Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
أَرۡسَلۡنَا
Kami telah mengutus
رُسُلٗا
beberapa Rasul
مِّن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan/berikan
لَهُمۡ
kepada mereka
أَزۡوَٰجٗا
isteri-isteri
وَذُرِّيَّةٗۚ
dan keturunan
وَمَا
dan tidak
كَانَ
ada
لِرَسُولٍ
bagi seorang Rasul
أَن
akan
يَأۡتِيَ
mendatangkan
بِـَٔايَةٍ
dengan suatu ayat
إِلَّا
melainkan
بِإِذۡنِ
dengan izin
ٱللَّهِۗ
Allah
لِكُلِّ
bagi tiap-tiap
أَجَلٖ
masa
كِتَابٞ
Kitab
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
أَرۡسَلۡنَا
Kami telah mengutus
رُسُلٗا
beberapa Rasul
مِّن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan/berikan
لَهُمۡ
kepada mereka
أَزۡوَٰجٗا
isteri-isteri
وَذُرِّيَّةٗۚ
dan keturunan
وَمَا
dan tidak
كَانَ
ada
لِرَسُولٍ
bagi seorang Rasul
أَن
akan
يَأۡتِيَ
mendatangkan
بِـَٔايَةٍ
dengan suatu ayat
إِلَّا
melainkan
بِإِذۡنِ
dengan izin
ٱللَّهِۗ
Allah
لِكُلِّ
bagi tiap-tiap
أَجَلٖ
masa
كِتَابٞ
Kitab
Terjemahan
Sungguh Kami benar-benar telah mengutus para rasul sebelum engkau (Nabi Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak mungkin bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada ketentuannya.
Tafsir
Ayat ini diturunkan ketika orang-orang kafir mencela Nabi ﷺ karena istrinya banyak, yaitu: (Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan) yakni anak-anak, sedangkan engkau adalah salah satu di antara para rasul itu. (Dan tidak ada hak bagi seorang rasul) di antara para rasul itu (mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah) karena para rasul itu tiada lain hanyalah hamba-hamba yang diasuh-Nya. (Bagi tiap-tiap masa) zaman (ada kitab) yang tertera di dalamnya tentang batas masa berlakunya.
Tafsir Surat Ar-Ra'd: 38-39
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz).
Ayat 38
Allah ﷻ menyebutkan bahwa sebagaimana Kami telah mengutusmu, hai Muhammad, sebagai seorang rasul dan kamu seorang manusia, begitu pula Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum kamu dari kalangan manusia; mereka makan makanan, berjalan di pasar-pasar, dan beristri serta mempunyai anak.
“Dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Ra'd: 38)
Allah ﷻ telah berfirman kepada rasul-Nya yang paling utama dan yang menjadi penutup para rasul: “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku’.” (Al-Kahfi: 110)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Adapun aku berpuasa dan berbuka, berdiri (salat) dan tidur, makan daging dan mengawini wanita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnah (tuntunanku), dia bukan termasuk golonganku.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Abu Ayyub pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Ada empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu memakai wewangian, nikah, bersiwak, dan memakai pacar.”
Abu Isa At-Turmuzi telah meriwayatkannya melalui Sufyan ibnu Waki', dari Hafis ibnu Gailan, dari Al-Hajjaj, dari Mak-hul, dari Abusy Syimal, dari Abu Ayyub, kemudian ia menyebutkan hadis ini. Dan ia (Turmuzi) mengatakan bahwa hadis ini lebih sahih daripada hadis yang di dalam sanadnya tidak disebut Abusy Syimal.
Firman Allah ﷻ: “Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.” (Ar-Ra'd: 38)
Artinya, tidaklah seorang rasul mendatangkan kepada kaumnya sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum alam (mukjizat) melainkan dengan seizin Allah, bukan atas kehendaknya sendiri. Segalanya diserahkan kepada Allah. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa yang disukai-Nya.
“Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (Ar-Ra'd: 38)
Yakni bagi tiap masa tertentu ada kitab yang mencatat batas akhirnya. Segala sesuatu ada batasannya yang ditentukan di sisi-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuz)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj: 70)
Ad-Dahhak ibnu Muzahim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).” (Ar-Ra'd: 38) Yakni bagi tiap kitab ada batas masanya. Dengan kata lain, tiap kitab yang diturunkan dari langit ada batasan masa yang telah ditentukan di sisi Allah dan ada batas masa berlakunya. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
Ayat 39
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki.” (Ar-Ra'd: 39) darinya (kitab-kitab itu).
“Dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) sehingga semuanya di-mansukh (direvisi) oleh Al-Qur'an yang Dia turunkan kepada Rasulullah ﷺ.
Mengenai makna firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Ulama tafsir berselisih pendapat mengenai penafsirannya. As-Sauri, Waki', dan Hasyim telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah-lah yang mengatur urusan sunnah (hukum). Maka Dia menghapuskan apa yang dikehendaki-Nya, terkecuali nasib celaka, nasib bahagia, hidup, dan mati.
Di dalam riwayat lain sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Disebutkan bahwa segala sesuatu yang Dia kehendaki untuk dihapus, Dia menghapusnya, kecuali mati, hidup, celaka, dan bahagia; karena sesungguhnya urusan tersebut telah diselesaikan oleh-Nya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Kecuali hidup, mati, celaka, dan bahagia; hal tersebut tidak berubah.
Mansur mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Mujahid tentang doa seseorang seperti berikut: "Ya Allah, jika namaku berada dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka tetapkanlah namaku itu di antara mereka. Dan jika namaku berada dalam golongan orang-orang yang celaka, maka hapuskanlah namaku dari golongan mereka, dan jadikanlah namaku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahagia." Maka Mujahid menjawab, "Baik." Kemudian Mansur menjumpainya lagi setahun kemudian atau lebih, dan ia menanyakan pertanyaan yang sama kepada Mujahid.
Maka Mujahid membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.” (Ad-Dukhan: 3), hingga akhir dua ayat berikutnya. Kemudian Mujahid berkata bahwa Allah memberikan ketetapan dalam malam yang diberkati segala sesuatu yang akan terjadi dalam masa satu tahun menyangkut masalah rezeki atau musibah. Kemudian Dia mendahulukan apa yang Dia kehendaki dan menangguhkan apa yang Dia kehendaki. Adapun mengenai ketetapan-Nya tentang kebahagiaan dan kecelakaan, maka hal ini telah ditetapkan-Nya dan tidak akan diubah lagi.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Wa'il (yaitu Syaqiq ibnu Salamah) bahwa dia sering sekali mengucapkan doa berikut: "Ya Allah, jika Engkau telah mencatat kami termasuk orang-orang yang celaka, maka sudilah kiranya Engkau menghapusnya, dan catatlah kami ke dalam golongan orang-orang yang bahagia. Dan jika Engkau telah mencatat kami ke dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka tetapkanlah keputusan itu. Karena sesungguhnya Engkau menghapuskan apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan apa yang engkau kehendaki, di sisiMu terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz)." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Abu Hakimah Ismah, dari Abu Usman An-Nahdi, bahwa Umar ibnul Khattab r.a. mengucapkan doa berikut dalam tawafnya di Baitullah seraya menangis: “Ya Allah, jika Engkau telah mencatat nasibku celaka atau berdosa, maka hapuskanlah, karena sesungguhnya Engkau menghapuskan apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan apa yang Engkau kehendaki; dan di sisi-Mu terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz), maka jadikanlah (catatan nasibku) bahagia dan mendapat ampunan.”
Hammad telah meriwayatkan dari Khalid Al-Hazza, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud r.a., bahwa dia pun membaca doa tersebut. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syarik, dari Hilal ibnu Humaid, dari Abdullah ibnu Alim, dari Ibnu Mas'ud.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Khassaf, dari Abu Hamzah, dari Ibrahim, bahwa Ka'b berkata kepada Umar ibnul Khattab, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya tidak ada suatu ayat dalam Kitabullah (Al-Qur'an), tentulah aku akan menceritakan kepadamu apa yang akan terjadi sampai hari kiamat." Umar ibnul Khattab bertanya, "Ayat apakah itu?" Ka'b menjawab bahwa ayat tersebut adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki.” (Ar-Ra'd: 39), hingga akhir ayat.
Pengertian semua pendapat di atas menyimpulkan bahwa takdir itu dapat dihapus oleh Allah menurut apa yang Dia kehendaki dan Dia menetapkan apa yang Dia kehendakia. Pendapat ini barangkali berpegang kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu As-Sauri), dari Abdullah ibnu Isa, dari Abdullah ibnu Abul Ja'd, dari Sauban yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar terhalang dari rezekinya disebabkan dosa yang dikerjakannya, dan tiada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tiada yang dapat menambah usia kecuali perbuatan baik.”
Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Di dalam hadis sahih telah disebutkan bahwa silaturahmi menambah usia. Di dalam hadis lainnya disebutkan: “Sesungguhnya doa dan qada (takdir), kedua-duanya benar-benar saling tolak menolak di antara langit dan bumi.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sahl ibnu Askar, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Jarir, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mempunyai Lauh Mahfuz yang besarnya sejauh perjalanan lima ratus tahun, terbuat dari batu permata (intan) putih yang mempunyai dua penyanggah terbuat dari yaqut. Setiap hari Allah memeriksanya sebanyak tiga ratus enam puluh kali periksaan. Dia menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab.
Al-Lais ibnu Sa'd telah meriwayatkan dari Ziyad ibnu Muhammad, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Fudalah ibnu Ubaid, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Az-Zikr (Lauh Mahfuz) dibuka pada saat malam hari tinggal tiga jam lagi. Pada jam yang pertama dilakukan pemeriksaan oleh Allah padanya yang tiada seorang pun melihat pemeriksaan itu selain Dia, maka Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki”……hingga akhir hadis, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Al-Kalbi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Bahwa Allah menghapuskan sebagian dari rezeki dan menambahkannya, dan Dia menghapuskan sebagian dari ajal (usia) dan menambahkannya. Ketika ditanyakan kepadanya, "Siapakah yang menceritakan hal itu kepadamu?" Al-Kalbi menjawab bahwa yang menceritakannya adalah Abu Saleh, dari Jabir ibnu Abdullah ibnu Rabbab, dari Nabi ﷺ. Sesudah itu ia ditanya mengenai makna ayat ini, maka ia menjawab, "Allah mencatat semua keputusan. Apabila hari Kamis, maka dibiarkanlah sebagian darinya segala sesuatu yang tidak mengandung pahala, tidak pula azab. Seperti ucapanmu, 'Saya makan, saya minum, saya masuk, saya keluar, dan lain sebagainya,' yang menyangkut pembicaraan, sedangkan pembicaraan itu benar. Dan Dia menetapkan apa yang ada pahalanya serta apa yang ada sanksi azabnya."
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Kitab itu ada dua, yaitu Kitab (catatan) yang Allah menghapuskan sebagian darinya menurut apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki darinya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz).” (Ar-Ra'd: 39) Hal ini menyangkut perihal seseorang yang melakukan amal ketaatan selama suatu masa, kemudian ia kembali mengerjakan perbuatan maksiat kepada Allah, lalu ia mati dalam keadaan sesat, maka hal inilah yang dihapuskan. Dan yang ditetapkan ialah perihal seseorang yang mengerjakan kemaksiatan kepada Allah, tetapi telah ditetapkan baginya kebaikan hingga ia mati, sedangkan dia dalam keadaan taat kepada Allah. Maka dialah yang ditetapkan oleh Allah.
Tetapi telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Allah mengganti apa yang Dia kehendaki, maka Dia menghapuskannya; dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, maka Dia tidak menggantinya.
“Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz).” (Ar-Ra'd: 39) Kesimpulan maknanya ialah di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab yang di dalamnya terkandung hal yang dihapuskan, hal yang diganti, dan hal yang ditetapkan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Ayat ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat yang lain: “Ayat apa saja yang Kami revisi, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.” (Al-Baqarah: 106), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Ar-Ra'd: 39) Bahwa orang-orang kafir Quraisy, ketika ayat berikut ini diturunkan: “Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.” (Ar-Ra'd: 38) Mereka berkata, "Sekarang kita tidak melihat Muhammad memiliki suatu kemampuan pun. Sesungguhnya dia tidak berdaya." Maka turunlah ayat ini sebagai ancaman dan peringatan terhadap mereka. Dengan kata lain, disebutkan bahwa sesungguhnya bila Kami menghendaki, tentulah Kami mengadakan baginya sebagian dari urusan Kami menurut apa yang Kami kehendaki. Dan Allah menetapkan pada bulan Ramadan (ketetapan-Nya), maka Dia menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan rezeki-rezeki manusia serta musibah-musibah mereka, dan semua yang Dia berikan dan yang Dia bagikan buat mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan. (apa yang Dia kehendaki). (Ar-Ra'd: 39) Bahwa barang siapa yang ajalnya telah datang, maka ia dimatikan, dan Allah menetapkan kehidupan bagi orang yang ditetapkan-Nya masih hidup hingga sampai pada ajalnya. Pendapat ini dipilih oleh Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah. Firman Allah ﷻ: dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz). (Ar-Ra'd: 39) Maksudnya, perkara halal dan perkara haram. Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah keseluruhan Kitab dan pokoknya.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab.” (Ar-Ra'd: 39) bahwa yang dimaksud ialah Kitab yang ada di sisi Tuhan semesta alam.
Sunaid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepadaku Mu'tamir, dari ayahnya, dari Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah bertanya kepada Ka'b tentang makna Ummul Kitab. Maka Ka'b menjawab, "Ummul Kitab ialah ilmu Allah tentang apa yang Dia ciptakan dan apa yang diperbuat oleh ciptaan-Nya. Kemudian Allah berfirman kepada ilmu-Nya, 'Jadilah engkau sebuah Kitab.' Maka jadilah ia sebuah Kitab.”
Ibnu Juraij mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab. (Ar-Ra'd: 39) Bahwa yang dimaksud adalah Az-Zikr (Al-Qur'an).
Dan jika kaum kafir bertanya mengapa kamu mempunyai istri,
maka ketahuilah wahai Nabi Muhammad, bahwa sungguh Kami telah
mengutus beberapa rasul kepada umat-umat sebelum engkau dari golongan manusia, dan Kami berikan kepada sebagian dari mereka istri-istri dan
keturunan sebagaimana dimiliki oleh manusia lainnya. Jika kaum kafir
itu menuntutmu untuk mendatangkan mukjizat yang kasat mata, maka
sesungguhnya tidak ada hak bagi seorang rasul pun untuk mendatangkan
sesuatu bukti (mukjizat) guna memenuhi tuntutan kaumnya atas kekuatannya sendiri, melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada
Kitab, yakni mukjizat para nabi dan rasul yang sesuai kondisi dengan
masanya. Allah Yang Mahabijaksana menghapus hukum yang layak untuk
dihapus, dan menetapkan apa (hukum) yang Dia kehendaki untuk ditetapkan. Allah melakukan hal itu sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan
yang dimiliki-Nya. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab, yakni Lauh
Mahfudh.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa Dia telah mengutus rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad ﷺ dan mereka beristri dan berketurunan.
Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan berkeluarga dan berketurunan adalah hal yang wajar dan merupakan sunatullah bagi makhluk-Nya yang hidup di muka bumi ini. Sunatullah ini juga berlaku bagi para nabi dan rasul-Nya. Hidup berkeluarga tidak boleh dianggap sebagai penghalang dalam perjuangan, baik demi kemajuan pribadi, masyarakat, maupun bangsa. Bahkan pernikahan menurut ajaran Islam, selain bertujuan untuk melanjut-kan keturunan, juga berfungsi memberikan ketenangan, ketenteraman, dan kestabilan hidup. Pernikahan juga mempererat silaturrahim antara keluarga-keluarga yang bersangkutan dan dapat menjadi sarana dakwah Islamiyah, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ
Karena hidup berkeluarga adalah suatu yang wajar dan merupakan sunatullah, maka manusia tidak boleh menentangnya. Oleh sebab itu, adalah keliru apabila ada pemimpin agama yang mempunyai anggapan bahwa mereka harus menjauhi hidup berkeluarga, agar tidak mengganggu dalam menjalankan agama. Sikap hidup membujang atau tabattul adalah hal-hal yang tidak dikenal dalam agama Islam, bahkan sangat ditentang. Perkawinan dan anak merupakan nikmat dan rahmat Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, perkawinan dan keluarga perlu dipelihara dan dilestarikan sebaik-baiknya.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa orang-orang Yahudi mencela Nabi Muhammad ﷺ karena beliau mempunyai beberapa orang istri. Mereka mengatakan kalau benar-benar Muhammad adalah nabi dan rasul, tentu ia akan menyibukkan diri dengan tugas-tugas kenabiannya saja dan tidak akan mempedulikan perempuan. Mereka juga meminta bermacam-macam bukti tentang kenabiannya, selain Al-Qur'an yang menjadi mukjizatnya. Allah ﷻ telah membantah mereka dengan menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah rasul Allah yang pertama, melainkan sebelum itu Allah ﷻ telah mengutus beberapa rasul dan semuanya adalah manusia biasa yang membutuhkan makan, minum, berkeluarga dan berketurunan, serta melakukan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lainnya, berjalan di pasar, dan sebagainya. Dalam hal ini, Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menegaskan:
Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu. (al-Kahf/18: 110)
Kemudian, dalam ayat ini ditegaskan tentang kewajaran dan kebolehan para rasul itu hidup berkeluarga dan berketurunan. Allah menegaskan bahwa Dia mengaruniai mereka istri dan keturunan.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas bin Malik disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
Adapun aku, aku berpuasa dan berbuka, aku salat di waktu malam, juga tidur, aku juga makan daging dan juga menikahi wanita; maka siapa yang tidak suka kepada sunahku (jalan kehidupanku) tiadalah ia termasuk umatku. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Adapun ayat-ayat atau bukti-bukti kenabian dan kerasulan yang dituntut orang-orang kafir kepada Nabi Muhammad ﷺ dijawab berulang kali dalam Al-Qur'an, bahwa masalah tersebut adalah wewenang Allah semata. Para rasul hanya memperlihatkan mukjizatnya dengan seizin Allah.
Mukjizat terbesar Nabi Muhammad ﷺ adalah Al-Qur'an yang membawa ajaran-ajaran, hukum-hukum, dan peraturan-peraturan yang berperan menuntun manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Qur'an senantiasa terpelihara kemurniannya dan tidak satupun makhluk yang dapat menandinginya, baik dari sisi kandungannya maupun redaksi kebahasaannya.
Ayat-ayat atau bukti-bukti dan mukjizat tidak muncul begitu saja, melainkan harus sesuai dengan hikmah Allah dan selaras dengan masanya. Masing-masing masa tersebut mempunyai ciri tersendiri yang telah ditetapkan Allah. Setiap peristiwa yang terjadi di alam ini mengikuti ketentuan atau takdir-Nya, baik mengenai waktu, tempat, cara, maupun sebab-sebab terjadinya. Mukjizat tidak akan muncul sebelum waktu yang telah ditetapkan Allah. Ajal seseorang, rezeki, dan peristiwa-peristiwa yang dialami di dunia dan di akhirat terjadi sesuai dengan ketentuan Allah. Manusia tidak dapat meminta agar ajalnya datang lebih cepat ataupun lebih lambat dari apa yang telah ditetapkan Allah dalam takdir-Nya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 36
“Katakanlah: Yang diperintahkan kepadaku hanyalah, bahwa aku menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan Dia. Kepada itulah aku menyeru, dan kepada-Nyalah tempat aku kembali."
Pendirian itulah yang senantiasa diulang-ulang, ditegaskan dan dijelaskan. Baik terhadap kaum musyrikin yang menyembah berhala atau terhadap kepada kaum yang diturunkan kitab. Kaum musyrikin supaya menghentikan penyembahan berhala dan kaum Ahlul Kitab kembali kepada pokok yang asli dari ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab itu sendiri. Bagaimanapun yang akan terjadi, namun Nabi Muhammad ﷺ tidak akan berganjak dari pendirian itu. Dia akan tetap pada pendirian mengakui Allah satu, tidak mempersekutukan yang lain dengan Dia, dan itulah yang akan tetap diserukannya, selama hayat dikandung badan. Selangkah pun dia tidak akan undur dari pendirian itu. Kalau Ahlul Kitab merasa gembira berbesar hati, marilah ikut ajaran ini.
Ayat 37
“Dan demikianlah Kami turunkan dia, (sebagai) hukum dalam bahasa Arab."
Al-Qur'an turun dalam bahasa Arab, isinya ialah hukum yang memutuskan menjelaskan garis pemisah di antara kegelapan Jahiliyyah dengan nurul Islam. Pemisah di antara yang hak dengan yang batil. Menjelaskan halal dan haram. Diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga setiap orang dalam masyarakat yang didatangi pada waktu itu dapat mengerti sendiri, Diperingatkan kepada Utusan-Nya oleh Allah bahwa hukum yang telah terang dari Al-Qur'an itu wajib dijelaskan dan dinyatakan, walaupun kafir-kafir itu tidak merasa senang, atau merasa tersinggung. Sebab itu selanjutnya Allah berfirman,
“Dan jika engkau turuti hawa nafsu mereka sesudah datang kepada engkau pengetahuan, maka tidaklah ada bagi engkau selain Allah akan pelindung dan tidak penghambat."
Dengan ujung ayat tegaslah bahwa di dalam menegakkan hukum tidak boleh beliau tenggang-menenggang. Pokok hukum ialah al-Haq, Kebenaran. Dan selain dari Kebenaran hanyalah al-Bathil, yang ada Kebatilan. Kadang-kadang bagi kaum yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, pahitlah buat menelan kebenaran itu. Kalau diterangkanyang sebenarnya, mereka sakit hati. Apakah karena menenggang hawa nafsu mereka itu, supaya mereka jangan tersinggung, kebenaran akan diubah atau disembunyikan sama sekali? Sampai kapan? Boleh dipakai cara yang lunak atau cara yang keras, tetapi lunak atau keras, namun penolak kebenaran akan tetap menolak kebenaran. Di waktu dilunakkan, mereka pun akan menolak dengan lunak, bersilemah tak patah! Padahal Rasul telah diberi pengetahuan, dan mereka yang menentang itu berdiri atas pendirian yang bodoh. Allah menjelaskan, kalau sedikit saja Rasul-Nya memperturutkan hawa nafsu mereka, niscaya kebenaran tidak tegak lagi. Siapa yang akan melindungi Nabi ﷺ kalau itu terjadi? Kalau kebenaran yang tunggal dari Allah ditegakkan, maka Allah berjanji akan melindungi dan Allah yang akan menghambat segala bahaya yang mengancam. Tetapi kalau hawa nafsu si kafir diperturutkan bahaya akan datang bertimpa-timpa, dan tidak ada yang selain Allah itu yang akan dapat menghambat datangnya.
Nabi Muhammad ﷺ pun telah dilatih oleh Allah supaya teguh menegakkan pendirian, dan tidaklah beliau akan cenderung memperturutkan hawa nafsu orang yang ingkar itu. Tetapi peringatan ini diteruskan kepada beliau, karena akan diteruskan kepada kita, pengikut beliau. Jangan mundur menegakkan kebenaran karena tenggang-menenggang dengan hawa nafsu orang kafir. Kebenaran jangan sampai berubah. Karena bila berubah sedikit saja, tidaklah kebenaran lagi namanya. Laksana satu ember air suci, dimasukkan ke dalamnya satu tetes kencing, najislah dia semua.
Ayat 38
“Dan sesungguhnya telah Kami utus rasul-rasul dari sebelum engkau, dan Kami jadikan mereka itu mempunyai istri-istri dan anak cucu."
Tidak berhalangan jika Nabi Muhammad ﷺ itu berumah tangga, sebab rasul-rasul yang dahulu pun berumah tangga juga. Ibrahim beristri dua; Sarah dan Hajar, beranak isma'il dan Ishaq. Ishaq pun demikian. Ya'qub kawin dengan perempuan dua bersaudara dan bertambah lagi dengan dua dayang-dayang, yang disebut selir (gundik). Demikian juga nabi-nabi yang lain. Berumah tangga, beristri dan beranak, bukanlah menurunkan derajat nabi-nabi. Malahan Dawud dan Sulaiman ber-isteri beratus orang, karena demikian susunan masyarakat pada masa itu, apatah lagi kedua beliau itu adalah raja-raja besar. Semasa ayat ini diturunkan (di Mekah) istri Rasulullah baru satu orang yaitu Khadijah dan beranak beliau dengan dia empat anak perempuan (Fathimah, Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqaiyah) dan laki-laki dua orang, Qasim dan Abdullah. Di Madinah dapat anak paling akhir, yaitu Ibrahim. Tetapi sayangnya semua anak laki-laki beliau, menurut hikmat tertinggi dari Allah, meninggal di waktu kedi belaka, sehingga beliau menjadi bapak dari seluruh umatnya, malahan lebih dari bapak dan lebih dari diri kita sendiri, dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu kita seluruh Mukminin (al-Ahzaab ayat 6). Hal Nabi kita beristri dan beranak-cucu ini, dijelaskan pada ayat ini, karena kadang-kadang menyelinap pengaruh agama Nasrani ke dalam pikiran orang Islam, sehingga ada yang menganjur-anjurkan kepen-detaan dan memujikan jika Nabi, hendaklah seperti Nabi isa, tidak pernah kawin, dan tidak pernah punya istri.
“Berkata Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya aku adalah puasa dan berbuka, shalat tengah malam dan tidur, aku makan daging, aku kawini perempuan. Maka barangsiapa tidak mau mengikuti sunnahku itu, tidaklah dia dari golonganku." (HR Bukhari dan. Muslim)
Adapun Nabi Isa al-Masih lain halnya. Memang, Isa al-Masih sebelum meninggal dunia belum sempat kawin, tetapi beliau tidaklah menganjurkan itu, dan tidak mungkin menganjurkan supaya tidak kawin. Karena kalau ada seorang nabi menganjurkan supaya orang jangan kawin, artinya dia menganjurkan hapusnya keturunan manusia dari dalam alam ini. Suatu perintah yang berlawan dengan kehendak Allah.
Di dalam Al-Qur'an, surah al-Hadiid ayat 27 diterangkan benar-benar bila mulainya ada anjuran tidak kawin dalam kalangan agama Nasrani. Yaitu dari pengikut-pengikut nabi yang berperasaan terlalu halus dan kasihan, lalu mereka adakan Rahbaniyah, yaitu pertapaan dengan tidak kawin. Ayat itu menerangkan bahwa yang demikian itu ialah Ibtada'uuha, artinya perbuatan yang mereka timbulkan kemudian, bukan dari ajaran Nabi Isa a.s. sendiri, dan bukan dari syari'at Allah.
Kemudian kita perhatikan pula di dalam Kitab Perjanjian Baru, terutama dari ajaran-ajaran Paulus, yang banyak sekali membuat perubahan dari ajaran Nabi Isa yang asli. Dia pun menganjurkan supaya pendeta-pendeta atau orang-orangyang hendak tekun beragama supaya tidak kawin.
Pada akhir-akhir ini timbullah gerakan dalam kalangan Pendeta Katolik di kota-kota besar dan berpengaruh di Eropa dan Amerika, supaya pendeta-pendeta diperbolehkan kawin, dan sekarang sudah banyak yang kawin.
Selanjutnya Allah pun memperingatkan, “Dan tidaklah ada (kekuasaan) bagi seorang Rasul bahwa (akan) mendatangkan satu ayat, melainkan dengan izin Allah." Yaitu satu mukjizat. Rasul-rasul yang mana pun yang membawakan mukjizat, baik Nuh dengan bahteranya, atau Ibrahim tidak terbakar dimasukkan ke dalam nyala api, atau Musa melemparkan tongkatnya lalu jadi ular, baik Shalih dengan untanya, ataupun Isa al-Masih menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit kusta, bukanlah semuanya itu atas kekuasaan mereka sendiri. Musa tidak akan dapat berbuat apa-apa dengan tongkatnya itu atas kehendaknya sendiri. Setiap mukjizat tongkatnya keluar, terlebih dahulu mesti ada perintah Allah."Lemparkan tongkatmu hai Musa!" Kalau tidak ada perintah, dia tidak berani. Walaupun telah berpuluh kali tongkat itu memperlihatkan keganjilan. Ibrahim tidak berani bertindak sendiri masuk api dengan tidak ada ketentuan dari Allah. Sebab kalau berani-beranian bertindak sendiri, dia pasti terbakar. Nabi Muhammad ﷺ Isra' ke Baitul Maqdis dan MFraj ke langit, hanya sekali. Dan tidak akan dapat mengulang yang kedua kali, kalau tidak ada izin dan panggilan dari Allah.
"Bagi tiap-tiap ketentuan, ada tulisan."
Ayat-ayat atau mukjizat, atau Kharqul ‘Adah, kejadian yang merobek hal yang biasa tidak mustahil kejadian. Tidak mustahil Allah Ta'aala menjadikan sesuatu di luar kebiasaan yang biasa kita pandangi, yang kita namai sebab akibat. Tetapi hal demikian terdaftar di sisi Allah, bagi tiap-tiap ketentuan ada kitabnya, ada tertulis. Tidak ceroboh.
Hal ini menjadi peringatan yang mendalam bagi kita, bahwasanya sedangkan Khususiat Mukjizat terhadap rasul-rasul lagi tidak mudah Allah memberikan, apatah lagi bagi manusia-manusia yang oleh setengah kaum tasawuf disebut waliullah yang keramat dan dapat berbuat yang ganjil. Tentu tidaklah kita akan lekas percaya saja. Apatah lagi hujjah menegakkan agama dan kebenaran ajaran Allah, tidaklah perlu selalu digantungkan kepada keganjilan-keganjilan mukjizat, melainkan lebih penting diceruhkan oleh penyelidikan akal. Sebab itu maka percaya kepada keramat wali-wali itu pasaran tempat dia laris laku ialah di dalam kalangan orang yang kurang berpikir.
Ayat 39
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan Dia menetapkan. Dan di sisi-Nyalah Ummut Kitab."
Untuk menafsirkan ayat ini harus kita ingat bahwa dia adalah lanjutan dari ayat yang sebelumnya, yaitu bahwa rasul-rasul tidaklah berkuasa membuat mukjizat sendiri. Sebab Ummul Kitab — Ibu Kitab, — Pusat Tulisan, ada pada Allah sendiri. Misalnya, peraturan Allah dalam alam yang dikenal oleh manusia tidak bisa pergi ke langit. Tetapi Ummul Kitab yang sebenarnya, sumber dari segala sebab dan akibat ada di tangan Allah. Sekali-sekali Allah perlihatkan, bahwa Ibrahim tidak hangus dibakar, Isa al-Masih dapat berjalan di atas air sebagai orang berjalan di atas tanah rata saja, tongkat Musa dapat menjelma jadi ular, Muhammad bisa Isra' dan Mi'raj ke langit. Ummul Kitab adalah rahasia pimpinan Ilahi atas alam, banyak yang dapat kita ketahui, tetapi berjuta-juta kali lebih banyak yang tidak dapat kita ketahui. Allah dapat menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan dapat pula menetapkan. Allah mempunyai “Administrasi" tersendiri. Kalau tidak demikian, bukanlah Dia Tuhan: A'udzu Billahi.