Ayat
Terjemahan Per Kata
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱشۡتَرَوُاْ
mereka membeli
ٱلضَّلَٰلَةَ
kesesatan
بِٱلۡهُدَىٰ
dengan petunjuk
فَمَا
maka tidak
رَبِحَت
beruntung
تِّجَٰرَتُهُمۡ
perniagaan mereka
وَمَا
dan tidak
كَانُواْ
adalah mereka
مُهۡتَدِينَ
orang-orang yang mendapat petunjuk
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱشۡتَرَوُاْ
mereka membeli
ٱلضَّلَٰلَةَ
kesesatan
بِٱلۡهُدَىٰ
dengan petunjuk
فَمَا
maka tidak
رَبِحَت
beruntung
تِّجَٰرَتُهُمۡ
perniagaan mereka
وَمَا
dan tidak
كَانُواْ
adalah mereka
مُهۡتَدِينَ
orang-orang yang mendapat petunjuk
Terjemahan
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka, tidaklah beruntung perniagaannya dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
Tafsir
(Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk) artinya mengambil kesesatan sebagai pengganti petunjuk (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) bahkan sebaliknya mereka merugi, karena membawa mereka ke dalam neraka yang menjadi tempat kediaman mereka untuk selama-lamanya. (Dan tidaklah mereka mendapat petunjuk) disebabkan perbuatan mereka itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 16
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidak beruntung perniagaannya dan tidak pula mereka mendapat petunjuk.
As-Suddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk." Yang dimaksud ialah mereka mengambil kesesatan dan meninggalkan hidayah.
Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk," yakni membeli kekafiran dengan keimanan. Menurut Mujahid, makna yang dimaksud adalah pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir. Qatadah mengatakan, maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk). Pendapat Qatadah ini mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu” (Fushshilat 17). Kesimpulan dari pendapat semua ahli tafsir tentang hal-hal yang telah kami sebutkan adalah 'orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan petunjuk dan menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan'.
Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk” (Al-Baqarah: 16). Dengan kata lain, mereka melepaskan hidayah untuk mendapatkan kesesatan. Dalam hal ini sama saja apakah dia berasal dari orang yang tadinya beriman, kemudian kafir, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya: “Itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati” (Al-Munafiqun: 3). Atau dari kalangan mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian dari kalangan mereka (orang-orang munafik), dan memang mereka itu terdiri dari berbagai macam golongan.
Karena itu, pada ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Maka tidak beruntung perniagaannya dan tidak pula mereka mendapat petunjuk” (Al-Baqarah: 16). Perniagaan mereka yang demikian itu tidak membawa keuntungan, dan tidak pula mereka mendapat petunjuk, yakni tidak memperoleh bimbingan dalam perbuatannya itu. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: "Maka tidak beruntung perniagaannya dan tidak pula mereka mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 16). Demi Allah, kalian telah melihat mereka keluar dari hidayah menuju jalan kesesatan, dari persatuan menjadi perpecahan, dari aman menjadi ketakutan, dan dari sunnah menjadi bid'ah. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abu Hatim melalui hadits Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah dengan makna yang sama.
Mereka itulah orang-orang yang jauh dari kebenaran yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Sikap mereka yang memilih kesesatan dan mengabaikan kebenaran diumpamakan seperti pedagang yang memilih barang-barang rusak untuk dijual dalam perdagangannya. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung. Jangankan untung yang didapat, modal pun hilang. Dan mereka tidak mendapat petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebenaran, sebab yang ada pada mereka hanyalah kesesatan. Perumpamaan keadaan mereka orang-orang munafik yang sungguh mengherankan itu seperti keadaan yang aneh dari orang-orang yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi apa-apa yang ada di sekelilingnya dan memberikan kehangatan, rasa nyaman, dan manfaat lainnya bagi mereka, tiba-tiba Allah melenyapkan cahaya yang menyinari mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang kelam, tidak dapat melihat suatu apa pun. Allah telah memberikan kepada mereka petunjuk kebenaran, tetapi mereka tidak berpegang teguh pada petunjuk tersebut, sehingga mata mereka menjadi tertutup, dan mereka pantas berada dalam kebimbangan dan kesesatan.
Ayat ini menegaskan ayat-ayat sebelumnya tentang orang munafik dan menerangkan kebodohan mereka dengan mengemukakan keburukan tingkah laku dan perkataan mereka.
Orang-orang munafik dengan sifat-sifat yang buruk seperti tersebut pada ayat-ayat di atas merupakan orang-orang yang salah pilih. Mereka menolak petunjuk jalan yang lurus, dan memilih jalan kesesatan dan hawa nafsu. Akhirnya pilihan itu merugikan mereka sendiri, karena mereka tidak mau menerima kebenaran.
Dalam ayat ini Allah mempergunakan kata "membeli" untuk ganti kata "menukar". Jadi orang munafik itu menukarkan hidayah (petunjuk) dengan dhalalah (kesesatan), hasilnya mereka kehilangan petunjuk dan memperoleh kesesatan. Petunjuk yang semula mereka miliki itu berupa kesediaan manusia untuk menanggapi kebenaran dan mencapai kesempurnaan. Kesediaan ini bagaikan modal pokok. Modal inilah yang lenyap dari tangan mereka, oleh karena itu mereka tidak akan mendapat untung dan tidak dapat petunjuk lagi.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-20
NIFAK (II)
Ayat 14
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami ini telah beriman,' dan apabila mereka telah bersendirian dengan setan-setan mereka, mereka katakan, Sesungguhnya, kami adalah (tetap) bersama kamu, kami ini hanyalah mengolok-olokkan mereka itu".
Inilah kelanjutan dari perangai munafik; bila berhadapan mulutnya manis, bila di belakang lain bicara. Apa sebab jadi begini? Tidak lain adalah karena kelemahan jiwa, yang menyebabkan takut menghadapi kenyataan. Kepada orang-orang yang telah beriman, mereka mengaku telah beriman, sedangkan bila bertemu dengan teman-teman mereka yang sama-sama jadi setan atau ketua-ketua yang telah berpikiran sebagai setan, mereka takut didakwa, mengapa telah berubah pendirian. Mengapa telah ikut-ikut pula seperjalanan dengan orang-orang yang telah sesat itu? Mudah saja mereka menjawab bahwa pendirian mereka tetap, tidak berubah. Mereka mencampuri orang-orang yang telah menjadi pengikut Muhammad itu hanya siasat saja, sebagai olok-olok. Namun, pendirian mereka yang asli adalah mempertahankan yang lama tidaklah mau mereka mengubahnya. Karena, kalau tidak pandai kita menyesuaikan diri, tentu akhirnya kita tidak dapat mengetahui rahasia lawan kita. Beginilah kira-kira susun kata jawaban mereka jika setan-setan mereka bertanya. Adapun di segala zaman, jawaban yang seperti ini, dari orang yang jiwanya telah pecah, hampir sama saja, hanya susunannya berbeda sedikit-sedikit.
Mereka merasa telah menang sebab dapat memperolok-olokkan orang yang beriman. Padahal bagaimana yang sebenarnya? Merekalah jadinya yang diperolok-olok-kan Allah dan kesesatan itu diperpanjang sehingga mereka tidak sadar sama sekali. Mereka menjadi tidak tentu rebah-tegak, hilir mudik tidak menentu, resah gelisah, serba salah, sebab hanya mengambil muka ke sana, menarik hati kemari.
Ayat 15
“Allah-lah yang akan memperolok-olokkan mereka dan akan memperpanjang mereka di dalam kesesatan, Mereka resah gelisah."
Sekarang, mereka mengaku pula bahwa orang-orang yang beriman itu mereka perolok-olokkan, padahal merekalah yang telah diperolok-olokkan oleh Allah, sedangkan mereka pun tidak sadar. Yang mereka perolok-olokkan itu siapa? Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mempunyai seorang pemimpin besar yang disokong oleh wahyu. Sandaran mereka yang diperolok-olokkan itu
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang telah memberi kesesatan dengan petunjuk."
Artinya, Nabi ﷺ telah datang membawakan hudan, petunjuk. Hati kecil mereka sebagai insan yang berakal mengakui bahwa petunjuk Allah yang dibawa Nabi itu adalah benar, tidak dapat dibantah. Akan tetapi, ka-rena rayuan hawa nafsu dan perdayaan setan-setan halus dan setan kasar, terjadilah perjuangan batin. Akan ikutilah pada petunjuk itu atau akan tetap dalam kesesatan? Rupanya menanglah hawa nafsu dan setan, kalahlah jiwa murni karena kelemahan diri. Lalu, diadakanlah pertukaran (barter); badan, petunjuk, diserahkannya kepada orang lain, sedangkan dhalalah, kesesatan, diambilnya buat dirinya."Sebab itu, tidaklah berlaba perniagaan mereka." Awak sudah payah, resah gelisah siang dan malam “berniaga" pendirian; disangka gelas berlaba, rupanya pokok tua yang termakan.
“Dan tidaklah mereka dapat pimpinan."
Bagaimana mereka akan dapat pimpinan? Padahal pimpinan itulah yang mereka tentang selama ini? Padahal Muhammad ﷺ itulah yang pimpinan. Selain itu, tidak ada pimpinan lagi. Dan, ketenaran hanya satu, di luar kebenaran adalah batil. Kalau mengelak dari pimpinan wahyu, akan mengambil juga pimpinan yang lain, yaitu pimpinan untuk terus sesat. Itulah pimpinan setan.
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api."
Mengapa api mereka nyalakan? Ialah karena mereka mengharap mendapat terang dari cahaya api itu, “Maka, tatkala api itu telah menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allah-lah cahaya mereka."
Api telah mereka nyalakan dan telah menggejolak naik dan yang di sekelilingnya telah diberinya cahaya, tetapi mata mereka sendiri tidak melihat lagi karena telah silau oleh cahaya api itu.
“Dan Dia biarkan mereka di dalam gelap gulita, tidak melihat."
Alangkah tepatnya perumpamaan Tuhan ini. Mereka diumpamakan dengan orang yang membuat unggun inginkan api, mengharap nyala dan cahayanya. Artinya, bahwa keinginan akan cahaya terang itu memang ada juga. Sebelum Nabi Muhammad ﷺ menyatakan risalahnya, dalam kalangan Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, yang mereka namai Messias. Mereka selalu membanggakan kepada orang Arab Madinah bahwa Taurat ada menyebutkan bahwa mereka akan kedatangan Nabi lagi. Sekarang, Nabi itu telah datang atau api telah nyala. Api yang telah lama mereka harapkan. Namun, setelah api nyala, yang di sekelilingnya mendapat terang. Arab Madinah yang dahulunya dihinakan oleh Yahudi, dikatakan orang-orang ummi, orang-orang yang tidak cerdas, telah menyambut nyala api itu dengan segala sukacita dan mereka telah mendapat cahaya-nya serta nyalanya. Orang-orang Yahudi kehilangan cahaya itu, walaupun api unggun ada di hadapan rumah mereka sendiri. Bertambah nyala api itu, mereka bertambah gelap gulita dan tidak melihat apa-apa.
Mengapa setelah unggun menyalakan api, mereka jadi gelap gulita dan mata mereka menjadi silau? Datang jawabnya pada ayat yang berikut.
Ayat 18
“Tuli, lagi bisu, lagi buta."
Meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau pancaindra yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu, dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu, dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan, inti sari agama Yahudi ajaran asli Nabi Musa telah hilang, dan yang tinggal hanya bingkai dan bangkai. Mereka bertahan pada huruf-huruf, tetapi mereka tidak peduli lagi pada isinya. Mereka menyangka mereka lebih di dalam segala hal, padahal karena menyangka lebih itulah mereka menjadi serba kurang.
“Maka, tidaklah Mereka (dapat) kembali lagi."
Sebab, langkah salah yang telah dimulai dari bermula telah membawa mereka masuk jurang. Apabila kendaraan telah menuju masuk jurang, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya ke tempat yang datar. Tujuannya sudah pasti ialah kehancuran.
Di ayat ini dimisalkan laksana orang yang menghidupkan api mengharapkan nyala dan cahayanya. Namun, ada lagi yang seperti mengharapkan hujan turun agar mendapat kesuburan.
Ayat 19
“Atau seperti hujan lebat dari langit, yang padanya ada gelap gulita, guruh dan kilat."
Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali. Namun, hujan lebat itu datangnya adalah dengan dahsyat. Pertama, langit jadi gelap oleh tebalnya awan dan mendung. Setelah awan itu sangat berat, lebih dahulu akan terdengarlah guruh dan petir, dan kilat pun sambung-menyambung; ngeri rasanya.
“Mereka sumbatkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka dari (mendengar) suara petir karena takut mati."
Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung-menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat, dan petir. Kebenaran Ilahi akan tegak di alam. Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya, mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, melainkan karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan, guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya, peringatan-peringatan yang keras sering dengan kedatangan hidayah Ilahi. Suara Rasul ﷺ akan keras laksana guruh membanteras adat lama pusaka usang, taklid dan berkeras mempertahankan pusaka nenek moyang. Kadang-kadang, memancar kilatan api kemurkaan dan ancaman. Siapa yang mengikut kebenaran, mari-kemari, iringkan daku menuju surga. Namun, siapa yang menentang, sengsaralah yang menunggunya dan neraka. Bila kehendak
Allah akan ditegakkan, semua orang wajib patuh. Pangkat dan kebesaran dunia, kekayaan yang berlimpah-limpah tidaklah akan menolong. Yang mulia di sisi Allah hanyalah orang yang takwa. Allah tidak menghitung berapa penghasilanmu sebulan, berapa orang gajian-mu, dan berapa bidang tanahmu. Allah hanya menghitung amalmu. Pendirian yang palsu tidak laku lagi; yang laku hanyalah ikhlas. Harta dunia dan anak yang selama ini menjadi kebanggaan bagimu, kalau dirimu tidak engkau sediakan untuk menjunjung tinggi kehendak Allah maka semuanya itu akan menjadi fitnah bagimu. Engkau akan kembali kepada Allah, engkau akan dibangkitkan kembali sesudah mati, dan akan diperhitungkan amalmu selama hidup. Di akhirat, harta kekayaan duniamu tidaklah akan menolong. Dan, tidak ada orang yang akan membelamu. Pembelaan hanyalah amalan sendiri.
Perkataan seperti ini adalah gelap bagi orang yang bertahan pada kemegahan dunia, walaupun bagi orang Mukmin membawa gembira sebab hujan pasti turun. Perkataan seperti ini bagi orang yang memang bertahan pada kebatilan memang Laksana guruh yang bunyinya menakutkan atau laksana kilat dan petir yang memancarkan api. Oleh karena takutnya mereka pada penghantar-penghantar hujan itu, tidaklah mereka gembira menunggu hujan, tetapi mereka tutup lubang telinga dengan jari supaya guruh dan petir itu jangan terdengar sebab semua mereka pandang ancaman maut bagi mereka. Mereka takut mati, mereka tidak mau bercerai dengan kehidupan lama yang mereka pegang teguh itu. Mereka tidak mau berpisah dengan benda yang mereka junjung sebagai menjunjung Tuhan.
“Tetapi Allah mengepung orang-orang yang kafir."
Allah mengepung mereka dari segala penjuru.
Ainal mafarri. Ke mana mereka akan lari?
Ayat 20
“Nyarislah kilat itu menyambar penglihatan Mereka"
Oleh karena mereka meraba-raba di dalam gelap, terutama kegelapan jiwa. Maka, kilat yang sambung-menyambung yang mereka takuti itu nyarislah membawa celaka mereka sendiri. Demikianlah, bagi orang Mukmin kilat itu tidak apa-apa. Mereka tahan melihat guruhnya dan melihat pancaran apinya yang hebat itu, tetapi si munafik menjadi kebingungan karena tidak tentu jalan yang akan ditempuh."Tiap-tiap kilat menerangi mereka, mereka pun berjalan padanya." Mereka angsur melangkah ke muka selangkah, tetapi takut tidak juga hilang, “Dan, apabila telah gelap atas mereka, mereka pun berhenti."
Perjalanan tidak diteruskan lagi, karena mereka hanya meraba-raba dan merumbu-rumbu. Sebab, pelita yang terang tidak ada di dalam dada mereka, yaitu pelita iman."Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka" Artinya, sia-sia penglihatan dan pendengaran yang masih ada pada mereka, mudah sajalah bagi Allah menghilangkannya sama sekali sehingga tamAllah riwayat hidup mereka di dalam kekufuran dan kesesatan, tersebab dari sikap jiwa yang pada mulanya ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, lalu kepadaman suluh,
“Sesungguhnya, Allah atas tiap-tiap sesuatu, adalah Mahakuasa."
(ujung ayat 20)