Ayat
Terjemahan Per Kata
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمۡ
bagi kalian
لَيۡلَةَ
malam
ٱلصِّيَامِ
puasa
ٱلرَّفَثُ
bercampur
إِلَىٰ
kepada/dengan
نِسَآئِكُمۡۚ
isteri-isterimu
هُنَّ
mereka
لِبَاسٞ
pakaian
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لِبَاسٞ
pakaian
لَّهُنَّۗ
bagi mereka
عَلِمَ
telah mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
أَنَّكُمۡ
bahwasanya kamu
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَخۡتَانُونَ
kamu khianat
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
فَتَابَ
maka Dia mengampuni
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَعَفَا
dan Dia memaafkan
عَنكُمۡۖ
dari kalian
فَٱلۡـَٰٔنَ
maka sekarang
بَٰشِرُوهُنَّ
campurilah mereka
وَٱبۡتَغُواْ
dan carilah olehmu
مَا
apa
كَتَبَ
telah menetapkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡۚ
bagi kalian
وَكُلُواْ
dan makanlah
وَٱشۡرَبُواْ
dan minumlah
حَتَّىٰ
sehingga
يَتَبَيَّنَ
nyata/jelas
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡخَيۡطُ
benang
ٱلۡأَبۡيَضُ
putih
مِنَ
dari
ٱلۡخَيۡطِ
benang
ٱلۡأَسۡوَدِ
hitam
مِنَ
dari
ٱلۡفَجۡرِۖ
waktu fajar
ثُمَّ
kemudian
أَتِمُّواْ
sempurnakanlah
ٱلصِّيَامَ
puasa
إِلَى
sampai
ٱلَّيۡلِۚ
malam
وَلَا
dan janganlah
تُبَٰشِرُوهُنَّ
kamu mencampuri mereka
وَأَنتُمۡ
dan kalian
عَٰكِفُونَ
orang yang i'tikaf
فِي
dalam
ٱلۡمَسَٰجِدِۗ
masjid
تِلۡكَ
itulah
حُدُودُ
batas-batas (hukum)
ٱللَّهِ
Allah
فَلَا
maka janganlah
تَقۡرَبُوهَاۗ
kamu mendekatinya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لِلنَّاسِ
kepada manusia
لَعَلَّهُمۡ
supaya mereka
يَتَّقُونَ
bertakwa
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمۡ
bagi kalian
لَيۡلَةَ
malam
ٱلصِّيَامِ
puasa
ٱلرَّفَثُ
bercampur
إِلَىٰ
kepada/dengan
نِسَآئِكُمۡۚ
isteri-isterimu
هُنَّ
mereka
لِبَاسٞ
pakaian
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لِبَاسٞ
pakaian
لَّهُنَّۗ
bagi mereka
عَلِمَ
telah mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
أَنَّكُمۡ
bahwasanya kamu
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَخۡتَانُونَ
kamu khianat
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
فَتَابَ
maka Dia mengampuni
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَعَفَا
dan Dia memaafkan
عَنكُمۡۖ
dari kalian
فَٱلۡـَٰٔنَ
maka sekarang
بَٰشِرُوهُنَّ
campurilah mereka
وَٱبۡتَغُواْ
dan carilah olehmu
مَا
apa
كَتَبَ
telah menetapkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡۚ
bagi kalian
وَكُلُواْ
dan makanlah
وَٱشۡرَبُواْ
dan minumlah
حَتَّىٰ
sehingga
يَتَبَيَّنَ
nyata/jelas
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡخَيۡطُ
benang
ٱلۡأَبۡيَضُ
putih
مِنَ
dari
ٱلۡخَيۡطِ
benang
ٱلۡأَسۡوَدِ
hitam
مِنَ
dari
ٱلۡفَجۡرِۖ
waktu fajar
ثُمَّ
kemudian
أَتِمُّواْ
sempurnakanlah
ٱلصِّيَامَ
puasa
إِلَى
sampai
ٱلَّيۡلِۚ
malam
وَلَا
dan janganlah
تُبَٰشِرُوهُنَّ
kamu mencampuri mereka
وَأَنتُمۡ
dan kalian
عَٰكِفُونَ
orang yang i'tikaf
فِي
dalam
ٱلۡمَسَٰجِدِۗ
masjid
تِلۡكَ
itulah
حُدُودُ
batas-batas (hukum)
ٱللَّهِ
Allah
فَلَا
maka janganlah
تَقۡرَبُوهَاۗ
kamu mendekatinya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لِلنَّاسِ
kepada manusia
لَعَلَّهُمۡ
supaya mereka
يَتَّقُونَ
bertakwa
Terjemahan
Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.
Tafsir
(Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berkencan dengan istri-istrimu) maksudnya mencampuri mereka. Ayat ini turun menasakhkan hukum yang berlaku di masa permulaan Islam, berupa pengharaman mencampuri istri, begitu pula diharamkan makan minum setelah waktu Isyak. (Mereka itu pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka) kiasan bahwa mereka berdua saling bergantung dan saling membutuhkan. (Allah mengetahui bahwa kamu akan berkhianat pada) atau mengkhianati (dirimu) dengan melakukan jimak atau hubungan suami istri pada malam hari puasa. Hal itu pernah terjadi atas diri Umar dan sahabat lainnya, lalu ia segera memberitahukannya kepada Nabi ﷺ, (maka Allah pun menerima tobatmu) yakni sebelum kamu bertobat (dan dimaafkan-Nya kamu. Maka sekarang) karena telah dihalalkan bagimu (campurilah mereka itu) (dan usahakanlah) atau carilah (apa-apa yang telah ditetapkan Allah bagimu) artinya apa yang telah diperbolehkan-Nya seperti bercampur atau mendapatkan anak (dan makan minumlah) sepanjang malam itu (hingga nyata) atau jelas (bagimu benang putih dari benang hitam berupa fajar sidik) sebagai penjelasan bagi benang putih, sedangkan penjelasan bagi benang hitam dibuang, yaitu berupa malam hari. Fajar itu tak ubahnya seperti warna putih bercampur warna hitam yang memanjang dengan dua buah garis berwarna putih dan hitam. (Kemudian sempurnakanlah puasa itu) dari waktu fajar (sampai malam) maksudnya masuknya malam dengan terbenamnya matahari (dan janganlah kamu campuri mereka) maksudnya istri-istri kamu itu (sedang kamu beriktikaf) atau bermukim dengan niat iktikaf (di dalam mesjid-mesjid) seorang yang beriktikaf dilarang keluar mesjid untuk mencampuri istrinya lalu kembali lagi. (Itulah) yakni hukum-hukum yang telah disebutkan tadi (larangan-larangan Allah) yang telah digariskan-Nya bagi hamba-hamba-Nya agar mereka tidak melanggarnya (maka janganlah kami mendekatinya). Kalimat itu lebih mengesankan dari kalimat "janganlah kamu melanggarnya" yang diucapkan pada ayat lain. (Demikianlah sebagaimana telah dinyatakan-Nya bagi kamu apa yang telah disebutkan itu (Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa) maksudnya menjauhi larangan-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 187
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar supaya mereka bertakwa.
Ayat 187
Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai shalat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah shalat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat (kesulitan) yang besar.
Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, ‘Atha’, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Adh-Dhahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Suddi, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Firman Allah ﷻ: “Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.
Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa.
Seorang penyair mengatakan: “Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.”
Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadits Mu'az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah ﷺ bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Anshar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi ﷺ. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian,” sampai dengan firman-Nya “dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini. Lafal hadits Imam Al-Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian.” (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah shalat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang serupa pada keesokan malamnya.
Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah shalat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka.” (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi ﷺ dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat." Nabi ﷺ bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa." Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi ﷺ pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian.” (Al-Baqarah: 187)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian” sampai dengan firman-Nya “kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka telah shalat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya.
Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah shalat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah shalat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah ﷺ shalat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian.” (Al-Baqarah: 187)
Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri.
“Mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian.” (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya.
“Karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak.
“Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.
Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian.” (Al-Baqarah: 187)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafal yang sama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadits kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya.
Di suatu malam Umar ibnul Khattab pulang ke rumahnya dari rumah Nabi ﷺ yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: “Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka.” (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.
Firman Allah ﷻ: “Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187)
Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).
Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: “Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya 'apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'.
Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: “Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.” (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahalla)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187)
Allah ﷻ memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah 'benang putih' yang berbeda dengan 'benang hitam', kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya: “Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Seperti yang disebutkan di dalam hadits riwayat Imam Abu Abdullah Al-Al-Bukhari: Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini diturunkan: “Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam.” (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: “Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: “Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putihdan benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam, sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah ﷺ, lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi.
Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar' ialah bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.
Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah bantalmu.”
Menurut lafal lainnya disebutkan: “Sesungguhnya kamu ini benar-benar memiliki tengkuk yang lebar.” Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu; tetapi riwayat ini dha’if, melainkan pengertian yang benar ialah 'apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula, yakni bukan makna kinayah (kiasan), melainkan makna menurut lahiriah.'
Imam Al-Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam, apakah keduanya memang benang?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang itu." Kemudian Nabi ﷺ bersabda lagi, "Tidak, tetapi yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari."
Ketetapan Allah ﷻ yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit menunjukkan sunatnya bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul ﷺ terdapat anjuran bersahur.
Di dalam kitab Shahihain, dari Anas disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.”
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk orang-orang yang makan sahur.”
Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadits yang menerangkannya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan orang-orang yang makan.
Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain: Dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami makan sahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian kami bangkit mengerjakan shalat." Anas bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (shalat Subuh) dan sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahurnya.”
Banyak hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ menamakan makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah; melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: “Kami makan sahur bersama Rasulullah ﷺ, maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.” Hadits ini menurut Imam An-Nasai hanya ada pada ‘Ashim ibnu Abun Nujud, dan Imam An-Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.” (At-Talaq: 2) Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula. Apa yang dikatakan oleh Imam An-Nasai ini merupakan takwil makna hadits ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.
Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bahwa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang serupa dari sebagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu Wa'il serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas'ud, ‘Atha’, Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya'sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid).
Pendapat ini didukung oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Shiyam secara menyendiri. Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya) matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam. Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya: “Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187)
Telah disebutkan di dalam hadits Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh) terbit.” Demikianlah menurut lafal Imam Al-Bukhari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Fajar itu bukanlah sinar yang memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang.”
Sedangkan menurut lafal Imam Abu Dawud dan Imam At Tirmidzi disebutkan: “Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang bagi kalian”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadits Syu'bah dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan sekali-kali kalian terpedaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih ini seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang sebelum ia melebar.”
Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafal yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan yang dilakukan oleh Bilal” atau beliau ﷺ bersabda, “oleh seruan Bilal karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari (yakni hari masih malam)” atau beliau bersabda, “untuk membangunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang shalat (sunat malam hari) dari kalian. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui At-Taimi dengan lafal yang sama. Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha'i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan shalat Subuh dan mengharamkan makanan.” Hadits ini berpredikat mursal lagi jayyid.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari ‘Atha’; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya). ‘Atha’ mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang (seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan shalat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji." Atsar ini sanadnya shahih sampai kepada Ibnu Abbas dan ‘Atha’, hal yang sama diriwayatkan pula oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Aisyah dan Ummu Salamah yang keduanya menceritakan: “Rasulullah ﷺ pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima' (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.”
Di dalam hadits Ummu Salamah yang ada pada Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim disebutkan: “Dan beliau ﷺ tidak berbuka (tidak membatalkan puasa), tidak pula mengqadanya.”
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku berada di waktu shalat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Aku pun pernah berada dalam waktu shalat (Subuh), sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu berkata, "Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang akan datang." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa."
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Apabila diserukan untuk shalat, yakni shalat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.”
Hadits ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui. Hadits ini menurut apa yang ada di dalam kitab Shahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ.
Di dalam kitab Sunan An-Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam An-Nasai tidak me-rafa'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi ﷺ). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai dha’if' hadits ini karena faktor tersebut (tidak marfu'). Dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadits ini.
Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim, ‘Atha’, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri. Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadits Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.
Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadhanya. Kalau puasanya sunat, maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha'i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri. Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadits Abu Hurairah di-nasakh oleh hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara keduanya.
Ibnu Hazm menduga bahwa hadits Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya. Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadits Abu Hurairah dengan pengertian bertentangan dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadits Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian boleh.
Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mencakup keseluruhannya.
Firman Allah ﷻ: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187)
Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:”Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.”
Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa).” (Riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling segera berbuka (puasa)."
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui tidak hanya dari satu jalur, bersumber dari Al-Auza'i dengan lafal yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul Khasasiyah) yang menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut, tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang hal seperti itu dan bersabda: “Yang melakukan demikian hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, ‘Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam’ (Al-Baqarah: 187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah kalian.”
Karena itulah telah disebutkan di dalam hadits-hadits shahih larangan ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan sesuatu pun di antara keduanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Janganlah kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi ﷺ menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum oleh Tuhanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau menghentikan wisalnya (karena mengikut Nabi ﷺ). Nabi ﷺ meneruskan wisal-nya bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal (bulan Syawwal), maka Nabi ﷺ bersabda, "Seandainya hilal datang terlambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang mau menghukum mereka (karena tidak mematuhi larangan Nabi ﷺ).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab Shahihain melalui hadits Az-Zuhri dengan lafal yang sama. Demikian pula keduanya mengetengahkan hadits tentang larangan wisal ini melalui hadits Anas dan Ibnu Umar. Dari Siti Aisyah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang mereka melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka berkata, "Sesungguhnya engkau pun ber-wisal.” Maka beliau ﷺ menjawab: “Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.”
Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah satu keistimewaan Nabi ﷺ. Beliau ﷺ kuat melakukan hal tersebut dan mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada Nabi ﷺ hanyalah berupa makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti Nabi ﷺ bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh seorang penyair, yaitu: “Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya.”
Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu seperti apa yang disebutkan di dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang memberi minum."
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadits ini di dalam kitab shahih masing-masing.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah yang menceritakan: Bahwa ia bersua dengan Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi ﷺ bersabda, "Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ bersabda, "Puasamu itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muhammad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain”.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ali, dari Ali : Bahwa Nabi ﷺ acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur yang lain. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal dalam hari-hari yang dapat dihitung.
Ibnu Jarir menginterpretasikan bahwa mereka melakukan perbuatan ini hanya untuk melatih diri mereka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat diinterpretasikan pula bahwa mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan yang mengandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan di dalam hadits Siti Aisyah, yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebutlah bahwa Ibnuz Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta orang-orang yang mengikuti jejaknya melakukan wisal ini dengan kuat, karena mereka memang mempunyai ketahanan tubuh yang mampu melakukan hal tersebut.
Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, makanan yang mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak samin dan jazam agar perut mereka tidak perih karena makanan selanjutnya.
Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair bahwa ia sering melakukan wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada hari yang ketujuh di pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat dan paling tegar di antara mereka (yang berpuasa).
Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajibkan puasa di siang hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang yang ingin makan, boleh makan; dan bagi orang meneruskannya, boleh tidak makan.
Firman Allah ﷻ: “(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf.
Adh-Dhahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf di dalam masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika menghendakinya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187) Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian) selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Qatadah, dan tidak hanya seorang dari kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad ibnu Ka'b, Mujahid, ‘Atha’, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati istrinya, sedang dia dalam keadaan i'tikaf." Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama.
Yaitu orang yang beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih dalam i'tikaf di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang air besar atau makan; dan tidak diperbolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak boleh menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya.
Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan perihal si sakit bila ia mengambil jalan yang melewati si sakit. I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara lain hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya kami telah menyebutkan sebagian yang diperlukan darinya di akhir pembahasan puasa.
Karena itulah para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab I'tikaf dengan Bab Puasa demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al-Qur'an diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan masalah puasa. Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah ﷻ sesudah masalah puasa mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan i'tikaf dalam berpuasa atau di akhir bulan Ramadan. Seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Rasul ﷺ yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah menurut hadits yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Siti Aisyah Ummul Muminin.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyayyin mengunjungi Nabi ﷺ yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah berbicara sesaat dengan Nabi ﷺ, kemudian ia bangkit untuk pulang ke rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Nabi ﷺ bangkit untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya. Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di tengah jalan, Nabi ﷺ bertemu dengan dua orang lelaki dari kalangan Anshar. Ketika keduanya melihat Nabi ﷺ, maka keduanya berjalan dengan cepat. Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu kepada Nabi ﷺ, mengingat Nabi ﷺ sedang bersama istrinya (Siti Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi ﷺ bersabda, "Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanallah (Maha Suci Allah), wahai Rasulullah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda; “Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu kecurigaan di dalam hati kamu berdua” atau beliau ﷺ bersabda “suatu keburukan.”
Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi ﷺ bermaksud mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang, padahal kedua orang tersebut adalah orang yang bertakwa kepada Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka yang buruk terhadap diri Nabi ﷺ.
Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah bersetubuh dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman, pelukan, dan lain sebagainya.
Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang serupa, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendekatkan kepalanya ke tubuh Siti Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan rambutnya, sedangkan Siti Aisyah dalam keadaan berhaid. Nabi ﷺ tidak memasuki rumah (dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan sebagaimana layaknya seorang manusia. Siti Aisyah mengatakan, "Dan pernah ada orang yang sedang sakit di dalam rumahnya, maka aku tidak menanyakan tentang keadaannya melainkan sambil lewat (menuju masjid)."
Firman Allah ﷻ: “Itulah batasan-batasan Allah.” (Al-Baqarah: 187)
Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan Kami bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang Kami perbolehkan di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haramkan serta Kami sebutkan tujuan-tujuan, rukhsah-rukhsah, dan 'azaim-nya. Semua itu adalah batasan-batasan yang telah disyariatkan oleh Allah dan diterangkan-Nya sendiri.
Firman Allah ﷻ: “Maka janganlah kalian mendekatinya.” (Al-Baqarah: 187)
Maksudnya, janganlah kalian melampaui dan menabraknya.
Sedangkan menurut Adh-Dhahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: “Itulah batasan-batasan Allah.” (Al-Baqarah: 187) Yakni melakukan persetubuhan dalam i'tikaf.
Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang dimaksud ialah batasan-batasan yang empat, lalu ia membacakan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian” sampai dengan firman-Nya “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya dan orang lain dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sama dan mengajarkannya kepada dia (dan murid-murid lainnya).
Firman Allah ﷻ: “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia.” (Al-Baqarah: 187)
Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum-hukum syariat dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hukum lainnya melalui lisan hamba dan Rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad ﷺ kepada umat manusia.
“Agar supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187) Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan bagaimana cara mereka melakukan ketaatan. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian.” (Al-Hadid: 9)
Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk bercampur dengan istrimu. Semula hanya dihalalkan makan, minum, dan mencampuri istri hingga salat Isya atau tidur. Setelah bangun tidur semuanya diharamkan. Umar bin Khattab pernah mencampuri istrinya sesudah salat Isya. Beliau sangat menyesal dan menyampaikannya kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini yang memberikan keringanan. Mereka adalah pakaian bagimu yang melindungi kamu dari zina, dan kamu adalah pakaian bagi mereka yang melindungi mereka dari berbagai masalah sosial. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri untuk tidak berhubungan dengan istri pada malam bulan Ramadan, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu karena kamu menyesal dan bertobat kepada-Nya. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu dengan mengharapkan keturunan yang baik. Makan dan minumlah dengan tidak berlebihan hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar, untuk memulai puasa. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang malam yang ditandai dengan terbenamnya matahari. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beriktikaf dalam masjid pada malam hari Ramadan. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya, yakni istri ketika beriktikaf, apalagi berhubungan intim. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa, menjaga dan mengendalikan diri dengan penuh kesadaran.
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil seperti dengan cara korupsi, menipu, ataupun merampok, dan jangan pula kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim untuk bisa melegalkan perbuatan jahat kamu dengan maksud agar kamu dapat memakan, menggunakan, memiliki, dan menguasai sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa karena melanggar ketentuan Allah, padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan Allah.
.
Pada ayat ini Allah menerangkan 'uzur atau halangan yang membolehkan untuk meninggalkan puasa, serta hukum-hukum yang bertalian dengan puasa.
Banyak riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini, antara lain: pada awal diwajibkan puasa, para sahabat Nabi dibolehkan makan, minum, dan bersetubuh sampai salat Isya atau tidur.
Apabila mereka telah salat Isya atau tidur, kemudian bangun maka haramlah bagi mereka semua itu. Pada suatu waktu, 'Umar bin al-Khaththab bersetubuh dengan istrinya sesudah salat Isya, dan beliau sangat menyesal atas perbuatan itu dan menyampaikannya kepada Rasulullah ﷺ Maka turunlah ayat ini menjelaskan hukum Allah yang lebih ringan daripada yang telah mereka ketahui dan mereka amalkan. Bahwa sejak terbenamnya matahari (magrib) sampai sebelum terbit fajar (subuh), dihalalkan semua apa yang tidak diperbolehkan pada siang hari pada bulan Ramadan dengan penjelasan sebagai berikut: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari Ramadan bersetubuh dengan istri kamu, karena mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati diri kamu, yakni tidak mampu menahan nafsu dengan berpuasa seperti yang kamu lakukan, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan pada kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan bagimu". (al-Baqarah/2:186) Artinya sekarang kamu diperbolehkan bersetubuh dengan istri kamu dan berbuat hal-hal yang dibolehkan untuk kamu. Makan dan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu sampai terbit fajar, sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam. Selain dari itu kamu dilarang pula bersetubuh dengan istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di dalam masjid. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa larangan-larangan yang telah ditentukan Allah itu tidak boleh kamu dekati dan janganlah kamu melampaui dan melanggarnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia, agar mereka bertakwa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 186
“Dan apabila hamba-hamba-Ku itu bertanya kepada engkau darihal Aku maka sesungguhnya Aku adalah dekat."
Oleh sebab Allah dekat dari kita hamba-hamba-Nya ini, silakanlah memohon dengan ikhlas. Dia tidaklah jauh. Lantaran Dia tiada jauh dari sisimu, tidak usah kamu bersorak keras-keras memanggil-manggil nama-Nya, “Ya, Allah! Ya, Allah! Tolonglah aku! Bantulah aku!" Apa guna suara keras demikian, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri? Mengapa keras-keras, padahal Dia bukan pekak?
Yang kedua, lantaran Dia dekat, tidaklah perlu memakai orang perantaraan atau wasilah. Terang-terang Dia berfirman.
“Serulah Aku, supaya Aku perkenankan seruan-mu itu" (al-Mu'min: 60)
Di dalam surah al-Waaqi'ah (surah 56), tentang seorang yang telah menarik nafasnya yang penghabisan akan mati bahwa di saat sakaratul maut itu pun Allah ada di sana,
“Dan Kami adalah lebih dekat kepadanya daripada kamu, akan tetapi kamu tidak melihat." (al-Waaqi'ah: 85)
Berdasar kepada ujung ayat di atas maka jadikanlah bulan puasa itu sebuah bulan yang penuh dengan ibadah, membaca Al-Qur'an, shalat, dan berdoa. Oleh karena doa adalah
Dari hal dekatnya Tuhan kita, perlu kita memakai berbagai penaksiran, sebab Zat Yang Mahakuasa itu meliputi seluruh alam, dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya tidaklah kuat kita membicarakannya. Moga-moga latihan jiwa kita sendiri sebagaimana selalu dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf akan dapat memberi kita pengetahuan yang lebih dalam dari hal dekatnya Tuhan kita kepada kita. Yang penting ialah memohon langsung kepada-Nya, jangan memakai perantaraan. Kalau Dia sendiri telah menyatakan Dia dekat, guna apa kita mencari perantaraan lagi? Orang yang menyembah berhala kita cela karena mereka memakai perantaraan berhala buat me-nyampaikan kepada Allah, akan kita diamkan sajakah orang yang bila ditimpa kesusahan menyeru nama Sayyid Abdulqadir Jailani atau Syekh Samman?
Padalanjutanayat.Allahyangmemesankan bahwa Dia dekat dari hamba-hamba-Nya itu, berfirman lagi, “Aku perkenankan permohonan orang yang memohon apabila dia memohon kepada-Ku."
Apa kesan yang kita dapat dari bunyi lanjutan ayat ini? Allah telah menutup pintu yang lain. Allah menyuruh kita langsung kepada-Nya. Allah telah menjelaskan di sini, kepada-Ku saja, supaya permohonanmu ter-kabul. Sedang dalam ayat tidak sedikit pun terbayang bahwa permohonan baru dikabulkan Allah kalau disampaikan dengan perantaraan Syekh Anu atau Sayyid Fulan! Kemudian datang lagi lanjutan ayat, yang membuatnya lebih jelas lagi,
“Maka, hendaklah mereka sambut setuanku dan hendaklah mereka petcaya kepada-Ku, supaya mereka betoleh kecerdikan."
Terang sekali ayat ini, tidak berbelit-belit.
Pertama, Allah itu dekat.
Kedua, segala permohonan dari hamba-Nya yang memohon akan mendapat perhatian yang sepenuhnya dari-Nya. Tidak ada satu permohonan pun yang bagai air jatuh ke pasir, hilang saja sia-sia, karena tidak didengar atau tidak dipedulikan.
Ketiga, supaya permohonan itu mendapat
perhatian Ilahi, hendaklah si hamba yang memohon itu menyambut pula terlebih dahulu bimbingan dan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya.
Keempat, dan amat penting, yaitu hendaklah percaya benar-benar, beriman benar-benar kepada Allah.
Kelima, dengan sebab menyambut seruan Allah dan percaya penuh kepada Allah, si hamba akan diberi kecerdikan. Si hamba akan diberi petunjuk jalan yang akan ditempuh hingga tidak tersesat dan tidak berputus asa.
Seandainya kata dekat kita perluas lagi, dapat kita pahamkan bahwa Allah dekat dan kita pun wajib mendekatkan diri kepada-Nya. Kalau seruan-Nya tidak disambut dan kepercayaan kepada-Nya tidak penuh, betapa pun kita mencari-Nya, Dia akan tetap jauh. Bukan Dia yang jauh, tetapi kita sendiri telah amat jauh. Jika boleh diambil misal yang mudah, dapAllah kita misalkan orang-orang yang miskin atau gembel yang karena tidak ada rumah, tidur atau duduk sehari-harian di muka sebuah bank yang di sana tersimpan emas berjuta-juta harganya. Meskipun jarak si gembel dengan uang itu hanya dinding saja, tetapi bagi dia uang itu sangat jauh. Atau seumpama dua orang bertetangga dekat, berdekat rumah telah bertahun-tahun, tetapi tidak kenal-mengenal, karena hidup nafsi-nafsi. Sebab itu, mereka sangat berjauhan.
Maka, orang yang tidak menyambut seruan Allah dan yang tidak membina imannya kepada Allah, orang yang maksiat atau mempersekutukan yang lain dengan Allah, kian lama jauhlah dari Allah walaupun Allah itu tetap berada di dekatnya. Lantaran itu susahlah permohonannya akan terkabul.
Menyambut seruan Allah dan iman kepada Allah adalah jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Apabila sudah dekat, Allah pun berjanji akan memberikan petunjuk sehingga menjadi orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana.
Dalam mengerjakan puasa, dilatihlah dia dalam ibadah dan doa. Bertambah makrifat kepada Allah bertambah pulalah tertanam rasa ikhlas dan tawakal. Ikhlas yaitu jujur dan tutus. Tawakal ialah menyerah dengan tidak separuh hati. Dan, kalau mendapat percobaan iman, dapAllah bertahan dengan sabar.
Cobalah kita perhatikan! Ayat yang sebuah ini terletak di tengah-tengah, ketika membicarakan dari hal puasa dan hukum-hukumnya. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan tidak ada hubungan ayat ini dengan yang sebelum-nya atau yang sesudahnya, padahal erat sekali hubungan itu.
Sebab, doa orang yang sedang puasa itu lebih dekat dikabulkan, sebagaimana yang dirawikan oleh Imam Abu Dawud ath-Thayatisi dalam Musnad-nya, diterima dari Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Aku dengar Rasulullah ﷺ bersabda,
‘Bagi orang yang berpuasa itu, ketika dia berbuka adalah doa yang mustajab.'"
Terdapat pula sebuah hadits dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan an-Nasa'i dan Tirmidzi dan Ibnu Majah, diterima daripada Abu Hurairah r.a., berkata dia bahwa berkata Rasulullah ﷺ,
“Bertiga yang doanya tidak akan ditolak: imam (kepala pemerintah) yang adil, orang yang puasa sampai dia berbuka, dan orang yang teraniaya. Akan diangkat doa itu oleh Allah ke atas awan di Hari Kiamat dan akan dibukakan baginya pintu langit, lalu Allah berfirman, ‘Demi kemuliaan-Ku! Sesungguhnya, akan Aku tolong engkau walaupun sesudah sebentar waktu.'"
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan di dalam mengerjakan ibadah dan doa ataupun berpuasa itu. Di dalam surah adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman bahwa maksud Allah menjadikan jin dan manusia hanyalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Jadi, adanya ibadah kepada Allah adalah bergantung pada adanya manusia. Manusia dijadikan Allah dengan perantaraan bertemunya laki-laki dengan perempuan. Selama dunia terkembang, manusia mesti selalu ada di muka bumi. Sebab itu, apabila orang sudah terlalu asyik beribadah kepada Allah, sekali-kali jangan lupa bahwa dia pun mempunyai kewajiban lain lagi, yaitu mengembangkan keturunan. Maka, ketika syari'at puasa sudah diturunkan Allah, banyak sahabat Rasulullah yang memandang bahwa kalau sudah berpuasa hendaklah pada malam harinya juga berpuasa dari mendekati istri. Bahkan ada juga yang mencoba wishal, terus-menerus puasa dengan tidak berbuka dan tidak sahur.
Seorang sahabat Rasulullah yang besar, yaitu Umar bin Khaththab yang berpikiran tajam itu merasa dalam hatinya bahwa tidak mungkin agama memberati sedemikian rupa sehingga nafsu kelamin juga mesti dihentikan malam hari. Meskipun sahabat-sahabat yang lain banyak yang benar-benar menjauhi istri pada malam hari puasa itu, beliau sendiri merasa hal yang sedemikian rupa tidaklah kehendak agama Islam. Meskipun syari'at puasa ini telah disyari'atkan juga kepada umat yang dahulu-dahulu sehingga pendeta-pendeta Kristen ada yang menjauhi perkawinan sama sekali, beliau Umar bin Khaththab merasa kehendak Islam tidak sampai sedemikian. Sebab itu, di satu malam beliau lakukanlah apa yang dilakukan suami terhadap istri. Dan, siangnya, untuk menghilangkan keraguan, beliau menemui Rasulullah dan menyatakan keadaan yang sebenarnya. Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, Umar pun datanglah meminta penjelasan kepada Rasulullah. Maka, turunlah ayat ini,
Ayat 187
“Dihalalkan bagi kamu pada malam puasa bercampur kepada istri kamu."
Di dalam ayat dikatakan rafatsu. Menurut bahasa, rafatsu ialah segala senda gurau dan percakapan di antara suami-istri ketika mereka mulai seketiduran. Kita artikan saja dengan bercampur, menurut jiwa yang terkandung dalam ayat. Ini karena tidak pernah Al-Qur'an memakai perkataan yang tepat terhadap urusan persetubuhan, melainkan selalu memakai kata-kata halus.
Lalu, lanjutan ayat, “Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka." Kalimat-kalimat ini pun adalah kata-kata yang sangat halus dan mendidik sopan santun di antara manusia. Sebab, apabila suami-istri telah berjumpa secara suami-istri benar-benarlah mereka pakAl-memakai, bahkan menjadi satu tubuh sehingga disebut juga setubuh dalam bahasa kita.
Demikianlah Allah menyatakan bahwa pada malam hari hal itu adalah hal yang halal dan tidak menghalangi puasa. Kemudian, disesali orang-orang yang selama ini sampai menjauhi pula urusan persuami-istrian itu dengan sambungan firman-Nya, “Allah mengetahui bahwasanya kamu telah berkhianat kepada diri-diri kamu!' Karena, pada waktu yang halal kamu sendiri mengharamkan diri melakukan tugas sebagai manusia yang beristri. Ini namanya mengkhianati hukum! Padahal sambungan turunan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah jua adanya."Maka, telah diampuni-Nya kamu dan dimaafkan-Nya kamu." Meskipun hal ini belumlah dosa besar, apatah lagi mereka meninggalkan persuami-istrian itu adalah karena belum tahu, di sini Tuhan memakai kata memberi ampun dan maaf. Tandanya kalau hal yang demikian mereka teruskan juga, Artinya, mengubah maksud puasa untuk takwa dengan cara yang lain yang bukan dari ajaran Islam. Lantaran itu, Tuhan lanjutkan, “Maka, sekarang singgunglah mereka, dan carilah apa yang telah ditentukan Allah buat kamu." Di sini sekali lagi terdapat kata-kata halus, yang dalam bahasa aslinya dikatakan basyiruhunna, yang kita pilih arti ke bahasa Indonesia dengan singgunglah mereka, yaitu bersenda gurau menurut kebiasaan suami-istri.
Tentu saja karena yang dilarang pada siang hari itu bukan persetubuhan suami-istri saja, tetapi juga makan dan minum, maka dijelaskan lagi pada lanjutan ayat, “Dan makanlah dan minumlah, sehingga berbeda bagi kamu tali putih dari tali hitam dari waktu fajar." Jadi, kesimpulannya ialah bahwa sebelum berbeda “tali putih" yaitu bayangan fajar dengan “tali hitam" ialah gelap malam, bolehlah kamu melakukan kebiasaan suami-istri dan bolehlah makan, bolehlah minum sesukamu. Akan tetapi, apabila tali putih, bayangan fajar merah di sebelah timur telah tampak, dan tali hitam yaitu gelap malam mulai hendak hilang, berhentilah dari segalanya itu.
Tentang “tali putih" dan “tali hitam" ini ada pula satu riwayat jenaka yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwasanya sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Adi bin Hatim, putra dari Hatim ath-Thai yang terkenal, yang dahulunya memeluk agama Nasrani, kemudian datang menghadap Rasululah dan langsung memeluk Islam. Dia adalah seorang Muslim yang taat dan setia. Demikian setianya memegang bunyi ayat, sehingga diletakkannya dua potong benang-benang di atas kasurnya, sepotong benang putih dan sepotong benang hitam. Sebelum matanya dapat membedakan warna putih dan warna hitam kedua potong benang itu, beliau masih makan sahur. Setelah jelas perbedaannya karena fajar telah menyingsing, barulah beliau berhenti makan. Lalu, dia datang kepada Rasulullah menerangkan perbuatannya itu. Berkatalah Rasulullah kepadanya sambil tersenyum, “Kasur tempat kamu meletakkan kedua benang itu amat luas, hai Adi. Sebab, yang dimaksud dengan tali putih ialah merah fajar tanda hari telah siang dan tali hitam ialah gelap malam yang telah ditinggalkan."
“Kemudian itu sempurnakanlah puasa sampai malam," yaitu sampai matahari telah terbenam dan dengan demikian datanglah waktu Maghrib; waktu itu segeralah bukakan puasamu. Kemudian, berkenaan dengan per-suami-istrian tadi dilanjutkan lagi peringatan, “Dan jangan kamu singgung mereka, padahal kamu sedang iktikaf di dalam masjid-masjid Artinya, meskipun pada malam harinya kamu bebas melakukan persuami-istrian dengan istri kamu, tetapi kalau kamu sedang melakukan ibadah iktikaf di masjid, janganlah istrimu disinggung yang akan membawa kepada setubuh walaupun di malam hari. Apatah lagi siang! Sebab ibadah iktikaf, yaitu duduk tafakur di dalam salah satu masjid pun adalah menjadi syari'at pula. Dianjurkan melakukannya, entah buat sehari, dua hari, seminggu, atau dua minggu. Maka, kalau niat telah kamu pasang buat iktikaf, janganlah dia gagal karena engkau telah bersenda gurau lagi dengan istrimu. Selanjutnya, Allah berfirman, “Itulah batas-batas Allah maka janganlah kamu dekati akan dia."
Maka, pada saat yang tertentu itu, yaitu siang hari seluruhnya ditambah dengan malam harinya pun kalau sedang iktikaf, Allah telah menentukan batas, jangan mendekat-dekat kepada batas itu. Sebab, kalau sudah terlalu dekat, bahayanya besar jika berdekatan di saat yang terlarang itu, dengan timbulnya syahwat akan mengancam puasa yang sedang berlaku dan iktikaf yang tengah dilaksanakan. Apalagi bocornya puasa karena bersetubuh berat juga dendanya; memerdekakan budak, dan kalau tidak sanggup, wajib diganti dengan memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang; dan kalau tidak sanggup, wajib puasa dua bulan berturut-turut. Dan, menurut ijtihad seorang ulama besar Abu Ali al-Qali, ketika salah seorang khalifah bani Umayyah meminta fatwanya apa kaffarab (denda) yang akan dilakukan terhadap diri baginda sebab baginda telah terdekat kepada istri lalu telanjur sehingga bocor puasanya. Ulama itu telah berfatwa bahwa baginda wajib puasa dua bulan berturut-turut. Demikian patuh khalifah terhadap fatwa ulama sehingga baginda puasa dua bulan berturut-turut. Lalu, seorang murid bertanya kepada ulama besar itu, apa sebab beliau berfatwa demikian, padahal urutan sabda Nabi itu puasa dua bulan berturut-turut adalah yang ketiga, sesudah tidak sanggup memerdekakan budak atau memberi makan fakir miskin. Orang alim itu menjawab, “Kalau aku fatwakan memerdekakan seorang budak, seratus budak pun baginda sanggup memerdekakan. Kalau aku ganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin, enam ribu orang miskin pun baginda sanggup memberi makan. Nanti baginda telanjur lagi. Namun, dengan aku memfatwakan puasa dua bulan berturut-turut, baginda kelak dengan sendirinya akan jera mendekati batas-batas yang ditentukan Allah karena puasa dua bulan berturut-turut adalah amat berat bagi orang sebagaimana baginda."
Kemudian, Allah menutup firman-Nya tentang urusan puasa demikian,
“Demikianlah Allah telah menjelaskan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya Mereka jadi takwa."
Niscaya panjang lebar pulalah di dalam kitab-kitab fiqih buah pikiran ulama-ulama kita tentang bimbingan berpuasa ini. Kadang-kadang lantaran sangat dalam ijtihad beliau timbullah hal-hal yang rumit sehingga ada yang mengatakan bercelak mata ketika puasa membatalkan puasa. Ada juga yang mengatakan bahwa muntah pun membatalkan puasa, bahkan ada yang berpendapat bahwa luka pun membatalkan puasa. Maka, sebelum kita menilai ijtihad-ijtihad beliau-beliau itu, akan diikut atau tidak dapat diterima, terlebih dahulu hendaklah kita rasakan benar-benar bunyi di dalam ayat ini. Karena susunan ayat benar-benar menunjukkan cinta kasih Allah akan hamba-Nya. Benar-benar menunjukkan bahwa Allah menjatuhkan suatu perintah bukanlah mempersukar, melainkan yang mudah dikerjakan. Yang pokok ialah memupuk iman dan takwa.
Dan, tidaklah bertemu dalam Al-Qur'an pertengkaran perkara puasa dengan ru'yatul hilal atau dengan hisab. Karena ru'yatul hilal (pergi melihat terbitnya bulan baru) memang ada dasarnya. Begitulah yang dianjurkan Rasulullah ketika beliau hidup sebab pada waktu itu umat masih ummi. Dan, memakai hisab pun ada dasarnya, yaitu bahwa Rasulullah tidak menghendaki supaya ke-ummi-an (tidak tahu tulis-baca) itu supaya dipertahankan terus-menerus. Maksud ialah mengeluarkan manusia dari gelap kejahilan kepada terang-benderang pengetahuan. Kemajuan ilmu tentang hisab, terutama di zaman sekarang, sudahlah sama dimaklumi dan sudah kita turuti. Shalat lima waktu yang lebih berat hukumnya daripada puasa, telah kita turuti menurut jam dan jam seluruh dunia (inter-nasional) pun telah kita pakai. Tidak lagi menunggu Shubuh dengan pergi melihat fajar, menunggu Zhuhur dengan menentang matahari melihat apa sudah tergelincir dari pertengahan siang atau belum, waktu Ashar tidak lagi kita mengukur bayang-bayang lebih dari panjang diri, waktu Maghrib tidak lagi kita tilik apakah matahari sudah terbenam atau belum, waktu Isya tidak lagi kita menunggu habisnya syafaq yang merah di pinggir langit sebelah barat.
Yang penting bagi kita bukanlah mempertentangkan hisab dan ru'yah, melainkan menegakkan iman dan takwa. Dan, pemerintah yang bijaksana dapAllah mempergunakan keduanya sebab hisab yang sejati tidaklah ber-selisih dengan ru'yah sejati. Kalaupun pemerintah misalnya memutuskan memakai hisab, tidak jugalah salah sebab ilmu tentang hisab itu di zaman sekarang telah mempunyai alat-alat yang lengkap, menjadi sebagian dari ilmu alam atau ilmu falak yang dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu, tidaklah ada salahnya jika suatu pemerintah Islam mengadakan panitia hisab yang menghisab perjalanan bulan itu lalu mengeluarkan perintah memulai dan menutup puasa dengan berdasar pada penyelidikan ahli hisab itu. Karena maksud pemerintah melihat bulan bukanlah berarti soal lihatnya, melainkan soal guna menegaskan dan meyakinkan bahwa bulan telah wujud. Hisab yang teliti jauh lebih dapat di-pertanggungjawabkan daripada semata-mata pergi melihat.
Di Republik Indonesia, di zaman Menteri Agama K.H. Fakih Usman telah beliau kerahkan setiap kantor-kantor agama di seluruh Indonesia benar-benar pergi melihat bulan ke tempat bulan dapat dilihat. Dan, beliau beri kebebasan orang-orang percaya kepada hisab agar puasa pula menurut keyakinan hisabnya. Oleh karena melihat bulan itu telah dilakukan dengan teliti, selama K.H. Fakih Usman menjadi menteri agama dan digantikan oleh menteri-menteri lain yang memegang teguh peraturan yang telah beliau adakan itu, tidaklah pernah terjadi perselisihan di antara pemegang ru'yah dengan pemegang hisab.
Sebab, dahulu-dahulu telah terjadi perselisihan hisab dan ru'yah, terutama di zaman penghulu-penghuiu di tanah jawa menguasai urusan masjid, demikian pula ulama-ulama kerajaan di zaman ada sultan-sultan, ialah karena mereka tidak mengadakan panitia melihat bulan, puasa saja menurut tradisi dan menghukum sesat, dan “kaum muda" orang-orang yang berpegang hisab. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tukang hisab sama dengan tukang tenung! Ialah karena pengetahuan mereka tentang itu tidak ada dan berpikir agama telah membeku.
Akan tetapi, ada pula seorang menteri agama yang mencap dan menuduh orang-orang yang berpuasa menurut hisab itu tidak menurut perintahnya berkenan dengan memulai dan menutup puasa, bahwa orang itu memecah persatuan nasional. Dengan kekuasaan, dia hendak memaksakan pahamnya kepada orang banyak sehingga mendapat tantangan di mana-mana.
Kesimpulannya, menurut penafsir ini ialah bahwa perintah Rasul menyuruh melihat bulan untuk memulai atau menyudahi puasa, ialah supaya jelas benar bahwa Ramadhan masuk atau telah habis. Maka, Rasul tidaklah melarang orang memakai alat yang lebih modern daripada hanya mata, yaitu alat perkakas hisab, untuk menyatakan jelas telah masuknya atau habisnya bulan Ramadhan.