Ayat
Terjemahan Per Kata
يَمۡحَقُ
menghapuskan/memusnahkan
ٱللَّهُ
Allah
ٱلرِّبَوٰاْ
riba
وَيُرۡبِي
dan Dia menyuburkan
ٱلصَّدَقَٰتِۗ
sedekah
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
كُلَّ
setiap
كَفَّارٍ
orang yang tetap kafir
أَثِيمٍ
yang berbuat dosa
يَمۡحَقُ
menghapuskan/memusnahkan
ٱللَّهُ
Allah
ٱلرِّبَوٰاْ
riba
وَيُرۡبِي
dan Dia menyuburkan
ٱلصَّدَقَٰتِۗ
sedekah
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
كُلَّ
setiap
كَفَّارٍ
orang yang tetap kafir
أَثِيمٍ
yang berbuat dosa
Terjemahan
Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.
Tafsir
(Allah menghancurkan riba) dengan menguranginya dan melenyapkan berkahnya (dan menyuburkan sedekah), maksudnya menambah dan mengembangkannya serta melipatgandakan pahalanya. (Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang ingkar) yang menghalalkan riba (lagi banyak dosa), artinya yang durhaka dengan memakan riba itu hingga akan menerima hukuman-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 276-277
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat 276
Allah memberitakan bahwa Dia menghapuskan riba dan melenyapkannya. Hal ini terjadi dengan cara adakalanya Allah melenyapkan riba secara keseluruhan dari tangan pelakunya, atau adakalanya Dia mencabut berkah hartanya, sehingga ia tidak dapat memanfaatkannya, melainkan menghilangkannya di dunia dan kelak di hari kiamat Dia akan menyiksanya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Katakanlah, "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu." (Al-Maidah: 100)
“Dan Allah menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian lain, lalu semuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam.” (Al-Anfal: 37)
Dan firman Allah ﷻ: “Dan sesuatu riba yang kalian berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (Ar-Rum: 39), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Allah memusnahkan riba.” (Al-Baqarah: 276) Makna ayat ini sama dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud. Disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, "Riba itu sekalipun (hasilnya) banyak, pada akhirnya berakibat menyusut." Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ar-Rakin ibnur Rabi', dari ayahnya, dari ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya riba itu, sekalipun (hasilnya) banyak, tetapi pada akhirnya menjadi menyusut.”
Ibnu Majah meriwayatkan dari Al-Abbas ibnu Ja'far, dari Amr ibnu Aun, dari Yahya ibnu Abu Zaidah, dari Israil, dari Ar-Rakin ibnur Rabi' ibnu Amilah Al-Fazzari, dari ayahnya, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang memperbanyak melakukan riba, melainkan hasil akhirnya pasti akan menyusut.”
Hal ini termasuk ke dalam Bab "Muamalah" yang akibatnya bertentangan dengan tujuan yang mau dicapai, seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Nafi' Az-Zahiri, telah menceritakan kepadaku Abu Yahya (seorang lelaki dari kalangan penduduk Mekah), dari Farukh maula Usman, bahwa sahabat Umar ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin keluar menuju masjid, lalu ia melihat makanan yang digelarkan. Maka ia bertanya, "Makanan apakah ini?" Mereka menjawab, "Makanan yang didatangkan buat kami." Umar berkata, "Semoga Allah memberkati makanan ini, juga orang yang mendatangkannya." Ketika dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya si pengirim makanan ini telah menimbun makanan kaum muslim, Umar bertanya, "Siapakah pelakunya?" Mereka menjawab bahwa yang melakukannya adalah Farukh maula Usman dan si Fulan maula Umar.
Maka Khalifah Umar memanggil keduanya, lalu Umar bertanya kepada keduanya, "Apakah yang mendorong kamu berdua menimbun makanan kaum muslim?" Keduanya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, kami membelinya dengan harta kami dan menjualnya." Umar berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang melakukan penimbunan makanan kaum muslim (untuk memperoleh keuntungan yang besar), niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan atau penyakit kusta.” Maka Farukh berkata saat itu juga, "Aku berjanji kepada Allah, juga kepadamu, bahwa aku tidak akan mengulangi lagi menimbun makanan untuk selama-lamanya." Adapun maula (bekas budak) Umar, ia berkata, "Sesungguhnya kami membeli dan menjual dengan harta kami sendiri." Abu Yahya mengatakan, "Sesungguhnya aku melihat maula Umar terkena penyakit kusta."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui Al-Haisam ibnu Rafi' yang lafalnya menyebutkan seperti berikut: “Barang siapa yang melakukan penimbunan makanan kaum muslim (untuk memperoleh keuntungan yang besar), niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan dan penyakit kusta.”
Firman Allah ﷻ: “Dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Ayat ini dapat dibaca yurbi, berasal dari rabasy syai-a, yarbu, arbahu yurbihi artinya memperbanyak dan mengembangkan serta menumbuhkan. Dapat pula dibaca yurabbi, berasal dari tarbiyah.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Munir, ia pernah mendengar dari Abun Nadr bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Dinar, dari ayahnya, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang bersedekah sebiji buah kurma dari usaha yang baik (halal) - Allah tidak akan menerima kecuali yang baik - maka sesungguhnya Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya (kekuasaan-Nya), kemudian mengembangkannya buat pelakunya, sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak untanya, hingga besarnya nanti seperti bukit.”
Demikianlah menurut riwayat Imam Al-Bukhari di dalam Kitab Zakat-nya. Dia meriwayatkannya pula di dalam Kitab Tauhid, bahwa Khalid ibnu Mukhallad ibnu Sulaiman ibnu Bilal telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Dinar, lalu ia menyebutkan hadits ini berikut sanadnya dengan lafal yang serupa. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Bab "Zakat", dari Ahmad ibnu Usman Ibnu Hakim, dari Khalid ibnu Mukhallad, lalu ia menuturkan hadits ini.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim ibnu Abu Maryam, Zaid ibnu Aslam, dan Suhail, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ.
Menurut kami, adapun riwayat Muslim ibnu Abu Maryam, maka hadits ini hanya Imam Al-Bukhari sendirilah yang menuturkannya. Adapun hadits yang diriwayatkan melalui jalur Zaid ibnu Aslam, diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya dari Abut Tahir ibnus Sarh, dari Abu Wahb, dari Hisyam ibnu Sa'id, dari Zaid ibnu Aslam. Sedangkan hadits Suhail diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, dari Qutaibah, dari Ya'qub ibnu Abdur Rahman, dari Suhail dengan lafal yang sama. Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Warqa telah meriwayatkan dari Ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Yasar, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ. Hadits ini disandarkan dari segi ini oleh Imam Al-Baihaqi kepada Imam Hakim dan lain-lain dari Al-Asam, dari Al-Abbas Al-Marwazi, dari Abuz Zanad, Hasyim ibnul Qasim, dari Warqa. Dia adalah Ibnu Umar Al-Yasykuri, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Yasar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang bersedekah sebiji buah kurma dari usaha yang halal - tidak akan sampai kepada Allah kecuali yang halal - maka sungguh Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya untuk pelakunya sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak untanya, hingga besarnya seperti Bukit Uhud.”
Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai; semuanya dari Qutaibah, dari Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dari Sa'id Al-Maqbari. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui Malik, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan dari jalur Yahya Al-Qattan, dari Muhammad ibnu Ajlan; ketiganya meriwayatkan hadits ini dari Sa'id ibnu Yasar Abul Hubab Al-Madani, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, lalu ia menuturkan hadits ini. Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah melalui jalur yang lain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abbad ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya untuk seseorang di antara kalian sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kuda atau anak untanya, sehingga sesuap makanan benar-benar menjadi seperti Bukit Uhud (besarnya).”
Hal yang membenarkan hadits ini di dalam Kitabullah adalah firman-Nya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Waki, hal ini ada dalam tafsir Waki'. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Waki' dengan lafal yang sama, lalu ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abbad ibnu Mansur dengan lafal yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Khalaf ibnul Walid, dari Ibnul Mubarak, dari Abdul Walid ibnu Damrah dan Abbad ibnu Mansur; keduanya dari Abu Nadrah, dari Al-Qasim dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Ishaq, dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu apabila bersedekah dari hasil yang baik (halal), maka Allah menerima sedekah itu darinya dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya atau anak untanya. Sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar menyedekahkan sesuap makanan, maka sedekahnya itu berkembang di tangan (kekuasaan) Allah atau disebutkan di telapak tangan Allah, hingga besarnya seperti Bukit Uhud. Karena itu, bersedekahlah kalian.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abdur Razzaq. Jalur ini terbilang gharib (aneh), tetapi sanadnya shahih; hanya lafalnya aneh, mengingat hal yang dihafal adalah seperti yang telah disebutkan di atas.
Telah diriwayatkan dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Sabit, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah benar-benar memelihara bagi seseorang di antara kalian sebiji kurma dan sesuap makanan (yang disedekahkannya) seperti seseorang di antara kalian memelihara anak unta atau anak kudanya, hingga besarnya seperti Bukit Uhud.” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri dari jalur ini.
Al-Bazzar mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Ma'la ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ. Juga dari Dahhak ibnu Usman, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengeluarkan suatu sedekah dari hasil yang halal, dan Allah tidak akan menerima kecuali yang halal, maka Tuhan Yang Maha Pemurah menerima sedekah itu dengan tangan (kekuasaan)-Nya, lalu Dia memeliharanya seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda atau anak untanya.”
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahui seorang pun meriwayatkan hadits ini dari Yahya ibnu Sa'id dari Amrah kecuali Abu Uwais.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Artinya, Allah tidak menyukai orang yang hatinya banyak ingkar lagi ucapan dan perbuatannya banyak bergelimang dosa. Merupakan suatu keharusan adanya hubungan antara pembahasan ini dengan ayat ini yang diakhiri dengan mengemukakan sifat tersebut.
Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan riba itu pada hakikatnya tidak rela dengan rezeki halal yang dibagikan oleh Allah untuknya. Dia kurang puas dengan apa yang disyariatkan oleh Allah buatnya, yaitu usaha yang diperbolehkan. Untuk itu ia berusaha dengan cara memakan harta orang lain secara batil melalui berbagai usaha yang jahat. Dia adalah orang yang ingkar kepada nikmat yang diperolehnya, lagi suka berbuat zalim dengan memakan harta orang lain secara batil.
Ayat 277
Kemudian Allah berfirman memuji orang-orang mukmin, yaitu mereka yang taat kepada perintah-Nya, bersyukur kepada-Nya, lagi berbuat baik kepada sesama makhluk-Nya. Allah memuji mereka karena mendirikan shalat dan menunaikan zakat, selain itu Allah memberitakan pahala apa yang telah Dia sediakan buat mereka yaitu pahala yang terhormat dan bahwa mereka kelak di hari kiamat aman dari berbagai kesulitan.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 277)
Allah memusnahkan harta yang diperoleh dari hasil praktik riba sedikit demi sedikit sampai akhirnya habis, atau menghilangkan keberkahannya sehingga tidak bermanfaat dan menyuburkan sedekah yakni dengan mengembangkan dan menambahkan harta yang disedekahkan, serta memberikan keberkahan harta, ketenangan jiwa dan ketenteraman hidup bagi pemberi dan penerima. Allah tidak menyukai dan tidak mencurahkan rahmat-Nya kepada setiap orang yang tetap dalam kekafiran karena mempersamakan riba dengan jual beli dengan disertai penolakan terhadap ketetapan Allah, dan tidak mensyukuri kelebihan nikmat yang mereka dapatkan, bahkan menggunakannya untuk menindas dan mengeksploitasi kelemahan orang lain, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang bergelimang dosa karena praktik riba tidak hanya merugikan satu orang saja, tetapi dapat meruntuhkan perekonomian yang dapat merugikan seluruh warga masyarakat. Setelah dijelaskan pelaku kemaksiatan yang berupa praktik riba, selanjutnya dijelaskan keadaan orang-orang saleh yang beruntung. Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat secara benar, khusyuk, dan berkesinambungan dan menunaikan zakat dengan sempurna, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka kapan dan dari siapa pun, karena mereka berada dalam lindungan Allah dan mereka tidak bersedih hati karena apa yang mereka akan peroleh di akhirat jauh lebih baik dari apa yang bisa jadi hilang di dunia.
Riba itu tidak ada manfaatnya sedikit pun baik di dunia maupun di akhirat nanti. Yang ada manfaatnya adalah sedekah.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Artinya memusnahkan harta yang diperoleh dari riba dan harta yang bercampur dengan riba atau meniadakan berkahnya. "Menyuburkan sedekah" ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya sesuai dengan ketantuan-ketentuan agama atau melipatgandakan berkah harta itu. Allah berfirman:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (ar-Rum/30:39).
Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan "Allah memusnahkan riba" ialah Allah memusnahkan keberkahan harta riba, karena akibat melakukan riba timbul permusuhan antara orang-orang pemakan riba, dan kebencian masyarakat terhadap mereka terutama orang yang pernah membayar utang kepadanya dengan riba yang berlipat ganda, dan juga menyebabkan bertambah jauhnya jarak hubungan antara yang punya dan yang tidak punya. Kebencian dan permusuhan ini bila mencapai puncaknya akan menimbulkan peperangan dan kekacauan dalam masyarakat.
Allah tidak menyukai orang-orang yang mengingkari nikmat-Nya berupa harta yang telah dianugerahkan kepada mereka. Mereka tidak menggunakan harta itu menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah, serta tidak memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Demikian pula Allah tidak menyukai orang-orang yang menggunakan dan membelanjakan hartanya semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, serta mencari harta dengan menindas atau memperkosa hak orang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
RIBA
Sesudah sampai tiga belas ayat banyaknya Allah menunjukkan jiwa yang subur, sudi memberi karena gemblengan iman, yang di-bentuk oleh ajaran Allah maka Allah membuka kembali kejahatan hidup zaman jahiliyyah. Islam menanamkan kasih sayang di antara yang kaya dan yang miskin, dengan menyuburkan rasa sedekah dan pengorbanan, sedangkan jahiliyah ialah memberi kesempatan bagi si kaya mengisap darah si melarat untuk kepentingan diri sendiri. Yang terutama sekali ialah riba.
Apakah riba jahiliyah itu?
Dimisalkan si A sangat terdesak, entah hendak berniaga, entah hendak bercocok tanam, hartanya tidak ada, lalu dia pergi meminjam modal kepada yang mampu. Misalnya Rp1.000 dan berjanji dibayar dalam setahun. Setelah genap setahun, karena uang pembayar itu belum cukup, datanglah yang berutang itu kepada yang berpiutang menerangkan bahwa dia belum sanggup membayar sekarang. Maka, yang empunya uang berkata, “Bolehlah engkau bayar tahun depan saja asalkan lipat dua: utang Rp1.000 menjadi Rp2.000. Kalau belum juga terbayar tahun itu sehingga minta tangguh setahun lagi, boleh juga asalkan utang yang Rp2.000 menjadi Rp4.000. Akibatnya, bukanlah membantu, bukan memberi waktu, melainkan mencekik leher si melarat tadi, sehingga walaupun bagaimana dia mengangsur utang, sisa yang tinggal bertambah membuat dia melarat. Kadang-kadang harta bendanya yang ada habis licin tandas, bahkan sampai matinya menjadi utang pula kepada keluarganya yang tinggal. Inilah gambar dari riba jahiliyah itu, yang dikenal juga namanya dengan riba nasi'ah atau riba memberi tempo, yaitu memberi tempo, bukan melapangi si berutang, melainkan memperkaya yang berpiutang dan membuat melarat yang dipiutangi. Diperpanjang tempo, tetapi dipersempit bagi berutang. Maka, setelah diterangkan faedah bersedekah, sekarang diterangkanlah bahaya riba,
Ayat 275
“Orang-orang yang memakan riba itu tidaklah akan berdiri, melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan."
Mengapa sampai demikian dia? Sampai seperti orang dirasuk setan? Sehingga wajahnya pun kelihatan bengis, matanya melotot penuh benci? Tetapi mulutnya manis mem-bujuk-bujuk orang supaya suka berutang ke-padanya? Sebelum orang itu jatuh ke dalam perangkapnya yang payah melepaskan diri? “Menjadi demikian karena sesungguhnya mereka berkata, ‘Tidak lain perdagangan itu hanyalah seperti riba juga."‘ Artinya, karena dia hendak membela pendiriannya menernakkan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itu pun serupa juga dengan pekerjaannya memakan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau sama-sama mencari makan. Keadaannya jauh berbeda. Berdagang ialah si saudagar menyediakan barang, kadang-kadang didatangkannya dari tempat lain, si pembeli ada uang pembeli barang itu. Harganya sepuluh rupiah, dijualnya sebelas rupiah. Yang menjual mendapat untung, sedangkan yang membelinya mendapatuntung pula karena yang diperlukannya telah didapatnya. Keduanya sama-sama dilepaskan keperluannya. Itu sebabnya, dia dihalalkan Allah. Bagaimana dia akan diserupakan dengan mencari keuntungan secara riba? Padahal dengan riba, yang berutang dianiaya, diisap kekayaannya, dan yang berpiutang hidup senang-senang, goyang kaki dari hasil ternak uang?
“Lantaran itu, barangsiapa yang telah kedatangan pengajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti," dari makan riba yang sangat jahat dan kejam itu, “maka baginyalah apa yang telah berlalu." Artinya, yang sudah-sudah itu sudahlah! Kalau dia selama ini telah menangguk keuntungan dari riba, tidaklah perlu dikembalikannya lagi kepada orang-orang yang telah dianiayanya itu; sama saja dengan dosa menyembah berhala di zaman musyrik, menjadi habis tidak ada tuntutan lagi kalau telah Islam."Dan perkaranya terserahlah kepada Allah," sehingga manusia tidak berhak buat membongkar-bongkar kembali sebab yang demikian memang salah satu dari rangkaian kehidupan jahiliyah yang tidak senonoh itu.
“‘Akan tetapi, barangsiapa yang kembali (lagi)," padahal ketenangan yang sejelas ini sudah diterimanya, “maka mereka itu menjadi ahli neraka; mereka akan kekal di dalamnya."
Riba adalah salah satu kejahatan jahiliyah yang amat hina. Riba tidak sedikit pun sesuai dengan kehidupan orang beriman. Kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang melakukan itu, sekarang karena sudah menjadi Muslim semua, hentikanlah hidup yang hina itu. Kalau telah berhenti, dosa-dosa yang lama itu habislah hingga itu, bahkan diampuni oleh Allah. Kalau dari harta keuntungan riba mereka mendirikan rumah, tidak usah rumah itu dibongkar. Mulai sekarang, hentikan sama sekali. Akan tetapi, kalau ada yang kembali kepada hidup makan riba itu, samalah dengan
setelah Islam kembali menyembah berhala; sama kekalnya dalam neraka.
Ayat 276
“Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah."
Riba mesti dikikis habis sebab itu ter-pangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat. Dengan ini, ditegaskan bahwa berkah dari riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang membawa sial, membawa dendam dan kebencian. Kata-kata riba amat jahat. Kalau penyakit riba menjalar, kalau disebut orang “orang kaya", benci dan dendamlah yang timbul, sama dengan menyebut Kapitalisme dalam ukuran besar. Asal disebut kata kapitalisme, rasa benci yang timbul terlebih dahulu dan rasa dendam. Akan tetapi, Allah menyuburkan sedekah-sedekah sebab Dia mempertautkan kasih sayang di antara hati si pemberi dan si penerima, yang bersedekah dengan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang bantu-membantu, sokong-menyokong, doa-mendoakan. Maka, jika disebut kalimat orang kaya, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan, dan doa. moga-moga ditambah Allah rezekinya.
“Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang sangat ingkar, lagi pembuat dosa."
Sudah diterangkan manfaat masyarakat bersedekah bantu-membantu dan diterangkan pula celaka masyarakat yang orang kaya pun hidup dari makan riba. Kalau masih juga timbul makan riba dalam masyarakat demikian, nyatalah orang pemakan riba itu sudah sangat ingkar, sangat menolak kebenaran, tidak peduli kepada peraturan Allah yang tidak ada mempunyai rasa belas kasihan kepada sesama manusia. Akan berlarut-larut mereka dalam dosa. Kalau Allah telah menjelaskan bahwa Dia tidak suka kepada orang yang demikian, itu adalah ancaman bahaya yang akan menimpa mereka. Bahaya kacaunya masyarakat dan suburnya rasa dendam serta benci. Orang kaya akan menjadi timbunan benci dan dendam dari orang yang miskin.
Inilah ancaman yang telah disampaikan Allah dengan wahyu kepada Nabi Muhammad saw, empat belas abad yang lalu, yang kian lama kian terasa sekarang, sehingga pertentangan antara the have (yang punya) dan the have not (yang tidak punya) telah menimbulkan Kapitalisme kemudian Imperialisme dan kemudian Kolonialisme, perjuangan kelas, pertentangan buruh dengan majikan. Sehingga, ada orang yang hidup senang, tidak pernah berusaha, hanya semata-mata dari memakan bunga uangnya yang diletakkannya dalam bank yang besar-besar. Dan, tidaklah berhenti ahli-ahli pikir berusaha membanting pikiran mencari jalan kelepasan dari kesulitan-kesulitan ini, di antaranya timbulnya ajaran Sosialisme. Akan tetapi, Sosialisme itu pun gagal karena dia hanya teori manusia dengan mengenyampingkan nilai bentukan moral dan mental manusia.
Ayat 277
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh, dan mereka pun mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, untuk mereka pahala di sisi Tuhan, dan tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Masyarakat orang yang beriman dan beramal saleh itu tidak mungkin menimbulkan riba. Ini karena baik dia kaya maupun miskin, keduanya bergabung dalam satu kepercayaan dan satu ukhuwah (persaudaraan) serta tergabung dalam satu jamaah. Di dalam masjid tidak terhitung lagi mana yang kaya dan mana yang miskin karena semuanya menghadap kepada di satu tujuan, yaitu mengharapkan ridha Allah ﷻ.
***
Ayat 278
“Wahai, orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa dari rniba itu, jikalau benar-benar kamu orang-orang yang beriman."
Orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama manusia. Yang kaya kalau hendak memberi piutang tidaklah bermaksud hendak memeras keringat dan tenaga sesama manusia. Yang miskin mengelak jauh-jauh dari memberikan kesempatan orang kaya untuk memeras dirinya. Di dalam ayat ini diperingatkan Allah pada orang-orang yang beriman setelah masyarakat Muslim terbentuk di Madinah, kalau masih ada sisa-sisa hidup dengan riba itu, mulai sekarang hendaklah hentikan.
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu larir dan Ibnu Mundzir serta Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri paman Nabi ﷺ sendiri yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyyah mendirikan satu perkongsian dengan seseorang dari bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka ialah menernakkan uang (makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seseorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Abbas kemudian masuk Islam. Setelah datang zaman Islam, datanglah peraturan ini, yaitu bahwa sisa-sisa riba jahiliyah itu ditinggalkan sama sekali. Artinya orang yang berutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang diutangnya dahulu itu saja. Kalau kamu telah mengaku termasuk orang beriman, tinggalkan pekerjaan itu sama sekali. Itulah tanda beriman sebab cinta kepada harta telah kamu ganti dengan cinta kepada Allah.
Ayat 279
“Akan tetapi, jika tidak kamu kerjakan begitu."
Artinya, kamu telah mengaku beriman, padahal makan riba masih diteruskan juga, “Maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya." Inilah suatu peringatan yang amat keras, yang dalam bahasa kita zaman sekarang bisa disebut ultimatum dari Allah. Menurut penyelidikan kami, tidak terdapat dosa lain yang mendapat peringatan sekeras ancaman terhadap meneruskan riba ini.
Ancaman yang demikian sudahlah patut sebab riba adalah suatu kejahatan yang meruntuh sama sekali hakikat dan tujuan Islam dan iman. Dia menghancur leburkan ukhuwah yang telah ditanamkan sesama orang ber-iman dan sesama manusia. Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia. Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ke tahun menerima kekayaan yang limpah-melimpah, padahal dia tidak bekerja dan berusaha, sedangkan yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat orang lain, sedangkan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja; dia menjadi budak selama dalam berutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu dia dapat. Kalau sudah ada manusia yang hidup dengan cara begini, percumalah rasanya menegakkan ibadah dengan jamaah.
“Namun, jika kamu bertobat maka bolehlah kamu ambil pokok harta kamu; tidak kamu dianiaya dan tidak pula kamu menganiaya."
Di sini diterangkan bahwa meneruskan hidup dengan riba setelah menjadi orang Islam berarti memaklumkan perang kepada Allah dan Rasul. Dengan ancaman yang keras itu, dapatlah dipahamkan bahwasanya seluruh harta yang diperibakan itu, baik yang dipinjamkan, maupun bunganya dari harta itu, semuanya menjadi harta yang haram; kelanjutannya ialah bahwa daulah islamiyah berhak merampas seluruh harta itu, baik modal pokok maupun bunganya. Akan tetapi, kalau kamu telah tobat, tidak hendak melanjutkan lagi kehidupan yang jahat itu maka harta yang kamu pinjamkan sebanyak jumlah asalnya, bolehlah kamu ambil kembali. Tidak kamu akan dianiaya. Artinya, dengan perlindungan daulah islamiyah, harta kamu itu dapat diminta kembali kepada yang berutang. Kalau dia tidak mau membayar, daulah islamiyah boleh diminta turun tangan untuk mengambil harta itu dengan paksa. Kamu pun jangan pula menganiaya.
Di dalam ayat “tidak kamu akan dianiaya" ini pun terkandungsiiaturahimyangmendalam sekali. Misalnya uangmu telah berbulan-bulan dipinjamnya, sedangkan kamu tidak boleh, telah haram memakan riba dari harta itu maka Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan qardh, yaitu suatu perbuatan “timbang rasa" dari si peminjam. Setelah uang kontannya dibayar, kalau engkau ada perasaan, hendaklah engkau beri dia hadiah ala kadarnya, tanda terima kasih. Riba diharamkan, qardh dianjurkan.
Kemudian datang ayat lanjutan tuntunan iman,
Ayat 280
“Dan, jika ada yang kesusahan maka berilah tempo sampai kelapangan."
Ini sudah menjadi tuntunan kepada orang yang beriman. Hanya orang yang beriman yang mau memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya. Apatah lagi kalau yang berutang itu orang yang beriman seperti dia pula. Jangan dia didesak-desak, karena imannya, niscaya utangnya akan dibayarnya; berilah dia kesempatan.
“Akan tetapi, kalau kamu bersedekah, adalah itu lebih baik buat kamu, jikalau kamu ketahui."
Itulah lanjutan jiwa pembangunan masyarakat orang yang beriman. Alangkah baik dan mesranya jika seseorang yang berutang datang meminta maaf dan memohon diberi tempo agar sekian bulan lalu disambut oleh yang memberi utang dengan perkataan, “Utangmu itu telah aku lepaskan. Engkau tidak berutang lagi." Ayat berkata bahwa cara begini jikalau kamu pikirkan, adalah amat baik bagi dirimu sendiri. Dengan demikian, kamu telah menaikkan tingkat budimu. Dia akan berkesan dalam jiwamu sendiri, menjadi dermawan, dan mengokohkan ukhuwah dengan yang diberi utang.
Sebagai penutup dari ayat riba, yang dijiwai dengan membentuk iman dan pergaulan aman damai, kasih dan sayang, di akhir persoalan riba itu ditutuplah dengan ayat,
Ayat 281
“Dan hendaklah kamu takut akan suatu hari, yang di hari itu kamu akan dikembalikan kepada Allah."
Jika hari itu datang, segala harta benda yang membuat kepala pusing di dunia ini tidaklah ada yang akan dibawa mati. Hanya tiga iapis kain kafan, tidak lebih. Itu pun akan hancur dalam bumi, akan kembali kepada Tuhan. Kalau kita pikirkan dalam-dalam apa arti yang terkandung dalam kata kembali, niscaya kita akan merenung panjang. Orang yang kembali ialah orang yang pergi meninggalkan tempat bermula lalu dia kembali pulang. Kalau dipikir-pikir dari segi lain, kita kembali mungkin tidak ada. Sebab, Allah selalu di dekat kita, Dia tidak jauh dari kita. Akan tetapi, pikiran dan wajah hidup kita ini kerap kali lupa bahwa Allah ada di dekat kita atau kita lupa kepada-Nya, sedangkan Dia tidak pernah melupakan kita. Maut adalah kembali kepada Allah yang sebenarnya. Karena, pada waktu itu kita mulai insaf bahwa yang kita tuju adalah Allah. Hanya kemewahan hidup dan harta benda dunia ini juga yang kerap menyebabkan kita lupa."Kemudian akan disempurnakan ganjaran tiap-tiap orang dari apa yang telah mereka usahakan." Artinya, setelah kembali kepada Allah itu, setelah meninggalkan dunia dan masuk ke alam akhirat, akan datanglah waktu perhitungan. Perhitungan itu amat sempurna dan amat teliti; dikaji satu demi satu. Dipertimbangkan (mizan) mana yang lebih berat, amalan yang baikkah atau amalan yang buruk,
“Dan tidaklah mereka akan dianiaya."
Allah tidak ada berkepentingan dalam penganiayaan. Sebab, orang yang menganiaya ialah karena dia mendapat keuntungan dari menganiaya itu. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah bergembira sekali dapat memberikan ganjaran dan pahala kepada orang yang berbuat baik. Sebab itu, kalau iman telah tumbuh dalam hati, tidaklah mungkin seorang Mukmin mencari keuntungan dengan merugikan orang lain. Sehingga, ujung ayat perkara riba ini pun adalah perbandingan yang dalam di antara kasih Allah di akhirat kelak kepada hamba-Nya dengan kejahatan tukang makan riba yang menggaruk keuntungan dengan memeras keringat orang lain.
Menurut beberapa riwayat, ayat riba di dekat akhir surah al-Baqarah ini adalah ayat yang turun kemudian sekali kepada Rasulullah. Dan, dalam satu riwayat dari Tabi'in Said bin Jubair, hanya sembilan hari saja setelah ayat ini turun, wafatlah Nabi kita.