Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱخۡتَارَ
dan memilih
مُوسَىٰ
Musa
قَوۡمَهُۥ
kaumnya
سَبۡعِينَ
tujuh puluh
رَجُلٗا
orang laki-laki
لِّمِيقَٰتِنَاۖ
untuk waktu yang Kami tentukan
فَلَمَّآ
maka ketika
أَخَذَتۡهُمُ
menimpa mereka
ٱلرَّجۡفَةُ
gempa bumi
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لَوۡ
jika
شِئۡتَ
Engkau menghendaki
أَهۡلَكۡتَهُم
Engkau membinasakan kamu
مِّن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَإِيَّـٰيَۖ
dan aku
أَتُهۡلِكُنَا
apakah Engkau akan membinasakan kami
بِمَا
dengan apa
فَعَلَ
perbuatan
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang yang bodoh
مِنَّآۖ
diantara kami
إِنۡ
sesungguhnya
هِيَ
ia
إِلَّا
melainkan
فِتۡنَتُكَ
cobaan Engkau
تُضِلُّ
Engkau menyesatkan
بِهَا
dengannya
مَن
siapa
تَشَآءُ
Engkau kehendaki
وَتَهۡدِي
dan Engkau memberi petunjuk
مَن
siapa
تَشَآءُۖ
Engkau kehendaki
أَنتَ
Engkau
وَلِيُّنَا
pelindung kami
فَٱغۡفِرۡ
ampunilah
لَنَا
bagi kami
وَٱرۡحَمۡنَاۖ
dan berilah kami rahmat
وَأَنتَ
dan Engkau
خَيۡرُ
sebaik-baik
ٱلۡغَٰفِرِينَ
pemberi ampun
وَٱخۡتَارَ
dan memilih
مُوسَىٰ
Musa
قَوۡمَهُۥ
kaumnya
سَبۡعِينَ
tujuh puluh
رَجُلٗا
orang laki-laki
لِّمِيقَٰتِنَاۖ
untuk waktu yang Kami tentukan
فَلَمَّآ
maka ketika
أَخَذَتۡهُمُ
menimpa mereka
ٱلرَّجۡفَةُ
gempa bumi
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لَوۡ
jika
شِئۡتَ
Engkau menghendaki
أَهۡلَكۡتَهُم
Engkau membinasakan kamu
مِّن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَإِيَّـٰيَۖ
dan aku
أَتُهۡلِكُنَا
apakah Engkau akan membinasakan kami
بِمَا
dengan apa
فَعَلَ
perbuatan
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang yang bodoh
مِنَّآۖ
diantara kami
إِنۡ
sesungguhnya
هِيَ
ia
إِلَّا
melainkan
فِتۡنَتُكَ
cobaan Engkau
تُضِلُّ
Engkau menyesatkan
بِهَا
dengannya
مَن
siapa
تَشَآءُ
Engkau kehendaki
وَتَهۡدِي
dan Engkau memberi petunjuk
مَن
siapa
تَشَآءُۖ
Engkau kehendaki
أَنتَ
Engkau
وَلِيُّنَا
pelindung kami
فَٱغۡفِرۡ
ampunilah
لَنَا
bagi kami
وَٱرۡحَمۡنَاۖ
dan berilah kami rahmat
وَأَنتَ
dan Engkau
خَيۡرُ
sebaik-baik
ٱلۡغَٰفِرِينَ
pemberi ampun
Terjemahan
Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Ketika mereka ditimpa gempa bumi, Musa berkata, “Ya Tuhanku, jika Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? (Penyembahan terhadap patung anak sapi) itu hanyalah cobaan dari-Mu. Engkau menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dengan cobaan itu dan Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Pelindung kami. Maka, ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkaulah sebaik-baik pemberi ampun.”
Tafsir
(Dan Musa memilih dari kaumnya) dimaksud sebagian dari kaumnya (sebanyak tujuh puluh orang lelaki) dari kalangan orang-orang yang tidak ikut menyembah anak sapi, ia lakukan hal itu berdasarkan perintah dari Allah ﷻ (untuk memenuhi waktu yang telah Kami tentukan) waktu yang telah Kami janjikan, agar mereka datang tepat pada waktunya, untuk memohon ampunan dari penyembahan terhadap anak sapi yang telah dilakukan oleh teman-teman mereka. Kemudian Musa keluar bersama mereka. (Maka ketika mereka diguncang gempa bumi) yaitu gempa yang dahsyat. Ibnu Abbas mengatakan, "Sebab mereka tidak melarang kaumnya tatkala menyembah anak sapi itu," selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan lagi, "Mereka adalah selain dari orang-orang yang meminta agar dapat melihat Tuhan yang kemudian ditimpa azab berupa sha`iqah" (Ia berkata,) yakni Musa ("Ya Tuhanku! Kalau Engkau kehendaki tentulah Engkau membinasakan sebelum ini) sebelum aku keluar bersama mereka; maksud Musa untuk menentukan nasib kaum Bani Israel sehubungan dengan peristiwa penyembahan anak sapi itu, agar jika mereka terkena azab tidak menuduhku sebagai penyebabnya (dan aku. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?) Istifham bermakna isti`thaf, memohon belas kasihan, yakni janganlah Engkau menyiksa kami oleh sebab dosa yang dilakukan oleh selain kami. (Tidak lain) (itu) fitnah yang dilakukan oleh orang-orang yang akalnya kurang (kecuali hanyalah fitnah dari Engkau) dimaksud cobaan dari Engkau (Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki) kesesatannya (dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki) kehidayahannya. (Engkaulah yang memimpin kami) yang menguasai perkara-perkara kami (maka ampunilah kami, dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.").
Tafsir Surat Al-A'raf: 155-156
Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka diguncang gempa bumi. Musa berkata, "Ya Tuhanku. kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan, dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki.
Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau." Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa Allah memerintahkan Musa untuk memilih tujuh puluh orang lelaki. Maka Musa memilih tujuh puluh orang lelaki dari kaumnya, lalu membawa mereka ke tanah lapang untuk berdoa kepada Tuhan mereka.
Tersebutlah bahwa di antara doa yang diucapkan oleh mereka kepada Allah ialah; "Ya Allah, berikanlah kepada kami pemberian yang belum pernah Engkau berikan kepada seseorang pun sebelum kami dan tidak akan Engkau berikan kepada seorang pun sesudah kami." Maka Allah tidak suka kepada permintaan yang mereka panjatkan itu, lalu mereka ditimpa oleh gempa. Musa berkata, "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini." (Al-A'raf: 155), hingga akhir ayat.
As-Suddi mengatakan, "Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Musa untuk datang kepada-Nya bersama tiga puluh orang lelaki dari kalangan Bani Israil untuk meminta ampun kepada-Nya tentang perbuatan mereka yang telah menyembah patung anak lembu itu, dan Allah menjanjikan waktunya kepada mereka." Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya. (Al-A'raf: 155) yang berada di hadapannya, kemudian Musa membawa mereka pergi untuk bertobat.
Ketika mereka telah sampat di tempat yang dituju, mereka mengatakan, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat lain melalui Firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu. (Al-Baqarah: 55) Wahai Musa. sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Karena engkau telah berbicara langsung kepada-Nya, maka perlihatkanlah Allah kepada kami. karena itu kalian disambar halilintar. (Al-Baqarah: 55) Maka mereka pun mati semua, dan Musa berdiri menangis seraya berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku, apakah yang akan aku katakan kepada Bani Israil, jika aku datang kembali kepada mereka tanpa orang-orang ini, sedangkan orang-orang yang terpilih mereka telah Engkau binasakan?" Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. (Al-A'raf: 155) Muhammad ibnu Ishaq menceritakan bahwa Musa memilih tujuh puluh orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil, semuanya adalah orang-orang yang terpilih (terkemuka) dari kalangan mereka.
Musa berkata, "Berangkatlah kalian kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya dari apa yang telah kalian perbuat, dan mintakanlah kepada-Nya tobat buat orang-orang yang kalian tinggalkan di belakang kalian dari kalangan kaum kalian. Berpuasalah, bersucilah, dan bersihkanlah pakaian-pakaian kalian terlebih dahulu." Kemudian Musa membawa mereka pergi menuju Bukit Tursina untuk memenuhi janji yang telah ditetapkan untuknya oleh Tuhan-Nya Tersebutlah bahwa Musa tidak berani datang ke tempat itu kecuali dengan seizin dan pemberitahuan dari Allah subhanahu wa ta’ala Lalu ketujuh puluh orang itu menurut kisah yang sampai kepadaku setelah melakukan apa yang diperintahkan oleh Musa kepada mereka dan Musa membawa mereka untuk bersua dengan Tuhannya, berkatalah mereka kepada Musa, "Mintakanlah bagi kami agar kami dapat mendengar suara Tuhan kami." Musa menjawab, "Akan aku lakukan." Ketika Musa berada di dekat bukit itu, tiba-tiba gunung itu diliputi oleh awan yang berbentuk tiang raksasa sehingga menutupi seluruh kawasan bukit tersebut.
Musa mendekat dan masuk ke dalamnya, lalu ia berkata kepada kaumnya, "Mendekatlah kalian." Disebutkan bahwa apabila Musa sedang diajak bicara oleh Tuhannya, maka dari keningnya memancarlah nur yang sangat cemerlang, tiada seorang manusia pun yang mampu memandangnya. Maka dibuatkanlah hijab (oleh Allah) untuk menutupinya. Kaum itu mendekat, dan manakala mereka masuk ke dalam awan itu, maka mereka terjatuh bersujud; dan mereka mendengar Allah sedang berbicara kepada Musa seraya mengeluarkan titah dan larangan-Nya kepada Musa, yakni lakukanlah anu dan tinggalkanlah anu.
Setelah Allah selesai dari pembicaraan-Nya kepada Musa dan awan telah lenyap dari Musa, maka Musa datang menemui mereka, tetapi mereka berkata kepadanya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kalian disambar halilintar. (Al-Baqarah: 55) Yang dimaksud dengan sa'iqah sama dengan rajfah. Maka nyawa mereka semuanya melayang, dan matilah mereka.
Lalu Musa bangkit memohon kepada Tuhannya dan berdoa serta memohon dengan penuh harap kepada-Nya. Untuk itu Musa mengatakan: Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini Al Araf 155) Sedangkan mereka benar-benar orang-orang yang bodoh, maka apakah Engkau membinasakan orang-orang Bani Israil yang ada di belakangku? Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari Imarah ibnu Ubaid As-Saluli, dari Ali ibnu Abu Thalib yang menceritakan bahwa Musa berangkat bersama Harun, Syibr, dan Syubair, lalu mereka mendaki lereng bukit, sedangkan Harun merebahkan dirinya di atas sebuah ranjang, maka Allah mewafatkannya.
Ketika Musa kembali kepada Bani Israil, mereka bertanya kepada Musa, "Di manakah Harun?" Musa menjawab, "Dia telah diwafatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala" Mereka berkata, "Engkau telah membunuhnya, engkau dengki karena akhlaknya dan karena kelembutannya," atau kalimat yang serupa Musa berkata, "Maka pilihlah tujuh puluh orang yang kalian sukai." Lalu mereka memilih tujuh puluh orang lelaki. Ali mengatakan bahwa yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya. (Al-A'raf: 155); Ketika mereka sampai ke tempat Harun berada, mereka bertanya kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Harun menjawab, "Tidak ada seorang pun yang membunuhku, tetapi Allah telah mewafatkan diriku." Mereka mengatakan, "Wahai Musa, kamu tidak akan durhaka lagi sesudah hari ini." Maka mereka tertimpa halilintar.
Lalu Musa a.s. menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian berkata: Wahai Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155); Ali melanjutkan kisahnya, "Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menghidupkan mereka kembali dan menjadikan mereka semua sebagai nabi." Asar ini sangat gharib. Imarah ibnu Ubaid, menurut Sufyan Ats-Tsauri orangnya tidak dikenal.
Tetapi Syu'bah telah meriwayatkannya dari Abi Ishaq, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Salul, dari Ali, lalu ia menuturkan kisah yang sama. Ibnu Abbas, Qatadah, Mujahid, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa mereka ditimpa oleh halilintar (gempa dahsyat) karena mereka tidak mau melenyapkan penyembahan patung anak lembu dari kalangan kaumnya, tidak mau pula melarang kaumnya melakukan hal tersebut. Pendapat ini berdasarkan perkataan Musa a.s.
yang disitir oleh firman-Nya: Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? (Al-A'raf: 155) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155) Maksudnya cobaan dan ujian yang Engkau berikan kepada mereka. Demikianlah menurut tafsir yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Tiada makna atau takwil selain ini. Dengan kata lain, sesungguhnya perkara ini hanyalah urusanmu, dan sesungguhnya keputusan ini hanyalah Engkau yang melakukannya. Maka apa saja yang Engkau kehendaki, pasti terjadi; Engkau sesatkan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk siapa pun yang Engkau kehendaki. Tidak ada pemberi petunjuk bagi orang yang telah Engkau sesatkan, dan tiada yang dapat menyesatkan orang yang telah Engkau beri petunjuk.
Tidak ada yang memberi orang yang Engkau cegah, dan tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan. Kerajaan adalah milik Engkau belaka, dan keputusan hukum hanyalah milik Engkau; milik Engkaulah makhluk dan semua urusan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Engkaulah yang memimpin kami. maka ampunilah kami dan berilah kamirahmat, dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. (Al-A'raf: 155) Al-gafru artinya menutupi dan tidak menghukum karena dosa, sedangkan pengertian rahmat apabila dibarengi dengan ampunan.
Maka makna yang dimaksud ialah 'janganlah dijerumuskan ke dalam hal yang serupa (yakni dosa yang serupa) di masa mendatang nanti. Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. (Al-A'raf: 155) Yakni tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau sendiri. Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat. (Al-A'raf: 156) Doa tersebut merupakan permohonan untuk dihindarkan dari hal-hal yang dilarang, sedangkan doa berikut ini memohon untuk kesuksesan dalam meraih tujuan, yaitu firman-Nya: Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat. (Al-A'raf: 156) Maksudnya, putuskanlah dan tetapkanlah bagi kami kebaikan di dunia dan akhirat.
Mengenai pengertian kebaikan, telah dijelaskan di dalam tafsir surat Al Baqarah. sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Al-A'raf: 156) Yaitu kami bertobat dan kembali serta berserah diri kepada Engkau. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Abul Aliyah, Adh-Dhahhak, Ibrahim At-Taimi, As-Suddi, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, begitu pula menurut pengertian bahasanya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Syarik, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Yahya, dari Ali yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dinamakan dengan sebutan 'Yahudi' karena mereka telah mengatakan: sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Al-A'raf: 156) Akan tetapi, Jabir ibnu Yazid Al-Ju'fi orangnya berpredikat dha’if.
Allah subhanahu wa ta’ala menjawab apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155), hingga akhir ayat. Yaitu dengan jawaban pada ayat selanjutnya: Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (Al-A'raf: 156) Maksudnya, Aku melakukan apa saja yang Aku kehendaki, dan Aku putuskan apa pun yang Aku sukai, karena hikmah dan keadilan dalam semuanya itu adalah milik-Ku semata. Tidak ada Tuhan selain Dia. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (Al-A'raf: 156) Ayat ini merupakan suatu ayat yang besar peliputan dan keumuman maknanya, sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam menceritakan perihal para malaikat penyangga Arasy.
Mereka mengatakan: Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu. (Al-Mumin: 7) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Abu Abdullah Al-Jusyami, telah menceritakan kepada kami Jundub yaitu Ibnu Abdullah Al-Bajali yang menceritakan bahwa seorang Arab Badui datang, lalu mengistirahatkan unta kendaraannya dan menambatkannya. Lalu ia shalat di belakang Rasulullah SAW, setelah salam dari salatnya, maka lelaki Badui itu mendatangi unta kendaraannya dan melepaskan tambalannya, lalu menaikinya, kemudian ia berdoa, "Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau sertakan seorang pun dalam rahmat kami." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Bagaimanakah pendapat kalian tentang orang ini, dia atau untanyakah yang sesat, tidakkan kalian dengar apa yang dikatakannya?" Mereka menjawab, "Ya, kami mendengarnya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya engkau telah membatasi rahmat yang luas.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan seratus rahmat. Lalu Dia menurunkan satu rahmat, yang dengan satu rahmat itu semua makhluk saling mengasihi, baik jin, manusia, maupun hewan-hewan. Dan Allah menangguhkan sembilan puluh sembilan rahmat di sisi-Nya. Bagaimanakah pendapat kalian, apakah orang ini yang sesat, ataukah untanya?" Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ali ibnu Nadr, dari Abdus Samad ibnu Abdul Waris dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dari ibnu Sulaiman, dari Abu Usman, dari Salman, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai seratus rahmat, di antaranya dengan satu rahmat itu" semua makhluk saling mengasihi, dan dengan satu rahmat itu semua hewan liar sayang kepada anak-anaknya.
Dan Allah menangguhkan yang sembilan puluh sembilannya untuk hari kiamat nanti. Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Muslim. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Sulaiman ibnu Tarkhan dan Daud ibnu Abu Hindun, kedua-duanya dari Abu Usman yang nama aslinya adalah Abdur Rahman ibnu Mal, dari Salman Al-Farisi, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah mempunyai seratus rahmat, di sisi-Nya tersimpan sembilan puluh sembilan rahmat, dan menjadikan yang satu rahmat buat kalian, yang dengan satu rahmat itu kalian saling menyayangi, baik jin.
manusia, dan makhluk lainnya. Dan apabila hari kiamat tiba, maka Allah menggabungkannya dengan yang ada di sisi-Nya. Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad dari jalur ini. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada, kami Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah mempunyai seratus rahmat, di antaranya satu bagian dibagikan di antara manusia, dengan satu rahmat itulah manusia, hewan liar dan burung saling menyayangi.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari hadits Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. An-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Sa'd Abu Gailan Asy-Syaibani, dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, dari Ibrahim, dari Silah ibnu Zifr, dari Huzaifah ibnul Yaman yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya orang yang durhaka dalam agamanya lagi tolol dalam penghidupannya dapat masuk surga.
Dan demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya akan dapat masuk surga orang yang dipanggang oleh api neraka karena dosanya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya Allah akan memberikan ampunan pada hari kiamat dengan ampunan yang membuat iblis menginginkannya dengan harapan dia memperolehnya Hadits ini gharib sekali. Sa'd (salah seorang perawinya) menurut Imam Ahmad orangnya tidak ia kenal.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa. (Al-A'raf: 156) Artinya, Aku akan menetapkan rahmat-Ku buat mereka sebagai karunia dan kebajikan dari-Ku. Sama artinya dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. (Al-An'am: 54) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: untuk orang-orang yang bertakwa. (Al-A'raf: 156) Maksudnya, Aku akan memberikan rahmat-Ku itu untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, mereka adalah umat Nabi Muhammad ﷺ Yang dimaksud dengan 'bertakwa' ialah menjauhi kemusyrikan dan dosa-dosa besar.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang menunaikan zakat. (Al-A'raf: 156) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah zakat diri; sedangkan menurut pendapat lain adalah zakat harta benda. Tetapi barangkali makna yang dimaksud bersifat umum, mencakup kedua zakat tersebut, mengingat ayat ini adalah ayat Makkiyyah. dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Al-A'raf: 156) Yakni percaya kepada ayat-ayat Kami."
Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari pemuka kaumnya yang terbaik untuk memohon tobat kepada Kami di bukit Sinai pada waktu yang telah Kami tentukan. Sesampainya di tempat itu, mereka menyatakan tidak akan beriman kepada Musa sampai dia memperlihatkan kepada mereka Tuhan yang pernah berbicara kepadanya. Ketika itu mereka ditimpa gempa bumi yang dahsyat, sampai mati semuanya, dan Nabi Musa memohon kepada Allah sambil menengadahkan diri dan berkata, Ya Tuhan Pemelihara-ku, apa yang akan aku katakan kepada Bani Israil ketika aku kembali kepada mereka' Engkau telah membinasakan orang-orang yang terbaik dari mereka. Jika seandainya Engkau kehendaki, tentulah Engkau binasakan mereka, saat terjadi penyembahan anak sapi, karena kelalaian mereka tidak mencegah penyembahan anak sapi, dan juga Engkau binasakan aku karena kelalaianku atau sebab lainnya sebelum ini, yaitu sebelum menghadap ke hadirat-Mu, seperti saat aku membunuh seorang Koptik. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang berakal di antara kami yang menyembah anak sapi itu' Apa yang dilakukan oleh para penyembah patung anak sapi itu hanyalah cobaan dari-Mu, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki kesesatannya setelah nyata kehendak mereka untuk sesat dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki berdasarkan kesiapan jiwa untuk menerima petunjuk. Engkaulah satu-satunya pemimpin dan pelindung kami, maka ampunilah segala dosa kami dan berilah kami rahmat. Engkaulah pemberi ampun yang terbaik karena Engkau mengampuni bukan untuk mendapat pujian, atau menghindari kecaman. Perbuatan mereka membuat patung anak sapi dan menyembahnya itu adalah suatu cobaan dari Allah untuk menguji mereka, siapa yang sebenarnya kuat imannya dan siapa yang masih ragu-ragu. Orang yang lemah imannya itulah yang mengikuti Samiri dan menyembah patung anak sapi itu. Tetapi orang yang kuat imannya, tetap dalam keimanannya. Nabi Musa melanjutkan berdoa, dan tetapkanlah untuk kami kebaikan selama hidup di dunia ini dan kelak di akhirat. Sungguh, kami kembali, yakni bertobat kepada Engkau dari segala dosa dan kekurangan, dengan sebenar-benarnya. Mendengar permohonan itu, Allah berfirman, SiksaKu, baik di dunia maupun di akhirat, akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dari makhluk-Ku, seperti yang Aku lakukan terhadap kaummu, dan rahmat-Ku, yakni anugerah-Ku, meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku yang khusus dan berkesinambungan bagi orang-orang yang bertakwa, terutama yang menunaikan zakat dan orangorang yang selalu terus menerus beriman kepada ayat-ayat Kami, yakni dengan membenarkannya melalui hati dan perbuatan.
Musa memilih tujuh puluh orang pilihan dari kaumnya untuk pergi bersama-sama ke suatu tempat di Bukit Sinai untuk bermunajat kepada Tuhannya. Menurut para mufassir, siapa orang yang dipilih dan di mana tempatnya yang ditentukan itu telah diwahyukan Allah sebelumnya kepada Musa. Para mufassir berbeda pendapat; apakah Musa diperintahkan oleh Allah pergi ke Bukit Sinai bersama tujuh puluh orang pilihan Bani Israil itu setelah mereka menyembah patung anak sapi dengan maksud menyatakan tobat kepada Allah atau bersamaan waktunya dengan waktu memohon kepada Allah agar Dia memperlihatkan diri-Nya dengan jelas. Jika dilihat susunan ayat dan urutan kisah Musa dalam Surah al-Araf ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kepergian Musa bersama tujuh puluh orang pilihan ini setelah Bani Israil menyembah patung anak sapi, yakni sesudah kepulangan Musa menemui Tuhannya ke Bukit Sinai selama empat puluh hari dan empat puluh malam.
Musa berangkat bersama tujuh puluh orang pilihan menuju tempat yang telah ditentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi yang disebabkan petir yang amat dahsyat, Musa pun berdoa kepada Tuhannya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau membinasakan mereka, maka aku berharap agar Engkau membinasakan mereka sebelum mereka pergi bersamaku ke tempat ini, dan agar Engkau membinasakan aku pula, sehingga aku tidak menghadapi kesulitan yang seperti ini, yang memberi kesempatan bagi mereka untuk mencela dan menuduhku, bahwa aku telah membawa orang-orang pilihan ke tempat ini untuk dibinasakan. Oleh karena Engkau tidak membinasakan mereka sebelum mereka aku bawa bersamaku ke sini, maka janganlah mereka Engkau binasakan sekarang, sesudah aku bawa kemari."
Dalam ayat ini diterangkan mengapa pemuka Bani Israil pilihan itu diazab Allah dengan petir yang dahsyat. Pada firman Allah yang dijelaskan sebab-sebabnya mereka disambar petir dan akibat yang mereka alami. Sebagaimana firman-Nya:
"Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, "Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas," maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikannya. Kemudian, Kami bangkitkan kamu setelah kamu mati, agar kamu bersyukur." (al-Baqarah/2: 55-56)
Tetapi dalam Perjanjian Lama diterangkan bahwa Bani Israil yang menyembah berhala (di dalam Al-Qur'an patung anak sapi) itu ialah Bani Israil tujuh puluh orang pilihan bersama-sama dengan Harun. Perbuatan menyembah berhala itu mereka lakukan sewaktu berada di Bukit Sinai, pada waktu Nabi Musa sendiri menghadap Tuhan (baca perjanjian Lama 31:2-35).
Dalam Kitab Bilangan xvi:20-25, disebutkan tentang keingkaran dan kedurhakaan Bani Israil terhadap Musa, lalu mereka diazab Allah. Sedangkan Bani Israil yang sempat lari dibakar oleh sambaran petir.
Selanjutnya Musa memohon kepada Allah, "Janganlah Engkau Ya Tuhan, membinasakan kami disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang akal yang meminta agar dapat melihat Engkau."
Semua itu merupakan cobaan dari Allah terhadap mereka. Tetapi mereka tidak tahan dan tidak kuat menghadapi cobaan itu sehingga mereka tetap mendesak Musa agar Tuhan memperlihatkan zat-Nya kepada mereka. Karena tindakan mereka itulah mereka diazab dengan petir (halilintar) sehingga mereka mati semua. Kemudian Allah menghidupkan mereka kembali agar mereka bertobat dan bersyukur terhadap nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka. Cobaan itu merupakan ujian Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, dengan cobaan itu akan sesat orang-orang yang tidak kuat imannya, dan dengan cobaan itu pula Dia memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang kuat imannya.
Selanjutnya Musa berdoa, "Wahai Tuhan kami, Engkaulah yang mengurus segala urusan kami, mengawasi segala apa yang kami kerjakan, maka ampunilah kami terhadap segala perbuatan dan tindakan kami yang mengakibatkan azab bagi kami. Beri rahmatlah kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pemberi rahmat dan Pemberi ampun. Hanya Engkaulah yang mengampuni segala dosa dan memaafkan segala kesalahan kami. Mengampuni dan memaafkan itu bukanlah karena sesuatu maksud tertentu, tetapi semata-mata karena sifat-Mu yang Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MUSA DENGAN BANI ISRAIL (IV)
Ayat 155
“Dan, dipilihlah, oleh Musa dari kaumnya itu tujuh puluh laki-laki untuk pertemuan Kami. Maka, tatkala gempa datang mengenai mereka, berkatalah dia."
Menurut sebagian besar ahli tafsir, setelah sebagian Bani Israil berbuat kesalahan besar itu, sesudah dihukum mana yang berat kesalahannya, dengan disuruh membunuh diri dan si Samiri sudah dibuang jauh dan diputuskan hubungannya dengan manusia, memohonlah Nabi Musa kepada Allah supaya diterima kembali menghadap. Dia akan menghadap bersama orang-orang tua pemuka-pemuka Bani Israil yang bertanggung jawab, tujuh puluh orang laki-laki banyaknya. Permohonan itu dikabulkan oleh Allah dan ditentukan Allah-lah waktunya buat menghadap. Maka, beliau bawalah mereka mendaki Gunung Thursiiia. Setelah dekat ke tempat pertemuan, itu, digempakan Allah-lah bumi sekitar, sebagai suatu peringatan. Maka, Musa yang telah mengalami dipertemukan kedua laksana hancurnya gunung es kena cahaya panas matahari, mengertilah apa arti gempa itu.
Musa sendiri sebagaimana telah kita ketahui sejak pengalaman yang dahulu itu, sekali-kali tidak memohon lagi hendak melihat Allah. Namun, di dalam kalangan pengikutnya yang tujuh puluh orang itu, masih ada yang ingin tahu, ingin melihat bagaimana rupa Allah. Tiba-tiba, gempa datang; semua bergeleparan pingsan karena takut. Di sinilah Musa berseru, “Ya Tuhanku! Kalau Engkau kehendaki, tentu telah Engkau binasakan mereka terlebih dahulu dan aku sendiri pun." Seruannya kepada Allah ini adalah suatu permohonan yang telah berubah sama sekali dari permohonannya hendak melihat Allah dahulu itu. Di sini dia berdoa: Tuhanku, kalau Engkau tajalli-kan diri-Mu sekarang, sebab aku dan kaumku telah merasai gempa itu sebagai tandanya, niscaya hancurlah kami, matilah kami, mereka dan aku di tempat ini. Apalah akan kata kaumku Bani Israil kalau kami binasa di sini karena tidak tahan kena nur dari tajalli-Mu. Akan apa kata mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka telah mati. Mengapa kami tidak mati saja semuanya, termasuk aku sendiri, sebelum kami datang ke mari sehingga kami semuanya binasa karena kesalahan yang bersalah di antara pengikut kami? Lalu sembahnya pula, “Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang pandir di antara kami?" Telah Engkau gempakan bumi, Isyarat bahwa Engkau akan tajalli, sebagaimana tajalli kepada gunung itu dahulu, artinya kami akan binasa di sini. Tuhanku! Apakah kami akan dibinasakan di sini karena pengikut kami yang bodoh-bodoh berbuat salah menyembah berhala. Padahal, “Ini tidak lain hanyalah percobaan Engkau jua, akan Engkau sesatkan dengan dia." Yaitu, dengan sebab percobaan itu “barangsiapa yang Engkau kehendaki dan … Engkau beri petunjuk barangsiapa yang Engkau kehendaki."
Begitulah doa munajat Musa setelah gempa itu terasa. Memohonlah dia agar janganlah mereka sampai dibinasakan di waktu itu, di tempat itu, sebab itu akan membawa cemas kepada kaumnya yang tinggal, sedang mereka yang tinggal itu semuanya adalah orang-orang yang telah tobat dan sebagai tanda tobat maka tujuh puluh orang yang terkemuka dibawa kemari. Padahal, kejadian itupun tidak lain daripada percobaan Allah jua, penapis dan penyi-sihkan di antara yang diberi hidayat dengan yang tersesat, saringan atau seleksi. Dan, Allah sendiri pun berfirman, sebagai tersebut dalam surah Thaahaa ayat 85 kepada Musa ketika dia akan pulang dari pertemuan 40 hari itu bahwa sepeninggal dia, Allah telah mendatangkan percobaan dan ujian kepada kaumnya. Peringatan percobaan dari Allah inilah yang diulangkan Musa kembali dalam munajatnya itu. Sebagai penutup dari munajatnya dia berseru,
“Engkaulah pelindung kami sebab itu ampunilah kami dan rahmatilah kami sedang Engkau adalah yang sebaik-baik pemberi ampun."
Di sini Musa memohonkan ampun bagi mereka, walaupun ketua-ketua itu tidak bersalah; sebab mereka tidak terlepas dari tanggung jawab. Harun pun tidak terlepas dari tanggung jawab, bahkan hati nurani Musa pun merasa tidak terlepas dari tanggung jawab. Memohon ampun jika ada salah dan memohon diberi rahmat, yaitu ditunjukkan pula jalan yang benar buat masa yang seterusnya.
Kemudian itu beliau teruskan lagi munajat beliau,
Ayat 156
“Dan tuliskanlah kiranya untuk kami suatu kebaikan di dunia dan (juga) di akhinat. Sesungguhnya kami telah bertobat kepada Engkau."
Kelalaian yang lama mohon diampuni, rahmat yang baru mohon didatangkan, tetapi kami berjanji akan terus menegakkan amal yang baik, selama nyawa masih dikandung badan di dunia ini. Moga-mogalah kiranya Engkau, Ya Allah, menuliskan kebaikan yang kami perbuat, baik di dunia dan juga di akhirat kelak.
Apabila kita baca dengan saksama dan penuh renungan, betapa bunyi munajat Musa ini, Al-Qur'an telah membayangkan kepada kita kembali siapa Musa dan bagaimana besar pribadi Rasul Allah yang istimewa itu, yang sampai 135 kali namanya tersebut di dalam Al-Qur'an. Seorang yang gagah perkasa, lekas marah dan lekas minta maaf, besar rasa tanggung jawab, menyediakan segenap umur, tenaga memikul risalah Ilahi, cinta kasih pula kepada kaumnya, dan selalu ingin berbuat yang lebih baik. Maka, Allah yang memang mempunyai sifat pengampun dan kasih sayang menjawab munajat itu.
“Dia berfirman, ‘Adzab-Ku akan Aku kenakan dia kepada barangsiapa yang Aku kehen-daki dan rahmat-Ku melewati tiap-tiap sesuatu.'" Inilah jawaban yang mencinta dan rasa tauhid bagi tiap-tiap Mukmin. Dia akan mendatangkan adzab kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, tentu saja yang berbuat salah itulah yang dikehendaki Allah buat diberi adzab. Akan tetapi, rahmat Allah meliputi tiap-tiap sesuatu. Artinya, bahwa rahmat Allah itu meliputi tiap-tiap sesuatu, di langit dan di bumi, manusia dan segala makhluk. Rahmat lebih luas dan meliputi dari segala adzab. Yang di-adzab hanya yang bersalah. Bahkan kalau didalami lagi, adzab itu pun sebagian daripada rahmat juga. Sebab, dia membasuh kekotoran mereka, sehabis diadzab mereka akan bersih kembali.
“Maka, akan Aku tuliskan dia untuk orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang mengeluarkan zakat dan orang-orang yang percaya akan ayat-ayat Kami."
Jawab yang begini pendek dari Allah niscaya menimbulkan semangat baru bagi Musa. Gempa di gunung bukanlah Allah hendak tajaili kepada mereka, melainkan sebagai peringatan belaka. Meminta ampun diberi ampun dan yang bersalah akan dihukum, menjatuhkan hukum dan siapa yang akan dihukum itu adalah ilmu Allah. Namun, rahmat Allah lebih luas daripada hukum. Hukum hanya sebentar, tetapi rahmat tetap jadi dasar. Pekerjaan wajib diteruskan, dengan menegakkan takwa kemudian mengeluarkan zakat dan yakin serta percaya akan ayat-ayat atau peringatan Allah. Bertambah maju ketakwaan, bertambah ringan mengeluarkan zakat, artinya membersihkan diri daripada pengaruh harta benda dan sudi menolong sesama manusia, yang tumbuh lantaran iman maka akan bertambah terasalah betapa besarnya rahmat Allah yang akan diterima. Allah berjanji bahwa semuanya itu akan dituliskan Allah. Dikemuka-kan di sini dengan khas kesudian mengeluarkan zakat sebab fitnah harta benda kerap kali melemahkan iman orang.
Kisah Musa menghadap Allah dengan tujuh puluh pemuka Bani Israil sudah habis hingga itu. Akan tetapi, inti perjuangan Musa belum habis. Musa dan Harun telah datang dan telah pergi, telah hidup dan telah mati. Akan tetapi, pokok ajaran syari'atnya masih terus dan masih diteruskan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sesudahnya, sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ. Sebab, umat yang mengaku pengikut Musa masih ada di waktu Nabi Muhammad ﷺ diutus dan mengakui setia kepada syari'at Musa dan umat pengikut Isa al-Masih pun masih ada. Kepada Musa di Gunung Thursina telah diperingatkan bahwa rahmat Allah akan dituliskan untuk mereka itu, tersebab takwa, zakat dan iman. Sekarang tugas dan risalah Musa dan Harun dan nabi-nabi Bani Israil yang sesudah mereka, sampai, kepada Isa al-Masih telah dilanjutkan oleh Muhammad ﷺ.
Syari'at yang berkecil-kecil bisa berubah menurut perubahan zaman dan tingkat kecerdasan umatyang didatangi, tetapi pokok ajaran tidaklah berubah. Dasar yang tidak berubah untuk selama-lamanya itu ialah ketiga perkara tadi; takwa, zakat, dan iman kepada ayat-ayat Allah. Dengan memegang pedoman ini niseya percayatah mereka kepada segala rasul-rasul Allah dan Rasul penutup, Nabi Muhammad ﷺ Inilah yang dijelaskan pada ayat berikutnya:
Ayat 157
“(Yaitu) orang-orang yang menuruti akan Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapati akan dia tertulis di sisi mereka dalam Tamat dan injil."
Nabi yang ummi. Ummi artinya yang tidak pandai menulis dan membaca. Nabi kita disebut ummi karena beliau ketika diangkat menjadi rasul itu tidaklah pandai menulis dan membaca. Di waktu mula-mula wahyu turun kepadanya di Gua Hira' Malaikat Jibril telah menyuruhnya membaca. Dengan terus terang beliau menjawab bahwa beliau tidak pandai membaca. Beliau buta huruf. Kalau sekarang bolehlah disebut bahwa beliau bukan seorang terpelajar yang membaca kitab-kitab. Bahkan dalam kaumnya sendiri dalam 1.000 orang, agak seorang pun jarang yang pandai menulis dan membaca, tetapi ruh beliau telah diberi keistimewaan oleh Allah sehingga sanggup jiwa itu menerima wahyu Ilahi. Dan, hal ini bukanlah satu hal yang mengherankan; sedangkan seorang yang disebut orang “genius" orang-orang luar biasa yang lain, bisa mencapai martabat keduniaan yang tinggi padahal buta huruf. Masyhur dalam riwayat bahwa Sultan Akbar di Hindustan, sampai wafatnya pun buta huruf. Tidak pandai menulis dan membaca padahal beliau seorang filsuf dan raja besar yang luar biasa pandainya mengatur peme-rintahan. Kalau orang “genius" bisa demikian, betapa lagi kalau seorang Rasul Allah? Oleh sebab itu, bagi Nabi kita Muhammad ﷺ gelaran ummi ini bukanlah suatu kehinaan, melainkan menjadi kemuliaan. Dan, disebutkan selanjutnya bahwa nama beliau atau sifat-sifat beliau telah tertulis di sisi Ahlul Kitab itu, telah tersebut bahwa beliau akan datang sebagai nabi akhir zaman di dalam Taurat dan Injil. Telah lama kedatangan beliau ditunggu-tunggu oleh mereka sebab Nabi Musa dan Nabi Isa pun telah mengisyaratkan kepada mereka bahwa Nabi itu akan datang. (Nanti setelah selesai menafsirkan ayat, akan kita kemukakan beberapa bukti dari Taurat dan Injil yang beredar sekarang bahwa Isyarat itu masih terdapat dalam kitab-kitab nabi-nabi yang dahulu itu.)
Lalu, sambungan ayat menegaskan tugas-tugas dan risalah yang dibawa oleh Nabi yang ummi itu. “Yang menyuruh akan mereka berbuat yang ma'ruf dan mencegah akan mereka ber-buat yang mungkar." Inilah dua tugas utama dan pertama dari Nabi Muhammad ﷺ untuk seluruh manusia termasuk Ahlul Kitab. Di dalam tafsir-tafsir kita yang terdahulu telah banyak kita memberi arti tentang ma'ruf, seumpama di dalam surah al-Baqarah tentang nikah, kawin, dan talak supaya pergaulan suami-istri hendaklah dalam suasana yang ma'ruf. Arti asal dari ma'ruf ialah yang dikenal; dari kata ma'rifat. Artinya bila suatu perintah datang kepada manusia yang berakal budi, langsung disetujui oleh hatinya karena hati nurani mengenalnya sebagai suatu yang baik, yang memang patut dikerjakan. Oleh sebab itu, segala perintah yang dikerjakan oleh Nabi yang ummi itu pastilah sesuai dengan jiwa. Sebab, jiwa mengenalnya sebagai suatu yang baik. Misalnya, diperintahkan beribadah kepada Allah dengan shalat. Memang patutlah shalat itu. Diperintahkan berzakat membantu fakir miskin, memang patutlah fakir miskin dibantu. Diperintah berlaku hormat kepada ibu bapak, memang perintah yang demikian sesuai dengan hati nurani manusia yang berbudi. Oleh sebab itu, tidaklah ada suatu perintah pun yang tidak ma'ruf kepada jiwa; kecuali jiwa yang sakit.
Demikian pula ketika Dia mencegah dari yang mungkar. Arti mungkar ialah tidak disukai, dibenci atau ditolak oleh jiwa yang murni. Dilarang misalnya mencuri harta orang lain. Ketika larangan itu keluar semua orang tentu setuju sebab semua orang benci kepada mencuri. Sedangkan si pencuri sendiri tidak juga senang dikatakan pencuri! Dilarang memberikan saksi atau sumpah palsu; tentu semua orang yang berakal budi setuju dengan larangan itu sebab semua orang benci akan perbuatan demikian walaupun belum ada misalnya peraturan agama. Sehingga kalau kita ambil perumpamaan yang sebaliknya, misalnya ada perintah mengerjakan yang jahat atau larangan mengerjakan yang baik; niscaya manusia akan menyanggah perintah itu karena tidak sesuai dengan perasaan ma'ruf dan mungkar yang ada dalam jiwa mereka. Itulah sebabnya agama Islam itu dinamai juga agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan jiwa murni manusia. Dalam jiwa murni manusia itu, bersamaan dengan tumbuhnya akal manusia telah mempunyai dasar menyukai yang ma'ruf dan membenci yang mungkar. Akan tetapi, oleh karena di atas manusia ada Allah yang mengatur, diutus-Nya-lah Nabi untuk membimbing dan mengatur serta menunjuki mana yang ma'ruf dan mana yang mungkar.
“Dan, yang menghalalkan bagi mereka akan yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang keji-keji." Sehubungan dengan ma'ruf dan mungkar tadi, demikian juga tentang thayyibat dan khaba-its, yang baik-baik dan yang keji-keji, buruk dan jijik. Didahulukan menyebut yang baik-baik karena itulah yang lebih banyak dalam alam ini. Yang terutama ialah berkenaan dengan makanan yang akan dimakan. Lalu, Nabi yang ummi disuruh menjelaskan empat macam yang keji-keji, yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sesuatu yang disembelih untuk berhala.
Diharamkan pula meminum segala yang memabukkan sebab kalau manusia telah mabuk, dia pun bisa berbuat yang keji. Orang mau berzina dengan anaknya sendiri kalau orang telah mabuk. Sebab, akalnya buat menimbang buruk dan baik telah padam waktu ia mabuk itu. Diharamkan menipu, mencuri, merampok dan segala yang merugikan orang lain.
Dihalalkan semua binatang ternak seumpama kambing, domba, lembu, kerbau, dan unta. Namun, disuruh terlebih dahulu menyembelihnya dengan baik supaya ia menjadi makanan yang baik pula, jangan makan bangkai, sebab bangkai itu keji dan jijik dan menurunkan martabat manusia. Maka, dengan keempat ketentuan itu, menyuruh yang ma'ruf, mencegah yang mungkar, diteruskan lagi dengan menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang keji-keji. Manusia itu dinaikkan martabatnya sebagaimana tersebut di dalam surah al-Israa' ayat 70,
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam dan telah Kami beri mereka angkutan di darat dan di laut dan telah Kami beri rezeki mereka dengan yang baik-baik dan telah Kami lebihkan mereka di atas kebanyakan dari makhluk Kami dengan sebenar-benar kelebihan." (al-Israa': 70)
Sebab itu sahabat Rasulullah ﷺ telah terkenal, Abdullah bin Mas'ud, pernah menga-takan, “Kalau orang telah mendengar firman Allah dimulai dengan ‘Wahai orang-orang yang beriman', pasanglah telinga baik-baik. Sebab, kata demikian pasti dituruti oleh perintah berbuat baik atau larangan berbuat jahat.
Dan, tersebut pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad r.a. bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Apabila engkau mendengar suatu Hadits duriku yang dikenal akan dia oleh hati nuranimu dan tunduk rasanya rambut-rambut kamu dan tubuh -tubuh kamu sehingga kamu rasakan dia dekat kepada kamu maka akulah orang yang paling dekat kepadanya. (Sebaliknya), jika kamu dengar suatu hadits daripadaku tapi hatimu menolak dan tidak mau rasanya rambut-rambut dan tubuh-tubuhmu menerima dan kamu pandang bahwa dia jauh daripadamu maka aku pun lebih jauh pula dari Hadits ini daripada kamu." (HR Imam Ahmad)
Kemudian dilanjutkan lagi, “Dan yang menanggalkan daripada mereka beban yang mem-berati mereka dan belenggu-belenggu yang ada atas diri mereka."
Inilah tugas Rasulullah ﷺ yang kelima dan keenam, yang diisyaratkan di sisi mereka dalam Taurat dan Injil. Yaitu menanggalkan beban berat yang menghimpit bahu mereka selama ini karena kerasnya peraturan.
Misalnya, kaum Nabi Musa tadi, disuruh tobat karena menyembah ‘ijil ialah dengan membunuh diri. Atau berbagai macam yang dilarang kepada orang Yahudi, seumpama binatang yang tidak berbelah kukunya dan yang tidak memamah biak atau tidak boleh memakan lemak binatang dan sebagainya. Datang Nabi Muhammad ﷺ menghindarkan peraturan-peraturan yang berat itu. Demikian juga seumpama peraturan hidup kependetaan yang tidak boleh berkawin pada orang Nasrani; yang kalau semua orang menjalankannya bisa menyekat jalannya kemakmuran hidup atau kalau dijalankan oleh sebagian orang, akan memberati dia kepada masyarakat umum. Oleh sebab itu, ketika Rasulullah ﷺ mengutus dua orang mubaligh ke negeri Yaman, yaitu Abu Musa al-Asy'ari dan Mu'adz bin Jabal, beliau berpesan:
“Gembirakanlah, dan jangan dibikin mereka menjadi jauh. Mudahkanlah jangan dipersukar-sukar. Dan, berturut-turullah dan jangan berselisih." (HR Bukhari dan Muslim)
Tentang belenggu-belenggu yang beliau bukakan mereka dari kungkungan dan ikatannya ialah karena tadi umat ini selama ini telah dibelenggu pikirannya oleh peraturan-peraturan yang diperbuat oleh pendeta-pendeta dan ketua-ketua agama mereka. Sehingga peraturan yang mereka perbuat sudah sama pula beratnya dengan ketentuan daripada Allah dan Rasul sendiri. Sehingga pecahlah mereka, membebaskan diri dari peraturan-peraturan itu. Sehingga umat seakan-akan terikat dengan berbagal-bagai macam tambahan peraturan, upacara dan ceremony yang dari Allah dan rasul-rasul-Nya sendiri tidak ada. Datang Muhammad ﷺ mengajak mereka memakai pikiran sendiri. Karena kebebasan pikiran itulah puncak dari puncak segala kemerdekaan.
“Maka, orang-orang yang beriman kepadanya." Karena sudah terang enam macam itulah inti ajarannya bagi keselamatan anak-anak Adam dan tidak ada ajarannya itu yang akan membawa celaka bagi manusia melainkan membawa ketinggian martabatnya. “Dan me-muliakannya dan menolong akan dia." Kata tafsir Ibnu Abbas, “Memuliakan dan mem-besarkannya." Dan menurut keterangan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf, membelanya dan membentengkan diri apabila ia diganggu oleh musuh. Dan, menolong akan dia, berdiri di dekat dia, bahu-membahu dengan dia di dalam menegakkan ajaran Allah di atas dunia ini. “Dan mengikut akan cahaya yang diturunkan bersama dia." Yaitu Al-Qur'an. Sebab, Al-Qur'an itu ialah cahaya atau nur yang apabila cahaya Al-Qur'an itu telah masuk ke dalam jiwa, sebagaimana matahari memberi cahaya kepada benda.
Jadi, di dalam ayat ini bertemulah empat syarat yang tidak boleh terpisah. Pertama, percaya atau beriman kepadanya. Kedua, muliakan dia. Ketiga, tolong dan bela dia. Turuti cahaya Al-Qur'an yang beliau pimpinkan itu. Maka, di ujung ayat datanglah janji Allah, barangsiapa yang memegang akan empat syarat itu, tidak ditinggalkan salah satu pun.
“Itulah orang-orang yang akan beroleh kejayaan."
Abi Thalib hanya memegang dua, yaitu dia hormati dan dimuliakannya anaknya itu dan dia bela dengan jiwa raganya sendiri ketika musuh-musuh menentangnya, tetapi dia tidak percaya bahwa kemenakannya itu Rasul dan dia tidak ikut cahaya Al-Qur'an. Sebab itu, dia bukanlah mencintai Muhammad sebagai Rasul, melainkan mencintai Muhammad sebab dia adalah putranya, anak adiknya. Sebab itu, Abi Thalib tidak beroleh kejayaan. Itu sebab maka ketika dia wafat. Nabi Muhammad ﷺ sangat bersedih hati.
Di ujung ayat ditegaskan bahwa orang yang berpegang kepada keempat syarat itu pasti akan beroleh kejayaan atau kemenangan. Maka, amat luaslah yang tercakup di dalam kata-kata)a itu, yang kadang-kadang di zaman sekarang disebut juga sukses. Baik kejayaan bagi kemajuan diri sendiri atau kejayaan masyarakat bersama sebagai gabungan dari pribadi-pribadi yang Mukmin. Dan, dengan ayat ini Rasulullah ﷺ disuruh mengajak Ahlul Kitab; marilah bersama-sama dengan kawan-kawanmu yang lain untuk mencapai kejayaan itu. Kalau aku telah mengulangkan kembali kisah apa yang akan terjadi setelah Musa dan Harun membebaskan nenek moyangmu daripada perbudakan dan penindasan Fir'aun, kemudian ada yang sesat sampai menyembah berhala, dan kamu sendiri pun mengenai akan kisah itu dari cerita orang-orang tuamu atau dari dalam kitab Taurat yang kamu pegang, sekarang pekerjaanku diutus oleh Allah Ta'aaia ialah menggenapkan ajaran Musa dan Harun itu juga. Dan, kedatanganku ini pun telah mereka isyaratkan kepada nenek moyangmu di zaman dahulu. Dengan percaya akan seruanku ini bukanlah berarti kamu berpindah agama, melainkan meneruskan agama yang telah diajarkan oleh nabi-nabi yang dahulu itu juga.
ANGGAPAN AHLUL KITAB TENTANG RASUL TERAKHIR
Oleh karena ada, rupanya Isyarat-Isyarat di dalam kitab-kitab suci yang lama, terutama Taurat dan Injil bahwa memang akan datang Nabi akhir zaman maka pengharapan akan kedatangan Nabi itu merata dalam kalangan Yahudi dan Nasrani di masa Nabi Muhammad datang. Di dalam negeri Madinah sendiri, menurut riwayat dari orang-orang Anshar kabilah Aus dan Khazraj, sebelum Nabi Muhammad ﷺ datang, orang Yahudi selalu membanggakan diri mereka bahwa kecerdasan mereka lebih tinggi sebab mereka mempunyai kitab suci dan kelak akan datang lagi seorang nabi. Sifat-sifat nabi itu mereka kenal di dalam Taurat sebagai mengenal anak mereka sendiri.
Ulama-ulama dan pemuka-pemuka Yahudi mengakui bahwa memang ada berita gembira atas akan datangnya Muhammad ﷺ di dalam Taurat, tetapi yang setengah sudi memeluk Isiam dan yang setengahnya lagi dengan keras menolak dan kufur. Sebagaimana terjadi dengan Kayafas, kepala kahin orang Yahudi di zaman al-Masih. Menurut Yohanes dalam Injilnya di pasal 11 dan pasal 18, Kayafas itu pun seorang Nabi, dan dia mengenal al-Masih. Dia tahu bahwa Isa memang al-Masih. Akan tetapi, dialah yang paling memusuhi al-Masih
dan dialah yang mengemukakan usul kepada Pilatus supaya dia atau al-Masih itu dibunuh. Begitulah juga kaum Yahudi, terutama pemuka-pemuka di zaman Rasulullah ﷺ. Dan, menurut riwayat dari Abu Hurairah, Nabi pernah datang ke tempat orang-orang Yahudi berkumpul mempelajari agama mereka. Di sana beliau meminta bertemu dengan guru yang paling alim di antara mereka lalu keluarlah menemui beliau seorang alim mereka bernama Abdullah bin Shuria. Lalu, bercakap-cakap beliau dengan dia, diingatkan Rasul kembali kepadanya keistimewaan agamanya dan betapa Allah memberi mereka makanan manna dan salwa dan di dalam perjalanan mereka dilindungi dengan awan. Kemudian Rasulullah ﷺ bertanya kepada Abdullah bin Shuria itu, “Adakah kamu semua mengetahui bahwa aku ini adalah Rasul Allah?" Abdullah bin Shuria menjawab, “Ya Allah! Benar engkau Rasulullah dan semua orang Yahudi mengetahui apa yang aku ketahui ini, apatah lagi sifat-sifat engkau dan gelar engkau tertulis nyata di dalam Taurat Akan tetapi, mereka dengki kepada engkau." Lalu Nabi ﷺ Bertanya, “Apa yang menghalangi engkau sendiri buat beriman kepadaku?" Dia menjawab terus terang, “Aku tidak ingin berselisih dengan kaumku. Mudah-mudahan mereka sudi mengikut engkau lalu masuk Islam maka di waktu itu aku pun masuk."
Satu riwayat lagi dari istri Nabi sendiri, Shafiyah binti Huyai bin Akhthab, Dan, Huyai bin Akhthab ini (ayah dari Shafiyah) adalah pemimpin Yahudi yang memimpin segala tantangan dan perlawanan terhadap Rasulullah ﷺ. Dan, mati dibunuh karena memimpin pengkhianatan Yahudi Bani Quraizhah. Sedangkan anak perempuannya, Shafiyah, dapat ditawan ketika kaum Muslimin menaklukkan Khaibar lalu dimerdekakan oleh Rasulullah ﷺ. Dan, dijadikan istri. Ibu kita kaum beriman ini, bercerita tentang ayahnya, “Ketika Rasulullah telah hijrah dari Mekah ke Madinah, sesampai beliau di Quba, ayahku Huyai bin ‘Akhthab dan awmi (saudara ayah), Abu Yasir bin Akhthab, masih pagi hari telah pergi ke Quba hendak mengetahui kedatangan beliau itu. Belumlah ayahku kembali sehingga sampai terbenam matahari. Maka, pulanglah keduanya dalam keadaan lelah, malas, muram, dan berjalan berlambat-lambat. Lalu, aku intip kelakuan keduanya, sedang mereka tidak ada yang menoleh kepadaku, dalam keadaan wajah mereka yang tampak mengandung susah itu. Lalu, terdengar olehku pamanku, Abu Yasir, berkata kepada ayahku,
“Diakah orang itu?" (Diakah yang telah diberitakan dalam Taurat itu?) Ayahku menjawab, “Memang benar, dialah, demi Allah!" Pamanku bertanya lagi, “Apakah engkau tetap mengakui bahwa dialah orangnya dan engkau benar-benar mengenalnya?" Ayahku menjawab, “Benar!"
Jelaslah, setelah memerhatikan berita yang dibawakan putrinya itu, yang kemudian telah menjadi istri Rasulullah ﷺ bahwa sikap Huyai memusuhi Nabi, sampai bersumpah bahwa sampai mati dia akan tetap memusuhi Nabi, bukan karena mengingkari ajarannya dan bukan pula karena tidak ada tanda-tandanya di dalam kitab yang dia pegang, melainkan karena dengki, benci, dan dendam belaka.
Sebab mulai saat itu kenabian telah pindah kepada orang yang bukan Yahudi. Dan, dengan demikian kita dapat pula menyimpulkan bahwa Huyai bin Akhthab telah kafir dengan sendirinya, bukan saja terhadap Nabi Muhammad ﷺ dengan Al-Qur'annya, bahkan telah kafir terhadap Nabi Musa dengan Tauratnya. Nabi Musa sendiri, telah berpesan tentang akan kedatangan Nabi itu, pesan itulah yang telah diingkarinya walaupun buat itu dia akan mati.
Hawa nafsu yang pantang kelintasan inilah yang kerap kali menyesatkan orang daripada jalan lurus kebenaran, pada segala zaman di dalam dunia. Alhasil, sebelum Nabi
Muhammad ﷺ muncul, mereka menunggu kedatangannya. Setelah dia datang, mereka tidak mau percaya kepadanya. Memang mereka menunggu Nabi, tetapi bukan dia. Sebab, terbesar ialah rasa terhina, mengapa dia orang Arab atau Bani Isma'il, mengapa tidak dalam kalangan mereka, Bani Israil. Karena itu, sampai kepada saat yang terakhir sehingga pertahanan mereka yang terakhir di Khaibar telah dihancurkan, tetapi mereka tetap menentang.
Di dalam kalangan agama Nasrani pun pada masa itu kepercayaan akan kedatangan Nabi itu pun adalah kepercayaan yang merata. Nabi Isa menyebut, (kelak akan kita lebih jelaskan) bahwa Paraclit akan datang sehingga dua abad setelah Nabi Isa meninggal dunia, yaitu pada tahun 177 timbul seorang yang amat shalih bernama Montinus mengatakan bahwa dialah Paraclit yang telah dijanjikan al-Masih akan datang itu. Dan, banyak orang yang menjadi pengikutnya. Hal ini pernah diuraikan oleh Sir William Muir, orientalis terkenal itu dalam catatannya. Ini menjadi bukti bahwa menunggu Paraclit itu memang jadi kepercayaan mereka dalam kalangan Kristen, sampai Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah.
Itulah sebabnya maka Najasyi (Negus), raja negeri Habsyi, setelah mendengar keterangan surah Maryam tentang kesucian Maryarn dan kelahiran Isa yang dibacakan oleh Ja'far bin Abi Thalib, terus menyatakan dirinya memeluk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengutus pula beberapa ahli-ahli agama untuk mempelajari Islam ke Madinah, sebagai kita telah uraikan pada pangkal tafsir juz ke-7 surah al-An'aam. Sampai dalam ucapan syahadatnya, Najasyi berkata, “Aku naik saksi bahwa memang engkaulah Nabi itu yang ditunggu kedatangannya oleh Ahlul Kitab."
Muqauqis, Raja Kristen yang memerintah Mesir ketika membalas surah Nabi, di antara isi suratnya beliau berkata, “Aku memang telah tahu bahwa Nabi itu kekal (telah ada).
Aku sangka pada mulanya dia akan timbul di Syam, Dan, utusan yang engkau utus kepadaku telah aku muliakan." Lalu Muqauqis mengirim beberapa bingkisan tanda persahabatan. Bunyi surat itu memberikan bukti lagi bahwa pada beliau sebagai umumnya orang Kristen di waktu memang itu, memang ada kepercayaan akan kedatangan Nabi itu. Dia tidak membantah. Akan tetapi, dia tidak mau masuk, bukan sebagai Najasyi. Sebab, kedudukannya sebagai Wakil Mutlak Kerajaan Byzantium buat Mesir adalah terlalu sulit kalau dia menukar agama.
Lain halnya dengan Jarud bin al-'Ala raja di negeri Bahrain. Dia pun pemeluk agama Nasrani, tetapi dia orang Arab. Negerinya dianggap sebagai protektorat dari Kerajaan Romawi. Dia pun seorang alim besar dalam agamanya. Mula-mula dikirim utusan menyampaikan dakwah kepadanya. Kemudian dia datang sendiri mengepalai perutusan negerinya menghadap Rasulullah ﷺ. Dan, menyatakan diri masuk Islam. Di antara kata-katanya menyatakan diri masuk Islam itu ialah, “Demi Allah! Memang engkau telah datang dengan kebesaran dan telah bercakap dengan jujur. Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran sebagai Nabi, sesungguhnya telah aku temui sifat-sifat engkau di dalam Injil dan telah diberitakan dengan gembira bahwa engkau akan tiba oleh anak dari Perawan Suci. Maka, rasa hormat yang panjanglah untuk engkau dan kesyukuranlah atas yang memuliakan engkau, tak perlu bukti lagi setelah mata nyata melihat dan tidak ada syak lagi kalau yakin telah tiba. Ulurkanlah tangan engkau dan terimalah pengakuan bahwa: “Tidak ada Tuhan melainkan Allah dan engkau adalah Rasul-Nya."
Beberapa orang cerdik pandai Nasrani datang sendiri ke Mekah dan Madinah, menyatakan diri memeluk Islam, sebagai Adi bin Hatim dan adik perempuannya. Dia adalah putra Hatim Thaiy, dermawan Nasrani yang terkenal. Dan, Tamin ad-Dari beserta kawan-kawannya. Semuanya itu selalu menyebut bahwa memang Muhammad inilah nabi yang dijanjikan Isa itu. Bahkan Salman al-Farisi dalam pengembaraannya dari Iran melalui Baitul Maqdis, meneruskan perjalanan ke Madinah, diberi nasihat oleh seorang pendeta di tengah jalan, supaya pergi menemui Nabi itu, sebab dia telah datang di Hejaz.
Ini diceritakan kemudian oleh Salman setelah dia menjadi salah seorang sahabat Rasulullah yang penting dan menjadi penasihat beliau dalam peperangan Uhud. Kemudian, di zaman Umar bin Khaththab, khalifah ini mengangkat beliau menjadi gubernur untuk tanah tumpah darahnya sendiri.
Sekarang timbul pertanyaan, “Apakah di dalam kitab-kitab Taurat yang ada sekarang atau pun di dalam kitab Injil yang berada di tangan saudara-saudara Kristen, masih bisa kita menemui Isyarat nabi-nabi yang terdahulu? Baik Isyarat Nabi Musa atau Isyarat Nabi Isa? Atau nabi-nabi yang lain?"
Hal itu masih bisa kita cari. Akan tetapi, hendaklah kita maklum bahwa kalau ayat-ayat itu kita kemukakan kepada orang-orang Kristen yang sekarang, terutama kepada zending dan misi, pasti mereka akan memungkiri dan menolaknya. Karena mereka telah terikat lebih dahulu dengan tidak percaya bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah Rasul Allah. Sebab itu, ayat-ayat tersebut pastilah mereka tafsirkan untuk yang lain, bukan untuk Nabi Muhammad ﷺ Yang kedua: kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru itu tidak ada aslinya lagi dan dia telah disalin ke dalam berbagai bahasa. Dan, penyalinan itu tidak pula tetap pada satu kali salinan saja. Misalnya, Injil yang dalam bahasa Inggris yang disalin pada tahun 1612, zaman perantaraan King James II.
Salinan itu hanya terpakai sampai tahun 1952. Ahli-ahli gereja dan ahli-ahli bahasa memandang bahwa bahasa Injil zaman King James II tahun 1612 itu telah kolot, tidak sesuai lagi dengan perkembangan bahasa Inggris sekarang. Sebab, itu, Yale University di Amerika mengadakan suatu panitia penyalinan kembali, menurut gaya bahasa Inggris yang modern. Oleh sebab itu, betapa pun, pemahaman kalimat-kalimat pasti berubah pula dan akan besar pula pengaruhnya dan tidak dapat dijamin lagi bahwa penyalinan yang kemudian itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh Nabi Isa atau pengarang-pengarang Injil ketika dia mereka tulis 100 tahun kurang atau lebih setelah Nabi Isa wafat. Maka, kalau terjadi perselisihan paham, payahlah akan pulang kepada naskah yang asli.
Jangankan Injil bahasa Inggris, Injil dalam bahasa kita sendiri, baik bernama bahasa Melayu ataupun setelah bernama bahasa Indonesia, kita dapati juga banyak perubahan di antara Injil yang disalin atau dicetak di zaman Abdul Kadir Munsyi, dengan gabungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan nama Alkitab dalam bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Lembaga-lembaga Al-Kitab yang bekerja sama di Jakarta pada 1960.
Dan, lagi Dunia Kristen sendiri mengakui bahwasanya Injil yang disahkan oleh seluruh gereja Kristen hanyalah empat saja; Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes. Dunia Kristen pun mengakui bahwa ada lagi beberapa Injil yang lain, bahkan di antara ahli sejarah Injil Kristen sendiri ada yang mengakui sampai 70 buah banyaknya. Selain dari yang empat itu, dipandang sebagai bacaan terlarang dan banyak yang dibakar ketika perebutan-perebutan pengaruh di antara golongan-golongan gereja di zaman pertama itu. Ada beberapa sisa dari Injil terlarang itu yang masih tersimpan rapat di dalam Khadzanah Vatikan di Roma, untuk dokumentasi saja. Tidak sah jika disiarkan.
Satu misal ialah bahwa dalam keempat Injil yang ada itu tidak tersebut bahwa Nabi Isa al-Masih a.s. bercakap-cakap ketika dia masih dalam ayunan, membela ibunya dari tuduhan berzina. Di dalam Al-Qur'an jelas hal ini diterangkan. Keterangan Al-Qur'an ini niscaya menguntungkan orang Kristen, tetapi hanya ada dalam Al-Qur'an. Maka, Prof. Philip K. Hitti pengarang Sejarah Arab, orientalis Arab-Kristen yang terkenal di Princetown University itu mengatakan bahwa Nabi Isa bercakap dalam ayunan ini memang ada tertulis di dalam salah satu Injil yang terlarang itu.
Itulah beberapa kesulitan yang akan kita hadapi dalam usaha kita hendak mencari apakah ada dalam Taurat dan Injil yang sekarang ini kabar gembira nabi-nabi yang dahulu tentang akan datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Sebab, salin punya salin, mungkin saja nama yang mengisyaratkan Muhammad sudah hilang atau sudah amat jauh artinya. Bahkan tidak jauh dari kemungkinan jika kian lama kian dijauhkan segala bau-bau yang akan membawa anti kepada Muhammad.
Sungguh pun begitu, basyarat atau kabar gembira nabi-nabi itu rnasih dapat kita singkap pada Taurat dan Injil yang sekarang dan dapat dibicarakan dengan terlebih dahulu masing-masing kita, baik pihak Islam ataupun pihak zending dan misi melepaskan diri dari “pendirian terlebih dahulu" lalu menengok perbandingan penafsiran masing-masing, manakah yang lebih dekat kepada kebenaran.