Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَيۡسَتِ
dan tidaklah
ٱلتَّوۡبَةُ
taubat itu
لِلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
يَعۡمَلُونَ
(mereka) melakukan
ٱلسَّيِّـَٔاتِ
kejahatan
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
حَضَرَ
datang
أَحَدَهُمُ
salah seorang diantara mereka
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
قَالَ
ia mengatakan
إِنِّي
sesungguhnya saya
تُبۡتُ
saya bertaubat
ٱلۡـَٰٔنَ
sekarang
وَلَا
dan tidaklah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَمُوتُونَ
(mereka) mati
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
كُفَّارٌۚ
kekafiran
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
أَعۡتَدۡنَا
Kami sediakan
لَهُمۡ
bagi mereka
عَذَابًا
siksa
أَلِيمٗا
yang pedih
وَلَيۡسَتِ
dan tidaklah
ٱلتَّوۡبَةُ
taubat itu
لِلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
يَعۡمَلُونَ
(mereka) melakukan
ٱلسَّيِّـَٔاتِ
kejahatan
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
حَضَرَ
datang
أَحَدَهُمُ
salah seorang diantara mereka
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
قَالَ
ia mengatakan
إِنِّي
sesungguhnya saya
تُبۡتُ
saya bertaubat
ٱلۡـَٰٔنَ
sekarang
وَلَا
dan tidaklah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَمُوتُونَ
(mereka) mati
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
كُفَّارٌۚ
kekafiran
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
أَعۡتَدۡنَا
Kami sediakan
لَهُمۡ
bagi mereka
عَذَابًا
siksa
أَلِيمٗا
yang pedih
Terjemahan
Tidaklah tobat itu (diterima Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan sehingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Tidak (pula) bagi orang-orang yang meninggal dunia, sementara mereka di dalam kekufuran. Telah Kami sediakan azab yang sangat pedih bagi mereka.
Tafsir
(Dan tidaklah dikatakan tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan) atau dosa (hingga ketika ajal datang kepada salah seorang mereka) dan nyawanya hendak lepas (lalu dikatakannya) ketika menyaksikan apa yang sedang dialaminya ("Sesungguhnya saya bertobat sekarang.") karena itu tidaklah bermanfaat dan tidak akan diterima oleh Allah tobatnya. (Dan tidak pula orang-orang yang mati sedangkan mereka berada dalam kekafiran) yakni jika mereka bertobat di akhirat sewaktu menyaksikan azab, maka tidak pula akan diterima. (Mereka itu Kami siapkan) sediakan (bagi mereka siksa yang pedih) yang menyakitkan.
Tafsir Surat An-Nisa': 17-18
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang." Dan tidak (pula diterima taubat) dari orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.
Ayat 17
Allah ﷻ berfirman bahwa sesungguhnya Allah hanya menerima tobat dari orang yang berbuat keburukan lantaran kejahilan (kebodohan)nya, kemudian ia bertobat, sekalipun sesudah menyaksikan kedatangan malaikat maut yang akan mencabut nyawanya sampai di tenggorokan.
Mujahid dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat durhaka kepada Allah karena tersalah atau sengaja, ia dinamakan jahil (bodoh) hingga ia menghentikan perbuatan dosanya.
Qatadah meriwayatkan dari Abul Aliyah yang menceritakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ pernah mengatakan, "Setiap perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, maka hamba yang bersangkutan dinamakan jahil." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ berkumpul, lalu mereka berpendapat bahwa setiap perbuatan yang dianggap durhaka terhadap Allah pelakunya berada dalam kejahilan, baik ia melakukannya dengan sengaja ataupun selain disengaja.
Ibnu Juraij meriwayatkan: Telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Kasir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah, ia dalam keadaan jahil (bodoh) di saat mengerjakannya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ‘Atha’ ibnu Abu Rabah pernah mengatakan hal yang sama kepadanya.
Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa termasuk kejahilan (kebodohan) seseorang ialah bila ia mengerjakan perbuatan jahat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian mereka bertaubat dengan segera.” (An-Nisa: 17)
Yang dimaksud dengan min qarib (dengan segera) batas maksimalnya ialah mulai dia mengerjakan perbuatan dosa sampai ia melihat malaikat maut.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa masa yang sedikit sebelum kematian disebut dengan istilah qarib (dekat).
Qatadah dan As-Suddi mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah selagi orang yang bersangkutan berada dalam masa sehatnya. Perdapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian mereka bertobat dengan segera.” (An-Nisa: 17) Makna yang dimaksud ialah selagi nyawa orang yang bersangkutan belum sampai ke tenggorokan.
Ikrimah mengatakan bahwa dunia seluruhnya dinamakan qarib (dekat).
Hadits-hadits dalam masalah ini:
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Iyasy dan Isam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Tsauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair ibnu Nufair dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selagi nyawanya belum sampai di tenggorokan.”
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Suban dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Disebutkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah bahwa perkataan dari Abdullah ibnu Amr adalah dugaan belaka. Sebenarnya dia adalah Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab.
Hadits lain Dari Ibnu Umar Ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mamar, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Hasan Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah Al-Babili, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Nuhaik Al-Halabi; ia pernah mendengar ‘Atha’ ibnu Abu Rabaah berkata bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin bertobat sebelum ia mati dalam jarak satu bulan, melainkan Allah menerimanya dalam jarak yang lebih pendek dari itu, dan (tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin bertobat) sebelum matinya dalam jarak satu hari melainkan Allah mengetahui tobat yang dilakukannya dan Allah menerimanya.”
Hadits lain Abu Dawud At-Thayalisi mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ibrahim ibnu Maimunah, dan telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari Mulhan yang dikenal dengan nama Ayyub. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata, "Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu tahun, niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu bulan, niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu minggu. niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu hari niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu jam, niscaya tobatnya diterima. Ketika aku (perawi) katakan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera.” (An-Nisa: 17) Maka Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya aku menceritakan kepadamu hanya berdasarkan apa yang telah kudengar dari Rasulullah ﷺ." Demikianlah menurut riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi, dan Abu Umar Al-Haudi serta Abu Amir Al-Aqdi, dari Syu'bah.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mutarrif, dari Zaid Ibnu Aslam, dari Abdur Rahman ibnu Baylmani yang menceritakan bahwa empat orang sahabat Nabi ﷺ berkumpul, lalu seorang dari mereka mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba yang dilakukannya sehari sebelum ia mati.” Sahabat lainnya bertanya, "Apakah kamu mendengar hal ini dari Rasulullah ﷺ?" Ia menjawab, "Ya." Sahabat yang kedua mengatakan kalau dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba yang dilakukannya setengah hari sebelum ia mati.” Sahabat yang ketiga bertanya, "Apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?" Ia menjawab, "Ya." Lalu sahabat yang ketiga mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seeorang hamba yang dilakukannya hanya beberapa saat sebelum ia mati.” Sahabat yang keempat bertanya. “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?" Ia menjawab, “Ya." Sahabat yang keempat mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selagi nafasnya belum sampai ke tenggorokannya.” Said ibnu Mansur meriwayatkannya dari Ad-Darawardi, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdur Rahman ibnus Salmani, lalu ia menyebutkan hadits yang hampir sama dengan hadits ini.
Hadits lain. Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Usman ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Muhammad ibnu Sirin dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulllahh ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-Nya selagi nyawa si hamba belum sampai ke tenggorokannya.”
Hadits-hadits mursal dalam hal ini Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba sebelum nyawanya sampai ke tenggorokannya.” Hadits ini berpredikat mursal lagi hasan, dari Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan pula: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Al-Ala ibnu Ziyad, dari Abu Ayyub Basyir ibnu Ka'b, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokannya.”
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Said, dari Qatadah, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadits yang serupa dengan hadits di atas.
Hadits lain. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Qatadah yang menceritakan bahwa ketika kami sedang berada di rumah Anas bin Malik yang saat itu terdapat pula Abu Qilabah, maka Abu Qilabah bercerita bahwa sesungguhnya Allah ﷻ ketika melaknat iblis, si iblis meminta kepada Allah penangguhan sejenak, lalu iblis berkata: “Demi keagungan-Mu aku tidak akan keluar dari kalbu anak Adam selagi di dalam tubuhnya masih ada roh." Maka Allah ﷻ berfirman: “Demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menutup pintu tobat baginya selagi didalam tubuhnya masih ada roh."
Hal ini disebutkan di dalam sebuah hadits marfu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr dan Abul Haitsam Al-Atwari; keduanya dari Abu Sa'id, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Iblis berkata, ‘Wahai Tuhanku, demi keagungan-Mu, aku akan terus-menerus menyesatkan mereka (Bani Adam) selagi roh mereka masih ada dalam tubuhnya’." Maka Allah ﷻ berfirman, "Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan bagi mereka selagi mereka meminta ampun kepada-Ku."
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa bertobat kepada Allah ﷻ
sedangkan dia berharap masih dapat hidup, maka sesungguhnya tobatnya diterima. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 17) Bila ia merasa putus harapan untuk dapat hidup dan menyaksikan kedatangan malaikat pencabut nyawa, roh telah sampai di tenggorokannya, dadanya terasa sesak, dan roh telah mencapai halqamnya, nafasnya mulai naik ke atas lebih dari itu sampai di galasin, maka tiada tobat yang diterima saat itu, dan pintu tobat telah tertutup baginya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
Ayat 18
“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertobat sekarang’." (An-Nisa: 18)
Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, ‘Kami beriman kepada Allah saja’." (Al-Mumin: 84) Juga semakna dengan apa yang diputuskan oleh Allah ﷻ, yaitu pintu tobat bagi penduduk bumi ditutup apabila mereka melihat matahari terbit dari arah barat. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya: “Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidak bermanfaat lagi iman seseorang untuk dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (Al-Anam: 158)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati, sedangkan mereka di dalam kekafiran.” (An-Nisa: 18) Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Makhul; Umar ibnu Na'im pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Dzar pernah menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah masih menerima tobat hamba-Nya atau masih memberikan ampunan bagi hamba-Nya selagi hijab belum diturunkan.” Ketika ditanyakan kepada beliau mengenai makna hijab tersebut maka beliau ﷺ menjawab: “(Di saat) roh (akan) keluar, sedangkan ia dalam keadaan musyrik.” Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisa: 18) Yakni siksaan yang pedih, sangat keras lagi abadi.
Setelah menjelaskan tobat yang diterima dan batas akhir diterimanya tobat, berikut ini dijelaskan tentang batas akhir waktu penolakan tobat serta dampak dari penolakan itu. Dan tobat yakni pengampunan dosa itu tidaklah diberikan Allah untuk mereka yang melakukan kejahatan atau kedurhakaan secara terus-menerus, silih berganti tanpa penyesalan. Tindakan tersebut dilakukan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka secara tiba-tiba, dan roh sudah berada di tenggorokan, atau sesaat sebelum keluarnya roh dari jasadnya, barulah dia mengatakan, Saya benar-benar bertobat sekarang. Tobat dalam kondisi tersebut pada saat diperlihatkan azab yang akan menimpanya, tidaklah diterima Allah (Lihat: Surah Ga'fir/40: 85). Dan selain itu tidak pula diterima tobat dari orang-orang yang meninggal sedang mereka dalam keadaan kafir, yakni kematiannya membawa serta kekufurannya yang tidak disertai dengan tobat. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih di akhirat dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi siksaan yang akan ditimpakan kepadanya. Salah satu tradisi pada masa Jahiliah adalah apabila seorang pria wafat dan meninggalkan istri, maka keluarga pria itu datang untuk memperistri tanpa memberi mahar. Boleh jadi yang memperistri tersebut adalah anak tiri, mertua atau ipar wanita tersebut. Mereka memperlakukan istri dari laki-laki yang meninggal tersebut sesuai keinginan mereka tanpa memberikan hak apalagi menaruh belas kasihan, lalu turunlah ayat ini. Wahai orang-orang beriman! Tidak halal, yakni tidak dibenarkan dengan alasan apa pun, bagi kamu, laki-laki, berlaku seperti kelakuan orang-orang yang tidak beriman yaitu mewarisi harta atau diri perempuan dengan dipaksa atau tidak boleh menikah dengan laki-laki lain. Dan janganlah kamu, wahai suami, apabila telah menceraikan istri-istri kamu, menyusahkan, yakni menghalangi, mereka menikah dengan laki-laki lain. Tindakan itu kamu lakukan karena hendak mengambil kembali secara paksa sebagian dari apa saja yang telah kamu berikan kepadanya baik mahar, atau pemberian lainnya, kecuali apabila mereka sudah terbukti melakukan perbuatan keji yang nyata seperti nusyuz atau berzina, maka kamu boleh memaksa mereka menebus diri dengan mengembalikan maskawin yang telah kamu berikan, sebagai pelajaran bagi mereka. Dan bergaullah, wahai suami, dengan mereka menurut cara yang patut dan penuh kasih sayang sesuai ketentuan agama. Jika kamu tidak menyukai mereka lantaran adanya kekurangan pada diri mereka, maka bersabarlah terhadap segala kekurangan atau keterbatasan mereka. Karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu pada dirinya, padahal Allah ingin menjadikan dalam ikatan perkawinan bersamanya itu suatu kebaikan yang banyak padanya di kemudian hari. Karena, di balik kesabaran tersebut tentu ada hikmah yang banyak.
Tetapi tobat tidak akan diterima Allah jika datangnya dari orang yang selalu bergelimang dosa sehingga ajalnya datang barulah ia bertobat. Orang semacam ini seluruh kehidupannya penuh dengan noda dan dosa, tidak terdapat padanya amal kebajikan walau sedikit pun. Bertobat pada waktu seseorang telah mendekati ajalnya sebenarnya bukanlah penyesalan atas dosa dan kesalahan, melainkan karena ia telah putus asa untuk menikmati hidup selanjutnya. Jadi tobatnya hanyalah suatu kebohongan belaka.
Begitu pula Allah tidak akan menerima tobat dari orang yang mati dalam keadaan kafir, ingkar kepada agama Allah. Kepada mereka ini yakni orang yang baru bertobat setelah maut berada di hadapannya atau orang yang mati dalam keingkarannya, Allah mengancam akan memberikan azab yang pedih nanti di hari perhitungan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya semasa hidupnya di dunia.
Tingkat orang yang melakukan tobat yang telah diperingatkan ini diperinci oleh para sufi sebagai berikut:
1. Ada orang yang memiliki jiwa yang pada dasarnya (fitrahnya) sempurna dan selalu dalam kebaikan. Orang yang demikian apabila suatu waktu tanpa kesengajaan berbuat kesalahan walau sekecil apapun ia akan merasakannya sebagai suatu hal yang sangat besar. Ia sangat menyesal atas kejadian tersebut dan segera ia memperbaiki kesalahannya dan menjauhkan diri dari perbuatan itu. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs mutmainnah.
2. Ada kalanya seseorang memiliki jiwa yang memang pada dasarnya labil, goyah, sehingga segala tindak tanduknya dikemudikan oleh nafsu dan syahwatnya saja. Sifat yang sudah demikian mendalam pada dirinya dan telah mendarah daging. Setelah sekian lama ia bergelimang dosa dengan memperturutkan kehendak hawa nafsunya akhirnya datanglah hidayah dan taufik Allah kepadanya sehingga ia sadar dan berjuang untuk memperbaiki tindakannya yang salah dan ia kembali pada tuntunan yang diberikan Allah. Hal semacam ini memang jarang terjadi dan bagi yang mendapatkannya benar-benar merupakan orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Nafsu yang seperti di atas disebut nafs ammarah.
3. Ada pula orang yang memiliki jiwa di mana untuk mengerjakan dosa besar ia dapat mawas diri, sehingga ia tidak pernah mengerjakannya, tetapi mengenai dosa kecil sering dilakukannya, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, kadang-kadang nafsu dan syahwatnya dapat ditundukkan dan menanglah petunjuk bahkan kadang-kadang terjadi sebaliknya. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs musawwilah.
4. Terakhir ada pula orang yang memiliki nafs lawwamah. Orang ini sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa, baik besar maupun kecil. Apabila ia mengerjakan dosa maka datang kesadarannya dan ia bertobat minta ampun. Tetapi suatu saat datang lagi dorongan nafsu syahwatnya untuk berbuat dosa dan ia kerjakan pula dan kemudian bertobat lagi sesudah datang kesadarannya, begitulah seterusnya. Tobat yang demikian itu adalah tobat yang terendah derajatnya, namun begitu kepada orang seperti ini tetap dianjurkan agar selalu mengharap ampunan dari Allah.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Meskipun perempuan telah diberi hak yang demikian mulia, sampai di akhir surah Aali ‘Imraan dinyatakan bahwa menegakkan iman kepada Allah, berjuang menegakkan agama Allah adalah perkongsian laki-laki dan perempuan, kemudian disambung lagi di surah an-Nisaa', dengan ketentuan pemeliharaan harta anak yatim perempuan, sampai lagi peringatan kepada laki-laki kalau takut tidak akan adil lebih baik beristri satu saja, dan sampai ditentukan pembagian waris untuk mereka, semuanya itu bukanlah berarti bahwa kalau mereka bersalah melanggar ketentuan Allah, mereka akan lepas dari hukuman. Niscaya kalau orang diberi hak yang banyak, dia pun memikul kewajiban yang banyak. Niscaya yang bersalah pun pantas menerima hukuman, baik laki-laki maupun perempuan. Lanjutlah bunyi ayat terhadap perempuan,
Ayat 15
“Dan (terhadap) siapa-siapa yang mengerjakan yang keji dari antara perempuan-perempuan kamu, maka hendaklah kamu adakan empat orang saksi dari antara kamu atas mereka."
Bukan hal yang mustahil bahwa mereka berbuat kesalahan yang keji dan jelek. Akan tetapi, sungguh pun demikian, main tuduh saja bahwa perempuan berbuat keji, tidaklah boleh. Hendaklah diadakan empat saksi yang membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa mereka benar-benar berbuat keji.
Apakah yang dimaksud dengan Fahsya' atau Fahisyahl Arti yang biasa kita pakai ialah keji atau disebut juga nista. Keji dan fahsya' apakah yang dimaksud di sini? Sehingga sudah sampai disebut keji? Kata sebagian besar ulama tafsir, yang dimaksud berbuat keji di ayat ini ialah zina! Mereka kuatkan pendapat ini untuk menjelaskan bahwa bukan laki-laki yang menzinai perempuan saja yang wajib kena hukuman, terutama perempuannya pun dihukum. Akan tetapi, hendaklah cukup sampai empat orang yang menyaksikan, baru dia boleh dihukum.
“Jika mereka telah memberikan kesaksian," yaitu saksi yang berempat itu, “maka tahanlah perempuan-perempuan itu di dalam rumah hingga maut datang kepada mereka, atau Allah mengadakan jalan lain untuk mereka."
Kata ahli-ahli tafsir tadi berbuat keji itu ialah berbuat zina. Akan tetapi, kata mereka pula, ayat ini telah mansukh, telah dihapuskan hukumannya oleh hukuman zina rajam yang disebutkan di dalam surah an-Nuur. Jadi kata mereka, sebelum ayat itu turun, hukuman perempuan berzina ialah tahanan rumah sampai mati. Tidak boleh keluar sama sekali. Kecuali kalau kelihatan mereka telah benar-benar tobat, baru dapat dikeluarkan.
Tetapi penafsir Abu Muslim al-lshbahany berpendapat mengganjil atau meyimpang dari pendapat jumhur itu. Beliau berpendapat bahwa fahisyah atau perbuatan keji di sini yang dimaksud bukanlah berzina. Kalau ke-banyakan mufassirin mengatakan bahwa ayat 15 surah an-Nisaa' ini telah dimusnahkan oleh ayat 2 surah an-Nuur, Abu Muslim berkata bahwa antara kedua ayat ini tidak ada nasikh dan mansukh, melainkan melengkapi. Menurut Abu Muslim perbuatan keji dalam ayat 15 surah an-Nisaa' ialah berzina sesama perempuan, yang diberi nama musahaqah, yaitu mengadu faraj dan faraj. Yang kalau dilakukan oleh sesama laki-Jaki dinamai liwath.
Dalam bahasa asing disebut homosexuality. Menurut penyelidikan ahli-ahli ilmu jiwa, laki-laki atau perempuan yang sudah ketagihan dengan perbuatan yang keji ini adalah orang yang telah abnormal, artinya jiwanya sudah tidak beres lagi. Sehingga perempuan tidak merasa senang lagi berhubungan dengan laki-laki, lebih senang dengan sesama perempuan. Laki-lakinya pun demikian pula. Perempuan yang ditimpa penyakit ini, kalau dia telah bersuami, tidak memedulikan suaminya lagi. Hal ini lekas berkesan pada perangainya. Dia lebih suka berjalan berdua-dua dengan kekasihnya sesama perempuan, mandi berdua-dua dan tidur berdua-dua. Menurut Abu Muslim, kalau tanda-tanda ini telah ada, hendaklah diintip oleh empat orang saksi, sampai kedapatan mereka berbuat perbuatan yang keji itu. Kalau sudah kedapatan, hendaklah perempuan itu dihukum. Yaitu dikurung dalam rumahnya, tidak boleh keluar-keluar lagi, biar sampai dia mati terbenam untuk selama-lamanya di dalam rumah. Baik yang jadi “kakak" atau jadi “adik" tetap dikurung dan keduanya dipisahkan supaya penyakit itu tidak dilakukannya lagi atau dia sembuh.
Beginilah pendapat Abu Muslim. Atau Allah mengadakan bagi mereka jalan keluar! Maksudnya ialah kalau penyakitnya itu tidak juga sembuh sebab mereka bersuami. Akan tetapi, ada yang tidak bersuami atau belum bersuami, maka tahanlah mereka di rumah, moga-moga sampai sembuh, dan kalau mereka sudah kembali normal, nikahkanlah dia dengan baik. Inilah jalan keluar dari kurungan rumah.
Setengah penafsir lagi berpendapat perbuatan keji itu ialah misalnya suka memaki-maki, suka bercarut-carut, suka berkelahi dengan tetangga, gatal mulut, dan sebagainya. Kurung mereka di rumah. Yang menjalankan hukum terhadap mereka tentu raja yang berwajib, dalam negeri yang menjalankan peraturan Islam. Akan tetapi, bisa kejadian juga dalam kalangan keluarga yang pandangan hidupnya telah dipengaruhi oleh hukum Islam semuanya. Kalau ini belum dapat dijalankan— karena susunan kemasyarakatan dan kenegaraan masih jauh dari peraturan Islam— sudahlah nyata bahwa hukum “tahanan rumah" memang ada bagi perempuan. Di sini pun kita mendapat pula kesimpulan yang jelas bahwa memingit perempuan dalam rumah, yang biasa terdapat dalam masyarakat Islam yang kolot, bukanlah peraturan Islam. Mereka hanya dikurung karena bersalah berbuat keji. Kalau tidak bersalah demikian, baik penafsiran zina atau penafsiran keji sesama perempuan atau gatal mulut, tidaklah ada jalan buat mengurung mereka.
Sekarang laki-laki pula.
Ayat 16
“(Terhadap) dua orang yang menginjakan yang keji antara kamu."
Kamu di sini ialah laki-laki, “Maka kamu sakitilah keduanya." Di sini hampir tidak ada perselisihan pendapat antara ahli tafsir yaitu dua orang laki-laki yang berbuat keji perbuatan umat Nabi Luth, Sadum (Sodom) dan Ghamurah, laki-laki memperbini laki-laki. Mereka pun wajib dihukum. Kesalahan mereka sama besar dengan kesalahan perempuan tersebut di atas, yang dikuatkan penafsirannya oleh Abu Muslim. Karena kalau laki-laki tidak lagi suka kepada perempuan dan perempuan tidak suka lagi kepada laki-laki, tandanya masyarakat itu sudah sangat rusak moralnya, hancur akhlaknya. Mereka disuruh sakiti, yaitu dihukum. Oleh karena hal ini tidak pernah kejadian pada zaman Rasulullah sendiri, tidaklah orang menampak contoh hukum apa yang pantas dilakukan kepada mereka, jika kedapatan. Akan tetapi, pada zaman Sayyidina Abu Bakar, terjadi hal ini dalam tentara di bawah komando Khalid bin Walid. Dengan persetujuan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Khalid menghukum mereka dengan dibakar. Mungkin hukum sekeras itu sebab Khalid sedang berperang dan takut akan hal ini menular kepada yang lain sehingga patah semangat perang. Lanjutan ayat ialah, “(‘Tetapi) jika mereka telah tobat dan memperbaiki diri, maka hendaklah kamu berpaling dari mereka keduanya." Dengan sambungan ini kita mengerti bahwa cara bagaimana menjatuhkan hukum “sakitilah mereka" terserah kepada kebijaksanaan hakim. Artinya, adalah misalnya anak-anak muda yang telanjur berbuat perangai keji ini karena tidak tertahan syahwat, tetapi belum jadi penyakit. Mereka diberi hukum yang setimpal, dirotani dan sebagainya, lalu diajar dan dididik, dipisahkan dari tempat yang membahayakan karena pergaulan muda sama muda, sampai mereka sembuh. Setelah kelihatan ada perubahan, karena mereka telah tobat dan telah diperbaikinya dirinya, telah dibersihkannya dengan amal yang baik, atau segera menikah, cukuplah menyakiti mereka sekadarnya.
Oleh sebab itu cara hakim menghukum dan “menyakiti" mereka benar-benar ditilik dengan bijaksana.
Yang baru telanjur diajak baik-baik, baik dengan mulut, maupun dengan rotan atau dengan dipenjarakan, sampai mereka insaf dan berubah perangainya menjadi baik. Sebab, kadang-kadang mereka berbuat demikian ada-lah karena nafsu yang belum terkendalikan, karena darah yang masih muda. Pendidik hendaklah berusaha membangunkan jiwa mereka kembali sehingga sesal yang tumbuh karena ketelanjuran itu dapat memperbaiki haluan hidup mereka selanjutnya. Kalau mereka telah kelihatan berubah, kata ayat dengan tegasnya berpalinglah dari mereka. Amat halus kandungan kata ini, berpalinglah dari mereka, jangan disebut dan jangan dibangkit-bangkit juga. Karena tobat bisa benar-benar menumbuhkan semangat baru yang lebih baik untuk mereka akan menempuh jalan yang baik selanjutnya. Di ujung ayat Allah menegaskan,
“Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, lagi Maha Penyayang."
Artinya bahwa orang-orang yang telah bertobat, jika benar-benar telah tobat, mudah sajalah bagi Allah mengampuninya sebab Allah Maha Penyayang. Allah memberi kesempatan bagi hamba-Nya memperbaiki diri.
Tetapi memang, sejarah dunia, sejak zaman purbakala, baik Yunani, Mesir kuno maupun Babylon, sampai kepada sejarah Arab, sampai pun kepada sejarah Eropa zaman modern, menunjukkan gejala kerusakan akhlak dan kejatuhan budi karena kemewahan hidup sehingga timbullah penyakit yang disebut homoseksualitas. Orang perempuan berzina sesama perempuan, laki-laki berzina sesama laki-laki. Perbuatan yang amat keji dan nista. Pada zaman purbakala terkenallah kaum Nabi Luth, negeri Sodom dan Ghamurah. Kita ingat pula bagaimana malu yang tercoreng di kening pemerintah Kolonial Belanda dekat-dekat akan jatuhnya, karena terdapat orang-orang besar berpangkat tinggi dijangkiti penyakit menyetubuhi anak laki-laki. Kedua ayat ini telah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya sebelum menjadi penyakit umum, lekas-lekas diberantas, dengan mengurung yang perempuan biar sampai mati. Karena kalau dibiarkan mereka keluar rumah juga, penyakit ini bisa berlarut-larut dan menjangkiti yang lain. Yang tidak bersuami, terutama yang masih perawan, tahan di rumah sambil mendidik dan diobati, serta lekas dipersuamikan. Orang laki-laki yang berbuat begitu disakiti, artinya dihukum. Entah dipenjarakan atau dirotani, atau dikata-katai, dicaci-maki, moga-moga belum sampai menjadi penyakit Moga-moga hanya dorongan nafsu muda yang tidak tertahan-tahan, yang dapat diperbaiki kembali dengan tuntunan nasihat yang baik. Akan tetapi, kalau sudah menjadi penyakit, setuju kita dengan sikap Sayyidina Khalid bin Walid, yang membakar orang itu sampai mati.
Di sini pula kita teringat akan cara yang ditempuh oleh Imam Syafi'i, yaitu setelah dilihatnya anak laki-lakinya sudah dewasa, sudah ada tanda-tanda bangkit syahwatnya menurut penglihatan beliau, segeralah anak itu beliau nikahkan.
Ayat 17
“Sesungguhnya tobat yang diterima Allah itu hanyalah tobat orang-orang yang berbuat suatu kejahatan dengan kebodohan, kemudian mereka pun tobat selekas-lekasnya. Mereka itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana"
Telanjur berbuat jahat karena kebodohan. Artinya ada juga orang yang tahu bahwa itu adalah perbuatan jahat, tetapi karena sangat keras dorongan hawa nafsu, tidaklah tertahan lagi. Misalnya karena sangat marah, lalu memukuli orang, atau karena sangat memuncak syahwat. Setelah diberi orang nasihat, tetapi nasihat itu tidak mempan terhadapnya. Karena hidup belum banyak pengalaman, masih seumpama bodoh. Demi setelah telanjur berbuat salah, timbullah sesal yang mendalam. Sehingga kesalahan itu sudah menambah pengetahuannya, menghilangkan kebodohannya. Timbul tekanan batin yang sangat, lalu dia menyesal dan lekas-lekas diperbaikinya, lekas-lekas bertobat.
Tobat artinya kembali. Setelah tertempuh jalan yang sangat sesat, tidak tentu ujung. Bertambah lama bertambah terasa gelap, lalu timbal sesal, dan segera kembali. Maka, dicu-kupkanlah syarat tobat yang tiga perkara. Pertama menyesal atas perbuatan yang telah telanjur. Kedua segera mencabut kesalahan yang ada sekarang. Ketiga mengakui dan bertekad tidak akan berbuat lagi. Pengakuan salah itu bukan kepada manusia, bukan kepada pendeta dan kiai, tetapi rahasia antara hati sendiri dan Allah. Dapat dilihat orang hidupnya yang telah berubah kepada yang lebih baik.
Kata ahli-ahli tasawuf, jiwa orang yang benar-benar bertobat karena suatu kesalahan, kadang-kadang jauh lebih maju dalam mendekati Allah daripada jiwa orang yang merasa dirinya tidak bersalah sehingga pernah juga mereka misalkan bahwa kadang-kadang orang yang tidak terbangun tengah malam, sehingga tidak sempat mengerjakan shalat ta-hajjud dan setelah hari pagi merasa menyesal lantaran luput tahajjud, mungkin lebih baik dari yang sempat bangun dan sempat tahajjud, lalu pagi-paginya dia berbangga dengan amalnya.
Ayat ini diujungi Allah bahwa Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya, Sebagaimana di ayat yang lain, yaitu di surah an-Najm, ayat 32 Allah menyatakan bahwa Dia mempunyai ampun yang luas sebab Dia lebih tahu siapa hamba-Nya itu, sejak Dia jadikan dari tanah, sampai kepada masa menjadi bayi dalam kandungan ibunya, Allah tahu siapa dia. Sebab itu, janganlah mencoba membersihkan diri, artinya mengaku tidak pernah bersalah. Lantaran itu jika bersalah, tobatlah lekas dan perbaikilah diri; Allah Mahabijaksana. Allah dapat mempertimbangkan mana salah yang telanjur karena bodoh, karena belum banyak pengalaman dan mana salah yang benar-benar dari jiwa yang telah kotor.
“Dan tidaklah tobat orang-orang yang berbuat kejahatan-kejahatan, (yang) hingga apabila maut telah datang kepada seseorang antara mereka, (balulah) dia benkata, “Sesunggdhnya tobatlah aku sekanang."
Ayat 18
Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati, padahal mereka kafir. (Bagi) mereka itu telah Kami sediakan adzab yang pedih."
Tidak bisa diterima tobat orang yang kejahatannya sudah menjadi permainannya tiap hari. Tidak masuk lagi pengajaran. Dengan sadar dia telah mengerjakan kejahatan itu, ada antara mereka yang berkata, “Nanti saya kalau sudah dekat-dekat mati saya bertobat."
Untuk mendalami lagi maksud ayat, cobalah perhatikan kejahatan yang diperbuat oleh orang yang diberi tobat oleh Allah pada ayat 17; berbuat suatu kejahatan, bahasa Arabnya as-Suu', karena kebodohan, belum berpengalaman. Perhatikan pula di ayat 18, di sana disebut kejahatan-kejahatan, artinya sudah banyak kejahatannya dalam bahasa Arabnya as-Sayyi'at. Dan perhatikan pula di ayat 17, disebut kemudian dia pun tobat lekas-lekas, tetapi di ayat 18 mereka berkata setelah mati mendekatinya, “Tobatlah aku sekarang." Dari keduanya sudah dapat kita lihat perbedaan sikap jiwa antara kedua macam manusia ini. Yang pertama lekas sadar, lekas menyesal, dan lekas tobat. Malahan selalu bertobat. Bukankah sehabis shalat lima waktu pun kita dianjurkan bertobat, sampai membaca wirid tobat tiga kali menurut ajaran Nabi?
Adapun sikap jiwa yang kedua, menentang Allah.
Ilmu penulis tafsir ini masih amat dangkal dalam hal kejiwaan manusia. Pada suatu hari dapatlah penulis bertukar pikiran dengan seorang anggota polisi yang telah banyak menyelami jiwa-jiwa penjahat. Ada penjahat yang memang jiwanya sendiri telah rusak binasa, kejahatan dipandangnya baik. Akan tetapi, masih ada penjahat yang tahu bahwa yang dikerjakannya itu adalah jahat, sehingga kalau dinasihati, dia mengerti nasihat itu. Akan tetapi, bila ada kesempatan, dibuatnya lagi. Sebab, dia tidak dapat mengendalikan nafsunya. Oleh karena itu, hakim tidaklah boleh hanya memerhatikan jiwa pribadi penjahat itu, tetapi perhatikan lagi bekas perbuatannya kepada masyarakat yang amat merugikan. Misalnya beberapa waktu yang lalu seorang penjahat yang berulang-ulang telah membunuh orang dan berulang-ulang pula lari dari penjara, akhirnya hakim mengambil keputusan bahwa orang ini dihukum mati saja, dengan tidak usah lagi dibawa kepada seorang ahli jiwa atau psikiater untuk menyelidiki apa sebab sampai demikian jiwanya.
Ayat ini telah memberi bayangan tentang adanya jiwa yang demikian; pengajaran tidak masuk, tujuannya berbuat jahat, disuruh tobat dia jawab nanti saja kalau sudah dekat mati. Orang yang seperti ini disamakan dengan orang yang mati padahal mereka kafir. Artinya sampai matinya dia masih menolak kebenaran.
Ilmu Allah lebih luas daripada yang kita ketahui, Fir'aun membantah segala ajakan Nabi Musa sejak semula sampai dia telah hampir terbenam ditelan lautan. Setelah jelas mau mati tenggelam, baru dia insaf, lalu berkata bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah yang disembah oleh Bani Israil. Tetapi tobatnya tidak diterima.
Akan tetapi, ada juga orang yang memang setelah dekat mati itulah datang keinsafannya, benar-benar dia bertobat dan mengeluh memohon kepada Allah agar diampuni dosanya. Dia pun diampuni, sebagaimana tersebut dalam satu hadits bahwa pintu tobat tetap terbuka bagi seorang hamba selama dia belum Yughar-ghiru, yaitu sebelum nyawanya sampai ke kerongkongan untuk dilepaskannya selama-lamanya. Mungkin maksud hadits ini ialah bahwa betapa pun jahatnya seseorang, tetapi sampai dekat nyawanya akan bercerai dengan badan dia bertobat, tobatnya akan diterima juga. Akan tetapi, orang yang telah nista hidupnya, meskipun kesempatan itu di-buka, tidak juga dia pedulikan. Apatah lagi kalau orang pikirkan bahwa saat mati datang itu tidaklah dapat ditentukan oleh manusia. Kadang-kadang dia datang dengan tiba-tiba.
Moga-moga janganlah jiwa kita sampai demikian rusak. Amin!