Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَاجَرُواْ
(mereka) hijrah
وَجَٰهَدُواْ
dan mereka berjihad
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
يَرۡجُونَ
mereka mengharapkan
رَحۡمَتَ
rahmat
ٱللَّهِۚ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
هَاجَرُواْ
(mereka) hijrah
وَجَٰهَدُواْ
dan mereka berjihad
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
يَرۡجُونَ
mereka mengharapkan
رَحۡمَتَ
rahmat
ٱللَّهِۚ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah) meninggalkan kampung halaman mereka, (dan berjihad di jalan Allah), yakni untuk meninggikan agama-Nya, (mereka itu mengharapkan rahmat Allah), artinya pahala-Nya, (dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) terhadap orang-orang beriman.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 217-218
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Al-Hadrami, dari Abus Siwar, dari Jundub ibnu Abdullah yang telah menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ mengirimkan utusan yang terdiri atas sejumlah orang, dan mereka mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin.
Ketika Abu Ubaidah hendak berangkat menunaikan tugasnya, tiba-tiba ia menangis karena rindu kepada Rasulullah ﷺ hingga terhentilah ia dari perjalanannya. Maka Rasulullah ﷺ menggantinya dengan Abdullah ibnu Jahsy dan menulis sepucuk surat buatnya dengan instruksi ia tidak boleh membaca surat tersebut sebelum tiba di tempat tertentu. Nabi ﷺ bersabda kepadanya: Jangan sekali-kali kamu memaksa seseorang dari kalangan teman-temanmu untuk berangkat bersamamu. Ketika ia membaca surat tersebut, ia mengucapkan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'una), lalu mengatakan, "Aku tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya." Kemudian Abdullah ibnu Jahsy menceritakan kepada mereka dan membacakan surat Nabi ﷺ itu kepada mereka. Maka ada dua orang lelaki dari kalangan mereka yang kembali, sedangkan sisanya tetap bersama Abdullah ibnu Jahsy. Kemudian mereka bersua dengan Ibnul Hadrami, lalu mereka membunuhnya, sedangkan mereka tidak mengetahui apakah bulan itu adalah bulan Rajab atau bulan Jumadi.
Maka orang-orang musyrik berkata kepada orang-orang muslim, "Kalian telah melakukan pembunuhan dalam bulan Haram." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. As-Suddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Pada mulanya Rasulullah ﷺ mengirimkan sejumlah pasukan rahasia yang terdiri atas tujuh orang, di bawah pimpinan Abdullah ibnu Jahsy Al-Asadi. Mereka semuanya adalah Ammar ibnu Yasir, Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah, Sa'id ibnu Abu Waqqas, Atabah ibnu Gazwan As-Sulami (teman sepakta Bani Naufal), Suhail ibnu Baida, Amir ibnu Fuhairah, dan Waqid ibnu Abdullah Al-Yarbu'i (teman sepakta Umar ibnul Khattab). Nabi ﷺ menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy dan berpesan kepadanya agar janganlah ia membaca surat tersebut sebelum turun di Lembah Nakhlah. Ketika ia turun di Lembah Nakhlah, ia membuka surat itu dan ternyata di dalamnya terdapat perintah: "Berjalanlah terus sampai kamu turun di Lembah Nakhlah
Maka Ibnu Jahsy berkata kepada teman-temannya, "Barang siapa yang ingin mati, hendaklah ia maju terus dan berwasiatlah, karena sesungguhnya aku sendiri akan berwasiat dan maju melakukan perintah Rasulullah ﷺ" Ibnu Jahsy maju, dan yang tidak ikut dengannya adaiah Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Atabah; keduanya kehilangan unta kendaraannya. Karena itulah ia tidak ikut serta, sebab mencari unta kendaraannya masing-masing.
Ibnu Jahsy terus berjalan menuju ke tengah Lembah Nakhlah. Tiba-tiba ia bersua dengan Al-Hakam ibnu Kaisan dan Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah. Bulan Jumada telah berakhir, lalu Amr terbunuh; ia dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Perang ini merupakan perang pertama yang menghasilkan ganimah bagi sahabat Rasulullah ﷺ Ketika mereka kembali ke Madinah dengan membawa dua orang tawanan perang dan harta ganimah, maka penduduk Mekah berkeinginan untuk menebus kedua tawanannya itu.
Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad menduga bahwa dia taat kepada Allah, tetapi dia sendirilah orang yang mula-mula menghalalkan bulan Haram dan membunuh teman kami dalam bulan Rajab." Maka kaum muslim menjawab, "Sesungguhnya kami hanya membunuhnya dalam bulan Jumada, dan ia terbunuh pada permulaan malam Rajab dan akhir malam Jumada." Lalu kaum muslim menyarungkan pedang mereka ketika bulan Rajab masuk, dan Allah menurunkan firman-Nya mencela penduduk Mekah, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram.
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217) Yaitu tidak halal. Apa yang telah kalian lakukan, wahai kaum musyrik, lebih besar daripada melakukan pembunuhan dalam bulan Haram, karena kalian kafir kepada Allah dan menghalang-halangi Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya. Mengusir ahli Masjidil Haram darinya ketika mereka mengusir Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya merupakan perbuatan yang lebih besar dosanya di sisi Allah daripada melakukan pembunuhan. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang perang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar" (Al-Baqarah: 217) Pada mulanya kaum musyrik menghalang-halangi Rasulullah ﷺ (untuk sampai ke Masjidil Haram) dan menolaknya masuk, hal ini terjadi pada bulan Haram.
Maka Allah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya pada bulan Haram, juga tahun berikutnya. Lalu orang-orang musyrik mencela Rasulullah ﷺ karena melakukan perang dalam bulan Haram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: tetapi menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yakni daripada melakukan peperangan di dalam bulan Haram. Selanjutnya Nabi Muhammad ﷺ mengirimkan suatu pasukan khusus, lalu mereka bersua dengan Amr ibnul Hadrami yang sedang dalam perjalanannya dari Taif pada akhir malam Jumada dan permulaan malam bulan Rajab. Sedangkan sahabat Nabi ﷺ menduga bahwa malam itu masih termasuk bulan Jumada, padahal malam tersebut merupakan permulaan malam bulan Rajab, tetapi mereka tidak menyadarinya. Maka Amr ibnul Hadrami terbunuh oleh seseorang dari pasukan khusus tersebut dan mereka merampas semua barang bawaannya (sebagai ganimah). Lalu kaum musyrik mengirimkan utusannya, mencela Nabi ﷺ yang telah melakukan demikian (dalam bulan Haram). Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya.'" (Al-Baqarah: 217) Yaitu mengusir ahli Masjidil Haram lebih besar dosanya daripada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Nabi ﷺ, dan dosa yang lebih besar lagi daripada semuanya ialah mempersekutukan Tuhan.
Demikianlah menurut riwayat Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan pasukan rahasia yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Jahsy dan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa firman berikut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami dari peristiwa yang berkaitan dengannya, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Abdul Malik ibnu Hisyam (seorang perawi Sirah) meriwayatkan dari Ziyad ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar Al-Madani di dalam Kitabus Sirah-nya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutus Abdullah ibnu Jahsy ibnu Rabbab Al-Asadi dalam bulan Rajab, sekembalinya beliau dari Badar pertama. Beliau pun mengutus pula bersama Ibnu Jahsy delapan orang lainnya yang semuanya dari kalangan Muhajirin tanpa ada seorang Anshar pun untuk membantunya. Nabi ﷺ menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy seraya berpesan bahwa janganlah Ibnu Jahsy membuka surat tersebut sebelum berjalan selama dua hari. Ibnu Jahsy berangkat seperti apa yang diperintahkan kepadanya dan tidak memaksa seorang pun di antara teman-temannya untuk ikut bersamanya.
Teman-teman Abdullah ibnu Jahsy dalam misi tersebut terdiri atas kalangan Muhajirin, mereka dari Bani Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf, yaitu Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf; teman sepakta mereka adalah Abdullah ibnu Jahsy yang menjadi pemimpin mereka. Lalu Ukasyah ibnu Mihsan (seorang dari kalangan Bani Asad ibnu Khuzaimah, teman sepakta mereka), dan dari kalangan Bani Naufal ibnu Abdu Manaf ialah Atabah ibnu Gazwan ibnu Jabir, teman sepakta mereka.
Dari kalangan Bani Zuhrah ibnu Kilab ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas, dan dari Bani Ka'b ialah Addi ibnu Amir ibnu Rabi'ah, teman sepakta mereka. Sedangkan dari luar kalangan mereka ialah Ibnu Wail dan Waqid ibnu Abdullah ibnu Abdu Manaf ibnu Urs ibnu Sa'labah ibnu Yarbu', salah seorang dari kalangan Bani Tamim, teman sepakta mereka; juga Khalid ibnul Bukair (salah seorang dari Bani Sa'd ibnu Al-Laits, teman sepakta mereka), sedangkan dari kalangan Banil Haris ibnu Fihr ialah Suhail ibnu Baida.
Ketika Abdullah ibnu Jahsy telah berjalan selama dua hari, ia membuka surat tersebut, lalu ia membacanya. Ternyata di dalamnya berisikan kalimat berikut: Apabila kamu membaca suratku ini di tempat yang dimaksud, maka lanjutkanlah perjalananmu hingga kamu istirahat di Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Taif untuk mengintai orang-orang Quraisy dan kamu sampaikan kepada kami berita tentang (gerak-gerik) mereka. Setelah isi surat itu dibaca oleh Abdullah ibnu Jahsy, ia berkata, "Kami tunduk dan patuh." Kemudian ia berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kepadaku untuk berangkat ke Nakhlah guna mengintai orang-orang Quraisy, lalu aku sampaikan beritanya kepada beliau ﷺ Sesungguhnya Nabi ﷺ melarangku memaksa seseorang dari kalian untuk ikut bersamaku.
Maka barang siapa yang ingin mati syahid di antara kalian dan menyukainya, hendaklah ia berangkat bersamaku. Barang siapa yang tidak suka, ia boleh kembali. Adapun saya sendiri akan terus berangkat melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ" Maka Ibnu Jahsy berangkat bersama teman-temannya, tiada seorang pun di antara mereka yang tertinggal. Ibnu Jahsy menempuh jalan Pegunungan Hijaz. Ketika ia sampai di suatu tambang yang terletak di atas bukit yang dikenal dengan nama Najran, Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan kehilangan unta cadangannya, maka keduanya tertinggal karena mencari unta tersebut.
Sedangkan Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Nakhlah. Kemudian lewatlah kafilah orang-orang Quraisy membawa muatan berupa minyak, lauk-pauk, dan barang dagangan milik mereka. Kafilah tersebut dikawal oleh Amr ibnul Hadrami (nama aslinya ialah Abdullah ibnu Abbad, salah seorang pengawal bayaran), Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah dan saudaranya (yaitu Naufal ibnu Abdullah), keduanya dari Bani Makhzum; juga Al-Hakam ibnu Kaisan maula Hisyam ibnul Mugirah.
Ketika mereka melihat Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya yang sedang beristirahat di dekat tempat mereka, maka rasa takut merayap di dalam hati mereka. Selanjutnya Ukasyah ibnu Mihsan menampakkan dirinya, yang saat itu Ukasyah telah mencukur rambutnya. Ketika mereka melihatnya, mereka tidak memeranginya dan membiarkannya dalam keadaan aman, dan mereka mengatakan, "Ammar termasuk salah seorang dari kaum." Kemudian kaum (pasukan kaum muslim) bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai langkah yang akan mereka lakukan terhadap kafilah Quraisy itu.
Hal tersebut terjadi pada akhir bulan Rajab. Lalu kaum berkata, "Demi Allah, seandainya kita membiarkan mereka malam ini, niscaya mereka berada di dalam bulan Haram, dan mereka akan selamat dari tangan kalian. Tetapi jika kalian memerangi mereka, berarti kalian berperang dengan mereka dalam bulan Haram." Pasukan kaum muslim ragu-ragu dan enggan memerangi mereka, tetapi pada akhirnya mereka membulatkan tekad untuk memerangi kafilah Quraisy dan sepakat untuk membunuh orang-orang yang dapat mereka kejar dari rombongan kafilah itu serta mengambil barang yang dibawanya.
Kemudian Waqid ibnu Abdullah At-Tamimi melepaskan anak panahnya ke arah Amr ibnul Hadrami dan tepat mengenainya hingga ia mati, sedangkan Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan mereka tawan. Di antara rombongan kafilah yang selamat ialah Naufal ibnu Abdullah, ia melarikan diri dan tidak dapat dikejar lagi oleh pasukan kaum muslim. Selanjutnya Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya kembali membawa kafilah tersebut dan dua orang tawanan, hingga datang kepada Rasulullah ﷺ di Madinah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa salah seorang keluarga Abdullah ibnu Jahsy ada yang menuturkan bahwa Abdullah berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ mempunyai bagian dari ganimah yang kita hasilkan ini sebanyak seperlimanya." Demikian itu sebelum ada perintah dari Allah yang memfardukan seperlimanya buat Rasulullah ﷺ (yakni seperlima ganimah). Lalu seperlima dari ganimah dipisahkan khusus buat Rasulullah ﷺ, sedangkan sisanya dibagi-bagikan kepada pasukan kaum muslim yang ikut dalam misi tersebut, yaitu Abdullah ibnu Jahsy dan teman-teman-nya. Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mereka datang di hadapan Rasulullah ﷺ, maka bersabdalah beliau ﷺ, "Aku tidak memerintahkan kalian melakukan perang dalam bulan Haram." Akhirnya kafilah itu dan kedua tawanan tersebut didiamkan dan beliau tidak berani mengambil sesuatu pun darinya.
Ketika Rasulullah ﷺ bersabda demikian, maka semua kaum yang terlibat merasa takut dan mereka menduga bahwa dirinya akan binasa, terlebih lagi saudara-saudara mereka dari kalangan kaum muslim lainnya ikut mengecam perbuatan mereka itu. Di lain pihak orang-orang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram, mengalirkan darah, dan merampas harta benda serta menahan orang-orang dalam bulan tersebut. Lalu orang yang menjawab ucapan mereka (dari kalangan kaum muslim) yang ada di Mekah mengatakan, "Sesungguhnya apa yang telah mereka lakukan itu hanya terjadi dalam bulan Sya'ban." Sedangkan pihak orang-orang Yahudi mengaitkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ dan bahwa Amr ibnul Hadrami dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah.
Mereka mengemukakan ramalannya bahwa amr artinya ramai (yakni perang mulai ramai), sedangkan al-hadrami artinya perang telah tiba masanya, dan waqid artinya perang telah berkobar. Maka Allah membalikkan kenyataan tersebut menimpa diri orang-orang Yahudi, bukan orang-orang muslim. Tatkala peristiwa tersebut ramai dibicarakan oleh orang-orang, maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah ﷺ, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." (Al-Baqarah: 217) Dengan kata lain, jika kalian melakukan peperangan dalam bulan Haram, sesungguhnya mereka telah menghalang-halangi kalian dari jalan Allah karena kekufuran mereka kepada-Nya; mereka juga telah mengusir kalian dari Masjidil Haram dan menghalang-halangi kalian darinya, padahal kalian adalah penduduknya. lebih besar dosanya di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yaitu daripada kalian membunuh seseorang di antara mereka. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. (Al-Baqarah: 217) Yakni sebelum itu mereka telah memfitnah orang muslim dalam agamanya agar mereka mengembalikannya kepada kekufuran sesudah ia beriman.
Perbuatan tersebut jauh lebih besar dosanya menurut Allah daripada membunuh. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman berikutnya: Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) Kemudian mereka tetap melakukan hal tersebut, bahkan yang lebih kotor dan lebih besar lagi tanpa henti-hentinya dan tanpa merasa jenuh. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Al-Qur'an menurunkan keterangan ini, maka legalah hati kaum muslim, dan kini mereka merasa terbebas dari apa yang selama ini mengungkung hati mereka.
Akhirnya Rasulullah ﷺ menerima ganimah kafilah itu berikut kedua tawanannya. Selanjutnya orang-orang Quraisy mengirimkan sejumlah harta kepada Nabi ﷺ untuk menebus Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan. Tetapi Rasulullah ﷺ menjawab: Kami tidak mau menerima tebusan kedua orang ini dari kalian sebelum kedua sahabat kami datang (dengan selamat). Yang dimaksud dengan kedua sahabat itu adalah Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan. Selanjutnya Nabi ﷺ bersabda: Karena sesungguhnya kami merasa khawatir kalian berbuat apa-apa terhadap kedua sahabatku itu. Jika kalian membunuh keduanya, maka kami akan membunuh kedua teman kalian ini. Ternyata Sa'd dan Atabah datang dengan selamat, maka Rasulullah ﷺ baru mau menerima tebusan kedua tawanan itu dari mereka. Adapun Al-Hakam ibnu Kaisan, ia masuk Islam dan berbuat baik dalam masa Islamnya. Ia berada di dekat Rasulullah ﷺ hingga gugur sebagai syahid dalam Perang Bi-r Ma'unah. Sedangkan Usman ibnu Abdullah bergabung di Mekah dan mati dalam keadaan kafir di Mekah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru diturunkan, maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami maju berperang lagi, karena kami menginginkan perolehan. pahala orang-orang yang berjihad?" Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 218) Akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan yang mernuaskan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa hadits mengenai hal ini dari Az-Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair meriwayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadits ini, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz Zubair. Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan pula hal yang semisal dari Az-Zuhri sendiri. Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadits ini, tetapi di dalamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama dalam perang yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik.
Kemudian sejumlah orang kafir Quraisy sebagai utusan mereka, memacu kendaraannya menuju Madinah, hingga tibalah mereka di hadapan Rasulullah ﷺ, lalu mereka berkata, "Apakah dihalalkan melakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah-nya. Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan dari Ziyad, dari Ibnu Ishaq, bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan yang seperlimanya dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya.
Maka ketentuan tersebut tetap berlaku seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah tersebut. Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut merupakan harta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ibnul Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum muslim, sedangkan Usman ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan merupakan orang yang mula-mula ditawan oleh kaum muslim.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa perang yang dialami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar mengucapan syair berikut. Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, merampas harta, dan menahan orang-orang." Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah mihk Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu:
Kalian menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupakan dosa besar, padahal ada yang lebih besar lagi dosanya daripada itu sekiranya orang yang berakal mau menggunakan pikirannya.
Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang dikatakan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan menyaksikan hal itu.
Dan kalian telah mengusir penduduk Masjidil Haram dari tempat tinggalnya agar tidak terlihat lagi di rumah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya).
Dan sesungguhnya kami sekalipun kalian mencela kami karena telah membunuhnya (Ibnul Hadrami) hanyalah untuk menghajar orang yang kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam.
Kami telah membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di Nakhlah, yaitu ketika Waqid menyalakan peperangan.
Dan Ibnu Abdullah yaitu Usman berada di antara kami dalam keadaan terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan."
Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan orang-orang yang berhijrah meninggalkan negeri dan keluarganya untuk menegakkan agama Allah dan berjihad di jalan Allah dengan memerangi orang-orang musyrik, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat dan ganjaran Allah. Allah Maha Pengampun kepada orang-orang yang beriman, lagi Maha Penyayang.
Mereka menanyakan kepadamu, wahai Nabi, tentang khamar, yaitu semua minuman yang memabukkan, dan berjudi. Pertanyaan itu muncul antara lain karena di antara rampasan perang yang diperoleh pasukan pimpinan abdulla'h bin Jahsy seperti disinggung pada ayat 217 terdapat minuman keras. Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa, yakni mudarat yang besar. Keduanya menimbulkan permusuhan dan menyebabkan kaum muslim melupakan Allah dan enggan menunaikan salat. Dan keduanya juga mengandung beberapa manfaat bagi manusia, seperti keuntungan dari perdagangan khamar, kehangatan badan bagi peminumnya, memperoleh harta tanpa susah payah bagi pemenang dalam perjudian, dan beberapa manfaat yang diperoleh fakir miskin dari perjudian pada zaman Jahiliah. Tetapi dosanya, yakni mudarat yang ditimbulkan oleh khamar dan judi, lebih besar daripada manfaatnya. Khamar diharamkan dalam Islam secara berangsur. Ayat ini menyatakan bahwa minum khamar dan berjudi adalah dosa dengan penjelasan bahwa pada keduanya terdapat manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar daripada manfaat itu. Surah an-Nisa''/4: 43 dengan tegas melarang minum khamar, tetapi terbatas pada waktu menjelang salat. Surah al-Ma''idah/5: 90 dengan tegas mengharamkan khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dan menyatakan bahwa semuanya adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan yang harus dijauhi selamanya oleh orang-orang beriman. Bagian akhir ayat ini menjelaskan ketentuan menafkahkan harta di jalan Allah. Dan mereka menanyakan kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan di jalan Allah. Katakanlah, Kelebihan dari apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diri dan kebutuhan keluarga. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.
Ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang yang kuat imannya menghadapi segala cobaan dan ujian. Begitu juga balasan bagi orang-orang yang hijrah meninggalkan negerinya yang dirasakan tidak aman, ke negeri yang aman untuk menegakkan agama Allah, seperti hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ bersama pengikut-pengikutnya dari Mekah ke Medinah, dan balasan bagi orang-orang yang berjihad fi sabilillah, baik dengan hartanya maupun dengan jiwanya.
Mereka itu semuanya mengharapkan rahmat Allah dan ampunan-Nya, dan sudah sepantasnya memperoleh kemenangan dan kebahagiaan sebagai balasan atas perjuangan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERINTAH BERPERANG
Ayat 216
“Telah diperintahkan kepada kamu berperang, sedang dia itu tidak kamu sukai. Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai, padahal ada baiknya bagi kamu. Dan, boleh jadi kamu sukai sesuatu, padahal dia itu tidak baik bagi kamu. Dan, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidaklah tahu."
Perintah berperang telah diturunkan Tuhan. Perintah ini datang di Madinah, sedangkan waktu masih di Mekah belum ada perintah berperang. Betapapun penderitaan lantaran perbuatan kaum musyrikin kepada Nabi dan umatnya pada masa di Mekah, tetapi mereka diperintahkan memaafkan, berlapang dada, dan jangan melawan dengan kekerasan. Karena pada waktu itu Islam baru tumbuh. Sikap yang tergopoh-gopoh hanya memperturutkan semangat bernyala-nyala saja, niscaya akan membawa malapetaka yang tidak diingini. Akan tetapi, setelah kaum Muhajirin mendapat sokongan yang amat besar dari kaum Anshar di Madinah maka masyarakat Islam di Madinah mulai tumbuh dengan kuatnya. Akan tetapi, pihak yang memusuhi tidaklah akan tinggal diam membiarkan masyarakat Islam itu bertumbuh. Kian besar pengaruh Islam di Madinah, kian besar pulalah kemurkaan musuh-musuh itu, bahkan bertambah besar pula jumlahnya. Musuh dari Quraisy yang telah mengusir mereka. Musuh dari suku-suku Arab di sekeliling tanah Arab yang selalu mengikuti jejak kaum Quraisy. Musuh dari orang Yahudi di Madinah yang di mana ada peluang selalu menghasut orang Quraisy dan Arab yang lain tadi supaya menantang Islam, meskipun kadang-kadang dengan "lempar batu sembunyi tangan". Dan, di sebelah utara bangsa Romawi telah lama berdaulat menjajah penduduk-penduduk Arab dan menguasai negeri-negeri itu. Dan, di sebelah timur ada kerajaan Persia yang besar, yang tidak merasa senang kalau bangkit kekuatan baru di Arabia.
Sementara itu, pertumbuhan Islam sebagai suatu kemasyarakatan telah menjadi suatu kekuasaan yang nyata. Kekuatan yang telah tumbuh ini mesti dipertahankan. Kadang-kadang bertahan itu ialah dengan menyerang atau mendahului sebelum diserang. Dari zaman purbakala kaidah “menyerang ialah pertahanan juga" sudahlah termasuk dalam ilmu perang. Sebab itu, dengan ayat ini, bukan saja Tuhan mengizinkan berperang, melainkan memerintahkan berperang.
Pada pokoknya, perang itu tidaklah disukai. Memang pada umumnya apabila mempersoalkan perang, orang tidak suka. Berperang adalah mengubah kebiasaan hidup yang tenteram, berperang ialah membunuh atau dibunuh. Sedangkan orang ingin, kalau dapat, biarlah mati secara wajar saja. Berperang meminta perbelanjaan besar, sedangkan nafsu manusia ialah bakhil. Sebab itu, pokoknya orang berperanan, kalau boleh biarlah tidak ada perang. Akan tetapi, boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai, padahal dia membawa kebaikan kepada kamu. Dalam hal ini, bukan berperang saja; banyak hal yang kita tidak menyukainya, tetapi dia baik buat kita. Laksana orang sakit meminum obat yang pahit, tidaklah seleranya suka meminum obat itu, tetapi untuk kesembuhannya, mesti ditelan-nya juga. Misalnya, kita perturutkan perasaan hati, tidak suka berperang, suka yang tenteram-tenteram saja, sedangkan musuh telah mengancam di sekeliling kota pertahanan kita. Berdiam diri dan tidak suka berperang, Artinya, menyerahkan negeri kepada musuh. Atau, diketahui musuh telah mengadakan persiapan buat menyerbu pertahanan kita. Pada saat itu, tidak boleh lengah sedikit juga. Dalam taktik perang, hal itu tidak boleh ditunggu, tetapi didahului menyerbu musuh itu sebelum mereka bangkit.
Ini semuanya bukanlah kalau-kalau, melainkan kenyataan. Masyarakat musuh yang dipimpin oleh seorang sebagaimana Abu Jahal tidaklah akan berdiam diri saja melihat Islam berkembang. Siang malam mereka menyusun kekuatan buat membunuh Islam yang sedang tumbuh itu. Orang-orang yang sebagaimana demikian hanya dapat dihentikan geraknya dengan diperangi. Sebab, itu maka di ujung ayat, Allah berfirman,
“Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidaklah tahu."
Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah, merangkap juga sebagai kepala masyarakat (kepala negara) dan juga pemimpin peperangan. Seluruh umat yang di bawah pimpinan beliau adalah tentara semuanya, yang wajib tunduk kepada komando beliau. Beliau memerintahkan peperangan bukanlah atas kehendak sendiri, melainkan menjalankan rencana Allah. Dalam beberapa hal, misalnya, maksud-maksud penyerangan dan penyerbuan, kamu sebagai tentara hanya wajib tunduk. Kamu tidak selalu dapat mengetahui apa rahasia yang lebih dalam dari perintah itu. Hanya Allah yang tahu dan Rasul-Nya. Dengan ujung firman Allah ini, ke dalam masyarakat kaum Muslimin, Muhajirin, dan Anshar itu, telah mulai ditanamkan dasar ilmu perang. Orang-orang sebagaimana Umar bin Khaththab, Zubair bin Awwam, dan lain-lain itu bukanlah orang-orang penakut seorang juga, melainkan orang-orang yang biasa perang suku, perang kabilah di zaman jahiliyyah. Demikian juga pemuka-pemuka kaum Anshar. Sekarang, keberanian berperang itu telah terpimpin di bawah satu komando, yang di atas sekali ialah komando Allah. Bukan sebagaimana perkelahian suku-suku yang selalu terjadi di zaman jahiliyyah dahulu itu.
Ayat 217
Lantaran perintah berperang sudah turun dari Allah maka pada suatu waktu di akhir Jumadil Akhir setelah tujuh belas bulan Rasulullah ﷺ berpindah ke Madinah, beliau panggil Abdullah bin Jahasy (anak dari saudara perempuan ibu beliau atau ffmmali) bersama dengan delapan orang Muhajirin lalu beliau suruh berangkat ke jurusan Badar. Seraya menyerahkan sepucuk surat, beliau bersabda, “Segera engkau berangkat bersama teman-temanmu yang delapan ini. Setelah dua hari perjalanan, barulah boleh engkau buka dan baca suratku ini. Jalankan apa yang aku perintahkan di dalamnya. Akan tetapi, teman-temanmu yang delapan sekali-kali jangan engkau paksa menurutkan engkau."
Setelah itu, berangkatlah Abdullah bin Jahasy dengan kedelapan temannya itu. Setelah dua hari perjalanan, surat itu dibuka dan dibacanya, di antara isinya ialah memerintahkan dia meneruskan perjalanan menuju Nakhlah dan dari sana perhatikan gerak-gerik orang Quraisy. Tentang berperang tidak ada perintah dan tidak ada larangan dalam surat itu. Sehabis surat dibacanya, Abdullah bin Jahasy berkata, “Sam'an wa tha'atan (didengar dan dipatuhi)!" Dia lalu berkata kepada teman-temannya itu, “Siapa di antara kalian yang ingin syahid, turutkan aku karena aku hendak meneruskan perintah Rasulullah. Akan tetapi, barangsiapa yang enggan, boleh pulang karena Rasulullah memesankan kepadaku dalam suratnya supaya jangan ada yang dipaksa." Rupanya tidak seorang juga yang mau pulang, melainkan semua menurut. Mereka meneruskan perjalanan ke Nakhlah. Akan tetapi, di tengah jalan, dua orang di antara mereka, yaitu Sa'ad bin Abu Waqash dan Utbah bin Ghazwan, terpaksa terpisah sebab mengejar unta mereka yang terlepas dan tersesat. Adapun Abdullah bin Jahasy bersama-sama dengan keenam temannya lagi meneruskan perjalanan ke Nakhlah. Sampai di sana kebetulan memang bertemu dengan beberapa orang Quraisy yang mereka kenal. Ketika kedua belah pihak sudah tahu sama tahu ada lawan, bermufakatlah Abdullah bin Jahasy dengan keenam kawannya. Kalau kita berperang dengan mereka sekarang, bulan Rajab telah masuk, kita tidak boleh berperang di bulan yang dimuliakan. Akan tetapi, kalau kita biarkan mereka, tentu malam ini juga mereka lekas-lekas kembali ke Mekah. Di sana, mereka memberi tahu yang lain. Bahaya lebih besar akan kita hadapi. Bagaimana baiknya? Maka, putuslah mufakat bahwa mereka diperangi sekarang juga sebelum mereka berlepas diri ke Mekah.
Maka, Wakid bin Abdullah as-Sahmi pun melesatkan panahnya ke arah Amr bin al-Hadhrami, kena dan mati; Usman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kisan tertawan, tetapi Naufal saudara Usman bin Abdullah dapat meloloskan diri. Orang-orang tawanan bersama unta-untanya mereka giring ke Madinah dan dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ. Maka, setelah orang-orang tawanan dan harta rampasan itu dihadapkan kepada beliau, tidaklah kelihatan beliau gembira. Beliau berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang di bulan yang dimuliakan." Maka, kedua orang tawanan itu ditahan saja, tidak diperlakukan sebagaimana orang tawanan dan barang-barang rampasan itu diletakkan saja. Abdullah bin Jahasy dengan teman-temannya kelihatan bermuka muram. Mereka telah salah dan menyesal. Semua kaum Muslimin menyalahkan mereka. Berita ini pun segera tersiar di kalangan kaum Quraisy, menjalar ke suku-suku Arab yang lain: Muhammad mengizinkan berperang di bulan mulia, dia telah membunuh dengan cara yang terlarang, dia telah menawan dan dia telah merampas. Menurut adat turun-temurun, segala peperangan dihentikan pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Orang Quraisy sampai mengirim utusan ke Madinah, menanyakan kepada beliau, apakah dia membolehkan berperang di bulan yang dimuliakan? Apakah lagi harganya perjanjian yang telah diikat sejak zaman purbakala oleh nenek moyang kita bahwa pada bulan yang empat itu tidak boleh ada peperangan?
Di saat yang demikianlah, turunnya ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau dari hal bulan yang mulia, tentang berperang padanya. Katakanlah, ‘Berperang padanya adalah soal besari'" Dengan tegas, diakui ayat ini bahwa kemuliaan bulan itu telah dikotori, suatu hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi."Akan tetapi, menjauhkan manusia dari jalan Allah" yaitu perbuatan orang Quraisy selama ini, berusaha siang dan malam menjauhkan, mem-belokkan perhatian, dan memesongkan manusia dari seruan kepada jalan Allah, “Dan kufur kepada-Nya," tidak mau menerima kebenaran Allah dan tidak mau percaya kepada Allah Yang Mahatunggal, bahkan dipersekutukan yang lain dengan Dia, “Dan Masjidil Haram" yaitu menghambat orang melakukan ibadah padanya dan mengganggu, sebagaimana pernah mereka lakukan kepada Muhammad ﷺ yang sedang sujud di Masjidil Haram, ditimpakan kepadanya usus unta yang baru disembelih dan masih ada kotoran unta di dalamnya, “Dan mengusir penduduknya darinya," sampai terpaksa hijrah ke Madinah. Semuanya itu, “Adalah lebih besar di sisi Allah." Maka, jika dikumpulkan segala perbuatan besar dan mengerikan yang telah mereka lakukan kepada kaum Muslimin yang telah dituturkan satu demi satu itu, walaupun berperang di bulan yang dimuliakan itu memang soal besar, tetapi dia telah menjadi kecil, tidak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan sikap permusuhan yang mereka laku-kan kepada kaum Muslimin, dan belum berhenti hal itu sampai kepada masa terjadinya peperangan di Nakhlah itu. Ada lagi yang lebih besar perbuatan mereka, melebihi dari segala yang disebutkan itu, “Dan fitnah adalah lebih besar lagi dari pembunuhan." Artinya, jika Amr bin al-Hadhrami telah mati terbunuh, jika dibandingkan dengan fitnahan, siksaan, penghinaan yang telah mereka timpakan kepada orang-orang yang beriman, kepada Nabi Muhammad ﷺ, belumlah setimpal sedikit juga dengan kematian Amr itu. Ummu Yasir sampai mati ditusuk farajnya dengan tombak, Amr bin Yasir sampai berkesan cambuk pada punggungnya,
Bilal dijemur di cahaya matahari yang kalau tidaklah segera Abu Bakar datang membelinya, matilah dia dijemur di panas terik. Dan, banyak lagi fitnahan yang lain yang mereka timpakan. Dan, fitnah dan segala sikap permusuhan itu akan terus mereka lakukan, “Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sehingga (dapatlah) mereka mengembalikan kamu dari agama kamu, jika mereka sanggup" yaitu sebelum kaum yang telah beriman itu melemparkan iman mereka dan kembali turut mereka menyembah berhala maka segala fitnahan dan sikap permusuhan ini akan terus tidak akan berhenti. Bahkan akan mereka tambah lagi usaha mengembalikan kamu jadi kafir, dengan segala kesanggupan yang ada pada mereka. Kemudian, diperingatkan betapa besarnya bahaya aksi kaum Quraisy itu bagi mereka orang Islam, karena tidak tahan akan fitnahan mereka dan karena kelemahan iman, mungkin ada yang mau murtad. Maka, datanglah ancaman yang tegas dari Tuhan kepada orang Muslim, “Dan barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya',' yaitu meninggalkan iman dan kembali jadi kafir, meninggalkan tauhid, kembali jadi musyrik karena takut akan fitnah, karena takut akan tanggung jawab, karena takut menghadapi pengorbanan, “Lalu dia mati, padahal dia telah kafir maka mereka itu telah gagallah amalan-amalan mereka di dunia dan di akhirat." Apa yang dibangunkan selama ini runtuhlah, amalan jadi percuma dan kembali ke dalam kegelapan, di bawah pengaruh setan.
“Dan mereka itu adalah penghuni neraka, meneka akan kekal di dalamnya."
Inilah ayat yang diturunkan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Abdullah bin Jahasy tidak salah. Dia telah bertemu dua jalan bersimpang yang keduanya berbahaya. Dia mengakui berperang di bulan yang mulia itu suatu pelanggaran besar, tetapi membiarkan musuh itu pulang saja justru akan membawa bahaya yang lebih besar, yaitu terus-menerusnya mereka beraksi menentang Islam. Maka, oleh sebab rintangan dan fitnah itu dari merekalah mulanya, ini wajib dilawan terus, ditangkis terus, dihadapi terus, sampai mereka tunduk. Pada waktu itu, bukan saja perang di bulan mulia yang tidak ada lagi, malahan keamanan beragamalah yang akan tercapai. Peperangan sekarang ini bukanlah peperangan di antara suku dan kabilah sebagaimana zaman jahiliyyah, balas-membalas dendam, tawan-menawan musuh, rampas-merampas unta, nanti berdamai lagi, nanti berperang lagi, dan bila datang bulan yang dimuliakan berkumpul lagi, berniaga, tertawa-tawa, Datang lagi waktunya, perang pula. Perang yang tidak ada tujuan.
Dengan ayat ini, kedudukan Abdullah bin Jahasy dan teman-temannya diperbaiki, Mereka tidak salah. Orang tawanan tetap tawanan, boleh ditebus. Malahan diberi bantuan semangat bagi setiap orang yang berjuang pada jalan Allah,
Ayat 218
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjuang pada jalan Allah itulah orang-orang yang menghadapkan rahmat Allah. Sedang Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menjelaskan siapa mereka yang telah sudi bersabung nyawa melaksanakan kehendak Tuhan itu. Mereka telah mencapai tiga tingkat dari aqidah kepercayaan mereka kepada Tuhan. Pertama, mereka telah me-nyatakan kepercayaan kepada Allah dan Rasul-Nya; mereka tidak lagi menyembah kepada selain Allah. Sebab itu, mereka diganggu dan dimusuhi dalam kampung halaman mereka sendiri. Maka, oleh karena yang mereka cintai hanyalah Allah dan Rasul, ketika diajak oleh Rasul Allah berpindah ke Madinah, berpindah kepada Allah dan Rasul, mereka pun telah pindah. Negeri tempat mereka dilahirkan telah mereka tinggalkan karena mereka tidak mau menyembah berhala. Biarpun di tempat kediaman yang baru itu mereka akan melarat, mereka rela menerima kemelaratan karena mempertahankan iman kepada Allah. Kemudian, datang perintah berjihad, berperang mempertahankan agama Allah, mereka pun berperang. Dengan berperang, sudah terang hanya salah satu dari dua yang mereka hadapi: pertama hidup, kedua mati. Mereka rela hidup untuk meneruskan perjuangan dan mereka rela mati untuk syahid. Sebab, hidup atau mati mereka mempunyai satu harapan, yaitu rahmat Allah, kasih cinta Allah. Dan, kalau ada salah berkecil-kecil, yang pasti bertemu dalam perjuangan hidup sebagaimana bertemu pada Abdullah bin Jahasy dengan teman-temannya itu, diberi ampunlah mereka oleh Allah sebab Allah Maha Pengampun. Dan, disayangilah mereka karena tenaga mereka yang telah diberikan untuk menegakkan sabilillah. Karena Tuhan Maha Penyayang.
Pada ayat ini, mulailah kita berjumpa dengan ketiga tingkat penyempurnaan iman itu. Pertama, iman kepada Allah. Kedua, sanggup hijrah lantaran iman. Ketiga, sanggup berjihad apabila perintah datang.