Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
ذَرَأۡنَا
Kami sediakan
لِجَهَنَّمَ
untuk neraka Jahanam
كَثِيرٗا
kebanyakan
مِّنَ
dari
ٱلۡجِنِّ
Jin
وَٱلۡإِنسِۖ
dan manusia
لَهُمۡ
bagi mereka
قُلُوبٞ
hati
لَّا
tidak
يَفۡقَهُونَ
memahami
بِهَا
dengannya(ayat-ayat)
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
أَعۡيُنٞ
mata
لَّا
tidak
يُبۡصِرُونَ
melihat
بِهَا
dengannya (tanda-tanda)
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
ءَاذَانٞ
telinga
لَّا
tidak
يَسۡمَعُونَ
mendengar
بِهَآۚ
dengannya (ayat-ayat)
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
كَٱلۡأَنۡعَٰمِ
seperti binatang ternak
بَلۡ
bahkan
هُمۡ
mereka
أَضَلُّۚ
lebih sesat
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡغَٰفِلُونَ
orang-orang yang lalai
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
ذَرَأۡنَا
Kami sediakan
لِجَهَنَّمَ
untuk neraka Jahanam
كَثِيرٗا
kebanyakan
مِّنَ
dari
ٱلۡجِنِّ
Jin
وَٱلۡإِنسِۖ
dan manusia
لَهُمۡ
bagi mereka
قُلُوبٞ
hati
لَّا
tidak
يَفۡقَهُونَ
memahami
بِهَا
dengannya(ayat-ayat)
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
أَعۡيُنٞ
mata
لَّا
tidak
يُبۡصِرُونَ
melihat
بِهَا
dengannya (tanda-tanda)
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
ءَاذَانٞ
telinga
لَّا
tidak
يَسۡمَعُونَ
mendengar
بِهَآۚ
dengannya (ayat-ayat)
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
كَٱلۡأَنۡعَٰمِ
seperti binatang ternak
بَلۡ
bahkan
هُمۡ
mereka
أَضَلُّۚ
lebih sesat
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡغَٰفِلُونَ
orang-orang yang lalai
Terjemahan
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
Tafsir
(Dan sesungguhnya Kami jadikan) Kami ciptakan (untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah) yakni perkara hak (dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah) yaitu bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan Allah dengan penglihatan yang disertai pemikiran (dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah) ayat-ayat Allah dan nasihat-nasihat-Nya dengan pendengaran yang disertai pemikiran dan ketaatan (mereka itu sebagai binatang ternak) dalam hal tidak mau mengetahui, melihat dan mendengar (bahkan mereka lebih sesat) dari hewan ternak itu sebab hewan ternak akan mencari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan ia akan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya tetapi mereka itu berani menyuguhkan dirinya ke dalam neraka dengan menentang (mereka itulah orang-orang yang lalai).
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam. (Al-A'raf: 179) Artinya, Kami ciptakan dan Kami jadikan mereka untuk isi neraka Jahannam. kebanyakan dari jin dan manusia. (Al-A'raf: 179) Yakni Kami sediakan mereka untuk isi neraka Jahannam, dan hanya amal ahli nerakalah yang dapat mereka kerjakan.
Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala ketika hendak menciptakan mereka, Dia telah mengetahui apa yang bakal mereka amalkan sebelum kejadian mereka. Lalu hal itu Dia catatkan di dalam suatu kitab (Lauh Mahfuz) yang ada di sisi-Nya, yang hal ini terjadi sebelum langit dan bumi diciptakan dalam tenggang masa lima puluh ribu tahun. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim melalui riwayat Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah mencatat takdir-takdir makhluk-(Nya) sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jarak masa lima puluh ribu tahun, sedangkan A'rasy-Nya berada di atas air.
Di dalam kitab Shahih Muslim pula telah disebutkan melalui hadits Aisyah binti Talhah, dari bibinya (yaitu Siti Aisyah , Ummul Muminin). Dia telah menceritakan: bahwa Nabi ﷺ diundang untuk menghadiri pemakaman jenazah seorang bayi dari kalangan kaum Anshar. Lalu Siti Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah, beruntunglah dia, dia akan menjadi burung pipit surga, dia tidak pernah berbuat keburukan dan tidak menjumpainya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Wahai Aisyah, tidaklah seperti itu. Sesungguhnya Allah telah menciptakan surga dan Dia telah menciptakan pula para penghuninya, sedangkan mereka masih berada di dalam sulbi bapak-bapak mereka.
Dan Allah telah menciptakan neraka, dan Dia telah menciptakan pula para penghuninya, sedangkan mereka masih berada di dalam sulbi bapak-bapak mereka. Di dalam kitab Shahihain, melalui hadits Ibnu Mas'ud disebutkan seperti berikut: Kemudian Allah mengirimkan malaikat kepadanya, malaikat diperintahkan untuk mencatat empat kalimat. Maka dicatatlah rezekinya, ajalnya, dan amalnya serta apakah dia orang yang Celaka ataukah orang yang berbahagia Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa ketika Allah mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbinya dan menjadikan mereka dua golongan, yaitu gotongan kanan dan golongan kiri, maka Allah berfirman:
Mereka untuk menghuni surga dan Aku tidak peduli. Dan mereka untuk menghuni neraka dan Aku tidak peduli. Hadits-hadits yang menerangkan masalah ini cukup banyak. Masalah takdir memang merupakan suatu pembahasan yang cukup panjang, tetapi disebutkan dalam kitab yang lain, bukan kitab ini tempatnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). (Al-Araf: 179) Dengan kata lain, mereka tidak memanfaatkan sesuatu pun dari indera-indera ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai sarana untuk mendapat hidayah, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit jua pun bagi mereka, karena selalu mengingkari ayat-ayat Allah (al Ahqaf: 26) hingga akhir hayat Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). (Al-Baqarah: 18) Demikianlah sifat orang-orang munafik.
Sedangkan mengenai sifat orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Mereka tuli, bisu, dan buta; maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171) Pada kenyataannya mereka tidak tuli, tidak bisu, dan tidak buta, melainkan hanya terhadap hidayah, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedangkan mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). (Al-Anfal: 23) Karena sesungguhnya bukanlah mata itu buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46) Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan); maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.
Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (Az-Zukhruf: 36-37) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka itu seperti binatang ternak (Al-A'raf: 179) Maksudnya, mereka yang tidak mau mendengar perkara yang hak, tidak mau menolongnya serta tidak mau melihat jalan hidayah adalah seperti binatang ternak yang terlepas bebas. Mereka tidak dapat memanfaatkan indera-indera tersebut kecuali hanya yang berkaitan dengan masalah kedumavrfiannya saja.
Perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. (Al-Baqarah: 171) Perumpamaan mereka di saat mereka diseru kepada keimanan sama dengan hewan ternak di saat diseru oleh penggembalanya; ternak itu tidaklah mendengar selain hanya suaranya saja, tanpa memahami apa yang diserukan penggembalanya. Karena itulah dalam ayat ini mereka disebutkan oleh firman-Nya: Bahkan Mereka lebih sesat Lagi (Al Araf 179) Yakni lebih sesat daripada hewan ternak, karena hewan ternak adakalanya memenuhi seruan penggembalanya di saat penggembalanya memanggilnya, sekalipun ia tidak mengerti apa yang diucapkan penggembalanya.
Lain halnya dengan mereka. Hewan ternak melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang diciptakan untuknya, adakalanya berdasarkan tabiatnya, adakalanya pula karena ditundukkan. Lain halnya dengan orang kafir, karena sesungguhnya dia diciptakan hanya semata-mata untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya, tetapi ternyata dia kafir dan mempersekutukan-Nya. Karena itu, disebutkan bahwa barang siapa yang taat kepada Allah, maka dia lebih mulia daripada malaikat ketak di hari dia kembali ke alam akhirat.
Dan barang siapa yang kafir kepada Allah, maka hewan ternak lebih sempurna daripadanya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 179)"
Jika pada ayat yang lalu berbicara tentang siapa yang mendapat petunjuk dan disesatkan, pada ayat ini dijelaskan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain disesatkan. Dan demi keagungan dan kekuasaan Kami, sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia karena kesesatan mereka. Hal itu karena mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka layaknya seperti hewan ternak yang tidak menggunakan akal yang diberikan Allah untuk berpikir, bahkan mereka sebenarnya lebih sesat lagi dari binatang, sebab, binatang itu'dengan instinknya' akan selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya, sementara mereka itu malah menolak kebaikan dan kebenaran yang ada. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
Demikianlah, seseorang terjerumus ke dalam neraka karena mengabaikan tanda-tanda keesaan Allah dan tidak mengingat-Nya. Maka pada ayat ini, Allah mengingatkan agar kita tidak melalaikannya dan selalu memanggil-Nya dengan nama-nama-Nya yang terbaik. Dan hanya Allah Yang memiliki al-Asma'' al-a'usna', yakni nama-nama terbaik yang menunjukkan keagungan dan kemahasempurnaan-Nya, maka berdoalah dan bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya, yaitu al-Asma' ala'usna' itu. Dan tinggalkanlah serta waspadalah terhadap orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dengan menyalahartikan nama-nama-Nya. Jangan dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan menyebut nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat keagungan Allah, atau dengan memakai al-Asma' al-Husna', tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan al-Asma' al-Husna' untuk nama-nama selain Allah. Mereka kelak, di dunia atau di akhirat, akan mendapat balasan yang sesuai dengan kadar kedurhakaan mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
Kemudian Allah dalam ayat ini menguraikan apa yang tidak terperinci pada ayat-ayat yang lampau tentang hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya manusia ke dalam kesesatan. Allah menjelaskan banyak manusia menjadi isi neraka Jahanam seperti halnya mereka yang masuk surga, sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
Hal-hal yang menyebabkan manusia itu diazab di neraka Jahanam ialah: bahwa akal dan perasaan mereka tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah, padahal kepercayaan pada keesaan Allah itu membersihkan jiwa mereka dari segala macam was-was dan dari sifat hina serta rendah diri, lagi menanamkan pada diri mereka rasa percaya terhadap dirinya sendiri.
Demikian pula mereka tidak menggunakan akal pikiran mereka untuk kehidupan rohani dan kebahagiaan abadi. Jiwa mereka terikat kepada kehidupan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah:
"Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai." (ar-Rum/30: 7)
Mereka tidak memahami bahwa tujuan mereka diperintahkan menjauhi kemaksiatan, dan berbuat kebajikan, adalah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka tidak memahami hukum-hukum masyarakat dan pengaruh kepercayaan agama Islam dalam mempersatukan umat. Mereka tidak memahami tanda-tanda keesaan Allah, baik dalam diri manusia maupun yang ada di permukaan bumi. Mereka tidak memahami dan merenungkan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.
Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran dan keesaan Allah. Segala kejadian dalam sejarah manusia, segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia setiap hari, yang dilihat dan yang didengar, tidak menjadi bahan pemikiran dan renungan untuk dianalisa dan hal ini disimpulkan Allah dalam firman-Nya:
"Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka memperolok-olokkannya telah mengepung mereka." (al-Ahqaf/46: 26)
Mereka tidak dapat memanfaatkan mata, telinga, dan akal sehingga mereka tidak memperoleh hidayat Allah yang membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Keadaan mereka seperti binatang bahkan lebih buruk dari binatang, sebab binatang tidak mempunyai daya-pikir untuk mengolah hasil penglihatan dan pendengarannya. Binatang bereaksi dengan dunia luar berdasarkan naluri dan bertujuan hanyalah untuk mempertahankan hidup. Dia makan dan minum, serta memenuhi kebutuhannya, tidaklah melampaui dari batas kebutuhan biologis hewani. Tetapi bagaimana dengan manusia, bila sudah menjadi budak hawa-nafsu. Dan akal mereka tidak bermanfaat lagi. Mereka berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jasmani mereka sendiri, berlebihan dalam mengurangi hak orang lain. Diperasnya hak orang lain bahkan kadang-kadang di luar perikemanusiaan.
Bila sifat demikian menimpa satu bangsa dan negara, maka negara itu akan menjadi serakah dan penindas bangsa dan negara lain. Mereka mempunyai hati (perasaan dan pikiran), tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat (Allah). Mereka lupa dan melalaikan bukti-bukti kebenaran Allah pada diri pribadi, pada kemanusiaan dan alam semesta ini, mereka melupakan penggunaan perasaan dan pikiran untuk tujuan-tujuan yang luhur dan meninggalkan kepentingan yang pokok dari kehidupan manusia sebagai pribadi dan bangsa.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERHATI, TETAPI TAK MAU MENGERTI
Ayat 179
“Dan, sesungguhnya telah Kami sediakan untuk nenaka Jahannam beberapa banyak dari jin dan manusia. Pada mereka ada hati, (tetapi) mereka tidak mau memerhatikan dengan dia. Dan, pada mereka ada mata, (tetapi) mereka tidak mau melihat dengan dia. Dan, pada mereka ada telinga, (tetapi) mereka tidak mau mendengarkan dengan dia."
Di dalam segala bahasa terdapat perkataan hati. Dan, perkataan hati ini, baik dalam bahasa Arab bahasa Al-Qur'an, atau dalam bahasa kita sendiri mempunyai dua arti. Pertama hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dadanya. Itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh. Kemudian lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga rasa hati atau hati kecil atau hati sanubari atau hati nurani. Sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berpikir ialah dari otak, bukan dari hati. Akan tetapi, bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan pikiran nurani. Imam Ghazali panjang lebar membicarakan akal, hati, dan ruh, di dalam kitab Ihya Ulumiddin, yang beliau simpulkan bahwa arti ketiga kata itu hanyalah satu saja.
Ayat ini menyatakan bahwa dua makhluk Allah yang utama, pertama Jin, kedua manusia, telah diberi oleh Allah hati. Maka, boleh juga kita artikan bahwa mereka telah diberi Allah otak buat berpikir. Akan tetapi, mereka telah disediakan buat menjadi isi neraka jahannam, kalau hati itu tidak mereka gunakan buat mengerti, berpikir, merenung atau buat memahamkan.
Di sini tersebut “yafqahuun", artinya berpikir atau berpaham. Menurut ahli bahasa, orang yang berpikir atau orang yang berpaham ialah orang yang dapat melihat yang tersirat di belakang yang tersurat. Melihat nyata barang yang tidak tampak, yang ada di balik yang tampak. Pada ayat ini didahulukan menyebut hati dan berpaham, daripada menyebut mata dan melihat dan telinga dan mendengar. Sebab, mata dan telinga adalah dua pancaindra yang menjadi alat saja bagi hati untuk berhubungan ke luar diri. Apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga, dibawa ke dalam hati dan dipertimbangkan. Seumpama matahari dan bulan kelihatan oleh mata sama besarnya, tetapi hati menyatakan tidak!
Misalnya kita berdiri di hadapan rumah kita pagi-pagi di kala matahari mulai naik. Yang mula kelihatan ialah alam sekeliling kita: matahari, tumbuh-tumbuhan, rumah, burung terbang, kembang dan sebagainya. Semua kelihatan oleh mata. Kemudian kelihatan ayam berkokok, didengar oleh telinga. Semuanya menjadi perhatian. Lama-lama hati tadi mulai berfiqih, artinya menaruh perhatian, sehingga kian lama kian tampaklah oleh hati barang yang tidak tampak oleh mata dan tidak terdengar oleh telinga. Mulanya kelihatanlah bahwa tumbuh-tumbuhan itu adalah hidup.
Burung-burung yang bernyanyi itu adalah hidup. Padahal, zat hidup itu tidak kelihatan oleh mata, hanya kelihatan oleh hati, sebab diperhatikan. Sesudah itu meningkat lagi, lalu hati tadi memerhatikan diri kita sendiri, yaitu diri yang melihat dan mendengar dan memerhatikan itu. Siapa aku? Kemudian, setelah ketiganya itu tampak oleh mata dan oleh hati, terdengar oleh telinga dan hati, sampailah kepada kesimpulan bahwasanya ketiganya itu tergabung menjadi satu, dan tidak mungkin terjadi dengan kebetulan, pasti ada yang mengadakan.
Di dalam ayat ini didahulukan menyebut jin dan manusia. Sebagaimana telah kita ketahui beberapa ayat, jin ialah makhluk halus yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra manusia. Mungkin sekali disebut terlebih dahulu karena merekalah yang lebih besar mempunyai sifat-sifat yang disebutkan itu, yaitu kelalaian dan tidak ada pengertian atau perhatian, termasuklah setan iblis di dalam golongan jin, sebab satu asalnya, yaitu dari nyala api. (surah ar-Rahmaan ayat 15)
Ayat ini menerangkan bahwa semua makhluk insan atau jin itu telah sama diberi hati (pikiran), mata, dan telinga oleh Allah. Tentu saja hati, mata, dan telinga jin menurut keadaannya pula, yang kita tidak tahu bagaimana rupanya. Akan tetapi, di kalangan mereka banyak yang tidak mempergunakannya dengan baik. Hati tidak dibawa buat mengerti, mata tidak dibawa buat melihat, telinga tidak dibawa buat mendengar. Artinya, tidak mereka berpikir untuk mencari mana yang benar, mana yang bersih dan tidak, mereka hendak mencapai hakikat yang sejati, yaitu kebenaran dan keesaan Allah, sehingga bergelut dan ber-gelimanglah diri mereka dengan khurafat, kebodohan, jiwa kecil, dan kehinaan. Misalnya, dilihatnya beringin besar dan rindang lalu timbul takutnya lalu disembahnya. Nanti kelihatan lagi batu besar yang seram lalu di-sembahnya pula. Kelihatan olehnya gunung yang tinggi dan gagah perkasa lalu disembahnya pula, sebab hatinya tidak lanjut berpikir untuk sampai kepada hakikat pencipta alam. Sedang orang yang perhatiannya telah sampai kepada satu titik terakhir dari pemikiran sehingga bebas dari segala macam benda, akan naiklah martabat jiwanya ke tingkat yang tinggi. Sebab, dia telah sampai kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengatur atas alam, dan bebas dia daripada meminta atau memohon atau memuja atau menyembah kepada yang lain.
Sebab itu, di surah Faathir ayat 28, sesudah Allah berturut-turut dalam beberapa ayat menerangkan keadaan alam dan bumi, gunung, sungai, dan warna-warni batu-batu, Allah menegaskan:
“Hanya yang bisa takut kepada Allah ialah ulama." (Faathir: 28)
Dan, ayat ini mengandunglah arti yang dalam, bahwasanya kalau penyelidikan suatu ilmu tidak sampai kepada kesadaran dan takut kepada Allah, belumlah orang mendapat ilmu yang sejati, dan belumlah orang itu ulama. Arti ulama ialah orang-orang yang berilmu.
Sebab itu, ayat ini mengandung anjuran yang tegas, pergunakan hati buat memerhatikan, mata buat melihat dan telinga buat mendengar sehingga berakhir dengan kenal kepada Allah (makrifat), dan itulah dia ilmu. Kalau tidak maka nerakalah tempat mereka. Lalu, di ujung ayat dijelaskan lagi, “Itulah orang-orang yang seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat."
Binatang ternak tidak ada perhatian, sebab yang ada padanya hanya semata-mata hati sebagai bagian tubuh. Apa yang mereka lihat tidak jadi perhatian dan apa yang mereka dengar pun tidak menjadi perhatian. Yang ada padanya hanya naluri. Akan tetapi, manusia yang tidak memakai perhatian itu, lebih juga tersesatnya dari binatang. Bagaimana pun bodohnya binatang, tetapi kejahatannya tidaklah sampai sejahat manusia.
“Mereka itu adalah orang-orang yang lalai."
Orang itu menjadi lalai dan kelalaian itulah yang menyebabkan tidak adanya perhatian. Lalai mereka memerhatikan keselamatan diri mereka dunia dan akhirat. Mereka lalai sebab itu tidak diingatnya arti dirinya sebagai manusia. Mereka lalai sehingga yang mereka ingat hanyalah soal perut berisi. Mereka lalai sehingga tidak ada hubungan jiwanya dengan alam keliling, padahal alam keliling adalah saksi atas adanya Yang Mahakuasa. Mereka lalai, sehingga berpikir hanya sekitar diri, tidak peduli masyarakat; tidak peduli cita-cita bertanah air dan berbangsa. Mereka hanya melihat kulit sehingga isi kehidupan menjadi kosong. Sebab itu, datangnya ke dunia tidak membawa faedah bagi sesama manusia dan kembali masuk kubur pun tidak membawa kerugian bagi orang lain; dan tempatnya di hari nanti ialah di dalam neraka Jahannam.
Kemudian berfirmanlah Allah, setelah memberi peringatan tentang hidup yang sengsara karena tidak mempergunakan hati, mata, dan telinga itu. Allah berfirman supaya orang yang beriman mendekati Allah:
Ayat 180
“Dan, bagi Allah-lah nama-nama yang baik, sebab itu senulah akan Dia dengan nama-nama. itu."
Nama ialah perkataan yang menunjukkan atas sesuatu zat atau menunjukkan zat dan sifat. Allah mempunyai nama-nama dan semua nama itu adalah nama yang baik. Serulah Dia dengan nama-nama-Nya yang semuanya baik itu.
Ayat ini berhubungan rapat dengan ayat yang sebelumnya. Kalau kita telah memper-gunakan hati untuk memerhatikan, untuk berpikir dan berfiqih, dengan kedua alat pancaindra yang penting untuk melihat warna dan bentuk dan mendengar bunyi nyaring, akhirnya perhatian kita akan sampai kepada Zat Yang Mahakuasa. Alam ini seluruhnya adalah syahid atas ada-Nya. Dari pintu yang mana saja pun kita masuk, akhirnya kita akan bertemu dengan Dia.
Kita rasakan jaminan hidup yang diberikan kepada kita dan kita selalu dipelihara, dilindungi dan diberi rezeki maka kita pun bertemulah dengan nama-Nya. Rabbun, Muhaiminun, Razzaq atau Raaziq. Kita rasai benar-benar bahwa kita ini disayangi dan dikasihi maka bertemulah kita dengan nama-Nya Rahman dan Rahim. Kita lihat induk ayam memelihara anak ayam yang masih kecil berlindung di bawah sayapnya dan kita lihat seorang ibu bangun tengah malam segera menyusukan putranya yang masih kecil dan dengan sabar penuh kasih cinta terus menyusukan sampai anak itu tertidur kembali maka bertemulah kita dengan nama-Nya Wadud.
Kita perhatikan hujan turun, kita perhatikan pula orang menggali tanah membornya sehingga minyak tanah keluar dan kita melihat padi masak menguning dan orang mulai menuai, kita merasai nikmat ketika buah-buahan musim maka teringatlah kita bahwa memang dia kaya maka bertemulah nama-Nya Ghaniy.
Sebab itu, bertambah banyak yang kita perhatikan, bertambah akan banyaklah bertemu nama-nama-Nya; al-Asma'ul Husna. Maka, panggillah dia, serulah dia, dengan nama-Nya, dengan salah satu nama-Nya. Sebab, nama-nama itu akan bertemu asal kamu selalu perhatikan.
Kalau engkau lihat tentara berbaris rapat dengan disiplin yang keras dan kuat, engkau bertemu dengan nama-Nya Aziz. Kalau engkau lihat seorang pemimpin atau orang bijaksana menyelesaikan suatu perkara dengan amat bijaksana, akan bertemulah engkau dengan nama-Nya Haakim. Kalau engkau perhatikan betapa majunya ilmu pengetahuan di zaman modern ini, sebagai anugerah-Nya kepada manusia, sebutlah nama-Nya ‘Aliim. Kalau engkau menyelidiki hakikat hidup, yang bertemu pada tumbuh-tumbuhan, pada barang di laut, pada binatang dan pada insan, engkau akan bertemu nama-Nya al-Hayyu. Dan, kalau engkau pun sadar bahwa tidak satu pun yang terlengah dari tilikan Allah, sebab selalu teratur tandanya Allah itu selalu sadar dan bangun, bertemulah engkau dengan nama-Nya Al-Qayyum.
Bertambah luas dan dalam ilmumu bertambah banyak nama-Nya itu bertemu. Akan tetapi, Nabi ﷺ menerangkan bahwa nama Allah yang banyak itu dapatlah engkau simpulkan menjadi 99 (sembilan puluh sembilan) yang harus diingat-ingat, tetapi pada hakikatnya nama Allah itu lebih banyak dari itu.
Nabi ﷺ bersabda, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah demikian bunyinya:
“Sesungguhnya bagi Allah itu adalah sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa yang menghitungnya masuklah cita ke surga." (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian selanjutnya Allah berfirman,
“Dan biarkanlah orang-orang yang tidak percaya kepada nama-nama-Nya itu.Mereka akan diganjari atas apa-apa yang telah mereka kerjakan."
Artinya, biarkanlah dan jangan kamu peduli kepada orang yang tidak mau percaya akan nama-nama itu, atau orang mulhid, yang kadang-kadang tidak mau mengakui kebesaran Allah dengan menilik nama-Nya. Tidak melihat sifat Allah yang terbekas pada perbuatan-Nya. Tidak mau percaya ada Allah, sebab tidak kelihatan oleh matanya padahal matanya itu sendiri pun belum pernah dilihatnya. Orang yang hanya menunjukkan perhatian kepada benda dan tidak mau mengerti apa yang ada di balik benda. Mereka itu pasti diganjari Allah dari bekas apa yang mereka kerjakan itu.
Di dalam ayat ini terdapat peringatan kepada orang yang beriman, supaya mereka biarkan saja atau janganlah dipedulikan sikap-sikap dari orang yang tidak mau percaya akan keesaan Allah. Di dalam ayat bertemu “yulhiduna" dari kalimat “lahad". Ingatlah apa maksud lahad yang dibuat orang ketika menguburkan orang mati. Di samping kubur yang lapang itu digali lagi kubur di sudut, untuk membaringkan mayat itu. Letak lahad bukan di tengah kubur, tetapi di sudut. Sebab itu, orang yang mulhid bolehlah diartikan orang yang menyudut. Dari situ pengambilan kata, yaitu membuat lagi lubang lain di samping lubang yang besar. Kemudian diterangkan maksud “melahad" terhadap nama Allah, ialah membuat pengertian atau lubang lain. Yaitu dua macam: pertama memberi sifat kepada Allah dengan yang bukan sifat-Nya. Kedua, memberi arti sifat-sifat Allah dengan yang tidak layak bagi-Nya,
Misalnya ada seorang sakit merana sudah berbulan-bulan, belum juga sembuh. Atau ada seorang dalam tahanan polisi sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tetapi perkaranya belum juga dibuka dan dia belum juga dilepaskan, padahal dia merasa tidak salah. Maka, berkatalah si orang sakit atau si orang tahanan itu bahwa Allah tidak adil. Ini namanya ilhad, dan orangnya mulhid. Telah memberi arti sifat Allah dengan salah.
Atau sebagai kejadian pada Madame Currie, sarjana perempuan yang terkenal yang mendapat Radium. Ketika ibunya sakit payah karena TBC, dia telah berdoa dan shalat dengan sangat khusyu agar ibunya disembuhkan Allah; padahal kehendak Allah jua yang berlaku, ibunya tidak sembuh walaupun dia telah berdoa sungguh-sungguh malahan ibunya itu mati. Sejak itu Madame Currie melepaskan kepercayaannya tentang adanya Allah. Itu pun namanya ilhad.
Kemudian di zaman sekarang arti ilhad telah diperluas lagi. Yaitu segala pendapatyang tidak mempercayai akan adanya Allah semesta sekalian alam, semuanya dinamai paham Mad, dan penganutnya bernama mulhid. Sama dengan ateis. Dan, ada juga yang menyebut dirinya Freethinker, bebas pikiran, tidak mau terikat dengan satu macam kepercayaan tentang adanya Allah sedikit pun. Mengakui juga ada Allah, tetapi disekutukan yang lain dengan Dia. Memberi arti satu sifat atau nama-Nya dengan arti yang salah.
Menyebutkan dengan rasa tidak hormat meskipun benar. Seumpama mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan pencuri atau Allah yang menjadikan najis dan sebagainya. Atau memakai perantaraan yang lain buat memohon kepada-Nya. Semuanya itu termasuk ilhad. Akan tetapi, puncak ilhad ialah yang tidak mau percaya akan adanya Allah tadi.
Ayat memberi peringatan, janganlah mereka dipedulikan, biarkanlah dan jangan diladeni. Sebab, perjalanan mereka itu pasti berakhir juga. Kalau mereka tidak mau percaya kepada Allah, sedang naluri mereka ingin juga akan kepercayaan, niscaya kepercayaan yang ada dalam lubuk jiwa itu akan mereka salurkan kepadayang selain Allah. Tidakpercaya kepada Allah, akhirnya mereka akan memuja benda. Tidak percaya kepada Allah, akhirnya mereka akan mempertuhankan sesama manusia. Akhirnya mereka akan memaksa jiwa sendiri dengan segala kekerasan untuk meninggalkan kepercayaan yang ada di dalam. Oleh karena tidak bisa lalu mereka salurkan saja kepada yang lain. Mereka akan menyembah benda atau menyembah orang, menyembah manusia, lebih daripada orang zaman Jahiliyyah menyembah berhala.
Biarkanlah mereka! Demikian kata ayat. Artinya, jangan kamu habiskan waktumu untuk meladeni orang yang demikian, tetapi tunjukkanlah hidupmu sendiri dan hidup masyarakatmu yang masih percaya kepada Allah, agar terus mencari Allah dan mendapat nama-Nya di dalam al-Asma'ul Husna tadi. Bagaimana pun akan bertegang-tegang di antara iman dan ilhad di dalam dunia ini, tetapi yang akan tetap berdiri hanyalah kepercayaan akan adanya Allah. Orang yang menegakkan paham ilhad pasti mati, tetapi pikiran manusia tidak akan mati. Bertambah banyaknya pengalaman dan hasil penyelidikan di antara yang mengatakan tidak ada dengan yang mengatakan ada, bagaimana pun berpikir secara dialektis, tetapi kesudahan pengajian tidaklah akan sampai pada tidak ada, melainkan pada ada juga.
Dan, segala kemajuan penyelidikan, segala kritik tentang kesalahan orang-orang yang percaya tentang adanya Allah yang dibangunkan atas khurafat yang tidak masuk akal, semuanya itu bukanlah akan meruntuh kepercayaan kepada Allah, melainkan akan menambah kecerdasan pemeluknya juga adanya.