Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
عَلِمۡتُمُ
kamu telah mengetahui
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱعۡتَدَوۡاْ
(mereka) melampaui batas
مِنكُمۡ
diantara kamu
فِي
pada
ٱلسَّبۡتِ
hari Sabtu
فَقُلۡنَا
maka Kami berfirman
لَهُمۡ
kepada mereka
كُونُواْ
jadilah kamu
قِرَدَةً
kera
خَٰسِـِٔينَ
hina (dibenci)
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
عَلِمۡتُمُ
kamu telah mengetahui
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱعۡتَدَوۡاْ
(mereka) melampaui batas
مِنكُمۡ
diantara kamu
فِي
pada
ٱلسَّبۡتِ
hari Sabtu
فَقُلۡنَا
maka Kami berfirman
لَهُمۡ
kepada mereka
كُونُواْ
jadilah kamu
قِرَدَةً
kera
خَٰسِـِٔينَ
hina (dibenci)
Terjemahan
Sungguh, kamu benar-benar telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”
Tafsir
(Dan sesungguhnya) lam-nya 'lam qasam' menyatakan bersumpah artinya 'demi' (kamu telah mengetahui) (orang-orang yang melanggar) peraturan (di antaramu pada hari Sabtu) yakni dengan menangkap ikan padahal Kami telah melarangmu dari demikian; dan mereka ini ialah penduduk Eilat atau Ayilah (lalu Kami titahkan kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina!") artinya yang terkucil. Apa yang dikehendaki Allah itu pun terlaksana dan setelah masa tiga hari mereka menemui kematian.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 65-66
Dan sungguh telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang hina." Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi orang-orang yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat 65
Allah ﷻberfirman bahwa “sesungguhnya kalian wahai orang-orang Yahudi telah mengetahui azab yang menimpa penduduk kampung itu yang durhaka terhadap perintah Allah dan melanggar perjanjian dan ikrar-Nya yang telah Dia ambil dari kalian. Yaitu kalian harus mengagungkan hari Sabtu dan menaati perintah-Nya.”
Dikatakan demikian karena hal tersebut disyariatkan bagi mereka. Akan tetapi, pada akhirnya mereka membuat kilah (tipu muslihat) agar mereka tetap dapat berburu ikan di hari Sabtu, yaitu dengan cara meletakkan jaring-jaring dan perangkap-perangkap ikan sebelum hari Sabtu. Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak didapat sebagaimana biasanya, ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring-jaring dan perangkap-perangkap tersebut, tiada suatu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu.
Apabila malam hari tiba, mereka mengambil ikan-ikan tersebut sesudah hari Sabtu berlalu. Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah mengutuk rupa mereka menjadi kera. Kera adalah suatu binatang yang rupanya lebih mirip dengan manusia, tetapi kera bukan jenis manusia. Dengan kata lain, demikian pula perbuatan dan tipu muslihat mereka, mengingat apa yang mereka lakukan itu menurut lahiriah mirip dengan kebenaran, tetapi batiniahnya berbeda bahkan kebalikannya.
Maka dikutuknya mereka menjadi kera itu merupakan pembalasan untuk perbuatan mereka sendiri yang disesuaikan dengan jenis pelanggarannya. Kisah ini disebutkan panjang lebar dalam tafsir surat Al-A'raf, yaitu pada firman-Nya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik” (Al-A'raf: 163). Demikianlah kisah tersebut secara lengkap.
As-Suddi mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Ailah, demikian pula menurut Qatadah. Kami akan mengetengahkan pendapat ulama tafsir secara panjang lebar dalam tafsir ayat ini, insya Allah.
Firman Allahﷻ: "Lalu Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kalian kera-kera yang hina’." (Al-Baqarah: 65) Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa hati merekalah yang dikutuk, bukan rupa mereka. Sesungguhnya hal ini hanyalah sebagai perumpamaan yang dibuat oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya: “Seperti keledai yang membawa kitab-kitab” (Al-Jumu'ah: 5). Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna, dari Abu Huzaifah dan dari Muhammad ibnu Umar Al-Bahili dan dari ‘Ashim, dari Isa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dengan lafal yang sama. Sanad yang jayyid (bagus) dan pendapat yang garib (aneh) sehubungan dengan makna ayat ini bertentangan dengan makna lahiriah ayat itu sendiri.
Dalam ayat lainnya disebutkan melalui firman-Nya: Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah tagut?" (Al-Maidah: 60). Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: Lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina" (Al-Baqarah: 65). Bahwa Allah menjadikan sebagian dari mereka (Bani Israil) kera dan babi. Diduga bahwa para pemuda dari kalangan mereka dikutuk menjadi kera, sedangkan orang-orang yang sudah lanjut usianya dikutuk menjadi babi.
Syaiban An-Nahwi meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, "Lalu Kami berfirman kepada mereka, 'Jadilah kalian kera yang hina'," bahwa kaum itu menjadi kera yang memiliki ekor; sebelum itu mereka adalah manusia yang terdiri atas kalangan kaum pria dan wanita.
‘Atha’ Al-Khurrasani mengatakan, diserukan kepada mereka, "Wahai penduduk negeri, jadilah kalian kera yang hina." Kemudian orang-orang yang melarang mereka masuk menemui mereka dan berkata, "Wahai Fulan, bukankah kami telah melarang kamu (untuk melakukan perburuan di hari Sabtu)?" Mereka menjawab hanya dengan anggukan kepala, yang artinya memang benar.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Rabi'ah di Masisiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim (yakni At-Taifi), dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: "Sesungguhnya nasib yang menimpa mereka yang melakukan perburuan di hari Sabtu ialah mereka dikutuk menjadi kera sungguhan, kemudian mereka dibinasakan sehingga tidak ada keturunannya."
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah mengutuk mereka menjadi kera karena kedurhakaan mereka.
Ibnu Abbas mengatakan, mereka hanya hidup di bumi ini selama tiga hari. Tiada suatu pun yang dikutuk dapat bertahan hidup lebih dari tiga hari. Sesudah rupa mereka dikutuk dan diubah, mereka tidak mau makan dan minum serta tidak dapat mengembangbiakkan keturunannya. Karena sesungguhnya Allah telah menciptakan kera dan babi serta makhluk lainnya dalam masa enam hari, seperti yang disebutkan di dalam Kitab-Nya. Allah mengubah rupa kaum tersebut menjadi kera. Demikianlah Allah dapat melakukan terhadap siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia dapat mengubah rupa ke dalam bentuk seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: “Jadilah kalian kera-kera yang hina” (Al-Baqarah: 65). Yakni jadilah kalian orang-orang yang nista dan hina (seperti kera). Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi', dan Abu Malik.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnu Abul Husain, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang difardukan oleh Allah kepada kaum Bani Israil pada mulanya adalah sama dengan hari yang difardukan oleh Allah kepada kalian dalam hari raya kalian, yaitu hari Jumat. Tetapi mereka menggantinya menjadi hari Sabtu, lalu mereka menghormati hari Sabtu (sebagai ganti hari Jumat) dan mereka meninggalkan apa-apa yang diperintahkan kepadanya. Tetapi setelah mereka membangkang dan hanya menetapi hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan hari Sabtu itu dan diharamkan atas mereka banyak hal yang telah dihalalkan bagi mereka di selain hari Sabtu.
Mereka yang melakukan demikian tinggal di suatu kampung yang terletak di antara Ailah dan Tur, yaitu Madyan. Maka Allah mengharamkan mereka melakukan perburuan ikan di hari Sabtu, juga mengharamkan memakannya di hari itu. Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan datang kepada mereka terapung-apung di dekat pantai mereka berada. Tetapi apabila hari Sabtu telah berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga mereka tidak dapat menemukan seekor ikan pun, baik yang besar maupun yang kecil.
Singkatnya, bila hari Sabtu tiba ikan-ikan itu muncul begitu banyak secara misteri; tetapi bila hari Sabtu berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas. Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu yang cukup lama, memendam rasa ingin memakan ikan. Kemudian ada seseorang dari kalangan mereka sengaja menangkap ikan dengan sembunyi-sembunyi di hari Sabtu, lalu ia mengikat ikan tersebut dengan benang, kemudian melepaskannya ke laut; sebelum itu ia mengikat benang itu ke suatu pasak yang ia buat di tepi laut, lalu ia pergi meninggalkannya.
Keesokan harinya ia datang ke tempat itu, lalu mengambil ikan tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mengambilnya di hari Sabtu. Selanjutnya ia pergi membawa ikan tangkapannya itu, kemudian dimakannya. Pada hari Sabtu berikutnya ia melakukan hal yang sama, ternyata orang-orang mencium bau ikan itu. Maka penduduk kampung berkata, "Demi Allah, kami mencium bau ikan." Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan hal tersebut, lalu mereka mengikuti jejak si lelaki itu.
Mereka melakukan hal tersebut dengan sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama; Allah sengaja tidak menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan ikan secara terang-terangan dan menjualnya di pasar-pasar. Segolongan orang dari kalangan mereka yang tidak ikut berburu berkata, "Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada Allah." Golongan ini melarang apa yang diperbuat oleh kaumnya itu. Sedangkan golongan lainnya yang tidak memakan ikan dan tidak pula melarang kaum dari perbuatan mereka berkata, "Apa gunanya kamu menasihati suatu kaum yang bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab mereka dengan azab yang keras." Mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya menjawab, "Sebagai permintaan maaf kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Ketika mereka dalam keadaan demikian, maka pada pagi harinya orang-orang yang tidak ikut berburu di tempat perkumpulan dan masjid-masjidnya merasa kehilangan orang-orang yang berburu, mereka tidak melihatnya.
Kemudian sebagian dari kalangan mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Orang-orang yang suka berburu di hari Sabtu sedang sibuk, marilah kita lihat apakah yang sedang mereka lakukan.' Lalu mereka berangkat untuk melihat keadaan orang-orang yang berburu di rumah-rumah mereka, ternyata mereka menjumpai rumah-rumah tersebut dalam keadaan terkunci. Rupanya mereka memasuki rumahnya masing-masing di malam hari, lalu menguncinya dari dalam, seperti halnya orang yang mengurung diri.
Ternyata pada pagi harinya mereka menjadi kera di dalam rumahnya masing-masing, dan sesungguhnya orang-orang yang melihat keadaan mereka mengenal seseorang yang dikenalnya kini telah berubah bentuk menjadi kera. Para wanitanya menjadi kera betina, dan anak-anaknya menjadi kera kecil." Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Allah tidak menyelamatkan orang-orang yang melarang mereka berbuat kejahatan itu, niscaya semuanya dibinasakan oleh Allah. Kampung tersebut adalah yang disebut oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut” hingga akhir ayat.(Al-A'raf: 163) Adh-Dhahhak meriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Abbas.
As-Suddi meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina" (Al-Baqarah: 65). Mereka adalah penduduk kota Ailah, yaitu suatu kota yang terletak di pinggir pantai. Tersebutlah bila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan bermunculan. Sedangkan Allah telah mengharamkan orang-orang Yahudi melakukan pekerjaan apapun di hari Sabtu. Bila hari Sabtu tiba, tiada seekor ikan pun yang ada di laut itu yang tidak bermunculan sehingga ikan-ikan tersebut menampakkan songot (kumis)nya ke permukaan air. Tetapi bila hari Ahad tiba, ikan-ikan itu menetap di dasar laut, hingga tiada seekor ikan pun yang tampak, dan baru muncul lagi pada hari Sabtu mendatang.
Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka” (Al-Araf: 163). Maka sebagian dari mereka ada yang ingin makan ikan, lalu seseorang (dari mereka) menggali pasir dan membuat suatu parit sampai ke laut yang dihubungkan dengan kolam galiannya itu.
Apabila hari Sabtu tiba, ia membuka tambak paritnya, lalu datanglah ombak membawa ikan hingga ikan-ikan itu masuk ke dalam kolamnya. Ketika ikan-ikan itu hendak keluar dari kolam tersebut, ternyata tidak mampu karena paritnya dangkal, hingga ikan-ikan itu tetap berada di dalam kolam tersebut. Apabila hari Ahad tiba, maka lelaki itu datang, lalu mengambil ikan-ikan tersebut.
Lalu seseorang memanggang ikan hasil tangkapannya dan ternyata tetangganya mencium bau ikan bakar. Ketika si tetangga menanyakan kepadanya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya. Maka si tetangga tersebut melakukan hal yang sama seperti dia, hingga tersebarlah kebiasaan makan ikan di kalangan mereka. Kemudian ulama mereka berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya kalian melakukan perburuan di hari Sabtu, sedangkan hari tersebut tidak dihalalkan bagi kalian." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami hanya menangkapnya pada hari Ahad, yaitu di hari kami mengambilnya." Maka orang-orang yang ahli hukum berkata, "Tidak, melainkan kalian menangkapnya di hari kalian membuka jalan air baginya, lalu ia masuk." Akhirnya mereka tidak dapat mencegah kaumnya menghentikan hal tersebut.
Lalu sebagian orang yang melarang mereka berkata kepada sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Firman-Nya: “Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” (Al-A'raf 164). Dengan kata lain, mengapa kalian bersikeras menasihati mereka, padahal kalian telah menasihati mereka, tetapi ternyata mereka tidak mau menuruti nasihat kalian. Maka sebagian dari mereka berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa” (Al-A'raf: 164). Ketika mereka menolak nasihat tersebut, maka orang-orang yang taat kepada perintah Allah berkata, "Demi Allah, kami tidak mau hidup bersama kalian dalam satu kampung." Lalu mereka membagi kampung itu menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah tembok penghalang.
Lalu kaum yang taat pada perintah Allah membuat suatu pintu khusus buat mereka sendiri, dan orang-orang yang melanggar pada hari Sabtu membuat pintunya sendiri pula. Nabi Daud a.s. melaknat mereka yang melanggar di hari Sabtu itu. Kaum yang taat pada perintah Allah keluar melalui pintunya sendiri, dan orang-orang yang kafir keluar dari pintunya sendiri pula.
Pada suatu hari orang-orang yang taat pada perintah Tuhannya keluar. sedangkan orang-orang yang kafir tidak membuka pintu khusus mereka. Maka orang-orang yang taat melongok keadaan mereka dengan menaiki tembok penghalang tersebut setelah merasakan bahwa mereka tidak mau juga membuka pintunya. Ternyata mereka yang kafir itu telah berubah bentuk menjadi kera, satu sama lainnya saling melompati. Kemudian orang-orang yang taat membuka pintu mereka, lalu kera-kera tersebut keluar dan pergi menuju suatu tempat.
Yang demikian itu dijelaskan di dalam firman-Nya: “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka, "Jadilah kalian kera yang hina!" (Al-A'raf: 166). Kisah inilah yang pada mulanya disebutkan oleh firman-Nya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam” hingga akhir ayat. (Al-Maidah: 78) Merekalah yang dikutuk menjadi kera-kera itu.
Menurut kami, tujuan mengetengahkan pendapat para imam tersebut untuk menjelaskan kelainan pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid rahimahullah. Dia berpendapat bahwa kutukan yang menimpa mereka hanyalah kutukan maknawi, bukan kutukan yang mengakibatkan mereka berubah bentuk menjadi kera. Pendapat yang sahih adalah yang mengatakan bahwa kutukan tersebut maknawi dan suwari.
Ayat 66
Firman Allah ﷻ: “Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan” (Al-Baqarah: 66). Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa damir yang terkandung pada lafal faja alnaha kembali kepada al-qiradah (menjadi kera). Menurut pendapat lain kembali kepada al-hitan (ikan-ikan). Menurut pendapat lain lagi kembali kepada siksaan, dan menurut yang lainnya lagi kembali kepada al-qaryah (kampung tempat mereka tinggal). Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang sahih, damir tersebut kembali kepada al-qaryah, yakni Allah menjadikan kampung itu; sedangkan yang dimaksud adalah para penduduknya, karena merekalah yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu. Nakalan, peringatan; yakni Kami siksa mereka dengan suatu siksaan, lalu Kami jadikan siksaan itu sebagai peringatan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya mengenai Fir'aun, yaitu: “Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia” (An-Nazi'at: 25).
Firman Allah ﷻ: “bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian” (Al-Baqarah: 66). Damir ha kembali kepada al-qura (kampung-kampung). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Kami jadikan siksaan yang telah menimpa penduduk kampung tersebut sebagai pelajaran atau peringatan bagi orang-orang yang ada di kampung-kampung sekitarnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat)” (Al-Ahqaf: 27).
Termasuk ke dalam pengertian ini firman lainnya, yaitu: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya (sekitarnya)” (Ar-Ra'd: 41). Makna yang dimaksud dengan lafal lima baina yadaiha wa ma khalfaha ialah menyangkut tempat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa lima bainaha artinya penduduk kampung setempat; wa ma khalfaha, penduduk kampung-kampung yang di sekitarnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, bahwa lima baina yadaiha wa ma khalfaha, artinya orang yang ada di tempat tersebut di masa itu.
Telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Khalid, Qatadah, dan Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu” (Al-Baqarah: 66). Ma baina yadaiha artinya ma qablaha, yakni bagi orang-orang yang sebelumnya yang menyangkut masalah hari Sabtu.
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Atiyyah mengatakan bahwa wa ma khalfaha artinya buat orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan Bani Israil agar mereka tidak melakukan hal yang serupa dengan perbuatan orang-orang yang dikutuk itu. Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafal ma baina yadaiha wa ma khalfaha berkaitan dengan zaman, yakni sebelum dan sesudahnya. Pengertian tersebut dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan orang-orang sesudah mereka, agar apa yang telah menimpa penduduk kampung itu menjadi peringatan dan pelajaran bagi mereka.
Jika dikaitkan dengan orang-orang sebelum mereka, mana mungkin ayat ini ditafsirkan dengan makna tersebut, yakni sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang sebelum mereka? Barangkali setelah dipahami tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian. Dengan demikian, maka tertentulah pengertian lafal ma baina yadaiha wa ma khalfaha artinya 'buat orang-orang yang tinggal di kampung-kampung sekitarnya'. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, mengenai firman-Nya: “Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian.” (Al-Baqarah: 66) Bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hukuman terhadap dosa-dosa mereka yang sekarang dan yang lalu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, As-Suddi Al-Farra, dan Ibnu Atiyyah bahwa lima baina yadaiha artinya 'bagi dosa-dosa kaum tersebut', sedangkan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang sesudahnya yang berani melakukan hal yang semisal dengan dosa-dosa mereka itu'.
Ar-Razi meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafal ma baina yadaiha wa ma khalfaha ialah 'bagi orang-orang sebelum mereka yang telah mengetahui beritanya melalui kitab-kitab terdahulu dan bagi orang-orang sesudah mereka. Pendapat kedua mengatakan, makna yang dimaksud ialah bagi para penduduk kampung dan umat-umat yang semasa dengannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Allah ﷻmenjadikan hal tersebut sebagai hukuman buat orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut sebelumnya, juga bagi orang-orang sesudahnya. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Al-Hasan.
Menurut kami, pendapat yang kuat ialah yang mengartikan bahwa ma baina yadaiha dan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga bagi orang-orang yang akan datang sesudah mereka', seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya; “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian” (Al-Ahqaf: 27) hingga akhir ayat.
Dan Allah telah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri” (Ar-Ra'd: 31). “Maka apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya” (Al-Anbiya: 44). Maka Allah menjadikan mereka sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang kemudian melalui berita yang mutawatir dari mereka. Karena itulah di akhir ayat disebutkan: “serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah: 66).
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah: 66). Yang dimaksud ialah bagi orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat.
Al-Hasan Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 66) Ia memperingatkan mereka sehingga mereka memelihara diri dari hal-hal yang menyebabkan siksa Allah dan mewaspadainya.
As-Suddi dan Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa makna firman-Nya: “serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah: 66) ialah umat Nabi Muhammad ﷺ. Menurut kami, makna yang dimaksud dari lafal al-mauizah dalam ayat ini ialah peringatan. Dengan kata lain, Kami jadikan azab dan pembalasan yang telah menimpa mereka sebagai balasan dari perbuatan mereka yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan tipu muslihat yang mereka jalankan. Karena itu, hati-hatilah orang-orang yang bertakwa terhadap perbuatan seperti yang mereka lakukan itu, agar tidak tertimpa siksaan yang telah menimpa mereka.
Sehubungan dengan pengertian ini Imam Abu Abdullah ibnu Buttah meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah Az-Za'farani, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺpernah bersabda: “Janganlah kalian lakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karena akibatnya kalian akan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah hanya dengan tipu muslihat yang rendah.” Sanad ini berpredikat jayyid (bagus); Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim dinilai tsiqah (dipercaya) oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Khatib Al-Bagdadi, sedangkan perawi lainnya sudah dikenal dengan syarat shahih.
Ayat ini menjelaskan tentang sikap dan keingkaran Bani Israil. Sejalan dengan hal itu, Allah menegur dan memurkai mereka. Sungguh, kamu, wahai Bani Israil, telah mengetahui hukuman yang diterima oleh orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu dengan tetap mencari ikan pada hari Sabat, yakni hari Sabtu, hari khusus untuk beribadah bagi orang Yahudi, padahal kamu semua sudah sepakat untuk menjadikannya sebagai hari ibadah dan tidak melakukan pekerjaan lain. Karena itu lalu Kami katakan kepada mereka, Jadilah kamu kera yang hina. Pada saat itu berubahlah fisik dan atau sikap mereka seperti kera.
Selanjutnya, untuk menimbulkan efek jera, maka Kami jadikan yang demikian itu, yaitu hukuman atau kutukan menjadi kera, sebagai peringatan bagi orang-orang pada masa itu, yaitu orang-orang Yahudi, dan bagi mereka yang datang kemudian, termasuk juga umat Nabi Muhammad, serta secara khusus menjadi pelajaran penting dan mesti diperhatikan bagi orang-orang yang bertakwa.
.
Dalam ketentuan syariat agama Yahudi, pada hari ketujuh, Sabat (dari bahasa Ibrani, shabbath, berarti "istirahat") orang dilarang mengerjakan apa pun, karena hari itu khusus untuk ibadah. Dalam bahasa Arab sabt (Sabtu), dari kata sabata, yasbitu, sabtan, juga berarti "istirahat" atau "tenang." Pada hari itu setelah "langit, bumi, dan segala isinya diselesaikan" Tuhan beristirahat. "Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya" (Kejadian ii. 1-3), yang juga dipakai untuk merayakan terbebasnya orang Israil dari perbudakan di Mesir. Menurut Perjanjian Lama, mereka yang melanggar kekudusan Sabat, termasuk menangkap ikan pada hari itu, dapat dijatuhi hukuman mati: "Siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu pastilah ia dihukum mati, sebab orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya". (Kitab Keluaran 31. 14).
Pada hari yang sangat dihormati itu biasanya ikan-ikan bebas bermunculan sehingga menutupi permukaan air laut, karena hari itu tidak ada orang yang berani mengganggunya. Di luar hari Sabtu ikan-ikan itu menghilang lagi (al-A'raf/7 : 163). Banyak mufasir menyebutkan, larangan ini oleh mereka diakali; pada hari-hari sebelum Sabat mereka membuat kolam besar dan air laut dialirkan ke dalamnya. Pada hari Ahad mereka bekerja mengambil ikan yang sudah terjaring itu. Tetapi dalam hukum Tuhan mereka tetap melanggar, maka Allah menjatuhkan hukuman dengan menjadikan mereka kera, sehingga mereka jauh dari kebajikan serta hina dan rendah.
Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, "Fisik mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa, dan sifat merekalah yang dijadikan seperti kera, sehingga mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat memahami ancaman." Pada ayat ini mereka diserupakan dengan kera dan pada ayat yang lain mereka diserupakan dengan keledai, sesuai dengan firman Allah:
Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.?.(al-Jumu'ah/62:5)
Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka benar-benar bertukar wujud menjadi kera sebagai hukuman terhadap keingkaran mereka. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka yang diubah menjadi kera tidak beranak, tidak makan, tidak minum, dan tidak dapat hidup lebih dari tiga hari. Di dalam Al-Qur'an terdapat ayat yang serupa maksudnya:
Dan di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut." (al-Ma'idah/5:60)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 62-66
Ayat 62
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman."
Yang dimaksud dengan orang beriman di sini ialah orang yang memeluk agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad ﷺ dan akan tetaplah menjadi pengikutnya sampai Hari Kiamat, “Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in," yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan, tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian; “barang-siapa yang beriman kepada Allah," yaitu yang mengaku adanya Allah Yang Maha Esa, dengan sebenar-benar pengakuan, mengikut suruhan-Nya dan menghentikan larangan-Nya; “dan Hari Kemudian dan beramal yang saleh," yaitu Hari Akhirat.
Kepercayaan yang telah tertanam kepada Tuhan dan Hari Kemudian itu mereka buktikan pula dengan mempertinggi mutu diri mereka."Maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka." Inilah janjian yang adil
dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal saleh yang telah mereka kerjakan itu.
“Dan tidak ada ketakutan atas Mereka dan tidaklah Mereka akan berduka cita."
Di dalam ayat ini terdapAllah nama dari empat golongan:
• orang-orang yang beriman,
• orang-orang yang menjadi Yahudi,
• orang-orang Nasrani,
• orang-orang Shabi'in.
Golongan pertama, yang disebut orang-orang yang telah beriman, ialah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu mereka-mereka yang telah berjuang karena imannya, berdiri rapat di sekeliling Rasul ﷺ, sama-sama menegakkan ajaran agama ketika beliau hidup. Di dalam ayat ini, mereka dimasukkan dalam kedudukan yang pertama dan utama.
Yang kedua ialah orang-orang yang jadi Yahudi atau pemeluk agama Yahudi. Sebagaimana kita ketahui, nama Yahudi itu dibangsa-kan atau diambil dari nama Yahuda, yaitu anak tertua atau anak kedua dari Nabi Ya'kub. Oleh sebab itu, mereka pun disebut juga Bani Israil. Dengan jalan demikian, nama agama Yahudi lebih merupakan agama “keluarga" daripada agama untuk manusia pada umumnya.
Yang ketiga, yaitu Nashara dan lebih banyak lagi disebut Nasrani. Dibangsakan kepada desa tempat Nabi Isa al-Masih dilahirkan, yaitu Desa Nazaret (dalam bahasa Ibrani) atau Nashirah (dalam bahasa Arab). Menurut riwayat Ibnu Jarir, Qatadah berpendapat bahwa Nasrani itu memang diambil dari nama Desa Nashirah. Ibnu Abbas pun menafsirkan demikian.
Yang keempat Shabi'in; kalau menurut asal arti kata maknanya ialah orang yang keluar dari agamanya yang asal dan masuk ke agama lain, sama juga dengan arti asalnya ialah murtad. Sebab itu, ketika Nabi Muhammad mencela-cela agama nenek moyangnya yang menyembah berhala, lalu menegakkan paham tauhid, oleh orang Quraisy, Nabi Muhammad ﷺ itu dituduh telah shabi' dari agama nenek moyangnya. Menurut riwayat ahli-ahli tafsir, golongan Shabi'in itu memanglah satu golongan dari orang-orang yang pada mulanya memeluk agama Nasrani lalu mendirikan agama sendiri.
Menurut penyelidikan, mereka masih berpegang teguh pada cinta kasih ajaran al-Masih, tetapi di samping mereka pun mulai menyembah Malaikat. Kata setengah orang pula, mereka percaya akan pengaruh bintang-bintang. Ini menunjukkan pula bahwa agama menyembah bintang-bintang pusaka Yunani memengaruhi pula perkembangan Shabi'in ini. Di zaman sekarang penganut Shabi'in masih terdapat sisa-sisanya di negeri Irak. Mereka menjadi warga negara yang baik dalam Republik Irak.
Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa mereka semuanya tidak merasai ketakutan dan duka cita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, golongan itu diikuti oleh amal yang saleh. Dan keempat-empat lalu iman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka.
Ayat ini adalah suatu tuntunan bagi menegakkan jiwa, untuk seluruh orang yang percaya kepada Allah. Baik dia bernama Mukmin atau Muslim pemeluk agama Islam, yang telah mengakui kerasulan Muhammad ﷺ, atau orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Di sini kita bertemu syarat yang mutlak.
Syarat pertama iman kepada Allah dan Hari Pembalasan, sebagai inti ajaran dari sekalian agama. Syarat pertama itu belum cukup kalau belum dipenuhi dengan syarat yang kedua, yaitu beramal yang saleh atau berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang berfaedah dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat.
Mafhum atau sebaliknya dari yang tertulis adalah demikian, “Meskipun dia telah mengakui beriman kepada Allah (golongan pertama), mengaku beriman mulutnya kepada Nabi Muhammad maka kalau iman itu tidak di-buktikannya dengan amalnya yang saleh, tidak ada pekerjaannya yang utama, tidaklah akan diberikan ganjaran oleh Tuhan,"
Demikian juga orang Yahudi, walaupun mulutnya telah mengakui dirinya Yahudi, penganut ajaran Taurat, padahal tidak diikutinya dengan syarat pertama iman sungguh-sungguh kepada Allah dan Hari Akhirat, dan tidak dibuktikannya dengan amal yang saleh, perbuatan yang baik, berfaedah dan bermanfaat bagi perikemanusiaan, tidaklah dia akan mendapat ganjaran dari Tuhan.
Begitu juga orang Nasrani dan Shabi'in. Hendaklah pengakuan bahwa diri orang Nasrani atau Shabi'in itu dijadikan kenyataan dalam perbuatan yang baik.
Iman kepada Allah dan Hari Akhirat! Inilah pokok pertama, sehingga pengakuan beriman yang pertama bagi orang Islam, pengakuan Yahudi bagi orang Yahudi, pengakuan Nasrani bagi orang Nasrani, pengakuan Shabi'in bagi pemeluk Shabi'in, belumlah sama sekali berarti apa-apa sebelum dijadikan kesadaran dan keyakinan dan diikuti dengan amal yang saleh.
Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasui-Nya; tidak membeda-bedakan di antara satu rasul dengan rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan.
Di dalam sejarah Rasul ﷺ berjumpalah hal ini. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang utama, telah lebih dahulu menyatakan iman.
Kemudian baik ketika masih di Mekah maupun setelah berpindah ke Madinah, menyatakan iman pula beberapa orang Yahudi, sebagaimana Abdullah bin Salam, Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain. Orang-orang Nasrani pun menyatakan pula iman kepada Allah dan Hari Akhirat yang diikuti dengan amal yang saleh, seumpama Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim, atau Kaisar Habsyi (Negus) sendiri dan beberapa lagi yang lain. Cuma yang tidak terdengar riwayatnya ialah orang Shabi'in.
Salman al-Farisi pun berpindah dari agama Majusi lalu memeluk Nasrani. Kemudian dia menyatakan iman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan mengikutinya dengan amal yang saleh. Maka, semua orang yang telah menya-takan iman dan mengikuti dengan bukti ini, hilanglah dari mereka rasa takut, cemas, dan duka cita.
Apa sebabnya?
Apabila orang telah berkumpul dalam suasana iman, dengan sendirinya sengketa akan hilang dan kebenaran akan dapat dicapai. Yang menimbulkan cemas dan takut di dalam dunia ini ialah apabila pengakuan hanya dalam mulut, aku Mukmin, aku Yahudi, aku Nasrani, aku Shabi'in, tetapi tidak pernah diamalkan.
Maka, terjadilah perkelahian karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Yang betul hanya aku saja, orang lain salah belaka. Orang tadinya mengharap agama akan membawa ketenteraman bagi jiwa, namun kenyataannya hanyalah membawa onar dan peperangan, karena masing-masing pemeluk agama itu tidak ada yang beramal dengan amalan yang baik, hanya amal mau menang sendiri.
Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dalam dunia ini, janganlah hanya semata-mata mengaku Islam, Yahudi, Nasrani, atau Shabi'in; penga-kuanyang hanya di lidah dan karena keturunan, lalu marah kepada orang kalau dituduh kafir, padahal iman kepada Allah dan Hari Akhirat tidak dipupuk, dan amal saleh yang berfaedah tidak dikerjakan.
Kalau pemeluk sekalian agama telah bertindak zahir dan batin di dalam kehidupan menurut syarat-syarat itu tidaklah akan ada silang sengketa di dunia ini tersebab agama. Tidak akan ada fanatik buta, sikap benci dan dendam kepada pemeluk agama yang lain. Nabi Muhammad sendiri meninggalkan contoh teladan yang amat baik dalam pergaulan antaragama. Beliau bertetangga dengan orang Yahudi lalu beliau beramal saleh terhadap mereka. Pernah beliau menyembelih binatang ternaknya lalu disuruhnya lekas-lekas antarkan sebagian daging sembeiihannya itu ke rumah tetangganya orang Yahudi.
Ketika datang utusan Najran Nasrani menghadap beliau ke Madinah, ketika utusan-utusan itu hendak menghadap di waktu yang ditentukan, semuanya memakai pakaian-pakaian kebesaran agama mereka (sebagaimana yang kita lihat pada pendeta-pendeta Katolik sekarang ini), sehingga mereka terlalu terikat dengan protokol-protokol yang memberatkan dan kurang bebas berkata-kata, lalu beliau suruh tanggalkan saja pakaian itu dan mari bercakap lebih bebas. Yahudi dan Nasrani itu beliau ucapkan dengan kata hormat, “Ya Ahlal-Kitab." Wahai orang-orang yang telah menerima kitab-kitab suci.
Dalam kehidupan kita di zaman modern pun begitu pula. Timbul rasa cemas di dalam hidup apabila telah ada di antara pemeluk agama yang fanatik. Yang kadang-kadang saking fanatiknya, imannya bertukar dengan cemburu, “Orang yang tidak seagama dengan kita adalah musuh kita." Dan ada lagi yang bersikap agresif, menyerang, menghina, dan menyiarkan propagarda agama mereka dan kepercayaan yang tidak sesuai ke dalam daerah negeri yang telah memeluk suatu agama.
Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, jangan agama dipertahankan sebagai suatu golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat diikuti oleh amal yang saleh.
Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh dengan toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam Al-Qur'an! Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Kalau nafsu loba manusia di zaman modern telah menyebabkan timbul perang-perang besar dan senjata-senjata pemusnah, maka kaum agama hendaklah menciptakan perdamaian dengan mencari dasar kepercayaan kepada Allah dan Hari Akhirat serta membuktikannya dengan amal yang saleh, bukan amal merusak.
Kerap kali menjadi kemusykilan bagi orang yang membaca ayat ini karena disebut yang pertama sekali ialah orang-orang yang telah beriman. Kemudiannya baru disusuli dengan Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Setelah itu, disebutkan bahwa semuanya akan diberi ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi?
Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud di sini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Akan tetapi, pengakuan itu baru pengakuan saja, belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara. Maka, iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan. Maka, Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in. Barulah keempatnya itu berkumpul menjadi satu apabila semuanya memperbarui iman kembali kepada Allah dan Hari Akhirat serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan.
Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran. Ciri yang khas dari titik kebenaran itu ialah berserah diri dengan penuh ke-ikhlasan kepada Allah yang satu; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam! Maka dengan demikian, orang yang telah memeluk Islam sendiri pun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya.
Untuk lebih dipahamkan lagi maksud ayat ini, hendaklah kita perhatikan berapa banyaknya orang-orang yang tadinya memeluk Yahudi atau Nasrani di zaman modern ini lalu pindah ke Islam. Mereka yang memeluk Islam itu bukan sembarang orang, bukan orang awam. Seumpama Leopold Weiss, seorang wartawan dan pengarang ternama dari Austria; dahulunya dia beragama Yahudi lalu masuk Islam. Pengetahuannya tentang Islam, pandangan hidup dan keyakinannya, ditulisnya dalam berbagai buku.
Di antara buku yang ditulisnya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk diketahui oleh orang-orang Islam sendiri di negeri Arab, yang telah Islam sejak turun-temurun. Bahkan di waktu dia menyatakan pendapatnya tentang Dajjal di dalam suatu majelis yang dihadiri oleh Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia, Syekh Abdullah bin Bulaihid, beliau ini telah menyatakan kagumnya dan mengakui kebenarannya. Namanya setelah Islam ialah Mohammad Asad.
Pada Mei 1966, seorang ahli ruang angkasa Amerika Serikat bernama Dr. Clark telah menyatakan dirinya masuk Islam lalu memakai nama Dr. Ibrahim Clark. Apa yang menarik hatinya memeluk Islam, kebetulan setelah dia tiba di Indonesia pula? Sebagai seorang ahli ruang angkasa dia bergaul dengan beberapa sarjana Indonesia, beliau mendapat suatu pendirian hidup yang baru dikenalnya, yang tidak didapatnya di Barat, yaitu bahwa sarjana-sarjana beragama Islam itu, yang berkecimpung di dalam bidangnya masing-masing, selalu berpadu satu antara pendapat akal dan ilmu (science)nya dengan kejiwaan. Kesan inilah yang memikat minatnya untuk menyelami Islam sehingga bertemulah dia dengan hakikat yang sebenarnya; memang begitulah ajaran Islam. Akhirnya dengan segenap kesadaran hati, dia memilih Islam sebagai agamanya dengan meninggalkan agama Kristen (Protestan).
Dalam minggu pertama dalam bulan Mei itu juga datang lagi seorang sarjana perempuan bangsa Austria, pergi beriktikafke dalam Masjid Agung Al-Azhar selama tiga hari tiga malam, sambil berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala moga-moga tercapailah perdamaian di dunia ini dan berdamailah kiranya Perang Vietnam. Dia shalat dengan khusyunya dan dia mengatakan bahwa dia telah memeluk Islam sejak tujuh tahun dan telah tujuh kali mengerjakan puasa Ramadhan. Namanya Dr. Barbara Ployer.
Kita kemukakan ketiga contoh ini di samping beratus-ratus contoh yang lain sebagai Malcolm X, negro dari Amerika, dan lain-lain di seluruh perjuangan dunia ini,
Menurut sabda Nabi ﷺ kepada sahabat beliau Amr bin al-'Ash, ketika beliau ini yang tadinya amat benci kepada Nabi ﷺ lalu masuk Islam dan meminta maaf kepada beliau atas kesalahan-kesalahan yang telah lalu, Nabi ﷺ telah bersabda kepadanya, “Hai, Amr Islam itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu." Artinya, mulai dia memeluk Islam itu habislah segala kesalahan yang lama, dimulailah hidup baru.
Kalau setelah mereka memeluk Islam, mereka melanjutkan studi mereka dan mereka perdalam iman kepada Allah dan Rasul, mereka insafi akan Hari Akhirat, lalu mereka ikuti dengan amal yang saleh, niscaya tinggilah martabat mereka di sisi Tuhan daripada orang-orang yang Islam sejak kecil, Islam karena keturunan, tetapi tidak tahu dan tidak mau tahu hakikat Islam, tidak menyelidiki terus-menerus dan tidak memperdalam.
Telah bertahun-tahun penulis ini mencoba mencari tafsir dari ayat ini, tetapi hasilnya belumlah memuaskan hati penafsir sendiri, apatah lagi yang mendengarnya. Tetapi setelah bertemu suatu riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi, barulah terasa puas dan tafsir yang telah kita tafsirkan ini adalah berdasarkan kepada riwayat itu.
“Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Salman, berkata Saiman bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah ﷺ dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara shalat mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau manakah yang benar. Maka beliau jawablah pertanyaanku itu dengan ayat, ‘Innalladzina amanu wal-ladzina hadu.' dan seterusnya itu."
Artinya, bahwa perlainan cara shalat atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama karena syari'at berubah sebab perubahan zaman. Akan tetapi, manusia tidak boleh membeku di satu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas, itulah dia Islam.
Lantaran itu, tidaklah penulis tafsir ini dapat menerima saja suatu keterangan yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang mereka terima dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini telah mansukh, tidak berlaku lagi. Sebab dia telah di-nasikh-kan oleh ayat 58 dari surah Aali ‘Imraan yang berbunyi,
“Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan dia di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." (Aali ‘Imraan: 85)
Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini, melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad ﷺ dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh.
Kalau dikatakan bahwa ayat ini di-nasikh-kan oleh ayat 85 surah Aali ‘Imraan itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Akan tetapi, kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, pintu dakwah senantiasa terbuka dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetapi dalam kemurniannya sesuai dengan jiwa asli manusia.
Nabi ﷺ menegaskan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorang pun dari umat sekarang ini, Yahudi dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka."‘
Dengan hadits ini, jelaslah bahwa kedatangan Nabi Muhammad ﷺ sebagai penutup sekalian nabi (khatimil-anbiyaa) membawa Al-Qur'an sebagai penutup sekalian wahyu bahwa kesatuan umat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan, kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti tidak menolak kedatangan nabi dan rasul penutup itu dan tidak pula menolak wahyu yang dia bawa.
Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian, mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Kalau keterangan telah sampai, tetapi mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab, iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang dari nabi Allah.
Janganlah orang mengira bahwa ancaman masuk neraka itu suatu paksaan di dunia ini karena itu adalah bergantung pada kepercayaan. Dan, neraka bukanlah lubang-lubang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama tauhid, lalu di-galikan lubang (ukhdtid) dan diunggunkan api di dalamnya lalu dibakar orang-orang yang ingkar itu sampai 20.000 orang banyaknya. Neraka adalah ancaman di hari Akhirat esok karena menolak kebenaran.
Agama Islam telah berkembang luas selama empat belas abad, tetapi pihak kepala gereja-gereja Yahudi dan Nasrani sendiri berusaha besar-besaran menghambat perhatian pemeluknya terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan agama Islam, membuat berbagai kata bohong lalu dinamai ilmiah sehingga terjadilah batas jurang yang dalam di antara mereka dan Islam, dan selalu menganggap bahwa Islam itu musuhnya. Padahal Islam selalu membahasakan mereka dengan hormat, yaitu Ahlul Kitab—pemegang kitab-kitab suci. Dan kedatangan mereka senantiasa ditunggu, bukan dengan paksaan, sebagaimana kelak akan dijelaskan di dalam ayat 256 surah al-Baqarah ini (permulaan Juz 3), melainkan dengan pikiran jernih dan akal yang terbuka.
Dengan sebab itu pula, Bani Israil dengan rentetan ayat-ayat ini tidak terlepas dari seruan dakwah, agar mereka berpikir.
Ayat 63
“Dan (Ingatlah) tatkala telah Kami ambil perjanjian dengan kamu, dan telah Kami angkatkan gunung di atas kamu, ‘Peganglah apa yang telah Kami berikan kepada kamu dengan sungguh-sungguh.'"
Diperingatkan lagi janji yang telah diikat di antara mereka dan Tuhan bahwa mereka akan beriman kepada Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan dan tidak membuat berhala, hormat kepada kedua ibu bapak, jangan berzina dan mencuri. Lalu diangkatkan gunung ke atas kepala mereka. Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa benar-benar gunung itu diangkat, tetapi setengah penafsiran lagi menolak penafsiran demikian. Karena Allah Mahakuasa berbuat demikian dan itu tidak mustahil bagi Allah, namun yang begitu adalah berisi paksaan. Tentu saja paksaan begitu akan hilang bekasnya kalau gunung itu tidak terangkat lagi. Tetapi ayat yang lain, yaitu ayat 171 dari surah al-A'raaf (surah ke-7), memberikan kejelasan apa arti gunung diangkat di atas mereka itu.
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami angkat gunung itu di atas mereka, seakan-akan suatu penudung dan mereka sangka bahwa dia akan jatuh ke atas mereka, ‘Ambillah apa yang Kami datangkan kamu, dan Ingatlah apa yang ada padanya, supaya kamu terpelihara.'" (al-A'raaf: 171)
Ayatini telah menafsirkan ayat yang tengah kita perkatakan ini, yaitu bahwa mereka berdiam di dekat gunung yang tinggi, yang selalu mereka lihat seakan-akan menudungi mereka dan sewaktu-waktu rasa-rasakan jatuh juga menimpa mereka. Mungkin dari gunung itu selalulah menguap asap, tandanya dia berapi. Menjadi peringatan kepada mereka, demikian pun kepada kita umat manusia yang tinggal di lereng-lereng gunung berapi bahwa ancaman Allah selalu ada. Sebab itu, peganglah agama yang didatangkan Allah dengan teguh.
“Dan Ingatlah kamu apa yang ada di dalamnya, yaitu syari'at yang tersebut di dalam kitab Tamat itu, “supaya kamu semuanya takwa."
Yakni terpelihara dari bahaya.
Pendeknya, asal betul-betul kamu pegang isi Taurat, pastilah tidak akan ada selisihmu dengan ajaran Muhammad ﷺ ini.
Peganglah apa yang Kami berikan kepadamu itu dengan sungguh-sungguh, dengan bersemangat dan dengan hati-hati, jangan sebagai menggenggam bara panas, terasa hangat dilepaskan. Pegang benar-benar dari hati sanubari, jangan hanya pegangan mulut. Ingat baik-baik apa yang tertulis di dalamnya; jangan hanya mengaku beragama, padahal isi agama tidak diamalkan. Dengan demikian, barulah ada faedahnya beragama. Barulah mereka akan menjadi orang yang terpelihara atau orang yang takwa.
Ayat ini dilanjutkan kepada Bani Israil,
Ayat 64
“Kemudian, kamu pun berpaling sesudah itu."
Janjimu dengan Tuhan telah kamu lupakan. Kesungguhan telah kamu ganti dengan main-main. Agama hanya menjadi permainan mulut, tidak berurat ke hati.
“Maka, kalau bukanlah karena karunia Allah dan belas-kasihan-Nya atas kamu, sesungguhnya telah jadilah kamu dari orang-orang yang merugi."
Belas kasihan dan karunia Tuhanlah yang menyebabkan kamu masih ada sekarang, masih ada anak-cucu yang akan melanjutkan keturunan. Kalau tidak, sudah lamalah kamu hancur. Maka selama kamu sebagai anak-cucu masih ada, keadaan yang telah hancur karena kesia-siaan nenek moyangmu itu masih dapat kamu perbaiki, yaitu dengan mengakui kebenaran yang dibawa oleh Muhammad ﷺ. Sejarah berjalan terus. Undang-undang Tuhan berlaku terus buat umat manusia. Di saat kini, kaum Bani Israil itu telah dapat mendirikan kembali kerajaannya di tengah-tengah Tanah Arab, di Palestina yang telah dipunyai oleh orang Arab Islam sejak 1.400 tahun dan beratus-ratus tahun sebelum itu telah dikuasai negeri itu oleh orang Romawi dan Yunani. Sudah lebih dari dua ribu tahun tidak lagi orang Yahudi mempunyai negeri itu. Tetapi dengan uang dan pengaruh, mereka menguasai pendapat dunia untuk tidak mengakui negeri Islam itu. Tujuh negara Arab, hanya satu yang tidak resmi negara Islam, yaitu negara Lebanon. Ketujuh Negara Islam itu kalah berperang dengan mereka (1948) dan langsung juga negeri Israel berdiri.
Maka, setelah ditanyai orang kepada Presiden Negeri Mesir (ketika itu Republik Arab Persatuan) Gamal Abdel Nasser, apa sebab tujuh negara Arab dapat kalah oleh satu negara Israel, Nasser menjawab, “Kami kalah ialah karena kami pecah jadi tujuh, sedangkan mereka hanya satu."
Pada 1948, peperangan hebat di antara orang Islam Arab dan Yahudi itu, yang menyebabkan kekalahan Arab, negara-negara Arab baru tujuh buah. Kemudian, tengah buku Tafsir al-Azhar ini masih dalam cetakan yang pertama (Juni 1967), negara Arab tidak lagi tujuh, tetapi telah menjadi tiga belas. Waktu itu, sekali lagi Israel mengadakan serbuan besar-besaran, sehingga dalam enam hari saja lumpuhlah kekuatan Arab Islam, hancur segenap kekuatannya. Beratus buah pesawat terbang kepunyaan Republik Arab Mesir dihancurkan sebelum sempat naik ke udara. Belum pernah negeri-negeri Arab khususnya dan umat Islam umumnya menderita kekalahan sebesar ini walaupun dibandingkan dengan masuknya tentara kaum Salib dari Eropa, sampai dapat mendirikan Kerajaan Palestina Kristen selama 92 tahun, sepuluh abad yang lalu.
Maka, dikaji oranglah apa sebab sampai demikian?
Setengah orang mengatakan karena persenjataan Israel lebih lengkap dan lebih modern. Setengah orang mengatakan bahwa bantuan dari negara-negara Barat terlalu besar kepada Israel, sedangkan Republik Arab Mesir sangat mengharapkan bantuan Rusia. Tetapi di saat datangnya penyerangan besar Israel itu, tidak datang bantuan Rusia itu.
Setengahnya mengatakan bahwa Amerika dan Rusia menasihati Republik Arab Mesir agar jangan menyerang lebih dahulu; kalau sudah diserang, baru membalas. Tetapi Israellah yang memang menyerang lebih dahulu, sedangkan pihak Arab telah taat kepada anjuran Rusia dan Amerika itu.
Akan tetapi, segala analisis itu tidaklah kena-mengena akan jadi sebab-musabab kekalahan. Kalau dikatakan persenjataan Israel lebih lengkap, senjata Republik Arab Mesir tidak kurang lengkapnya. Kalau bukan lengkap persenjataan Mesir, tentu Presiden Gamal Abdel Nasser dan terompet-terompetnya di radio tidak akan berani mengatakan bahwa kalau mereka telah menyerang Israel pagi-pagi, sore harinya mereka sudah bisa menduduki Tel Aviv.
Kalau dikatakan bahwa orang Yahudi Israel itu lebih cerdas dan pintar, sejarah dunia sejak zaman Romawi sampai zaman Arab menunjukkan bahwa bangsa yang lebih cerdas kerap kali dapat dikalahkan oleh yang masih belum cerdas. Bangsa Jerman yang waktu itu masih biadab, telah dapat mengalahkan Romawi. Bangsa Arab yang dikatakan belum cerdas waktu itu, telah dapat menaklukkan Kerajaan Romawi dan Persia.
Sebab, yang utama bukan itu. Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batin yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang-orang Arab yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan nasionalisme jahiliyyah atau sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan ideologi Islam dituduh reaksioner.
Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan lalu ditonjolkan nama Kari Marx, seorang Yahudi. Jadi, untuk melawan Yahudi, mereka buangkan pemimpin mereka sendiri dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi. Dalam pada itu, kesatuan aqidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi-ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab bersedih karena kekalahan, negara Republik Indonesia yang penduduknya 90% pemeluk Islam tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobat hati negara-negara itu, tetapi mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapuskan Islam dari negaranya.
Ahli-ahli pikir Islam modern telah sampai kepada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul-Maqdis tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu sebelum orang Arab khususnya dan orang-orang Islam seluruh dunia umumnya mengembalikan pangkalan pikirannya kepada Islam. Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya maupun negara-negara kapitalis dengan Christianisme-nya, yang membantu dengan moril dan materil berdirinya negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menantang Arab karena dia Arab, melainkan menantang Arab karena dia Islam.
Ayat 65
“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar perintah pada hari Sabtu."
Diperingatkan lagi bagaimana sekumpulan Bani Israil melanggar perintah memuliakan hari Sabtu. Memuliakan hari Sabtu, istirahat bekerja pada hari itu dan sediakan dia buat beribadah. Memuliakan hari Sabtu adalah salah satu janji mereka dengan Tuhan. Akan tetapi, mereka mencari helah, memutar hukum dengan cerdik sekali. Kata setengah ahli tafsir, kejadian ini ialah di Danau Thabriah, kata setengah di Ailah dan kata setengah di Madiyan. Di mana pun tempat kejadian tidaklah penting sebab perangai begini bisa saja terjadi di mana-mana karena hendak menghelah-helah (memutar-mutar) hukum.
Mereka tinggal di tepi pantai. Mereka dilarang mengail atau memukat di hari Sabtu. Segala pekerjaan mesti dihentikan di hari itu. Mereka dapat akal buruk; mereka pasang lukah pada hari Jum'at petang hari lalu mereka bangkitkan pada hari Ahad pagi. Sabtu itu sangat banyak ikan keluar. Rupanya ikan sudah mempunyai naluri bahwa mereka tidak akan dipancing dan dipukat pada hari Sabtu.
Mereka merasa bangga sebab telah dapat mempermainkan Allah, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah celaka besar lantaran itu.
“Maka, Kami firmankan. Jadilah kamu kera-kera yang dibenci."
Mereka dikutuk Tuhan sehingga menjadi kera atau beruk semua. Kata setengah penafsir, ada yang jadi babi. Kata setengah penafsir pula, ada yang jadi keledai. Tetapi kalau kita lanjutkan merenungkan ayat itu, jika mereka dikutuk Tuhan menjadi kera, monyet, beruk, atau babi dan keledai, bukan berarti bahwa mesti mereka bertukar bulu, berubah rupa. Akan tetapi, perangai merekalah yang telah berubah menjadi perangai binatang. Rupa masih rupa manusia, tetapi perangai, perangai beruk, adalah lebih hina daripada disumpah menjadi beruk langsung. Sebab kalau beruk berperangai beruk tidaklah heran dan bukanlah adzab. Yang adzab ialah jika manusia berperangai beruk. Orang tidak benci kepada beruk berperangai beruk. Yang orang benci ialah manusia beruk.
Ayat 66
“Maka, Kami jadikanlah dianya sebagai suatu teladan bagi Mereka yang semasa dengannya dan bagi yang di belakangnya."
Itulah orang-orang yang merasa bangga karena telah banyak mendapat keuntungan, tetapi tidak insaf bahwa mereka telah tersisih dari masyarakat manusia yang berbudi.
“Dan pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa."
Karena bagi orang yang bertakwa, biarlah sedikit mendapat asal halal. Asal jangan meng-helah-helah agama dengan cerdik beruk.
Sebab itu, penafsir ini tidaklah berpegang pada setengah ahli tafsir yang menafsirkan bahwa mereka disumpah Tuhan sehingga langsung bertukar jadi beruk, jalan dengan kaki empat, gigi berganti dengan saing. Tetapi lebih hebatlah adzab itu; tubuh tetap tubuh manusia, tetapi perangai sudah menjadi perangai beruk dan kera.
Di dalam riwayat yang lain dari Ibnu Mundzir juga disertai riwayat dari Ibnul Abi Hatim, yang mereka terima dari Mujahid, “Yang disumpah Tuhan sehingga menjadi kera dan monyet itu ialah hati mereka, bukan badan mereka." Kejadian ini adalah sebagai suatu perumpamaan sebagaimana tersebut dalam ayat,
“Laksana keledai memikul kitab-kitab." (al-Jum'ah: 5)
Maka, penafsiran Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir inilah yang lebih dekat pada paham saya sebagai penafsiran sekarang ini.