Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
عِدَّةَ
bilangan
ٱلشُّهُورِ
bulan
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
ٱثۡنَا
dua
عَشَرَ
belas
شَهۡرٗا
bulan
فِي
didalam
كِتَٰبِ
ketetapan
ٱللَّهِ
Allah
يَوۡمَ
pada hari
خَلَقَ
Dia menciptakan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَ
dan bumi
مِنۡهَآ
diantaranya
أَرۡبَعَةٌ
empat
حُرُمٞۚ
yang dihormati
ذَٰلِكَ
demikian itu
ٱلدِّينُ
agama
ٱلۡقَيِّمُۚ
yang lurus
فَلَا
maka jangan
تَظۡلِمُواْ
kamu menganiaya
فِيهِنَّ
didalamnya
أَنفُسَكُمۡۚ
diri kalian sendiri
وَقَٰتِلُواْ
dan perangilah
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
كَآفَّةٗ
semuanya
كَمَا
sebagaimana
يُقَٰتِلُونَكُمۡ
mereka memerangi kamu
كَآفَّةٗۚ
semuanya
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
beserta
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
إِنَّ
sesungguhnya
عِدَّةَ
bilangan
ٱلشُّهُورِ
bulan
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
ٱثۡنَا
dua
عَشَرَ
belas
شَهۡرٗا
bulan
فِي
didalam
كِتَٰبِ
ketetapan
ٱللَّهِ
Allah
يَوۡمَ
pada hari
خَلَقَ
Dia menciptakan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَ
dan bumi
مِنۡهَآ
diantaranya
أَرۡبَعَةٌ
empat
حُرُمٞۚ
yang dihormati
ذَٰلِكَ
demikian itu
ٱلدِّينُ
agama
ٱلۡقَيِّمُۚ
yang lurus
فَلَا
maka jangan
تَظۡلِمُواْ
kamu menganiaya
فِيهِنَّ
didalamnya
أَنفُسَكُمۡۚ
diri kalian sendiri
وَقَٰتِلُواْ
dan perangilah
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
كَآفَّةٗ
semuanya
كَمَا
sebagaimana
يُقَٰتِلُونَكُمۡ
mereka memerangi kamu
كَآفَّةٗۚ
semuanya
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
beserta
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
Terjemahan
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
(Sesungguhnya bilangan bulan) jumlah bulan pertahunnya (pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam Kitabullah) dalam Lohmahfuz (di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya) bulan-bulan tersebut (empat bulan suci) yang disucikan, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. (Itulah) penyucian bulan-bulan yang empat tersebut (agama yang lurus) artinya agama yang mustaqim (maka janganlah kalian menganiaya dalam bulan-bulan tersebut) dalam bulan-bulan yang empat itu (diri kalian sendiri) dengan melakukan kemaksiatan. Karena sesungguhnya perbuatan maksiat yang dilakukan dalam bulan-bulan tersebut dosanya lebih besar lagi. Menurut suatu penafsiran disebutkan bahwa dhamir fiihinna kembali kepada itsnaa `asyara, artinya dalam bulan-bulan yang dua belas itu (dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya) seluruhnya dalam bulan-bulan yang dua belas itu (sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang takwa) pertolongan dan bantuan-Nya selalu menyertai mereka.
Tafsir Surat At-Taubah: 36
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Bakrah, bahwa Nabi ﷺ berkhotbah dalam haji wada'nya. Antara lain beliau ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram; yang lainnya ialah Rajab Mudar, yang terletak di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Syaban.” Lalu Nabi ﷺ bertanya, "Ingatlah, hari apakah sekarang?" Kami (para sahabat) menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi ﷺ diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau bersabda, “Bukankah hari ini adalah Hari Raya Kurban?" Kami menjawab, "Memang benar." Kemudian beliau ﷺ bertanya, "Bulan apakah sekarang?" Kami menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau ﷺ diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya.
Lalu beliau ﷺ bersabda, "Bukankah sekarang ini bulan Zulhijjah?" Kami menjawab, "Memang benar." Kemudian beliau ﷺ bertanya, "Negeri apakah ini?" Kami menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau ﷺ diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau ﷺ bersabda, "Bukankah negeri ini?" Kami menjawab, "Memang benar." Setelah itu Nabi ﷺ bersabda: “Maka sesungguhnya darah dan harta benda kalian menurut seingat (perawi) beliau mengatakan pula 'dan kehormatan kalian' diharamkan atas kalian seperti keharaman (kesucian) hari kalian sekarang, dalam bulan kalian, dan di negeri kalian ini. Dan kelak kalian akan menghadap kepada Tuhan kalian, maka Dia akan menanyai kalian tentang amal perbuatan kalian. Ingatlah, janganlah kalian berbalik menjadi sesat sesudah (sepeninggal)ku, sebagian dari kalian memukul (memancung) leher sebagian yang lain. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan? Ingatlah, hendaklah orang yang hadir (sekarang) di antara kalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, karena barangkali orang yang menerimanya dari si penyampai lebih memahaminya daripada sebagian orang yang mendengarnya secara langsung.”
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir dan lain-lainnya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi diantaranya empat bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram, sedangkan lainnya ialah Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.”
Al-Bazzar meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ma'mar dengan sanad yang sama, kemudian ia mengatakan bahwa tidak diriwayatkan melalui Abu Hurairah kecuali melalui jalur ini. Ibnu Aun dan Qurrah telah meriwayatkannya dari Ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Abdur Rahman Al-Masruqi, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Hubab, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabazi, telah menceritakan kepadaku Sadaqah ibnu Yasar, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan khotbahnya dalam haji wada' di Mina pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Antara lain beliau ﷺ bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, empat bulan di antaranya ialah bulan-bulan haram (suci); yang pertama ialah Rajab Mudar yang jatuh di antara bulan Jumada dan Syaban. lalu Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram.”
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan hal yang serupa atau sama dengan hadits di atas, dari hadits Musa ibnu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar.
Hammad ibnu Salamah mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari pamannya yang berpredikat sebagai sahabat. Paman Abu Hamzah Ar-Raqqasyi mengatakan bahwa ia memegang tali kendaraan unta Rasulullah ﷺ pada pertengahan hari-hari Tasyriq seraya menguakkan orang-orang agar menjauh darinya. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya zaman itu berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan itu di sisi Allah ada dua belas bulan menurut ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram (suci), maka janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu.”
Sa'id ibnu Mansur mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “di antaranya empat bulan haram (suci).” (At-Taubah: 36) Yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Muharram, dan Zulhijjah.
Mengenai sabda Rasulullah ﷺ dalam salah satu hadits, yaitu: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.” Hal ini merupakan taqrir (pengakuan) dari Rasulullah ﷺ dan sebagai pengukuhan terhadap urusan itu sesuai dengan apa yang telah dijadikan oleh Allah ﷻ sejak semua, tanpa mendahulukan dan menangguh-nangguhkan dan mengganti. Seperti yang disabdakannya sehubungan dengan keharaman (kesucian) kota Mekah, yaitu: “Sesungguhnya kota ini disucikan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka kota ini tetap suci karena disucikan oleh Allah ﷻ sampai hari kiamat.” Hal yang sama dikatakannya pula dalam bab ini, yaitu: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.”
Dengan kata lain, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya sejak diciptakan oleh Allah yakni tetap berputar sebagai suatu ketetapan dari-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Sebagian ulama tafsir dan ahli ilmu kalam telah mengatakan berkenaan dengan hadits tersebut, bahwa yang dimaksud dengan sabdanya, "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi", sesungguhnya hal itu bertepatan dengan haji yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ di tahun itu, yaitu dalam bulan Zulhijjah.
Orang-orang Arab di masa dahulu pun sering menangguh-nangguhkan bulan haram ini. Selama bertahun-tahun mereka selalu mengerjakan hajinya di luar bulan Zulhijjah, bahkan kebanyakan ibadah haji mereka dilakukan di luar bulan Zulhijjah. Dan mereka menduga bahwa haji yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq dalam tahun sembilan Hijriah dilakukan di bulan Zulkaidah. Tetapi kebenaran pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, seperti apa yang akan kami jelaskan dalam pembahasan tentang Nasi.
Hal yang lebih aneh daripada ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarani dari sebagian ulama Salaf dalam sejumlah hadits yang menyatakan, "Sesungguhnya haji kaum muslim, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani pernah bertepatan dalam hari yang sama, yaitu Hari Raya Kurban pada tahun haji wada'."
Syekh Alamuddin As-Sakhawi di dalam kitabnya Al-Masyhurfi Asmail Ayyam wasy Syuhur telah menyebutkan bahwa bulan Muharram di namakan Muharram karena ia merupakan bulan yang diharamkan (disucikan).
Menurut pendapat penulis (As-Sakhawi), dinamakan demikian untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab di masa lalu berpandangan labil terhadapnya, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedangkan di tahun yang lain mengharamkannya. Kata muharram dijamakkan menjadi muharramat, maharim, dan maharim.
Bulan Safar, dinamakan demikian karena rumah-rumah mereka kosong dari para penghuninya, sebab penghuninya pergi untuk berperang dan mengadakan perjalanan. Dikatakan safaral makanu, apabila tempat yang dimaksud kosong, tak berpenghuni. Dijamakkan menjadi asfar, sama wazannya dengan lafal jamal yang bentuk jamaknya ajmal.
Bulan Rabi'ul Awwal dinamakan demikian karena mereka menetap di rumahnya masing-masing. Al-irtiba' artinya tinggal di keramaian daerah tempat tinggal. Bentuk jamaknya adalah arbia, sama wazannya dengan lafal nasibun yang bentuk jamaknya ansiba. Dapat pula dijamakkan menjadi arba'ah, sama wazannya dengan ragifun yang bentuk jamaknya argifah. Rabi'ul Akhir sama ketentuannya dengan Rabi'ul Awwal.
Jumada, dinamakan demikian karena pada bulan itu air membeku. Menurut perhitungan mereka (orang-orang Arab di masa Jahiliah) bulan-bulan itu tidak berputar-putar tetapi pendapat As-Sakhawi kali ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, sebab bulan-bulan itu menurut mereka dikaitkan dengan hilal. Dengan demikian, berarti bulan-bulan itu harus berputar. Barangkali mereka menamakannya dengan sebutan Jumada pada awal mulanya ialah di saat air sedang membeku, seperti yang disebutkan oleh seorang penyair mereka, yaitu: “Dan malam hari dari bulan Jumada yang berkabut tebal, seorang hamba tidak dapat melihat tali pemancang kemah dalam kegelapannya. Dan anjing tidak ada yang melolong kecuali hanya sekali sebelum melilitkan ekornya pada moncongnya.”
Jumada dijamakkan menjadi jumadiyat, sama wazannya dengan lafal hubara yang jamaknya hubariyat. Lafal jumada terkadang di-muzakkar-kan dan terkadang di-muannas-kan, maka dikatakan Jumadil Ula dan Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, dan Jumadil Akhirah.
Rajab, berasal dari tarjib, artinya menghormat; dijamakkan dalam bentuk arjab, rajah, dan rajabat.
Sya'ban berasal dari sya'abai qabailu, artinya kabilah-kabilan itu mulai berpencar untuk mengadakan serangan. Dijamakkan dalam bentuk sya'abin dan Syabanat.
Ramadan berasal dari kata syiddatur ramda yang artinya panas yang terik. Bila dikatakan ramadatil fisalu, artinya anak-anak unta itu kehausan. Dijamakkan dalam bentuk ramadanat, ramadina dan armidah. As-Sakhawi mengatakan, "Pendapat orang yang mengatakan bahwa Ramadan berasal dari salah satu asma Allah merupakan suatu kekeliruan yang tidak dapat dijadikan pegangan dan tidak bisa dijadikan rujukan."
Menurut kami, memang ada sebuah hadits yang mengatakan demikian (bahwa Ramadan adalah salah satu dari asma Allah ﷻ), tetapi predikat hadisnya dha’if. Hal ini telah kami kemukakan di dalam permulaan Kitabus Siyam.
Syawwal berasal dari kata syalatil ibilu aznabaha lit taraq yang artinya unta itu mengangkat ekornya untuk kawin. Dijamakkan dalam bentuk syawawil, syawawil, dan syawalat.
Al-Qa'dah (Alkaidah), dapat juga disebut Al-Qi'dah. Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak mengadakan peperangan, tidak pula bepergian. Dijamakkan menjadi zawatul qadah.
Al-Hijjah dan Al-Hajjah, dinamakan demikian karena mereka melakukan haji di bulan itu. Dijamakkan menjadi zawatul hijjah.
Nama-nama hari ialah Ahad sebagai hari pertama, dijamakkan menjadi Ahad, Ahad dan Wahud. Kemudian hari Senin dijamakan menjadi Asanin. Selasa dengan bacaan panjang, yaitu Sulasa, yakni dapat di-muzakkar-kan dan di-mu'annas-kan: jamaknya Salasawat dan Asalis. Kemudian Arbia (hari Rabu), dijamakkan menjadi Arbi awat dan arabi. Khamis dijamakkan menjadi Akhmisah dan Akhamis. Lalu Jumu'ah dan Jum'ah atau Juma'ah dijamakkan menjadi Juma dan Juma'at. As-Sabt berasal dari kata As-Sabt, artinya terputus, karena bilangan hari telah habis padanya.
Di masa dahulu orang-orang Arab menamakan hari-hari dengan sebutan Awwal untuk hari pertama, lalu Ahwan, lalu Jubar, kemudian Dubar, lalu Mu'nis, lalu 'Arubah, dan terakhir Syubar. Salah seorang penyair dari kalangan orang-orang Arab Uraba dan Aribah di masa silam mengatakan: “Aku berharap untuk berusia panjang, dan sesungguhnya hari-hariku ialah Awwal atau Ahwan atau Jubar atau berikutnya, yaitu Dubar. Dan jika aku melewatkannya, maka Mu'nis atau 'Arubah atau Syubar.”
Firman Allah ﷻ: “Di antaranya empat bulan haram.” (At-Taubah: 36)
Hal ini diharamkan pula oleh orang-orang Arab di masa silam. Demikianlah menurut kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian besar dari mereka, kecuali sejumlah orang dari kalangan mereka yang dikenal dengan sebutan golongan Al-Basal. Mereka mengharamkan delapan bulan dari setiap tahunnya sebagai ungkapan rasa fanatik dan pengetatan hukum atas diri mereka.
Adapun mengenai sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Tiga bulan di antaranya berturut-turut, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram; lalu Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan Sya'ban.” Sesungguhnya Rasulullah ﷺ meng-idafah-kan (mengaitkan)nya dengan Mudar, untuk menjelaskan kepada mereka kebenaran perkataan orang-orang Mudar terhadap bulan Rajab, bahwa bulan Rajab terletak di antara bulan Jumada dan Sya'ban. Bukan seperti yang diduga oleh orang-orang Rabi'ah yang mengatakan bahwa bulan Rajab yang diharamkan (disucikan) ialah bulan yang terletak di antara bulan Sya'ban dan Syawwal, yaitu Ramadan sekarang. Maka Nabi ﷺ menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Rajab Mudar, bukan Rajab Rabi'ah.
Sesungguhnya bulan yang diharamkan ada empat, tiga bulan di antaranya berurutan letaknya, sedangkan yang satunya lagi terpisah; hal ini tiada lain demi menunaikan manasik haji dan umrah. Maka diharamkan (disucikan) satu bulan sebelum bulan haji, yaitu bulan Zulkaidah, karena mereka dalam bulan itu beristirahat tidak mau berperang; dan diharamkan bulan Zulhijjah karena dalam bulan itu mereka menunaikan ibadah haji dan sibuk dengan penunaian manasiknya.
Kemudian diharamkan pula satu bulan sesudahnya yaitu bulan Muharram agar orang-orang yang telah menunaikan haji pulang ke negerinya yang jauh dalam keadaan aman. Kemudian diharamkan bulan Rajab di pertengahan tahun, untuk melakukan ziarah ke Baitullah dan melakukan ibadah umrah padanya, bagi orang yang datang kepadanya dari daerah yang jauh dari Jazirah Arabia. Maka mereka dapat menunaikan ibadah umrahnya, lalu kembali ke negerinya masing-masing dalam keadaan aman.
“Itulah (ketetapan) agama yang lurus.” (At-Taubah: 36) Maksudnya, itulah syariat yang lurus yang harus diikuti demi mengerjakan perintah Allah sehubungan dengan bulan bulan yang haram yang dijadikan-Nya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya di dalam ketetapan Allah yang dahulu.
Dalam firman selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36)
Yakni dalam bulan-bulan Haram itu janganlah kalian berbuat zalim terhadap diri kalian sendiri, karena dalam bulan-bulan Haram itu sanksi berbuat dosa jauh lebih berat daripada dalam hari-hari lainnya. Sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan di dalam Kota Suci Mekah, berlipat ganda dosanya, karena ada firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan siapa yang dimaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (Al-Hajj: 25) Demikian pula dalam bulan suci, perbuatan dosa diperberat sanksinya. Karena itulah di dalam mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama disebutkan bahwa hukuman diat diperberat dalam bulan itu. Sebagaimana diat diperberat pula terhadap orang yang melakukan pembunuhan di dalam Tanah Suci atau membunuh orang yang sedang ihram.
Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran. dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah:36) Yakni dalam semua bulan.
Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah.” (At-Taubah: 36), hingga akhir ayat. Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri dalam semua bulan.
Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan. Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan Haram (suci) yang kesuciannya diagungkan, dan sanksi atas perbuatan dosa yang dilakukan padanya diperbesar serta pahala amal saleh yang dilakukan di dalamnya diperbesar pula.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36) Sesungguhnya melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan haram, maka dosa dan sanksinya jauh lebih besar daripada melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan yang lain, sekalipun pada prinsipnya perbuatan aniaya itu kapan saja dilakukan dosanya tetap besar. Tetapi Allah lebih memperbesar urusan-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Selanjutnya Qatadah mengatakan, "Sesungguhnya Allah telah memilih banyak pilihan dari kalangan makhluk-Nya. Dia memilih dari kalangan para malaikat yang dijadikan-Nya sebagai utusan-utusan-Nya, juga dari kalangan manusia Dia memilih orang-orang yang dijadikan-Nya sebagai utusan-utusan-Nya. Dia memilih dari Kalam-Nya, yaitu Al-Qur'an; dari bumi ini masjid-masjid, dari bulan-bulan ini bulan Ramadan dan bulan-bulan Haram, dari hari-hari ini memilih hari Jumat, dan dari malam-malam hari Dia memilih Lailatul Qadar. Oleh sebab itu, agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah, karena sesungguhnya pengagungan itu hanyalah kepada apa yang diagungkan oleh Allah. Demikianlah menurut orang yang berakal dan berpemahaman.
Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan, dari Muhammad Ibnul HAnafiah bahwa makna yang dimaksud ialah 'Janganlah kalian melakukan hal-hal yang diharamkan padanya demi menghormati kesuciannya'.
Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36) Maksudnya, janganlah kalian menjadikan keharamannya berubah menjadi halal, janganlah pula kalian menghalalkan keharamannya seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang musyrik, karena sesungguhnya nasi (penangguhan bulan haram) yang biasa mereka lakukan itu merupakan penambahan kekafiran mereka. “Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undur itu.” (At-Taubah: 37), hingga akhir ayat. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya.” (At-Taubah: 36) Artinya, perangilah oleh kalian semua orang musyrik itu.
“Sebagaimana mereka pun memerangi kalian semua. (At-Taubah: 36)
Yaitu sebagaimana mereka semua memerangi kalian.
‘Dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.’ (At-Taubah: 36)
Para ulama berbeda pendapat tentang keharaman hukum melalui peperangan dalam bulan-bulan Haram, apakah hukum ini di-mansukh (direvisi) atau muhkam (tetap berlaku). Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama, merupakan pendapat yang terkenal. Menurut pendapat ini hukumnya telah di-mansukh, karena di sini Allah ﷻ berfirman: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36) Lalu diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik. Makna lahiriah nas (teks) menunjukkan keumuman pengertiannya, yakni perintah ini bersifat umum tanpa ada ikatan waktu. Seandainya melakukan peperangan terhadap kaum musyrik diharamkan dalam bulan-bulan haram, sudah dipastikan ada ikatannya, yaitu dengan lepasnya bulan-bulan haram. Juga karena Rasulullah ﷺ ketika mengepung penduduk Taif terjadi dalam bulan haram, yaitu bulan Zulkaidah; seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain, bahwa Nabi ﷺ berangkat untuk memerangi orang-orang Hawazin dalam bulan Syawwal. Setelah Nabi ﷺ berhasil mematahkan dan mencerai-beraikan mereka, lalu menjarah harta rampasan mereka, maka sisa-sisa mereka berlindung di kota Taif. Maka Nabi ﷺ menuju Taif dan mengepung mereka selama empat puluh hari, lalu pulang ke Madinah tanpa membukanya. Dan terbukti bahwa Nabi ﷺ melakukan pengepungannya itu dalam bulan haram.
Pendapat kedua mengatakan bahwa memulai peperangan dalam bulan-bulan haram hukumnya haram, dan bahwa keharaman melakukan peperangan dalam bulan-bulan haram ini tidak di-mansukh, karena firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.” (Al-Maidah: 2)
“Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia yang seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (Al-Baqarah: 194), hingga akhir ayat.
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” (At-Taubah: 5), hingga akhir ayat.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa bulan-bulan haram itu adalah empat bulan yang telah ditetapkan setiap tahunnya, bukan bulan-bulan tas-yir, menurut salah satu di antara dua pendapat.
Mengenai firman Allah ﷻ: “Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya.” (At-Taubah: 36) Dapat ditakwilkan bahwa ayat ini terputus dari ayat sebelumnya, kemudian ia dianggap sebagai kalimat baru yang menjelaskan hukum yang lain.
Dan hal ini termasuk ke dalam Bab "Menggugah dan Memberikan Semangat untuk Hal yang Dimaksud.” Dengan kata lain, sebagaimana mereka menghimpun kekuatannya untuk memerangi kalian saat mereka hendak memerangi kalian, maka himpunlah kekuatan kalian untuk memerangi mereka, bila kalian hendak memerangi mereka. Dan perangilah mereka sama dengan apa yang mereka lakukan terhadap kalian. Dapat pula diinterprestasikan bahwa telah diberi izin oleh Allah bagi kaum mukmin untuk memerangi orang-orang musyrik dalam bulan-bulan haram, jika mereka (orang-orang musyrik) memulainya terlebih dahulu, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas.” (Al-Baqarah: 194)
“Dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka perangilah mereka.” (Al-Baqarah: 191), hingga akhir ayat.
Demikianlah jawaban tentang pengepungan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terhadap ahli Taif yang pengepungan tersebut terus berlangsung sampai masuk bulan haram, karena sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ itu merupakan kelanjutan dari peperangan melawan orang-orang Hawazin dan para hulafa (teman-teman sepakta)nya dari kalangan Bani Saqif (penduduk kota Taif). Karena sesungguhnya merekalah yang terlebih dahulu memulai peperangan, menghimpun pasukan, serta menyerukan perang dan bertanding di medan perang. Maka pada saat itu juga Rasulullah ﷺ menerima tantangan mereka, seperti yang telah disebutkan jauh sebelum ini. Ketika orang-orang Hawazin berlindung di benteng kota Taif, maka Rasulullah ﷺ dan kaum muslim datang ke Taif untuk mengeluarkan mereka dari Benteng Taif. Akhirnya mereka berhasil membunuh sebagian dari pasukan kaum muslim yang mencoba naik ke benteng mereka.
Kemudian pengepungan dilanjutkan dengan manjaniq (pelontar batu) dan senjata jarak jauh lainnya selama kurang lebih empat puluh hari. Pengepungan tersebut dimulai pada bulan Halal dan berlanjut sampai ke bulan haram selama beberapa hari. Setelah itu Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah meninggalkan mereka. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah ﷺ karena mengingat bahwa dapat dimaafkan melanjutkan sesuatu itu dalam kondisi tertentu yang tidak dapat dimaafkan bila dilakukan pada permulaannya. Hal seperti ini merupakan suatu perkara yang telah menjadi ketetapan hukum, dan hal yang serupa dengannya dalam hukum banyak ditemukan. Berikut ini akan kami sebutkan hadits-hadits yang menceritakan tentang hal tersebut.
Hal ini telah kami catat di dalam kitab Sirah. [Sayangnya penulis (Al-Hafizh Ibnu Kasir) tidak menuturkan hadits-hadits yang telah dijanjikannya itu]
Setelah ayat yang lalu menjelaskan keburukan akidah para tokoh Ahli Kitab, maka ayat ini kembali menginformasikan keburukan perilaku kaum musyrik, yakni mengubah hukum Allah. Di antara hukum Allah yang diubah adalah menambah hitungan bulan dalam setahun. Ayat menyatakan, bahwa sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah dalam satu tahun ialah dua belas bulan dengan mengikuti perputaran bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allah sejak penciptaan alam ini, yakni pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya, yakni dua belas bulan tersebut, ada empat bulan haram atau yang dimuliakan, yaitu Zulqa'dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. 1 Itulah ketetapan agama yang lurus, yaitu bahwa empat bulan yang dimuliakan itu sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi syariat agama-Nya, maka janganlah kamu menzalimi dirimu, baik melakukan peperangan (Lihat : Surah al-Baqarah/2: 217), maupun perbuatan dosa lainnya, terlebih lagi dalam bulan yang empat itu, karena dosanya akan dilipatgandakan. Namun, larangan peperangan di bulan-bulan haram ini lalu dinasakh atau dihapus hukumnya dengan firman-Nya, dan perangilah kaum musyrik semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya di mana saja dan kapan saja meski bertepatan dengan empat bulan yang semestinya dilarang untuk berperang itu. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa Setelah menjelaskan jumlah bulan dalam setahun dan di antaranya ada empat bulan yang dimuliakan, maka ayat ini mengecam mereka yang menambah bilangan dan memutarbalikkan bulan-bulan haram atau mengundur-undurnya. Sesungguhnya pengunduran bulan haram, sebagaimana kebiasaan orang-orang Arab saat itu yang secara sengaja mengganti posisi Muharram dengan bulan Safar agar bisa berperang, itu hanya menambah kekafiran di samping kekufuran yang selama ini mereka lakukan. Orang-orang kafir disesatkan oleh setan dan para pemuka-pemukanya dengan pengunduran itu, mereka menghalalkannya yakni mengundur-undurkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain. Mereka melakukan pengunduran ini agar dapat menyesuaikan dengan bilangan bulan-bulan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, yakni berperang di bulan-bulan haram juga perbuatan dosa lainnya. Padahal, perbuatan-perbuatan buruk tersebut dijadikan terasa indah oleh setan bagi mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk, yakni bimbingan agar selalu berada di jalan yang benar, kepada orang-orang yang kafir, yaitu mereka yang terus-menerus berada di jalan kekufuran.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menetapkan jumlah bulan itu dua belas, semenjak Dia menciptakan langit dan bumi. Yang dimaksud dengan bulan di sini ialah bulan Qamariah karena dengan perhitungan Qamariah itulah Allah menetapkan waktu untuk mengerjakan ibadah yang fardzu dan ibadah yang sunat dan beberapa ketentuan lain. Maka menunaikan ibadah haji, puasa, ketetapan mengenai 'iddah wanita yang diceraikan dan masa menyusui ditentukan dengan bulan Qamariah.
Di antara bulan-bulan yang dua belas itu ada empat bulan yang ditetapkan sebagai bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. Keempat bulan itu harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan. Ketetapan ini berlaku pula dalam syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Salah satu hikmah diberlakukannya bulan-bulan haram ini, terutama bulan Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam adalah agar pelaksanaan haji di Mekah bisa berlangsung dengan damai. Rentang waktu antara Zulkaidah dan Muharam sudah cukup untuk mengamankan pelaksanaan ibadah haji.
Kalau ada yang melanggar ketentuan ini, maka pelanggaran itu bukanlah karena ketetapan itu sudah berubah, tetapi semata-mata karena menuruti kemauan hawa nafsu sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin. Biasanya orang-orang Arab amat patuh kepada ketetapan ini sehingga apabila seseorang terbunuh, baik saudara atau bapaknya bertemu dengan pembunuhnya pada salah satu bulan haram ini, maka dia tidak berani menuntut balas, karena menghormati bulan haram itu. Padahal orang Arab sangat terkenal semangatnya untuk menuntut bela dan membalas dendam. Itulah ketetapan yang harus dipenuhi, karena pelanggaran terhadap ketentuan ini sama saja dengan menganiaya diri sendiri, sebab Allah telah memuliakan dan menjadikannya bulan-bulan yang harus dihormati. Kecuali kalau kita dikhianati atau diserang pada bulan haram itu, maka dalam hal ini wajib mempertahankan diri dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Firman Allah:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (al-Baqarah/2: 217)
Ayat ini memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memerangi kaum musyrikin karena mereka merusak perjanjian yang sudah disepakati dan memerangi kaum Muslimin. Mereka memerangi kaum Muslimin bukan karena balas dendam, fanatik kesukuan, atau merampas harta benda sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa yang lalu terhadap kabilah lain, tetapi maksud utama adalah menghancurkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan memadamkan cahayanya. Maka wajiblah bagi setiap muslim bangun serentak memerangi mereka sampai agama Islam itu tegak dan mereka hancur binasa. Hendaklah ditanamkan ke dalam dada setiap muslim semangat jihad serta tekad dan keyakinan bahwa mereka pasti menang karena Allah selamanya menolong orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ANAK-ANAK ALLAH
Sebagai lanjutan ayat mengizinkan berperang dengan Ahlul Kitab yang telah lalu di ayat 29 itu, maka datanglah ayat ini selanjutnya menyatakan perbedaan aqidah tauhid dengan pegangan kepercayaan mereka. Perbedaan aqidah inilah yang menyebabkan bahwa me-reka tidak mau membiarkan Islam hidup.
Ayat 30
“Dan telah berkata orang-orang Yahudi, Uzair adalah anak Allah.
Uzair adalah sebutan lidah Yahudi Arab pada masa itu terhadap Nabi yang sangat berjasa kepada mereka. Nama aslinya di dalam bahasa Ibrani ialah Izra dan sampai sekarang nama Izra itu jugalah yang dipakai terhadapnya oleh Yahudi umum dan demikian juga ditulis di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Kalimat itu dalam ilmu sharaf Arabi disebut tashghir, yaitu dikecilkan. Sebagai anak Sayyidina Ali yang besar bernama Hasan dan yang kecil bernama Husain. Jadi, dapat diartikan si Hasan Kecil. Dia pun digunakan untuk menyatakan kasih sayang kepada seseorang. Maka oleh sebab sangat kasih sayang dan simpati Yahudi Tanah Arab kepada Izra, mereka sebutlah namanya Uzair. Nama inilah yang masyhur terhadap Izra pada masa itu, dan nama itu pulalah jadinya yang dipakai orang Arab terhadap Izra, karena meniru ucapan orang Yahudi Arab di Tanah Arab.
Di dalam sejarah Yahudi, Izra itu adalah seorang yang besar dan sangat dimuliakan sehingga karena mulianya dan berjasanya, banyak pemuka Yahudi memberinya julukan Anak Allah. Meskipun tidak sampai sebagai kepercayaan orang-orang Nasrani mengang-gap al-Masih Anak Allah.
Tersebutlah di dalam sejarah Ahlul Kitab bahwa Taurat yang ditulis sendiri oleh Nabi Musa yang diletakkan di dalam peti perjanjian Allah atau di dekatnya (lihat Kitab Ulangan Pasal 31, ayat 24 sampai 26) telah hilang sebelum Nabi Sulaiman menjadi raja. Sehingga sebagai tersebut di dalam Kitab Raja-Raja I Pasal 8 ayat 9, ketika Tabut itu dibuka Nabi Sulaiman di hadapan imam-imam Bani Israel, tidak bertemu lagi apa-apa catatan Musa itu di dalamnya, kecuali catatan kedua keping batu yang berisi Hukum Yang Sepuluh saja. Maka Izra inilah yang kemudiannya yang berjasa mengumpulkan kembali catatan-catatan pusaka Nabi Musa itu.
Di dalam Kitab Izra, yaitu yang disebut sebagai buah hasil pekerjaan Izra sendiri, sehingga memakai namanya. Di dalam kitab itu ditegaskannya bahwa sekalian kitab-kitab suci pusaka Musa itu telah terbakar pada zaman Nebukadneshar Raja Babil, tatkala Jerusalem ditaklukkan. Izralah yang berusaha membuat catatannya kembali. Oleh karena itu, baik orang Yahudi maupun orang Nasrani, mengakui bahwa Izralah orang yang telah membangun dan menyusun kembali Taurat Pusaka Musa atau Kitab Suci yang telah terdahulu.
Lantaran jasanya yang besar ini, sangatlah mulia Izra pada pandangan orang-orang Yahudi.
Dalam memegang teguh kepercayaan mereka tidak lagi mempertimbangkan, apakah catatan yang dibuat Izra tepat dan persis sebagai yang dicatatkan Musa, padahal jarak mereka sudah beratus tahun. Ahli-ahli ilmu pengetahuan sebagian besar berpendapat bahwa tidaklah seluruhnya apa yang dikumpulkan kembali oleh Uzair itu persis sebagai catatan yang telah hilang atau terbakar itu. Lantaran memandang jasanya itu maka adalah dalam kalangan Yahudi yang memberikannya gelar julukan Anak Allah.
“Dan berkata orang Nasrani, al-Masih adalah Anak Allah.'"
Pengakuan orang Nasrani bahwa Isa al-Masih anak Allah adalah pokok kepercayaan yang sangat mereka pertahankan, lebih daripada kepercayaan setengah Yahudi kepada Uzair atau Izra itu.
Sebenarnya, baik di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama maupun dalam sabda al-Masih sendiri, memang banyak terdapat gelar Anak Allah.
Di akhir Injil Karangan Lukas, ketika dia menguraikan silsilah keturunan al-Masih, di-sebutnya Anak Enos, anak Set, ajiak Adam, anak Allah. (Lukas Pasal 3, ayat 38). Dengan ayat ini jelaslah, Adam juga disebut Anak Allah.
Pada Kitab Keluaran (Perjanjian Lama), Pasal 4 ayat 22, “Bahwasanya Israel itulah anakku laki-laki, yaitu anakku yang sulung." Disini jelaslah bahwa Nabi Ya'qub juga disebut Anak Allah.
Pada Kitab Yeremia, Pasal 31, ayat 9, “Karena Akulah bagi Israel akan Bapa, dan Efrayim itulah anakku yang sulung." Di sini Efrayim disebut Anak Allah.
Pada Kitab Mazmur, Pasal 89, tentang doa Dawud, “Ia pun akan memanggil akan Daku: Engkau juga Bapaku! Allahku, dan gunung batu selamatku." (ayat 27).
“Maka aku pun akan menjadikan dia akan anak sulung, yang mahatinggi di atas segala raja-raja di bumi." Di sini Dawud pun disebut Anak Allah!
Dengan ketiga ayat ini jelas pertiga sekaligus jadi Anak Sulung Allah, yaitu, Ya'qub, Efrayim, dan Dawud.
Dalam ucapan al-Masih sendiri pun banyak terdapat orang-orang yang dianggap Anak Allah. Orang yang suka menganjurkan perdamaian juga disebut Anak Allah. (Matius, Pasal 5 ayat 9). Orang yang sempurna budinya juga disebut Anak Allah. (Matius, Pasal 5 ayat 48).
Bukan saja Allah itu disebut oleh al-Masih dengan ucapan “Bapaku" seperti disebut di Matius, Pasal 18 ayat 10. Atau Matius, Pasal 18 ayat 19, atau Matius, Pasal 12 ayat 49, atau Matius, Pasal 20 ayat 23. Tetapi juga beliau sebut “Bapa kamu". (Lihat Lukas, Pasal 12, ayat 32).—Lukas, Pasal 12 ayat 30 Matius, Pasal 7 ayat 11. Dan beliau sebut juga “Bapa kita" sebagai tersebut pada Matius, Pasal 6 ayat 9. — Lukas, Pasal 11 ayat 2.
Melihat dan memahamkan maksud asli dari kata Anak Allah atau Bapa pada ayat-ayat itu, teranglah bahwa semuanya itu menunjukkan kasih sayang di antara Allah dengan hamba-Nya, sebagaimana kasih ayah kepada anak atau kasih anak kepada ayah. Bukan ayah benar-benar, bukan anak betul-betul. Bahkan sebaliknya, al-Masih sendiri telah menjelaskan perbedaan di antara dua macam Bapa dan dua'macam Anak. Di daiam Injil Karangan Yohannes (Yahya), Pasal 8 dari ayat 42 sampai ayat 44, beliau nyatakan perbedaan orang yang menjadi Anak Allah, yaitu yang taat kepada Allah dan patuh menuruti teladan Nabi Ibrahim dan menerima akan nasihat al-Masih:
“Jikalau Allah itu Bapamu niscaya kamu mengasihi aku, karena daripada Allah aku datang dan aku ada di sini; karena aku pun bukan datang dengan kehendak sendiri, melainkan Dialah yang menyuruhkan daku." (ayat 42)
“Kamu ini daripada Bapamu Iblis, dan segala hawa nafsumu; bapamu itulah yang kamu turut. Ialah pembunuh manusia dari mulanya, tiada ia berdiri di atas yang benar, maka ia mengatakan menurut sendiri, karena ia pembohong dan bapa pembohong." (ayat 43)
Dari semua ini jelas bahwa segala rasul utama, nabi yang mulia, juru pendamai, manusia yang taat, termasuk al-Masih, termasuk Ya'qub, Efrayim, Dawud, dan lain-lain, adalah Anak Allah. Si keras kepala, menolak kebenaran, pembohong, penipu, adalah Anak Iblis.
Itulah maksud al-Masih menyebut dirinya atau diri orang lain Anak Allah. Sebagaimana juga orang jahat beliau sebut tadi Anak Iblis. Tidak ada di dalam kata-kata beliau sendiri, sebelum dimasuki oleh penafsiran lain yang mengatakan bahwa yang lain-lain itu adalah anak Allah sebagai lambang kasih, sedangkan diri beliau sendiri adalah anak Allah se-benarnya. Dan tidak ada beliau mengatakan bahwa dia adalah Tuhan yang kedua sesudah Allah, atau sebagian daripada tiga Tuhan yang berpadu satu. Tetapi kemudian, setelah beliau meninggal dunia, barulah disusun orang suatu kepercayaan yang bernama: Trinitas atau Trimurti atau diindonesiakan di zaman sekarang menjadi Tritunggal. Untuk sampai kepada kepercayaan ini, adalah melalui beberapa masa, beberapa pertengkaran dan perdebatan, permusyawarahan dan pemungutan suara, yang untuk menguatkannya di-buatlah tafsir-tafsir sendiri yang tidak boleh menyimpang dari ayat-ayat tertentu, baik dari kitab-kitab Perjanjian Lama ataupun sabda al-Masih sendiri. Dikutuk atau dikucilkan dari gereja barangsiapa di antara pendeta-pendeta itu sendiri yang menyalahi apa yang telah ditetapkan. Maka perdebatan tentang ini telah timbul sejak zaman rasul-rasul (murid Isa) sendiri, terutama dengan masuknya Paulus menyatakan diri orang Kristen, padahal pada mulanya dia seorang Yahudi yang amat benci kepada al-Masih dan memburu-buru pengikut al-Masih. Pada abad kedua, barulah Theofilus Uskup Entiochie memakai istilah Tria dari bahasa Yunani, yang berarti tiga. Kemudian Tartalianus baru memakai kata Trinitas, yang berarti Tritunggal. Ajaran ini menjadi perbantahan besar, karena tidak semua suka menerimanya, maka mana yang membantah, dikucilkan. Di antaranya ialah kaum Ebion, yang tetap berkepercayaan bahwa al-Masih adalah manusia. Dikucil pula golongan Sabiliyin yang berkepercayaan bahwa Bapa, Anak, dan Ruhul Qudus, hanyalah semata rupa saat Allah menyatakan dirinya kepada manusia.
Dikucilkan pula golongan Arisiusi yang berkepercayaan bahwa Anak tidaklah kekal sebagai Bapa, atau al-Masih tidaklah kekal sebagai Allah, melainkan makhluk alam se-mata-mata. Dikucil pula golongan Macedoni yang tidak mau menerima kepercayaan bahwa Ruhul Qudus termasuk dalam tiga oknum yang disucikan itu.
Tetapi Konsili di Nicea tahun 325, kemudian Konsili di Konstantinople tahun 381 telah memutuskan bahwa Putra dan Ruhul Qudus, sama dengan Bapa dalam kesatuan ketuhanan, dan Putra dilahirkan sejak semula azali dari Bapa, dan Ruhul Qudus adalah pancaran dari Bapa. Konsili di Toledo tahun 589, memutuskan pula bahwa Rulul Qudus adalah pancaran dari Putra. Gereja Latin menerima keputusan kepercayaan ini sepenuhnya, tetapi akhirnya gereja Yunani membantah keputusan terakhir itu dan menuduh bahwa itulah yang salah.
Sampai sekarang tidaklah terdapat persamaan kepercayaan antara gereja-gereja itu tentang kedudukan tiga tuhan itu, sehingga Orthodoks dengan Katolik tidak bisa bersatu dan Protestan atau Lutherian, Calvin, dan lain-lain menyisihkan diri dan menyusun rumusan kepercayaan sendiri pula. Dan kemudian timbul lagi beberapa gereja, sebagai Unitharian yang sama sekali membuang kepercayaan Trinitas. Gereja Swedenberg tidak mau menerima kekacauan pikiran tentang satu sama dengan tiga itu. Mereka tegas saja, yaitu bahwa Oknum itu adalah tiga, benar-benar tiga, bukan satu dalam tiga!
Maka datanglah lanjutan ayat: “Demikian itulah kata-kata mereka dengan mulut mereka." Artinya, dikatakan dengan mulut saja, dimulai mengatakannya dengan mulut, lalu dipaksakan ke dalam hati menyuruh percaya, namun hati kecil tidak juga bisa percaya, se-bab tidak cocok sama sekali dengan akal. Atau disuruhlah akal tunduk, jangan membantah, lalu iyakan apa yang dikatakan dengan mulut, yaitu bahwa al-Masih Anak Allah: “Mereka menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu." Artinya, sebagaimana telah kita uraikan dalam penafsiran surah al-Maa'idah yang telah lalu, segala kepercayaan ini adalah menuruti kepercayaan orang-orang zaman purbakala, sejak dari bangsa Mesir ataupun Hindu ataupun orang Yunani dahulu kala sebelum Kristen masuk ke Eropa. Bahkan karena kepercayaan asli Nabi Isa dapat diputar sedemikian rupa, maka kaisar-kaisar Roma sudi menerima dan melindunginya, sebab sesuai dengan kepercayaan pusaka mereka.
“Diperangi Allah-lah mereka" Ungkapan Arabi tentang sikap yang salah, sebagai ucapan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia: “Celaka mereka". Mengapa mereka sampai begitu? Mereka tersesat demikian jauh.
“Bagaimana mereka dapat dipalingkan?"
Artinya, mengapa mereka sampai begitu? Mengapa sejauh itu mereka membelok sehingga agama tauhid pusaka Ibrahim dan pusaka nabi-nabi yang sebelumnya sudah dibelokkan demikian jauh sehingga sampai pada syirik? Mereka mengakui juga Allah satu, tetapi kesatuan itu dikacaukan dengan menyebut “anak", menyebut Isa Anak Allah, lalu dikatakan pula bahwa Isa itu sendiri Allah yang menjelma jadi anak, dan datang ke dunia untuk menebus dosa manusia?
Karena kalimat ‘Anak Allah" itu telah disalahpahamkan dan telah kemasukan keper-cayaan syirik yang tidak dikehendaki oleh kedatangan para rasul, setelah datang Nabi Muhammad ﷺ perkataan itu tidak dipakai lagi. Baik dengan arti menghormati semata-mata, sebagaimana yang dilakukan oleh setengah orang Yahudi terhadap Uzair atau dengan penafsiran berbelit-belit seperti yang dianut oleh orang Nasrani.
Di ayat ini kita mendapati lagi satu bukti bahwa Al-Qur'an itu memang mukjizat. Di da-lamnya disebutkan bahwa kepercayaan demikian adalah mereka tiru dan ambil saja dari kepercayaan umat purbakala. Di zaman Nabi Muhammad ﷺ belum ada orang yang tabu atau mempelajari betapa kepercayaan Trimurti orang Hindu atau orang Yunani. Bahkan sampai kepada zaman para sahabat Rasulullah saw, sampai ke zaman tabi'in dan ulama-ulama yang dahulu penyelidikan tentang pokok kepercayaan kuno itu belum ada. Oleh sebab itu, di dalam kitab-kitab tafsir yang lama, sebagai Ibnu Jarir sendiri pun belum bertemu perbandingan yang jelas tentang pengambilan kepercayaan itu. Baru dua ratusan tahun di belakang ini para ahli menyelidikinya, dan mendapat kesimpulan bahwa ada pengaruh kepercayaan Hindu dan Mesir Kuno kepada kepercayaan Kristen. Dan, baru tahun-tahhn di belakang ini timbul ilmu tentang perbandingan agama. Pendeknya di zaman kita sekaranglah baru jelas apa maksud kalimat yudhahi-uuna yang kita artikan mereka menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu.
MENUHANKAN MANUSIA
Ayat 31
“Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi tuhan-tuhan selain Allah dan (Juga) al-Masih Anak Maryam."
Kalimat ahbar, kita artikan guru-guru, jamak dari habr, sebutan bagi pendeta Yahudi. Ruhban kita ambil anti yang biasa, yaitu pendeta, yaitu sebutan terhadap pimpinan agama Nasrani. Ruhban adalah kata jamak dari rahib. Selain dari panggilan hibr bagi pendeta Yahudi ada juga sebutan rabbi. Sebelum timbul golongan Protestan, kata rahib itu bertali juga dengan tidak kawin.
Di dalam ayat ini dikatakan bahwasanya orang Yahudi dan Nasrani telah menganggap pendeta mereka sebagai Tuhan selain dari Allah. Sesudah itu ditambahkan pula khusus bagi orang Kristen bahwasanya al-Masih pun mereka anggap juga sebagai Tuhan.
Arbaab seperti kita ketahui adalah jamak dari kalimat rabbun, yang kita artikan Tuhan, dalam sifat-Nya sebagai pengatur, pemelihara, dan pendidik alam ini. Kalimat rabbun yang berarti Tuhan, adalah timbalan dari kalimat ilah.
Di dalam ayat ini diterangkan bahwa pemeluk kedua agama itu telah menganggap atau memandang guru-guru dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan.
Untuk mengetahui arti dan tafsir dari keadaan ini, lebih baik kita dengar tafsiran dari Rasulullah ﷺ sendiri. Menurut riwayat dari Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu jarir, yang diterima dari beberapa jalan riwayat dari Adi bin Hatim. Ringkasan cerita ialah begini. Ketika seruan Rasulullah ﷺ Telah sampai, maka Adi bin Hatim itu melarikan dirinya ke Syam. Sebab dia dan ayahnya telah memeluk agama Nasrani dari zaman jahiliyyah. Ayahnya Hatim terkenal namanya dalam sejarah Arab karena dermawannya. Beliau yang dermawan ini tidak sampai bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Tetapi Adi hidup di zaman Rasul. Dalam satu serangan Islam, saudaranya yang perempuan dan satu rombongan dari kaumnya telah tertawan. Setelah beberapa lama dalam tawanan, karena perlakuan yang baik, perempuan itu masuk Islam. Lalu dia dibebaskan Rasulullah ﷺ dan dibiarkan pulang kepada saudaranya Adi bin Hatim itu. Setelah dia menggabungkan diri kepada saudaranya kembali, perempuan ini menerangkan kepadanya betapa kebagusan ajaran Islam dan dianjurkannya supaya Adi datang kepada Rasulullah ﷺ ke Madinah bersama kaumnya, sedang dia adalah pemimpin mereka di negeri Thaif. Ajakan saudara perempuannya itu diturutinya dan datanglah dia satu rombongan ke Madinah. Penduduk Madinah banyak membicarakan kedatangan orang penting ini. Setelah diberi kesempatan menghadap Rasulullah ﷺ, di dadanya masih terjuntai kalung salib dari perak. Ketika dia masuk itu kebetulan Rasulullah ﷺ sedang membaca surah Bara'ah dan tepat mengenai ayat yang kita tafsirkan. (Mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi tuhan-tuhan selain Allah). Lalu beliau berkata, “Tidaklah mereka menyembah mereka." Artinya, tidaklah ada orang Nasrani menyembah, yaitu mempertuhan pendeta-pendeta sebagai tersebut dalam ayat itu. Maka Rasulullah ﷺ menjawab, “Bahkan! Karena sesungguhnya pendeta-pendeta itu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka ikuti saja. Itulah yang dinamai mereka beribadah (memuja) kepada pendeta-pendeta itu."
Sejurus sesudah itu, berkatalah Rasulullah ﷺ kepadanya, “Hai Adi, bagaimana pendapatmu? Apakah ada salahnya untuk diri engkau jika engkau mengucapkan Allahu Akbar? Adakah engkau mengakui ada sesuatu yang lebih besar dari Allah? Apa yang akan menyusahkan engkau? Apakah engkau keberatan mengatakan laa ilaaha Mallah? Adakah engkau mengetahui ada Tuhan selain Allah?" Dengan cara demikian, Rasulullah saw, memulai, lalu beliau teruskan mengajaknya agar masuk Islam saja. Rupanya ajakan Rasulullah ﷺ itu termakan olehnya, karena memang Allah-lah yang besar dalam pendapat pikiran murninya, tidak ada yang lebih besar dari Allah. Dan tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dia pun menyatakan diri masuk Islam, dan di-ucapkannyalah Syahadat Kebenaran. Akhirnya Adi berkata, “Aku lihat wajah beliau berseri-seri."
Dari riwayat Sayyidina Adi masuk Islam ini, yang tersebut dalam beberapa kitab tafsir, dapatlah kita mengerti bahwa Nasrani menuhankan pendeta yang sampai diibadahi sebagai mengibadahi Allah, memang tidak ada. Tetapi mereka telah menerima apa yang telah diatur dan disusun oleh pendeta-pendeta itu sebagai perintah yang luhur dan kudus, sekali-kali tidak boieh dibantah, sehingga samalah perintah itu dengan perintah Tuhan sendiri. Sesuatu yang mereka katakan haram, meskipun halal kata Allah, maka yang dikatakan oleh pendeta itulah yang benar. Demikian juga yang haram kata Allah, kalau pendeta mengatakan halal, menjadi halallah dia.
Inilah yang dijelaskan lagi oleh Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib."Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (tuhan-tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!" Berkata ar-Rabr, “Aku bertanya kepada Abui Aliyah, ‘Bagaimana artinya Bani Israil mempertuhan pendeta itu?' Dia menjawab, ‘Kadang-kadang mereka bertemu sesuatu dalam Kitab Allah, berbeda daripada yang dikatakan oleh guru-guru dan pendeta-pendeta mereka, maka kata-kata guru-guru dan pendeta-pendeta itulah yang mereka patuhi dan tidak mereka terima hukum Kitab Allah."
Memang, menurut riwayat Matius di dalam Injilnya, Pasal 18 ayat 18, al-Masih pernah berwasiat demikian bunyinya, “Dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itu pun terorak kelak di surga."
Kita tentu dapat memahamkan bahwa maksud wasiat al-Masih ini ialah mengikat dan mengorak dengan dasar ikat dan orak dalam garis ketentuan Allah, tidak melebihi dan tidak mengurangi. Serupa juga dengan wasiat Rasulullah ﷺ,
“Ulama-ulama adalah penerima waris daripada nabi-nabi."
Artinya, tidak melebihi dan tidak mengurangi.
Tetapi apa jadinya kemudian? Baik agama Yahudi maupun agama Nasrani, keduanya ki-tab asli dari Allah telah diselimuti atau di-lumuti oleh luluk dan debu peraturan yang diperbuat oleh kaum agama, oleh guru dan pendeta. Kitab Taurat telah hilang dalam bungkusan Kitab Talmud. Peraturan yang diperbuat oleh ahbar-ahbar lebih penting da-ripada Taurat sendiri. Dalam agama Kristen pun seperti demikian. Sehingga sebagai telah kita maklumi kepercayaan Trinitas yang jadi pokok asasi dari agama Kristen adalah hasil Konsili (konferensi pendeta-pendeta), bukan dari ajaran al-Masih sendiri, dan dikucilkan atau diusir dari kalangan agama barangsiapa yang menyatakan pendapat berlawanan de-ngan itu. Walaupun perlawanan itu berdasar kepada kitab suci juga.
Kita pun mengenal Hierarki Gereja Katolik misalnya."Peraturan susunan kependetaan sejak dari yang di bawah, sampai Fater, sampai Uskup, sampai Patrick, sampai Kardinal dan sampai kepada yang di puncak sekali, yaitu Paus yang disebut Santo Bapa (Bapa Suci). Membantah keputusannya berarti keluar dari agama Katolik.
Satu waktu pun mereka memegang juga kekuasaan duniawi yang sangat kuat dan keras, sehingga dapat menaikkan dan menurunkan raja. Dapat memberikan kasih sayang dan dapat juga menurunkan kutuk. Dapat menghukum barangsiapa yang melanggar keputusannya atau mengeluarkan pendapat baru yang berbeda dengan pendapat yang diputuskan gereja. Itulah sebabnya, orang-orang seperti Bruno, atau Galilei dihukum. Bruno dibakar dan Galilei dipenjarakan, karena disuruh mencabut pendapatnya menga-takan bumi bulat. Karena menurut pendapat gereja masa itu, bumi adalah datar. Di zaman kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Tuhan itu, sangatlah menyeramkan bulu roma dan amat ngeri dalam perasaan kalau berani membantah gereja. Maka yang berhak menaf-sirkan Injil dan Taurat hanya mereka, orang lain tidak boleh. Peraturan yang wajib ditaati hanyalah peraturan mereka, walaupun dipahamkan bahwa peraturan itu sudah sangat jauh dari garis kitab suci. Sebab yang berhak memegang kitab suci hanya mereka.
Dan dengan berpegang pada wasiat Nabi Isa yang tersebut pada Injil karangan Matius tadi, mereka pun merasa berhak memberi ampun dosa. Betapa pun besarnya dosa, namun Sri Paus ada hak memberinya ampun. Dan ampunan itu bisa diperjualbelikan, bisa tawar-menawar. Di sinilah timbul kebiasaan mengakui dosa di hadapan seorang pendeta, dan kesediaan pendeta itu memberi ampun.
Kemudian, sejak pengusiran kaum Muslimin dari Spanyol, Gereja mendirikan Komisi Penyelidik, Yaitu untuk menyelidiki iman orang. Mulanya semata-mata untuk memaksa sisa kaum Muslimin di Spanyol memeluk Kristen, tetapi lama-kelamaan meluas tugasnya, yaitu untuk menyelidiki pikiran orang, adakah dia sesuai dengan kehendak gereja. Untuk menghukum, disediakanlah berbagai alat, seperti pencungkil mata, pemotong lidah, peregang dan perunyut badan hingga tanggal tangan kaki dari badan, dan berbagai alat yang amat ngeri lagi, yang kemudian atas izin gereja dibawa juga alat-alat itu ke Malaka, dipergunakan Portugis sewaktu memerintah Malaka, seperti yang disebutkan Munsyi Abdullah di dalam hikayatnya yang terkenal. Dan dibongkar juga alat-alat itu oleh Napoleon ketika tentaranya menaklukkan Spanyol.
Itu adalah sikap mereka menganggap guru dan pendeta sebagai Tuhan, di samping orang-orang Nasrani memang menuhankan al-Masih pula. Selain dari itu, didirikan pula berbagai gereja, berbagai tempat berziarah untuk memuja orang-orang yang dianggap suci. Satu waktu Paus dapat memutuskan bahwa seseorang dianggap sebagai orang suci. Setelah keputusan itu keluar, didirikanlah gereja pemujaan buat orang itu dan bershalatlah di sana. Sebagai juga diputuskan bahwa Lourdes menjadi tempat keramat dan suci, sebab se-orang gadis gembala mengatakan bahwa dia pernah melihat Maryam Ibu Isa menjelmakan diri di tempat itu. Anak perempuan itu sendiri akhirnya diputuskan jadi orang suci pula.
Pemujaan dan mempertuhan pendeta ini akhirnya berkembang dan berpindah menjadi penyembahan kepada patung atau berhala. Maka tampillah ahli-ahli seni seperti Rafael Michiel Angelo atau Leonardo de Vinchi dan lain-lain mempertinggi nilai seni patung. Dipa-tungkanlah Nabi Isa, dipatungkanlah Maryam dan dipatungkan sekalian nabi-nabi yang tersebut di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, lalu dipuja. Penuhlah Gereja Vatikan dengan patung-patung demikian. Oleh sebab itu, seni patung pusaka Yunani dan Romawi disambung-lah kembali oleh Gereja, dengan bentuk yang lain tetapi dengan maksud yang satu, yaitu pemujaan.
Padahal mereka tidaklah disuruh demikian. Ayat selanjutnya berkata, “Padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia."
Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang ada sekarang ini pun kita masih dapat melihat dengan terangnya bahwasanya perintah utama yang disampaikan oleh rasul-rasul Allah, ialah menyembah Allah Yang Maha Esa. Pokok utama dari Hukum Sepuluh Taurat ialah tauhid. (Lihat Kitab Keluaran Pasal 20).
Inti ajaran al-Masih pun demikian pula: “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka itu mengenal Engkau, Allah Yang Esa dan Benar, dan Yesus Kristus yang Engkau suruhkan itu." (Injil Yahya, Pasal 17 ayat 3).
Maka ayat yang sedang kita tafsirkan ini menyatakan bahwa pokok asal ajaran agama mereka ialah itu, yaitu tauhid: tidak menyembah melainkan kepada Tuhan Yang Satu. Baik Yahudi maupun Nasrani. Kalau kedapatan yang lain-lain, baik mempertuhan guru dan pendeta, ataupun mempertuhan al-Masih alai-his-salam, semuanya itu adalah tambahan kemudian yang ditambah-tambahkan oleh para pendeta, atau Konsili Pendeta dan wajib ditaati orang, sekali-kali tidak boleh dibantah, karena takut akan pengucilan gereja.
“… Dia dari apa yang mereka persekutukan itu."
Tidaklah Allah bersekutu dengan yang lain. Baik al-Masih maupun pendeta yang mana pun, semuanya adalah makhluk Allah belaka. Dan peraturan hanya datang dari satu sumber, yaitu sumber Allah. Peraturan buatan manusia, kalau tidak cocok dengan hukum Allah, bukanlah dia peraturan yang wajib dipatuhi. Dan manusia tiada berhak menambah-nambah apa yang telah diatur oleh Allah.
Apa yang diperingatkan Allah kepada kita dengan perantaraan Rasulullah ﷺ di dalam ayat ini? Kalau kita perhatikan masa turunnya ayat, dapatlah kita ketahui betapa hebat pertentangan Gereja Barat dan Gereja Timur pada waktu itu, pertentangan dengan Roma dengan Iskandariyah. jauh sebelum Heraklius yang menguasai Suriah telah ada pertentangan-pertentangan hebat karena berebut kuasa dalam gereja, kucil-mengucilkan. Di antara kaum Yacubiyin dan Malikaniyin dan Nasturiyin, terjadi pertentangan tentang tabiat al-Masih, adakah dia gabungan di antara ketuhanan dan keinsanan, sebagai “Anak Allah" dan “Anak Manusia" Heraklius masih ingin hendak mempersatukan tetapi gagal. Masing-masing mengatakan pihaknya yang benar, dan keputusannyalah yang sah dan pendirian lawan salah.
Tetapi semuanya berdasar pada mempersekutukan Allah dengan seorang Rasul-Nya, yaitu al-Masih. Padahal persatuan di antara mereka itu pasti dapat timbul kembali, kalau semuanya sudi kembali saja kepada ajaran pokok, yaitu tauhid. Masing-masing tidak mau, sebab tiap-tiap pimpinan gereja bertahan pada kekuasaannya, yang kekuasaan mengikat dan mengorak ikatan. Sebab ikatan yang mereka ikatkan di dunia, walaupun ikatan yang salah, menurut keyakinan mereka diakui juga di surga dan apa yang mereka orak di dunia, akan terorak juga di surga. Kemudian itu, kian lama kian jauh dari zaman Heraklius, maka yang tadinya pecah tiga, telah pecah menjadi berpuluh dan tiba di zaman kita sekarang ini, telah pecah menjadi beratus. Bahkan Gereja Inggris memisahkan diri dari Gereja Roma, hanya karena Paus tidak mau mengesahkan perkawinan Raja Henri VIII dengan istri-istri-nya yang lain, sesudah istri pertama.
Saat penulis tafsir ini melawat ke Amerika pada 1952, Penulis perlukan untuk menziarahi beberapa gereja di hari Minggu di Washington, hendak menambah pengetahuan tentang berbagai-bagai cara orang-orang Kristen sembahyang. Penulis ziarahi Gereja Methodist, Adventist, Angelikant, Katolik, dan pernah juga menyaksikan sembahyang madzhab Quaker yang tidak pakai pendeta. Satu hari penulis ajak seorang teman bangsa Indonesia yang memeluk Kristen sembahyang di Gereja Angelikant, Dia tidak mau. Kemudian ternyata bahwa meskipun dia Kristen, gerejanya bukan gereja Angelikant, sebab itu dia tidak mau sembahyang di sana.
Sedang bagi kita orang Islam, ke masjid yang mana saja pun kita masuk, sahlah shalat kita di sana. Dan bila tiba musim haji, beratus ribu orang naik haji dari berbagai madzhab, shalat berjamaah di belakang imam yang satu. Sebab perselisihan pendapat madzhab-madzhab dan firqah dalam Islam, tidaklah mengenai pokok aqidah, hanyalah dalam soal furu' (cabang dan ranting) saja.
Ayat ini adalah pengajaran utama dari Tuhan kita, orang Islam terutama. Supaya apa yang terjadi pada pemeluk Yahudi dan Nasrani itu jangan sampai terjadi pula kepada kita. Jangan bertemu sebab-sebab yang membawa kedua umat itu, belahan kita sendiri, sama-sama penyambut agama tauhid, telah menyimpang jauh. Satu sebabnya yang utama ialah karena pengaruh ketua-ketua agama, baik ahbar orang Yahudi maupun ruh-ban orang Nasrani. Jangan sampai sebagai yang diisyaratkan oleh Abui Aliyah kepada muridnya ar-Rabi' itu bahwa tersesatnya Bani Israil ialah karena mereka meninggalkan hukum Kitab Allah karena memandang sabda ulama lebih dari hukum Allah.
MENUHANKAN GURU
Sesudah mencapai puncak kejayaan berpikir dalam segala bidang kehidupan, karena didikan Al-Qur'an dan tuntunan dari Sunnah Rasulullah ﷺ maka mulai abad ketujuh Hijriah, mulailah taqlid menyerang jalan berpikir yang bebas itu. Al-Qur'an sendiri ditinggalkan dan hanya untuk baca-baca mengambil berkat Hadits-hadits Nabi ﷺ sebagai sandaran hukum kurang begitu mendapat perhatian. Melainkan sangatlah dipentingkan pendapat ulama.
Ar-Razi ketika menafsirkan ayat ini di dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib telah membahas penyakit mempertuhan guru dan pendeta yang terdapat dalam Yahudi dan Nasrani itu jadi perbandingan kepada keadaan umat Islam di zaman itu. Ar-Razi berkata bahwa guru beliau pernah mengatakan kepadanya bahwa beliau menyaksikan suatu golongan dari fuqaha yang bertaqlid itu, ketika aku bacakan kepada mereka ayat-ayat yang banyak dari kitab Allah dari beberapa masalah, padahal madzhab mereka berlain dari yang tersebut dalam ayat itu, maka tidaklah mereka mau menerima keterangan dari ayat-ayat itu dan tidak mereka mau memedulikannya, bahkan mereka memandang kepada ayat itu tercengang-cengang. Yaitu, mereka berpikir, bagaimana mungkin beramal menurut mak-sud ayat, padahal riwayat dari ulama-ulama ikutan kita berbeda dengan itu? Maka kalau engkau renungkan dengan sungguh-sungguh, akan engkau ketahuilah bahwa penyakit ini sudah sangat menular dalam kalangan ahli dunia.
Lalu ar-Razi mengatakan lagi, “Pendek kata, maksud mempertuhan guru dan pendeta itu boleh dipahamkan bahwa mereka taat-setia memegang kata mereka, meskipun ber-tentangan dengan hukum Allah. Dan boleh juga dipahamkan bahwa mereka menerima dari pimpinan agama itu berbagai ajaran yang membawa kufur sehingga mereka pun kufurlah kepada Allah. Maka dengan sebab itu jadilah mereka telah tergolong mengambil selain Allah menjadi Tuhan. Dan mungkin juga diartikan bahwa si pengikut itu percaya bahwa Allah telah menjelma kepada diri guru-guru dan pendeta-pendeta itu atau mereka telah bersatu dengan Allah (ittihad). Dan keempat-empat macam ini telah dapat disaksikan dan telah bertemu pada umat ini."
Inilah perkataan ar-Razi, yang mengarang tafsirnya pada abad-abad pertengahan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa penyakit-penyakit kepercayaan Yahudi dan Nasrani itu telah berjumpa pula dalam kalangan Islam. Lebih mementingkan kata ulama daripada kata Allah dan Rasul ﷺ. Taklid dalam soal-soal fiqih sehingga tidak mau lagi meninjau pikiran yang baru sehingga agama menjadi membeku. Sehingga timbullah pertengkaran dan pertentangan dan sampai kepada permusuhan di antara muqallid suatu madzhab dengan muqa-Hid madzhab yang lain. Kadang-kadang sampai memusuhi orang yang berlain madzhab sama dengan memusuhi orang yang berlain agama.
Gejala mendewa-dewakan guru, baik di waktu hidupnya maupun sesudah matinya. Di dalam kalangan Islam, tumbuhlah pemujian yang berlebih-lebihan kepada guru-guru yang dikeramatkan, dan setelah si guru mati, kuburnya pun mulai dikeramatkan pula, yaitu diberhalakan. Mereka tidak akan mau mengaku bahwa mereka telah mempertuhan guru, sebagai juga orang Yahudi dan Nasrani tidak juga akan mengaku bahwa guru-guru dan pendeta yang mereka puja-puja itu tidak juga akui sebagai Tuhan. Adi bin Hatim pun mulanya membantah ayat ini, karena dia sebagai orang Nasrani tahu benar, bahwa kaumnya tidak mempertuhan pendeta. Samalah orang Yahudi, orang Nasrani dan orang Islam yang menuruti jejak mereka dalam satu pengakuan, yaitu bahwa mereka tidak mengaku dengan mulut bahwa pujaan itu adalah Tuhan, melainkan melangsungkan dengan perbuatan, memberikan kepada mereka pemujaan-pemujaan dan ibadah yang seharusnya hanya dihadapkan kepada Allah.
Orang Nasrani mengatakan al-Masih Anak Allah, atau Allah dan al-Masih adalah Satu. Mereka mengatakan bahwa al-Masih itu adalah Kalam Allah dan Kalam itu sendiri adalah Allah. Dalam kalangan Islam menyelusup pula ajaran tentang Nur Muhammad atau al-Haqi-qatul Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Muhammad itu pun adalah penjelmaan Allah.
Mengeramatkan guru dan ulama, sampai pun kepada ajaran Nur Muhammad ini, me-nyelusup ke dalam kalangan kaum sufi, pelajaran tasawuf yang sudah sangat ghuluw (berlebih-lebih) sehingga dalam beberapa pelajaran tarekat kita dapati ajaran bahwa hendaklah murid menyerahkan jiwa raganya kepada syekhnya seumpama menyerahkan mayat ketika hendak dimandikan. Tidak bertanya, tidak membantah, dan walaupun keli-hatan nyata dengan mata kepala sendiri bahwa syekh itu telah berbuat maksiat hendaklah diterima saja, dan beliau lebih dekat kepada Allah Ta'aala. Mungkin kepada beliau telah dibuka kasyaf, telah terbuka jalan yang tertinggi, sehingga apa yang kelihatan oleh kita pada zahir bahwa dianya haram, mungkin hal itu halal!!
Dalam hal fiqih pemahaman agama pun demikian pula. Penentuan halal dan haram, hanyalah semata-mata hak mutlak dari Allah dan Rasul ﷺ. Malahan hukum halal dan haram yang dari Rasul ﷺ pun, tidak pernah keluar dari garis yang ditentukan oleh Allah. Sebab itulah maka dikatakan bahwa Sunnah adalah tafsir pertama dari Kitab. Adapun yang tidak ada nashnya yang sharih, termasuklah dia ke dalam masalah ijtihadiyah, masalah fiqih dan pemikiran ulama, yang kadang-kadang tepat mencatat kebenaran atau mendekatinya, dan kadang-kadang terdapat kekhilafan. Maka ulama-ulama besar, pelopor dari ijtihad, baik sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ maupun ta-bi'in, seumpama Ibrahim an-Nakha'i, ataupun ulama mutaqaddimin sebagai Imam Malik, Imam Abu Hanifah, asy-Syaffi, Imam Ahmad bin Hambal, al-Auza'i, dan lain-lain, tidaklah mereka beranf membuat hukum sendiri bah
wa ini halal ini haram, setegas Al-Qur'an. Sebab kalau mereka telah berbuat demikian, mereka telah mengambil hak mutlak Allah Ta'aala. Bila kita lihat keterangan asy-Syaffi di dalam al-Umm atau ar-Risalah, dalam hal yang pada pendapatnya bahwa sesuatu itu tidak baik dikerjakan, setinggi-tingginya beliau berkata, Akrahu-hu (Saya benci akan itu). Bukan saja asy-Syaffi, bahkan umumnya ulama-ulama yang besar-besar itu demikian halnya. Dalam hal yang ijtihadiyah, beliau hanya mengatakan Ia yanbaghi (tidak seyogianya), atau la yashluhu (tidak patut), atau astaqbihuhu (saya anggap hal itu buruk), atau beliau berkata: la araahu (saya tidak menganggapnya baik).
Kehati-hatian para ulama inilah yang menimbulkan hukum makruh; ada makruh tahrim dan ada makruh tanzih. Ini pula yang menyebabkan bahwa di bawah wajib yang bergantung kepada nash, ada pula mandub, mustahaba, dan sebagainya. Adapun menye-but ini wajib dan ini haram secara tegas, dalam masalah ijtihadiyah, tidaklah pernah terjadi pada ulama ikutan yang besar-besar itu.
Oleh sebab itu, kalau datang orang mu-qallid di belakang, yang telah membelokkan pendapat ulama, yang mandub (dianjurkan) telah menjadi wajib dan yang mereka katakan tidak patut, tidak layak, kurang baik, dan sebagainya, lalu telah dibawa ke dalam hukum bahwa beliau mengharamkan, si muqaliid secara sadar atau tidak sadar telah menambah-nambah hukum karena sangat taqlidnya kepada ulama. Apatah lagi orang yang datang di belakang, yang karena telah dipanggilkan orang bahwa dia orang ahli agama, berani-berani raja membuat hukum wajib atau haram, pada perkara yang tidak ada nashnya dari AI-Qur'an atau hadits yang shahih, yang hanya timbul dari pertimbangannya sendiri, yang tidak maksum daripada salah, maka orang itu telah mulai membelokkan kedudukan ulama Islam ke dalam kependetaan cara Nasrani, dan telah menutup pintu bagi orang lain yang diberi Allah kepadanya kesempatan buat turut memikirkan agama sehingga mereka beragama dengan sadar.
Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam me-nentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa, dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul ﷺ. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul ﷺ dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. inilah dia bid'ahl
Terkadang seakan-akan orang bosan dengan ibadah atau doa yang jelas tuntunannya dari Al-Qur'an atau dari atsar Rasulullah ﷺ, lalu orang pergi belajar tarekat atau tasawuf, atau belajar shalawat, mengerjakan wirid, membaca kalimat laa ilaaha illallah sejuta kali menaikkan lidah ke langit-langit. Men-tawajjuh-kan guru dalam ingatan pada permulaan suluk dan sebagainya. Mereka merasa bahwa mereka masih orang Islam, padahal segala wirid yang mereka kerjakan itu telah sangat melebihi dari yang ditentukan agama, apalagi dengan menghadirkan guru seketika mengadakan tawajjuh dan rabithah itu.
Bukanlah kita mencela tasawuf dalam keseluruhannya. Tetapi, kita menuruti akan pendapat Imam Ghazali yang melarang orang belajar thariqat-thariqat ahli tasawuf itu ka-lau persediaan iman, tauhid, dan Sunnah Rasul ﷺ, sebagai dasar, belum diketahui. Kalau dasar itu belum ada, kesesatanlah yang akan timbul. Awak merasa sudah bersung-guh-sungguh mengerjakan ibadah kepada Allah, mendekati Allah(taqqarrub), dan seba-gainya, padahal dengan tidak sadar, awak telah memakai sistem lain yang diajarkan oleh Muhammad Rasulullah ﷺ, padahal awak mengakui orang Islam. Disangka mendekati Allah, padahal membawa jauh dari Allah. Sehingga tepatlah untuk orang yang seperti demikian perkataan Imam Syafi'i:
“Barangsiapa yang bertasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu petang dia sudah gila."
Oleh sebab itu, di dalam merenungkan ayat ini, janganlah kita hanya menyangkanya sebagai celaan kepada Yahudi dan Nasrani, melainkan tiliklah dalam kalangan kita sen-diri, besar kemungkinan bahwa penyakit yang seperti itu telah menimpa diri kita pula.
Kritik yang bertemu di dalam Al-Qur'an kepada pendeta-pendeta Nasrani itu, bertemu terus-menerus sampai ke abad-abad di belakangnya. Satu waktu kekuasan tidak berbatas itu mencapailah kepada puncaknya. Yang mula-mula memberontak menantangnya adalah kalangan pendeta sendiri, dipelopori oleh Martin Luther (1483-1546 M) dan Calvin (1509-1564 M)
Pemberontak sesama kaum agama ini, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan kaum Protestan adalah tersebab sudah sangat leluasanya Kekuasaan Tertinggi Gereja menghalal dan mengharamkan sesuatu. Memberi ampun dosa-dosa orang asal memberikan bayaran yang tertentu. Melarang menafsirkan atau memahamkan sendiri isi kitab suci di luar dari yang ditentukan oleh gereja. Melarang pendeta kawin dan berbagai-bagai peraturan lain.
Meskipun Luther sebagai orang Kristen sangat benci kepada Islam dan kepada Nabi Muhammad ﷺ karena pusaka dendam sejak Peperangan Salib, namun penyelidik sejarah yang adil, tidak mungkin tidak mengakui bahwa gerakan Luther menentang kekuasaan gereja (Paus) ini terpengaruh juga dari ajaran Islam. Hubungan kebudayaan dan pengaruh cara berpikir tidak dapat dielakkan dengan diperintahnya negeri Spanyol oleh Islam sampai 700 tahun. Demikian juga konfrontasi yang demikian hebatnya selama Perang Salib yang berlaku sampai dua abad lamanya. Sesudah kembali dari Perang Salib, orang Eropa membawa cita-cita baru yang mereka saksikan dalam kebudayaan Islam.
Sesudah pemberontakan kaum gereja, sampai kesatuan gereja menjadi pecah, datang pulalah pemberontakan dari ilmu pengetahuan itu sendiri kaum sarjana dan cendekiawan tidak mau lagi terikat oleh gereja. Dengan terang-terang mereka hendak membebaskan perkembangan ilmu pengetahuan ataupun filsafat dari gereja, karena terbukti bahwa gereja itu hanya menghambat-hambat, menghalangi dan jadi batu penarung dari hasil-hasil penyelidikan dan pendapat modern. Orang-orang di zaman itu tidak berani lagi menge-luarkan hasil penyelidikan baru tentang alam. Sebab pendeta berleluasa saja buat menghu-kum orang yang menyatakan bumi bulat, atau bahwa bumi bukanlah pusat alam, dan lain sebagainya. Orang-orang semacam Galilei, Bruno, dan lain-lain dihukum, dibakar atau di-suruh tobat.
Demikian keras tantangan kepada gereja, sehingga akhirnya ilmu pengetahuan menang, dia bebas dari gereja. Filsafat menang; dia pun bebas dari gereja, dan akhirnya pendeta pun tidak boleh campur lagi dalam urusan duniawi, hingga datanglah pemerintahan sekular.
Tetapi setelah mereka tersisih dari urusan ilmu, filsafat dan duniawi itu, dan setelah kesatuan gereja terpecah-belah, gereja Katolik insaf akan dirinya. Mereka dari masa ke masa, tahun ke tahun menginsafi akan kelemahan mereka selama ini. Pimpinan telah dirampas dari tangan mereka karena kesempitan ilmu mereka. Lalu berusahalah mereka mempelajari soal-soal yang penting itu. Mereka turuti perkembangan filsafat, ilmu pe-ngetahuan alartl (fisika), dan soal-soal lain dalam dunia ini, sehingga mau tidak mau suara mereka pun didengar orang. Mereka berusaha hendak merebut kembali kedudukan mereka yang hilang dari segi ideal dan spiritual.
Maka di abad-abad terkemudian mulailah keadaan terbalik. Ulama-ulama Islam tidak lagi menguasai perkembangan ilmu pengetahuan ataupun filsafat yang di zaman dahulu, merekalah pelopornya. Imam Malik pernah berkata,
“Ulama-ulama adalah pelita dari zamannya
Tentu saja pelita itu menjadi redup karena kurang minyaknya. Kurang ilmu pengetahuan sehingga dia tidak menyiarkan terang pada sekelilingnya, Syukur alhamdulillah, agama Islam tidak memiliki badan kegerejaan sehingga ulama-ulama dalam Islam, bukanlah seperti pendeta dalam gereja Katolik, yang merasa berkuasa menghalal dan mengharamkan sehingga pendapat seorang ulama bisa dibantah oleh orang lain, jika bantahannya itu cukup kuat berdasar dari sumber asli Islam, yaitu Al-Qur'an dan hadits itu sendiri.
Maka ketika pada 1960 seorang ulama di Singapura memberikan fatwa, haram manusia pergi ke bulan, yang lebih dahulu tertawa bukanlah pemeluk agama lain, melainkan kalangan Islam sendiri. Sebab jelas bahwa Tuan Mufti itu telah ketinggalan kereta api. Sembilan tahun sesudah fatwanya itu keluar, manusia sudah sampai ke bulan.
HENDAK MEMADAMKAN NUR ALLAH DENGAN MULUT
Kemudian, datanglah lanjutan firman Allah demikian bunyinya:
Ayat 32
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka."
Inilah pula maksud yang terkandung di dalam hati orang Yahudi dan Nasrani itu, terutama dalam kalangan pemuka-pemuka mereka. Mereka ingin, bermaksud, dan bertekad hendak memadamkan cahaya Allah. Menurut as-Suddi, “Cahaya Allah ialah Islam!" Menurut adh-Dhahhak, “Cahaya Allah ialah Muhammad sendiri." Menurut al-Kalbi, “Cahaya Allah ialah Al-Qur'an." Dan menurut sebagian ahli tafsir pula, cahaya Allah ialah cahaya dari dalil-dalil dan bukti-bukti tentang tauhid Allah dan nubuwwat Muhammad. Karena dalil-dalil itu adalah memberikan petunjuk kepada kebenaran menurut akal, sebagaimana cahaya memberikan dalil untuk menunjukkan adanya yang dapat diketahui dengan pancaindra.
Sebab itu, nyatalah bahwa nur atau cahaya mengandung dua arti, yaitu cahaya yang bisa diketahui dengan pancaindra dan cahaya yang dapat dirasakan dalam pikiran. Cahaya pada kedua bidang itu ialah yang nyata pada dirinya sendiri dan memberikan kenyataan akan adanya yang lain. Nur ma'nawi untuk pandangan hati dan nurhaqiqi yang terbentang di mata ini untuk pandangan mata.
Baik kita gabungkan ketiga nur tadi, yaitu Islam, Al-Qur'an, dan Muhammad. Ketiganya menggabung membawa suatu cahaya, sebab dia adalah kebenaran. Dia mencahayai jiwa, bukan meragukan. Dia menerangkan, bukan menggelapkan. Dia sesuai dengan akal, bukan ditolak oleh akal. Cahaya itu tidak dapat dibantah, walaupun oleh hati sanubari orang-orang yang membantah itu sendiri. Karena mereka tidak suka akan cahaya itu, sebab sangat merugikan bagi kedudukan mereka, berkehendaklah mereka hendak me-madamkannya. Dengan apa mereka padamkan? Tentu saja dengan mulut Hanya mulut mereka yang akan payah memadamkan, adapun hati sanubari mereka sendiri, kalau bercakap dengan segala kejujuran, tidaklah mau membantahnya atau memadamkannya. Sebab itu hanya dengan mulutlah mereka sanggup memadamkannya. Dan akan berha-silkah memadamkan cahaya Allah dengan mulut manusia? Sedangkan misalnya berse-pakatmanusia di seluruh muka bumi ini hendak mengembus mulut buat memadamkan cahaya matahari, tidaklah akan berhasil pekerjaan mereka, apalagi kalau memadamkan cahaya Allah!
Perhatikanlah susun kata dalam ayat memakai fi'il mudharri'.
“Yuridu-na anyuth-fi'u!" Fi'il mudhari' mengandung akan zaman sekarang dan zaman selanjutnya. Yang berarti akan terus-menerus. Mereka berkehendak atau berkeinginan atau mau bahwa akan memadamkan cahaya Allah. Di zaman Nabi ﷺ selalu timbul gangguan dari orang Yahudi di Madinah, walaupun pada mula hijrah telah membuat perjanjian akan bertetangga secara baik. Dan pada zaman Rasulullah ﷺ pula telah timbul maksud-maksud hendak memadamkan cahaya Allah yang baru timbul di Madinah itu dari pihak Utara, tempat orang Rum berkuasa dan kabilah-kabilah Arab yang berlindung di bawah kuasa bangsa Rum. Sampai surat Nabi ﷺ dilemparkan ke tanah dan diinjak-injak dan sampai utusan Nabi ﷺ dibunuh.
Janganlah kita sangka bahwa ayat ini berlawan dengan ayat 82 sampai 84 dari surah al-Maa'idah, surah 5, yang di sana mengatakan bahwa orang Nasrani lebih dekat cintanya kepada orang Islam daripada Yahudi dan musyrikin. Ayat yang itu hanyalah semata-mata menunjukkan dengan secara adii dan jujur bahwa dalam kalangan mereka pun ada juga yang jujur, yang tidak mencoba hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut. Yaitu mereka yang tidak diikat kepentingan politik dan mempertahankan golongan, yang semata-mata mencintai kebenaran. Adapun yang selebihnya, seperti Heraklius dan raja-raja Arab Nasrani di utara (Syam) pada waktu itu, tidaklah merasa senang had jika cahaya ini memancar. Mereka terus berusaha hendak memadamkan. Kebangkitan Islam artinya adalah pengikisan kekuasaan Romawi di Tanah Arab atau timbulnya saingan baru yang akan menjatuhkan martabat mereka.
Oleh karena itu, selama Islam masih memancarkan cahayanya ke muka dunia, dengan kebenaran dan dalil-dalilnya yang diterima akal, mereka tetap cemas, sebab kedudukan mereka pasti terancam kemusnahan. Apalagi karena dalam ajaran Islam itu pula, dunia adalah jalan ke akhirat, dan kekuatan serta kekuasaan adalah sendi tegaknya agama yang benar. Sebab itu baik Yahudi maupun Nasrani, sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, sampai sekarang, sampai hari Kiamat, akan selalu berusaha melaksanakan keinginan mereka memadamkan cahaya Allah ini dengan mulut. Itulah sebabnya maka terjadi Perang Salib pada zaman dahulu. Itulah sebabnya maka terjadi Perang Salib zaman modern dengan menjajah negeri-negeri Islam setelah negeri-negeri Islam itu lemah. Itu sebabnya, ada penjajahan kebudayaan, penjajahan pendidikan, pendeknya penjajahan mental.
Itu sebabnya, ada salah satu Instruksi dari kaum Zending dan Misi untuk menghapuskan pengaruh Islam dari jiwa anak-anak Islam, dengan maksud, biarpun mereka tidak mau memeluk Kristen, tidak apa. Asal jiwa mereka tidak Islam lagi! Biar ayah dan datuk nenek mereka masih memegang teguh Islam, asal diusahakan anak-anak mereka tidak mengerti lagi apa itu Islam.
Itu pula sebabnya maka ada orientalis-orientalis yang bertekun mempelajari Islam, lalu mengeluarkan pendapat mereka yang memberikan tafsir lain sehingga orang Islam sendiri jadi ragu akan kebenaran agamanya. Seumpama mereka katakan bahwa Islam itu dimajukan dengan pedang. Bahwa Islam itu merendahkan martabat kaum perempuan, sebab mengizinkan beristri sampai empat. Atau memberi komentar dan penafsiran yang buruk tentang sejarah hidup Nabi Muhammad ﷺ Semuanya ini adalah dalam rangka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut.
Itu pula sebabnya maka kerajaan Kristen yang besar, Inggris dan Amerika memberikan sokongan yang nyata bagi orang Yahudi mendirikan negara Israel di Tanah Arab. Yaitu guna menghambat kebangunan Islam kembali, yang mereka sendiri pun mengetahui bahwa kebangunan kembali ini sudah pasti akan datang.
“Tetapi Allah tidak mau, melainkan hendak menyempurnakan cahaya-Nya jua, walaupun tidak suka orang-orang yang kafir itu."
Ujung ayat ini menegaskan bahwa mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut itu tidaklah akan dibiarkan berhasil oleh Allah, Cahaya Allah ialah kebenaran. Kebenaran tidaklah dapat dihalangi oleh kekuatan manusia. Bagaimanapun menghalanginya dia mesti timbul. Kalau ayat ini kita ambil guna penilik betapa perkembangan di zaman Rasul ﷺ dan para sahabatnya, nyatalah bahwa usaha Yahudi dan Nasrani di zaman itu, hendak menghapuskan cahaya Allah telah menjadi sia-sia. Yahudi terhapus dari seluruh Tanah Arab, dan Islam telah bangun dari Madinah, Islam telah timbul dan pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, Heraklius Raja Rum di Syam, terpaksa lari kembali ke Konstantinopel dan Palestina pusat kekuasaan mereka di waktu itu telah ditaklukkan.
Begitu yang telah kejadian, meskipun mereka tidak suka.
Kemudian timbul Perang Salib. 200 tahun bangsa-bangsa Kristen Eropa memerangi pusat-pusat negeri Islam, sampai mereka dapat mendirikan Kerajaan Kristen di Jerusalem 90 tahun lamanya. Akhirnya, mereka terusir habis dan cahaya Allah yang ada dalam ajaran Islam memancar pula ke Eropa, dibawa oleh bekas-bekas penjarah itu sendiri sehingga se-jak Perang Saliblah Eropa mendapat cahaya baru, karena pengaruh kebudayaan Islam yang mereka saksikan.
Kemudian datang zaman pertentangan-pertentangan hebat yang lain, pengusiran Islam dari Spanyol, masuknya Turki ke Eropa, datangnya penjajahan bangsa-bangsa Kristen ke dunia Islam. Propaganda agama Kristen besar-besaran dengan belanja berjuta-juta pound dan dolar, sampai sekarang. Namun bangsa-bangsa Islam yang tadinya terjajah, sekarang merdeka kembali. Dan usaha untuk menghapuskan Islam tidaklah berhasil dan tidaklah akan berhasil. Mungkin di suatu front dalam perang total keyakinan agama ini ada yang lemah, namun di front yang lain dia tetap kuat. Nanti diambil kepada jumlah seluruh, terang juga bahwa usaha menghapuskan cahaya Allah itu tidak akan berhasil.
Dunia Kristen kagum memikirkan betapa kemajuan pengkristenan di Indonesia di masa 30 tahun ini, tetapi mereka sedih hati sebab di Afrika mereka terdesak. Maka seorang ulama Islam yang besar di Indonesia, dengan jiwa besar pernah mengatakan, “Islam mungkin bisa mereka kalahkan di Indonesia, tetapi dia tidak akan dapat dikalahkan di seluruh dunia." (Kiai H.A. Dahlan).
Dalam saat banyak orang Islam yang tidak mengerti agamanya dapat ditarik ke dalam agama lain di Indonesia, di Eropa sendiri, pusat kebudayaan Kristen, banyak orang yang meninggalkan Kristen karena tidak cocok dengan akal dan ilmunya.
Selain dari janji Allah bahwa cahaya-Nya akan tetap bersinar, maka kita sendiri, sebagai Muslim wajiblah senantiasa menyalakan cahaya itu dalam hati kita. Supaya kita jangan kehilangannya.
Ayat 33
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar."
Artinya, untuk menyempurnakan cahaya-Nya itu, Allah telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad ﷺ dengan petunjuk. Petunjuk itu adalah Al-Qur'an, Petunjuk atau panduan atau pedoman. Di dalamnya diberikan petunjuk tentang yang halal dan yang haram, pergaulan sesama manusia, ibadah kepada Allah, pergaulan ayah dan anak, anak dan ayah, suami dan istri, kenegaraan dan siasat, perang, dan damai. Dan, agama yang besar lagi sempurna, yang tegak uratnya dan dapat diselidiki dari mana dan betapa, tahan uji, dan tidak akan digantikan lagi oleh agama yang lain. Dia telah menjelaskan hubungan dengan Allah. Dia adalah berisi tauhid, dan tauhid adalah puncak tertinggi dari kecerdasan ma-nusia.
Disebut di dalam ayat ini sifat agama yang dibawa oleh Muhammad ﷺ itu, yaitu agama yang benar, untuk memberikan penjelasan dari ayat 30 tadi, yang mengatakan bahwa Ahlul Kitab itu tidak lagi berpegang pada agama yang benar. Sebab sudah terang bahwa dokumen asli ajaran nabi-nabi yang dahulu itu sudah banyak yang hilang. Taurat Musa tidak ada yang asli lagi. Injil isa yang asli pun tidak bertemu lagi, melainkan hanya catatan riwayat hidup Isa dan beberapa perkataannya yang disusun oleh orang-orang lain, lalu me-reka menamainya Injil Karangan Matius, Injil Karangan Markus, Injil Karangan Lukas, Injil Karangan Yohannes. Lalu Injil karangan yang lain lebih dari empat malahan sampai 70 naskah, yang menurut keputusan gereja tidak boleh dipakai. Kemudian isi dari surat-surat Paulus, yang perbedaan isinya dengan Injil-Injil itu terdapat pula, harus dimasukkan menjadi peraturan agama pula. Maka masuklah kepercayaan purbakala Trinitas ke dalam Kristen, menurut yang diputuskan oleh beberapa Konsili sehingga agama mereka tidak benar lagi, tidak asli lagi. Maka datanglah Muhammad ﷺ menegakkan kembali agama yang benar dan asli dari Allah, yang tidak dicampuri oleh syirik dan berbagai tambahan pendeta.
Dari segi pemeliharaan administrasi atau dokumentasi pun kebenaran agama Islam itu terjamin. Al-Qur'an telah tercatat sejak zaman Rasulullah ﷺ, dikumpul oleh Abu Bakar belum setahun sesudah Rasul wafat, dalam satu naskah. Disalin dalam beberapa naskah oleh Utsman bin Affan, diurus satu panitia, yang orang-orangnya semuanya telah bertemu dengan Rasulullah ﷺ.
Kemudian datang zaman pengumpulan hadits-hadits dan sabda Rasulullah saw,, catatan perbuatan beliau. Ini pun dikaji mana yang shahih, mana yang hasan, mana yang dhaif, dan mana yang maudhu' (palsu). Disisihkan catatan hadits-hadits ini, meskipun dia ucapan beliau, dengan Al-Qur'an, yang meskipun dia ucapan beliau juga, sebab dia wahyu. Tidak pernah dicampur-aduk. Maka Islam adalah agama yang benar dalam inti ajaran, dan agama yang benar dalam kehati-hatian catatan.
Orang yang membantah kebenaran ini, lain tidak hanyalah karena ta'ashshub.
“Karena Dia akan tinggikan dia di atas segala agama; walaupun enggan orang-orang musyrikin itu."
Dia akan lebih tinggi, dia akan mengatasi segala agama yang ada di dunia ini. Ini janji Allah. Untuk memikirkan betapa hebatnya janji ini, ingatlah lagi ayat yang terkenal pada surah al-Baqarah, bahwa paksaan tidak ada dalam agama. Agama yang lain juga akan ada, tetapi Islam akan tetap mengatasi semua agama-agama itu, sebab dia adalah puncak dari kemurnian akal manusia. Dalam pokok berpikir yang dialektik dia adalah synthese terakhir dari paham mengakui adanya Tuhan, tetapi diperserikatkan dengan yang lain (these) yang bertentangan dengan paham tidak bertuhan sama sekali (on ti-these). Penulis tafsir ini pernah bertukar pikiran dengan seorang dokter Rusia yang merawatnya; dokter Rusia itu—yang berpaham komunis— menyatakan bahwa bertambah kemajuan pikiran manusia kelak, dan bertambah tinggi ilmu pengetahuan, bertambah hapuslah ke-percayaan manusia tentang adanya Tuhan. Lalu penulis jawab bahwa bertambah maju akal dan kecerdasan manusia dan bertambah tinggi ilmu pengetahuan, sudah pasti akan ber-tambah percayalah orang akan adanya Tuhan.
“Mana itu Tuhan dan di mana adanya?" tanya dokter itu kepada saya.
Lalu saya menjawab, “Kalau begitu berpikir tentang Tuhan, tentu benarlah apa yang Tuan sangkakan itu. Memang kepercayaan bahwa Tuhan itu bertubuh atau bertempat, itulah yang akan menghalangi manusia mempercayai adanya Tuhan. Bangsa tuan menjadi komunis, sebab kepercayaan agama yang dahulu dipeluk bangsa tuan ialah bahwa Tuhan itu tiga sama dengan satu, dan satu itu ialah tiga, dan Tuhan itu adalah seorang manusia. Maka jika bertambah kecerdasan manusia dan bertambah ilmunya, kepercayaan-keper-cayaan kepada Tuhan seperti itu, niscaya akan habis terdesak, sebab tidak sesuai dengan akal dan kecerdasan. Tetapi bila kecerdasan telah tinggi dan ilmu pengetahuan alam dan eksakta bertambah tinggi pula, manusia pasti sampai pada kepercayaan bahwa semuanya ini tidaklah terjadi dengan kebetulan. Keteraturannya sehingga dia dapat menjadi ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, membawa kesimpulan kepada kepercayaan bahwa semua ini telah diatur oleh yang mengatur, Maha Pengatur ..." Inilah jawab saya. Dan beliau pun segera menjawab, “Akan saya pikirkan!"
Syukur dokter itu masih mau berpikir. Tidak memaksa dirinya untuk tidak memikirkan lagi, sebab dilarang oleh disiplin yang keras dari partai.
Islam telah dijanjikan Allah akan mengatasi segala agama, karena ajarannya yang sesuai dengan fitrah akal manusia. Adapun apakah kita yang telah disebut sebagai pemeluk Islam ini, yang telah Islam menurut geografi dan peta bumi, itu adalah soal yang kedua.
Besar kemungkinan bahwa ada pemeluk lain agama atau orang tak beragama mendapat hakikat Islam itu, tetapi mereka tidak tahu. Dan ada kemungkinan ada orang Islam, mengakui memeluk Islam, tetapi dia tidak turut menikmati kebesaran Islam itu, karena dia tidak berilmu.
Zaman sekarang dinamai Zaman Kemajuan Pikiran dan Ilmu. Kepercayaan kepada Allah bertambah teguh karena kemajuan ilmu. Segala kepercayaan yang tidak diterima akal tak dapat tunduk padanya dari masa ke masa kian luntur dan jiwa manusia. Orang yang berakal sebab menginginkan sesuatu kepercayaan yang dapat mendamaikan jiwanya de-ngan akalnya.
Oleh sebab itu maka kepercayaan Hindu yang didasarkan kepada pertentangan kasta, yang menurut prinsip itu ada kasta yang dipandang hina dan bernajis, kian lama akan ditinggalkan oleh manusia. Sehingga orang yang memeluk agama Hindu sendiri pun, dari dalam akan menyanggah dasar kepercayaan itu. Kalau kasta telah dihabiskan, habis pula-lah agama Hindu.
Agama Buddha mengajarkan bahwa hidup di dunia ini adalah Sangsara belaka. Buddha tidak mengajarkan dari hal Tuhan, siapa Tuhan itu, apa sifat-Nya. Buddha hanya mengajarkan bagaimana supaya diri kita bebas dari sengsara hidup karena kebebasan jiwa menempuh Nirwana. Tetapi akhirnya penganut Buddha menganggaplah bahwa Buddha itu sendiri adalah Tuhan. Lalu mereka buatlah berhala Buddha buat mereka puja. Meskipun Buddha sendiri tidak pernah memerintahkan agar dia diberhalakan. Agama seperti itu kian lama akan kian hilang dari hidup orang sehari-hari, sehingga yang dapat mengerjakannya hanyalah para biksu saja.
Agama Yahudi tidak mau berkembang ke luar Israel. Bagi mereka agama Yahudi itu adalah agama kaum. Mereka tidak mempropagandakan agar orang lain masuk Yahudi, bahkan menghambat jangan sampai orang lain masuk. Karena kalau orang lain masuk Yahudi, kotorlah darah Israel. Mereka adalah “kaum yang dipilih Tuhan". Meskipun ada orang lain masuk Yahudi karena perkawinan, namun orang baru itu tetap dipandang asing. Yahudi dengan sendirinya hanya agama terbatas.
Agama Nasrani yang mengajar bahwa Tuhan itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, atau satu sama dengan tiga dan tiga sama dengan satu, yang mengajarkan bahwa dosa adalah diwarisi; orang harus berhenti terlebih dulu memakai akalnya, barulah dia akan beragama. Sebab segala pokok ajaran (dogma) itu tidak masuk di akal. Mereka akan berhenti mempergunakan akal, sekurang-kurangnya pada saat beragama itu saja. Ada orang yang berakal dan taat beragama. Maka mereka pergilah ke gereja pada hari Ahad. Pada hari itu sengaja mereka berhenti mempergunakan akal, untuk mengakali benar tidaknya bahwa Tuhan itu adalah tiga tetapi satu, satu tetapi tiga. Nanti hari Senin sampai Sabtu, mereka giat lagi mempergunakan akal buat urusan lain. Dan, di hari yang enam itu, jangan dicampur-campur dengan agama. Sebab kepercayaan agama tidak dapat disesuai-kan dengan berpikir yang teratur.
Lantaran itu tepatlah apa yang tersebut dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa agama Islam akan tetap mengatasi agama-agama yang lain. Artinya, kalau manusia mau beragama dengan sepenuh arti kalimat, tidak ada lain jalan, mereka mesti masuk ke dalam suasana Islam. Kian lama ajaran Islam itu akan diterima. Thau'an au karhan, dengan kemauan sendiri atau dipaksa oleh keadaan, disadari atau tidak disadari, meskipun mereka belum memeluk agama Islam dengan resmi.
Beratus tahun lamanya orang Katolik mencela jika pendeta beristri dan menghamburkan segala celaan kepada Islam, sebab ulama Islam beristri. Pada tahun-tahun 1968-1969 dan sampai sekarang, dunia Katolik ribut, karena pendeta-pendeta sendiri minta kawin. Mereka sanggah Paus mereka sendiri karena Paus masih saja mempertahankan bahwa pendeta tidak boleh kawin.
Sebab tidak boleh kawin, adalah satu aturan yang tidak masuk akal, atau satu kebohongan, satu hipokrit (kemunafikan), yang kian lama dirombak oleh perjalanan sejarah sendiri.
Jasa nabi-nabi yang telah terdahulu tidaklah dimungkiri umat manusia yang berakal budi. Ajaran Islam pun menjelaskan bahwa isi ajaran segala nabi dan rasul itu hanya satu, seperti di atas telah diterangkan. Itulah sebabnya maka ketika Allah mengutus Rasul-Nya yang penghabisan, Muhammad ﷺ, dikatakan bahwa ajaran itu akan melebihi dan mengatasi segala agama. Sebab hakikatnya telah dikenal sejak semula.
Sayyid Abui Hasan Ali an-Nadawi, menulis dalam bukunya, Apa Kerugian Dunia karena Mundurnya Kaum Muslimin:
“Menurut keterangan Ustadz Ahmad Amin bahwa dalam kalangan Kristen pernah timbul suatu gerakan karena pengaruh Islam. Pada abad kedelapan Masehi, artinya abad kedua dan ketiga Hijriah, timbul di Septimania, suatu gerakan menentang pengakuan dosa di hadapan pendeta. Pendeta tak berhak mengampuni dosa manusia dan manusia boleh langsung memohon sendiri kepada Allah agar dosanya diampuni. Sedangkan islam tidak mengakui ada orang perantara, seumpama ulama yang akan menyampaikan permohonan ampun itu kepada Allah."
Menurut Islam, kalau kita merasa berdosa, kita diperintahkan tobat langsung kepada Allah. Tidak perlu ada orang lain yang tahu. Dan, kita dianjurkan memohonkan lagi kepada Allah agar Dia menutupi aib kita, hingga yang tahu hanya kita dan Allah. Mengakui dosa dan minta ampun dengan perantaraan pendeta itu dalam kenyataannya adalah suatu kepalsuan. Sebab pendeta itu sendiri, sebagai seorang manusia, adalah orang yartg tidak bersih dari dosa.
Demikian pula disebutkan timbulnya gerakan menghancurkan gambar-gambar dan patung-patung yang dipuja-puja secara keagamaan (Iconoclats).
Pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi (abad ketiga dan keempat Hijriah), timbul sebuah sekte Kristen yang menentang pemujaan gambar dan patung, Kaisar Leo III pada tahun 726, sampai mengeluarkan larangan menyembah gambar dan patung. Pada tahun 730, keluar lagi susunan perintah baginda melarang memuja gambar dan patung. Demikian pula Kaisar Konstantin V dan Kaisar Leo IV. Akan tetapi, Paus Georgius II dan Paus Georgius III dan Germanius Uskup Iskandariyah dan Kaiserin Irene, membela pemujaan patung dan berhala serta gambar itu, sehingga timbul pertentangan. Ahli-ahli sejarah mengatakan bahwa segala pertentangan ini, timbul karena masuknya pengaruh ajaran Islam. Dan tersebut pula bahwa Claudius Uskup Torraine yang diangkat menjadi uskup tahun 828 (sekitar tahun 213 Hijriah), telah membakar gambar serta patung-patung dan melarang keras memujanya. Ketika orang menulis sejarah uskup ini, telah diperingatkan bahwa beliau dilahirkan di Andalusia dan di sana beliau mendapat pendidikan.
Sayyid Abui Hasan an-Nadawi menerangkan pula dalam bukunya tersebut bahwa di dalam Kristen pun timbul satu sekte yang tidak mau mengakui trinitas. Mereka tidak mau menganut kepercayaan bahwa Nabi Isa adalah Tuhan atau Anak Tuhan.
Tentu yang beliau maksud ialah Sekte Unitharian.
Bertambah maju orang berpikir, bertambah orang mendekat pada ajaran Islam. Mulanya mereka mencela dengan penuh kebencian. Akhirnya, mereka ikuti dengan diam-diam.
Sekarang dunia modern mengambil pedoman kepada peradaban dan ilmu pengetahuan dari Eropa. Kalau dikaji secara mendalam, kemajuan peradaban Eropa yang sekarang ini bukanlah dari Kristen. Barulah mereka bebas buat maju setelah mereka tidak lagi mengikatkan diri kepada agama mereka. Kemajuan Barat sekarang ini adalah dari tiga unsur.
• Penggalian kembali filsafat Yunani.
• Kemerdekaan pikiran yang menimbulkan pendapat-pendapat baru.
• Pengaruh peradaban dan kebudayaan Islam yang dibawa kembali ke Eropa sesudah Perang Salib.
Bangsa Timur yang dipandang pesat kemajuannya ialah bangsa Jepang. Kemajuan Jepang dalam hal teknik adalah setelah meniru dari Barat, sedang sumber Barat adalah dari yang tiga tadi. Jepang tidaklah maju karena Shintoisme. Agama Shinto semata-mata dipertahankan sebagai pusaka bangsa saja, yang sesudah Perang Dunia ke-2 menghadapi kegoncangan.
Maka sesuatu umat yang peradabannya dan kebudayaannya dibentuk oleh agamanya ialah um