Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِن
jika
جَآءَكُمۡ
datang kepadamu
فَاسِقُۢ
orang fasik
بِنَبَإٖ
dengan berita
فَتَبَيَّنُوٓاْ
maka jelaskan
أَن
agar
تُصِيبُواْ
kamu (tidak) menimpakan
قَوۡمَۢا
kaum
بِجَهَٰلَةٖ
karena kebodohan/tidak tahu
فَتُصۡبِحُواْ
maka jadilah kamu
عَلَىٰ
atas
مَا
apa
فَعَلۡتُمۡ
perbuatanmu
نَٰدِمِينَ
orang-orang yang menyesal
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِن
jika
جَآءَكُمۡ
datang kepadamu
فَاسِقُۢ
orang fasik
بِنَبَإٖ
dengan berita
فَتَبَيَّنُوٓاْ
maka jelaskan
أَن
agar
تُصِيبُواْ
kamu (tidak) menimpakan
قَوۡمَۢا
kaum
بِجَهَٰلَةٖ
karena kebodohan/tidak tahu
فَتُصۡبِحُواْ
maka jadilah kamu
عَلَىٰ
atas
مَا
apa
فَعَلۡتُمۡ
perbuatanmu
نَٰدِمِينَ
orang-orang yang menyesal
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita) (maka periksalah oleh kalian) kebenaran beritanya itu, apakah ia benar atau berdusta. Menurut suatu qiraat dibaca Fatatsabbatuu berasal dari lafal Ats-Tsabaat, artinya telitilah terlebih dahulu kebenarannya (agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum) menjadi Maf'ul dari lafal Fatabayyanuu, yakni dikhawatirkan hal tersebut akan menimpa musibah kepada suatu kaum (tanpa mengetahui keadaannya) menjadi Hal atau kata keterangan keadaan dari Fa'il, yakni tanpa sepengetahuannya (yang menyebabkan kalian) membuat kalian (atas perbuatan kalian itu) yakni berbuat kekeliruan terhadap kaum tersebut (menyesal) selanjutnya Rasulullah ﷺ mengutus Khalid kepada mereka sesudah mereka kembali ke negerinya. Ternyata Khalid tiada menjumpai mereka melainkan hanya ketaatan dan kebaikan belaka, lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ
Tafsir Surat Al-Hujurat: 6-8
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah ﷻ memerintahkan (kaum mukmin) untuk memeriksa dengan teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam menerimanya dan jangan menerimanya dengan begitu saja, yang akibatnya akan membalikkan kenyataan. Orang yang menerima dengan begitu saja berita darinya, berarti sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan Allah ﷻ telah melarang kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang yang rusak. Berangkat dari pengertian inilah ada sejumlah ulama yang melarang kita menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik.
Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan alasan bahwa kami hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya. Kami telah membahas masalah ini di dalam Kitabul Ilmi bagian dari Syarah Imam Bukhari (karya tulis penulis sendiri). Banyak ulama tafsir yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Walid ibnu Uqbah ibnu Abu Mu'it ketika dia diutus oleh Rasulullah ﷺ untuk memungut zakat orang-orang Banil Mustaliq.
Hal ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur, dan yang terbaik ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui riwayat pemimpin orang-orang Banil Mustaliq, yaitu Al-Haris ibnu Abu Dirar, orang tua Siti Juwariyah Ummul Muminin r.a. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Haris ibnu Abu Dirar Al-Khuza'i r.a. menceritakan hadis berikut: Aku datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ Beliau menyeruku untuk masuk Islam, lalu aku masuk Islam dan menyatakan diri masuk Islam. Beliau ﷺ menyeruku untuk zakat, dan aku terima seruan itu dengan penuh keyakinan. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan kembali kepada mereka dan akan kuseru mereka untuk masuk Islam dan menunaikan zakat.
Maka barang siapa yang memenuhi seruanku, aku kumpulkan harta zakatnya; dan engkau, ya Rasulullah, tinggal mengirimkan utusanmu kepadaku sesudah waktu anu dan anu agar dia membawa harta zakat yang telah kukumpulkan kepadamu." Setelah Al-Haris mengumpulkan zakat dari orang-orang yang memenuhi seruannya dan masa yang telah ia janjikan kepada Rasulullah ﷺ telah tiba untuk mengirimkan zakat kepadanya, ternyata utusan dari Rasulullah ﷺ belum juga tiba. Akhirnya Al-Haris mengira bahwa telah terjadi kemarahan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya. Untuk itu Al-Haris mengumpulkan semua orang kaya kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah menetapkan kepadaku waktu bagi pengiriman utusannya kepadaku untuk mengambil harta zakat yang ada padaku sekarang, padahal Rasulullah ﷺ tidak pernah menyalahi janji, dan aku merasa telah terjadi suatu hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka.
Karena itu, marilah kita berangkat menghadap kepada Rasulullah ﷺ (untuk menyampaikan harta zakat kita sendiri)." Bertepatan dengan itu Rasulullah ﷺ mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepada Al-Haris untuk mengambil harta zakat yang telah dikumpulkannya. Ketika Al-Walid sampai di tengah jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut, lalu ia kembali kepada Rasulullah ﷺ dan melapor kepadanya, "Hai Rasulullah, sesungguhnya Al-Haris tidak mau memberikan zakatnya kepadaku, dan dia akan membunuhku." Mendengar laporan itu Rasulullah ﷺ marah, lalu beliau mengirimkan sejumlah pasukan kepada Al-Haris. Ketika Al-Haris dan teman-temannya sudah dekat dengan kota Madinah, mereka berpapasan dengan pasukan yang dikirim oleh Rasulullah ﷺ itu. Pasukan tersebut melihat kedatangan Al-Haris dan mereka mengatakan, "Itu dia Al-Haris," lalu mereka mengepungnya. Setelah Al-Haris dan teman-temannya terkepung, ia bertanya, "Kepada siapakah kalian dikirim?" Mereka menjawab, "Kepadamu." Al-Haris bertanya, "Mengapa?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepadamu, lalu ia memberitakan bahwa engkau menolak bayar zakat dan bahkan akan membunuhnya." Al-Haris menjawab, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad ﷺ dengan membawa kebenaran, aku sama sekali tidak pernah melihatnya dan tidak pernah pula kedatangan dia." Ketika Al-Haris masuk menemui Rasulullah ﷺ, beliau bertanya, "Apakah engkau menolak bayar zakat dan hendak membunuh utusanku?" Al-Haris menjawab, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum melihatnya dan tiada seorang utusan pun yang datang kepadaku.
Dan tidaklah aku datang melainkan pada saat utusan engkau datang terlambat kepadaku, maka aku merasa takut bila hal ini membuat murka Allah dan Rasul-Nya." Al-Haris melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah ayat dalam surat Al-Hujurat ini, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita. (Al-Hujurat: 6) sampai dengan firman-Nya: lagi Mahabijaksana. (Al-Hujurat: 8) Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis ini dari Al-Munzir ibnu Syazan At-Tammar, dari Muhammad ibnu Sabiq dengan sanad yang sama.
Imam Tabrani telah meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Sabiq dengan sanad yang sama, hanya di dalam riwayatnya disebutkan Al-Haris ibnu Siran, tetapi sebenarnya adalah Al-Haris ibnu Dirar, seperti yang disebutkan dalam riwayat di atas. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Sabit maula Ummu Salamah r.a., dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutus seorang lelaki untuk memungut zakat dari Banil Mustaliq sesudah mereka ditaklukkan dengan jalan perang.
Maka kaum Banil Mustaliq mendengar berita tersebut, lalu mereka menyambut kedatangannya sebagai rasa hormat mereka kepada Rasulullah ﷺ Akan tetapi, setan membisikkan kepada utusan Rasulullah ﷺ bahwa mereka (orang-orang Banil Mustaliq itu) hendak membunuhnya. Maka lelaki itu kembali kepada Rasulullah ﷺ dan berkata kepadanya, "Sesungguhnya orang-orang Banil Mustaliq tidak mau membayar zakatnya kepadaku." Maka Rasulullah ﷺ dan kaum muslim marah mendengar berita itu. Orang-orang Banil Mustaliq mendengar kepulangan utusan tersebut, maka mereka datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan mereka membentuk saf bermakmum kepada Rasulullah ﷺ saat beliau ﷺ salat Lohor. Lalu mereka berkata, "Kami berlindung kepada Allah dari murka Allah dan murka Rasul-Nya, engkau telah mengutus seorang lelaki kepada kami sebagai penarik zakat. Maka kami merasa gembira dan senang dengan berita itu. Tetapi sesampainya di tengah jalan, dia kembali: maka kami merasa takut bila hal itu merupakan suatu kemurkaan dari Allah dan Rasul-Nya (terhadap kami)." Mereka masih terus berbicara dengan Rasulullah ﷺ hingga datanglah Bilal r.a., lalu mengumandangkan azan salat Asar. Ummu Salamah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujurat: 6) Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan ayat ini.
Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengutus Al-Walid ibnu Uqbah ibnu Abu Mu'it kepada orang-orang Banil Mustaliq untuk memungut zakat dari mereka. Dan sesungguhnya mereka ketika mendengar berita itu merasa gembira, lalu mereka keluar hendak menyambut utusan dari Rasulullah ﷺ Tetapi ketika Al-Walid melihat mereka, dalam hatinya ia mengira bahwa mereka hendak membunuhnya, lalu ia kembali kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Banil Mustaliq tidak mau membayar zakat." Maka Rasulullah ﷺ benar-benar marah mendengar laporan itu. Dan ketika kami sedang membicarakan perihal mereka, tiba-tiba datanglah delegasi mereka, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah mendapat berita bahwa utusanmu kembali lagi di tengah jalan, maka kami merasa khawatir bila hal yang mengembalikannya itu adalah surat darimu karena kemarahanmu kepada kami, dan sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kemurkaanNya dan murka Rasul-Nya." Dan sesungguhnya Nabi ﷺ dan kaum muslim telah mengurung mereka dan hampir saja menyerang mereka, tetapi Allah ﷻ menurunkan wahyu-Nya yang membela mereka, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (Al-Hujurat: 6), hingga akhir ayat.
Mujahid dan Qatadah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan Al-Walid ibnu Uqbah kepada Banil Mustaliq untuk mengambil harta zakat mereka. Lalu Banil Mustaliq menyambut kedatangannya dengan membawa zakat (yakni berupa ternak), tetapi Al-Walid kembali lagi dan melaporkan bahwa sesungguhnya Banil Mustaliq telah menghimpun kekuatan untuk memerangi Rasulullah. Menurut riwayat Qatadah, disebutkan bahwa selain itu mereka murtad dari Islam. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan Khalid ibnul Walid r.a. kepada mereka, tetapi beliau ﷺ berpesan kepada Khalid agar meneliti dahulu kebenaran berita tersebut dan jangan cepat-cepat mengambil keputusan sebelum cukup buktinya. Khalid berangkat menuju ke tempat Banil Mustaliq, ia sampai di dekat tempat mereka di malam hari. Maka Khalid mengirimkan mata-matanya untuk melihat keadaan mereka; ketika mata-mata Khalid kembali kepadanya, mereka menceritakan kepadanya bahwa Banil Mustaliq masih berpegang teguh pada Islam, dan mereka mendengar suara azan di kalangan Banil Mustaliq serta suara salat mereka.
Maka pada keesokan harinya Khalid r.a. mendatangai mereka dan melihat hal yang menakjubkan dirinya di kalangan mereka, lalu ia kembali kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan semua apa yang disaksikannya, lalu tidak lama kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Hati-hati itu dari Allah dan terburu-buru itu dari setan. Hal yang sama telah disebutkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abu Laila, Yazid ibnu Ruman, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Walid ibnu Uqbah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah ﷻ: Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. (Al-Hujurat: 7) Yakni ketahuilah bahwa di antara kalian terdapat Rasulullah ﷺ Maka hormatilah dia, muliakanlah dia, bersopan santunlah kamu dalam menghadapinya, dan turutilah perintahnya.
Karena sesungguhnya dia lebih mengetahui kemaslahatan kalian dan lebih sayang kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Dan pendapatnya untuk kalian lebih sempurna daripada pendapat kalian untuk diri kalian sendiri. Hal yang senada disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6) Kemudian Allah ﷻ menjelaskan bahwa pendapat mereka sia-sia bila ditinjau dari segi kemaslahatan mereka. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. (Al-Hujurat: 7) Yakni sekiranya dia menuruti kalian dalam semua apa yang kalian pilih, niscaya hal itu akan mengakibatkan kamu mengalami kesusahan dan merasa berdosa. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman Allah ﷻ: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka, tetapi mereka berpaling dari kebanggaan. (Al-Muminun: 71) Adapun firman Allah ﷻ: tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu. (Al-Hujurat: 7) Yaitu menjadikan iman itu dicintai oleh hati kalian dan memperindahnya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz, telah menceritakan kepada kami Ali ibnuMas'adah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Islam itu terang-terangan dan iman itu di dalam hati. Anas r.a. mengatakan bahwa kemudian Rasulullah ﷺ berisyarat ke arah dadanya sebanyak tiga kali, lalu bersabda: Takwa itu (letaknya) di sini, takwa itu (letaknya) di sini. Firman Allah ﷻ: serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. (Al-Hujurat: 7) Yakni dan Allah menjadikan hatimu membenci kekafiran dan kefasikan yakni dosa-dosa besar, yang dimaksud dengan Al Isyan ialah semua perbuatan durhaka, ini merupakan kesempurnaan nikmat dari Allah ﷻ yang bertingkat-tingkat. Firman Allah ﷻ: Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (Al-Hujurat: 7) Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat ini adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, Allah-lah yang telah menganugerahkan hal ini kepada mereka.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Aiman Al-Makki, dari Abu Rifa'ah Az-Zurqi, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika terjadi Perang Uhud dan pasukan kaum musyrik telah pulang, maka Rasulullah ﷺ bersabda: Berbarislah dengan rapi karena aku akan memanjatkan doa kepada Tuhanku. Maka mereka berbaris membentuk saf-saf di belakang beliau, lalu beliau mengucapkan doa berikut: Ya Allah, bagi-Mu segala puji.
Ya Allah, tiada yang dapat menggenggam terhadap apa yang Engkau bukakan, dan tiada yang dapat membuka terhadap apa yang Engkau genggamkan; dan tiada yang dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang Engkau sesatkan, dan tiada yang dapat menyesatkan orang yang Engkau tunjuki; dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang Engkau cegah, dan tiada yang dapat mencegah terhadap apa yang Engkau beri; dan tiada yang dapat mendekatkan apa yang Engkau jauhkan, dan tiada yang dapat menjauhkan apa yang Engkau dekatkan.
Ya Allah, limpahkanlah kepada kami berkah, rahmat, karunia, dan rezeki-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau nikmat yang kekal yang tidak berpindah dan tidak pula lenyap. Ya Allah, aku memohon nikmat kepada Engkau di hari yang sulit, dan keamanan di hari yang menakutkan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari keburukan apa yang telah Engkau berikan kepada kami dan dari keburukan apa yang Engkau cegah dari kami.
Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada keimanan dan jadikanlah iman itu indah dalam hati kami; dan jadikanlah kami benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan; dan jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Ya Allah, wafatkanlah kami sebagai orang-orang muslim, dan hidupkanlah kami sebagai orang-orang muslim, dan himpunkanlah aku dengan orang-orang yang saleh agar tidak kecewa dan tidak pula terfitnah.
Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang mendustakan rasul-rasul-Mu dan mencegah manusia dari jalanMu, dan jadikanlah siksaan dan azab-Mu atas mereka. Ya Allah, Tuhan Yang Hak, perangilah orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Imam Nasai meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Al-Yaum WalLailah, dari Ziad ibnu Ayyub, dari Marwan ibnu Mu'awiyah, dari Abdul Wahid ibnu Aiman, dari Ubaid ibnu Rifa'ah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
Di dalam hadis yang marfu' disebutkan: Barang siapa yang gembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya, maka dia adalah orang mukmin. Kemudian Allah ﷻ berfirman: sebagai karunia dan nikmat dari Allah. (Al-Hujurat: 8) Yakni pemberian yang telah diberikan kepada kalian ini merupakan karunia dan nikmat dari-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Hujurat: 8) Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan, lagi Dia Mahabijaksana dalam semua ucapan, perbuatan, syariat, dan takdir-Nya."
Setelah kelompok ayat-ayat yang lalu menguraikan tuntunan bagai-mana bertatakrama dengan Rasullah, kelompok ayat ini menguraikan bagaimana berlaku dengan sesama manusia, termasuk kepada orang fasik. Diawali dengan tuntunan bagaimana menghadapi orang fasik, Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita yang penting, maka ja-nganlah kamu tergesa-gesa menerima berita itu, tetapi telitilah terlebih dahulu kebenarannya. Hal ini penting dilakukan agar kamu tidak mence-lakakan suatu kaum karena kebodohan atau kecerobohan kamu mengikuti berita itu yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu yang terlanjur kamu lakukan. Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum muslim agar berhati-hati dalam menerima berita terutama jika bersumber dari orang yang fasik. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat tindakan yang diakibatkan oleh berita yang belum diteliti kebenarannya. 7-8. Selanjutnya ayat ini memberi nasihat kepada orang yang beriman untuk mengikuti Rasulullah dalam semua petunjuknya. Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah, yang sepatutnya dihormati dan dipatuhi semua petunjuknya karena beliau senantiasa dalam bimbingan wahyu Ilahi. Kalau dia menuruti kemauan kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi dengan bimbingan Rasulullah, Allah menjadikan kamu, wahai para sahabat yang setia, cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu sehingga kamu mudah menjaga diri dari dosa serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan sehingga mudah bagi kamu melakukan ketaatan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti secara mantap jalan yang lurus. Hal yang demikian itu adalah sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang pantas mendapat anugerah-Nya, Mahabijaksana dalam mengatur se-gala urusan.
Dalam ayat ini, Allah memberitakan peringatan kepada kaum Mukminin, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenarannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama, jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak mempedulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan mempedulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.
Ayat ini memberikan pedoman bagi sekalian kaum Mukminin supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERMASYARAKAT
Ayat 6
“Wahai orang-orang yang beiiman, jika datang kepada kamu orangyang fasik membawa berita maka selidikilah; agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengetahui maka jadilah kamu menyesal atas pembuatanmu itu."
Ayat ini jelas sekali memberikan larangan yang sekeras-kerasnya lekas percaya kepada berita yang dibawa oleh seorang yang fasik, memburukkan seseorang atau suatu kaum. Janganlah perkara itu langsung saja diiyakan atau ditidakkan, melainkan diselidikilah terlebih dahulu dengan saksama sekali benar atau tidaknya, jangan sampai karena terburu menjatuhkan keputusan yang buruk atas suatu perkara, sehingga orang yang diberitakan itu telah mendapat hukuman padahal kemudian ternyata bahwa tidak ada sama sekali salahnya dalam perkara yang diberitakan orang itu.
Ayat 7
“Dan ketahuilah olehmu bahwasanya pada kamu ada Rasulullah."
Maksudnya ialah memperingati bahwa kamu itu adalah sedang berkumpul dengan Rasulullah, dengan pesuruh atau utusan Allah. Sebab itu tidaklah layak kamu samakan saja Rasulullah itu dengan orang lain. Sedangkan kepada sesama kamu sendiri tidaklah boleh kamu berdusta, apatah lagi dengan utusan Allah. Dengan beliau ﷺ tidaklah boleh kamu bermain-main, membuat berita bohong. Sebab akhirnya rahasiamu akan terbuka juga dan kamu akan rendah hina di hadapan beliau."Yang jikalau beliau ikuti saja kepada kamu pada kebanyakan daripada urusan, niscaya akan sulitlah kamu." Artinya, kalau kiranya tiap-tiap laporan saja diikuti oleh Rasulullah dan diterimanya sa|a apa yang kamu katakan, kemudian ternyata bahwa berita yang kamu sampaikan itu adalah berita bohong, siapakah yang akan mendapat kesulitan? Atau tegas lagi, siapakah yang akan mendapatdosa besar karena membuat kacau? Padahal beliau dituntun oleh wahyu Ilahi dan oleh kecerdasan pikiran beliau sendiri."Tetapi Allah telah menimbulkan cinta kamu kepada iman." Ini pun akan membuka topeng orang-orang pembohong pembuat laporan palsu, sebab di samping mereka pasti terdapat pula orang yang lebih mencintai iman dan mencintai kejujuran, mengatakan yang sebenarnya, berpikir lebih dahulu dengan saksama barulah mereka bertindak. Mereka lebih mencintai iman daripada membuat berita bohong."Dan Dia hiaskan akan dia dalam hati kamu." Maka orang-orang yang dihiaskan Allah iman dalam hatinya lebih suka jika berita yang mereka sampaikan kepada Rasulullah itu adalah kabar yang benar dan dapat di-pertanggungjawabkan,"Dan ditimbulkan-Nya rasa berici kamu kepada kufur dan fasik dan kedurhakaan." Dihiaskan Allah dalam hati mereka yang baik itu iman dan ditimbulkan pada hati mereka keberician kepada sifat-sifat buruk yang dapat mengacaukan masyarakat, yaitu kufur dan fasik dan kedurhakaan kepada Allah. Sebagaimana tadi telah dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwasanya perkabaran itu hendaklah diperiksa terlebih dahulu, jangan langsung dipercaya saja. Kelak akan ternyata bahwa yang membawa berita palsu itu ialah orang fasik. Maka orang-orang yang beriman niscaya beri pikir terlebih dahulu manfaat dan mudharat pekerjaan yang akan dikerjakannya. Kalau tidak jelas dan tidak lengkap bukti, tidaklah mereka akan melapor. Tetapi kalau perkabaran itu jelas, terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan, niscaya orang-orang yang beriman itu berani melaporkannya kepada Rasulullah ﷺ walaupun perang besar yang akan terjadi. Karena menyimpan saja berita itu, padahal bahayanya sudah nyata besar, dia pun akan merasa berdosa pula menyembunyikan dan tidak segera melaporkan. Oleh sebab itu, di ujung ayat dikatakan bahwa,
“Meteku itulah otang-orang yang menempuh jalan yang bijak."
Orang yang bijak ialah orang yang berkata sepatah dipikirkan, berjalan selangkah menghadap surut. Bukan orang yang"mulai tegak terus berlari, mulai duduk terus menghunjur". Apa saja pekerjaan yang akan mereka lakukan, semuanya dipertimbangkan mana yang besar manfaatnya dengan mudharatnya. Kalau man-faatnya lebih besar dari mudharatnya, walaupun diri sendiri akan menjadi kurban, amal membawa faedah bagi bersama, mereka tidak ragu-ragu akan mengerjakannya.
Ayat 8
“Karunia daripada Allah dan nikmat."
Tegasnya ialah bahwasanya apabila dalam suatu masyarakat buah pikiran orang yang bijak biaperi, berpikiran mendalam, mempertimbangkan mudharat dan manfaat, orang semacam itu yang lebih banyak terkemuka, itulah dia karunia paling besar dari Allah dan itulah nikmat yang paling membawa kebahagiaan bagi bersama. Dan kalau suatu pemerintahan telah berdiri,"rajulun rasyid". laki-laki yang bijak itulah yang sangat diperlukan, bukan yang banyak gembar-gembor tidak menentu.
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Maka di dalam suatu negara atau dalam satu masyarakat apabila masih ada keinsafan bahwasanya Allah Maha Mengetahui, akan tersekatlah orang daripada perbuatan yang sembrono dan kurang pikir. Sebab itu hen-daklah dalam menghadapi bangunan suatu negara orang berusaha pula menambah pengetahuannya, sehingga dia dapat memandang jauh, jangan hanya sehingga sekadar yang ada di hadapan matanya saja; hendaklah berpan-dangan jauh."Lagi Mahabijaksana", adalah lanjutan yang wajar dari sifat Maha Mengetahui. Kalau pengetahuan kita telah ada terhadap suatu soal, dipandang dari segala seginya, tidaklah kita akan terburu-buru mengambil suatu keputusan. Kita mesti mengambil suatu keputusan dengan bijaksana, tidak dengan ceroboh. Ini pun masih ada sangkut pautnya dengan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Hendaklah kita dapat menguasai sesuatu soal, memandangnya dari segala seginya, sehingga kita dapat mengambil keputusan yang menunjukkan keluasan paham, bukan yang berat sebelah. Di dalam ilmu hukum ketika akan menentukan keputusan diadakan beberapa undang-undang. Misalnya,
“Bukti-bukti hendak dikemukakan oleh yang mendakwa, sumpah atas orang yang membantahnya."
Setelah hakim mendengar keterangan yang cukup daripada yang mendakwa, hakim pun meminta penolakan keterangan dari si terdakwa yang ingkar akan dakwa yang mendakwa. Kalau dia tidak dapat menolak bukti yang kuat dan jelas dengan bukti yang lebih kuat dan lebih jelas, maka setinggi-tinggi haknya hanyalah bersumpah. Hakim akan tetap menyalahkan dia, walaupun pada hakikatnya sendiri barangkali dia tidak bersalah. Sebab itu maka pihak pendakwa lebih kuat kedudukannya daripada sumpah yang terdakwa. Bahkan kalau si terdakwa tidak hati-hati bisa saja dengan bukti-bukti yang kuat dia dituduh pula.
Ayat 9
“Dan jika dua golongan dari orang-orang yang berperang maka damaikanlah di antara keduanya. Maka jika menganiaya salah satu golongan itu kepada yang lain, perangilah yang menganiaya itu sehingga dia kembali kepada perintah Allah."
Dalam ayat ini jelas sekali perintah Allah kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongan yang berperang itu. Karena bisa saja kajadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah paham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sabab-sebabnya maka dia hendak terus
berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang tidak mau berdamai. Yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini disebut orang yang menganiaya. Maka orang yang ingin hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai dia kalah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu barulah diperiksa! dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah. Sama sekali wajib dikembalikan kepada jalan Allah.
“Maka jika dia telah kembali, hendaklah damaikan di antara keduanya dengan adil." Orang yang hendak mendamaikan benar-benarlah tegak di tengah, jangan berpihak, tunjukkan di mana kesalahan masing-masing karena bila keduanya telah sampai berkelahi tidak mungkin dikatakan bahwa yang salah hanya satu saja. Kemauan yang satunya lagi buat turut berkelahi sudah menunjukkan bahwa dia pun salah juga."Dan berlaku adillah/'yang salah katakan bahwa dia memang salah dan jelaskan dalam hal apa salahnya dan berapa tingkat kesalahannya dan yang benar katakan pula di mana kebenarannya;
“Sesungguhnya Allah adalah amat suka kepada oiang-orangyang bedaku adil.''
Apabila orang yang mengetahui dan mendamaikan perkara dua orang atau dua golongan yang berselisih itu benar-benar adil, kedua golongan itu niscaya akan menerima dan merasa puas menerima keadilan itu. Dan dia sendiri pun dengan hati terbuka akan melanjutkan usaha mendamaikan karena tidak ada usaha lain yang berlaku sebagai mencari"udang di balik batu" mencari keuntungan untuk diri sendiri. Keikhlasan hatilah yang utama dalam hal ini.
Maka setiap orang yang bermaksud dengan jujur menjalankan perintah Allah dalam ayat ini, mendamaikan dua golongan orang yang beriman yang telah jatuh ke dalam perselisihan lalu mendamaikannya dengan adil, untuk mereka itu sabda Rasulullah ﷺ,
“Orang yang berlaku adil di sisi Allah di hari Kiamat akan duduk di atas mimbar dan cahaya yang bersinar di sebelah kanan Arsy, yaitu orang-orang yang adil pada hukum mereka dan pada ahli keluarga mereka selama mereka mengatur." (HR Sufyan bin Uyaynah dari hadits Abdullab bin Amr bin al-Ash)
Dan sebuah hadits lagi,
“Orang yang berlaku adil di dunia akan duduk di atas mimbar dari mutiara di hadapan Allah yang bersifat rahman, Azza wa jalla, karena keadilan mereka di dunia."
Dari ayat ini pula kita mendapat kesimpulan bahwasanya kedua orang Islam yang telah berkelahi sampai menumpahkan darah, sampai berperang itu, masih dipanggilkan oleh Allah kepada orang lain bahwa mereka kedua belah pihak adalah orang-orang yang beriman maka hendaklah orang-orang lain yang merasa dirinya bertanggung jawab karena beriman pula agar berusaha mendamaikan mereka. Di sini kita mendapat kesan bahwa bagaimanapun hebatnya perjuangan sampai bertumpah darah namun tidak ada di kalangan kedua belah pihak yang tidak beriman.
Hal yang seperti ini, yaitu perkelahian sampai pertumpahan darah, peperangan hebat menyebabkan melayang nyawa beribu-ribu orang telah pernah kejadian di antara sahabat-sahabat Rasulullah sendiri, yaitu di antara Ali bin Abi Thalib bersama Abdullah bin Abbas di satu pihak dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan beserta Amr bin al-Ash di pihak yang lain. Maka orang-orang Islam yang berpikiran lurus, yang bersikap adil tidaklah akan menuduh kafir salah satu pihak daripada sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu. Dan tidaklah boleh kita cuaikan perkataan Rasulullah yang telah memuji baik yang khusus kepada sahabat-sahabatnya, sebagai yang dijanjikan masuk surga atau yang umum.
Dalam hal ini madzhab yang kita pakai lebih baiklah madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah; yaitu dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan sahabat-sahabat Rasulullah itu lebih baik kita diam. Ibnul Furak berkata,"Pertentangan yang timbul di antara sahabat-sahabat Rasulullah sesamanya sama sajalah halnya dengan pertentangan di antara saudara-saudara Nabi Yusuf terhadap Nabi Yusuf sendiri. Mereka berselisih tidaklah ada di antara mereka yang keluar dari barisan wilayah dan nubuwwah."
Setengah orang benar-benar Islam dan banyak orang mengatakan bahwa yang berkata ini ialah Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri, ketika ditanya orang bagaimana sikapnya terhadap pertentangan golongan Ali dengan Mu'awiyah itu. Beliau berkata,"Tanganku telah dibersihkan Allah sehingga tidak turut kena percikan dari darah yang tertumpah di waktu itu. Maka saya harap janganlah tuan tanyakan lagi kepadaku bagaimana pendapatku dalam perkara itu supaya lidahku jangan turut pula berlumur dengan darah itu sesudah hal itu lama berlalu."
Yang lebih tepat lagi ialah jawaban Hasan al-Bishri ketika ditanyai orang ke mana dia berpihak. Beliau berkata,"Peperangan besar yang dihadiri oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang besar-besar, sedang saya sendiri tidak turut hadir. Mereka itu lebih tahu duduk persoalannya karena lebih dekat dan mengalami sedang saya datang kemudian dan tidak tahu. Dalam hal yang mereka sepaham kita ikut. Dalam hal yang mereka berselisih kita diam."
Al-Harits al-Muhasibi alim tasawuf yang terkenal berkata,"Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh al-Hasan itu. Karena mereka itu jauh lebih mengetahui persoalan yang mereka hadapi daripada kita yang lahir kemudian dari mereka. Dalam hal yang mereka sama pendapat, marilah kita ikut. Dalam hal yang mereka berselisih marilah kita berdiam diri dan tidak perlu kita menambah lagi dengan perselisihan baru karena pendapat kita sendiri. Kita maklum bahwa orang-orang yang terdahulu itu semuanya telah memakai ijtihad mereka dalam hal-ihwal yang mereka hadapi, namun mereka tetap ingat kepada Allah. Ijtihad bisa khilaf dan bisa benar, namun kehidupan mereka beragama tidak kita ragui.
Inilah pendirian Ahlus Sunnah wal jamaahl Bukan seperti kaum Syi'ah yang dengan berani menghukum kafir segala lawan politik dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan bukan pula sebagai paham kaum Khawarij yang telah memandang tersesat khalifah-khalifah yang sesudah dua orang Syekh Abu Bakar dan Umar. Sampai golongan Khawarij itulah yang menganjurkan membunuh tiga orang yang mereka anggap sebagai pangkat pengacau, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin al-Ash.
Alhasil, jika kita tidak dapat turut mendamaikan perselisihan besar yang telah terjadi di antara dua golongan orang yang beriman, golongan Ali dan golongan Mu'awiyah karena masanya telah lama berlalu, janganlah kita menambah lagi kekusutan itu dengan menegakkan paham dalam perselisihan madzhab dan firqah yang telah ada sekarang, padahal telah empat belas abad berlalu, sehingga ada negeri islam yang menetapkan dengan resmi bahwa mereka bermadzhab Syi'ah dan Syi'ah itu pun terbagi kepada berbagai firqah pula, seperti Itsna Asyriyah, Zaidiyah, Isma'iliyah dan Khawarij pun demikian pula, ada yang menetapkan madzhabnya dengan nama Ibadhiyah. Lantaran itu maka kekecewaan yang terdapat dalam sejarah, sehingga kaum Muslimin tidak mendapat kesanggupan mendamaikan di antara dua golongan kaumnya yang beriman, sampai terjadi berperang berlarut-larut, berlanjut-lanjut, dan tinggal bekas lukanya sampai empat belas abad kemudian, menjadi pelajaran pahitlah bagi kita untuk menjaga janganlah kejadian lagi yang serupa itu di antara Muslim sesama Muslim. Bahkan hendaklah berusaha golongan Muslim Mukmin yang ketiga, yang tidak terlibat kepada salah satu pihak buat mendamaikannya, sehingga kusut dapat diselesaikan dan keruh dapat dijernihkan, jangan sampai timbul permusuhan yang berurat berakar, beratus beribu tahun,
Ayat 10
“Hanya saja orang-orang yang beriman itu seyogianya adalah bersaudara karena itu maka damaikanlah di antara kedua saudaramu."
Ayat 10 ini masih ada kaitannya yang erat dengan ayat 9, Diperingatkan di sini pangkal dan pokok hidup orang yang beriman, yaitu bersaudara, Sesuai dengan ayat terakhir (ayat 29) dari surah al-Fath yang dahulu itu, yaitu bahwasanya orang-orangyang telah terikat di dalam iman kepada Allah, dengan sendirinya mereka bersikap keras terhadap orang-orangyang kafir dan berkasih sayang di antara mereka sesama mereka. Maka ayat 10 surah ini menjelaskan yang lebih positif lagi bahwasanya kalau orang sudah sama-sama tumbuh iman dalam hatinya, tidak mungkin mereka akan bermusuhan, jika tumbuh permusuhan lain tidak adalah karena sebab yang lain saja, misalnya karena salah paham, salah terima. Maka itu pula sebabnya maka di ayat 6 pada surah ini diberi peringatan kepada orang yang beriman, kalau ada orang membawa berita yang buruk dari pihak sebelah kaum Muslimin hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan saksama, supaya jangan sampai suatu kaum ditimpa oleh musibah hanya karena kejahilan kita saja. Ini adalah menjaga jangan sampai timbul permusuhan atau kekacauan atau permusuhan di antara dua golongan kaum Muslimin.
Kita teringat perkataan Abdullah bin Abbas ketika ditanyai orang mengapalah sampai terjadi perkelahian yang begitu hebat di antara golongan Ali dengan Mu'awiyah, Ibnu Abbas menjawab setelah kejadian itu lama lampau. Kata beliau,"Sebabnya ialah karena dalam kalangan kami tidak ada orang yang seperti Mu'awiyah dan dalam kalangan Mu'awiyah tidak ada orang yang seperti Ali." Alangkah tepatnya jawaban ini.
Oleh sebab itu diperingatkan kembali bahwasanya di antara dua golongan orang yang beriman pastilah bersaudara. Tidak ada kepentingan diri sendiri yang akan mereka pertahankan. Pada keduanya ada kebenaran tetapi kebenaran itu telah robek terbelah dua, di sini separuh di sana separuh. Maka hendaklah berusaha golongan ketiga,"Damaikanlah di antara kedua saudaramu!" Lalu ditunjukkan pula bagaimana usaha perdamaian agar berhasil dan berjaya;"Dan bertakwalah kepada Allah," artinya bahwa di dalam segala usaha mendamaikan itu tidak ada maksud lain, tidak ada keinginan lain melainkan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, karena kasih sayang yang bersemi di antara Mukmin dengan Mukmin, di antara dua yang berselisih dan di antara pendamai dengan kedua yang berselisih,
“Supaya kamu mendapat rahmat."
Asal niat itu suci, berdasar iman dan takwa, kasih dan cinta, besar harapan bahwa rahmat Allah akan meliputi orang-orang yang berusaha mendamaikan itu.