Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
tidak
يُؤَاخِذُكُمُ
menghukum kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِٱللَّغۡوِ
karena main-main
فِيٓ
di dalam
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpahmu
وَلَٰكِن
tetapi
يُؤَاخِذُكُم
Dia menghukum kamu
بِمَا
dengan sebab
عَقَّدتُّمُ
kamu sengaja
ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ
sumpah-sumpah itu
فَكَفَّـٰرَتُهُۥٓ
maka dendanya
إِطۡعَامُ
memberi makan
عَشَرَةِ
sepuluh
مَسَٰكِينَ
orang-orang miskin
مِنۡ
dari
أَوۡسَطِ
pertengahan/biasa
مَا
apa
تُطۡعِمُونَ
kamu berikan makan
أَهۡلِيكُمۡ
keluargamu
أَوۡ
atau
كِسۡوَتُهُمۡ
memberi mereka pakaian
أَوۡ
atau
تَحۡرِيرُ
memerdekakan
رَقَبَةٖۖ
seorang budak
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasalah
ثَلَٰثَةِ
tiga
أَيَّامٖۚ
hari
ذَٰلِكَ
demikian
كَفَّـٰرَةُ
denda
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpah-sumpahmu
إِذَا
jika/bila
حَلَفۡتُمۡۚ
kamu bersumpah
وَٱحۡفَظُوٓاْ
dan jagalah
أَيۡمَٰنَكُمۡۚ
sumpah-sumpahmu
كَذَٰلِكَ
seperti demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
لَا
tidak
يُؤَاخِذُكُمُ
menghukum kamu
ٱللَّهُ
Allah
بِٱللَّغۡوِ
karena main-main
فِيٓ
di dalam
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpahmu
وَلَٰكِن
tetapi
يُؤَاخِذُكُم
Dia menghukum kamu
بِمَا
dengan sebab
عَقَّدتُّمُ
kamu sengaja
ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ
sumpah-sumpah itu
فَكَفَّـٰرَتُهُۥٓ
maka dendanya
إِطۡعَامُ
memberi makan
عَشَرَةِ
sepuluh
مَسَٰكِينَ
orang-orang miskin
مِنۡ
dari
أَوۡسَطِ
pertengahan/biasa
مَا
apa
تُطۡعِمُونَ
kamu berikan makan
أَهۡلِيكُمۡ
keluargamu
أَوۡ
atau
كِسۡوَتُهُمۡ
memberi mereka pakaian
أَوۡ
atau
تَحۡرِيرُ
memerdekakan
رَقَبَةٖۖ
seorang budak
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasalah
ثَلَٰثَةِ
tiga
أَيَّامٖۚ
hari
ذَٰلِكَ
demikian
كَفَّـٰرَةُ
denda
أَيۡمَٰنِكُمۡ
sumpah-sumpahmu
إِذَا
jika/bila
حَلَفۡتُمۡۚ
kamu bersumpah
وَٱحۡفَظُوٓاْ
dan jagalah
أَيۡمَٰنَكُمۡۚ
sumpah-sumpahmu
كَذَٰلِكَ
seperti demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
Terjemahan
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Tafsir
(Allah tidak menghukum kamu disebabkan senda-gurau) yang terjadi (di dalam sumpah-sumpahmu) yaitu sumpah yang dilakukan secara tidak sengaja hanya karena lisan terlanjur mengatakan, seperti ucapan seseorang, "Tidak demi Allah," dan, "Ya demi Allah." (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan apa yang kamu sengaja) dengan dibaca ringan `aqadtum dan dibaca tasydid `aqqadtum, menurut suatu riwayat dibaca `aaqadtum (dalam sumpah-sumpahmu) mengenai hal itu, yaitu seumpamanya kamu bersumpah dengan sengaja (maka kafaratnya) artinya kafarat sumpah tersebut apabila kamu melanggarnya (memberi makan sepuluh orang miskin) yang untuk setiap orang sebanyak satu mud (yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan) dari makanan tersebut (kepada keluargamu) artinya kualitas makanan yang paling pertengahan dan yang paling biasa dipakai bukannya kualitas makanan yang paling tinggi dan juga bukan yang paling rendah (atau memberi kepada mereka pakaian) yaitu sesuatu yang biasa dijadikan sebagai pakaian seperti baju gamis, serban dan kain. Imam Syafii berpendapat jika memberikannya secara sekaligus kepada seorang miskin saja dianggap kurang sempurna atau tidak memenuhi persyaratan (atau membebaskan) memerdekakan (seorang budak) yang beriman seperti dalam masalah kafarat membunuh dan kafarat zihar atas dasar memberlakukan yang mutlak dengan hukum yang muqayyad (dan siapa yang tidak menemukan) salah satu di antara yang telah disebutkan (maka berpuasa selama tiga hari) sebagai ganti kafaratnya; menurut pendapat yang terkuat dalam masalah ini tidak disyaratkan puasa secara berturut-turut, pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii. (Yang demikian itu) yang telah disebutkan (adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah) kemudian kamu langgar. (Dan jagalah sumpahmu) jangan sampai kamu melanggarnya selagi sumpah itu bukanlah perbuatan kebaikan atau mendamaikan orang-orang sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah Al-Baqarah. (Demikianlah) artinya seperti apa yang telah Allah jelaskan tentang beberapa hal yang telah lalu penuturannya (Allah menjelaskan kepada kamu tentang ayat-ayat-Nya agar kamu bersyukur) kepada-Nya atas hal itu.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 89
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kalian langgar). Dan jagalah sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian hukum-hukum-Nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).
Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan masalah bermain-main dalam sumpah, yaitu dalam surat Al-Baqarah, sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam pembahasan ini. Pada garis besarnya sumpah yang main-main ialah perkataan seorang lelaki yang menyangkut makna sumpah tanpa disengaja, misalnya, "Tidak, demi Allah.” dan "Benar, demi Allah." Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii.
Menurut pendapat lain, bermain-main dalam sumpah adalah sumpah seseorang yang dilakukan dalam omongan yang mengandung seloroh (gurauan); menurut pendapat yang lain dalam masalah maksiat. Menurut pendapat yang lain lagi atas dasar dugaan kuat, pendapat ini dikatakan oleh Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Menurut pendapat yang lainnya adalah sumpah yang dilakukan dalam keadaan marah. Sedangkan menurut pendapat yang lainnya atas dasar lupa.
Dan menurut pendapat yang lainnya lagi yaitu sumpah yang menyangkut masalah meninggalkan makan, minum dan pakaian, serta lain-lainnya yang serupa, dengan berdalilkan firman Allah ﷻ: “Janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian.” (Al-Maidah: 87)
Tetapi pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa sumpah yang main-main ialah yang diutarakan tanpa sengaja, dengan berdalilkan firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (Al-Maidah: 89)
Yakni sumpah yang kalian tekadkan dan sengaja kalian lakukan.
“Maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin.” (Al-Maidah: 89)
Yakni orang-orang yang membutuhkan pertolongan dari kalangan orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi penghidupannya.
Firman Allah ﷻ: “Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89)
Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dari standar jenis makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. Menurut ‘Atha’ Al-Khurasani, makna yang dimaksud ialah makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah roti dan air susu, atau roti dan minyak samin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat (bacaan), telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Sulaiman (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sebagian orang ada yang memberi nafkah keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas rendah, ada pula yang memberi makan keluarganya dengan makanan pokok yang berkualitas tinggi.
Maka Allah ﷻ berfirman: “Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89)
Yakni berupa roti dan minyak.
Abu Sa'id Al-Asyaj mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89) Yakni dari jenis pertengahan antara jenis yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan oleh orang-orang kaya mereka.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalaf Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib (yakni Ibnu Syabur), dan telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abdur Rahman At-Tamimi, dari Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama Abdur Rahman At-Tamimi, dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: “Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89) Yakni berupa roti dan daging, atau roti dan samin, atau roti dan susu, atau roti dan minyak, atau roti dan cuka.
Dan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari ‘Ashim, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: “Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89) Yakni roti dan samin atau roti dan susu, atau roti dan minyak atau roti dan kurma. Makanan yang paling utama kalian berikan kepada keluarga kalian ialah roti dan daging.
Atsar yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Hannad dan Ibnu Waki keduanya dari Abu Mu'awiyah. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ubaidah dan Al-Aswad, Syuraih Al-Qadi, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan Adh-Dhahhak serta Abu Razin, semuanya mengatakan hal yang serupa. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan pula atsar yang sama dari Makhul.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89) Bahwa makna yang dimaksud ialah menyangkut sedikit dan banyaknya makanan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai standar jumlah yang biasa diberikan kepada keluarga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Husain Al-Harisi, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali sehubungan dengan firman-Nya: “Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.” (Al-Maidah: 89) Yakni makanan yang biasa ia berikan untuk makan siang dan makan malam keluarganya.
Al-Hasan dan Muhammad ibnu Sirin mengatakan, orang yang bersangkutan cukup memberi makan sepuluh orang miskin sekali makan, berupa roti dan daging. Al-Hasan menambahkan bahwa jika ia tidak menemukan daging, maka cukup dengan roti, minyak samin, dan susu; jika ia tidak menemukannya, maka cukup dengan roti, minyak, dan cuka hingga mereka merasa kenyang.
Ulama yang lain mengatakan, orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang dari sepuluh orang itu setengah sa jewawut atau buah kurma atau lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh Umar, Siti Aisyah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Maimun Bin Mahran, Abu Malik, Adh-Dhahhak, Al-Hakam, Makhul, Abu Qilabah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jumlah makanan yang diberikan kepada tiap orang adalah setengah sa jewawut atau satu sa makanan jenis lainnya.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hasan As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Hasan ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Abdullah ibnut Tufail ibnu Sakhbirah (anak lelaki saudara seibu Siti Aisyah), telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ya'la, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah membayar kifarat dengan satu sa' buah kurma, dan beliau ﷺ memerintahkan kepada orang-orang supaya melakukan hal yang sama. Barang siapa yang tidak menemukan buah kurma, maka dengan setengah sa' jewawut.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Al-Abbas ibnu Yazid, dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bakka, dari Umar ibnu Abdullah ibnu Ya'la As-Saqafi, dari Al-Minhal ibnu Amr dengan sanad yang sama. Tetapi hadits ini tidak shahih, mengingat keadaan Umar ibnu Abdullah, karena dia telah disepakati akan kedaifannya. Menurut mereka, Umar ibnu Abdullah ini sering minum khamr. Menurut Imam Daruqutni, Umar ibnu Abdullah hadisnya tidak terpakai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud (yakni Ibnu Abu Hindun), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah satu mud makanan berupa jewawut yakni bagi tiap-tiap orang miskin disertai lauk pauknya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Zaid ibnu Sabit, Sa'id ibnul Musayyab, ‘Atha’, Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim, Salim, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Yasar, Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, dan Az-Zuhri hal yang serupa.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang diwajibkan dalam kifarat sumpah ialah satu mud berdasarkan ukuran mud yang dipakai oleh Nabi ﷺ untuk tiap orang miskin, tanpa memakai lauk pauk. Imam Syafii mengatakan demikian dengan berdalilkan perintah Nabi ﷺ kepada seseorang yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadan. Nabi ﷺ memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin dari tempat penyimpanan makanan yang berisikan lima belas sa untuk tiap-tiap orang dari mereka kebagian satu mud. Di dalam hadits lain hal itu disebutkan dengan jelas.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Ibnul Hasan Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-Siraj, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Zurarah Al-Kufi, dari Abdullah ibnu Umar Al-Umari, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan standar takaran kifarat sumpah dengan memakai takaran mud pertama, makanan yang ditakarnya berupa gandum.
Sanad hadits ini dha’if (lemah) karena keadaan An-Nadr ibnu Zurarah ibnu Abdul Akram Az-Zuhali Al-Kufi yang tinggal di Balakh. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak dikenal, padahal bukan hanya seorang yang telah mengambil riwayat hadits darinya. Tetapi Ibnu Hibban menyebutnya di antara orang-orang yang tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan, telah mengambil riwayat darinya Qutaibah ibnu Sa'id tentang banyak hal yang benar. Gurunya yang bernama Al-Umari orangnya dha’if pula.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang diwajibkan ialah satu mud jewawut atau dua mud jenis makanan lainnya.
Firman Allah ﷻ: “Atau memberi pakaian kepada mereka.” (Al-Maidah: 89)
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Seandainya orang yang bersangkutan menyerahkan kepada tiap-tiap orang dari sepuluh orang miskin itu sesuatu yang dinamakan pakaian, baik berupa gamis, celana, kain sarung, kain sorban, ataupun kerudung, maka hal itu sudah cukup baginya."
Tetapi murid-murid Imam Syafii berbeda pendapat mengenai masalah peci, apakah peci dianggap mencukupi atau tidak; ada dua pendapat mengenainya di kalangan mereka.
Di antara mereka ada yang membolehkannya; karena berdasarkan riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj dan Ammar ibnu Khalid Al-Wasiti, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik, dari Muhammad ibnuz Zubair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Imran ibnul Husain mengenai firman-Nya: “Atau memberi pakaian kepada mereka.” (Al-Maidah: 89) Imran ibnul Husain menjawab, "Seandainya ada suatu delegasi datang kepada amir kalian, lalu amir kalian memakaikan kepada tiap orang dari mereka sebuah peci, maka tentu kalian akan mengatakan bahwa mereka telah diberi pakaian."
Akan tetapi, sanad riwayat ini dha’if karena keadaan Muhammad ibnuz Zubair. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syekh Abu Hamid Al-Isfirayini dalam masalah khuff (kaos kaki yang terbuat dari kulit), ada dua pendapat mengenainya. Hanya saja pendapat yang benar mengatakan tidak mencukupi.
Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa barang yang diserahkan kepada masing-masing dari mereka harus berupa pakaian yang sah dipakai untuk shalat seorang laki-laki atau seorang wanita, masing-masing disesuaikan dengan keperluannya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pakaian itu ialah sebuah baju abaya atau baju jas bagi tiap-tiap orang miskin. Mujahid mengatakan bahwa minimalnya adalah sebuah baju, sedangkan maksimalnya menurut kehendak orang yang bersangkutan.
Al-Laits telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa dianggap cukup dalam kifarat sumpah segala jenis pakaian, kecuali celana pendek. Al-Hasan, Abu Ja'far Al-Baqir, ‘Atha’, Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Abu Malik mengatakan bahwa setiap orang miskin cukup diberi sebuah baju.
Dari Ibrahim An-Nakha'i disebutkan pula pakaian yang menutupi, seperti baju jas dan baju luar; tetapi ia beranggapan tidak mencukupi pakaian yang berupa kaos, baju gamis, dan kain kerudung serta lain-lainnya yang sejenis.
Al-Ansari telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Ibnu Sirin dan Al-Hasan, bahwa yang mencukupi adalah masing-masing orang diberi satu stel pakaian. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa cukup dengan kain sorban yang dililitkan di kepala atau baju abaya yang dipakai sebagai baju luar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Ibnu Sirin, dari Abu Musa, bahwa ia pernah mengucapkan sumpah atas sesuatu (lalu ia melanggarnya), maka ia memberi pakaian berupa satu setel pakaian (untuk tiap orang miskin) buatan Bahrain.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Ma'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Muqatil ibnu Sulaiman, dari Abu Usman, dari Abu Iyad, dari Aisyah, dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Atau memberi pakaian kepada mereka.” (Al-Maidah: 89) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Baju abaya untuk tiap orang miskin.” Hadits ini berpredikat gharib.
Firman Allah ﷻ: “Atau memerdekakan seorang budak.” (Al-Maidah: 89)
Imam Abu Hanifah menyimpulkan makna mutlak dari ayat ini. Untuk itu, ia mengatakan bahwa dianggap cukup memerdekakan budak yang kafir, sebagaimana dianggap cukup memerdekakan budak yang mukmin.
Imam Syafii dan lain-lainnya mengatakan, diharuskan memerdekakan seorang budak yang mukmin. Imam Syafii menyimpulkan ikatan mukmin ini dari kifarat membunuh, karena adanya kesamaan dalam hal yang mewajibkan memerdekakan budak, sekalipun latar belakangnya berbeda.
Disimpulkan pula dari hadits Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami yang ada di dalam kitab Muwatta Imam Malik, Musnad Imam Syafii, dan Shahih Muslim. Di dalamnya disebutkan Mu'awiyah terkena suatu sanksi yang mengharuskan dia memerdekakan seorang budak, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa seorang budak perempuan berkulit hitam, maka Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: "Di manakah Allah? Ia menjawab, "Di atas.” Nabi ﷺ bertanya, “Siapakah aku ini?" Ia menjawab, "Utusan Allah.” Rasulullah ﷺ bersabda, "Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia adalah seorang yang mukmin."
Demikianlah tiga perkara dalam masalah kifarat sumpah; mana saja di antaranya yang dilakukan oleh si pelanggar sumpah, dinilai cukup menurut kesepakatan semuanya. Sanksi ini dimulai dengan yang paling mudah, memberi makan lebih mudah daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih mudah daripada memerdekakan budak.
Dalam hal ini sanksi menaik, dari yang mudah sampai yang berat. Dan jika orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga perkara tersebut, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan puasa selama tiga hari, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman yang selanjutnya, yaitu:
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya adalah puasa selama tiga hari.” (Al-Maidah: 89)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengatakan bahwa barang siapa yang memiliki tiga dirham, dia harus memberi makan; dan jika ia tidak memilikinya, maka ia harus puasa (sebagai kifarat sumpahnya).
Ibnu Jarir menceritakan pendapat sebagian ahli fiqih masanya, bahwa orang yang tidak mempunyai kelebihan dari modal yang dipakainya untuk keperluan penghidupannya diperbolehkan melakukan puasa sebagai kifarat sumpahnya. Orang yang tidak mempunyai kelebihan dari modal itu dalam jumlah yang cukup diperbolehkan pula melakukan puasa untuk membayar kifarat sumpahnya. Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang diperbolehkan melakukan puasa itu adalah orang yang tidak mempunyai kelebihan dari penghidupan untuk dirinya dan keluarganya pada hari itu dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kifarat sumpahnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah apakah puasa itu wajib dilakukan berturut-turut ataukah hanya sunat, dan dianggap cukupkah melakukannya secara terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenainya, salah satunya mengatakan tidak wajib berturut-turut. Pendapat ini dinaskan oleh Imam Syafii dalam Kitabul Aiman dan merupakan pendapat Imam Malik, mengingat kemutlakan makna firman-Nya:
‘Maka kifaratnya puasa selama tiga hari.” (Al-Maidah: 89) yang artinya dapat diinterpretasikan secara berturut-turut atau secara terpisah-pisah, mengingat tidak ada keterangan yang mengikatnya.
Perihalnya sama dengan mengqada puasa Ramadan, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184) Dalam kitab lain yaitu dalam kitab Al-Umm Imam Syafii telah menaskan wajib berturut-turut, seperti halnya apa yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan mazhab Hambali. Karena sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan lain-lainnya, bahwa mereka membaca ayat ini dengan bacaan berikut: “Maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.”
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membaca ayat tersebut dengan bacaan berikut: “Maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.” Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Abu Ishaq telah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Mas'ud. Ibrahim telah mengatakan dalam qiraat Abdullah ibnu Mas'ud, yaitu: “Maka kifaratnya adalah puasa selama tiga hari secara berturut-turut.”
Al-A'masy mengatakan bahwa murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud membacanya seperti bacaan itu. Qiraat ini jika tidak terbuktikan sebagai Qur'an yang mutawatir, maka paling minimal kedudukannya adalah khabar wahid atau tafsir dari sahabat, dan hal seperti ini sama hukumnya dengan hadits yang berpredikat marfu.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far Al-Asy'ari, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Khalid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Qais, dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika ayat kifarat ini diturunkan, Huzaifah bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kita disuruh memilih salah satunya?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Engkau boleh memilih: Jika kamu suka memerdekakan budak kamu boleh memerdekakan budak; jika kamu suka memberi pakaian, kamu boleh memberi pakaian; dan jika kamu suka memberi makan, kamu boleh memberi makan. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka kifaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut.” Tetapi hadits ini gharib sekali.
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah.” (Al-Maidah: 89) Yakni demikianlah kifarat (menghapus) sumpah menurut syariat.
“Dan jagalah sumpah kalian.” (Al-Maidah: 89)
Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah janganlah kalian tinggalkan sumpah tanpa membayar kifaratnya.
“Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian hukum-hukum-Nya.” (Al-Maidah: 89) Yakni menjelaskan dan menafsirkannya. “Agar kalian bersyukur (kepada-Nya).”(Al-Maidah: 89)
Ayat ini menjelaskan macam-macam kafarat atau denda bagi siapa saja yang melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar dan sengaja. Namun demikian, kafarat ini tidak berlaku bagi sumpah yang tidak disengaja. Allah tidak akan menghukum kamu, wahai orang beriman, disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja untuk diucapkan, seperti perkataan, Tidak, demi Allah, atau Benar, demi Allah, tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Jika kamu dalam mengucapkan sumpah itu benar-benar bermaksud untuk bersumpah, maka kafaratnya, denda pelanggaran sumpah supaya dosa sumpahmu diampuni oleh Allah, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, baik yang kamu kenal maupun tidak, yaitu dari jenis makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, baik dari segi jumlah maupun jenis makanannya, atau memberi mereka pakaian baru maupun layak pakai, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, salah satu dari tiga pilihan kafarat tersebut, maka kafaratnya berpuasalah tiga hari dengan ikhlas sambil berharap agar Allah mengampuni dosa sumpah yang pernah diucapkannya. Itulah ketentuan Allah tentang kafarat sumpah-sumpahmu, apabila kamu benar-benar bersumpah dengan sengaja. Dan jagalah sumpahmu supaya kamu tidak mudah bersumpah, apalagi bersumpah palsu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumNya tentang sumpah kepadamu agar kamu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kamu. Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk menjauhi perbuatan setan. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah, kitab-Nya, dan Rasul-Nya! Sesungguhnya minuman keras, apa pun jenisnya, sedikit atau banyak, memabukkan atau tidak memabukkan; berjudi, bagaimana pun bentuknya; berkurban untuk berhala, termasuk sesajen, sedekah laut, dan berbagai persembahan lainnya kepada makhluk halus; dan mengundi nasib dengan anak panah atau dengan cara apa saja sesuai dengan budaya setempat, adalah perbuatan keji karena bertentangan dengan akal sehat dan nurani serta berdampak buruk bagi kehidupan pribadi dan sosial; dan termasuk perbuatan setan yang diharamkan Allah. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dengan peraturan yang tegas dan hukuman yang berat agar kamu beruntung dan sejahtera lahir batin dalam kehidupan dunia dan terhindar dari azab Allah di akhirat.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah tidak akan menimpakan hukuman kepada seseorang yang melanggar sumpah yang telah diucapkannya tidak dengan sungguh-sungguh atau tidak didahului oleh niat bersumpah. Akan tetapi, bila seseorang bersumpah dengan sepenuh hati dan niat yang sungguh-sungguh, kemudian ia melanggar sumpah tersebut, maka ia dikenakan kafarat (denda), yaitu salah satu dari hal-hal berikut ini:
a) Memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu kali makan. (Imam Abu Hanifah membolehkan memberi makan satu orang miskin saja, tetapi dalam masa sepuluh hari). Makanan tersebut haruslah sama mutunya dengan makanan yang dimakan sehari-hari oleh pembayar kafarat dan keluarganya.
b) Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, yang sama mutunya dengan pakaian yang dipakainya sehari-hari.
c) Memerdekakan seorang hamba sahaya yang diperoleh dengan jalan membeli atau menawannya dalam peperangan. Di sini tidak diisyaratkan agar hamba-hamba sahaya itu harus beriman. Oleh karena itu, boleh memerdekakan hamba sahaya yang kafir sekalipun sebagai kafarat pelanggaran sumpah. (Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Syafi'i, Malik dan Ahmad mensyaratkan agar hamba itu yang sudah beriman).
d) Berpuasa selama tiga hari. Ini berlaku bagi pelanggar sumpah yang tidak mampu membayar kafarat sumpahnya dengan salah satu dari tiga macam kafarat yang disebutkan terdahulu. Apabila ia belum mampu untuk berpuasa karena ia sedang sakit, maka harus dilaksanakan setelah ia sembuh dan mampu berpuasa. Jika ternyata penyakitnya tidak sembuh, dan kemudian ia meninggal dunia sebelum sempat berpuasa untuk membayar kafarat itu, maka diharapkan ampunan Allah untuknya, bila benar-benar telah mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya walaupun belum tercapai.
Dengan demikian jelas bahwa seseorang yang melanggar sumpah yang memang diniatkan secara sungguh-sungguh, maka ia harus membayar kafarat, salah satu dari tiga macam kafarat itu. Apabila ia tidak mampu, ia boleh membayarnya dengan kafarat yang keempat yaitu berpuasa tiga hari berturut-turut. Mengenai hal ini Rasulullah telah menjelaskan dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu 'Abbas, ia berkata:
Ketika ayat kafarat ini diturunkan, Hudzaifah bertanya kepada Rasulullah, "Bolehkah kami memilih?" Maka Rasulullah menjawab, "Engkau boleh memilih, jika engkau mau, engkau boleh memerdekakan seorang hamba sahaya; dan jika engkau mau, engkau boleh memberi makan (sepuluh orang miskin). Barang siapa yang tidak mampu, maka ia harus berpuasa tiga hari berturut-turut." (Riwayat Ibnu Mardawaih)
Jika bersumpah tidak akan berbuat sesuatu yang dihalalkan untuknya, sehingga dengan demikian berarti ia tidak mengharapkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, maka ia diwajibkan melanggar sumpahnya, dan diwajibkan pula untuk membayar kafaratnya. Demikian pula sebaliknya.
Setelah Allah menjelaskan macam-macam kafarat yang tersebut di atas yang harus ditunaikan oleh orang yang melanggar sumpahnya itu, selanjutnya Allah memperingatkan orang-orang mukmin agar mereka memelihara sumpah mereka. Artinya: seseorang tidak boleh mempermainkan sumpah. Sumpah digunakan hanya dalam masalah-masalah yang memang memerlukan sumpah sebagai penguat atau penegasan.
Apabila sumpah sudah diucapkan dengan niat sungguh-sungguh, maka isi sumpah itu harus ditepati, kecuali bila sumpah itu menyalahi peraturan agama, misalnya: untuk mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah dan Rasul-Nya. Hanya dalam keadaan semacam itu sajalah sumpah harus dilanggar, tetapi harus ditebus dengan kafarat.
Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya yang berisi hukum-hukum agama kepada mereka yang mau bersyukur kepada-Nya atas segala rahmat-Nya, keadilan-Nya, serta kasih sayang-Nya. Diharapkan, syukur yang dilakukan dengan cara-cara yang diajarkannya akan menyebabkan bertambahnya rahmat tersebut kepada mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ORANG YANG KAFIR
Sekarang tentu datang pertanyaan dalam hati kita: Jika demikian terang dan nyata-nyata penghargaan Allah kepada orang-orang Nasrani sehingga dikatakan, dibandirigkan Yahudi dan Musyrikin, orang yang mengaku dirinya Nasrani itulah yang lebih dekat kepada Islam. Merekalah yang melancarkan Perang Salib 200 tahun lamanya pada zaman lampau, merekalah yang memusnahkan orang Islam dari Spanyol setelah kaum Muslimin hidup di sana hingga 700 tahun, dan mereka pula yang menyambung Perang Salib itu dengan penjajahan. Dan sekarang setelah negeri-negeri Islam merdeka, mereka pula yang melakukan Perang Salib modern. Timbul pertanyaan, “Apakah ayat ini tidak berlawanan dengan kenyataan?"
Jawabnya, “Tidak!"
Sebab ayat ini langsung diiringkan oleh ayat berikutnya. Ayat 85 diikuti oleh ayat 86 yang bunyinya demikian:
Ayat 86
“Dan orang-orang yang kufur dan mendustakan ayat-ayat Kami, adalah mereka itu ahli neraka."
Ayat ini memberi kejelasan bahwasanya Nasrani itu terbagi dua macam dalam menerima perutusan Nabi Muhammad ﷺ Sebagian beriman kepadanya dan sebagian lagi kafir. Di dalam surah al-Bayyinah sudah dijelaskan bahwasanya orang yang kafir dari Ahlul Kitab dan Musyrikin itu akan tetap berpegang teguh dengan kepercayaan mereka yang sesat itu, sampai datang kepada mereka penerangan yang jelas. Karena Rasul, yaitu Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah membawa suhuf-suhuf, yaitu lembaran suci yang di dalamnya ada kitab-kitab yang bermutu tinggi. Kemudian, diterangkan lagi bahwa mereka-mereka yang keturunan kitab itu berpecah-belah sesudah datang keterangan itu. Yang setengahnya menerima kebenaran, mengakui kedatangan Rasul dan yang setengahnya lagi kafir, tiada mau percaya.
Oleh sebab itu, ayat 86 yang tengah kita uraikan ini satu maksudnya dengan ayat 6 surah al-Bayyinah tersebut. Bahwasanya orang-orang yang kafir, baik dari Ahlul Kitab maupun dari Musyrikin, tempatnya di dalam neraka Jahannam dan mereka akan kekal di dalamnya. Mereka itulah sejahat-jahat manusia.
Dengan tegas dikatakan, kafir orang yang berkata bahwa Allah ialah yang ketiga dari yang bertiga. Padahal, tidak ada Tuhan kecuali
hanya satu. Ini ditegaskan dalam surah al-Maa'idah, Juz 6, yang telah lalu keterangannya. Dan setelah itu, yaitu pada ayat 17 dari surah al-Maa'idah ini juga telah dijelaskan secara langsung, yaitu bahwa kafirlah orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Isa, anak Maryam.
Mereka telah kafir bukan saja kepada Muhammad dan Al-Qur'annya, tetapi juga pada kebenaran yang dibawa oleh sekalian rasul Allah. Tidak ada ajaran dalam seluruh kitab yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-rasul-Nya yang menyatakan bahwa Dia, Tuhan Allah itu, tidak lain adalah Isa al-Masih. Dan tidak pula pernah Isa al-Masih mendakwahkan bahwa dirinya sendirilah Allah itu. Dan tidak tersebut pada kitab-kitab nabi Allah dan Ruhul Qudus, yang disebut tiga berarti satu dan satu berarti tiga (trinitas). Oleh karena itu, kalau dikatakan bahwa paham-paham seperti ini kafir, bukanlah semata-mata kafir kepada Muhammad, tetapi juga kafir terhadap kebenaran. Dengan demikian, neraka Jahan-namlah tempatnya.
Lantaran itu pula, janganlah orang menyesali kaum Muslimin, kalau sekiranya kaum Muslimin menganggap orang Yahudi dan Nasrani itu kafir. Karena memang Al-Qur'an yang mengatakan mereka kafir. Golongan yang kafir inilah yang menyelenggarakan Perang Salib. Dan golongan inilah yang disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 120, yang selama-lamanya tidak merasa ridha sebelum kaum Muslimin mengikut agama mereka. Golongan inilah yang dijelaskan di dalam Al-Qur'an, al-Baqarah ayat 105, bahwa mereka tidak merasa senang kalau kebaikan akan diturunkan Allah kepada kaum Muslimin. Dan golongan inilah yang diterangkan oleh surah al-Baqarah ayat 109, yang tidak merasa senang hati sebelum mereka dapat menarik orang yang beriman kepada Allah, agar kafir sebagaimana mereka.
Oleh karena itu, dengan ayat-ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang dimulai dengan akhir juz 6 yang menerangkan bahwa Yahudi dan kaum Musyrikin lebih memusuhi Islam dan orang yang mengaku Nasrani lebih dekat cinta kasihnya pada Islam, adalah ayat yang adil dan menunjukkan kebenaran. Karena selain yang sangat memusuhi Islam, ada juga orang Kristen yang tidak mau mengikatkan dirinya pada fanatik dan rasa benci yang ditanamkan turun-temurun.
Lihatlah kembali asbabun nuzul, yaitu ketika Ja'far bin Abi Thalib diundang menghadiri majelis Raja Najasyi. Ja'far membacakan surah Maryam—yang menerangkan kesucian Maryam dan kelahiran Nabi Isa dengan tidak berbapak—sehingga Najasyi dan pendeta-pendeta yang hadir menangis mendengar kisah yang benar dan indah itu. Tiliklah Injil yang empat yang beredar sekarang ini lalu bandirigkan dengan kisah Maryam dalam Al-Qur'an. Asalkan berpikir dengan adil dan benar, orang pasti akan mengatakan bahwa pembelaan Al-Qur'an terhadap Maryam lebih luas dan lebih mendalam daripada pembelaan Injil-Injil itu sendiri.
Memang Al-Qur'an lebih menegaskan bahwa Maryam mengandung dengan kehendak Allah. Al-Qur'an tidak memberi keraguan dalam hal itu. Al-Qur'an tidak mengatakan bahwa Maryam lalu kawin dengan Yusuf si tukang kayu, padahal Maryam tengah mengandung. Dan sebelum mengandung itu, Al-Qur'an menegaskan bagaimana kesucian Maryam, sebagaimana dia diasuh Zakariya pada waktu kecilnya. Sebab ibu Maryam, atau istri Imran telah bernadzar bahwa jika anaknya lahir akan dijadikan sebagai penjaga Bait Allah (Baitul Maqdis). Kebetulan anak itu perempuan, bukan laki-laki seperti yang dia harapkan. Namun, nadzarnya dipenuhinya juga. Kemudian, diantarkannya anak perempuan itu ke Baitul Maqdis hingga dia besar di bawah asuhan Zakariya, suami saudara ibunya. Sesudah diterangkan panjang lebar bagaimana kesucian ini, baik dalam surah Maryam yang turun di Mekah maupun dalam surah Aali ‘Imraan yang turun di Madiriah, barulah diterangkan kelebihan Isa al-Masih. Dan surah Maryam yang turun di Mekah inilah yang dibacakan Ja'far bin Abi Thalib di hadapan Najasyi. Hati beliau yang suci bersih, demikian juga hati pendeta-pendeta yang turut duduk dalam majelis beliau, pasti tergetar dan terharu mendengar kisah sehingga mereka pun masuk Islam.
Kemajuan ilmu pengetahuan alam sekarang ini telah membawa ahli cerdik pandai pada kesimpulan bahwa Allah adalah Esa. Dan kelahiran al-Masih dengan tidak melalui hal yang biasa, bukanlah tanda bahwa Isa itu sendiri adalah Tuhan. Sebab beribu-ribu banyaknya kelahiran dalam alam ini yang lebih ajaib daripada kelahiran Isa al-Masih, seumpama kelahiran matahari, kehadiran bulan dan bintang-bintang, tumbuhnya kayu-kayuan, mengalirnya air ke lautan, jauh lebih dahsyat dan ajaib daripada kelahiran Isa al-Masih. Namun, semuanya itu tidaklah anak Allah.
Sekarang terjawablah keragu-raguan yang timbul di dada orang yang melihat perbedaan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa orang Kristen lebih dekat kasih sayangnya pada Islam daripada orang Yahudi dan orang Musyrikin. Teranglah bahwa yang lebih dekat pada Islam itu ialah orang Kristen yang ikhlas, yang tidak dikotori kepercayaannya dengan rasa kebencian. Dan dijelaskan pula dalam ayat ini bahwa hal ini kebanyakan timbul tekun menuntut kebenaran, sampai air mata mereka menitik. Orang Kristen ini pulalah yang di dalam surah al-Baqarah ayat 62 disamakan derajatnya dengan orang yang beriman dengan Yahudi dan Shabi'in. Mereka sama-sama mendapat pahala di sisi Allah, sama-sama tidak berasa takut dan duka cita, sebab mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir. Bukan seperti pendeta-pendeta pada zaman kita sekarang ini. Dan bertambah jelas pula kebanyakan pendeta-pendeta agama itu dikerahkan ke negeri-negeri Islam yang terjajah atau bekas terjajah oleh negara-negara imperialis dan kapitalis dalam rangka Perang Salib modern. Kadang-kadang, agama dipakai oleh penakluk-penakluk untuk mengalahkan musuh. Eisenhouwer, Jenderal Amerika Serikat yang mengepalai tentara sekutu menyerbu ke Eropa hendak mengalahkan bangsa Jerman, ialah dengan shalat terlebih dahulu.
Stalin yang sangat benci dengan segala agama, ketika negeri Rusia diserang Jerman, lalu mendekatkan diri pada gereja atau kepada orang Islam. Dia menyuruh mereka berdoa dan shalat, guna memperkuat semangat Rusia saat menangkis serangan Jerman. Dunia Barat makin lama makin membuang agama Kristen dari kehidupan mereka. Kini, Kristen hanya digunakan untuk menentang Islam di negeri-negeri yang penduduknya teguh pada Islam.
***
(87) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan barang baik yang telah dihalalkan Allah bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. SesungGuhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas.
(88) Dan makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan kepada kamu oleh Allah, yang halal lagi baik. Dan bertakwalah kepada Allah, kepada-Nyalah kamu beriman.
Mendapat pujian orang-orang mengaku dirinya Nashara itu, sebab mereka suka menerima kebenaran yang dibawa oleh rasul. Disebutkan pula sebab-sebabnya, yaitu karena mereka adalah pendeta-pendeta yang saleh, qiss, dan rahib. Dengan menyebut itu, teringatlah orang akan kehidupan pendeta yang memencilkan diri dari masyarakat.
Sejak zaman dahulu, hidup suci telah ditempuh oleh rahib-rahib Kristen itu. Di tempat-tempat yang jauh, sampai di padang pasir yang terpencil, mereka dirikan biara-biara untuk beribadah. Gua-gua batu pun mereka jadikan biara-biara. Mereka bernama rahib dan kalau banyak bernama ruhban. Mereka memakai pakaian-pakaian dari bulu kambing, sebagaimana pakaian yang dipakai Nabi Yahya. Dan mereka tidak kawin selama-lamanya. Di biara semacam inilah, dalam perjalanan ke Syam, Abu Thalib yang sedang membawa anak saudaranya, Muhammad saw„ yang ketika itu baru berusia 12 tahun, bertemu dengan Rahib Buhaira. Pada pandangan rahib itu terlihat bahwa anak ini memiliki tanda-tanda nubuwwah. Rahib Buhaira lalu berpesan kepada Abu Thalib agar menjaga dan memeliharanya baik-baik.
Hidup dalam biara itu rupanya menarik perhatian beberapa sahabat Rasulullah saw„ terutama setelah mereka mendapat pujian istimewa dari Al-Qur'an itu karena mereka tidak sombong, mudah menerima kebenaran sehingga ada yang masuk Islam, sebagaimana pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang diutus oleh Najasyi dari Habsyi itu. Padahal hidup dalam biara itu asalnya bukanlah ajaran Nabi Isa, tetapi suatu bid'ah agama yang mereka timbulkan kemudian, sebagaimana yang diajarkan oleh Paulus. Atau segolongan yang memencilkan diri karena selalu ditindas atau dikejar-kejar oleh madzhab Kristen lain yang diakui oleh kerajaan Romawi. Di dalam surah al-Hadid ayat 27, ditegaskan Allah pula cacat-cacat yang timbul dari kehidupan biara itu.
Rupanya di dalam kalangan sahabat Rasulullah ﷺ timbul pula beberapa orang yang ingin hidup membiara. Karena memang ada setengah manusia yang lebih tertarik pada kehidupan demikian karena bawaan dan sikap jiwa—banyaklah sebab-sebab dan riwayat-riwayat tentang turunnya ayat—menyatakan bahwa beberapa sahabat Rasulullah ﷺ karena sangat tertarik dengan keterangan-keterangan Rasulullah tentang bahaya perda-yaan dunia, tentang perdayaan nafsu-nafsu dan setan iblis, akhirnya memilih hidup cara pendeta. Riwayat-riwayat lain banyak menyebut nama seorang sahabat yang terkenal, Utsman bin Mazh'un. Selain itu, disebut juga Ali bin Abi Thalib sendiri, Abdullah bin Mas'ud, Miqdad bin Aswad, dan Salim Maula Abu Hudzaifah. Tersebut dalam riwayat Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Abusy-Syaikh, yang mereka terima dari Ikrimah, bahwa sahabat-sahabat namanya disebutkan itu telah mulai bermufakat untuk duduk saja di rumah, tidak hendak berhubungan lagi mengonsumsi makanan yang baik, dan pada waktu malam akan tetap bangun saja untuk beribadah. Dalam satu riwayat Ibnu jarir juga yang diterimanya dari as-Suddi, tersebut pula bahwa Utsman bin Mazh'un sudah berbulan-bulan lamanya tidak seketiduran dengan istrinya yang bernama Al-Haula sehingga rupa Al-Haula itu sudah kusut masai saja, rambutnya tidak disisir-sisir lagi, dan wajahnya tidak dihias. Seketika dia bertandang kepada Aisyah, istri Rasulullah. Aisyah lalu bertanya kepadanya, apa penyebab wajahnya yang kusut. Dia menjawab dengan terus terang bahwa suaminya sudah sekian bulan tidak menidurinya lagi.
Hadits-hadits dan riwayat-riwayat ini ada yang shahih derajatnya dan ada yang dhaif, tetapi yang satu dapat menggenapkan yang lain, yaitu karena sangat meragukan ajaran agama, terutama bahwa hidup dunia ini tiada arti apa-apa dibandirigkan dengan hidup akhirat, timbullah semangat hendak menyenangkan diri, agar ruhani lebih merasakan hubungan dengan Allah. Utsman bin Mazh'un itu pun pernah berangan-angan hendak mengebiri dirinya saja (memotong kemaluannya).
Rasulullah ﷺ segera menegur gejala buruk itu. Sebab kehidupan yang demikian tidak dapat diamalkan dalam hidup ini. Kita hidup di dunia ini guna menanam amal bagi akhirat, bukan untuk membenci kehidupan, sedangkan hidup itu harus dijalani.
Menurut riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i, diterima dari Abduliah bin Amr bin al-Ash bahwa Abduliah bin Amr bin al-Ash ini pun nyaris tertarik pula dengan kehidupan demikian. Kemudian, bersabdalah Rasulullah ﷺ kepadanya, “Benarkah sebagai yang dikabarkan orang bahwa engkau hendak terus puasa setiap hari dan terus shalat setiap malam?" Dia menjawab, “Memang, ya, Rasulullah!"
Maka, bersabdalah Rasulullah ﷺ,
“Jangan engkau berbuat begitu! Puasalah dan berbukalah, shalatlah tengah malam dan ti-durlah, Karena tubuhmu sendiri mempunyai hak atas dirimu, matamu sendiri pun mempunyai hak atas dirimu, istrimu sendiri pun mempunyai hak atas dirimu, dan orang-orang yang datang menziarahi engkau pun mempunyai hak atas dirimu. Cukuplah jika engkau puasa tiap bulan barang tiga hari saja. Karena untuk tiap-tiap perbuatan baik, sepuluh pahalanya. Itu sudah sama dengan puasa setahun penuh.' Lalu aku menjawab, (kata Abduliah bin Amr bin al-Ash), ‘Aku rasa diriku kuat!' Maka, bersabda pulalah Rasulullah saut.,'Kalau begitu, puasa secara Nabi Dawud sajalah! ‘ Aku bertanya, ‘Bagaimana caranya puasa cara Nabi Dawud!' Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Separuh tahun.' (Yaitu puasa sehari, berbuka sehari)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i)
Menurut riwayat Bukhari, at-Tirmidzi, dan ad-Daruquthni, yang diterima dari Abu Juhaifah, bahwa Abu Darda pun kena pengaruh perasaan demikian. Dia telah dipersaudarakan Rasulullah dengan Salman al-Farisi. Pada suatu hari, Salman berziarah ke rumah saudaranya Abu Darda itu. Di sana, didapatinya istri Abu Darda muram saja. Lalu Salman bertanya, “Aku tidak akan makan kalau tidak bersama dengan engkau!" Mendengar itu, terpaksalah Abu Darda melepaskan puasa sunnahnya. Dan setelah hari malam, Salman hendak tidur, tetapi Abu Darda terus saja berdiri hendak bershalat. Berkata Salman, “Mari tidur dahulu!" Maka, dia pun tidur sebentar dan hendak bangun lagi shalat. Lalu ditegur lagi oleh Salman, “Tidur dahulu!" Dia pun kembali tidur. Setelah pada ujung malam, berkatalah Salman, “Sekarang marilah kita shalat malam!" Mereka pun shalat berdua. Akhirnya berkatalah Salman, “Bagi Tuhan engkau ada hak dan istrimu pun ada haknya atas dirimu. Sebab itu, berikanlah hak itu kepada tiap-tiap yang mempunyai hak." Setelah itu mereka berdua pun pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan kisah mereka. Bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Benar Salman!"
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh ath-Thabrani dari Ibnu Abbas bahwa seorang datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku kalau makan daging, bangun syahwatku kepada perempuan. Sebab itu, aku telah mengharamkan daging buat diriku sendiri." Ini pun dilarang Rasulullah ﷺ, sebab itu sama saja mengharamkan hal yang halal di sisi Allah.
Ada lagi beberapa riwayat lain yang menunjukkan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ yang rupanya tertarik menjalani hidup sebagai rahib lalu mengharamkan diri mereka atas hal-hal yang halal. Oleh karena itu, datanglah ayat berikut ini:
Ayat 87
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan barang baik yang telah dihalalkan Allah bagi kamu."
Barang baik yang telah dihalalkan Allah bagi kamu ialah makanan-makanan yang enak dan bermanfaat. Dalam kata-kata baik, terkandunglah kesehatan jiwa dan rasa yang terdapat dalam barang baik itu. Seumpama daging dari binatang yang halal dimakan, buah-buahan, sayur-sayuran, beras, gandum, jagung, dan lain-lain. Dalam segala makanan yang baik terkandung berbagai ghidzi (telah dijadikan bahasa Indonesia, yaitu gizi), yaitu makanan yang mengandung zat-zat protein, putih telur, vitamin A, B, C, dan D, kalori, hormon, dan sebagainya.
Termasuk juga dalam barang baik yang dihalalkan Allah adalah persetubuhan suami-istri. Termasuk juga pakaian yang pantas dipakai, rumah yang pantas didiami, dan kendaraan yang pantas, seumpama kuda tunggang atau mobil yang bagus pada zaman sekarang ini. Oleh sebab itu, janganlah segala barang baik yang telah dihalalkan Allah itu diharamkan kepada diri sendiri. Kalau ada kesempatan, kalau rezeki dilapangkan Allah, makanlah, pakailah, diamilah, tunggangilah, segala yang baik itu. Janganlah memaksakan hidup sangat berkekurangan, padahal ada kesanggupan karena bukan di sana tempat zuhud.
Lalu datang sambungan ayat,
“Dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang yang melampaui batas."
Ujung ayat ini menegaskan, di dalam mempergunakan anugerah Allah yang baik itu, janganlah melampaui batas. Kita dilarang mengharamkan barang baik yang dihalalkan Allah. Oleh sebab itu, kalau misalnya Allah telah memberi rezeki yang luas kepada kita, artinya kita telah sanggup mendiami rumah yang agak luas, yang sesuai dengan besarnya jumlah keluarga maka haramlah kita perbuat suatu rumah besar yang berlebih-lebihan sehingga memperlihatkan kemubaziran, membuang-buang, dan bermewah-mewah. Kita disuruh memperlihatkan nikmat Allah yang telah dianugerahkannya kepada kita, tetapi dilarang menunjukkan kemewahan karena hendak membanggakan diri di hadapan sesama hamba Allah.
Sama pula halnya dengan makanan. Kita dilarang mengharamkan makanan baik yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Misalnya menghalangi makan daging atau puasa terus-menerus setiap hari. Karena yang demikian itu akan melemahkan badan. Seumpama seorang yang beristri muda, padahal dia menghentikan memakan daging; lemahlah syahwatnya ber-setubuh, padahal dia wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya itu. Nafkah batin menurut ajaran syara' ialah menyetubuhi istri. Dengan menghentikan makan daging, dia telah melanggar ketentuan Allah.
Akan tetapi, dia dilarang pula melampaui batas, makan banyak tidak berbatas dan segala yang ditemukan “dihantam". Sangat banyak orangyang ditimpa penyakit karena pola makan yang melampaui batas. Akhirnya datang sakit gula, darah tinggi, sakit pinggang (nier), sakit kencing batu, dan sebagainya, yang menurut keterangan ahli kesehatan terjadi karena ada beberapa makanan yang dilahap saja. Akhirnya, dokter memberi nasihat supaya berobat dengan melakukan diet, mengurangi makan garam, memantangkan makan gula, memperbanyak konsumsi sayur, mengurangi nasi, dan sebagainya.
Oleh karena itu, makanan, pakaian, atau tempat tinggal yang berkancit-kancit, tidak mau makan ini, tidak mau makan itu, tinggal di gubuk buruk padahal rezeki ada, termasuk perbuatan melampaui batas.
Makanan berlebih-lebihan, segala berlebih-lebihan, itu pun melampaui batas. Allah pun tidak suka pada yang melampaui batas.
Pada ayat ini, lebih dijuruskan merupakan teguran kepada orang yang mengharamkan barang baik yang dihalalkan Allah. Mengapa anugerah Ilahi yang telah dibukakan bagi diri padahal tidak merusak, malahan diharamkan? Mereka mengatakan bahwa dengan menolak yang halal itu dia berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Salahlah persangkaan itu. Allah tidak jadi sayang kepada mereka, sebab mereka menolak dan tidak mensyukuri nikmat Allah. Itu bukan ajaran Islam! Dalam ajaran Islam, dunia itu harus diterima dengan gembira karena dengan melalui dunia kita akan menempuh hidup akhirat.
Meninggalkan yang baik-baik anugerah dari Allah, sampai mengenakan pakaian dari bulu saja, memantangkan daging selama hidup, sampai ada yang tidak mau kawin, adalah penentangan pada hidup itu sendiri. Kalau ini merata, niscaya terhentilah keturunan. Yang lebih celaka lagi kalau hal ini dijadikan kepujian, lalu berduyun orang melakukannya, niscaya timbullah kehidupan yang munafik, sebab hal ini sangat berlawanan dengan tabiat manusia. Penganut agama Brahman dan bikshu Buddha, kemudian ditiru oleh Bani Israil dan oleh rahib Nasrani. Mereka berpikir bahwa jiwa mesti dibersihkan dari pengaruh maya ini. Jiwa tidak boleh dipengaruhi oleh benda dan tidak boleh dipuaskan. Hidup ialah sengsara supaya mencapai nirvana. Mereka mengharamkan berhias dan mengharamkan nikmat sehingga dalam kalangan kaum Brahmin atau kaum Yogi ada yang tidak mau memakai pakaian sama sekali, sampai bertelanjang, hanya kemaluannya saja sedikit yang ditutup. Macam-macamlah yang mereka lakukan untuk menyiksa diri mereka sendiri.
Apabila umat Muhammad juga terkena pengaruh yang demikian, akan timbul bahaya yang besar dalam masyarakat. Akan timbul dua macam kehidupan, yaitu orang-orang yang “suci" menyisihkan diri dari masyarakat. Mereka hidup ke dalam kuil dan biara, kerjanya hanya berdzikir dan bersemedi. Dan masyarakat yang lain, yang lebih besar jumlahnya, akan memperturutkan kehendak hawa nafsu tanpa dapat ditahan-tahan. Mereka pun tentu telah menetapkan pendirian bahwa kehidupan suci yang demikian itu hanyalah untuk orang-orang yang terbatas saja. Akhirnya kepada golongan terbatas itulah diserahkan kepengurusan hal tentang agama. Merekalah yang dipanggil untuk berdoa kepada Allah dan kadang-kadang mereka pun telah dianggap sebagai Tuhan, Dan akhirnya, mereka yang memilih hidup demikian ditumbuhi pula perasaan bahwa kelas mereka lebih tinggi. Mereka merasa lebih dekat pada Allah dan orang suci yang tidak boleh diganggu gugat. Kemudian timbul persoalan, siapa yang membelanjai orang-orang yang hidup zuhud itu, “padahal mereka mengutuk segala perhiasan kehidupan?" Yang membelanjai mereka adalah masyarakat atau umat.
Terkadang kehidupan demikian dijadikan tempat pelarian orang yang merasa kalah dalam perjuangan hidup. Seumpamanya telah pusing kepala karena beratnya urusan politik. Atau gadis yang patah hati dalam percintaan.
Di dalam Islam telah diberantas tunas yang nyaris tumbuh dari kehidupan begini. Syukurlah Rasulullah ﷺ lekas menegur dengan sabdanya dan ayat ini pun turun. Memang, Utsman bin Mazh'un adalah seorang yang amat saleh. Dialah yang mula-mula menghentikan minum arak ketika larangan pertama datang. Dia turut hijrah ke Habsyi dan menyaksikan hidup dalam biara di negeri itu. Namun, setelah ditegur oleh Rasulullah ﷺ, dia pun sadar akan dirinya. Konon dalam sambungan hadits, ketika istrinya Haula datang untuk yang kedua kali menemui Aisyah, mukanya telah berseri-seri dan rambutnya telah bersisir rapi. Dia telah berubah dan kelihatan gembira. Dia menjawab bahwa dia telah kembali dengan suaminya Utsman bin Mazh'un. Riuh-rendah istri-istri Rasulullah yang hadir ketika itu, tertawa mendengarkan kata-kata terus terang si Haula!
Harus diakui pula, walaupun sudah setegas itu larangan Rasulullah ﷺ dan larangan ayat Al-Qur'an, di dalam Islam timbul juga berbagai tarekat tasawufyangmenganjurkan kehidupan zuhud. Bahkan, salah seorang imam ikutan kita, yaitu Imam Ghazali pernah pula memuji kehidupan seperti ini. Di dalam kitab Ihya Ulumiddiri, beliau pernah memuji orang yang pakaiannya satu tahun tidak berganti. Padahal, kalau ini diperturutkan, alangkah amis dan hangit bau orang itu kalau dia duduk dalam shaf berjamaah pada hari Jum'at. Lantaran itu pula maka dalam kerajaan Turki Osmani pernah ada golongan tarekat, yaitu Tarekat Baktasyiah yang zawiyah-nys. (tempat mereka bertapa atau bersuluk), harus dibelanjai oleh kerajaan. Dan dalam Islam, ditemui pula seperti yang ada dalam kerajaan Kristen dan Buddha, pemerintah harus mengeluarkan anggaran belanja untuk membelanjai beribu-ribu orang yang menganggur.
Oleh sebab itu, bersabdalah Rasulullah ﷺ ketika beliau mendengar bahwa ada sahabat-sahabatnya yang telah menolak dunia, meninggalkan perempuan, dan hendak hidup seperti rahib itu. Demikian keras teguran beliau,
“Orang ;yang sebelum kamu telah binasa karena mempersukar-sukar atau mereka persukar tiirt mereka maka Allah pun mempersukar mereka. Lihatlah itu sisa mereka di dalam gereja-gereja dan biara-biara. Oleh karena itu, kamu sendiri, hendaklah kamu beribadah karena Allah, jangan dipersekutukan dengan Dia sesuatu pun. Pergikih naik haji dan berumrahlah. Dan ambil sajalah jalan lurus-tengah, supaya Allah pun meluruskan kamu!" (HR Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dari Abu Qilabah)
Dan dirawikan pula oleh Ibnu Abu Syaibah, Ibnu Jarir, dan Abu Abdurrahman, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Aku tidaklah memerintahkan kamu supaya kamu menjadi pendeta dan rahib-rahib." (HR Ibnu Abu Syaibah, Ibnu Jarir, dan Abu Abdurrahman)
Marilah kita hidup yang biasa saja, jangan dilebih-lebihkan dari kekuatan dan jangan pula dikurangi. Mari berlaku sederhana saja; kawin, makan-minum, kadang-kadang bertemu daging, kita makan, bertemu ikan kita makan, bertemu sayur-sayur saja pun kita makan. Dan kalau tidak ada, kita puasa. Kita kenakan pakaian yang pantas. Boleh yang mahal kalau kita sanggup membeli, anak laki-laki jangan memakai sutra dan emas. Dan kalau tak ada uang untuk membeli, biar kita memakai kain belacu pun jadi. Kita tegak ke tengah masyarakat, kita berniaga, berladang dan bertani, mengupah dan menerima upah, hidup rukun dengan istri, mendapat anak, dididik dalam agama, untuk menyambung turunan kita.
Kemudian, diberikanlah tuntunan oleh Allah tentang makanan itu,
Ayat 88
“Dan makanlah olehmu apa yang telah dikaruniakan kepada kamu oleh Allah yang halal lagi baik."
Selama kita masih hidup kita mesti makan. Oleh sebab itu, makan itu sendiri tidak lagi diperintahkan oleh Allah kepada kita. Sebagaimana Al-Qur'an tidak pernah memerintahkan seseorang mengasihi anaknya.
Sebab rasa kasih kepada anak telah tumbuh dengan sendirinya. Cuma kasih kepada anak itu dituntun dan diberi peringatan, bahwasanya kasih kepada anak bisa menjadi bahaya (fitnah) bagi diri sendiri kalau tidak terkendali. Demikian juga pasal makanan dan minuman. Karena kamu mesti makan dan minum, pilihlah makanan yang dikaruniakan Allah yang halal lagi baik. Halaalan, yang halal. Thaiyiban, yang baik.
Jangan asal halal saja, padahal tidak baik.
Misalkan ada beberapa macam binatang menurut pendapat setengah ulama halal dagingnya dimakan, sebab tidak tersebut dalam daftar yang telah diriashkan haramnya dalam Al-Qur'an. Adapun yang diriashkan haramnya, ialah daging babi, bangkai, darah, dan binatang yang disembelih untuk berhala. Lantaran itu, ada orang yang berpendapat bahwa makanan lain yang tidak termasuk klaim daftar itu halal dimakan. Kalau ada hadits Nabi menyebut binatang yang dilarang yang lain, seumpama daging binatang buas yang bertaring atau yang bersaing dan daging burung yang mencengkam, mereka dimasukkan ke dalam golongan makruh saja. Oleh karena itu, menurut jalan pikiran Imam Malik, daging singa halal dimakan. Ada juga yang berpendapat bahwa daging anjing tidak ada nash yang mengharamkannya. Demikian juga daging ular.
Akan tetapi, orang yang telah mencapai kemajuan hidup dan bukan lagi bangsa biadab, memandang bahwa daging singa, anjing, ular, atau burung yang mencengkam itu tidak jelas haramnya. Taruhlah dia halal, tetapi semuanya tidak baik. Oleh karena itu, orang yang beriman tidaklah mau memakan saja segala yang halal, terlebih kalau yang halal itu tidak baik. Kecuali kalau terdesak benar. Di sisi lain, daging babi dirukshahkan memakannya kalau sudah sangat darurat.
Dan janganlah dimakan asal baik saja, padahal tidak halal. Misalnya daging babi yang dimasak dengan masakan yang enak, cukup dengan bumbunya yang menitikkan air liur karena lezatnya, tidak boleh dimakan. Sebab, ia tidak halal. Atau dagingnya halal, misalkan daging kambing dan masakannya enak lagi baik, padahal jelas bahwa itu kambing curian. Itu pun haram dimakan.
Ada juga makanan yang tadiriya halal, kemudian jadi haram atau sekurang-kurangnya makruh. Misalnya semacam gulai yang kemarin sangat enak, tetapi setelah bermalam menjadi basi. Kalau dimakan bisa menyebabkan sakit perut.
Oleh sebab itu, dalam memilih makanan yang halal dan baik atau yang baik dan halal, selain dari yang telah ditentukan Allah dalam Al-Qur'an, diserahkan pula dalam ijtihad kita sendiri untuk memilih mana yang halal lagi baik itu. Itu sebabnya, ujung ayat itu berbunyi,
“Dan bertakwalah kepada Allah dan kepada-Nyalah kamu beriman."
Dengan ketentuan Allah tentang halal dan baik lalu diserahkan kepada pertimbangan batin, yaitu takwa dan iman, bertambah pentinglah jadiriya memilih makanan dan minuman yang layak di dunia ini. Itu sebabnya, jika kita hendak memakan suatu makanan, ditekankan agar membaca bismillah. Dan sehabis makan disuruh untuk memuji Allah: alhamdulillah.
“Dari Umar bin Abu SalamaH (r.a.), berkata dia: berkata Rasulullah ﷺ, ‘Sebut nama Allah dan makan dengan tangan kanan dan hendaklah engkau makan makanan yang di sekeliling engkau saja.'" (HR Bukhari dan Muslim)
duduk dan di dekat beliau ada seorang laki-laki sedang makan, tetapi dia tidak memulai dengan membaca bismillah dan dia makan terus, sampai hanya tinggal kira-kira sesuap. Setelah disuap penghabisan itu, baru dia teringat membaca bismillah, dari awal sampai ke ujungnya. Nabi tersenyum melihat lakunya demikian. Lalu Nabi bersabda, “Sejak semula setan telah makan bersama-sama dengan dia. Tetapi, setelah dia membaca bismillah, keluarlah setan-setan itu dari dalam perutnya." (HR Abu Dawud dan an-Nasai)
“Dan dari Abu Umamah r.a. bahwasanya Nabi ﷺ apabila Hidangan telat diangkat (selesai makan), berkata, ‘Segala puji-pujian bagi Allah, pujian sebanyak-banyaknya, sebaik-baiknya; tidak merasa telah cukup, tidak merasa telah terkaya daripadanya, ya Tuhan kami. (HR Bukhari)
Akhirnya, tidak ada selain Allah yang dapat mencukupkan makanan kita.
“Dari … Anasr.a. berkata dia: Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Barangsiapa yang memakan sua-tu makanan kemudian dia berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan memberikannya sebagai rezeki untukku, di luar daya upayaku, di luar kuat kuasaku, ‘ akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.'" (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan dia berkata bahwa hadits ini hasan)
Diceritakan pula oleh seorang sahabat Rasulullah ﷺ, bernama Umaiyah bin Makhsyi, bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ Sedang ...
Maka dari itu, banyaklah hadits yang menerangkan hubungan makanan halal dan baik dengan kehidupan kita. Sampai ada hadits Rasulullah ﷺ menerangkan tentang seorang laki-laki yang berjalan mengembara ke mana-mana, hingga tidak berketentuan pakaiannya, kotor bajunya, kusut-masai rambutnya, dan selalu menadahkan tangan ke langit, memohon, “Ya Allah, ya Allah," memohon berbagai permohonan, padahal yang dimakannya haram, yang diminumnya haram, yang dipakainya haram, dan dia sejak kecil dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Bagaimana Allah akan memperkenankan permohonannya.
Oleh sebab itu, banyak ulama menyimpulkan hadits-hadits yang berkenaan dengan makanan dan minuman, adab makan dan adab minum, sampai kepada cara-caranya. Dan itu ditulis oleh al-Hafizh al-Imam al-Mundziri dalam kitab haditsnya yang berjudul at-Targhib wat-Tarhib.
Sampal-sampai al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menulis di dalam kitabnya Mada-rijus Salikin yang menerangkan betapa besar pengaruh makanan yang halal kepada mimpi-mimpi. Beliau berkata bahwa kalau engkau ingin mimpi yang baik, hendaklah terlebih dahulu menjaga benar agar makanan dan minuman yang masuk ke dalam rongga mulutmu itu makanan dan minuman yang halal. Sesudah itu, berwudhulah dan shalatlah dua rakaat, lalu tidurlah berbaring ke sebelah kanan, sebaiknya menghadap kiblat. Kesan pertama kata beliau ialah bahwa engkau tidak akan mendapat mimpi yang menakutkan dan tidurmu akan nyenyak, walaupun sebentar. Kesan kedua, lama-lama dan sesekali waktu engkau akan diberi mimpi yang indah atau yang baik takwilnya.
Ayat ini menjadi sangat penting artinya untuk dipikirkan oleh orang yang memupuk takwa dan iman di dalam hatinya. Seperti yang tersebut di ujung ayat, apalagi bila disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran. Pengaruh makanan amat besar terhadap tubuh dan jiwa. Patokan telah ditunjukkan Allah di ayat ini, yaitu halal dan baik.
Kita teringat bahwa pada akhir bulan juni 1965, ketika tafsir ini kita tulis, bahwa di Bali diadakan satu simposium perihal memajukan kesehatan rakyat di pulau yang penduduknya menganut agama Hindu-Bali. Banyak dokter ahli hadir dan memberikan pemikiran. Seorang dokter pemeluk Hindu-Bali mengemukakan hasil research-nya bahwa salah satu penyakit yang diidap penduduk Bali ialah penyakit cacing pita. Penyakit itu, kata dokter Hindu-Bali tersebut, berasal dari makan daging babi mentah dan meminum darah mentah. Dalam upacara-upacara agama, orang Hindu-Bali suka sekali melakukan itu. Dokter itu menganjurkan dari segi kesehatan, agar hendaknya orang Bali menghentikan hal demikian.
Kita harus bersyukur menjadi orang Islam karena agama kita memberikan tuntunan tentang makanan yang halal dan yang baik.
(89) Tidaklah disalahkan kamu oleh Allah, dari sebab yang telanjur dari sumpah kamu. Tetapi, kamu disalahkan-Nya dari sebab sumpah-sumpah yang kamu sungguh-sungguhkan. Maka, dendanya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang pertengahan daripada makanan yang kamu berikan kepada ahli kamu, atau memberi pakaian untuk mereka, atau memerdekakan budak. Maka, barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah puasa tiga hari. Demikian itulah denda sumpah-sumpah kamu apabila kamu bersumpah. Oleh karena itu, peliharalah sumpah-sumpah kamu apabila kamu bersumpah. Demikianlah Allah menyatakan kepada kamu akan ayat-ayat-Nya, supaya kamu berterima kasih.
BERSUMPAH
Ayat 89
Karena pada ayat terdahulu telah mulai tersebut perkara mengharamkan barang yang halal untuk diri sendiri, niscaya sampailah pikiran orang pada soal sumpah. Ada orang yang bersumpah, saya tidak akan makan daging lagi selama-lamanya. Ada juga orang yang bersumpah, saya tidak akan kawin-kawin lagi selama-lamanya. Ada orang yang bersumpah, demi Allah, saya tidak akan menegur si anu lagi mulai kini. Dan banyak lagi sumpah lain, sebagai janji seseorang dengan penyaksian nama Allah bahwa dia akan menghentikan ini atau dia akan berbuat itu. Oleh karena itu, datanglah tuntunan ayat berikut:
“Tidaklah disalahkan kamu oleh Allah, dari sebab yang … dari sumpah kamu. Namun, kamu disalahkan-Nya dari sebab sumpah-sumpah yang kamu sungguh-sungguhkan."
Di sini, terdapat hukum ketentuan Allah tentang bersumpah. Oleh karena itu, dibagilah sumpah yang tidak ada artinya dan yang kedua ialah sumpah yang sungguh-sungguh. Sumpah yang telanjur dan yang tidak berarti itu, tidaklah mengenai akibat hukum.
Menurut keterangan Imam Syafi'i, dalam al-Umm dan Imam Malik dalam al-Muwaththa!, demikian juga Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, dan al-Baihaqi di dalam Su-nan-nya, yang dipandang sumpah yang tidak disalahkan atau tidak diancam dengan denda kafarat ialah sebagai yang dirawikan mereka dari hadits Aisyah, seumpama seorang laki-laki bercakap, “Demi Allah, tidak! Benarlah hal itu, wallah; sekali-kali tidak, wallah!" Atau seperti yang dirawikan oleh ‘Abd bin Humaid dan Abusy-Syaikh dari Ibrahim, ada orang yang bercakap kepada kawannya, “Engkau mesti datang ke rumahku, wallah! Engkau mesti makan nasiku, demi Allah! Engkau mesti minum, wallah!" Atau segala kata-kata sumpah dalam susunan demikian, hanya semata-mata kata saja, belumlah dia termasuk sumpah yang wajib dibayar kafaratnya. Bahkan sampai zaman kita ini, baik di seluruh negeri Arab maupun orang Arab di Indonesia, kata-kata “wallah!" itu biasa saja, sebagai penekan kata belaka.
Contohnya, ada seseorang bertanya (dalam bahasa Arab), “Apakah engkau melihat si Fulan?"
Temannya menjawab, “Ada saya lihat, wallah!" (…-aituhu, wallah). Ini namanya sumpah yang lagha. Tidak disalahkan, artinya tidak wajib membayar kafarat. Yang wajib dibayar kafaratnya, kalau sumpah itu dilanggar ialah ucapan sumpah sungguh-sungguh. Misalnya kita bersumpah, “Demi Allah, aku tidak hendak merokok lagi!" Dengan demikian, kalau sumpahnya itu dilanggar lalu dia merokok, kenalah dia denda (kafarat). Sebab, di sana sudah ada akad. Ingatlah kembali awal surah, kepada orang yang beriman diwajibkan menyempurnakan akad itu. Maksud akad di sini adalah janji antara diri kita sendiri dengan Allah, memakai nama-Nya. Sayyidiria Abu Bakar r.a. pernah bersumpah tidak akan lagi memberikan bantuan belanja kepada seorang yang selalu diberinya bantuan selama ini sebab orang itu turut terlibat dalam menuduh Aisyah dengan tuduhan hina. (Lihat tafsir surah an-Nuur). Rasulullah ﷺ menyalahkan beliau karena bersumpah demikian. Akhirnya, bantuan itu diteruskannya kembali dengan terlebih da-hulu membayar kafarat, disebabkan oleh sumpahnya itu. Oleh karena itu, segala sumpah yang telah kita sumpahkan dengan nama Allah akan mengerjakan suatu pekerjaan atau menghentikan satu pekerjaan, akan berjanji dengan orang lain dengan memaakai sumpah, kalau tidak dapat dipegang teguh, kalau tidak dapat dipenuhi, wajiblah dibayar kafaratnya, yaitu dengan denda."Moka, dendanya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang pertengahan dari makanan yang kamu berikan kepada ahli kamu."
Kalau sumpah tadi tidak dapat dipenuhi atau dilanggar, wajiblah membayar denda memberi makan sepuluh orang miskin, dengan makanan pertengahan kita sendiri. Pertengahan ini diukur menurut ‘urf (yang teradat) di masing-masing negeri. Misalnya makanan kita yang terendah ialah sepiring nasi dengan sambal terasi. Makanan menengah ialah makanan kenyang nasi dengan lauk-pauk sederhana. Makanan yang ukuran tinggi bagi kita ialah yang biasa kita hidangkan kalau kita menjamu orang yang kita hormati. Nasi sebanyaknya, ditambah gulai kambing, dan beberapa gulai yang lain. Jadi, pilihlah makanan yang pertengahan lalu berikan ke-pada sepuluh orang miskin. Pemberiannya boleh dengan cara dipanggil pulang ke rumah, boleh diberikan makanan mentah, boleh diantarkan ke rumah-rumah mereka, atau boleh pula diberikan harganya saja. Menurut Imam Hanafi, boleh pula menjamu seorang miskin selama sepuluh hari berturut-turut.
Menurut Sayyidiria Ali, ialah makanan sehari. Makanan siang dan makanan malam (ghadaa' dan ‘asyaa')."Atau memberi pakaian untuk mereka." Ini denda tingkat kedua. Artinya, kalau lebih mampu kita dapat memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin. Kemudian, oleh ulama-ulama fiqih, ditunjukkan pula apa yang dimaksud dengan pakaian, yang di dalam ayat disebutkan kiswah. Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud ialah pakaian yang dapat menutup aurat ketika mereka shalat. Kalau di Mesir, misalnya, tentu dapat diberikan kepada me-reka sehelai baju jalabiyah, yang menutup seluruh tubuh mereka sampai ke bawah. Di Mekah disebut gamis (kemeja panjang). Buat kita bangsa Indonesia, yang dapat menutup aurat dalam shalat, tentulah sehelai kain sarung dan sehelai kemeja atau baju. Kalau kita lengkapkan lagi dengan sebuah songkok dan sepasang terompah atau sandal, tentu lebih baik."Atau memerdekakan budak." Ini kafarat yang tinggi sekali. Untuk menebus sumpah yang sudah telanjur itu merdekakanlah budak. Imam Syafi'i, dengan mengqiyaskan pada denda memerdekakan budak karena telanjur membunuh orang Mukmin atau kafir yang dalam perjanjian tidak dengan sengaja, yaitu memerdekakan budak yang beriman, beliau berpendapat, hendaklah budak yang akan dimerdekakan pembayar kafarat sumpah itu budak yang beriman, tegasnya budak Islam. Termasuk juga di dalamnya penebus orang tawanan. Misalnya terjadi peperangan dan ada orang Islam ditawan musuh yang akan dilepaskan bila ditebus, dipersilakanlah menebus budak itu sehingga dia bebas kembali.
Dalam ayat ini, denda kafarat ditingkatkan dari yang paling bawah sampai pada kekuatan yang paling tinggi; memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, dan memerdekakan budak Oleh sebab itu, terjadi pertikaian ijtihad di antara ulama-ulama fiqih tentang ini. Setengahnya berijtihad bahwa semua itu bergantung pada kesanggupan orang yang bersangkutan. Apabila dia lebih kaya tentulah kafaratnya lebih tinggi yang diambilnya, menengah cara menengah, kurang mampu pilih yang di bawah sekali. Lalu yang lain pula. Setengahnya lagi beritjihad bahwa nilai kafarat menilik yang disumpahkan. Besar yang disumpahkan, besar pula kafaratnya, dan jika kecil, kecil pula kafaratnya. Dan penulis tafsir ini cenderung pada paham ini."Maka barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah puasa tiga hari." Artinya, yang paling bawah, tentulah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan pertengahan yang biasa diberikan kepada ahli sendiri. Kalau yang paling bawah ini tidak pula mampu, hendaklah diganti dengan puasa tiga hari. Setengah ulama fiqih mensyariatkan berturut-turut tiga hari dan setengahnya lagi mengatakan boleh lain waktu. Namun, tentu kita merasakan juga bahwa yang lebih baik tentu berturut tiga hari karena kita telah melanggar sumpah. Kecuali kalau sakit sehingga tidak dapat meneruskan tiga hari berturut-turut."Demikianlah denda sumpah-sumpah kamu apabila kamu bersumpah."
Sudah diatur demikian rupa oleh Allah, dalam rangka kewajiban kita sebagai orang Mukmin, yaitu menyempurnakan seperti yang telah tertentu di awal surah."Oleh karena itu, peliharalah sumpah-sumpah kamu apabila kamu bersumpah." Karena yang diambil menjadi sumpah itu adalah nama Allah, nama Allah yang dimuliakan dan yang ditinggikan, tidak boleh dipermain-mainkan. Oleh sebab itu, hendaklah dipikirkan matang-matang sebelum nama Yang Mahamulia itu disebut dan ukurlah kekuatan dan kesanggupan diri, sebelum suatu sumpah diucapkan.
“Demikianlah Allah menyatakan kepada kamu akan ayat-ayat-Nya, supaya kamu berterima kasih."
Tentu yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah perintah dan peraturan, demi kemuliaan nama Allah. Tentu dapatlah dipahamkan, seorang yang beriman, seperti tersebut dalam surah ash-Shaff ayat 1, tidak akan mengatakan suatu hai yang tidak dapat mereka kerjakan, apalagi kalau telah menjadikannya sumpah. Dan janganlah bersumpah akan berbuat suatu pelanggaran, misalnya bersumpah, “Demi Allah saya akan memukul si anu." Karena memukul orang adalah haram sehingga sumpah itu pun wajib dibayar kafa-ratnya. Sebab, nama Allah sudah disebut. Atau misalnya bersumpah, “Demi Allah, saya bukan anak laki-laki kalau perempuan itu tidak dapat menjadi istri saya." Karena kalau pinangan gagal, tidak diterima orang tuanya, maksud tidak berhasil dan kafarat sumpah harus dibayar juga. Sebab, kemuliaan nama Allah sudah dibawa.
Oleh karena itu, ditentukan pula di dalam syara' oleh peraturan Rasulullah saw„ termasuk dalam rangka tauhid bahwa sangat dilarang (haram) mengambil yang lain dari Allah menjadi sumpah. Misalnya, “Demi kehormatanku!", “Demi langit dan bumi!", dan sebagainya.
Dirawikan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dan Muslim pada kedua Shahih-nya, dari Ibnu Umar, bahwa satu hari Rasulullah ﷺ mendengar Umar bersumpah dengan nama ayahnya sendiri. Maka, bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan nama-nama bapak-bapak kamu. Maka barangsiapa yang bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah. Kalau tidak begitu, lebih baik diam!" (HR Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad)
Dan banyak lagi hadits-hadits lain dan beberapa peraturan lain yang tersebut di dalam kitab-kitab fiqih yang kita rasa untuk tafsir ayat ini, mencukupilah sekadar keterangan ini.
Di ujung ayat diterangkan, diadakannya peraturan ini supaya kita berterima kasih kepada Allah. Sebab dengan aturan ini, kita telah dilepaskan dari suatu kesulitan. Memakai nama Allah atau mempermudah sumpah pada hakikatnya adalah tidak baik. Akan tetapi, dengan adanya aturan tanda itu, apalagi orang miskin akan tertolong pula, Allah telah melepaskan kita dari suatu kesulitan. Kemudian, untuk seterusnya kita harus lebih hati-hati sehingga tidak mempermudah sumpah.
Ayat 90
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya, anak dan judi dan sembelihan untuk berhala dan undi-undi nasib adalah kotor dari pekerjaan setan. Maka hendaklah kamu jauhi ia, supaya kamu beroleh kejayaan."
Pertama, diharamkan khamr ialah sekalian minuman yang menimbulkan dan menyebabkan mabuk, dalam bahasa kita disebut arak atau tuak. Minuman itu menimbulkan mabuk karena mengandung alkohol yang terbentuk dari ragi.
Orang Arab negeri tempat tuak mulai diharamkan itu membuat tuak atau arak dari buah anggur atau kurma. Dan pada suku-suku bangsa kita, arak itu bisa timbul dari nira, yaitu diambil dari pohon enau (aren). Dan diambil juga dari beras pulut atau ketan, yang mulanya sebagai tapai, tetapi setelah dipermalamkan beberapa hari bisa juga memabukkan. Dan diambil orang juga dari air saringan beras, bukan pulut. Sebagai sake yang diminum orang Jepang. Di Sulawesi diambil dari pohon lontar, serupa juga dengan mengambil nira dari pohon enau, di Batak, di Minang, dan tempat-tempat lain. Ada yang menjadi tuak karena dicampurkan ragi ke dalamnya, seperti air tapai yang menjadi arak itu. Dan ada yang berubah menjadi ragi atau alkohol setelah dipermalamkan beberapa hari, sebagai nira. Kemudian, nira itu dapat berubah menjadi cuka dan bisa pula menjadi tuak. Oleh sebab itu, segala minuman yang memabukkan atau bisa memabukkan, menjadi haram untuk diminum.
Kedua, diharamkan pula judi, yaitu segala permainan yang menghilangkan tempo dan melalaikan waktu serta membawa pertaruhan. Termasuk di dalamnya segala permainan judi; koa, kim, domino, kartu, rolet, ceki, dadu, atau segala macam permainan yang memakai pertaruhan, seumpama terka-terkaan berapa isi manggis, atau berdiri di tepi jalan beramal-ramai bertaruh di dalam menaksir nomor mobil yang melintas, atau mengadu jangkrik, mengadu ayam, mengadu kambing, sapi, dan sebagainya, ketika yang kalah dan menang ditentukan dalam pertaruhan. Termasuk di dalamnya siapa yang akan menang dan berapa kemenangannya ketika menonton orang bermain sepak bola atau boksen dan lain-lain. Namun, berpacu kuda atau berlomba siapa yang ternaknya paling cantik dan gemuk, lalu mana yang lebih kencang larinya atau lebih bagus badannya diberi piala, tidaklah termasuk bertaruh. Yang semacam ini dihalalkan syara'. Sebab, ini bukan pertaruhan di antara manusia, melainkan perlombaan memelihara ternak yang diperlukan lalu diberi hadiah oleh yang patut memberi hadiah sehingga terjadilah perlombaan yang baik. Misalnya pada permainan sepak bola, bulu tangkis, atau tenis meja, bisa menimbulkan barang yang halal, yaitu hadiah yang diberikan kepada yang menang. Sebab dalam sport, yang diadu dan dipertinggi ialah kecerdasan dan kepandaian, bukan untung-untungan. Akan tetapi, kalau si penonton mengadakan pertaruhan barulah hal itu diharamkan. Malahan, ada yang sampai merusakkan yang berlomba main itu sendiri sehingga hilang hakikat sport. Karena orang yang bertaruh memberi uang suap kepada si pemain.
Ketiga, diharamkan pula sembelihan untuk berhala. Sebab sembelihan untuk berhala adalah perbuatan musyrik. Di sana, bisa terdapat dua hal yang haram: penyembelihan itu sendiri dan kalau dimakan pula binatang yang telah disembelih untuk berhala itu.
Keempat, diharamkan pula melihat nasib dengan azlam, yaitu cangkir atau potongan kayu berupa panah yang mereka pergunakan di zaman jahiliyyah untuk melihat nasib, seperti yang telah diterangkan agak panjang ketika menafsirkan ayat ke-3 di permulaan surah ini. Dan telah diterangkan bahwa di dalam Kelenteng Toapekong orang China kita dapat menyaksikan tanduk sampai yang diambil menjadi azlam itu, dicat sebelah putih dan sebelah merah, disimbang-simbangkan di hadapan berhala (Toapekong) untuk mengetahui apakah suatu pekerjaan dibolehkan oleh Toapekong. Kalau boleh keluarlah yang bercat putih. Dan kalau dilarang oleh Toapekong, keluarlah yang bercat merah. Masuklah pula di dalam hitungan azlam mengocok kartu untuk melihat nasib atau burung gelatik yang telah diajar mencetuk kertas-kertas yang dilipat rapi, yang setelah dicetuk-nya lalu dibuka dan dibaca. Kemudian, isinya itulah yang diperhatikan, untuk mengetahui boleh atau tidak boleh. Atau memperhitungkan hari lahir dengan menilik bintangnya, lalu menerka nasib dalam seminggu-seminggu, sebagaimana banyak dilakukan orang pada surat-surat kabar dan majalah. Oleh karena itu, keempat perbuatan itu adalah rijs, artinya kotor. Semuanya itu termasuk perbuatan setan yang sesat dan membawa pada kesesatan. Oleh sebab itu, hendaklah sekalian orang beriman menjauhi segala perbuatan itu. Karena dengan menjauhi itu, akan berjayatah kamu, bersihlah hidupmu, dan terpeliharalah imanmu.
Dikatakan bahwa semua itu kotor, hina, jijik, dan perbuatan setan. Dengan adanya iman, jiwa orang telah menempuh jalan yang terang, Akan tetapi, kalau telah minum tuak, pikiran jadi kacau lantaran mabuk. Terlepaslah nafsu manusia dari kekangnya dan jatuhlah kemanusiaannya. Waktu mabuk, orang lupa diri dan tidak dapat mengendalikannya lagi. Dan kalau orang telah bertaruh, pertama hilanglah temponya karena pertaruhan itu amat mengasyikkan sehingga ada orang yang asyik berjudi berhari-hari atau bermalam-malam; yang menang mendapat harta yang tidak berkah dan yang kalah pulang dengan kerugian, dengan sendirinya akhlaknya pun jatuh. Dengan menyembelih untuk berhala, orang kembali menjadi musyrik dan terbanglah iman yang selama ini telah dipupuk dengan susah payah. Dengan mengundi nasib, guncanglah iman, mulailah goyah kepercayaan kepada diri sendiri karena kepercayaan kepada Allah telah hilang. Takut menghadapi bahaya yang akan datang, padahal dalam rukun iman telah diriyatakan bahwa manusia di dalam hidupnya pasti bertemu dengan suka dan duka, senang dan susah. Oleh karena itu, dengan keempat perbuatan itu atau salah satunya, mulailah orang melakukan perbuatan kotor, yang mengotori jiwanya sendiri. Dan, jadilah dia yang tadinya seorang beriman kepada Allah, menjadi pengikut setan.