Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱللَّهُ
Allah
نُورُ
cahaya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۚ
dan bumi
مَثَلُ
perumpamaan
نُورِهِۦ
cahaya-Nya
كَمِشۡكَوٰةٖ
seperti lobang
فِيهَا
didalamnya
مِصۡبَاحٌۖ
pelita
ٱلۡمِصۡبَاحُ
pelita itu
فِي
di
زُجَاجَةٍۖ
dalam kaca
ٱلزُّجَاجَةُ
kaca itu
كَأَنَّهَا
seakan-akan
كَوۡكَبٞ
bintang
دُرِّيّٞ
berkilauan
يُوقَدُ
ia dinyalakan
مِن
dari
شَجَرَةٖ
pohon
مُّبَٰرَكَةٖ
yang banyak keberkatan
زَيۡتُونَةٖ
pohon zaitun
لَّا
tidak
شَرۡقِيَّةٖ
di sebelah timur
وَلَا
dan tidak
غَرۡبِيَّةٖ
di sebelah barat
يَكَادُ
hampir-hampir
زَيۡتُهَا
minyaknya
يُضِيٓءُ
dia menerangi
وَلَوۡ
walaupun
لَمۡ
tidak
تَمۡسَسۡهُ
menyentuhnya
نَارٞۚ
api
نُّورٌ
cahaya
عَلَىٰ
di atas
نُورٖۚ
cahaya
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱللَّهُ
Allah
لِنُورِهِۦ
kepada cahaya-Nya
مَن
orang/siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَيَضۡرِبُ
dan membuat
ٱللَّهُ
Allah
ٱلۡأَمۡثَٰلَ
perumpamaan
لِلنَّاسِۗ
bagi manusia
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
نُورُ
cahaya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۚ
dan bumi
مَثَلُ
perumpamaan
نُورِهِۦ
cahaya-Nya
كَمِشۡكَوٰةٖ
seperti lobang
فِيهَا
didalamnya
مِصۡبَاحٌۖ
pelita
ٱلۡمِصۡبَاحُ
pelita itu
فِي
di
زُجَاجَةٍۖ
dalam kaca
ٱلزُّجَاجَةُ
kaca itu
كَأَنَّهَا
seakan-akan
كَوۡكَبٞ
bintang
دُرِّيّٞ
berkilauan
يُوقَدُ
ia dinyalakan
مِن
dari
شَجَرَةٖ
pohon
مُّبَٰرَكَةٖ
yang banyak keberkatan
زَيۡتُونَةٖ
pohon zaitun
لَّا
tidak
شَرۡقِيَّةٖ
di sebelah timur
وَلَا
dan tidak
غَرۡبِيَّةٖ
di sebelah barat
يَكَادُ
hampir-hampir
زَيۡتُهَا
minyaknya
يُضِيٓءُ
dia menerangi
وَلَوۡ
walaupun
لَمۡ
tidak
تَمۡسَسۡهُ
menyentuhnya
نَارٞۚ
api
نُّورٌ
cahaya
عَلَىٰ
di atas
نُورٖۚ
cahaya
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱللَّهُ
Allah
لِنُورِهِۦ
kepada cahaya-Nya
مَن
orang/siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَيَضۡرِبُ
dan membuat
ٱللَّهُ
Allah
ٱلۡأَمۡثَٰلَ
perumpamaan
لِلنَّاسِۗ
bagi manusia
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang (pada dinding) yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti) mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
(Allah cahaya langit dan bumi) yakni pemberi cahaya langit dan bumi dengan matahari dan bulan. (Perumpamaan cahaya Allah) sifat cahaya Allah di dalam kalbu orang Mukmin (adalah seperti misykat yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca) yang dinamakan lampu lentera atau Qandil. Yang dimaksud Al Mishbah adalah lampu atau sumbu yang dinyalakan. Sedangkan Al Misykaat artinya sebuah lubang yang tidak tembus. Sedangkan pengertian pelita di dalam kaca, maksudnya lampu tersebut berada di dalamnya (kaca itu seakan-akan) cahaya yang terpancar darinya (bintang yang bercahaya seperti mutiara) kalau dibaca Diriyyun atau Duriyyun berarti berasal dari kata Ad Dar'u yang artinya menolak atau menyingkirkan, dikatakan demikian karena dapat mengusir kegelapan, maksudnya bercahaya. Jika dibaca Durriyyun dengan mentasydidkan huruf Ra, berarti mutiara, maksudnya cahayanya seperti mutiara (yang dinyalakan) kalau dibaca Tawaqqada dalam bentuk Fi'il Madhi, artinya lampu itu menyala. Menurut suatu qiraat dibaca dalam bentuk Fi'il Mudhari' yaitu Tuuqidu, menurut qiraat lainnya dibaca Yuuqadu, dan menurut qiraat yang lainnya lagi dapat dibaca Tuuqadu, artinya kaca itu seolah-olah dinyalakan (dengan) minyak (dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan pula tidak di sebelah Barat) akan tetapi tumbuh di antara keduanya, sehingga tidak terkena panas atau dingin yang dapat merusaknya (yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api) mengingat jernihnya minyak itu. (Cahaya) yang disebabkannya (di atas cahaya) api dari pelita itu. Makna yang dimaksud dengan cahaya Allah adalah petunjuk-Nya kepada orang Mukmin, maksudnya hal itu adalah cahaya di atas cahaya iman (Allah membimbing kepada cahaya-Nya) yaitu kepada agama Islam (siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat) yakni menjelaskan (perumpamaan-perumpamaan bagi manusia) supaya dapat dicerna oleh pemahaman mereka, kemudian supaya mereka mengambil pelajaran daripadanya, sehingga mereka mau beriman (dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) antara lain ialah membuat perumpamaan-perumpamaan ini.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak di sebelah barat (nya), (yang minyaknya saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur'an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan Al-Qur'an.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais ibnu Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu: "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah." Sebagian ulama ada yang membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi." Diriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ ketika disakiti oleh penduduk Taif mengucapkan dalam doanya: Aku berlindung kepada cahaya Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan membuat baik urusan dunia dan akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku murka-Mu, hanya kepada Engkaulah kami mengadrt hingga Engkau rida.
Dan tiada daya upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah ﷺ apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut: Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang ada padanya.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya 'Arasy adalah berasal dari cahaya Zat-Nya." Firman Allah ﷻ: Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah ﷻ sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17) diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan.
Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan. Firman Allah ﷻ: seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35) Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang terkenal.
Karena itu, disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Yakni pelita yang menyala. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Ketika orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ; "Bagaimanakah cahaya Allah dapat menembus dari balik langit?" Maka Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35) Yang dimaksud dengan misykat ialah lubang yang ada di tembok rumah (tetapi tidak tembus, digunakan untuk tempat lentera).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang lain. Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah lubang (menurut bahasa Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa misykat adalah lubang yang tak tembus. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat ialah besi gantungan lampu besar.
Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling utama, yaitu yang mengatakan bahwa misykat adalah tempat lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada dalam lampu itu. Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misbah ialah cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada orang mukmin. As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan misbah ialah lentera.
Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35) Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih. Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin. (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35) Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang artinya terdorong.
Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari. Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang. Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar. yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan.
Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua.
Pendek kata, pohon itu tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang paling baik. Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang sahara. Pohon seperti ini menghasilkan minyak yang jernih. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang tentang makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon tersebut adalah pohon zaitun yang ada di padang sahara; apabila mentari terbit, sinarnya langsung menerpanya; dan apabila tenggelam, terkena pula sinarnya sebelum tenggelam.
Maka pohon zaitun ini menghasilkan minyak yang paling jernih. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula terletak di sebelah barat yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat terbitnya. Tetapi pohon ini terletak di antara arah timur dan arah barat, karenanya ia selalu terkena sinar mentari, baik di pagi hari maupun di petang hari saat matahari akan tenggelam.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi. (An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa apabila mentari terbit, maka sinarnya langsung mengenai pohon itu dari arah timur; dan apabila mentari akan tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar mentari selalu mengenainya, baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang demikian itu berarti pohon ini terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di sebelah barat.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya). (An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena tidak terkena sinar mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di saat tenggelam. Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia terlindungi dari fitnah apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi Allah meneguhkan hatinya sehingga tidak tergoda.
Dia adalah seorang mukmin yang memiliki empat perangai, yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum, adil. Apabila dicoba, sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di antara umat manusia lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di antara orang-orang yang mati. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar mentari, baik dari arah timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di tengah-tengah pepohonan lainnya.
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang berada di suatu tempat, yang bayangan buahnya terlihat pada dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena sinar mentari di saat terbit dan tenggelamnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat dengan sebelah barat, bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah timur, tetapi ia terletak di antara keduanya.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah pedalaman. Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni tumbuh di negeri Syam. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah ia terletak di sebelah timur atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan perumpamaan yang di buat oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi, bukan pula orang Nasrani. Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang.
Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya: yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur: 35) Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya. Firman Allah ﷻ: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.
Mujahid mengatakan demikian juga As-Saddi bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak zaitun. Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.
Syamr ibnu Atiyyah telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul Ahbar, lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.' (An-Nur: 35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad ﷺ jelas di mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang nabi, sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh api). As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang lainnya.
Firman Allah ﷻ: Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35) Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. [] Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari Abdullah Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah ﷻ menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya pada hari itu.
Maka barang siapa yang terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia. Untuk itulah saya ucapkan, "Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah ﷻ" Menurut jalur lain yang bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu Abu Amr Asy-Syaibani, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu melemparkan kepada mereka suatu cahaya dari cahaya-Nya.
Maka barang siapa yang terkena cahaya itu, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya, maka sesatlah ia. Al-Bazzar telah meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur lain dengan lafaz dan teks yang sama. Firman Allah ﷻ: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah ﷻ menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.
[] Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi.
Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang.
Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya."
Allah adalah pemberi cahaya, karenanya Dia menurunkan Al-Qur'an untuk menjadi cahaya bagi kehidupan manusia. Allah adalah pemberi cahaya pada langit dan bumi, baik cahaya material yang kasat mata maupun cahaya immaterial seperti keimanan, pengetahuan, dan lainnya. Perumpamaan kecerlangan cahaya-Nya yang menerangi hati orang-orang mukmin seperti sebuah lubang yang tidak tembus sehingga tidak diterpa angin yang dapat memadamkan cahaya, dan membantu mengumpulkan cahaya lalu memantulkannya; yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun, yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, sehingga pohon itu selalu mendapat sinar matahari sepanjang hari. Kejernihan minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, berlapis-lapis; pelita adalah cahaya, demikian pula kaca dan minyak yang begitu jernih, sehingga sempurnalah sinarnya. Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, yaitu siapa saja yang mengikuti petunjuk Al-Qur'an, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia agar mereka mudah memahami kandungannya dan mengambil pela-jaran darinya hingga akhirnya mau beriman. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu; tidak ada sedikit pun yang tersembunyi dari-Nya. 36. Cahaya itu Allah pancarkan di langit dan bumi, seperti disebutkan dalam ayat sebelumnya. Namun, tidak semua orang dapat meraih cahaya itu. Cahaya itu di rumah-rumah ibadah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya; di sana bertasbih-lah orang-orang yang menyucikan nama-Nya melalui berbagai ibadah, seperti azan, salat, dan tilawah Al-Qur'an, pada waktu pagi dan petang,.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah adalah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi dan semua yang ada pada keduanya. Dengan cahaya itu segala sesuatu berjalan dengan tertib dan teratur, tak ada yang menyimpang dari jalan yang telah ditentukan baginya, ibarat orang yang berjalan di tengah malam yang gelap gulita dan di tangannya ada sebuah lampu yang terang benderang yang menerangi apa yang ada di sekitarnya. Tentu dia akan aman dalam perjalanannya tidak akan tersesat atau terperosok ke jurang yang dalam, walau bagaimana pun banyak liku-liku yang dilaluinya. Berbeda dengan orang yang tidak mempunyai lampu, tentu akan banyak menemui kesulitan. Meraba-raba kesana kemari berjalan tertegun-tegun karena tidak tahu arah, maka pastilah orang ini akan tersesat atau mendapat kecelakaan karena tidak melihat alam sekitarnya. Amat besarlah faedahnya cahaya yang diberikan Allah kepada alam semesta ini. Cahaya yang dikaruniakan Allah itu bukan sembarang cahaya. Ia adalah cahaya yang istimewa yang tidak ada bandingannya, karena cahaya itu bukan saja menerangi alam lahiriah, tetapi menerangi batiniah.
Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia pada waktu diturunkannya ayat ini, yaitu dengan cahaya lampu yang dianggap pada masa itu merupakan cahaya yang paling cemerlang. Mungkin bagi kita sekarang ini cahaya lampu itu kurang artinya bila dibandingkan dengan cahaya lampu listrik seribu watt apalagi cahaya yang dapat menembus lapisan-lapisan yang ada di depannya. Sebenarnya cahaya yang menjadi sumber kekuatan bagi alam semesta tidak dapat diserupakan dengan cahaya apa pun yang dapat ditemukan manusia seperti cahaya laser umpamanya.
Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan cahaya sebuah lampu yang terletak pada suatu tempat di dinding rumah yang sengaja dibuat untuk meletakkan lampu sehingga cahayanya amat terang sekali, berlainan dengan lampu yang diletakkan di tengah rumah, maka cahayanya akan berkurang karena luasnya ruangan yang menyerap cahayanya. Sumbu lampu itu berada dalam kaca yang bersih dan jernih. Kaca itu sendiri sudah cemerlang seperti kristal. Minyaknya diperas dari buah zaitun yang ditanam di atas bukit, selalu disinari cahaya matahari pagi dan petang. Maka pada ayat ini diibaratkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, karena kalau pohon itu tumbuh di sebelah timur, mungkin pada sorenya tidak ditimpa cahaya matahari lagi, demikian pula sebaliknya. Minyak lampu itu sendiri karena jernihnya dan baik mutunya hampir-hampir bercahaya, walaupun belum disentuh api, apalagi kalau sudah menyala tentulah cahaya yang ditimbulkannya akan berlipat ganda.
Di samping cahaya lampu itu sendiri yang amat cemerlang, cahaya itu juga dipantulkan oleh tempat letaknya, maka cahaya yang dipantulkan lampu itu menjadi berlipat ganda. Demikianlah perumpamaan bagi cahaya Allah meskipun amat jauh perbedaan antara cahaya Allah dan cahaya yang dijadikan perumpamaan.
Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk mendapat cahaya itu sehingga dia selalu menempuh jalan yang lurus yang menyampaikannya kepada cita-citanya yang baik dan selalu bertindak bijaksana dalam menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidupnya. Berbahagialah orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu, karena dia telah mempunyai pedoman yang tepat yang tidak akan membawanya kepada hal-hal yang tidak benar dan menyesatkan. Untuk memperoleh Nur Ilahi itu seseorang harus benar-benar beriman dan taat kepada perintah Allah serta menjauhi segala perbuatan maksiat.
Imam Syafi`i pernah bertanya kepada gurunya yang bernama Waki' tentang hafalannya yang tidak pernah mantap dan cepat lupa, maka gurunya itu menasehatinya supaya ia menjauhi segala perbuatan maksiat, karena ilmu itu adalah Nur Ilahi, dan Nur Ilahi itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Seperti dalam syair di bawah ini:
Aku mengadu kepada Waki' tentang buruknya hafalanku,
Lalu ia menasihatiku agar meninggalkan kemaksiatan.
Ia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya,
Dan Cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.
Yahya bin Salam pernah berkata, "Hati seorang mukmin dapat mengetahui mana yang benar sebelum diterangkan kepadanya, karena hatinya itu selalu sesuai dengan kebenaran." Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah ﷺ
Berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan Nur Allah. (Riwayat al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir dari Abu Sa'id al-Khudri)
Tentu saja yang dimaksud dengan orang mukmin di sini ialah orang-orang yang benar beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sepenuhnya.
Ibnu `Abbas berkata tentang ayat ini, "Inilah contoh bagi Nur Allah dan petunjuk-Nya yang berada dalam hati orang mukmin. Jika minyak lampu dapat bercahaya sendiri sebelum disentuh api, dan bila disentuh oleh api bertambah cemerlang cahayanya, maka seperti itu pula hati orang mukmin, dia selalu mendapat petunjuk dalam tindakannya sebelum dia diberi ilmu. Apabila dia diberi ilmu, akan bertambahlah keyakinannya, dan bertambah pula cahaya dalam hatinya. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepada manusia tentang Nur-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Allah Cahaya Alam
Adakah anda lihat suatu majlia jamuan terasa sepi tidak bersemangat, sedang alat jamu sudah lengkap hadir? Karena seorang yang akan menjadi seri majlia itu belum juga datang?
Adakah anda lihat sebuah gedung yang besar, katakan saja istana, dahulu berseri-seri bercahaya karena rajanya masih hidup, atau kerajaan masih berdiri. Sekarang gedung indah itu sudah sepi, dan istana itu sudah tidak berseri lagi, karena rajanya sudah mangkat dan penggantinya tidak ada lagi. Orang tidak lagi menggantinya dengan raja yang baru. Gedung masih gedung yang itu juga, dan istananya pun masih istana yang itu juga, tetapi serinya tidak ada lagi, semangat kebesaran dan kemegahannya sudah hilang, karena sudah tak ada orang, yang menjadi seri dan menyemangatinya.
Ada suatu negeri ataupun suatu negara gembira berseri-seri muka orang di sana karena ada pemimpin, atau ada ulama yang menyemangati negeri itu, mengalir pengaruh jiwanya atas setiap orang dalam negeri atau negara itu.
Dalam satu kantor atau jawatan pun, selalu dirasai betapa besar pemimpin dan perkantoran itu atas seluruh yang ada dalam kantor atau jawatan itu.
Sebelum beliau masuk kantor, orang bekerja tidak dengan bersemangat tetapi setelah beliau datang dengan mukanya yang berseri-seri, semuanya bergerak dan semuanya berjalan, seakan-akan dijiwai oleh kedatangan beliau.
Apabila segala perumpamaan itu telah tuan rasakan, akan dapatlah pula tuan merasai betapa tafsir ayat ini: “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi."
Bukanlah semua langit bersama bumi menghasilkan suatu cahaya yang bernama Allah. Tetapi ujudnya Allahlah. Adanya Tuhan, mencahayai dan menyinari seluruh langit, bumi, cakrawala dan seluruh yang maujud ini. Matahari dan bulan berjalan menurut kadar yang tertentu dan bukan mengelilingi bumi, dan bumi mengelilingi matahari dan matahari pun beredar menurut falaknya yang tertentu pula. Semuanya dengan takdir dan jangka yang sangat teratur. Bintang-bintang berjuta-juta dan berjuta di atas Al-Koon, tidak pernah terjadi kekacauan, karena ada kekuasaan tertinggi yang menyinarinya, yang menimbulkan cahaya dan semangat padanya.
Maka dalam alam segalanya kelihatan, Allahlah yang menjadi cahayanya. Sampai kepada tumbuhnya padi di sawah, tumbuhnya jagung di ladang, tumbuhnya pohon durian dan rambutan. Turunnya hujan dari langit pergantian musim, bergantiannya panas terik dengan hujan lebat. Apa pun dan ke mana pun wajah memandang kelihatanlah “Allah". Bukan dengan mata yang tidak ada artinya ini, karena dia hanya alat Saja untuk melihat lagi dengan mata batin untuk mengenal cahaya itu.
Bilakah mata hati ini bIsa melihat Nur itu? Hati yang masih diperbudak benda, hati yang masih memandang bahwa hidup itu hanya sekedar makan dan minum, lalu bersetubuh dan memancarkan anak, hati yang masih memandang bahwa kemulIsan dan penilaian hidup hanyalah semata pada gedung indah, kendaraan model paling baru, dan hati yagg belum pernah terlepas daripada penggemblengan derita, payahlah akan sampai kepada suasana melihat Nur itu.
Lalui dahulu penderitaan percobaan. Lalui dahulu ombak dan gelombang, tahan ketika kena pukulan sehingga seluruh keperibadian menjadi tabah, digembleng dan ditempa oleh perasaian, dan lulus dari gemblengan itu. Itulah yang ada harapan akan dapat melihat nyata Nur itu.
Al-Qur'an membagi tingkat nafsu manusia kepada tiga tingkatan, Sejak dari Nafsul-Ammarah, yaitu nafsu yang menguasai diri, bukan nafsu yarig dikuasai oleh diri.
Meningkat kepada Nafsul-Lawwamah, yang terombang-ambing di antara ya dengan bukan, naik lagi kepada Nafsul-Muthmainnah, yang telah mencapai ketenteraman dalam jiwa karena telah banyak pengalaman, percobaan dan penderitaan. Itulah yang sanggup mengenal Nur itu.
Jiwa Muhammad s.a.w. yang besar, yang tengah membulatkan tekad mendirikan masyarakat Islam yang besar, lalu dipukul dengan satu percobaan besar, dituduh isterinya yang dicintainya Aiayah, anak dari sahabatnya yang setia Abu Bakar, berbuat langkah serong dan menjadi buah mulut orang.
Jika Abu Bakar yang jujur, yang dalam seluruh perjalanan hidupnya melangkahkan kakinya tidak keluar daripada ukuran jejak Rasulullah. Dituduh orang puteri tercintanya berbuat serong dan menjadi buah mulut orang.
Jiwa Aiayah isteri pilihan, pejuang di sisi Nabi dan ai sisi ayahnya. Dalam kejujuran menyangka orang baik seperti dia semuanya, lalu datang tuduhan yang amat hina.
Jiwa Shafwan bin Mu'aththal pemuda yang tertuduh perusak rumahtangga Nabi, junjungannya.
GelIsah semuanya dahulu sebab ombak gelombang, bahkan alun dan taufan percobaan jiwa sedang datang.
Hampir sebulan lamanya taufan itu menggeiorai kota Madinah, adakah yang tahan?
Akhinya Wahyu datang. Tuhan sendiri membela Aisyah. Rasulullah yang tenang dan dalam hati kecilnya sebelum itu pun telah berkata bahwa isterinya tidak salah. Sekarang dituruni oleh Wahyu. Aisyah bersih.
Abu Bakar pun kembali kepada ketenteramannya. Anaknya tidak salah. Shafwan bin Mu'aththal pun lapang dadanya. Memang dia tidak bersalah. Apakah suasana perasaan pada masa itu? “Allah adalah Nur daripada semua langit dan bumi."
Nur...! Cahaya! Langit dan bumi dan seluruh alam ini tegak di atas Nur, dan diatur di atas Nur. Nurlah yang memberikan jauhar hidupnya dan ujudnya. Revolusi besar dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan telah terjadi dengan dahsyat dan hebatnya dalam Abad 20 ini, Sekelumit daripada ilmu tentang cahaya itu. Nur itu telah diriapat oleh manusia. Suatu yang dinamai Materi (matidah), sesudah atom dapat dipecahkan telah menimbulkan sinar, dan sumber sinar adalah Nur! Bahkan materi itu sendiri tidak lain daripada Nur. Atomnya materi adalah gabungan dadapda Elektron dan Neutron. Inti (Neutron) dari semuanya ini adalah Nur, adalah cahaya, Allahu Akbar!