Ayat
Terjemahan Per Kata
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِيٓ
yang
أَنشَأَ
menumbuhkan
جَنَّـٰتٖ
kebun-kebun
مَّعۡرُوشَٰتٖ
yang berjunjung
وَغَيۡرَ
dan tidak
مَعۡرُوشَٰتٖ
yang berjunjung
وَٱلنَّخۡلَ
dan pohon kurma
وَٱلزَّرۡعَ
dan tanaman-tanaman
مُخۡتَلِفًا
bermacam-macam
أُكُلُهُۥ
makannya/rasanya
وَٱلزَّيۡتُونَ
dan zaitun
وَٱلرُّمَّانَ
dan delima
مُتَشَٰبِهٗا
yang serupa
وَغَيۡرَ
dan tidak
مُتَشَٰبِهٖۚ
serupa
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
ثَمَرِهِۦٓ
buahnya
إِذَآ
apabila
أَثۡمَرَ
berbuah
وَءَاتُواْ
dan berikan
حَقَّهُۥ
haknya
يَوۡمَ
pada hari
حَصَادِهِۦۖ
mengetamnya
وَلَا
dan jangan
تُسۡرِفُوٓاْۚ
kamu berlebih-lebihan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia/Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُسۡرِفِينَ
orang-orang yang berlebihan
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِيٓ
yang
أَنشَأَ
menumbuhkan
جَنَّـٰتٖ
kebun-kebun
مَّعۡرُوشَٰتٖ
yang berjunjung
وَغَيۡرَ
dan tidak
مَعۡرُوشَٰتٖ
yang berjunjung
وَٱلنَّخۡلَ
dan pohon kurma
وَٱلزَّرۡعَ
dan tanaman-tanaman
مُخۡتَلِفًا
bermacam-macam
أُكُلُهُۥ
makannya/rasanya
وَٱلزَّيۡتُونَ
dan zaitun
وَٱلرُّمَّانَ
dan delima
مُتَشَٰبِهٗا
yang serupa
وَغَيۡرَ
dan tidak
مُتَشَٰبِهٖۚ
serupa
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
ثَمَرِهِۦٓ
buahnya
إِذَآ
apabila
أَثۡمَرَ
berbuah
وَءَاتُواْ
dan berikan
حَقَّهُۥ
haknya
يَوۡمَ
pada hari
حَصَادِهِۦۖ
mengetamnya
وَلَا
dan jangan
تُسۡرِفُوٓاْۚ
kamu berlebih-lebihan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia/Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُسۡرِفِينَ
orang-orang yang berlebihan
Terjemahan
Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. Akan tetapi, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Tafsir
(Dan Dialah yang menjadikan) yang telah menciptakan (kebun-kebun) yang mendatar di permukaan tanah, seperti tanaman semangka (dan yang tidak terhampar) yang berdiri tegak di atas pohon seperti pohon kurma (dan) Dia menjadikan (pohon kurma dan tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya) yakni yang berbeda-beda buah dan bijinya baik bentuk maupun rasanya (dan zaitun dan delima yang serupa) dedaunannya; menjadi hal (dan tidak sama) rasa keduanya (Makanlah dari buahnya yang bermacam-macam itu bila dia berbuah) sebelum masak betul (dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya) dengan dibaca fatah atau kasrah; yaitu sepersepuluhnya atau setengahnya (dan janganlah kamu berlebih-lebihan) dengan memberikannya semua tanpa sisa sedikit pun buat orang-orang tanggunganmu. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan) yaitu orang-orang yang melampaui batas hal-hal yang telah ditentukan bagi mereka.
Tafsir Surat Al-An’am: 141-142
Dan Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya. Makanlah buahnya ketika dia berbuah, dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan pengangkut beban dan ada (pula) yang untuk disembelih. Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.
Ayat 141
Allah ﷻ dalam firman-Nya menjelaskan bahwa Dia adalah Yang menciptakan segala tanaman, buah-buahan, dan binatang ternak, yang semua itu diperlakukan oleh orang-orang musyrik dengan berbuat sekehendak hatinya terhadap ternak-ternak mereka berdasarkan pemikiran mereka yang sesat. Mereka menjadikannya ke dalam beberapa bagian dan pengkategorian, lalu mereka menjadikan sebagiannya haram dan sebagian yang lainnya halal.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung.” (Al-Anam: 141)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ma'rusyatin ialah yang merambat Menurut riwayat yang lain, “ma'rusyat” artinya tanaman yang ditanam oleh manusia. Sedangkan “ghoiro marusyat” artinya tanam-tanaman berbuah yang tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan dan bukit-bukit.
‘Atha’ Al-Khurasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna “ma'rusyat” ialah tanaman anggur yang dirambatkan, sedangkan “ghaira ma'rusyat” ialah tanaman anggur yang tidak dirambatkan.
Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi. Ibnu Juraij mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Yang serupa dan yang tidak serupa.” (Al-An'am: 141) Maksudnya, yang serupa bentuknya, tetapi tidak sama rasanya.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Makanlah buahnya bila berbuah.” (Al-An'am: 141)
Yaitu buah kurma dan buah anggurnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik buahnya.” (Al-An'am: 141)
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah zakat fardu.
Telah menceritakan kepada kami Amr, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Dirham yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik buahnya.” (Al-An'am: 141)
Yaitu zakat fardu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik buahnya.” (Al-An'am: 141)
Maksudnya, zakat fardu yang dilakukan pada hari penimbangan hasilnya dan setelah diketahui jumlah timbangan tersebut.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik buahnya.” (Al-An'am: 141)
Pada mulanya apabila seorang lelaki menanam tanaman dan menghasilkan buah dari tanaman itu pada hari penilaiannya, maka ia tidak mengeluarkan sedekah barang sedikit pun dari hasil panennya itu. Maka Allah ﷻ berfirman:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik buahnya.” (Al-An'am: 141)
Demikian itu dilakukan setelah diketahui jumlah timbangannya, dan hak yang diberikan ialah sepersepuluh dari hasil yang dipetik dari bulir-bulirnya.
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan di dalam kitab sunannya melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban, dari pamannya (yaitu Wasi' ibnu Hibban), dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi ﷺ telah memerintahkan untuk menyedekahkan setangkai buah kurma dari tiap-tiap pohon yang menghasilkan sepuluh wasaq, kemudian digantungkan di masjid buat kaum fakir miskin. Sanad hadits ini jayyid dan kuat.
Tawus, Abusy Sya'sa, Qatadah, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh ayat ialah zakat. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, makna yang dimaksud ialah sedekah biji-bijian dan buah-buahan. Hal yang sama dikatakan oleh Ziad ibnu Aslam. Ulama lainnya mengatakan bahwa hal ini merupakan hak lainnya di luar zakat.
Asy'as meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin dan Nafi', dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An'am: 141)
Bahwa mereka biasa memberikan sesuatu dari hasilnya selain zakat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Abdullah ibnul Mubarak dan lain-lainnya meriwayatkan dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An'am: 141)
Pemilik sebaiknya memberi sebagian kecil dari hasil panennya kepada orang-orang yang hadir, meskipun itu bukan zakat.
Mujahid mengatakan, "Apabila ada orang miskin yang datang saat panenmu, berikanlah sebagian dari hasil panenmu kepada mereka."
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An'am: 141)
Yakni di saat menanamnya, berikanlah segenggam, dan di saat memanennya, juga berikan segenggam, kemudian biarkanlah mereka (kaum fakir miskin) memunguti dari hasil yang jatuh.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Hammad, dari Ibrahim An-Nakha'i yang mengatakan, "Hendaknya si pemilik memberikan sebagian dari hasilnya dalam jumlah yang lebih banyak daripada segenggam."
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Syarik, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An'am: 141)
Sebelum kewajiban zakat untuk kaum fakir miskin, yaitu mereka diberi dalam jumlah segenggam dan setumpuk untuk makanan unta kendaraannya.
Di dalam hadits Ibnu Luhai'ah, dari Darraj, dari Abul Haisam, dari Sa'id secara marfu' sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya.” (Al-An'am: 141)
Disebutkan, "Buah yang terjatuh dari bulirnya." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Menurut ulama yang lain, ketentuan tersebut pada mulanya diwajibkan, kemudian di-nasakh oleh Allah dengan kewajiban memberikan sepersepuluhnya atau setengah dari sepersepuluh. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas, Muhammad ibnul Hanafiyah, Ibrahim An-Nakha' i. Al-Hasan, As-Suddi, Atiyyah Al-Aufi, dan lain-lainnya. Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat ini.
Menurut kami, penamaan istilah nasakh dalam hal ini masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya sejak awal ketentuan ini merupakan suatu kewajiban. Kemudian dirincikan penjelasannya, yaitu menyangkut kadar dan jumlah yang harus dikeluarkannya.
Mereka mengatakan bahwa hal ini terjadi pada tahun kedua Hijriah. Allah ﷻ mencela orang-orang yang melakukan panen, lalu tidak bersedekah. Seperti yang disebutkan oleh-Nya dalam surat Nun mengenai para pemilik kebun, yaitu:
“Ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu seperti malam yang gelap gulita.” (Al-Qalam: 17-20)
Yaitu seperti malam yang kelam hitamnya karena terbakar.
“Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, ‘Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebun kalian jika kalian hendak memetik buahnya’.
Maka pergilah mereka saling berbisik, ‘Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebun kalian’. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi. (Al-Qalam: 21-25)
Maksudnya, dengan penuh kekuatan, keuletan, dan semangat yang membara serta dalam keadaan mampu.
“Ketika mereka melihat kebun-kebun itu, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (Jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).’ Berkatalah seorang yang paling bijak pikirannya di antara mereka, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian, hendaklah kalian bertasbih (kepada Tuhanmu)?’ Mereka mengucapkan, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim’. Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan. Mereka berkata, ‘Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu, sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita’. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (Al-Qalam: 25-33)
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An'am: 141)
Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memberi, lalu kalian memberi lebih dari kebiasaannya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa pada awalnya orang-orang memberikan sebagian kecil dari hasil panen saat panen berlangsung, kemudian mereka melakukan perlombaan dalam hal ini, akhirnya mereka jadi sangat berlebihan dalam memberi. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan.” (Al-An'am: 141)
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syimas yang memetik hasil pohon kurmanya. Lalu saat itu ia mengatakan, "Tidak pernah ada orang yang datang kepada saya hari ini tanpa saya memberinya makanan." Maka Sabit memberi makan sehari penuh hingga petang hari, hingga pada akhirnya ia tidak memperoleh hasil apa pun dari buah yang dipetiknya itu.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An'am: 141)
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij. Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’ bahwa mereka dilarang bersikap berlebih-lebihan dalam segala hal.
Iyas ibnu Mu'awiyah mengatakan, "Segala sesuatu yang melampaui apa yang telah diperintahkan oleh Allah dinamakan berlebih-lebihan." As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Janganlah kalian berlebih-lebihan." Maksudnya, janganlah kalian memberikan semua harta kalian sehingga pada akhirnya kalian menjadi orang yang miskin.
Sa'id ibnul Musayyab dan Muhammad ibnu Ka'b mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
“Janganlah kalian berlebih-lebihan.” (Al-An'am: 141)
Yakni janganlah kalian menahan untuk sedekah, karena berarti kalian berbuat durhaka terhadap Tuhan kalian.
Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang dikatakan oleh ‘Atha’, yaitu yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung larangan bersikap berlebih-lebihan dalam segala hal. Memang tidak diragukan lagi makna inilah yang benar.
Tetapi makna lahiriah ayat bila ditinjau dari segi teksnya yang mengatakan:
“Maka makanlah buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya pada waktu memetik hasilnya, dan janganlah kalian berlebih-lebihan.” (Al-An'am: 141)
Maka damir yang ada dikembalikan kepada al-akl (makan). Dengan kata lain, janganlah kalian berlebih-lebihan saat makan, karena hal ini mengakibatkan mudarat (bahaya) bagi kesehatan otak dan tubuh. Perihalnya sama dengan pengertian yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.” (Al-A'raf: 31), hingga akhir ayat.
Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits secara ta'liq, yaitu: Makan, minum, dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak pula sombong. Menurut kami, makna ayat tersebut selaras dengan hadits ini.
Ayat 142
Firman Allah ﷻ: “Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan pengangkut beban dan ada (pula) yang untuk disembelih.” (Al-An'am: 142)
Allah menjadikan untuk kalian binatang ternak yang sebagian darinya dapat dijadikan sebagai kendaraan angkutan, ada pula yang dijadikan untuk disembelih.
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud dengan “hamulah” ialah unta yang dijadikan sebagai kendaraan angkutan, sedangkan “al-farsy" ialah unta yang masih muda. Seperti yang dikatakan oleh Ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Untuk pengangkut beban.” (Al-An'am: 142)
Maksudnya, unta yang dijadikan sebagai kendaraan angkutan, sedangkan yang dimaksud dengan "farsy" ialah unta yang masih muda. Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim. Imam Hakim mengatakan sanad atsar ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “hamulah” ialah unta dewasa, sedangkan "farsy" ialah unta yang masih muda. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan pengangkut beban dan ada (pula) yang untuk disembelih.” (Al-An'am: 142)
Yang termasuk ke dalam pengertian "hamulah" (hewan yang dijadikan sarana angkutan) ialah unta, kuda, begal, dan keledai serta hewan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan "farsy" (khusus hewan potong) hanyalah kambing. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan, hewan jenis ini dinamakan "farsy" karena tubuhnya yang rendah hingga dekat ke tanah.
Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan lain-lainnya mengatakan bahwa "hamulah" ialah unta dan sapi, sedangkan "farsy" ialah kambing.
As-Suddi mengatakan bahwa "hamulah" adalah unta, sedangkan "farsy" ialah anak unta, anak sapi, dan kambing. Dan Hewan yang dijadikan sebagai sarana angkutan dinamakan "hamulah".
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa "hamulah" ialah hewan ternak yang kalian jadikan sebagai sarana angkutan, sedangkan "farsy" ialah hewan ternak yang kalian jadikan hewan potong dan hewan perahan, yaitu kambing, karena kambing tidak dapat dijadikan sebagai sarana angkutan, sedangkan dagingnya kalian makan dan bulunya kalian buat permadani dan seprai. Apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman sehubungan dengan makna ayat yang mulia ini baik dan diperkuat oleh ayat lainnya yang mengatakan:
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka. Maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan.” (Yasin: 71-72)
Juga firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang hendak meminumnya.” (An-Nahl: 66) sampai dengan firman-Nya:
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kalian pakai) sampai waktu (tertentu).” (An-Nahl: 80)
Demikian pula firman Allah ﷻ: “Allah-lah yang menjadikan binatang ternak untuk kalian, sebagiannya untuk kalian kendarai dan sebagiannya untuk kalian makan. Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kalian dan supaya kalian bisa mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. Dan kalian dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera. Dan Dia memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan-Nya), maka tanda-tanda (kekuasaan) Allah yang manakah yang kalian ingkari?” (Al-Mumin: 79-81)
Adapun firman Allah ﷻ: “Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian.” (Al-An'am: 142)
Yakni berupa buah-buahan, hasil-hasil tanaman, dan binatang ternak. Semuanya diciptakan oleh Allah ﷻ dan dijadikan-Nya sebagai rezeki untuk kalian.
“Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (Al-Anam: 142)
Yaitu jalan yang dianjurkan oleh setan, sebagaimana yang ditempuh oleh orang-orang musyrik. Mereka berani mengharamkan buah-buahan dan hasil tanam-tanaman yang Allah anugerahkan kepada mereka. Mereka mengatakan bahwa itu adalah hasil dari mereka sendiri yang mereka nisbatkan kepada Allah. ﷻ.
“Sesungguhnya setan itu bagi kalian.” (Al-An'am: 142) Artinya, sesungguhnya setan itu, wahai manusia.
“Musuh yang nyata.” (Al-An'am: 142)
Yakni jelas dan terlihat sekali permusuhannya. Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian) karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al-A'raf: 27), hingga akhir ayat.
“Patutkah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sangat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Al-Kahfi: 50)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an makna yang sehubungan.
Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan bagaimana kaum musyrik Mekah telah membuat ketetapan dan peraturan yang hanya berdasarkan pada keinginan hawa nafsu sendiri, bahkan mereka mengklaim bahwa peraturan itu berasal dari Allah. Pada ayat-ayat ini Allah menjelaskan lagi nikmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada hambaNya. Dan Dialah, Allah, yang menjadikan dua jenis tanaman, yaitu tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat. Allah pun menciptakan untuk manusia berbagai macam pepohonan seperti pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Wahai manusia! Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan jangan lupa berikanlah haknya, berupa zakat, pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebihlebihan, dalam arti tidak terlalu pelit dan tidak terlalu boros, tetapi berada di antara keduanya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan, yaitu dengan mengeluarkan harta bukan pada tempatnya.
Allah pun menciptakan hewan ternak untuk kepentingan manusia. Dan di antara hewan-hewan ternak yang diciptakan Allah itu ada yang dijadikan pengangkut beban seperti unta, keledai, dan kuda dan ada pula yang untuk disembelih seperti kambing dan sapi. Wahai manusia, makanlah rezeki yang diberikan Allah kepadamu, yaitu yang Allah halalkan untukmu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan sebagaimana kaum musyrik yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Dengan ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang menjalar dan yang tidak menjalar tanamannya. Dialah yang menciptakan pohon kurma dan pohon-pohon lain yang buahnya beraneka ragam bentuk warna dan rasanya. Seharusnya hal itu menarik perhatian hamba-Nya dan menjadikannya beriman, bersyukur dan bertakwa kepada-Nya. Dengan pohon kurma saja mereka telah mendapat berbagai macam manfaat. Mereka dapat makan buahnya yang masak tapi masih segar, yang manis rasanya dan dapat pula mengeringkannya sehingga dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama dan dapat dibawa ke mana pun dalam perjalanan serta tidak perlu dimasak lagi seperti masakan lainnya.
Bijinya dapat dijadikan makanan unta. Batang, daun, pelepah dan seratnya, dapat diambil manfaatnya. Kalau dibandingkan dengan pohon-pohon di Indonesia pohon kurma itu seperti pohon kelapa. Allah mengaruniakan pula pohon zaitun dan delima, ada yang serupa bentuk tapi beda rasanya. Allah membolehkan hamba-Nya menikmati hasil dari berbagai macam pohon dan tanaman itu sebagai karunia dari Allah. Maka tidak ada hak sama sekali bagi hamba-Nya untuk mengharamkan apa yang telah dikaruniakan-Nya. Karena Allah-lah yang menciptakan, Allah-lah yang memberi, maka Allah pulalah yang berhak mengharamkan atau menghalalkannya. Kalau ada di antara hamba-hamba-Nya yang mengharamkannya maka ia telah menganggap dirinya sama kedudukannya dengan Allah, dan orang-orang yang menaatinya berarti telah menyekutukan Allah dan inilah syirik yang tak dapat diragukan lagi. Maksud mengharamkan makanan di sini ialah menjadikannya haram untuk dimakan, bila dimakan tentu berdosa. Adapun melarang makanan karena alasan kesehatan, dilarang dokter atau karena sebab-sebab lain yang membahayakan, tidaklah termasuk syirik, karena kita diperintahkan Allah untuk menjauhkan diri dari bahaya.
Kemudian Allah memerintahkan untuk memberikan sebagian dari hasil tanaman diwaktu panen kepada fakir miskin, kaum kerabat dan anak yatim, untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia. Ibnu Mundzir, Abu Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abi Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah ﷺ menafsirkan firman Allah: (al-An'am/6: 141) dengan, "berikan hak fakir miskin dari apa yang gugur dari tangkainya." Artinya gugur ketika dipanen.
Dalam hal ini, Mujahid berkata, "Apabila kamu sedang panen dan datang orang-orang miskin, maka pukullah tangkai buah yang kamu panen itu dan berilah mereka apa yang jatuh dari tangkainya; apabila kamu telah memisahkan biji dari tangkainya maka berilah mereka sebagian dari padanya. Apabila engkau telah menampi membersihkan dan mengumpulkannya serta telah diketahui berapa banyak kadar nilai dari hasil panen itu, maka keluarkanlah zakatnya."
Maimun bin Mihran dan Zaid bin al-A'sham meriwayatkan bahwa penduduk kota Madinah, bila mereka memanen kurma mereka membawa tangkai-tangkai kurma ke mesjid, lalu mereka letakkan di sana, maka berdatanganlah fakir miskin, lalu dipukulkannya tangkai kurma itu dan diberikannya kepada mereka kurma yang berjatuhan dari tangkainya. Menurut Sa'id bin Jubair, hal ini berlaku sebelum turunnya perintah zakat. Orang-orang Arab selalu memberikan sebagian dari hasil tanamannya untuk makanan binatang, sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Kebiasaan ini dilestarikan oleh Islam ketika memberlakukan wajib zakat (pada tahun kedua Hijriah dimana zakat hasil pertanian harus diberikan atau dikeluarkan segera begitu mereka panen, tanpa ditangguhkan).
Selanjutnya Allah melarang makan berlebih-lebihan, karena hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit yang mungkin membahayakan jiwa. Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya tidak menyukai hamba-Nya yang berlebih-lebihan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 141
“Dan, Dialah yang telah menimbulkan kebun-kebun yang dijunjungkan dan yang bukan dijunjungkan, dan pohon kurma, tumbuh-tumbuhan yang berlain-lain rasanya, … dan delima yang bersamaan dan yang bukan bersamaan."
Orang musyrikin itu telah mengaku dan percaya bahwa yang menjadikan seluruh alam ini memang Allah, Esa dan tidak bersekutu yang lain dengan Dia. Namun, dari hal mengatur dan menyelenggarakan alam itu, di sanalah mereka mempersekutukan yang lain dengan Allah. Mereka mengaku Allah yang menjadikan alam, tetapi dalam hal memelihara alam, mereka adakan sekutu-Nya. Mereka mengakui tauhid uluhiyah, tetapi mereka tidak mengakui tauhid rububiyah. Oleh sebab itu, mereka mau menyediakan hasil ladang atau hasil ternak, sebagian untuk Allah dan sebagian untuk berhala.
Kemudian, datanglah ayat ini menjelaskan tauhid rububiyah itu. Bukan saja Allah yang menciptakan yang mula-mula, bahkan Allah pun terus-menerus menciptakan dan menimbulkan. Dia yang menimbulkan kebun-kebun. Kalimat ansya-a, kita artikan menimbulkan. Karena seumpama sebidang sawah yang mula-mula digenangi air, kemudian ditanami benih maka berangsur-angsur benih tadi menjadi batang padi sampai berdaun dan sampai berbuah, mulanya menghijau padi muda, lalu menguning padi masak. Maka, Allah-lah yang memeliharasejakia masih butir-butirpadiyang mulai direndam akan dijadikan benih sampai tumbuh, berdaun dan berurat, berbuah, dan masak itu. Di ayat ini disebut berbagai macam isi kebun-kebun, di antaranya ialah yang di-junjungkan. Kata dijunjungkan kita jadikan arti ma'rusyaatin, yaitu ada berbagai tanaman yang kalau dibiarkan saja tumbuh di tanah, akan menjalar dan merambat. Maka, supaya ia berbuah dan berhasil yang baik, lalu dicarikan tongkatnya. Tongkatnya itu diriamai junjung. Seumpama junjung kacang dan junjung sirih. Maka, banyaklah macam hasil ladang yang suburnya karena dijunjungkan itu. Termasuk segala macam kacang, mentimun, labu, anggur, periya atau pare, lada atau merica, sirih, dan lain-lain. Kita artikan ma'rusyaatin dengan dijunjungkan karena di dalam kalimat itu terkandung Arsy, di-Arsy-kan, atau dijunjungkan tinggi. Diberi Arsy, artinya diberi tempat duduk yang layak. Kalau tidak, dia akan merambat saja di atas tanah, dan hasilnya tumbuh dengan tidak teratur. Dan, ada pula tumbuhan yang tidak dijunjungkan, yaitu segala macam yang berbatang, misalnya mangga, jeruk, durian, rambutan, duku, jambu dan sebagainya. Kemudian, disebutlah di dalam ayat buah-buahan yang biasa tumbuh di Tanah Arab, yaitu kurma, dan tumbuhan yang berlain-lain rasanya. Dengan menyebut tumbuhan yang berbagai macam rasanya ini, termasuk jugalah sayur-sayuran, yang bukan buahnya saja yang dimakan, bahkan termasuk daun dan pucuknya dan rasanya pun berlain-lain pula. Kemudian disebut zaitun. Yang selain dari buahnya yang dimakan, minyaknya pun dipentingkan pula. Kemudian disebut delima yang bersamaan rasanya dan yang tidak bersamaan. Maka, kalau kita bandirigkan buah-buahan yang disebut di daerah Hejaz tempat Al-Qur'an mulai diturunkan dengan buah-buahan di negeri yang lain pula, terutama di negeri kita, daerah khatulistiwa yang masyhur mempunyai berbagai ragam buah-buahan dan tanam-tanaman, bersyukurlah kita kepada Allah karena bagian yang terbesar dari penduduk alam negeri kita adalah pemeluk agama Islam dan golongan yang terbesar ialah golongan tani. Dengan adanya ayat-ayat seperti ini, menambahlah dekat mereka kepada Allah dan bertambahlah dalam ketauhidan mereka karena dapat menyaksikan kekayaan Allah setiap hari karena melihat pertumbuhan itu.
Ayat yang seperti ini menarik perhatian kita supaya memerhatikan pertumbuhan sua-tu kebun dari tanah datar yang baru dibersihkan sampai nanti menjadi ladang subur yang memberikan hasil.
Di tanah air kita, khususnya, dan di Asia Tenggara sampai ke Asia Timur, umumnya, tidak akan habis-habisnya keterharuan kita melihat perubahan sawah sejak musim menggenangkan air, hingga musim menanam, menyiangi, padi muda, padi kuning, dan musim menyabit atau mengetam. Inilah yang menyebabkan orang-orang tua dahulu kala sampai menganggap padi itu sebagai Tuhan dan menamainya Sang Hyang Sri. Sekarang dengan pelajaran tauhid, kita diperingatkan bahwa yang menumbuhkan itu semuanya, sampai memberikan hasil untuk hidup kita ialah Allah sendiri, tidak bersekutu dengan yang lain. Kalau padi diriamai Sang Hyang Sri atau Dewi Sri, ingatlah bahwa bukan dia yang menciptakan dirinya, melainkan Allah-lah yang memberikan hidup pada padi itu, dan bertumbuh, berbuah dan berhasil, untuk manusia.
Kemudian datanglah sambungan ayat, “Maka, makanlah dari buahnya apabila dia berbuah, dan keluarkanlah haknya di hari pengetamannya dan janganlah kamu berlebih-lebihan." Di dalam ayat ini disebutkanlah tiga ketentuan yang penting:
Pertama, Allah mengingatkan, jika yang ditanam itu telah tumbuh dan mengeluarkan hasil yang baik, silakan kamu makan. Memang itu telah disediakan untukmu oleh Allah sendiri. Dia adalah pemberian yang langsung dari Allah untuk kamu. Dia tumbuh di atas bumi kepunyaan Allah, disiram oleh air hujan pemberian Allah dan mengeluarkan hasil langsung dari Allah, tidak dicampuri oleh siapa pun.
Kedua, ketika kamu mengetam hasil itu atau menyabit atau memanen, janganlah lupa mengeluarkan haknya. Janganlah hendak dimakan seorang, tetapi ingatlah fakir-miskin, orang-orang kekurangan dan berilah mereka.
Ahli-ahli tafsir memperbincangkan soal ini agak panjang lebar. Ada di antara mereka mengatakan bahwa ayat ini telah mansukh, artinya tidak berlaku lagi hukumnya, sebab surah ini diturunkan di Mekah, sedangkan sesampai di Madiriah pada tahun kedua hi-jriyah telah diturunkan perintah zakat, yaitu perintah untuk mengeluarkan sepersepuluh hasil ladang yang telah sama diketahui itu. Akan tetapi, setengah ulama lagi tidak sesuai dengan pendapat yang mengatakan perintah ini mansukh. Mereka berkata, “Mengapa lekas-lekas saja ‘membekukan' suatu ajakan yang demikian penting di dalam Al-Qur'an? Bukankah Rasulullah ﷺ pun selain menganjurkan berbuat shadaqah-tathawwu. Apalagi corak masyarakat ini berbagai ragam. Ada orang yang hartanya tidak cukup se-nishab, padahal ketika dia memetik buah atau mengetam ada orang miskin di dekat itu? Bukankah pantas untuk menyapu bersih perasaan bakhil yang ada dalam hati tiap-tiap manusia, jika dia bersedekah atau memberi hadiah kepada orang miskin itu? Bukankah orang yang miskin itu mempunyai juga hak budi pada orang yang kaya? Di beberapa negeri orang-orang kampung bergotong-royong menolong menyabit, menuai, dan mengetam hasil sawah orang yang mampu. Bukankah selain dari hak zakat bagi orang yang mustahaq menerima zakat, orang yang datang menolong secara gotong-royong itu pun mempunyai hak buat diberi? Karena adat yang baik seperti demikian telah merata di negeri-negeri yang hidupnya berdasar pertanian (agraria)?
Menurut riwayat dari Ibnul-Mundzir, An-Nahhaas, Abusy-Syaikh dan Ibnu Mardawaihi dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi kita ﷺ ketika menerangkan maksud ayat, “Dan keluarkanlah haknya di hari pengetamannya" ialah tentang gandum-gandum yang terjatuh dari tangkainya. Mujahid pun meriwayatkan bahwa memang ketika mengetam, baik mengambil hasil gandum atau hasil kurma dan lain-lain, kalau hadir ke tempat itu orang miskin, hendaklah mereka diberi hadiah untuk menyenangkan hati mereka. Artinya, jangan ditunggu hasil itu dibawa pulang dahulu, melainkan berilah mereka saat di tengah sawah atau ladang itu juga.
Peraturan ini telah diturunkan di Mekah. Setelah sampai di Madiriah, barulah keluar peraturan zakat. Dengan keluarnya peraturan zakat, bukan berarti mansukh ayat ini, melainkan masih berlaku buat orang yang hartanya tidak cukup se-nishab supaya memberi kepada fakir-miskin ala kadarnya. Atau memberikan upah kepada orang-orang yang mengerjakan pemetikan dan pengetaman itu sebaik pekerjaan mereka selesai, jangan tunggu sampai pulang. Berikan sebelum kering keringat mereka. Sebab, itu adalah haknya sehingga dengan ayat ini, Islam lebih merekan seorang Muslim agar segera ingat akan kewajibannya. Karena, kalau orang yang mampu tidak lupa akan kewajibannya, niscaya orang miskin tidak lagi akan menuntut haknya dan tidak terjadi dendam dan benci di antara yang tidak mampu terhadap yang mampu.
Dan dengan demikian, orang-orang yang tidak mampu itu akan turut menjaga keamanan sawah dan ladang tersebut sebab ada hak mereka di dalamnya. Dan mereka pasti akan menerima hak itu pada waktu mengetam. Namun, kalau si mampu tidak mengingat kewajibannya, keamanan akan hilang sebab si miskin tadi merasa tidak ada sangkut paut mereka dengan hasil ladang itu, berapa pun hasil panennya kelak.
Setelah itu, tersebut pula kemestian yang ketiga, yaitu janganlah berlebih-lebihan, jangan boros, dan jangan royal,
“Sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang berlebih-lebihan."
Menurut tafsiran dari as-Suddi ialah jangan berlebih-lebihan atau jangan boros di dalam memberikan sedekah.
Akan tetapi, dapatlah kita pengertian yang jelas tentang boros ini bila ditilik surah al-A'raaf ayat 31,
“Dan, makanlah kamu, dan minumlah kamu, tetapi janganlah boros." (al-A'raaf: 31)
Sengaja kita pertalikan dengan ayat ini surah al-A'raaf karena kita mengalami bagaimana borosnya orang sehabis mengetam. Sebelum musim menuai atau panen kelihatan, betapa susahnya hidup orang kampung, terutama yang menggantungkan kepentingan-kepentingan hidup sehari-hari pada hasil kebun, sawah atau ladangnya. Kemudian setelah pulang padi, mereka tidak dapat mengendalikan diri lagi. Sebentar-sebentar bertanak, sebentar-sebentar makan. Sedangkan beras, mereka jual-jual dengan tidak mengingat kesusahan di belakang hari, segalanya hendak mereka beli sehingga kadang-kadang mereka lupa memperhitungkan persediaan agar jangan sampai kekurangan makanan hingga musim menyabit tahun depan.
Di daerah-daerah karet ketika harga karet membubung naik, orang belanja berlebih-lebihan, boros, dan royal. Tiba-tiba harga karet meluncur jatuh, mereka pun turut hancur jatuh karena persediaan tidak ada, sampai menjual tempat tidur atau membuka atap rumah buat dimakan. Kalau kehidupan agama dipegang teguh, dapatlah orang mengingat ujung ayat ini. Makanlah hasil ladangmu jika telah berbuah. Bayarkanlah hak orang yang patut menerima pada hari mengetam, dan selanjutnya janganlah boros berlebih-lebihan. Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan itu karena itu akan mencelakakan diri mereka sendiri. Hendaklah diingat pepatah nenek moyang, “Sedang ada jangan dimakan, sesudah tak ada barulah makan."
Beberapa tafsir yang besar-besar telah saya baca. Dan jarang sekali di antara mereka yang menampak hikmah larangan boros yang berlebih-lebihan yang berhubungan dengan kehidupan orang tani sesudah mengetam ini. Barulah saya melihat hal ini dengan jelas, setelah mengukur kehidupan bangsaku sendiri pemeluk Islam di mana-mana sehabis mengetam. Bukanlah saya banggakan diri bahwa pandanganku lebih luas dari pandangan ahli-ahli tafsir yang besar-besar itu, melainkan aku teringat akan kisah burung Hud-hud dengan Nabi Sulaiman, yang tersebut di dalam surah an-Naml, sekali-sekali burung Hud-hud yang kecil itu bisa juga mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui Nabi Sulaiman.
Kemudian ayat seterusnya,
Ayat 142
“Dan dari binatang-binatang ternak itu ada pengangkut dan (ada) sembelihan."
Sebagaimana kebun-kebun dan ladang-ladang menghasilkan buah-buahan berbagai ragam yang dijunjungkan dan yang bukan dijun-jungkan, demikian juga ternak yang terdiri dari kambing, biri-biri, unta dan lembu. Semuanya merupakan pemberian dan karunia Allah, tidak bercampur dengan yang lain. Jika kaum musyrikin mengadakan kebun dan ladang larangan dan ternak larangan, yang disediakan buat menghormati berhala, mengapa mereka berbuat begitu, padahal ternak itu, baik yang disediakan untuk pengangkutan maupun yang disembelih, semata-mata pemberian Allah, bukan pemberian berhala. Maka, berfirmanlah Allah selanjutnya, “Makanlah dari apa yang dikaruniakan kepada kamu oleh Allah." Baik hasil sawah, ladang, dan kebun, maupun hasil ternak dengan memakan dagingnya. Makanlah itu semuanya! Sebab, itu semua adalah karunia Allah,
“Dan, janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya dia terhadap kamu adalah musuh yang nyata."
Setanlah yang membawa langkah pada musyrik. Dialah yang menipu daya, merayu dan yang mengajarkan yang tidak-tidak sehingga kamu bisa tersesat sampai mengadakan binatang larangan yang bernama Bahirah, Saibah, Washilah. dan Haam yang sama sekali tidak ada dari Allah, hanya dari karangan-karangan kamu saja karena rayuan setan. Padahal, setan itu musuh kamu yang nyata yang selalu berdaya upaya menyesatkan kamu dari jalan Allah sehingga binatang ternak yang disediakan Allah buat pengangkutan atau buat disembelih dan dimakan dagingnya, kamu jadikan binatang larangan yang tidak boleh diganggu gugat.
Ayat 143
“Delapan berpasangan: dari biri-biri dua dan dari kambing dua"
Biri-biri sepasang; jantan dan betina. Kambing sepasang; jantan dan betina. Pasangan jantan dan betina ini menurunkan anak-anak dan berkembang biak menjadi binatang ternak untuk kamu makan atau untuk kamu ambil kulitnya atau bulunya."Tanyakanlah" wahai utusanku, kepada mereka yang membuat-buat peraturan tentang ternak yang dilarang memakannya itu: “Apakah dua yang jantan itu yang Dia haramkan ataukah dua yang betina?" Karena kamu mengatakan bahwa peraturan mengharamkan ini datang dari Allah juga, cobalah jelaskan yang mana diharamkan Allah, apakah bibit yang pertama yang jantan, baik biri-birinya atau kambingnya, ataukah yang betina? Sejak bila Allah mengharamkannya? “Ataukah yang dikandung dalam peranakan dua yang betina itu?" Kalau bibit yang pertama itu, baik kedua yang jantan atau kedua yang betina tidak diharamkan Allah sejak mulanya, apakah yang diharamkan itu sejak dalam kandungan kedua yang betina itu?
“Ceritakanlah kepadaku dengan pengetahuan, jika sungguh kamu orang-orang yang benar."
Artinya, Rasulullah ﷺ disuruh meminta keterangan kepada mereka bahwa binatang ternak yang asalnya semua halal, boleh untuk mengangkut atau boleh disembelih, tiba-tiba sekarang sudah ada saja yang haram dimakan dan ada pula yang haram dimakan hanya oleh perempuan saja, tetapi boleh dimakan oleh laki-laki. Sejak kapan Allah menurunkan peraturan ini? Cobalah kemukakan keterangannya dengan dasar ilmiah yang cukup. Kamu menyebut bahwa peraturan ini dari Allah juga datangnya, padahal Rasul yang dikenal menurunkan agama di negeri ini ialah Ibrahim dan Isma'il. Dari perantaraan kedua beliaulah Allah Ta'aala menurunkan per-aturan ini? Atau adakah keterangan Nabi yang lain? Siapa Nabinya itu? Cobalah jelaskan kalau pegangan yang kamu pertahankan ini adalah berdasar suatu ketentuan.
Ayat 144
“Dan dari unta dua dan dari lembu dua."
Masing-masing seekor jantan dan seekor betina pula. Pertanyaan seperti tadi pula, “Apakah dua yang jantan itu yang Dia haramkan ataukah dua yang betina? Atau yang dikandung oleh peranakan dua yang betina itu?" Cobalah terangkan dengan jelas dari mulai yang mana binatang-binatang ternak ini diharamkan, padahal semuanya itu dikaruniakan Allah pada pokoknya ialah buat pengangkutan dan buat disembelih? Bila masanya mulai diharamkan?
“Atau adakah kamu menjadi saksi, ketika Allah mewasiatkan kamu dengan ini?" Kalau ada yang menjadi saksi, siapakah saksi itu? Kepada siapa wahyu tentang ini diturunkan?
Niscaya tidak seorang jua pun di antara mereka yang dapat menjawabnya karena memang peraturan itu tidak sebuah juga yang datang dari Allah. Dan, tidak ada yang akan tampil menjadi saksi karena memang tidak ada yang menyaksikan.
Akhirnya, datanglah teguran keras dari Allah, “Maka, siapakah yang lebih zalim da-ipada orang yang membuat-buat atas nama Allah akan suatu dusta karena hendak menyesatkan manusia dengan tidak menurut ilmu?" Niscaya tidak ada lagi suatu kezaliman yang melebihi zalimnya dari ini, yaitu membuat-buat, mengarang-ngarang sendiri suatu peraturan yang dusta. Dikatakan peraturan Allah, padahal bukan dari Allah, padahal maksud hanya semata-mata menipu dan menyesatkan manusia tidak dengan ilmu. Perbuatan dan karangan-karangan yang datang dari pemimpin yang bodoh untuk memengaruhi pengikut mereka, manusia-manusia yang pandir.
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang Zalim."
(ujung ayat 144)