itu memberi keputu-san di antara manusia pada hal-hal yang mereka perselisihkan padanya',' terutama tentu pokok perselisihan sesudah mengakui akan ada-Nya, ialah tentang bagaimana keadaannya. Di sinilah yang kerap kali terjadi perselisihan manusia. Semuanya menurut fitrahnya mengakui ada. Akan tetapi, mereka berselisih apakah Dia itu satu atau berbilang? Secara istilah filsafat, apakah monoteisme atau polyteisme? Apakah tauhid atau syirik? Kitab-kitab itu menuntun kepada tauhid. Dalam sejarah perkembangan pikiran tentang ketuhanan memang selalu ada perselisihan di antara tauhid dan syirik. Dan, dalam sejarah pun terdapat bahwa pada pokoknya manusia tetap percaya akan satu Tuhan Yang Mahabesar, sedangkan tuhan-tuhan yang lain hanya di bawah kuasa-Nya jua. Orang Yunani mengakui bahwa Yang Mahakuasa Tertinggi hanya satu, yaitu Apollo!
Namun, setelah nabi-nabi itu datang dan pergi, dan kitab-kitab telah tinggal, ternyata timbul lagi perselisihan. Mengapa jadi timbul perselisihan? Lanjutan ayat menerangkan dengan jelas, “Dan tidaklah berselisih tentang (kitab) itu, melainkan orang-orang yang telah diberikan kepada mereka. Sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan, lantaran dengki di antara mereka." Inilah rahasianya!
Kitab-kitab sudah banyak, catatan pun ada, tetapi perselisihan timbul juga. Sebabnya ialah dengki. Walaupun manusia itu hakikatnya adalah satu, tetapi dalam dirinya sendiri-sendiri terdapat pula rangsangan-rangsangan hawa nafsu yang membawa perselisihan. Adapun orang-orang yang bersaudara seibu sebapak kadang-kadang berselisih dan bertengkar lebih hebat daripada perselisihan dan pertengkaran mereka dengan orang lain. Kadang-kadang orang mau bersatu semua, tetapi semuanya pula ingin memimpin. Semua ingin bersatu, tetapi tidak semua ingin dipimpin. Maka, terombang-ambinglah kebenaran oleh hawa nafsu manusia dan timbullah perpecahan umat yang pada hakikatnya adalah satu, oleh nafsu perpecahan yang ada pada manusia.
Akan tetapi, dapatkah manusia terlepas dari perselisihan ini? Ujung ayat memberikan penegasan, “Maka, Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman, dari hal yang diperselisihkan oleh orang-orang itu dengan kebenaran, atas izin-NyaMaka, dengan petunjuk Allah dapatlah orang-orang yang beriman itu, orang-orang yang percaya itu, mengatasi segala perselisihan dan langsung menuju kepada hakikat yang asli, yaitu bahwa umat manusia adalah umat yang satu. Satu sejak dalam fitrahnya, mengakui bahwa Allah itu Esa adanya. Dan, percayalah mereka kepada kesatuan seluruh kitab dan kesatuan seluruh nabi. Mereka akuilah sekalian nabi itu, baik yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an maupun tidak. Dan, mereka pun berimanlah bahwa Nabi Musa pernah membawa kitab wahyu yang bernama Taurat dan Nabi Isa membawa kitab suci yang bernama Injil. Dan, nabi-nabi yang lain membawa pula Zabur-Zabur dan shuhuf. Semuanya itu diperkenalkan di dalam kitab yang terakhir yang mereka terima, yaitu Al-Qur'an. Mereka percaya bahwa kitab-kitab suci itu memang pernah ada. Dan, terhadap catatan-catatan yang sekarang ini, karena telah banyak campur tangan manusia, beratus kali salinan, telah banyaklah hal yang meragukan padanya. Meskipun kalau dicari dengan saksama, tetapi pelajaran kesatuan itu masih ada di dalamnya. Untuk menghilangkan keraguan beragama, dihimpunkanlah semuanya kepada kitab terakhir, ialah Al-Qur'an.
“Dan Allah memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus."
Oleh sebab janji Tuhan bahwa Dia akan memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, selalulah umat beriman berdoa dalam shalatnya yang sekurang-kurangnya lima waktu sehari semalam, supaya dia diberi petunjuk itu. Dan, orang yang lain pun, meskipun mereka dalam lingkungan Yahudi atau Nasrani; Budha ataupun Hindu, Khong Hu Chu atau Lao Tse, mudah saja bagi Allah memberi mereka petunjuk kalau Allah meng-hendaki-Nya. Sebab, kitab kebenaran masih terbuka terus untuk dibaca oleh semua orang.