Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَثَلُ
dan perumpamaan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنفِقُونَ
(mereka) membelanjakan
أَمۡوَٰلَهُمُ
harta mereka
ٱبۡتِغَآءَ
karena mencari
مَرۡضَاتِ
keridhaan
ٱللَّهِ
Allah
وَتَثۡبِيتٗا
dan untuk keteguhan
مِّنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡ
diri/jiwa mereka
كَمَثَلِ
seperti
جَنَّةِ
sebuah kebun
بِرَبۡوَةٍ
didataran tinggi
أَصَابَهَا
menimpanya/menyiramnya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَـَٔاتَتۡ
maka mendatangkan/menghasilkan
أُكُلَهَا
makanannya/buahnya
ضِعۡفَيۡنِ
dua kali lipat
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
يُصِبۡهَا
menimpanya/menyiramnya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَطَلّٞۗ
maka hujan gerimis
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
dengan apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
بَصِيرٌ
Maha Melihat
وَمَثَلُ
dan perumpamaan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنفِقُونَ
(mereka) membelanjakan
أَمۡوَٰلَهُمُ
harta mereka
ٱبۡتِغَآءَ
karena mencari
مَرۡضَاتِ
keridhaan
ٱللَّهِ
Allah
وَتَثۡبِيتٗا
dan untuk keteguhan
مِّنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡ
diri/jiwa mereka
كَمَثَلِ
seperti
جَنَّةِ
sebuah kebun
بِرَبۡوَةٍ
didataran tinggi
أَصَابَهَا
menimpanya/menyiramnya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَـَٔاتَتۡ
maka mendatangkan/menghasilkan
أُكُلَهَا
makanannya/buahnya
ضِعۡفَيۡنِ
dua kali lipat
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
يُصِبۡهَا
menimpanya/menyiramnya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَطَلّٞۗ
maka hujan gerimis
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
dengan apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
بَصِيرٌ
Maha Melihat
Terjemahan
Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan harta mereka untuk mencari rida Allah dan memperteguh jiwa mereka adalah seperti sebuah kebun di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, lalu ia (kebun itu) menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, hujan gerimis (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Dan perumpamaan) nafkah dari (orang-orang yang menafkahkan harta mereka guna mencari) atau mendapatkan (keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka) maksudnya untuk memastikan pahalanya, berbeda halnya dengan orang-orang munafik yang tidak mengharapkannya sama sekali karena pada dasarnya sudah tidak mempercayainya (seperti sebuah kebun) atau taman (di sebuah rabwah) atau rubwah, artinya suatu dataran yang tinggi rata (ditimpa oleh hujan lebat, hingga memberikan) artinya menghasilkan (buahnya) atau hasil panennya (dua kali lipat) atau secara berganda. (Jika tidak disiram oleh hujan lebat, maka oleh hujan gerimis) yang memadai disebabkan letaknya yang tinggi. Tegasnya ia tetap berbuah dengan lebatnya, biar hujan yang menimpanya lebat atau rintik-rintik. Demikian pula halnya nafkah yang disebutkan tadi, di sisi Allah ia tetap berkembang, biar sedikit atau banyak. (Dan Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan) dan akan membalasnya dengan sebaik-baiknya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 265
Dan perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian perbuat.
Ayat 265
Ayat ini mengandung perumpamaan mengenai orang-orang mukmin yang menginfakkan hartanya demi memperoleh rida Allah, agar Allah rida kepada diri mereka.
“Dan untuk memperteguh jiwa mereka.” (Al-Baqarah: 265)
Yakni mereka merasa yakin dan pasti bahwa Allah ﷻ akan membalas amal perbuatan mereka dengan balasan pahala yang berlimpah (sehingga hati mereka menjadi teguh). Semakna dengan ayat ini adalah sebuah hadits shahih yang muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim predikat sahihnya), disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang puasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala (rida) Allah.”
Yakni dengan penuh keimanan bahwa Allah-lah yang mensyariatkan ibadah puasa dan Dia pasti membalas dengan pahala di sisi-Nya.
Menurut Asy-Sya'bi, makna firman-Nya: “Dan untuk memperteguh jiwa mereka.” (Al-Baqarah: 265). Artinya percaya dan yakin, sebagai ungkapan yakin dan percaya dirinya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, Abu Saleh, dan Ibnu Zaid. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut Mujahid dan Al-Hasan, mereka meneliti ke manakah mereka mengalokasikan sedekah mereka.
Firman Allah ﷻ: “Seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi.” (Al-Baqarah: 265)
Yaitu seperti sebuah kebun yang ada di atas bukit Ar-rabwah, menurut jumhur ulama artinya tempat yang tinggi, yakni dataran tinggi.
Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak ditambahkan bahwa di samping itu mengalir padanya sungai-sungai.
Ibnu Jarir mengatakan, sehubungan dengan lafal rabwah ini ada tiga dialek, yakni tiga bacaan mengenainya. Ada yang membacanya rubwah dengan huruf ra yang di-dammah-kan, menurut qiraat kebanyakan ulama Madinah, Hijaz, dan Irak. Ada yang membacanya rabwah, menurut qiraat ulama negeri Syam dan Kufah. Menurut suatu pendapat, bacaan ini menurut dialek Bani Tamim. Ada yang membacanya ribwah dengan memakai huruf ra yang di-kasrah-kan, menurut suatu pendapat hal ini merupakan qiraat Ibnu Abbas.
Firman Allah ﷻ: “Yang disiram oleh hujan lebat.” (Al-Baqarah: 265)
Yang dimaksud dengan wabil adalah hujan yang deras, seperti keterangan yang telah disebutkan sebelumnya.
“Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat.” (Al-Baqarah: 265)
Yang dimaksud dengan ukul ialah buahnya. Ia mendatangkan buahnya dua kali lipat dibandingkan dengan hasil kebun lainnya.
“Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun memadai.” (Al-Baqarah: 265)
Menurut Adh-Dhahhak, yang dimaksud dengan lafal fatallun ialah rintik-rintik, yakni hujan gerimis. Dengan kata lain, kebun yang ada di tempat yang tinggi ini tidak pernah gersang selamanya. Karena jika tidak disirami oleh hujan yang lebat, maka ada hujan gerimis, dan hujan gerimis pun sudah cukup baginya.
Demikian pula amal orang mukmin, tidak pernah sia-sia, melainkan diterima oleh Allah dan diperbanyak pahalanya serta dikembangkan sesuai dengan jerih payah setiap orang yang beramal. Karena itulah pada penghujung ayat ini disebutkan:
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian perbuat.” (Al-Baqarah: 265)
Yakni tiada sesuatu pun dari amal perbuatan hamba-hamba-Nya yang samar bagi-Nya.
Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida dan pahala dari Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka dalam rangka melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, seperti pemilik sebuah kebun yang subur, hijau dengan pepohonan dan menghasilkan buah-buahan yang baik yang terletak di dataran tinggi sehingga mendapat sinar matahari dan udara yang cukup. Selain itu, semakin tinggi sebuah dataran, akan semakin jauh dari sumber air yang mengakibatkan akar tumbuh-tumbuhan menjadi semakin memanjang. Serabut yang berfungsi menyerap makanan pun menjadi banyak, sehingga makanan yang membentuk zat hijau daun (klorofil) menjadi banyak pula. Dengan demikian, pohon itu menjadi produktif menghasilkan buah. Tempat kebun itu berada di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat yang tercurah langsung dari langit; sebagiannya diserap oleh tanah tempat akar-akar tumbuhan menghunjam, sebagian lainnya yang tidak dibutuhkan mengalir ke bawah dan ditampung oleh yang membutuhkannya. Selain sebagai sumber makanan, hujan yang deras itu juga berfungsi melunakkan zat-zat yang diperlukan tumbuhan, membersihkannya dari zat-zat yang menghambat pertumbuhan dan menjaga hama. Maka tidak heran jika kemudian kebun itu menghasilkan buahbuahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun atau hujan gerimis dengan sedikit angin yang lembut pun memadai, sebab tanahnya subur dan berada di ketinggian yang memungkinkan untuk menghasilkan buah dengan baik. Begitulah, infak yang dikeluarkan dengan hati yang ikhlas, sedikit atau banyak, akan diterima dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Yang dapat mengenali niat dan yang disembunyikan seseorang hanya Allah, sebab Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, dan mengetahui antara yang ikhlas dalam beramal dengan niat ria. Sekali lagi Allah memberikan perumpamaan tentang orang yang tidak ikhlas dalam berderma. Ayat ini dimulai dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada siapa pun, adakah salah seorang di antara kamu yang ingin memiliki kebun yang terdapat di dalamnya pohon kurma dan pohon anggur yang mengalir di bawah pohon-pohon-nya sungaisungai yakni memiliki sumber air yang cukup. Bahkan di sana dia memiliki segala macam buah-buahan. Kemudian datanglah masa tuanya sehingga dia tidak bisa lagi bekerja di kebun tersebut dan hanya bisa mengandalkan hasil kebun sedang dia memiliki keturunan yang masih kecil-kecil yang belum bisa bekerja dan masih membutuhkan hasil dari kebun tersebut. Lalu dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kebun itu ditiup angin keras yang me-ngandung api, sehingga terbakar-lah kebun tersebut dan mengha-nguskan semua pohon yang ada. Begitulah perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya karena ria, membangga-banggakan pemberiannya kepada orang lain dan menyakiti hati orang yang diberi. Nanti di akhirat saat dia sangat membutuhkan ganjaran amal tersebut, dia tidak menjumpainya. Amal perbuatannya hangus dan punah karena niat yang tidak ikhlas dan sikap yang menyakiti orang lain. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkannya sehingga kamu berupaya untuk ikhlas dalam berinfak. Sifat ria merusak pahala amal seseorang seperti halnya kebakaran menghanguskan kebun.
.
Infak diumpamakan sebagai sebidang kebun yang mendapat siraman air hujan yang cukup, sehingga kebun itu memberikan hasil dua kali lipat dari hasil yang biasa. Andaikata hujan itu tidak lebat, maka hujan gerimis pun cukup, karena kebun tersebut terletak di dataran tinggi yang mendapatkan sinar yang cukup serta hawa yang baik, dan tanahnya pun subur.
Ayat ini bermunasabah dan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Dilihat dari sisi mekanisme erosi, adanya penutup lahan berupa pohon pohonan atau tumbuhan dapat menghindarkan atau mengurangi resiko terjadinya erosi. Hujan di kebun pegunungan bukan penyebab erosi melainkan memberikan manfaat berupa peningkatan hasil untuk tanah yang dibudidayakan sebagai kebun. Dalam hal ini, pembelanjaan harta untuk mencari rida Allah diumpamakan sebagai kebun di pegunungan yang disirami hujan dan menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Seandainya tidak ada hujan lebat, di kebun pegunungan, hujan gerimis bahkan embun pun sudah memadai untuk menghasilkan buah-buahan yang baik.
Dalam pandangan ilmu ekologi, keadaan yang digambarkan dalam ayat 265 Surah al-Baqarah di atas memang betul terjadi. Fenomena alam ini jelas memperlihatkan kebesaran Allah yang mengatur dengan sangat rinci akan alam ini, sehingga semua mahluk mempunyai kesempatan untuk bertasbih kepada-Nya.
Embun, atau lebih tepatnya disebut kabut, adalah awan yang bersentuhan langsung dengan tanah atau pepohonan. Dalam bahasa Inggris, untuk fenomena alam yang satu ini digunakan dua kata, yaitu fog dan mist. Perbedaan keduanya hanyalah pada kepadatan material awan. Kata fog digunakan apabila kabut menyebabkan jarak pandang kurang dari satu kilometer. Sedangkan mist, adalah keadaan kabut yang mengakibatkan jarak pandangnya kurang dari dua kilometer.
Kabut berbeda dengan awan lainnya hanya karena awan itu bersentuhan dengan permukaan bumi. Keadaan ini dapat terjadi baik di dataran rendah maupun pegunungan. Kabut muncul saat terjadi perbedaan suhu udara dan titik beku air sebesar 3oC atau kurang. Kabut dimulai saat uap air memadat menjadi butiran air yang sangat halus di udara. Pemadatan uap air inilah yang kemudian tampak dan menjadi apa yang dinamakan awan. Kabut umumnya terjadi di kawasan yang sangat lembab. Keadaan lembab dapat terjadi karena ada penambahan uap air di udara, atau suhu udara yang menurun. Akan tetapi, kadangkala kabut dapat terjadi tanpa adanya syarat-syarat tersebut. Pada umunya, kabut terjadi saat kelembaban udara mencapai 100%. Pada kondisi ini, udara tidak lagi dapat mengikat uap air yang ada di udara.
Klasifikasi kabut dapat dilakukan karena perbedaan penyebab, sifat, dan lainnya. Misal ada kabut yang dapat terjadi dan menghilang dalam waktu singkat. Kabut ini biasa disebut sebagai flash fog. Juga ada kabut yang dikenal dengan sea fog. yang terjadi di atas permukaan air laut. Di sini, terjadinya kabut sangat dipengaruhi oleh kehadiran garam. Partikel garam yang renik akan memenuhi udara yang ada di atas permukaan air laut oleh berbagai sebab. Antara lain disebabkan oleh angin atau percikan pecahan ombak dan sebab-sebab lainnya. Partikel garam renik ini kemudian akan berperan sebagai pengumpul uap air. Ada pula tipe kabut yang disebabkan perubahan suhu saat senja atau pagi hari atau suatu keadaan saat ada angin dingin yang melewati kawasan perairan yang hangat, atau air hujan yang melewati lapisan udara yang panas sehingga terjadi penguapan.
Kabut seringkali menghasilkan hujan dalam bentuk gerimis. Keadaan ini umumnya terjadi karena kelembaban udara sudah melebihi angka 100%. Segera awan akan berubah menjadi butiran air hujan. Terutama apabila lapisan kabut naik ke atas dan bersentuhan dengan suhu dingin di bagian atas.
Dalam kaitannya dengan kabut, para ahli ekologi menemukan suatu jenis hutan yang unik karena berasosiasi sangat erat dengan kabut. Hutan ini biasa disebut dengan cloud forest atau fog forest. Hutan demikian ini menunjuk pada hutan hujan basah di kawasan dataran tinggi, baik di pegunungan tropis atau subtropis. Umumnya, lapisan kabut ini akan menebal pada bagian pucuk pohon-pohon hutan (canopy). Umumnya hutan kabut tidak terlalu luas dan terbatas hanya pada kawasan dimana lingkungan atmosfer cocok untuk membentuk kabut.
Hutan ini juga ditandai oleh kabut yang hampir selalu hadir, sehingga memperkecil kemungkinan tumbuhan memperoleh sinar matahari langsung. Pohon-pohon pada kawasan ini ditandai dengan tumbuh lebih pendek dan kecil. Ukuran ini sangat berbeda dengan jenis sama dan tumbuh di dataran rendah atau bagian pegunungan lain yang memperoleh sinar matahari penuh. Kelembaban yang tinggi mendorong tumbuhnya tanaman epifit yang menempel di batang dan cabang pohon, yang sebagian besar didominasi oleh kelompok lumut maupun paku-pakuan. Kehadiran tumbuhan merambat dan lumut ini juga menjadi ciri bahwa ini adalah hutan kabut.
Di dalam hutan kabut, sumber air utamanya adalah butiran renik air yang berasal dari kabut. Kondensasi uap air kabut akan terjadi terutama di daun pepohonan, dan jatuh dalam bentuk butiran air ke lantai hutan.
Suatu fenomena alam yang berada di kawasan yang sangat jauh dari tempat turunnya Al-Qur'an, tetapi dijelaskan dengan rinci dalam Al-Qur'an, merupakan bukti bahwa kitab suci ini bukan karangan manusia. Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui yang dapat menurunkan ayat seperti ini.
Dikatakan, bahwa yang diumpamakan dengan kebun itu adalah orang yang menafkahkan hartanya, karena dia menyadari bahwa dia telah menerima rahmat yang banyak dari Allah, maka dia bersedia untuk memberikan infak yang banyak; walaupun suatu ketika dia memperoleh rahmat yang sedikit, namun dia tetap memberikan infak.
Membelanjakan harta di jalan Allah atau berinfak, benar-benar dapat memperteguh jiwa. Sebab cinta kepada harta benda telah menjadi tabiat manusia, karena sangat cintanya kepada harta benda terasa berat baginya untuk membelanjakannya, apa lagi untuk kepentingan orang lain. Maka jika kita bersedekah misalnya, hal itu merupakan perbuatan yang dapat meneguhkan hati untuk berbuat kebaikan, serta menghilangkan pengaruh harta yang melekat pada jiwa.
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wallahu bima ta'maluna bashir (Allah senantiasa melihat apa-apa yang kamu kerjakan). Ini berarti bahwa Allah selalu mengetahui kebaikan-kebaikan yang dilakukan hamba-Nya, antara lain berinfak dengan niat yang ikhlas, maka Dia akan memberikan pahalanya. Sebaliknya, Allah juga mengetahui semua perbuatan yang tidak baik, maka Dia akan membalasnya dengan azab.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 264
“Wahai, orang-orang yang beriman! Janganlah kamu rusakkan sedekah kamu dengan membangkit-bangkit dan menyakiti."
Terlebih dahulu Allah menyebut tuah dari manusia yang diseru dengan ayat ini, yaitu orang yang beriman. Dengan menyebut itu terlebih dahulu, dapatlah orang merasakan, kalau dia mengaku beriman, membangkit-bangkit dan menyakiti pihak yang diberi sedekah adalah merusakkan sedekah itu sendiri. Shadaqah (sedekah), baik kepada orang yang perlu dibantu maupun pada jalan lain, yakni keperluan-keperluan umum untuk pembangunan masyarakat Islam, gunanya ialah untuk membantu dan untuk menunjukkan kesucian hati. Tidak untuk yang lain. Maka, kalau dimulai membangkit-bangkit atau menyakiti, niscaya habislah arti sedekah itu. Lebih baik tidak memberi, tetapi dengan budi yang baik, daripada memberi, tetapi dihamun dicerca-kan. Maka, kalau telah ditentukan oleh Allah sedekah itu telah rusak karena dirusakkan sendiri oleh yang memberikannya dengan membangkit-bangkit dan memaki, apa artinya lagi? “.Sebagaimana orang yang membelanjakan hartanya dalam keadaan riya terhadap manusia, dan tidak dia beriman kepada Allah dan Hari Kemudian." Dengan lanjutan ini sudah terang bahwa membangkit dan menyakiti orang yang diberi bukanlah sedekah orang yang beriman, melainkan sedekah orang yang riya, yaitu orang beramal karena mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia, mencari nama dan sebagainya. Dia memberi bukan karena Allah, melainkan memasang reklame. Terutama sebagaimana di zaman kita sekarang ini; surat-surat kabar dapat menyiarkan berita si anu menderma sekian juta. Orang seperti ini berderma bukanlah karena percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Sehingga, kalau datanglah orang di satu waktu memohonkan bantuannya, tetapi tidak akan tersiar di surat-surat kabar, tidaklah dia akan memberi, dan kalaupun diberinya, hanyalah pemberian yang menambah sakit hati saja. Untuk perbuatan foya-foya, dia berderma sepuluh juta dan langsung masuk ke surat-surat kabar, sedangkan untuk mendirikan sebuah rumah sakit dalam dakwah Islam diberinya saja 500 ribu rupiah, itu pun dengan berjanji berulang-ulang dan dijemput berulang-ulang.
“Perumpamaan orang ini adalah laksana satu batu tandus yang di atasnya ada tanah-debu, lalu dia ditimpa oleh hujan lebat maka jadilah dia licin."
Suatu perumpamaan yang amat jitu dari Allah; hati orang yang seperti ini diumpamakan dengan sebuah batu besar yang tandus, yang walaupun ada tanah di atas datarannya, hanyalah tanah-debu dibawa angina. Karena, itu, tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah singgah itu bukanlah tumbuh-tumbuhan yang bisa berurat ke bawah sebab yang menanti di bawahnya hanya batu belaka. Kemudian datanglah hujan yang sangat lebat. Maka, tanah yang tertumpuk di atas batu tandus itu pun disapu habis oleh air, turut mengalir dengan air hujan itu ke bawah sehingga batu itu menjadi licin kembali. Kalaupun ada terkumpul pula tanah di sana kemudiannya, tidaklah diharap dia akan menumbuhkan apa-apa sebab hujan akan datang pula membersihkan tanah itu dari atas batu itu dan dia pun akan licin kembali."Tidaklah mereka berdaya sesuatu pun atas apa yang telah mereka usahakan itu." Artinya, janganlah mengharapkan hasil baik dari batu licin, tandus, dan gersang. Memang dasar untuk tumbuh urat itu benarlah yang tidak ada padanya.
Yang dimaksud di sini ialah penderma-penderma yang menghamun, mencerca sedekah itu, membangkit-bangkitkan dan menyakiti, walaupun berulang-ulang dia memberi sedekah, samalah saja dengan berulang-ulang tumbuh rumput di atas tanah yang disinggahkan angin di atas batu gersang tadi, hartanya keluar, tetapi nilainya di sisi Allah dan di sisi manusia tidak ada.
Di dunia kian lama nilainya kian jatuh, sedangkan di akhirat tidak mendapat pahala dari Allah. Sehingga, satu waktu dia akan dijadikan orang catatan, dijadikan peringatan, “Jangan meminta bantuan kepadanya. Dia suka membangkit dan menyakiti."
Penutup ayat,
“Dan Allah tidaklah memberikan petunjuk kepada orang yang kafir."
Teranglah bahwa kalau dia tidak dipuji, dia akan berhenti bersedekah. Walaupun dia mengakui beragama Islam, sudah sama saja keadaannya dengan orang yang kafir. Kian lama dia akan kian hanyut, petunjuk tidak akan datang. Sebab itu, harta bendanya tidak akan membawa berkah baginya.
Sebaliknya,
Ayat 265
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka karena mengharapkan ridha Allah dan untuk meneguhkan (keyakinan) dalam diri mereka, adalah laksana sebuah kebun di tanah subur, ditimpa dia oleh hujan maka datanglah hasilnya berlipat dua."
Orang-orang yang mengeluarkan harta benda karena mengharapkan ridha Allah, sebab insaf bahwa benda itu adalah semata-mata pemberian Allah kepadanya. Dia insaf bahwa dia hanya sebagai saluran saja dari
Allah untuk menyampaikan bantuan Tuhan kepada hamba-Nya dan dia merasa berbahagia sekali karena dapat berbuat baik. Di kala memberikan bantuan kepada orang yang susah, dibawanyalah perbandingan kepada dirinya sendiri bahwa Allah pun Mahakuasa membuat nasibnya jelek sebagaimana nasib orang yang dibantunya itu. Dahulu, ketika dia lahir ke dunia, tidaklah dia membawa apa-apa. Sekarang, dia telah hidup berusaha; usahanya itu diberi hasil oleh Allah, padahal banyak orang lain berusaha pula, tetapi belum diberi hasil. Tanda syukurnya kepada Allah, dia pun sudi mengeluarkan hartanya, dan lagi, memberikan bantuan kepada orang lain atau kepada maslahat umum itu diambilnya untuk menambah teguh keyakinan dalam dirinya sendiri. Sebab, setiap dia memberi, tiap terasa pula olehnya kepalanya menjadi ringan, pikirannya terbuka. Tidak pernah dia merasa bahwa dengan banyak memberi, dia menjadi rugi. Malahan bertambah banyak diperbuat muara, bertambah besarlah timbul hulunya.
Orang yang seperti ini diumpamakan kebun juga, tetapi kebun di tanah subur, sebagaimana lawan dari tanah yang diterbangkan angin ke atas batu tandus tadi, yang habis mengalir bersama air hujan, hingga licin kembali batu yang dia tinggalkan. Ini adalah kebun di tanah subur. Tanah yang subur ialah yang baik bunga tanahnya dan teratur pula embusan angin serta cahaya matahari menyinari tempat itu. Tanah yang memang subur ditimpa lagi oleh air hujan niscaya bertambah subur dan mendatangkan hasil lipat dua. Kesuburannya sendiri sebe-lum datang hujan telah mendatangkan hasil; sekarang turun pula hujan maka dia pun memberi hasil lagi lebih banyak, bahkan lipat dua."Maka walaupun dia tidak ditimpa hujan, hujan rintik pun jadilah!' Namun dia akan subur juga sebab memang dasarnya yang subur, bahkan embun yang turun tengah malam dan naik lagi ke udara apabila matahari mulai tinggi, sudah cukup juga.buat membasahinya.
“Dan Allah, atas apa yang kamu kerjakan adalah melihat."
Allah kemudian mempergunakan lagi suatu perumpamaan yang lebih menyinggung perasaan halus manusia, jika ia memang sudi mempergunakan perasaan, yaitu,
Ayat 266
“Adakah suka seseorang di antara kamu bahwa ada baginya sebuah kebun dari kurma dan anggun, yang mengalir padanya sungai-sungai, dan ada pula baginya di kebun itu berbagai macam buah-buahan."
Di pangkal ayat ini digambarkanlah suatu kebun yang sangat disukai oleh peladang dan petani. Di negeri tempat ayat diturunkan, di Tanah Arab dan seluruh Timur Tengah, kebun kurma dan anggur yang di dalamnya ada pula sungai mengalir, adalah kebun yang sangat dicita-citakan. Kadang-kadang dapat pula disisipi dengan buah-buahan yang lain. Kita pun dapatlah mengambil kias bandingan dengan kebun kelapa di Minahasa atau kebun karet di Kalimantan, atau sawah-sawah yang luas di Sulawesi yang cukup pengairannya, atau kebun cengkeh di Solok Sumatra Barat yang memberi hasil tiap pekan, dapat pembeli makanan dan pakaian.
“Dan dia pun telah dijelang tua, dan dia pun mempunyai anak-cucu yang lemah-lemah." Bertambah terasalah kepentingan kebun tadi; kebun satu-satunya yang telah diusahakan oleh seorang ayah di kala badannya masih kuat dan sekarang kebun itu telah memberi hasil, tetapi si ayah yang berusaha telah pula mulai tua. Hanya inilah satu-satunya yang diharapkan oleh orang tua itu, akan menjadi peninggalan kepada anak-cucunya yang melarat karena kekayaan lain tidak ada. Kalau kebun itu tidak ada lagi atau tidak memberikan hasil yang menyenangkan lagi, akan sengsaralah anak-cucu si tua itu. Tiba-tiba, “Maka menyeranglah kepadanya angin puting beliung" Artinya, sedang segala pengharapan, baik oleh si tua maupun anak-cucu sangat digantungkan kepada kebun satu-satunya yang subur itu, tiba-tiba datanglah angin puting beliung, yaitu angin yang berpusar-pusar dengan cepatnya, di se-tumpak tanah, lalu membongkari sekalian apa yang dilandanya. Kalau angin puling beliung itu beredar di laut, dia pun mengisap air ke udara, tiang kapal bisa dipatahkannya, bahkan perahu bisa diangkatnya dua-tiga meter ke udara dan kelak jatuh dan terbalik atau pecah. Kalau di darat, dia pun bisa membongkar pohon-pohon hingga tumbang, bahkan rumah-rumah bisa hancur, diangkat dan diterbangkannya."Yang padanya ada api." Angin itu pun membawa api atau ada api di dekat itu yang menjadi bertambah menyala oleh karena pusaran angin itu. Ketika angin itu saja yang berpusar, buah-buahan jadi gugur. Kalau ada pula api, segalanya akan terbakar."Maka terbakarlah (kebun itu)" Demikianlah Allah mengemukakan suatu perumpamaan yang seram atas sedekah yang rusak dan hancur, karena dihamun dicercakan, dibangkit-bangkit dan dijadikan sebab buat menyakiti orang yang dibantu atau pekerjaan yang disokong. Pikirkanlah bagaimana perasaan orang tua tadi, awak sudah tua dan anak-cucu pun banyak, tiba-tiba kebun harapan satu-satunya habis terbakar dengan tidak disangka-sangka. Akan dimulai lagi membuka kebun baru, tenaga pun tak ada lagi sebab awak sudah tua, sedangkan anak-cucu sudah melarat. Sampai demikianlah bahaya ngeri yang menimpa orang yang mengeluarkan harta benda karena riya, karena membangkit-bangkit dan menyakiti itu. Sangat berbeda dengan orang yang berkebun di tanah subur tadi. Di penutup ayat berfirmanlah Tuhan,
“Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu berpikir."
(ujung ayat 266)