Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يَفۡعَلۡ
(ia) berbuat
ذَٰلِكَ
demikian
عُدۡوَٰنٗا
bermusuhan/melanggar hak
وَظُلۡمٗا
dan aniaya
فَسَوۡفَ
maka akan
نُصۡلِيهِ
Kami masukkan ia
نَارٗاۚ
neraka
وَكَانَ
dan adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
عَلَى
atas/bagi
ٱللَّهِ
Allah
يَسِيرًا
mudah
وَمَن
dan barang siapa
يَفۡعَلۡ
(ia) berbuat
ذَٰلِكَ
demikian
عُدۡوَٰنٗا
bermusuhan/melanggar hak
وَظُلۡمٗا
dan aniaya
فَسَوۡفَ
maka akan
نُصۡلِيهِ
Kami masukkan ia
نَارٗاۚ
neraka
وَكَانَ
dan adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
عَلَى
atas/bagi
ٱللَّهِ
Allah
يَسِيرًا
mudah
Terjemahan
Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Tafsir
(Dan siapa berbuat demikian) apa yang dilarang itu (dengan melanggar yang hak) menjadi hal (dan aniaya) menjadi taukid (maka akan Kami masukkan ia ke dalam neraka) ia akan dibakar hangus di dalamnya (dan demikian itu bagi Allah amat mudah) atau pekerjaan gampang.
Tafsir Surat An-Nisa': 29-31
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.
Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hukum dan zalim, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Itu adalah mudah bagi Allah.
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil) dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga).
Ayat 29
Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada umumnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli sebuah pakaian dari lelaki lain. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan kukembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil.” (An-Nisa: 29)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Fudlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh (direvisi) dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil.” (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita numpang makan sama orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tiada dosa atas orang-orang tuna netra.” (Al-Fath: 17), hingga akhir ayat. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Qatadah.
Firman Allah ﷻ: “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.” (An-Nisa: 29)
Lafal tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. Ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati'. Seakan-akan dikatakan, "Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di antara pembeli dan penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat." Keadaannya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang dibenarkan.” (Al-An'am: 151) Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia.” (Ad-Dukhan: 56) Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat.
Lain halnya dengan jual beli secara mu'atah (jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersepakat terhadap harga dan barang yang dilakukan dengan perbuatan langsung tanpa adanya ijab dan qabul), hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu merupakan suatu keharusan dalam jual beli. Tetapi jumhur ulama Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka; begitu pula perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak). Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan mazhab Syafii.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.” (An-Nisa: 29) Baik berupa jual beli atau yang diberikan dari seseorang kepada orang lain.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju'fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jual beli harus dengan suka sama suka, dan khiyar (hak yang dimiliki seseorang yang melakukan jual-beli untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya) adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya.” Hadits ini berpredikat mursal.
Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar selagi keduanya belum berpisah.”
Menurut lafal yang ada pada Imam Bukhari disebutkan seperti berikut: “Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya belum berpisah.”
Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadits ini adalah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta murid-murid keduanya, juga kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Termasuk ke dalam pengertian hadits ini adanya khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut apa yang dijelaskan di dalam transaksi mengenai subyek barangnya, sekalipun sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang serupa. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik. Mereka menilai sah jual beli mu'atah secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu'atah itu sah hanya pada barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual beli. Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan mereka.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (An-Nisa: 29) Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29) Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan dalam semua larangannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amr ibnul As yang menceritakan bahwa ketika Nabi ﷺ mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi jinabah, nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu shalat Subuh bersama teman-temannya.
Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami kembali kepada Rasulullah ﷺ, maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, 'Wahai Amr, apakah kamu shalat dengan teman-temanmu, sedangkan kamu mempunyai jinabah?'. Aku (Amr) menjawab, 'Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29) Karena itu, lalu aku bertayamum dan shalat.' Maka Rasulullah ﷺ tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui hadits Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnu Abu Habib. Dia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah, dan Umar ibnul Haris; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair Al-Masri, dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul As. Lalu ia menuturkan hadits yang serupa. Pendapat ini - Allah lebih mengetahui - lebih dekat kepada kebenaran.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah shalat menjadi imam orang-orang banyak dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah ﷺ memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As menjawab, "Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah ﷻ telah berfirman: 'Dan janganlah kalian membunuh diri kalian' (An-Nisa: 29), hingga akhir ayat." Maka Rasulullah ﷺ diam, membiarkan Amr ibnul As.
Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu Mardawaih mengetengahkan sebuah hadits melalui Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.”
Hadits ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa. Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.”
Al-Jama'ah telah mengetengahkan hadits tersebut dalam kitabnya dari jalur Abu Qilabah.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadits Al-Hasan dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Dulu ada seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati.” Allah ﷻ berfirman, "Hamba-Ku telah mendahului Izin-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas dirinya."
Ayat 30
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hukum dan zalim.” (An-Nisa: 30)
Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan zalim dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani melanggarnya.
“Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.” (An-Nisa: 30) Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan waspada.
Ayat 31
Firman Allah ﷻ: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil).” (An-Nisa: 31) Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kalian mengerjakannya maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa: 31)
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah melihat hal yang serupa dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua keluarga dan harta benda, yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa besar."
Allah ﷻ telah berfirman: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil).” (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Banyak hadits yang berkaitan dengan makna ayat ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba' Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda kepadanya, "Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi ﷺ bersabda: “Tetapi aku lebih mengetahui apakah hari Jumat itu. Tidak sekali-kali seorang lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi shalat Jumat dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan shalatnya, melainkan hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa (kecil)nya antara Jumat itu sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi (nya).”
Imam Bukhari meriwayatkan hal yang serupa dari jalur yang lain, melalui Salman.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ di suatu hari berkhotbah kepada para sahabat.
Beliau ﷺ bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami menundukkan kepala pula seraya menangis; kami tidak mengetahui apa yang dialami oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada raut wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang mendapatkan ternak unta yang unggul. Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang hamba shalat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Masuklah dengan selamat’."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Al-Al-Laits ibnu Sa'd dengan lafal yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula juga Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui hadits Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id ibnu Abu Hilal dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Tujuh dosa besar disebut di dalam kitab Sahihain melalui hadits Sulaiman ibnu Hilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa sajakah itu?" Nabi ﷺ bersabda, "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang (sabilillah), dan menuduh berzina wanita mukmin yang memelihara kehormatannya."
Jalur lain dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Fahd ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu', bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Dosa besar itu ada tujuh macam, yang pertama ialah mempersekutukan Allah, kemudian membunuh jiwa tanpa alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim sampai ia dewasa, lari dari medan perang, menuduh wanita yang terpelihara kehormatannya berbuat zina, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.”
Nas yang menyatakan bahwa dosa-dosa besar yang tujuh macam ini tidak berarti meniadakan dosa-dosa besar selainnya, kecuali menurut pendapat orang yang berpegang kepada pengertian kata kiasan. Tetapi pendapat ini lemah jika tidak dibarengi dengan adanya qarinah, terlebih lagi bila adanya dalil yang kuat bagi mantuq yang menunjukkan tidak ada penafsiran lain, seperti yang akan kami ketengahkan dalam pembahasan berikut.
Di antara hadits-hadits yang mengandung penjelasan dosa-dosa besar selain ketujuh macam dosa di atas ialah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Imam Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil Al-Qadi secara imlak, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah (yaitu Abdul Malik ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hani', telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abdul Hamid ibnu Sinan, dari Ubaid ibnu Unair, dari ayahnya (yakni Umair ibnu Qatadah ) yang mempunyai predikat sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam haji wada'-nya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang shalat, yaitu orang yang mendirikan shalat lima waktu yang diwajibkan atas dirinya, puasa Ramadan karena mengharapkan pahala Allah dan memandangnya sebagai suatu kewajiban baginya, dan menunaikan zakat hartanya dengan mengharapkan pahala Allah, dan menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang oleh Allah. Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?” Maka Nabi ﷺ menjawab: “Ada sembilan macam, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa alasan yang benar, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, menyakiti kedua orang tua yang kedua-duanya muslim, menghalalkan Baitul Haram kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati, kemudian seseorang mati dalam keadaan tidak mengerjakan dosa-dosa besar tersebut, dan ia mendirikan shalat serta menunaikan zakat, melainkan ia kelak akan bersama Nabi ﷺ di dalam istana yang terbuat dari emas (yakni di dalam surga).”
Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim secara panjang lebar. Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai mengetengahkannya secara ringkas melalui hadits Mu'az ibnu Hani' dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui hadits Muaz ibnu Hani dengan panjang lebar. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa para perawi hadits ini menurut kitab Sahihain dapat dijadikan sebagai hujah, kecuali Abdul Hamid ibnu Sinan. Menurut kami, Abdul Hamid ibnu Sinan adalah seorang ulama Hijaz; ia tidak dikenal kecuali melalui hadits ini. Ibnu Hibban menyebutkannya sebagai seorang yang berpredikat tsiqah (dapat dipercaya) di dalam kitab Assiqat-nya. Imam Bukhari mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan olehnya masih perlu dipertimbangkan. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini dari Sulaiman ibnu Sabit Al-Juhdari, dari Salim ibnu Salam, dari Ayyub ibnu Atabah, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ubaid ibnu Umair, dari ayahnya, lalu ia menyebutkan hadits ini tanpa menyebut nama Abdul Hamid ibnu Sinan di dalam sanadnya.
Hadits lain yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, dari Muslim ibnul Walid, dari Al-Muttalib, dari Abdullah ibnu Hantab, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ naik ke mimbar, lalu bersabda: “Aku bersumpah, aku bersumpah.” Kemudian beliau turun dan bersabda: “Gembiralah, gembiralah kalian; barang siapa yang mengerjakan shalat lima waktu dan menjauhi tujuh dosa-dosa besar, kelak ia akan diseru dari semua pintu surga, ‘Masuklah’." Abdul Aziz mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa beliau pun mengatakan, 'Dengan selamat.’
Al-Muttalib mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang bertanya kepada Abdullah Ibnu Umar, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?" Ibnu Umar menjawab: “Ya, yaitu menyakiti kedua orang tua, mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memakan riba.”
Hadits lain yang semakna diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Taisalah ibnu Miyas yang menceritakan bahwa ketika ia baru masuk Islam, ia melakukan banyak perbuatan dosa yang menurut pendapatnya adalah termasuk dosa-dosa besar, lalu ia berjumpa dengan Ibnu Umar, lalu bertanya kepadanya, "Sesungguhnya aku telah melakukan banyak dosa yang menurut pendapatku adalah dosa besar." Ibnu Umar berkata, "Apa sajakah yang telah engkau lakukan?" Aku (Taisalah) menjawab, "Aku telah melakukan dosa anu dan anu." Ibnu Umar berkata, "Itu bukan dosa besar." Aku berkata, "Aku telah melakukan pula dosa anu dan anu." Ibnu Umar menjawab, "Itu bukan dosa besar." Ibnu Ulayyah berkata, "Apa sajakah yang tidak disebutkan oleh Taisalah?" Ziyad ibnu Mikhraq menjawab, "Yang tidak disebutkan oleh Taisalah ada sembilan macam, seperti dalam penjelasan berikut: mempersekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa alasan yang benar, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, memakan riba, memakan harta anak yatim secara zalim, menghalalkan kesucian Masjidil Haram, melakukan sihir, dan membuat kedua orang tua menangis termasuk menyakitinya (yakni dosa besar).”
Ziyad melanjutkan kisahnya, bahwa Taisalah mengatakan, ketika Ibnu Umar akan berpisah meninggalkannya, berkatalah Ibnu Umar, "Apakah kamu takut masuk neraka?" Aku (Taisalah) menjawab, "Ya." Ibnu Umar bertanya, "Kamu juga ingin masuk surga?" Aku menjawab, "Ya." Ibnu Umar berkata, "Hormatilah kedua orang tuamu." Aku berkata, "Aku hanya mempunyai ibu." Ibnu Umar berkata, "Jika kamu dapat berkata lemah lembut kepadanya dan memberinya makan, niscaya kamu benar-benar akan masuk surga selagi kamu menjauhi dosa-dosa yang memastikan kamu masuk neraka."
Jalur Lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Sabit Al-Juh dari Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang menjumpai Ibnu Umar yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon siwak di hari Arafah, saat itu ia sedang menuangkan air ke atas kepala dan wajahnya. Lalu aku bertanya, 'Ceritakanlah kepadaku tentang dosa-dosa besar!' Ibnu Umar menjawab, 'Ada sembilan macam.’ Aku bertanya, ‘Apa sajakah?' Ibnu Umar menjawab, 'Mempersekutukan Allah, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya.' Aku bertanya, 'Tentu saja sebelum membunuh jiwa." Ibnu Umar berkata, 'Ya, juga membunuh jiwa, yaitu membunuh jiwa orang mukmin, lari dari medan perang, sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti kedua orang tua, dan menghalalkan kesucian Masjidil Haram, kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati'." Demikianlah Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui dua jalur tersebut secara mauquf (hanya sampai pada Ibnu Umar).
Ali ibnul Ja'd meriwayatkannya dari Ayyub ibnu Atabah, dari Taisalah ibnu Ali yang menceritakan bahwa ia datang menemui Ibnu Umar di sore hari pada hari Arafah. Saat itu Ibnu Umar berada di bawah naungan pohon siwak sedang menuangkan air ke atas kepalanya. Lalu ia bertanya kepada Ibnu Umar tentang dosa-dosa besar. Maka Ibnu Umar menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda bahwa dosa besar itu ada tujuh macam. Abu (Taisalah) bertanya, "Apa sajakah itu?" Ibnu Umar menjawab, "Mempersekutukan Allah dan menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya." Aku bertanya, "Tentu saja sebelum membunuh?" Ibnu Umar menjawab, "Ya, sebelum membunuh, yaitu membunuh jiwa orang mukmin, lari dari medan perang, melakukan sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti kedua orang tua, menghalalkan kesucian Baitullah, kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Musa Al-Asyyab, dari Ayyub ibnu Atabah Al-Yamani, tetapi di dalamnya terkandung kelemahan.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Khalid ibnu Ma'dan, bahwa Abu Rahin As-Sami pernah menceritakan kepada mereka hadits berikut dari Abu Ayyub yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan menjauhi dosa-dosa besar, maka baginya surga atau niscaya ia masuk surga.” Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Apakah dosa-dosa besar itu?" Nabi ﷺ menjawab: “Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang muslim, dan lari dari medan perang.”
Imam Ahmad meriwayatkannya pula, dan Imam An-Nasai melalui banyak jalur periwayatan dari Baqiyyah. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Sulaiman ibnu Daud Al-Yamani yang orangnya dha’if, dari Az-Zuhri, dari Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Umar ibnu Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirim surat kepada penduduk negeri Yaman yang isinya mengandung hal-hal yang fardu, sunat-sunat, dan masalah diat. Surat itu dibawa oleh Amr ibnu Hazm. Di dalam surat tersebut antara lain tertulis: “Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa orang mukmin tanpa alasan yang benar, lari dari medan perang sabilillah, menyakiti kedua orang tua, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, belajar sihir, memakan riba, dan memakan harta anak yatim.”
Hadits lain mengenai masalah ini disebutkan di dalamnya kesaksian palsu. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ menuturkan perihal dosa-dosa besar atau ditanya mengenai dosa-dosa besar. Beliau ﷺ bersabda: "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, dan menyakiti kedua orang tua." Dan Nabi ﷺ bersabda, "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?" Kami (para sahabat) berkata, "Tentu saja mau." Nabi ﷺ bersabda, "Mempersekutukan Allah dan ucapan atau kesaksian palsu." Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadits Syu'bah dengan lafal yang sama. Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui dua jalur lain yang kedua-duanya gharib (asing), dari Anas dengan lafal yang serupa.
Hadits lain diketengahkan oleh Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim) melalui hadits Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: "Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa-dosa besar?" Kami menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah." Nabi ﷺ bersabda, "Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua." Tadinya beliau bersandar, lalu duduk dan bersabda, "Ingatlah, dan kesaksian palsu, ingatlah, dan perkataan dusta." Nabi ﷺ terus mengulang-ulang sabdanya, hingga kami berharap seandainya beliau diam.
Hadits lain disebutkan di dalamnya tentang membunuh anak. Hadits ini ditetapkan di dalam kitab Shahihain melalui Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling berat” -menurut riwayat yang lain disebutkan- paling besar?" Nabi ﷺ bersabda, "Bila kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Beliau ﷺ bersabda, "Bila kamu membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau ﷺ menjawab, "Bila kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu." Kemudian beliau ﷺ membacakan firman-Nya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah.” (Al-Furqan: 68) sampai dengan firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang bertobat.” (Al-Furqan: 70)
Hadits lain menyebutkan meminum khamr. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Sakhr, bahwa ada seorang lelaki menceritakan hadits kepadanya, dari Imarah ibnu Hazm, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As yang sedang berada di Hijr (Ismail) di Mekah, lalu ia (Imarah) bertanya kepadanya mengenai khamr. Abdullah ibnu Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya merupakan dosa besar jika seorang syekh seperti aku berdusta terhadap Rasulullah ﷺ di tempat ini." Lalu Imarah pergi, dan lelaki itu bertanya kepada Imarah; maka Imarah kembali (untuk bertanya), lalu ia bercerita bahwa ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang khamr. Maka Abdullah ibnu Amr menjawab, "Minum khamr merupakan dosa paling besar, dan merupakan biang dari segala perbuatan keji. Barang siapa yang minum khamr, niscaya ia meninggalkan shalat, dan menyetubuhi ibu dan semua bibinya, baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah." Bila ditinjau dari segi ini, hadits berpredikat gharib.
Jalur lain diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih melalui hadits Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi, dari Daud ibnu Saleh, dari Salim ibnu Abdullah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar As-Siddiq dan Umar ibnul Khattab serta sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ duduk berkumpul setelah Rasulullah ﷺ wafat, lalu mereka membicarakan tentang dosa yang paling besar, tetapi pembicaraan mereka menemui jalan buntu. Lalu mereka mengutusku kepada Abdullah ibnu Amr ibnul As untuk menanyakan kepadanya tentang masalah tersebut. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepadaku bahwa dosa yang paling besar ialah meminum khamr. Aku kembali kepada mereka dan menceritakan jawaban itu kepada mereka. Mereka mengingkari jawaban tersebut. Akhirnya karena tidak puas, maka mereka semua mendatangi Abdullah ibnu Amr di rumahnya. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepada mereka bahwa para sahabat pernah berbicara di hadapan Rasulullah ﷺ, menceritakan suatu kisah sebagai berikut: “Dahulu ada seorang raja dari kalangan Bani Israil menangkap seorang lelaki. Kemudian raja menyuruh lelaki itu memilih antara minum khamr, atau membunuh jiwa, atau berzina atau makan daging babi; jika tidak mau, maka raja akan membunuhnya. Akhirnya si lelaki memilih meminum khamr (yang menurutnya dipandang paling ringan di antara semua alternatif). Ternyata setelah ia minum khamr, semua perbuatan yang tadinya ia tolak, kini berani ia lakukan.” Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami sebagai jawabannya: “Tidak sekali-kali seorang hamba minum khamr melainkan shalat-nya tidak diterima selama empat puluh malam, dan tidak sekali-kali seseorang mati sedang di dalam perutnya terdapat sesuatu dari khamr melainkan Allah mengharamkan surga atas dirinya; dan jika ia mati dalam masa empat puluh malam (sesudah minum khamr), maka matinya adalah mati Jahiliah.”
Hadits ini sangat gharib bila ditinjau dari segi sanad; akan tetapi Daud ibnu Saleh yang disebut dalam sanadnya dikenal dengan nama At-Tammar Al-Madani adalah maula orang-orang Ansar. Imam Ahmad sehubungan dengannya mengatakan, "Menurut hematku, dia tidak mengapa (haditsnya dapat dipakai)." Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat, "Aku belum pernah melihat seseorang men-tajrih-nya (men-dha’if-kan dia)."
Hadits lain diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr, di dalamnya disebutkan sumpah palsu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Dosa-dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, atau membunuh jiwa” - Syu'bah ragu - dan sumpah palsu (dusta).”
Imam Bukhari, Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah. Imam Bukhari menambahkan, demikian pula Syaiban; keduanya menerima hadits ini dari Firas dengan lafal yang sama.
Hadits lain tentang sumpah dusta. Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits ibnu Sad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Yazid ibnu Muhajir ibnu Qunfuz At-Taimi, dari Abu Umamah Al-Ansari, dari Abdullah ibnu Unais Al-Juhanni dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, sumpah dusta; dan tidak sekali-kali seseorang bersumpah dengan menyebut nama Allah sumpah yang teguh, lalu ia memasukkan ke dalam sumpahnya itu kedustaan seberat sayap nyamuk, melainkan hal itu akan menjadi titik noda di dalam hatinya sampai hari kiamat.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, juga oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya; keduanya dari Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, dari Al-Al-Laits ibnu Sa'd dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengetengahkannya dari Abdu ibnu Humaid dengan lafal yang sama, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Abu Umamah Al-Ansari adalah Ibnu Tsa'labah, namanya tidak dikenal. Tetapi ia telah meriwayatkan banyak hadits dari sahabat-sahabat Nabi ﷺ. Guru kami Al-Hafidzh Abul Hajjaj Al-Mazzi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Ishaq Al-Madani, dari Muhammad ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Abu Umamah, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Unais; di dalam sanadnya ditambahkan Abdullah ibnu Abu Umamah. Menurut kami, memang demikianlah yang disebutkan di dalam tafsir Ibnu Mardawaih dan kitab Sahih Ibnu Hibban melalui jalur Abdur Rahman ibnu Ishaq, seperti yang dikatakan oleh guru kami.
Hadits lain dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan penyebab yang membuat kedua orang tua dicaci maki. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Mis'ar dan Sufyan, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Amr; Sufyan me-rafa'-kannya sampai kepada Nabi ﷺ, sedangkan Mis'ar me-mauquf-kannya hanya sampai pada Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: "Termasuk dosa besar adalah bila seseorang mencaci kedua orang tuanya." Mereka (para sahabat) bertanya, "Bagaimanakah seorang anak dapat mencaci kedua orang tuanya?" Nabi ﷺ bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."
Imam Bukhari mengetengahkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Auf, dari ayahnya, dari pamannya (Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf), dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Termasuk dosa besar bila seseorang melaknat kedua orang tuanya." Mereka bertanya, "Bagaimanakah seseorang melaknat kedua orang tuanya?" Nabi ﷺ bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Sufyan dan Syu'bah serta Yazid ibnul Had, ketiga-tiganya dari Sa'd ibnu Ibrahim secara marfu' dengan lafal yang serupa.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. Dan di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.”
Hadits lain mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Dahim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencemarkan kehormatan seorang muslim dan melabraknya dengan cacian dan makian.” Demikianlah bunyi hadits menurut riwayat ini.
Dan Imam Abu Dawud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, bagian dari kitab sunnahnya, dari Ja'far ibnu Musafir, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Termasuk dosa besar ialah berlaku sewenang-wenang terhadap kehormatan diri seorang lelaki muslim tanpa alasan yang benar, dan termasuk dosa besar mencaci makinya.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Abdullah ibnul Ala ibnu Zaid, dari Al-Ala (ayahnya), dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, lalu ia menyebutkan hadits yang serupa.
Hadits lain menyebutkan tentang menjamak dua shalat tanpa uzur. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Barang siapa menjamakkan dua shalat tanpa uzur, maka sesungguhnya ia telah mendatangi suatu pintu dari pintu-pintu dosa besar.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Isa At-At-Tirmidzi, dari Abu Salamah Yahya ibnu Khalaf, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan lafal yang serupa.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa Hanasy nama julukannya ialah Abu Ali Ar-Rahbi yang juga dikenal dengan nama Husain ibnu Qais; dia orangnya dha’if menurut kalangan ahli hadits, dan Imam Ahmad serta lain-lainnya menilainya dha’if.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, dari Khalid Al-Hazza, dari Humaid ibnu Hilal, dari Abu Qatadah (yakni Al-Adawi) yang menceritakan, "Pernah dibacakan kepada kami surat Khalifah Umar yang isinya menyebutkan bahwa termasuk dosa besar ialah menggabungkan dua shalat tanpa uzur, lari dari medan perang, dan merampok." Sanad atsar ini sahih.
Tujuannya adalah apabila ancaman ini ditujukan kepada orang yang menggabungkan dua shalat, seperti shalat Zuhur dengan shalat Asar, baik jamak taqdim ataupun jamak takhir; demikian pula halnya orang yang menjamakkan shalat Magrib dan shalat Isya. Keadaannya sama dengan jamak karena penyebab yang diakui oleh syariat. Barang siapa yang melakukannya tanpa satu pun dari uzur-uzur tersebut (yang disebut di dalam bab persyaratan membolehkan jamak), berarti dia melakukan suatu dosa yang besar, terlebih lagi bagi orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan. Karena itu, diriwayatkan di dalam kitab Sahih Muslim sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Batas antara seorang hamba dan kemusyrikan ialah meninggalkan shalat.”
Di dalam kitab sunan disebutkan sebuah hadits marfu' yang mengatakan sebagai berikut: “Perjanjian antara Kami dan mereka adalah shalat; barang siapa yang meninggalkannya, berarti ia telah kafir.” Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Barang siapa yang meninggalkan shalat Asar, maka sesungguhnya amalnya telah dihapuskan. Barang siapa yang meninggalkan shalat Asar, maka seakan-akan ia ditinggalkan oleh keluarga dan harta bendanya.”
Hadits lain menyebutkan putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari azab Allah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim An-Nabil, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk bersandar, masuklah seorang lelaki dan bertanya, "Apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah ﷻ serta merasa aman dari siksa (pembalasan) Allah, hal ini merupakan dosa yang paling besar.”
Imam Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Ishaq Al-Attar, dari Abu Asim An-Nabil, dari Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari rahmat Allah ﷻ. Akan tetapi sanad hadits ini masih perlu dipertimbangkan. Hal yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bila menilai hadits ini sebagai hadits mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas), karena sesungguhnya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang serupa (yakni mauquf).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mutarrif, dari Wabrah ibnu Abdur Rahman, dari Abut Tufail yang menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah berkata: “Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus asa dari rahmat Allah ﷻ serta merasa aman dari pembalasan Allah.”
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadits Al-A'masy dan Abu Ishaq, dari Wardah, dari Abut Tufail, dari Abdullah ibnu Mas'ud dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan juga melalui berbagai jalur dari Abut Tufail dari Ibnu Mas'ud; atsar ini tidak diragukan lagi sahih sampai kepada Ibnu Mas'ud.
Hadits lain, di dalamnya disebutkan buruk sangka kepada Allah. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Bandar, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim (yaitu Bakr ibnu Abdan), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhajir, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah Al-Bukhari, dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan: Termasuk dosa besar adalah berburuk sangka terhadap Allah ﷻ. Hadits ini gharib (asing) sekali.
Hadits lain, di dalamnya disebutkan kembali ke perkampungan sesudah hijrah. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui riwayat Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu'. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Rasyidin, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Khalid Al-Har-rani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ziyad ibnu Abu Habib, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ pernah bersabda: “Dosa besar itu ada tujuh macam, mengapa kalian tidak menanyakannya kepadaku? Yaitu mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.”
Tetapi di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu dipertimbangkan. Menilai marfu' hadits ini keliru sekali. Hal yang benar ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yaitu telah menceritakan kepada kami Tamim ibnu Muntasir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah berada di dalam masjid ini, yakni masjid Kufah.
Ketika itu Khalifah Ali sedang berkhotbah kepada orang-orang di atas mimbarnya seraya berkata, 'Wahai manusia sekalian, dosa besar itu ada tujuh macam.' Maka semua orang tunduk terdiam, dan Ali mengulangi ucapannya itu tiga kali, lalu berkata, 'Mengapa kalian tidak mau bertanya kepadaku tentang dosa-dosa besar itu?' Mereka menjawab, "Wahai Amirul Muminin, apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Khalifah Ali menjawab, 'Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan perang (jihad), dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.' Maka aku (Muhammad ibnu Sahl) bertanya kepada ayahku, 'Wahai ayahku, mengapa kembali ke perkampungan dimasukkan ke dalam bab ini?' Ayahku menjawab, 'Wahai anakku, tiada dosa yang lebih besar daripada seseorang yang melakukan hijrah, hingga setelah ia mendapat bagian dari harta fai' dan diwajibkan atas dirinya melakukan jihad, kemudian ia melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut dan kembali ke perkampungan Baduy seperti keadaan semula'."
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Sinan), dari Mansur, dari Hilal ibnu Yusaf, dari Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam haji wada'-nya: “Ingatlah, sesungguhnya dosa besar itu ada empat: Janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, janganlah kalian berzina, dan janganlah kalian mencuri. Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i mengatakan, "Setelah aku mendengar hal ini dari Rasulullah ﷺ, maka aku tidak segan-segan menceritakannya (kepada orang yang belum pernah mendengarnya)." Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula hal yang serupa dengan hadits di atas, juga Imam An-Nasai serta Ibnu Mardawaih melalui hadits Mansur berikut sanadnya.
Hadits lain, dalam pembahasan yang terdahulu telah diutarakan sebuah hadits melalui riwayat Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam berwasiat merupakan dosa besar. Tetapi yang sahih ialah yang diriwayatkan oleh selain Umar ibnul Mugirah, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas dan merupakan perkataannya.
Hadits lain mengenai hal ini. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Abbad, dari Ja'far ibnuz-Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa ada sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ sedang berbincang-bincang mengenai dosa-dosa besar; saat itu Nabi ﷺ sedang duduk bersandar. Mereka mengatakan, "Dosa-dosa besar itu ialah mempersekutukan Allah, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya; menyakiti kedua orang tua, kesaksian palsu, penggelapan (korupsi), sihir, dan memakan riba." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Lalu di manakah kalian tempatkan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya, ‘Orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah mereka dengan harga yang murah.’ Akan tetapi di dalam sanadnya terkandung kelemahan.
Berbagai pendapat ulama salaf mengenai dosa-dosa besar.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Ali yang terkandung di dalam hadits-hadits mengenai masalah ini. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun, dari Al-Hasan, bahwa sejumlah orang pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr di Mesir.
Untuk itu mereka berkata, "Kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan agar diamalkan, tetapi ternyata tidak diamalkan. Maka kami bermaksud untuk menjumpai Amirul Mukminin sehubungan dengan masalah ini." Maka Abdullah ibnu Amr datang bersama mereka (ke Madinah), lalu langsung menghadap Khalifah Umar Khalifah Umar yang bertanya, "Kapankah kamu tiba?" Abdullah ibnu Amr menjawab, "Sejak hari anu." Khalifah Umar bertanya, "Apakah kamu datang dengan membawa izin?" Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Aku tidak mengetahui jawaban apakah yang akan kukemukakan kepadanya." Akhirnya Abdullah ibnu Amr berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang menjumpaiku di Mesir, lalu mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam Kitabullah yang memerintahkan untuk diamalkan, tetapi tidak diamalkan,' Lalu mereka menginginkan menghadap kepadamu untuk menanyakan hal tersebut." Khalifah Umar berkata, "Kumpulkanlah mereka kepadaku." Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Maka aku mengumpulkan mereka kepadanya." Ibnu Aun (perawi) mengatakan, "Menurut keyakinanku Al-Hasan mengatakan, 'Kumpulkanlah mereka di serambi'." Lalu Khalifah Umar memanggil seorang lelaki yang paling dekat dengannya dari mereka dan bertanya, "Aku meminta jawabanmu yang jujur, demi Allah dan demi hak Islam atas dirimu, apakah kamu telah membaca Al-Qur'an semuanya?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah kamu telah mengamalkannya dalam dirimu?" Lelaki itu menjawab, "Ya Allah, belum." Al-Hasan mengatakan, seandainya lelaki itu mengatakan, "Ya," niscaya Khalifah Umar mendebatnya.
Umar bertanya, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada penglihatanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada ucapanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada jejak-jejakmu (anak cucumu)?" Kemudian Khalifah Umar menanyai mereka satu persatu hingga sampai pada orang yang terakhir. Lalu Khalifah Umar berkata, "Celakalah Umar, apakah kalian membebaninya agar dia menegakkan semua orang untuk mengamalkan semua yang ada di dalam Kitabullah, padahal Allah telah mengetahui bahwa kita pasti akan melakukan keburukan-keburukan (dosa-dosa)?" Al-Hasan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar membacakan firman-Nya: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil).” (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Kemudian Khalifah Umar bertanya, "Apakah penduduk Madinah mengetahui?" Atau ia mengatakan, "Apakah ada seseorang yang mengetahui apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Khalifah Umar berkata, "Seandainya mereka (penduduk atau ulama Madinah) mengetahui, niscaya aku beri mereka nasihat dengan masalah kalian ini." Sanad atsar ini sahih dan matannya hasan. Sekalipun dalam riwayat Al-Hasan dari Umar terdapat inqitha, tetapi karena mengingat terkenalnya atsar ini, maka ketenarannya sudah cukup dijadikan sebagai jaminan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad (yakni Az-Zubairi), telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Saleh, dari Usman ibnul Mugirah, dari Malik ibnu Jarir, dari Ali yang mengatakan, "Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, lari dari medan perang, kembali ke kampung sesudah hijrah, sihir, menyakiti kedua orang tua, memakan riba, memisahkan diri dari jamaah, dan melanggar perjanjian."
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap nikmat Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari pembalasan Allah ﷻ" Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadits Al-A'masy ibnu Abud-Duha, dari Masruq dan Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah; keduanya (yakni Masruq dan Alqamah) dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar disebutkan mulai dari awal surat An-Nisa sampai ayat tiga puluh.
Juga darinya disebutkan oleh hadits Sufyan As-Sauri dan Syu'bah, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar disebutkan pada permulaan surat An-Nisa sampai tiga puluh ayat. Kemudian ia membacakan firman-Nya: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, melarang lebihan air sesudah pengairan dilakukan, dan mencegah pemanfaatan ternak pejantan kecuali dengan imbalan.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadits dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Kelebihan air tidak boleh ditahan dengan maksud agar rerumputan tidak tumbuh.” Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula sebuah hadits dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Ada tiga macam orang, Allah tidak mau memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosanya) serta bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu seorang lelaki yang memiliki kelebihan air di padang pasir, lalu ia mencegah Ibnus Sabil (musafir yang kekurangan bekal/biaya) dari memanfaatkannya, hingga akhir hadits.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan melalui hadits Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya sebuah hadits marfu' yang mengatakan: “Barang siapa yang menahan kelebihan air dan kelebihan rerumputan, niscaya Allah akan menahan kemurahan-Nya dari dia kelak di hari kiamat.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Syaiban Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim, dari Masruq, dari Aisyah yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar yang dilarang kaum wanita mengerjakannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud olehnya ialah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri.” (Al-Mumtahanah: 12), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Anas ibnu Malik, dan tersebutlah bahwa termasuk di antara pembicaraan dia kepada kami ialah ia mengatakan, "Aku belum pernah melihat anugerah yang serupa dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, lalu untuk mendapatkannya tidak usah keluar meninggalkan keluarga dan harta benda." Kemudian sahabat Anas ibnu Malik diam sejenak, lalu berkata, "Demi Allah, kita tidak dibebani hal tersebut, sesungguhnya Allah telah memaafkan dosa-dosa kita selain dosa-dosa besar." Lalu ia membacakan firman-Nya: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya.” (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Pendapat Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadits Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Tawus yang menceritakan bahwa mereka membicarakan tentang dosa-dosa besar di hadapan Ibnu Abbas; mereka mengatakan bahwa dosa-dosa besar itu ada tujuh macam. Maka Ibnu Abbas berkata bahwa dosa-dosa besar itu lebih banyak dari tujuh macam dan tujuh macam lainnya. Tawus mengatakan bahwa ia tidak ingat lagi berapa banyak Ibnu Abbas menyebutkannya (yakni banyaknya macam dosa besar).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Laits, dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa sajakah tujuh macam dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar itu yang benar banyaknya sampai tujuh puluh macam, paling sedikit ada tujuh macam."
Ibnu Jarir meriwayatkan atsar ini dari Ibnu Humaid, dari Al-Laits, dari Tawus yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu berkata, "Bagaimanakah pendapatmu terhadap dosa-dosa besar yang tujuh macam yang disebutkan Allah? Apa sajakah?" Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar jumlahnya mencapai tujuh puluh macam hingga yang paling sedikit ada tujuh macam."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada ibnu Abbas tentang tujuh macam dosa-dosa besar. Ibnu Abbas menjawab, "Semuanya sampai tujuh puluh macam banyaknya." Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah Ar-Rayyahi rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Qais ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas, "Berapa macamkah tujuh dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Macamnya ada sampai tujuh puluh hingga tujuh ratus macam, yang paling ringkas adalah tujuh macam. Tetapi tidak ada dosa besar bila disertai dengan istigfar, dan tidak ada dosa kecil bila dibarengi dengan terus-menerus melakukannya (yakni dosa kecil bisa menjadi dosa besar bila dilakukan terus-menerus)." Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadits Syibl dengan lafal yang sama.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya.” (An-Nisa: 31) Ibnu Abbas mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang dipastikan oleh Allah (atas pelakunya) neraka, atau murka-Nya atau kutukan-Nya atau azab-Nya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setiap dosa yang dipastikan oleh Allah neraka besar bagi pelakunya adalah dosa besar. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia mendapat berita bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setiap dosa yang dilarang oleh Allah adalah dosa besar." Disebutkan masalah tarfah (memandang), maka Ibnu Abbas menjawab bahwa tarfah adalah sekali pandang.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ma'dan, dari Abul Walid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar, maka Ibnu Abbas menjawab, "Segala sesuatu yang mendurhakai Allah adalah dosa besar." Pendapat tabi'in Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun, dari Muhammad yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah tentang dosa-dosa besar. Ia menjawab bahwa dosa-dosa besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, dan buhtan (bohong). Ibnu Ulayyah mengatakan bahwa mereka berkata, "Kembali ke kampung sesudah hijrah." Ibnu Aun berkata, "Aku tanyakan kepada Muhammad, bagaimanakah dengan sihir?" Muhammad menjawab, "Sesungguhnya buhtan itu mencakup kejahatan yang banyak."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas Salam ibnu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa dosa besar itu ada tujuh macam; tidak ada suatu dosa pun darinya melainkan disebutkan di dalam suatu ayat dari Kitabullah; antara lain ialah mempersekutukan Allah disebutkan oleh firman-Nya:”Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin.” (Al-Hajj: 31), hingga akhir ayat.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya.” (An-Nisa: 10) “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina).” (An-Nur: 23) Mengenai lari dari medan perang sabilillah disebutkan oleh firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian.” (Al-Anfal: 15), hingga akhir ayat. Mengenai kembali ke kampung sesudah hijrah disebutkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka.” (Muhammad: 25) Mengenai membunuh orang mukmin disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya.” (An-Nisa: 93) Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim pula melalui hadits Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair dengan lafal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar itu ada tujuh macam, yaitu membunuh jiwa, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, kesaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, dan lari dari medan perang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah yang mengatakan bahwa dahulu sering dikatakan, mencaci maki Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar. Menurut kami, sesungguhnya ada segolongan ulama berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat dihukumi kafir. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Malik ibnu Anas rahimahullah.. Muhammad ibnu Sirin mengatakan, "Aku tidak menduga seseorang bisa mencintai Rasulullah ﷺ bila ia membenci Abu bakar dan Umar." Diriwayatkan oleh Imam Tirmizi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Iyasy yang menceritakan bahwa Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya.” (An-Nisa: 31) Bahwa termasuk di antara dosa besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya, melakukan sihir, membunuh anak-anak, dan orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak atau istri, dan semua amal perbuatan serta ucapan yang serupa dengan hal tersebut yang tiada suatu amal pun dapat diterima bila dibarengi dengannya.
Setiap dosa yang tidak membahayakan agama dan amal kebaikan dapat diterima, sekalipun ada bersamanya. Maka sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa (kecil) itu dengan amal-amal kebaikan. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: “Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya.” (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Qatadah menceritakan kepada kami bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Jauhilah dosa-dosa besar, berjalan luruslah kalian, dan bergembiralah kalian.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Anas dan dari Jabir sebuah hadits yang marfu', yaitu: “Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dari kalangan umatku. Akan tetapi, sanad hadits ini dari semua jalur periwayatannya mengandung ke-dha’if-an, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, da
Dan barang siapa berbuat demikian, dalam memperoleh harta, dengan cara melanggar hukum dan dengan berbuat zalim, maka akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu, yakni menjatuhkan hukuman dengan siksaan neraka, adalah sesuatu hal yang sangat mudah bagi AllahDemikianlah sanksi yang akan Allah jatuhkan kepada orang-orang berbuat dosa. Pada ayat ini Allah lalu menjanjikan anugerah kenikmatan kepada orang-orang yang menjauhi dosa. Jika kamu berusaha dengan sungguh-sungguh menjauhi dosa-dosa besar terutama dosa-dosa yang bersifat penganiayaan di antara dosa-dosa besar yang telah dilarang mengerjakannya oleh Allah dan Rasul-Nya, niscaya Kami akan hapus kesalahan-kesalahanmu berupa dosa-dosa kecil yang kamu perbuat dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia, yakni surga dengan beraneka kenikmatan yang tiada tara.
Ayat ini memberikan peringatan kepada orang yang melanggar hak orang lain dan menganiayanya, dengan memasukkannya ke dalam api neraka, yang demikian itu sangat mudah bagi Allah, karena tidak ada sesuatu yang dapat membantah, merintangi atau menghalang-halangi-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ingatlah kembali seruan Allah pada ayat yang pertama, yaitu agar manusia itu ingat bahwa mereka pada hakikatnya dari jiwa yang satu, terbagi terpencar-pencar di muka bumi, menjadi laki-laki dan menjadi perempuan. Ingat pula kembali bahwa dalam pergaulan hidup manusia diperingatkan Allah agar takwa kepada-Nya dan memelihara al-Arham, yaitu kasih sayang dan kekeluargaan manusia yang besar.
Melawatlah ke negeri yang jauh, entah ke Amerika atau ke Rusia, ke Tiongkok atau ke Afrika; meskipun kulit berlain warna dan bahasa yang dipakai pun berlain, namun perasaan kemanusiaan adalah sama. Apabila datang ke negeri orang dengan hati yang terbuka dan budi yang baik, di negeri-negeri yang kita datangi akan terasalah kesatuan manusia, yang bebas dari ikatan politik atau perbedaan cita. Datanglah agama untuk mengatur pergaulan hidup manusia itu, menuntun iman, membina keluarga, berkawin, dan sampai kepada ber-waris.
Di dalam pergaulan manusia yang luas, hendaklah ada hubungan yang baik di dalam hal harta benda. Sesudah Allah Ta'aala menuntun jalan kepada perkawinan dan menjauhi perzinaan, sekarang Allah menuntun kita dari hal harta.
Ayat 29
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu makan harta-harta kamu di antara kamu dengan batil, kecuali bahwa ada dalam perniagaan dengan ridha di antara kamu,"
Mula-mula ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman. Karena orang yang telah menyatakan percaya kepada Allah, akan dengan taat dan setia menjalankan apa yang ditentukan oleh Allah. Apabila golongan yang setia menjalankan perintah Allah karena imannya, telah memberikan contoh yang baik, niscaya yang lain akan menurut. Kepada orang yang beriman dijatuhkan larangan, jangan sampai mereka memakan harta benda, yang di dalam ayat disebut harta-harta kamu hal inilah yang diperingatkan terlebih dahulu kepada Mukmin. Yaitu bahwasanya harta benda itu—baik yang di tanganmu sendiri maupun yang di tangan orang lain—semuanya itu adalah harta kamu. Lalu harta kamu itu, dengan takdir dan kurnia Allah Ta'aala, ada yang diserahkan Allah kepada tangan kamu dan ada yang pada tangan kawanmu yang lain. Lantaran itu betapa pun kayanya seseorang, sekali-kali jangan dia lupa bahwa pada hakikatnya kekayaan itu adalah kepunyaan bersama juga. Di dalam harta yang dipegangnya selalu ada hak orang lain yang wajib dia keluarkan apabila datang waktunya. Orang yang miskin pun hendaklah ingat pula bahwa harta yang ada pada tangan si kaya ada juga haknya di dalamnya. Hendaklah dipeliharanya baik-baik. Datanglah ayat ini menerangkan bagaimana hendaknya cara peredaran harta kamu itu. Mentang-mentang semua harta benda adalah harta kamu bersama, tidaklah boleh kamu mengambilnya dengan batil. Arti batil ialah menurut jalan yang salah, tidak menurut jalan yang sewajarnya. “Kecuali bahwa ada dalam perniagaan dengan ridha di antara kamu." Kalimat perniagaan yang berasal dari kata tiaga atau niaga. Yang kadang-kadang disebut pula dagarg atau perdagargan10 adalah amat luas maksudnya. Segala jual dan beli, tukar-menukar, gaji-menggaji, sewa-menyewa, impor dan ekspor, upah-mengupah, dan semua menimbulkan peredaran harta benda, termasuk dalam bidang niaga.
Dengan jalan niaga, beredarlah harta kamu, pindah dari satu tangan kepada tangan yang lain dalam garis yang teratur. Pokok utamanya ialah ridha, suka sama suka dalam garis yang halal. Kita, misalkan, seseorang mem-punyai kepandaian tukang. Hartanya ialah 10
Untuk kepentingan bahasa; kata dagarg dan perdagargan, asal pengambilannya benar-benar dari kalimat dagarg. Yaitu mendagarg barang dengan bambu, sebagai abang-abang penjual buah-buahan di Jakarta, mendagarg keranjang dengan beberapa ruas bambu. Mereka keluar dari rumah, berjalan jauh-jauh, keluar kampung halaman, mendagarg sesuatu barang yang diperlukan oleh orang lain. Ataudidagargnyabungkusan dan periuk-sandukkeperluan hidupnya merantau. Sebab itu orang yang merantau jauh, disebut juga “Anak Dagarg" sangat kaya berlimpah-limpah dan yang miskin sampai menanggung lapar, sebab satu liter beras saja pun harus dicarinya dengan keringat, air mata, dan darah. Lantaran inilah timbul cita-cita “Keadilan Sosial,"
kepandaian tukangnya itu. Seorang lagi memerlukan mendirikan sebuah rumah, dia sendiri tidak mempunyai kepandaian untuk mendirikan rumah. Dia hanya mempunyai uang buat membeli kepandaian si tukang tadi untuk membangun rumahnya.
Kepandaian si tukang adalah harta kamu bagi yang menginginkan rumah dan uang upah yang akan diterima si tukang adalah harta kamu bagi si tukang. Kalau dia disuruh mengerjakan rumah, padahal upahnya tidak dibayar, itu adalah salah satu perbuatan mengambil harta kamu dengan jalan yang batil. Atau dikhianati oleh tukang tadi karena pekerjaan yang tidak sempurna sehingga tidak sepadan upah yang telah diterimanya dengan buruknya pekerjaannya; ini pun mengambil harta kamu dengan batil.
Bolehlah orang berpikir, karena kalau demikian di dalam ajaran Islam yang menyebut harta kamu ini tampaknya terdapat apa yang sekarang kita namai sosialisme. Penafsiran bisa diperpanjang diperluas, namun kenyataannya ialah begitu!
Segala pengicuhan, kecurangan, korupsi berbeda mutu barang yang sebenarnya dengan reklame iklan yang berlebih-lebihan, tidak tepat menyelesaikan barangyang ditempahkan dengan janji yang telah diperbuat, mengurangi mutu pekerjaan yang diupahkan, mencuri, memeras, dan sebagainya, semuanya itu adalah termasuk memakan harta benda kamu di antara kamu dengan batil. Batil menggencet upah buruh. Slowly atau berlalai-lalai bekerja sehingga produksi keluar di bawah ukuran; juga memakan harta kamu di antara kamu dengan batil.
Orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat, berat sangat berderma, berwakaf, bersedekah, dan berkorban untuk kepentingan umum, adalah memakan harta kamu di antara kamu dengan batil. Bahkan hidup yang sangat menonjolkan kemewahan sehingga menimbulkan iri hati dan benci kepada si miskin pun termasuk memakan harta kamu di antara kamu dengan batil.
Yang kita kagum ialah kemajuan ilmu pengetahuan ekonomi modern di zaman sekarang telah sampai kepada inti sari maksud ayat ini. Ekonomi telah diartikan dengan kemakmuran. Ekonomi yang kacau ialah me-makan harta kamu di antara kamu dengan batil di mana yang kaya sudah sangat kaya berlimpah-limpah dan yang miskin sampai menanggung lapar sebab satu liter beras saja pun harus dicarinya dengan keringat, air mata, dan darah. Lantaran inilah timbul cita-cita keadilan sosial.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, “Dan janganlah kamu bunuh diri-diri kamu."Di antara harta dengan diri atau dengan jiwa, tidaklah bercerai-tanggal. Orang mencari harta buat melanjutkan hidup. Selain kemakmuran harta benda, hendaklah pula terdapat kemakmuran atau keamanan jiwa. Sebab itu di samping menjauhi memakan harta kamu dengan batil, janganlah terjadi pembunuhan. Tegasnya janganlah berbunuhan karena sesuap nasi. Ja-ngan kamu bunuh diri-diri kamu. Segala harta benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta kamu. Segala nyawa yang ada, pun adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang itu pun diri kamu. Ini jelas lagi di dalam surah al-Maa'idah ayat 32
“Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena (dia membunuh) seseorang, atau karena membuat kerusuhan di bumi, maka seolah-olah dia itu membunuh manusia semuanya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia itu menghidupi manusia semuanya." (al-Maa'idah: 32)
Artinya, membunuh seseorang hanya berlaku apabila dia membunuh orang pula, atau karena dia merusak di bumi, tidak me-
nurut garis ketentuan undang-undang (syara") kacaulah harta benda kamu dan seluruh kehidupan kamu, hilanglah keamanan hidup kamu bersama. Dalam hal ini bukan saja jangan membunuh orang lain yang seakan-akan diri kamu itu, bahkan dilarang keras pula membunuh dirimu sendiri. Adapun penderitaan batin, betapa pun sesaknya perasaan sehingga telah amat sempit rasanya hidup ini, bahkan telah putus asa rasanya buat hidup, namun dirimu jangan kamu bunuh.
Kadang-kadang terlintas dalam perasaan hendak menghabisi nyawa sendiri supaya terlepas dari penderitaan dan tekanan yang tidak terperikan rasanya, tahanlah itu dengan sabar. Lihatlah kembali pangkal ayat! Dia adalah seruan kepada orangyangberiman! Orangyang beriman tidaklah pernah putus harapannya dari pertolongan Allah, bahwa Allah akan melepaskannya juga dari penderitaan.
Sebab itu membunuh diri bisa menular luas dalam kalangan orang yang tidak beriman atau yang tidak percaya kepada Allah sama sekali sehingga dosa tidak terkendalikan lagi dan tidak tampak lagi jalan keluar selain mati. Orang yang beriman dapatlah menabahkan hatinya karena pukulan derita, bukan seperti orang kafir. Seorang ahli pengetahuan Kristen Arab warga negara Amerika, Prof. Philips Hitti, dalam bukunya Sejarah Arab mengakui bahwa membunuh diri sangat jarang terjadi dalam kalangan orang Islam jika dibandingkan kalangan orang Barat.
“Sesungguhnya Allah amat sayang kepada kamu."
Allah menyuruh atur dengan baik dalam memakan harta kamu dan Allah melarang kamu membunuh diri kamu, baik orang lain apatah lagi diri kamu sendiri. Karena kalau peraturan Allah dalam hal harta tidak kamu turuti, masyarakatmu akan kacau. Rampok-merampok, kicuh-mengicuh akan terjadi. Allah sayang kepadamu. Allah tidak senang
kamu kacau. Allah melarang membunuh diri kamu. Karena kalau orang lain dibunuh, timbullah dendam yang tidak berkesudahan. Kalau kamu bunuh diri kamu sendiri, soalmu tidak akan selesai hingga itu. Masyarakat yang engkau tinggalkan karena engkau membunuh diri tidaklah akan menyesal karena hilangnya seorang yang lemah dan pengecut menghadapi hidup. Keluarga yang engkau tinggalkan niscaya menderita karena salahmu itu. Apatah lagi dalam ketentuan hukum agama, hukuman pun harus diterima oleh bangkainya sendiri. Tidak wajib orang mengurus mayat pembunuh diri, menurut semestinya. Sebagai orang Mukmin hendaklah engkau percaya bahwa perhitunganmu di akhirat kelak amat besar; nerakalah tempatmu karena dia termasuk dosa yang amat besar. Allah sayang kepadamu, jangan terjadi hendaknya yang begitu. Ini dijelaskan Allah pada ayat yang selanjutnya.
Ayat 30
“Dan barangsiapa berbuat yang demikian itu"
Baik memakan harta kamu dengan jalan yang batil, atau membunuh diri kamu, diri orang lain, “dengan melanggar batas dan aniayar, maka sesungguhnya akan Kami masukkan dia ke neraka." Udwaan kita artikan melanggar. Yaitu melanggar batas kebenaran. Dia sudah tahu bahwa itu tidak boleh, tetapi dilanggarnya juga. Dia tidakpeduli lagi bahwa Allah melarang, lalu diteruskannya juga. Tegasnya sudah disengaja benar-benar. Sebagaimana juga di dalam Undang-Undang Hukum Pidana Negara disebut dengan sengaja, hukumnya menjadi lebih berat daripada yang tidak disengaja lebih dahulu. Kita ambil misal, “Seorang sedang mengasah pisaunya sampai tajam karena akan digunakannya menyembelih kambing. Sedang dia asik mengasah pisau itu, tiba-tiba datang orang mengganggunya. Entah bagaimana, dia pun silap, tertikam olehnya orang itu, lalu mati. Hukumnya tidaklah seberat hukum orang yang mengasah pisaunya karena maksud hendak membunuh seseorang. Setelah pisaunya tajam, orang itu dicarinya dan dibunuhnya. Karena perhatian sejak mencari pisau, lalu kepada mengasah dan mencari orang itu sudah benar-benar dengan sengaja melanggar hukum agama atau undang-undang atau kata hati sanubarinya sendiri yang melarang. Itulah yang Udwaan, yaitu melanggar!"
Yang kedua ialah zhulm artinya aniaya. Itulah yang dapat dimisalkan dengan membunuh dengan tidak sengaja. Bukan sengaja melanggar hukum dan agama dan perasaan halus, tertikam olehnya orang, lalu orang itu mati. Sudah nyata orang itu mati, dan sudah nyatalah orang yang mati itu, teraniaya. Oleh sebab itu, meskipun bagi dirinya sendiri bukan sengaja, bagi yang mati hal itu sudah nyata teraniaya. Kesalahan pasti ada juga bagi yang membunuh, lantaran kelalaian dan kesia-siaan. Hukuman tentu ada juga, masuk neraka juga, tetapi tidak seberat yang melakukan kejahatan dengan sengaja atau udwaan. Tidaklah kita perpanjang uraian tentang zhulm. Pada pokoknya dia pun masuk neraka meskipun tidak seberat udwaan. Sudah sama diketahui pada ayat yang dahulu Allah selalu menyuruh orang beriman supaya selalu tobat kepada Allah. Mungkin karena tobatnya, dosa yang tidak disengaja itu dapat diringankan. Mungkin juga menjadi ringan di akhirat karena mereka telah mendapat pula hukuman yang setimpal di dunia. Misalnya jiwa bayar jiwa atau jiwa bayar diyat. Hal ini akan dibicarakan di ayat lain. Ujung ayat pun dapat meringankan otak kita dalam perkara ini karena firman Allah berbunyi,
“Dan adalah yang demikian itu bagi Allah suatu hal yang mudah."
Ancaman lagi bagi orang yang sombong dan merasa diri kuat, lalu melanggar aturan Allah atau aniaya, baik terhadap harta benda atau terhadap jiwa orang. Karena kuatnya dia merasa tidak ada orang yang akan berani me
nantangnya, seperti pepatah Tegak tidak ter-sundak, membunuh tidak memapas. Si sombong itu mudah saja bagi Allah melemparkannya ke dalam neraka.
Kemudian Allah berfirman selanjutnya.
Ayat 31
“Jika kamu jauhi dosa-dosa besar yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya akan Kami hapuskan daripada kamu kesalahan-kesalahan kamu."
Di sana terdapat beberapa kata, yaitu menjauhi yang berarti tidak mau mendekati atau tidak mau mendekat-dekat ke situ dan mengelak kalau bertemu. Kedua, dosa-dosa besar, ketiga kesalahan-kesalahan. Tegasnya, banyak salah, yang menyebabkan orang yang berbuat menjadi serba salah dari akibat perbuatannya, baik cepat atau lambat laun.
Panjang pembicaraan ulama tentang dosa. Apakah segala dosa itu besar? Atau adakah dosa yang besar dan dosa yang kecil? Menurut Ibnu Abbas segala pendurhakaan kepada Allah adalah dosa besar. Al-Baqillani dan al-Asfaraini dan Imam al-Haramain, pun sependapat dengan paham Ibnu Abbas itu. Kaum al-Mu'tazilah dan al-Asy'ari menyatakan bahwa dosa memang ada yang besar dan ada yang kecil. Menurut hadits, memang ada ter-sebut dosa besar tujuh macam. Bukhari dan Muslim merawikan dari Abu Hurairah tentang as-Sab'ul Mubiqat (tujuh dosa besar) Mempersekutukan yang lain dengan Allah, membunuh suatu diri (termasuk diri sendiri), sihir, makan riba, memakan harta anak yatim, meninggalkan medan perang di kala menyerbu musuh, menuduh-nuduh perempuan baik-baik berbuat zina.
Hadits yang lain menyebut lagi yang lain mendurhakai ibu bapak, saksi palsu, dan lain-lain, sehingga berlebih dari tujuh.
Tetapi Ibnu Abbas dari riwayat lain dari Abdur Razak, membantah bahwa dosa besar hanya tujuh macam. “Tidak!" kata beliau. “Bahkan tujuh puluh." Kata beliau pula menurut riwayat Said bin Jubair, “Bahkan tujuh ratus."
Supaya kita lebih mendekati maksud ayat, sudah nyata bahwa dalam ayat memang nyata ada Kabaa'ir artinya dosa-dosa besar. Di dalam ayat, ada pula Sayyi'aat, kesalahan-kesalahan, yang dimaksud kesalahan kecil-kecil. Kita sendiri dalam keadaan hidup sehari-hari niscaya merasainya. Untuk misal yang gampang. Kita berjalan seorang diri, terlihat perempuan cantik, hati tergiur. Tergiur hati saja belum dosa. Tetapi kalau sudah mulai me-merhatikan bentuk tubuhnya dengan syahwat, mulailah kesalahan, menjadi dosa kecil. Tetapi kalau sudah berzina, menjadilah dia dosa besar. Kalau zina dijauhi sangat, dosa memerhatikan tubuhnya dihapuskan oleh Allah.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dan hadits asy-Sya'bi dan Abdullah bin Amir, dari Nabi ﷺ berkata beliau,
“Dosa-dosa besar ialah mempersekutukan sesuatu dengan Allah, mendurhaka kepada ayah bunda, membunuh suatu diri, dan sumpah palsu." (HR Bukhari dan Muslim)
Satu hadits lagi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga, diterima dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dan Abdurrahman menerima dari ayahnya.
“Dari Nabi ﷺ, beliau berkata, ‘Sukakah kamu aku jelaskan kepada kamu yang sebesar-besar dosa di antara segala yang besar." (Beliau tanyakan sampai pga kali) Mereka menjawab, ‘Tentu saja ya Rasulullah!' Berkata beliau, ‘Yaitu mem persekutukan yang lain dengan Allah, mendurhaka kedua ayah bunda.' Ketika berbicara itu beliau sedang berbaring, lalu beliau duduk dan meneruskan perkataan beliau, ‘Ketahuilah, dan kata-kata dusta.' Perkataan itu beliau ulang beberapa kali sehingga kami yang mendengar ingin beliau berhenti." (HR Bukhari dan Muslim)
“Dan dari sebuah hadits Shahih Bukhari, dari Abu Wd'il dari Amir bin Syurahbil dan Abdullah. Dia bertanya, ‘Apakah dosa yang paling besar ya Rasulullah!" Beliau menjawab, ‘Bahwa engkau adakan sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menjadikan engkau.' Kemudian aku bertanya lagi, ‘Kemudian itu apa lagi ya Rasulullah." Beliau menjawab, ‘Bahwa engkau bunuh anak engkau karena takut dia akan makan bersama engkau.' Lalu aku bertanya pula, ‘Sesudah itu apa lagi ya Rasulullah!' Beliau jawab, ‘Bahwa engkau berzina dengan istri tetangga engkau.' Maka diturunkan ayat penguatkan perkataan Rasulullah ﷺ itu demikian bunyinya, ‘Dan orang-orang yang tidak memohon bersama dengan Allah kepada Allah yang lain, dan tidak mereka membunuh diri yang diharamkan oleh Allah kecuali menurut kebenaran dan tidak mereka berzina.'" (HR Bukhari)
Tersebut pula di dalam sebuah hadits Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,
“Berkaca Rasulullah ﷺ, ‘Jauhilah olehmu tujuh dosa amat besar!' Mereka bertanya, ‘Manakah dia ya RasulullahV Beliau menjawab, ‘Mempersekutukan sesuatu dengan Allah. Sihir. Membunuh suatu diri yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan kebenaran. Memakan riba. Memakan harta anak yatim. Berpaling lari di waktu menyerbu musuh. Menuduh perempuan baik-baik, jujur beriman berbuat zina." (HR Bukhari dan Muslim)
Dirawikan pula oleh Syu'bah dari Sa'ad bin Ibrahim, berkata dia, Aku mendengar Hu-maid bin Abdurrahman menerima hadits dari Abdullah bin Amr; dari Nabi ﷺ.
“Berkata beliau, ‘Di antara sebesar-besar dosa besar ialah seorang laki-laki yang menista ayah bundanya.' Bertanya mereka, ‘Bagaimana seorang laki-laki yang menista ayah bundanya' Beliau jawab, ‘Dinistanya ayah seseorang, lalu orang itu menista ayahnya pula. Dan dinistanya ibu seseorang, lalu orang itu menista ibunya pula.'" (HR Syu'bah)
Satu hadits shahih lagi dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ sabda beliau,
“Sesungguhnya di antara sebesar-besar dosa besar ialah seorang laki-laki tak henti-hentinya mem-bicarakan keburukan saudaranya sesama Islam di luar kebenaran."
“Di luar kebenaran" ialah memfitnah. Kalau memang ada keburukannya, lalu dibicarakan juga, bernama mengumpat atau bergunjing.
Dari hadits-hadits yang shahih ini sudah teranglah bahwa memang ada dan lebih jelas apa yang dikatakan al-Kabaa'ir atau dosa-dosa besar.
Sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang utama pun banyak memberikan keterangan tentang dosa besar.
Abdullah bin Mas'ud berkata, “Sebesar-besar dosa besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, merasa aman saja dari pembalasan Allah, dan tidak mempunyai harapan akan rahmat Allah, dan putus asa dari kurnia Allah."
Berkata Said bin Jubair, “Bertanya seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas dari hal dosa-dosa besar itu, apakah benar tujuh banyaknya?" Beliau menjawab, “Kepada 700 lebih dekat. Cuma saja, tidak ada dosa besar selama masih memohon ampun kepada Allah dan tidak ada lagi dosa yang kecil kalau selalu dikerjakan." Kata Ibnu Abbas pula pada kesempatan yang lain, “Tiap pekerjaan mendurhakai Allah adalah dosa besar. Sebab itu barangsiapa berbuat demikian, hendaklah dia segera meminta tobat kepada Allah. Karena Allah tidaklah akan mengekalkan seseorang pun dari umat ini dalam neraka, kecuali kalau dia kembali kafir sesudah Islam, atau dia tidak mau mengikuti perintah-perintah yang fardhu, atau dia mendustakan takdir Allah."
Berkata pula Abdullah bin Mas'ud, apa yang dilarang Allah di dalam surah an-Nisaa' sejak permulaan sampai firman Allah,
“Jika kamu jauhi segala dosa besar yang telah dilarang kamu daripadanya, niscaya akan dihapuskan daripada kamu kejahatan-kejahatan kamu itu." (an-Nisaa': 31)
“Semuanya itu adalah dosa besar."
Berkata pula Ali bin Thalhah tentang arti dosa besar, yang baik sekali kita jadikan pegangan, Kata beliau, “Dosa besar ialah segala dosa yang telah diberi materai (cap) oleh Allah dengan api neraka, atau dengan kemurkaan, atau laknat atau siksaan."
Menurut adh-Dhahhak, “Dosa besar itu ialah apa yang diancamkan Allah atasnya dengan hukuman di dunia dan adzab di akhirat."
Menurut Husain bin Fadhl, “Dosa besar ialah yang disebutkan Allah dengan jelas di dalam Al-Qur'an." Lalu beliau sebutkan ayat yang menjelaskan dosa besar itu, yaitu yang tersebut pada surah an-Nisaa' ayat 2, surah an-Nuur ayat 16, surah al-Ahzaab ayat 53, Kata beliau, segala dosa yang disebut dalam ayat ini adalah dosa besar belaka. Dan surah al-lsraa' ayat 31, surah Luqmaan ayat 13, surah Yuusuf ayat 28.
Menurut Sufyan Tsauri yang disebut dosa besar ialah segala hubungan buruk di antara hamba sesama hamba, dan dosa kecil ialah di antara hamba dengan Allah. Kata beliau, “Karena dosa-dosa yang di antara hamba dengan Allah mudah diselesaikan dengan tobat sungguh-sungguh kepada Allah atau meminta maaf Ilahi atau dengan syafa'at. Tetapi terhadap sesama hamba Allah, tidaklah akan hapus sebelum hamba itu sendiri yang mem-beri maaf."
Berkata as-Suddy, “Al-Kabaa'ir ialah apa yang dilarang Allah dari dosa-dosa yang besar. Dan as-Sayyi'aat ialah permulaan dari embel-embel pengikutnya, yang terhimpun di dalamnya segala yang buruk dengan fasik; seumpama memandang, menyinggung, mencium, dan sebagainya,"
Dari sekalian keterangan yang kita terima ini, teranglah sudah bahwa al-Kabaa'ir (dosa besar) memang ada, dan dosa kecil pun ada. Tetapi kita pegang teguhlah apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu Abbas,
“Tidak ada dosa yang besar kalau disertai dengan segera memohon ampun. Dan tidak lagi dosa yang kecil, kalau disertai dengan berketerusan."
Tegasnya, betapa pun besarnya dosa, kalau betul-betul tobat, akan diampuni Allah. Dan betapa pun kecilnya dosa, kalau terus-menerus diperbuat, dia akan jadi besar juga.
Sesudah Allah memberikan janji yang tegas bahwa jika kita sudah menjauhi dosa-dosa yang besar maka kesalahan yang kecil-kecil dengan sendirinya akan dihapuskan oleh Allah, dan Allah pun melanjutkan firman-Nya,
“Dan akan Kami masukkan kamu ke tempat masuk yang mulia."
Tempat masuk yang mulia akan terdapat pada dua tempat. Pertama di dunia ini, karena dengan menempuh jalan yang baik, hidup jadi bahagia. Di akhirat kelak masuk pula ke tempat yang mulia, yaitu surga yang dijanjikan.
Setengah dari ikhtiar untuk membuat hidup yang lebih baik, terjauh dari berbuat dosa-dosa yang besar ialah memilih teman bergaul, yang disebut lingkungan, atau bi'ah (Arab) atau milieu. Bergaul dengan orang jahat, kejahatannya akan memindah. Bergaul dengan orang baik-baik akan membawa diri sendiri kepada perbuatan yang baik. Kehidupan itu adalah tiru-meniru dan pindah-memindah.
Dari hal seseorang tak usah kau tanya, tetapi tanyailah siapa temannya; sebab tiap-tiap teman adalah meniru temannya.
Dapatlah kita persambungkan maksud ayat ini dengan kemajuan penyelidikan ahli-ahli tentang jiwa manusia dan pengaruh yang menentukan sikap jiwa itu. Baik dari ayat yang sedang kita tafsirkan ini atau dari apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas tadi, bahwasanya dosa besar bisa hilang dan habis tak ada lagi, artinya tidak lagi merekan jiwa kita, asal kita segera tobat. Tobat ialah satu usaha yang berat sekali di dalam membanting stir kehidupan. Misalnya kita terjerumus ke dalam satu dosa besar, entah berzina atau memakan harta benda anak yatim. Kita telah terlibat ke dalam belenggunya dan sudah payah mencabut diri dari dalamnya. Segala dosa yang lain, dosa-dosa kecil menjadi tumbuh di sekeliling dosa besar itu. Kita bangkitkan diri menyesali masa lampau, serta mencabut serta menghentikan sama sekali yang sedang berlaku sekarang, dan berjanji dengan diri sendiri tidak akan berbuat dosa itu lagi buat seterusnya. Kita hendak tobat; dan tobat artinya ialah kembali. Yaitu kembali ke jalan yang telah ditentukan Allah. Kalau kita menang mengatasi soal itu akan terjadi sendiri kepulihan dalam jiwa kita. Dan dosa-dosa kecil yang lain, yang disebut sayyi'aat tadi dengan sendirinya telah ikut hilang.
Kita dapat menyaksikan sendiri orang yang telah terbenam ke dalam satu dosa besar. Sikap dan cara hidupnya dengan sendirinya berubah. Sikap jiwanya menjadi kentara. Kalau dia telah telanjur menjadi seorang pezina misalnya, matanya pun menjadi liar apabila melihat perempuan cantik. Demikian juga perempuan yang telah telanjur berzina; orang Mukmin dapat firasat bahwa cahaya kesucian menjadi padam dari matanya. Dia tidak mengenal malu lagi. Dosa-dosa yang ditimbulkan oleh matanya yang padam cahaya kesucian itu sebab tidak sanggup lagi mengendalikan diri, menunjukkan bahwa jiwanya mulai sakit. Padahal kalau hanya melihat saja, barulah satu dosa kecil. Tetapi melihat dan melihat lagi sehingga dia tidak dapat lagi mengendalikan diri, menjadi tanda bahwa sayyi'aat melihat itu adalah tumbuh dari dosa besar yang telah dibiasakannya.
Itulah sebabnya di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, kita diperintahkan ijtanibuu artinya jauhi atau menyingkir dari dosa-dosa besar yang dilarang itu. Kalau dosa besar telah dijauhi, akan ditangkiskan Allah-lah dosa-dosa kecil dari dirimu. Dengan sikap demikian, sikap jiwamu masih tetap terpelihara, dosa-dosa kecil yang tidak disengaja, yang kadang-kadang terlintas di dalam hidup tidak lagi memengaruhi sikap jiwa.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa dosa kecil kalau terus-menerus, tidaklah kecil lagi. Misalkan saja orang yang terbiasa humazatin lumazah, yaitu suka mencela-cela dan menghina orang lain. Kalau hanya sekali-sekali, lalu segera dikurangi sampai hilang sama sekali, masihlah terhitung dosa kecil. Tetapi kalau sudah menjadi kebiasaan, menjadilah dia tabiat buruk dan melekat pada diri, susah diubah karena telah jadi kebiasaan. Maka menjadi besarlah dia, malahan diancam akan masuk neraka Wailun dan Hutamah.
Manusia yang berakal budi senantiasa berusaha mempertinggi martabat jiwanya sehingga mempunyai kemanusiaan yang lebih sempurna. Orang mengemukakan filsafat tentang akhlak atau etika. Orang memperkatakan tentang sopan santun. Tetapi sopan santun yang mendapat tuntunan dengan tauhid, kepercayaan akan adanya Allah dan kasih sayang-Nya, itulah jalan satu-satunya yang lebih terjamin membentuk diri dalam mencapai kesem-purnaan itu. Dalam ajaran filsafat dikatakan yang sebaik-baik cita ialah mengerjakan yang baik karena semata-mata dia baik, bukan karena mengharap balas dan upah manusia. Alangkah baiknya filsafat demikian kalau kita mendapat tuntunan dari Mahakuasa Tertinggi tentang mana yang baik itu.