Ayat
Terjemahan Per Kata
إِلَّا
kecuali
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَابُواْ
(mereka) bertaubat
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah itu
ذَٰلِكَ
demikian/itu
وَأَصۡلَحُواْ
dan mereka memperbaiki
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
إِلَّا
kecuali
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَابُواْ
(mereka) bertaubat
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah itu
ذَٰلِكَ
demikian/itu
وَأَصۡلَحُواْ
dan mereka memperbaiki
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki) amal perbuatan mereka (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap dosa tuduhan mereka itu (lagi Maha Penyayang) kepada mereka, yaitu dengan memberikan inspirasi untuk bertobat kepada mereka, yang dengan tobat itu terhapuslah julukan fasik dari diri mereka, kemudian kesaksian mereka dapat diterima kembali. Akan tetapi menurut suatu pendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima. Pendapat ini beranggapan bahwa pengertian Istitsna atau pengecualian di sini hanya kembali kepada kalimat terakhir dari ayat sebelumnya tadi, yaitu, "Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". Maksudnya hanya status fasik saja yang dihapus dari mereka, sedangkan ketiadagunaan kesaksiannya masih tetap.
Tafsir Surat An-Nur: 4-5
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina.
Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya).
Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya: dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4) Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu: Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali. Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya. Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan dalam firman selanjutnya: kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat. Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf. Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja.
Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir. Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.
4-5. Usai menjelaskan hukuman bagi pezina dan hukum menikahinya, Allah lalu menguraikan sanksi hukum terhadap orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik telah berbuat zina, dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang menjadi saksi atas kebenaran tuduhannya di hadapan pengadilan, maka deralah mereka, wahai kaum mukmin melalui penguasa kamu, sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini berlaku jika penuduh adalah orang merdeka. Jika ia adalah seorang hamba sahaya maka deralah ia empat puluh kali (Lihat juga: an-Nis'/4: 25). Dan ja-nganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Ketentuan ini berlaku atas semua orang yang berbuat demikian, kecuali mereka yang bertobat, menyesali perbuatannya, dan bertekad tidak akan mengulanginya setelah itu, yaitu setelah menerima hukuman itu, dan mereka membuktikan tobat mereka de-ngan memperbaiki diri dan beramal saleh. Jika mereka melakukannya maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. 6-7. Setelah menjelaskan ketentuan hukum terhadap penuduh zina secara umum, Allah lalu menguraikan hukum apabila seorang suami menuduh istrinya berzina. Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi yang menguatkan tu-duhan itu selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu, yaitu suami, ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia termasuk orang yang berdusta dalam tuduhan yang dialamatkan kepada istrinya.
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang menuduh itu apabila tobat, yaitu menarik kembali tuduhan mereka, menyesali perbuatan mereka, memperbaiki diri dan memulihkan nama baik yang dituduh, maka mereka itu kesaksian mereka dapat diterima kembali. Sebagian mufassirin berpendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima selamanya walaupun mereka sudah bertobat, namun tidak lagi digolongkan sebagai orang-orang fasik. Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih bagi mereka yang benar-benar tobat (taubat nasuha), yaitu menyesal dan meninggalkan perbuatan jahat mereka selamanya, serta memperbaiki diri dari kerusakan yang mereka timbulkan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Hukuman Menuduh-nuduh
Perempuan baik-baik dan terhormat yang disebut dalam bahasa al-Qur'an Muhshanat yaitu yang terberitang, aman damai dalam rumahtangganya, kasih setia bersuami-isteri, pengaruh yang santun terhadap anak-anaknya, dihormati oleh seluruh pelayan dalam rumah amat baik hubungannya dengan tetangganya. Fikiran mereka hanyalah melaksanakan tugas sebagai isteri setia atau ibu yang kasih. Menyediakan makanan suami dan menyelenggarakan pendiriikan anak-anak. Seluruh hati, jiwa dan raganya telah diserahkannya kepada suaminya. Tidak ada ingatan lain.
Dia jujur, sebab itu dIsangkanya orang lain jujur seperti dia pula Dia qana'ah mencukupkan apa yang ada. Jika dia berIbliss dan bersolek, kasih suaminyalah yang diharapkannya, bukan supaya menarik minat laki-laki lain. Tidak banyak dia bertandang ke rumah perempuan lain untuk mengumpat dan
memuji, sanjung cela keadaan orang lain. Dapat saja dia menegakkan ketenteraman rumahtangganya, dia sudah merasa syukur. Sebab dia merasai sebagai iaten. atau sebagai ibu, bahwa dia mempunyai tanggungjawab besar dan berat, yang tidak kurang besar dan beratnya daripada tanggungjawab suaminya, yang pagi-pagi keluar dari rumah, mencari rezeki menurut wadah hidup masing-masing. Dan sore membawa perolehan berapa dapatnya. Si sumai pun merasalah kebahagIsan besar karena rumahtangga yang demikian. Dia tidak bermata ke belakang. Dia tidak merasa cemburu dan ragu terhadap isterinya, bahkan isterinyalah yang akan pernah ragu kepadanya karena matanya lepas buat memandang perempuan lain. Dia sendiri perempuan terhormat itu, tidak ada yang dipandangnya, melainkan suaminya serta anak-anaknya. Itulah kebahagIsannya.
Itulah yang dinamai MUHSHANAT. Perempuan yang terberiteng.
Kadang mereka dinamai pula GHAFILAT. Perempuan yang lengah. Segala kelengahan adalah tercela, tetapi bagi perempuan demikian menjadi pujian.
Bila dia berjalan di jalan raya, fikirannya hanya tertuju kepada urusan yang akan diurusnya, tidak menoleh ke kiri-kanan, tidak bemiat hatinya hendak lenggang-Senggok supaya mata orang tertarik. Tidak diperdulikannya, bahwa dia tidak tahu samasekali bahwa mata pemuda-pemuda jahat sedang menukik kepada wajahnya, menilai rupanya yang cantik, kadang-kadang ditegur orang dia dengan teguran yang salah, namun dijawabnya dengan jawaban jujur jua. Dia lengah, sebab dia menyangka hati orang baik semua, sebaik hatinya yang belum rusak. Hidupnya hanya untuk suaminya, untuk anaknya.
Inilah yang dikatakan Muhshanat dan Ghafilat.
Inilah perempuan-perempuan yang lengah, sebab dia percaya bahwa dalam dirinya tidak ada “penyakit" apa-apa, dia percaya bahwa tidak ada orang terhormat yang akan mengganggu itu.
Adalah suatu keajaiban dalam jiwa manusia! Apabila seorang perempuan Muhshanat dan Ghafilat itu, sekali telah jatuh beritengnya, karena tak dapat menahan hawanafsunya, atau rayuan Iblis yang mengganggu kesuciannya; sekali saja dia terjatuh, wajahnya pun berubah sekali, lenggangnya berubah, sikapnya berubah, gunting pakaiannya berubah. Kalau tadiriya dia lengah, tidak ada mengingat hal yang lain kecuali urusannya, apabila dia telah jatuh, maka segala sikap langkah dan tingkah lakunya itu tidak “lengah" lagi, melainkan semuanya dengan “perhitungan", yaitu “laki" kepadanya.
Dia telah rusak! Sekali lihat, orang yang arif sudah dapat mengetahui bahwa perempuan ini telah rusak jiwanya.
Sekarang bagaimana dengan perempuan yang terberiteng dan masih terpelihara kesuciannya itu?
Perempuan demikianlah yang disebut ‘imaadul bilad, tiang-tiang negara. Perempuan demikian yang disebut ibu-ibu yang di bawah telapak kakinya terletak “syurga", sebagaimana tersebut di dalam Hadist. Pada penghargaan atas isteri yang setia dan ibu yang pengasih itulah terletak inti kebahagIsan dan
Ketenteraman negara. Merekalah guru pertama sebelum manusia masuk ke dalam gelanggang hidup yang luas. Dan apabila seorang laki-laki pulang dari medan perjuangan hidup, ke dalam penjagaan perempuan demikianlah mereka akan mencari ketenteraman jiwa. Dari dialah akan diriapat apa yang dinamai “sakinah'', hati menjadi tetap dan hilang ragu bagi seorang laki-laki.
Dia adalah sendi bangunan negara. Biasanya sendi tiadalah nampak. Tetapi kalau bangunan telah condang tanda sendiriyalah yang telah rusak..
Engkau sendiri hai pemuda. Berapa engkau rasai kasih ibu?
Tiba-tiba keadaan menjadi goncang. Tiba-tiba datang saja tuduhan bahwa orang perempuan baik-baik seperti demikian berlangkah serong Seorang perempuan rusak namanya karena tuduhan. Padahal nama yang tidak pernah' rusak karena perzinaan, adalah kekayaan yang tiada dapat diriilai. Sekarang kekayaan itulah yang dihancurkan orang.
Cerita-cerita demikian lekas benar tersianya dari mulut ke mulut. Orang-orang yang hasad dengki belum merasa puas kalau belum memindahkan “rahasia" itu dari mulut ke mulut, sampai hancur nama itu karena dikunyah, diaepah dan dimamah oleh mulut-mulut yang tidak bertanggungjawab.
Bagaimana perasaan anak-anak yang hidup tenteram penuh kepercayaan kepada ibunya, mendengar nama ibunya menjadi buah mulut orang? Bagaimana perasaan seorang suami yang selama ini percaya kepada kesucian isteri-nya mendengar nama isterinya sudah menjadi “bola sepak"?
Masyarakat Islam tidak boleh membiarkan hal itu berlarut-larut.
Seorang perempuan adalah pengharapan satu-satunya buat membina umat. Tuduhan yang hanya dapat dIsahkan ialah yang cukup bukti alasan. Harus ada 4 orang laki-laki yang menyaksikan bahwa perempuan itu memang berzina dengan seorang laki-laki. Mereka berempat melihat sendiri dengan mata kepalanya perempuan itu berzina. Mereka harus berani bersumpah bahwa mereka melihat benar-benar.
Sampai ada ahli-ahli Fiqh memIsalkan: “Dilihatnya, laksana melihat pIsau dimasukkan ke dalam sarungnya...!"
Sekarang cobalah berfikir, adakah agaknya empat orang laki-laki yang dipercaya, yang bIsa diriengar pengakuannya, akan tampil ke muka hakim mengadukan bahwa mereka melihat orang berzina? Dan berani diaumpah? Orang-orang yang bersopan -santun tidaklah mungkin mengerjakan pekerjaan ini. Kalau mIsalnya kebetulan ada 4 orang laki-laki menyaksikan perbuatan demikian, mereka akan bermusyawarah lebih dahulu yang bermaksud menutup rapat khabar itu. Mereka akan merasa malu kalau 4 orang laki-laki orang baik-baik dihartapkan ke muka hakim untuk diriengar keterangan mereka bahwa mereka memang benar menyaksikan orang berzina. Dan orang lain yang akan pergi menonton ke tempat sidang itu pun sudah terang orang yang tidak begitu tinggi budiriya.
Mungkin hal ini hanya akan kejadian kalau sudah terlihat lebih dahulu tanda-tanda pada perangai atau gerak-gerik perempuan itu sehingga suaminya cemburu, lalu dicarinya 4 orang buat turut menyaksikan. Dan kalau keterangan
ini cukup bukti kuat, maka dilakukanlah hukum rajam atau dera kepada perempuan itu bersama laki-laki yang menzinainya dan dengan itu jatuh hancurlah nama Mu/iahanat dan Gha/Hafnya itu berganti dengan Zaniat. Sudah teranglah bahwa satu rumahtangga telah hancur-lebur. Dan sudah terang pula bahwa suami yang mengadukan ke muka hakim itu lebih keras rasa dendamnya daripada pertimbangannya terutama kalau dia telah beranak-anak. Padahal kalau dia seorang lelaki baik-baik, kalau memang dia sudah merasa angin bahwa isterinya telat beralih, perangainya telah berubah dan sikapnya telah lain, tidaklah ada perlunya dia mencari 4 saksi buat menyaksikan isterinya berzina. Mudah saja sikap yang akan diambilnya dan tidak banyak resikonya, yaitu thalaq.
Tersebut hikayat seorang laki-laki mentalak isterinya di zaman Rasulullah s.a.w. Lalu orang bertanya kepada laki-laki itu: “Sebaik itu isterimu, mengapa engkau talak?"
Dia menjawab: “Dengan segala hormat saya meminta janganlah tuan mencampuri urusan rumahtangga saya!"
Kemudian bekas isterinya itu pun bersuami laki-laki lain. Lalu datang pula seorang menanyakan kepadanya: “Sayang sekali tuan ceraikan dia. Sekarang dia sudah bersuami lain. Mengapa diceraikan?"
Di samping orang-orang yang menuntut hidup yang bersopan-santun, di segala zaman dan waktu, akan ada saja orang yang gatal mulut. Maka berita-berita tuduhan-tuduhan buruk kepada orang baik-baik itu tetap akan ada, dari mulut ke mulut, bisik beranting dalam kalangan orang yang rendah budiriya. Hal ini mesti dicegah. Pertama untuk memelihara ketenteraman rumahtangga orang baik-baik, kedua untuk mencegah masyarakat jangan sampai menjadi tukang membicarakan berita buruk.
Maka dengan ayat-ayat ini dijelaskan bahwa “barangsiapa yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina, padahal tidak dapat mengemukakan empat saksi yang melihat jelas hendaklah si tukang tuduh itu dijatuhi hukuman dengan 80 kali deraan. Dan sejak dia menerima hukum itu, dicoretlah namanya daripada kesaksian, artinya dalam segala perkara yang terjadi ke muka hakim, maka orang-orang yang telah pernah dihukum dera karena menuduh itu tidaklah akan diterima kesaksian mereka lagi. Sebab mereka itu sudah dicap orang yang fasik, orang-orang yang durjana yang suka mengacaukan ketenteraman masyarakat.
Orang-orang yang semacam ini adalah orang-orang yang durjana, tidak bertanggungjawab, mengacau ketenteraman masyarakat, • meruntuh kebahagIsan rumahtangga orang, tukang menyiarkan khabar-khabar yang mengacaukan fikiran.
Ini adalah satu hukuman yang berisi pendiriikan tertinggi di dalam memberituk masyarakat Muslim. Masyarakat Muslim tidak akan mengotori mulutnya dengan khabar-khabar yang demikian. Kalaupun ada tiga orang laki-laki yang adil yang tidak pembohong, yang benar-benar melihat orang sedang berzina tidaklah akan menguntungkan kepada dirinya kalau hal ini dilaporkannya
kepada yang berwajib. Bahkan cukup pun berempat, namun faedah melaporkannya tidak juga ada. Lebih baik khabar-khabar demikian ditutup rapat, supaya masyarakat jangan ketularan untuk membicarakan perkara-perkara yang kotor. Maka kalau ditilik syarat-syarat orang yang menyaksikan itu, yaitu orang baik-baik, orang-orang bIsa dipercaya, tidaklah akan kejadian pelaporan yang demikian. Dan meskipun peraturan ini telah ada, Alhamdulillah, di dalam sejarah kehidupan Nabi dan para sahabat Muhajirin dan Anshar di Madinah itu tidaklah ada terdapat riwayat bahwa ada 4 orang terhormat yang pergi melaporkan bahwa mereka melihat orang berzina.
Sebab orang baik-baik tidaklah akan membuang waktu untuk mengerjakan pekerjaan hina dan rendah, mengintip-intip rumahtangga orang bahkan ada sendiri peraturan tegas melarang mengintip-intip.