Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّمَا
sesungguhnya
غَنِمۡتُم
kamu rampas
مِّن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu/apa saja
فَأَنَّ
maka sesungguhnya
لِلَّهِ
bagi/untuk Allah
خُمُسَهُۥ
seperlimanya
وَلِلرَّسُولِ
dan untuk Rasul
وَلِذِي
dan untuk yang dimiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat dekat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنِ
dan Ibnu
ٱلسَّبِيلِ
Sabil
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
ءَامَنتُم
kamu beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَآ
dan kepada apa
أَنزَلۡنَا
Kami turunkan
عَلَىٰ
atas
عَبۡدِنَا
hamba Kami
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡفُرۡقَانِ
Furqan (pemisah)
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡتَقَى
pertemuan
ٱلۡجَمۡعَانِۗ
dua pasukan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّمَا
sesungguhnya
غَنِمۡتُم
kamu rampas
مِّن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu/apa saja
فَأَنَّ
maka sesungguhnya
لِلَّهِ
bagi/untuk Allah
خُمُسَهُۥ
seperlimanya
وَلِلرَّسُولِ
dan untuk Rasul
وَلِذِي
dan untuk yang dimiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat dekat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنِ
dan Ibnu
ٱلسَّبِيلِ
Sabil
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
ءَامَنتُم
kamu beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَآ
dan kepada apa
أَنزَلۡنَا
Kami turunkan
عَلَىٰ
atas
عَبۡدِنَا
hamba Kami
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡفُرۡقَانِ
Furqan (pemisah)
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡتَقَى
pertemuan
ٱلۡجَمۡعَانِۗ
dua pasukan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
Terjemahan
Ketahuilah, sesungguhnya apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad) pada hari al-furqān (pembeda), yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tafsir
(Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang telah kalian peroleh) kalian ambil dari orang-orang kafir secara paksa (dalam bentuk apa pun, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah) Dialah yang akan mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya (Rasul, kerabat Rasul) kaum kerabat Nabi ﷺ yang terdiri dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutalib (anak-anak yatim) anak-anak kaum muslimin yang ayah-ayah mereka telah meninggal dunia sedangkan mereka dalam keadaan miskin (orang-orang miskin) kaum muslimin yang hidupnya masih kekurangan (dan ibnu sabil) orang muslim yang kehabisan bekal dalam perjalanannya. Atau dengan kata lain Nabi ﷺ dan keempat golongan orang-orang tadi berhak untuk mendapatkan seperlima dari seperlimanya. Sedangkan sisa seluruh ganimah yang tinggal empat perlima, seluruhnya untuk pasukan yang telah memperolehnya (jika kalian beriman kepada Allah) maka ketahuilah oleh kalian hal tersebut (dan kepada apa) diathafkan pada lafal billaah (yang Kami turunkan kepada hamba Kami) Muhammad ﷺ, yaitu malaikat dan ayat-ayat (di hari Furqan) artinya pada perang Badar karena di dalam perang tersebut dipisahkan antara perkara yang hak dan yang batil (yaitu di hari bertemunya dua pasukan) pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum kafir. (Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) antara lain Dia telah memenangkan kalian sekali pun jumlah kalian sedikit dan jumlah musuh-musuh kalian banyak.
Tafsir Surat Al-Anfal: 41
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah menjelaskan rincian apa yang disyariatkan-Nya khusus buat umat yang dimuliakan ini dan yang tidak terdapat di dalam syariat umat-umat sebelumnya, yaitu Allah telah menghalalkan ganimah untuk mereka.
Ganimah adalah harta benda yang diperoleh dari orang-orang kafir melalui peperangan, sedangkan harta fai adalah harta yang diperoleh dari mereka bukan dengan jalan perang, misalnya sejumlah harta yang telah disepakati oleh mereka untuk diserahkan kepada kaum muslim berdasarkan perjanjian; atau mereka mati, sedangkan ahli warisnya tidak ada; dan jizyah serta kharraj, dan lain-lainnya. Demikianlah menurut mazhab Imam Syafi'i dan sejumlah ulama Salaf dan Khalaf.
Sebagian ulama ada yang memutlakkan pengertian harta fai, yang berarti ganimah pun termasuk ke dalam pengertiannya. Demikian pula sebaliknya. Karena itulah Qatadah berpendapat bahwa ayat ini memansukh (merevisi) salah satu ayat dalam surat Al-Hasyr yang mengatakan: “Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, untuk kaum kerabatnya.” (Al-Hasyr: 7), hingga akhir ayat. Qatadah mengatakan bahwa surat Al-Anfal ayat 41 ini menasakh (merevisi) surat Al-Hasyr ayat 7, dan ghanimah itu dibagi menjadi lima bagian: Empat perlimanya buat para Mujahidin, sedangkan yang seperlimanya buat mereka yang disebutkan dalam ayat ini.
Pendapat yang diketengahkan oleh Qatadah ini jauh dari kebenaran, mengingat ayat ini diturunkan sesudah Perang Badar; sedangkan ayat surat Al-Hasyr diturunkan berkenaan dengan Bani Nadir. Dan semua ahli sejarah dan tarikh magazi tidak ada yang memperselisihkan bahwa perang dengan Bani Nadir terjadi sesudah Perang Badar. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi. Orang yang berpendapat membedakan antara fai dan ganimah mengatakan bahwa surat Al-Hasyr diturunkan berkenaan dengan harta fai, sedangkan surat Al-Anfal ayat 41 diturunkan berkenaan dengan ganimah.
Dan orang yang menyamakan antara ganimah dan fai merujuk kepada pendapat imam bahwa tidak ada pertentangan antara ayat surat Al-Hasyr dan masalah takhmis (ganimah), jika imam menyamakannya.
Firman Allah ﷻ: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah.” (Al-Anfal: 41)
Ungkapan ayat ini mengandung makna taukid (penegasan) yang mengukuhkan pembagian menjadi lima bagian, baik yang dibaginya itu sedikit ataupun banyak sehingga jangan terlewatkan barang sekecil apa pun, seperti jarum dan benangnya.
Allah ﷻ telah berfirman dalam ayat yang lain: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan sesuai dengan apa yang ia kerjakan (dengan pembalasan setimpal) sedangkan mereka tidak dizalimi.” (Ali Imran: 161)
Adapun tentang firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul,” (Al Anfal 41) Para ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini, sebagian berpendapat bahwa dari seperlima itu Allah beroleh bagian yang dananya diberikan untuk (pemeliharaan) Ka'bah.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi yang mengatakan bahwa ganimah diserahkan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau membaginya menjadi lima bagian; empat perlimanya buat orang-orang yang ikut berperang. Kemudian beliau mengambil yang seperlimanya dengan meletakkan tangannya pada bagian itu. Nabi ﷺ mengambil sebagian dari bagiannya itu segenggam tangannya, kemudian memperuntukkannya buat Ka'bah; apa yang beliau ambil itu merupakan bagian Allah. Setelah itu beliau membagi yang tersisa menjadi lima bagian, yaitu untuk dirinya, untuk kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa dalam permulaan ayat ini disebutkan nama Allah untuk tabarruk (memperoleh keberkahan), lalu menyusul bagian Rasulullah ﷺ. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ apabila mengirimkan suatu pasukan lalu pasukan itu memperoleh ganimah, maka beliau membaginya menjadi lima bagian. Kemudian beliau membagi yang seperlimanya itu menjadi lima bagian lagi. Lalu beliau ﷺ membacakan firman-Nya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul.” (Al-Anfal: 41) Kalimat 'sesungguhnya seperlimanya untuk Allah' merupakan pendahuluan, sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.” (Al-Baqarah: 284) Bagian yang diperuntukkan buat Allah dan Rasul-Nya dijadikan satu.
Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan ibnu Muhammad ibnul Hanafiyah. Al-Hasan Al-Basri, Asy-Sya'bi, ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Abdullah ibnu Buraidah, Qatadah, Mugirah, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, bahwa bagian untuk Allah dan Rasul-Nya dijadikan satu.
Hal ini diperkuat oleh riwayat Abu Bakar Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih: Dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari seorang lelaki yang mengatakan bahwa ia datang menghadap Nabi ﷺ yang sedang berada di Wadil Qura. Saat itu Rasulullah ﷺ sedang mengendarai kudanya. Lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang harta rampasan perang (ganimah)?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Seperlimanya untuk Allah, sedangkan yang empat perlimanya untuk pasukan." Ia bertanya, "Apakah ada seseorang yang lebih diutamakan daripada yang lainnya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, dan tidak pula terhadap bagian yang engkau keluarkan dari kantongmu. Engkau bukanlah orang yang lebih berhak terhadapnya daripada saudara semuslimmu."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Aban dari Al Hasan yang mengatakan bahwa Al Hasan mewasiatkan seperlima dari harta bendanya dan ia mengatakan, "Tidakkah aku rela terhadap sebagian dari hartaku seperti apa yang direlakan oleh Allah bagi diri-Nya." Kemudian orang-orang yang berpendapat demikian berselisih pendapat pula.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ganimah itu dibagi menjadi lima bagian: Empat perlimanya dibagikan di antara orang-orang yang terlibat dalam peperangan, sedangkan yang seperlimanya dibagi menjadi empat. Seperempatnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan bagian yang untuk Allah dan Rasul-Nya adalah untuk kaum kerabat Nabi ﷺ, sedangkan Nabi ﷺ sendiri tidak mengambil sesuatu pun dari seperlima itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Husain Al-Mu'allim, dari Abdullah ibnu Buraidah sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ berikut ini: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul.” (Al-Anfal: 41) Bahwa bagian untuk Allah berarti untuk Nabi-Nya, dan bagian Nabi ﷺ adalah untuk istri-istrinya.
Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa khumus (bagian seperlima) Allah dan Rasul-Nya disatukan. Nabi ﷺ dapat mengambil dan dapat berbuat terhadapnya menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian ini lebih umum dan lebih mencakup, yaitu bahwa Nabi ﷺ men-tasarruf-kan (menggunakan) bagian Allah yang dari seperlima ini menurut apa yang disukainya. Beliau ﷺ boleh mengembalikannya kepada umatnya menurut apa yang beliau sukai. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishak ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Abu Bakr ibnu Abdullah Ibnu Abu Maryam, dari Abu Salam al-Araj dari Madani ibnu Madi Kariba al Kindi bahwa ia duduk bersama Ubadah ibnus Samit, Abu Darda, Al-Haris ibnu Abu Mu'awiyah Al-Kindi, lalu mereka berbincang-bincang mengenai hadits Rasul ﷺ. Abu Darda berkata kepada Ubadah, "Wahai Ubadah, bagaimanakah sabda Rasulullah ﷺ dalam perang anu dan anu sehubungan dengan harta rampasan yang dibagi lima?" Ubadah menjawab bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah melakukan shalat bersama mereka dalam suatu peperangan dengan mengesampingkan sejumlah ternak unta hasil ganimah. Setelah salam, Rasulullah ﷺ mengambil sehelai bulu unta dengan kedua jarinya, lalu bersabda: “Sesungguhnya ini termasuk ganimah kalian. Dan sesungguhnya tiada hakku padanya melainkan seperti bagianku bersama kalian yaitu seperlimanya, dan seperlimanya akan dikembalikan kepada kalian. Maka tunaikanlah (kumpulkanlah) barang sebesar jarum dan benangnya, baik yang lebih besar daripada itu atau yang lebih kecil daripadanya, dan janganlah kalian melakukan penggelapan. Karena sesungguhnya menggelapkan hasil ganimah itu merupakan cela dan neraka yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat. Dan berjihadlah melawan orang-orang demi membela Allah, baik terhadap kerabat ataupun orang lain. Janganlah kalian pedulikan celaan orang-orang yang mencela dalam membela Allah. Tegakkanlah ketentuan-ketentuan Allah dalam perjalanan dan dalam keadaan berada di tempat (mukim). Dan berjihadlah karena Allah, karena sesungguhnya jihad itu merupakan salah satu pintu surga yang besar; dengan jihad Allah menyelamatkan (kaum mukmin) dari kesusahan dan kesengsaraan.”
Hadits ini sangat baik, dan saya tidak menjumpainya pada satu pun dari kitab Sittah melalui jalur ini. Tetapi Imam Ahmad meriwayatkan pula, juga Abu Daud dan Imam An-Nasai melalui hadits Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Abdullah ibnu Amr), dari Rasulullah ﷺ tentang hal yang serupa dalam kisah khumus dan larangan berbuat gulul (korupsi) dalam pembagian ganimah.
Dari Amr ibnu Anbasah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat dengan mereka sebelum membagi ganimah berupa sejumlah ternak unta. Setelah salam, lalu beliau mengambil sehelai bulu unta dan bersabda: “Tidak halal bagiku dari ganimah kalian hal seperti ini kecuali hanya seperlima, dan seperlima itu akan dikembalikan kepada kalian.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam An-Nasai.
DahuIu Nabi ﷺ mengambil bagian dari ganimah untuk dirinya, lalu beliau memilihnya, baik berupa budak laki-Iaki ataupun budak perempuan atau kuda atau pedang atau lain-lainnya. Demikianlah menurut nas Muhammad ibnu Sirin, Amir Asy-Sya'bi, dan kebanyakan ulama yang mengikuti pendapat mereka berdua.
Imam Ahmad dan Imam At-Tirmidzi yang menilai hasan hadits berikut telah meriwayatkan melalui Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ menghadiahkan pedangnya yang diberi nama Zul Fiqar pada hari Perang Badar, yaitu di hari beliau bermimpi melihat apa yang akan terjadi dalam Perang Uhud.
Dari Siti Aisyah disebutkan bahwa Siti Safiyyah berasal dari tawanan yang dipilih oleh Nabi ﷺ. Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya.
Imam Abu Daud pun telah meriwayatkan berikut sanadnya demikian pula Imam An-Nasai, dari Yazid ibnu Abdullah yang mengatakan: "Ketika kami berada di Al-Marbad, tiba-tiba masuklah seorang lelaki membawa sepotong kulit. Lalu kami membacanya, ternyata di dalamnya tertuliskan kalimat berikut:
“Dari Muhammad utusan Allah ditujukan kepada Zuhair ibnu Aqyasy.
Sesungguhnya jika kalian mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta kalian mau mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mau menunaikan seperlima dari ganimah, bagian Nabi ﷺ dan bagian yang dipilihnya untuk dirinya, maka kalian dalam keadaan aman, berada dalam jaminan keamanan Allah dan Rasul-Nya.”
Maka kami bertanya kepada lelaki itu, “Siapakah yang menulis (mendiktekan) surat ini?" Lelaki menjawab, “Rasulullah ﷺ.”
Hadits-hadits yang jayyid (baik) ini menunjukkan akan ketetapan dan keberadaan pilihan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap ganimah untuk dirinya. Karena itu, banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu kekhususan bagi diri Nabi ﷺ. Ulama lainnya berpendapat bahwa bagian khumus dibelanjakan oleh imam untuk keperluan kemaslahatan kaum muslim, sebagaimana imam mentasarrufkan harta fai.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa yang demikian itu merupakan pendapat Imam Malik dan kebanyakan ulama Salaf, dan pendapat inilah yang paling shahih. Apabila hal ini telah diakui dan diketahui kebenarannya, maka masih diperselisihkan pula perihal apa yang diambil oleh Nabi ﷺ dari khumus, untuk apakah bagian ini sesudah Nabi ﷺ tiada?
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagian tersebut diberikan kepada orang yang menggantikan beliau ﷺ sesudah beliau tiada (yakni untuk para khalifah sesudahnya). Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Ali, dan Qatadah serta sejumlah ulama; dan sehubungan dengan hal ini terdapat sebuah hadits marfu yang menguatkannya.
Ulama lain mengatakan bahwa bagian tersebut dibelanjakan untuk keperluan kemaslahatan kaum muslim. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa bagian tersebut dikembalikan untuk asnaf lainnya. Yaitu kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ulama lainnya berpendapat bahwa bagian Nabi ﷺ dan bagian kaum kerabatnya dikembalikan untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin serta ibnu sabil. Demikian menurut Ibnu Jarir. Pendapat ini dikatakan oleh sejumlah ulama Irak.
Pendapat lainnya lagi mengatakan, sesungguhnya bagian secara keseluruhan adalah untuk kaum kerabat Nabi ﷺ, seperti disebutkan di dalam riwayat Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Gaffar telah menceritakan kepada kami Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Muhammad ibnu Ali dan dan Ali ibnul Husain tentang bagian khumus. Maka keduanya menjawab bahwa bagian itu untuk kami (ahli bait Nabi ﷺ ). Ia bertanya kepada Ali Ibnul Husain bahwa bagaimanakah dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.” (Al-Anfal: 41) Ali ibnul Husain menjawab, "Ya, buat anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kalangan kami."
Sufyan Ats-Tsauri, Abu Na'im, dan Abu Usamah telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan ibnu Muhammad ibnul Hanafiyah rahimahullah tentang makna firman-Nya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah dan Rasul.” (Al-Anfal: 41) Maka Al-Hasan ibnu Muhammad menjawab, "Ini adalah kunci kalamullah di dunia dan akhirat."
Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai kedua bagian ini (yaitu bagian Allah dan Rasul-Nya) sesudah Rasulullah ﷺ wafat. Sebagian berpendapat bahwa bagian Nabi ﷺ diserahkan sepenuhnya untuk khalifah sesudahnya. Ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu untuk kerabat Nabi ﷺ. Dan ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bagian kaum kerabat diserahkan untuk bagian kerabat khalifah. Tetapi semuanya sependapat bila menjadikan kedua bagian ini untuk keperluan kuda (perang) dan peralatan perang lainnya di jalan Allah. Hal inilah yang dipraktekkan di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, bahwa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar menjadikan bagian Nabi ﷺ untuk keperluan membeli kendaraan perang dan peralatan senjata. Lalu saya (perawi) bertanya kepada Ibrahim, "Bagaimanakah pendapat Ali tentang ini?'" Ibrahim menjawab, "Dia adalah orang yang paling keras dalam hal ini." Demikianlah pendapat segolongan besar ulama.
Adapun mengenai bagian kaum kerabat, diberikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muttalib, karena Bani Muttalib mendukung Bani Hasyim di masa Jahiliah dan di masa permulaan Islam; sehingga mereka ikut bergabung dengan Rasulullah ﷺ di lereng bukit (ketika kaum muslim diisolasi) karena solidaritas mereka kepada Rasulullah ﷺ dan demi membelanya.
Perasaan orang-orang muslim didasari oleh taat kepada Allah, sedangkan orang-orang kafirnya didasari oleh perasaan hamiyah (kefanatikan) kabilah, harga diri, dan taat kepada Abu Thalib, paman Rasulullah ﷺ. Tetapi Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, sekalipun mereka adalah anak-anak paman (saudara-saudara sepupu) tidak sependapat dalam hal tersebut bahkan mereka memeranginya dan mengisolasinya serta menghasut semua kalangan Quraisy untuk memerangi Rasulullah ﷺ.
Karena itulah Abu Thalib mencela mereka dalam kasidah lamiyah-nya dengan kecaman yang paling keras, mengingat kekerabatan mereka yang dekat. Dalam kasidahnya itu antara lain Abu Thalib mengatakan: “Semoga Allah menimpakan pembalasan-Nya karena kami kepada Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, yaitu dengan azab yang terburuk lagi segera tanpa ditangguhkan lagi, demi neraca keadilan, tanpa melenceng sedikit pun, dia mempunyai saksi dari dirinya tanpa beban. Sesungguhnya mereka telah menghasut pemikiran banyak kaum. Mereka rela mengganti kami dengan Bani Khalaf karena benci dan tidak senang kepada kami. Padahal kami adalah inti dari keturunan Hasyim dan keluarga Qusai; dalam medan perang kami adalah yang terdepan.”
Jubair ibnu Mufim ibnu Addi ibnu Naufal mengatakan bahwa ia berjalan bersama Usman ibnu Affan (yakni ibnu Abdul As ibnu Umayyah ibnu Abdu Syams) mendekati Rasulullah ﷺ lalu mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi bagian kepada Bani Muthalib dari khumus Khaibar, tetapi engkau membiarkan kami tidak mendapat bagian, padahal kami dan mereka mempunyai kedudukan kerabat yang sama terhadapmu?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah sesuatu yang menyatu.” (Riwayat Muslim)
Menurut riwayat lain dari hadits ini disebutkan: “Sesungguhnya mereka belum pernah berpisah dengan kami, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam.”
Demikianlah pendapat jumhur ulama, bahwa sesungguhnya mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Mereka (kaum kerabat Nabi ﷺ) adalah Bani Hasyim."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Khasif, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Allah mengetahui di kalangan Bani Hasyim terdapat kaum fakir miskin maka Dia menjadikan untuk mereka bagian dari khumus sebagai ganti zakat.
Menurut riwayat lain yang bersumber dari Mujahid mereka adalah seluruh kerabat Rasulullah ﷺ yang tidak boleh menerima harta zakat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hal yang serupa dari Ali ibnul Husain. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Mereka adalah semua orang Quraisy.”
Telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Nafi' dari Abu Ma'syar, dari Sa'id Al-Maqbari yang mengatakan bahwa Najdah berkirim surat kepada Abdullah ibnu Abbas untuk menanyakan kepadanya tentang zawul qurba (kaum kerabat Nabi ﷺ). Maka Ibnu Abbas menjawab, “Kami dahulu mengatakan bahwa kami adalah mereka, tetapi kaum kami menolak hal tersebut, dan mereka mengatakan bahwa kaum Quraisy seluruhnya adalah zawul qurba."
Hadits di atas shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Sa'id Al-Maqbari, dari Yazid ibnu Hurmuz. Disebutkan bahwa Najdah berkirim surat kepada Ibnu Abbas, menanyakan tentang zawul qurba. Lalu disebutkan sampai dengan kata-kata Ibnu Abbas, "Tetapi kaum kami menolak hal tersebut."
Tambahan dalam atsar ini hanya ada pada Abu Ma'syar Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, tetapi di dalamnya terdapat ke-dha’if-an.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Saya tidak suka bila kalian mendapat kotoran cuci tangan orang-orang lain, karena sesungguhnya bagi kalian ada seperlima dari khumus bagian yang mencukupi kalian atau yang membuat kalian berkecukupan.”
Sanad hadits ini hasan. Ibrahim ibnu Mahdi dinilai tsiqah oleh Ibnu Abu Hatim. Tetapi menurut penilaian Yahya ibnu Mu'in, dia (Ibrahim ibnu Mahdi) banyak mempunyai hadits yang berpredikat munkar.
Firman Allah ﷻ: “Dan anak-anak yatim.” (Al-Anfal: 41)
Maksudnya anak-anak yatim kaum muslim.
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hal itu khusus bagi anak-anak yatim kaum fakir miskin mereka ataukah bersifat umum mencakup anak-anak yatim orang-orang hartawan dan orang-orang miskin mereka. Ada dua pendapat mengenainya. Jelasnya, menurut bahasa pengertian miskin ialah orang-orang yang mempunyai keperluan serta tidak menemukan apa yang mencukupi kebutuhan dan tempat tinggal mereka.
“Ibnu sabil.” (Al-Anfal: 41)
Yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah musafir atau orang yang hendak melakukan perjalanan sejauh perjalanan qasar, sedangkan dia tidak mempunyai biaya untuk perjalanannya itu.
Penafsiran tentang pengertian ibnu sabil Insya Allah akan diterangkan di dalam “Bab Zakat", bagian dari surat At-Taubah. Hanya kepadaNya-lah kami percaya dan hanya kepada Nya-lah pula kami bertawakal.
Firman Allah ﷻ: “Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad).” (Al-Anfal: 41)
Artinya, kerjakanlah apa yang telah Kami syariatkan kepada kalian dalam masalah khumus ganimah (membagi lima bagian harta rampasan perang), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Karena itulah di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui hadits Abdullah ibnu Abbas dalam kisah tentang delegasi Abdul Qais yang menghadap Rasulullah ﷺ. Dalam kitab itu disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: "Aku perintahkan kalian empat perkara, dan aku larang kalian dari empat perkara lainnya. Aku perintahkan kepada kalian untuk beriman kepada Allah.” Kemudian dalam kalimat selanjutnya disebutkan: “Tahukah kalian apakah iman kepada Allah itu? Yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menunaikan seperlima dari ganimah (rampasan perang).” Demikianlah hingga akhir hadits yang cukup panjang.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa menunaikan seperlima dari ganimah termasuk salah satu dari bagian keimanan. Imam Bukhari telah membahas masalah ini dalam suatu bab tersendiri, bagian dari Kitabul Iman yang ada di dalam kitab Shahih-nya. Ia mengatakan bahwa ini adalah Bab "Menunaikan Seperlima Ganimah termasuk Keimanan", kemudian ia mengetengahkan hadits Ibnu Abbas ini. Kami pun telah menerangkan pembahasan masalah ini secara panjang lebar dalam Syarah Bukhari.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan.” (Al-Anfal: 41) Yakni di hari pembagian ganimah.
Firman Allah ﷻ: “Di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Anfal: 41)
Allah ﷻ mengingatkan tentang nikmat dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya, yaitu dengan dipisahkan-Nya kebenaran dan kebatilan dalam Perang Badar. Hari itu dinamakan "hari Furqan" karena pada hari itu Allah memenangkan kalimat iman dan mengalahkan kalimat kebatilan. Dia memenangkan agama-Nya dan menolong Nabi serta para pendukungnya.
Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hari Furqan ialah hari Perang Badar. Pada hari itu Allah memisahkan kebenaran dari kebatilan. Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Miqsam, Ubaidillah ibnu Abdullah, Adh-Dhahhak, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, bahwa hari yang dimaksud adalah hari Perang Badar.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Mamar, dari Az-Zuhri, dari Urwah Ibnuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: “Di hari Furqan.” (Al-Antal: 41) Yaitu hari Allah memisahkan kebenaran dan kebatilan, yaitu hari Perang Badar yang merupakan permulaan peperangan yang dialami oleh Rasulullah ﷺ. Saat itu pemimpin atau panglima pasukan kaum musyrik ialah Atabah ibnu Rabi'ah. Kedua pasukan berhadapan pada hari Jumat, tanggal sembilan belas atau tujuh belas Ramadan.
Sahabat Rasulullah ﷺ saat itu berjumlah tiga ratus lebih beberapa belas orang. sedangkan jumlah pasukan kaum musyrik antara sembilan ratus sampai seribu orang. Maka Allah memukul mundur pasukan kaum musyrik. sehingga tujuh puluh orang lebih dari kalangan mereka terbunuh dan yang tertawan berjumlah sama dengan yang terbunuh.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak telah meriwayatkan melalui hadits Al-A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan dengan malam lailatul qadar, "Carilah lailatul qadar pada malam kesembilan belas, karena sesungguhnya pada pagi harinya adalah Perang Badar!" Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini dengan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair melalui hadits Ja'far ibnu Barqan, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnuz Zubair.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ya'qub Abu Thalib, dari Ibnu Aim, dari Muhammad ibnu Abdullah As-Saqafi, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang mengatakan bahwa Al-Hasan ibnu Ali pernah berkata, “Malam hari Furqan adalah keesokan harinya bertemu dua golongan pasukan, yaitu pada tanggal tujuh belas Ramadan."
Sanad atsar ini jayyid lagi kuat. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya dari Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Habib, dari Ali yang mengatakan, "Malam hari Furqan adalah malam hari yang pada keesokan harinya bertemu dua golongan pasukan, yaitu malam hari Jumat tanggal tujuh belas bulan Ramadan." Riwayat ini menurut ahli sejarah dan sirah dinilai shahih.
Yazid ibnu Abu Habib Imam di Mesir pada zamannya mengatakan bahwa hari Perang Badar terjadi pada hari Sabtu. Tetapi tidak ada yang mengikuti pendapatnya ini, yang lebih diprioritaskan adalah pendapat jumhur ulama.
Setelah memerintahkan umat Islam memerangi orang-orang kafir jika mereka memerangi umat Islam, maka pada ayat ini Allah menjelaskan ketentuan pembagian ganimah, yang ketentuannya hanya dilakukan oleh Allah semata. Karena itu, ketahuilah, wahai orang-orang beriman, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir melalui pertempuran, maka seperlima untuk Allah, Rasul yang digunakan untuk kemaslahatan umat yang ditetapkan sendiri oleh beliau, kerabat Rasul, Bani Ha'syim dan Bani Mua'a'alib, anak yatim, karena mereka kehilangan orang tua yang bertanggung jawab untuk membiayai hidupnya, orang miskin yang membutuhkan bantuan, dan ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal ketika sedang dalam perjalanan. Demikian ini, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan berupa ayat-ayat yang berfungsi untuk penguatan mental dan pertolongan, kepada hamba Kami, Nabi Muhammad, di hari Furqa'n, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan pada Perang Badar, 17 Ramadan tahun kedua Hijriah, yang dalam hitungan kalian kalah, sementara mereka menduga keras akan memperoleh kemenangan, ternyata kaum musliminlah yang memperoleh kemenangan berkat pertolongan Allah, sebab Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk memenangkan kelompok kecil atas kelompok yang besar.
Ayat berikutnya menginformasikan tentang faktor penting yang membuat Perang Badar yang sesungguhnya tidak seimbang itu benarbenar terjadi, yaitu ketika kalian, wahai orang-orang mukmin, berada di pinggir lembah yang dekat ke arah kota Madinah, dan mereka, orangorang kafir, berada di pinggir lembah yang jauh dari kota Madinah sedang kafilah itu yang dipimpin oleh Abu Sufya'n berada lebih rendah, yakni lebih dekat dari kalian, kira-kira 5 mil saja. Sekiranya kalian mengadakan persetujuan untuk menentukan hari pertempuran, niscaya kalian berbeda pendapat dalam menentukan-nya karena jumlah kalian jauh lebih sedikit dibanding jumlah pasukan kafir, tetapi Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan atau mesti terjadi dalam kehidupan, yaitu meninggikan kalimat-Nya dengan memberi kemenangan dan kemuliaan kepada kaum muslim serta kehancuran dan kehinaan bagi orang-orang kafir. Demikian ini, agar orang yang binasa atau terbunuh dalam peperangan itu binasa dengan bukti yang nyata, yakni melihat dan mengalami sendiri akibat kedurhakaannya dan agar orang yang hidup atau selamat dari pertempuran itu hidup dengan bukti yang nyata juga, yaitu dengan melihat bukti kekuasaan Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar permohonan orang-orang beriman agar diberi kemenangan pada perang yang sangat menentukan tersebut, Maha Mengetahui keadaan mereka bahwa mereka memang berhak atas pertolongan itu.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan pembagian hasil rampasan perang sesuai dengan syariat Islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan Perang Badar dan merupakan ayat pertama tentang pembagian harta rampasan perang sesudah Perang Badar. Allah menjelaskan bahwa semua ganimah yang diperoleh kaum Muslimin dari orang-orang kafir dalam peperangan, harus diambil seperlimanya untuk Allah dan Rasul, yaitu untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama, seperti kemaslahatan seorang dai dalam berdakwah, mendirikan syiar-syiar agama, untuk memelihara Kabah, dan untuk keperluan Rasulullah ﷺ dan rumah tangganya selama satu tahun. Kemudian dari seperlima ini juga harus diberikan pula kepada kerabat-kerabatnya. Dalam hal ini yang dianggap kerabat Rasulullah itu hanya Bani Hasyim dan Bani Muthalib dan tidak kepada Bani Abdi Syams dan Bani Naufal. Kemudian diberikan pula kepada kaum Muslimin yang memerlukan bantuan seperti anak-anak yatim, fakir miskin dan ibnussabil (musafir yang kekurangan biaya).
Empat perlima ganimah dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Mutim bin Jubair dari Bani Naufal, dia berkata, "Saya dengan Utsman bin Affan dari kabilah Bani Abdi Syams bersama-sama datang kepada Rasulullah, lalu kami bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah, engkau telah memberi ganimah kepada kabilah Bani Muthalib dan membiarkan kami tidak dapat bagian, padahal kami dengan mereka sederajat." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya kabilah Bani Muthalib dan Bani Hasyim merupakan satu kesatuan." Jawaban Rasulullah ini adalah sebagai sindiran kepada Bani Syams dan Bani Naufal, bahwa mereka tidak dapat dipersamakan dengan Bani Muthalib dan Bani Hasyim yang selalu berjuang mendampingi Rasulullah dan tidak pernah memusuhinya. Mujahid, seorang ahli tafsir mengatakan bahwa Allah mengetahui, di antara kabilah Bani Hasyim dan Bani Muthalib banyak yang miskin. Karena itu mereka diberi bagian dari ganimah, sebab mereka tidak boleh menerima zakat.
Perbedaan dalam perlakuan di atas harus dikembalikan kepada sejarah, yaitu ketika orang Quraisy menulis sebuah risalah yang menentukan sikap mereka terhadap Nabi Muhammad untuk memboikot sahabat-sahabat Nabi. Maka orang Quraisy mengusir Bani Hasyim dari Mekah dan menempatkan mereka di syiib (lembah) Bani Hasyim, karena mereka selalu melindungi Nabi Muhammad. Kemudian datang pula kabilah Bani Muthalib bergabung dengan mereka, sedang kabilah Abdi Syams dan Bani Naufal tidak bergabung dengan mereka sehingga tidak ikut diboikot oleh orang-orang Quraisy. Abu Sufyan dari keturunan Bani Umaiyah sering pula memerangi Nabi Muhammad bersama-sama kaum musyrikin dan orang Yahudi sampai Mekah dikuasai oleh Nabi Muhammad dan baru ketika itulah Abu Sufyan masuk Islam.
Adapun hikmah dari pembagian ganimah untuk Allah dan Rasul ialah karena pemerintahan Islam dalam mengurus umatnya perlu mempunyai dana untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umum, untuk menegakkan syiar-syiar agama dan untuk pertahanan. Semuanya itu diambil dari seperlima untuk Allah. Kemudian untuk kepentingan kepala negara diberikan bagian Rasulullah dan rumah tangganya. Kemudian diberi pula karib kerabatnya yang berdekatan dengan Nabi, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib sebagai penghargaan atas dukungan mereka untuk perjuangan Nabi. Kemudian juga kepada orang-orang yang memerlukan bantuan, dan umat Islam yang lemah ekonominya. Cara pembagian ini senantiasa dipraktikkan di sebagian besar negara-negara Islam walaupun ada sedikit perbedaan dalam praktek menghadapi keperluan masyarakat dan rakyatnya. Cara pembagian itu wajib diterima dan dilaksanakan jika kaum Muslimin sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan-Nya.
Perang Badar diberi nama yaum al-furqan. Hari furqan ialah hari yang memisahkan antara keimanan dan kekafiran. Kemenangan kaum Muslimin pada Perang Badar adalah kemenangan yang pertama terhadap kaum musyrikin, walaupun jumlah mereka tiga kali lipat banyaknya dari kaum Muslimin, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, kuasa memberi kemenangan kepada kaum Muslimin sesuai dengan janji-Nya. Perang Badar di samping disebut sebagai "yaum al-furqan" juga "yaum iltaqa al-jam'an" yang berarti hari bertemunya dua pasukan, pasukan Muslim di bawah pimpinan Nabi Muhammad ﷺ dan pasukan Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal dan kawan-kawannya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Di dalam hal ini bertemu lima macam nama dari harta rampasan perang itu.
• Al-ghanimah artinya menurut syara' ialah harta rampasan yang diambil oleh kaum Muslimin dari musuh, terdiri dari barang-barang kekayaan mereka yang mereka bawa dalam perang itu.
• AJ-fai'u yang berarti, penyerahan. Maksud artinya sama dengan ahaniniah, tetapi lebih luas lagi. Maka seluruh harta benda, tanah-tanah dan negeri musuh, dan diri musuh itu sendiri, jika mereka telah dapat dikalahkan, diserahkanlah semuanya oleh Allah. Oleh sebab itu, al-fai'u terjadi setelah satu negeri diserbu. Sedang ghanimah mungkin hanya harta-harta mereka yang telah menjadi rampasan kaum Muslimin, misalnya pada Perang Badar, yang jauh dari Mekah.
• Al-Anfaal yaitu harta rampasan yang diberikan oleh imam (kepala perang)
kepada pejuang-pejuang sebagai tambahan daripada harta yang telah dibagi-bagikan.
• As-salbu artinya, apa yang dirampas dari badan musuh yang telah terbunuh dalam satu pertempuran. Misalnya, pedangnya atau tombaknya atau pakaiannya.
• Ash-shafiyyu yaitu setelah barang-barang rampasan itu terkumpul, kalau ada satu barang yang kepala perang sendiri ingin mempunyainya, lalu dengan disaksikan oleh orang banyak, ia sendiri mengambil untuknya, sebelum barang-barang yang lain dibagi-bagi.
Maka dapatlah kita pahami bahwa al-fai'u adalah lebih luas dari al-ghanimah; dan al-anfaaL beserta ash-shafiyyu adalah sebagian dari ai-ghanimah. Anfaal yang diberikan istimewa oleh Nabi kepada salah seorang, di dalam rangka pemberian yang umum, empat perlima, sedang shafiyyu ialah yang dipilih sendiri oleh Nabi untuk dirinya, di dalam pem-bagian yang seperlima. Dan, semuanya itu diperhitungkan dengan tiada merugikan pem-bagian yang lain.
Maka datanglah ayat 41 ini;
Ayat 41
“Dan ketahuilah bahwa apa yang telah kamu rampas, maka sesungguhnya adalah untuk Allah seperlimanya dan untuk Rasul."
Artinya seluruh harta benda rampasan perang itu semuanya dikumpulkan terlebih dahulu menjadi satu ke hadapan Rasul, lalu barang-barang itu dibagi menjadi lima bagian. Maka satu perlima disediakan untuk Allah dan untuk Rasul, sedang yang empat perlima dibagi-bagikan kepada seluruh kaum Muslimin yang ikut berperang."Dan bagi keluarga yang hampir dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan Yang seperlima untuk Allah dan Rasul itu, oleh Rasul akan dibagi-bagikan pula kepada keluarga-keluarga beliau sendiri yang terdekat, dan kepada anak yatim dan orang-orang miskin dan orang-orang yang di dalam perjalanan bagi membantu belanjanya dalam perjalanan itu."Jika memang kamu percaya kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada Hari Pembedaan, (yaitu) hari bertemu dua golongan." Maka peraturan Allah itu bahwa yang seperlima ditentukan bagi Allah dan Rasul, yang dari dalamnya keluarga dekat dan anak yatim dan orang miskin dan orang dalam perjalanan pun wajib mendapat pembagian pula, hendaklah kamu jalankan dengan betul, jangan menyimpang kepada yang lain, sebab itu adalah peraturan dari Allah yang wajib kamu percayai dan jalankan. Peraturan ini diturunkan di dalam Al-Qur'an, dan Al-Qur'an itu mula diturunkan ialah pada Hari Pembedaan. Hari Pembedaan telah terjadi di atas Jabal Nur pada 17 hari bulan Ramadhan tahun yang keempat puluh satu dari usia Rasulullah ﷺ Hari itu dinamai Hari Pembedaan, sebab pada waktu itulah Al-Qur'an mula-mula turun, yang telah berlaku sebagai Pembeda di antara yang haq dengan yang batil."Yaitu hari bertemu dua golongan." Yaitu hari Peperangan Badar yang bersejarah itu. Dia pun terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua daripada Hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Meskipun Hari Pembedaan telah terjadi lima belas tahun sebelum Peperangan Badar, di Gunung Cahaya (Jabal Nur) di Mekah, tetapi tanggalnya adalah bersamaan, yaitu sama-sama 17 hari bulan Ramadhan, dan kejadian yang kedua adalah sebagai peng-genap dari kejadian yang pertama. Dan keduanya sama pentingnya. Kalau hari pertama yang dahulu itu wahyu telah turun kepada Rasulullah ﷺ yang pertama, yaitu iqra' sebagai permulaan pembedaan di antara yang haq dengan yang batil, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, maka dengan kalahnya kaum Quraisy Musyrikin di medan Perang Badar, yang dinamai Hari Bertemu dua golongan, yaitu golongan pembela yang haq dengan golongan pembela yang batil, pada tanggal yang sama, maka genaplah tujuan ayat yang mulai turun dengan gilang-gemilangnya kemenangan Cahaya Wahyu Ilahi di medan perang itu:
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Artinya, kemenangan kaum Muslimin yang bilangannya hanya tiga ratus, tetapi mereka mempertahankan yang haq, dan kekalahan kaum musyrikin yang jumlahnya lebih dari seribu orang, tetapi mereka mempertahankan yang batil, semuanya itu adalah karena Maha Kekuasaan Allah jua. Oleh sebab itu, hendaklah segala peraturan yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an itu kamu jalankan dengan sebaik-baiknya.
Sekarang mari kita pertautkan kembali ayat 41 ini dengan ayat 1. Di sana dikatakan bahwa kalau mereka itu bertanya kepada engkau, wahai Utusan-Ku, tentang harta rampasan, yang di ayat satu itu disebut al-anfaal, maka hendaklah engkau jelaskan kepada mereka bahwa anfaal itu adalah bagi Allah dan Rasul. Artinya, terlebih dahulu hendaklah sekalian harta rampasan itu dikumpulkan menjadi satu. Belum seorang juga yang berhak mempunyainya, sebelum dibagi-bagikan Rasul. Tentu sudah maklum bahwasanya kalau disebut di ayat yang pertama itu di bawah kekuasaan Allah dan Rasul, maksudnya ialah bahwa Rasul menguasai seluruhnya terlebih dahulu di atas nama Allah. Tidak boleh ada ghulul, yaitu percobaan menyembunyikan mana yang diingini. Sa'ad bin Abu Waqqash mencoba meminta sebilah pedang dari musuhnya yang dia kalahkan, tetapi dia belum berhak sebelum dia dibagi Rasul. Kelak, menurut dasar dari ayat 41 ini barang rampasan itu akan dibagi lima bagian oleh Rasul ﷺ yang empat perlima akan dibagikan secara adil kepada seluruh yang ikut berperang. Bagi yang berjalan kaki dapat satu bagian dan bagi yang berkuda dapat tiga bagian. Adapun yang seperlima tidaklah dibagi, melainkan menjadi hak Allah dan Rasul.
Ada enam macam pendapat ulama tentang pembagian yang seperlima ini.
Pertama, yang seperlima itu dibagi enam. Satu bagian untuk keperluan Ka'bah. Itulah yang dikatakan untuk Allah. Sebagian untuk Rasulullah ﷺ dan sebagian untuk keluarga beliau yang dekat. Bagian keempat untuk anak-anak yatim. Bagian kelima untuk orang-orang miskin. Bagian keenam untuk bantuan belanja bagi orang-orang yang tengah dalam perjalanan.
Kedua, (menurut Abui Aliyah dan ar-Rabi'): seluruh ghanimah dibagi lima. Empat perlima dibagi kepada seluruh yang berperang, satu perlima tinggal di tangan Rasul. Maka yang seperlima itu beliau ambil sebagian untuk Ka'bah, setelah itu dibaginya lima yang tinggal, untuk dibagikan kepada yang tersebut lima macam, termasuk diri Rasulullah sendiri.
Ketiga, dirawikan dari Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, “Yang seperlima itu adalah untuk kami. (Keluarga yang dekat dari Rasulullah)." Lalu ada orang bertanya, “Bukankah di dalam ayat itu disebut juga untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan?" Beliau jawab, “Yaitu anak yatim dan orang miskin dan orang dalam perjalanan dari keluarga kami." Jadi, menurut paham beliau yang berhak atas yang seperlima itu tidak lain hanyalah keluarga Rasulullah ﷺ yang dekat.
Keempat, yaitu dari Imam asy-Syaffi: yang seperlima itu dibagi lima. Bagian untuk Allah dan untuk Rasul adalah satu, yang dipergunakan untuk kemaslahatan kaum beriman. Yang empat perlima lagi ialah untuk yang empat tersebut kemudian.
Kelima, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah: yang seperlima itu dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan. Kata beliau bahwa hukum yang menentukan untuk keluarga Rasulullah ﷺ yang terdekat telah hapus sendirinya dengan sebab wafatnya beliau, sebagaimana bagian yang untuk diri beliau sendiri pun terhapus pula tersebab beliau telah wafat Dan kata beliau pula, “Maka dimulailah mempergunakan yang seperlima itu untuk memperbaiki jembatan-jembatan, membangun masjid-masjid, dan gaji qadhi-qadhi dan para tentara." Perkataan seperti ini ada pula diriwayatkan dari Imam asy-Syafi'i.
Keenam, dari Imam Malik: “Mempergunakan yang seperlima ini terserah kepada ke-bijaksanaan al-Imam (kepala negara) dan ijtihadnya. Dia boleh mengambil bagian untuk dirinya menurut kebijaksanaannya sendiri dan membagikan pula kepada bala tentara bagaimana patutnya, dan yang selebihnya beliau pergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin."
Berkata al-Qurthubi, “Yang seperti inilah perkataan khalifah yang empat, dan begini pula yang mereka amalkan, dengan dalil sabda Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah ada untukku dari harta rampasan yang telah dihidangkan Allah untuk kamu, hanyalah seperlima saja. Yang seperlima itu pun kembali kepada kamu juga."
Maka tidaklah beliau bagi lima atau bagi tiga yang seperlima itu. Jika disebut jenis-jenis orang yang akan menerima di dalam ayat, maksudnya hanyalah semata-mata karena orang-orang ini penting diperhatikan." Demikian kata al-Qurthubi.