Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱللَّهُ
Allah
يَسۡتَهۡزِئُ
akan memperolok-olok
بِهِمۡ
kepada mereka
وَيَمُدُّهُمۡ
dan membiarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kedurhakaan mereka
يَعۡمَهُونَ
terombang-ambing
ٱللَّهُ
Allah
يَسۡتَهۡزِئُ
akan memperolok-olok
بِهِمۡ
kepada mereka
وَيَمُدُّهُمۡ
dan membiarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kedurhakaan mereka
يَعۡمَهُونَ
terombang-ambing
Terjemahan
Allah akan memperolok-olokkan dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
Tafsir
(Allahlah yang memperolok-olokkan mereka) artinya membalas olok-olokkan itu dengan memperolok-olokkan mereka pula (dan membiarkan mereka) terpedaya (dalam kesesatan mereka) yakni melanggar batas disebabkan kekafiran (terumbang-ambing) dalam keadaan bingung tanpa tujuan atau pegangan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-15
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka berkata, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah berolok-olok." Allah akan (membalas) olok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
Ayat 14
Allah ﷻ berfirman, "Apabila orang-orang munafik bertemu dengan orang-orang mukmin, mereka berkata, 'Kami beriman'." Mereka menampakkan kepada kaum mukmin seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat dengan kaum mukmin. Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mendapat bagian ghanimah (harta rampasan perang) dan kebaikan yang diperoleh kaum mukmin.
Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud adalah bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang lain. Lafal khalau mengandung makna insharafu, yakni kembali, karena ia muta'addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi'il yang tidak disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa ila di sini bermakna ma'a, yakni apabila mereka berkumpul bersama setan mereka tanpa ada orang lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih tepat, yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir. As-Suddi mengatakan dari Abu Malik, khalau artinya pergi menuju setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka yang terdiri dari kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan kaum munafik. As-Suddi di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ, bahwa yang dimaksud dengan setan-setan mereka dalam firman-Nya, "Waidza khalau ila syayathinihim," adalah para pemimpin kekafiran mereka.
Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat adalah apabila mereka kembali kepada teman-temannya. Teman-teman mereka disebut setan-setan mereka. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka," yakni yang terdiri dari kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Mujahid mengatakan bahwa makna syayathinihim adalah teman-teman mereka dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayathinihim adalah para pemimpin dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang mirip dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayathin artinya segala sesuatu yang membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (Al-An'am: 112). Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?" Nabi ﷺ menjawab, 'Ya."
Qalu inna ma'akum, mereka berkata, "Sesungguhnya kami bersama kalian." Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah "sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, Innama nahnu mustahziun, sesungguhnya kami hanya mengajak dan mempermainkan mereka." Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka berkata, "Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad." Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.
Ayat 15
Sebagai bantahan dari Allah ﷻ terhadap perbuatan orang-orang munafik itu, maka Allah ﷻ berfirman: “Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka” (Al-Baqarah: 15). Ibnu Jarir mengatakan, Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dialah yang akan melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian). Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa." (Al-Hadid: 13). Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman: “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka” (Ali Imran: 178). Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang mirip dengannya merupakan ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah ﷻ terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan pengertian tersebut. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lain mengatakan bahwa ejekan Allah terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah terhadap mereka karena mereka telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.
Ibnu Jarir juga mengatakan, "Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan seperti ini dan yang serupa merupakan ungkapan pembalikan." Keadaannya sama dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata dia dapat membalikkan tipuan lawannya, "Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang menipuku)." Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan; melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang akibat dari apa yang diperbuat mereka. Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (Ali Imran: 54). “Allah akan (membalas) olok-olok mereka” (Al-Baqarah: 15). Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri (barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya).
Ulama lain mengatakan bahwa firman-Nya: “Sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olok mereka” (Al-Baqarah: 14-15). “Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka” (An-Nisa: 142). “Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka” (At-Taubah: 79). “Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka” (At-Taubah: 67). Demikian pula ayat-ayat lain yang semakna, semuanya merupakan berita dari Allah ﷻ bahwa Dia pasti akan memberikan balasan terhadap mereka dengan mengolok-olok dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan siksa-Nya kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksa-Nya, hanya dari segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda.
Keadaannya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (Asy-Syura: 40). “Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian” (Al-Baqarah: 194). Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya, sedangkan makna yang kedua mengandung pengertian keadilan. Lafal yang dipakai pada keduanya sama, tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna yang sejenis di dalam Al-Qur'an diartikan dengan pengertian seperti ini.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lain mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan keadaan orang-orang munafik; apabila mereka berkumpul dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka berkata, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap yang kami perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olok mereka." Maka Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah menampakkan kepada mereka sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya, yaitu azab dan siksa.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini, mengingat tipu daya, makar, dan olok-olok secara main-main dan tidak ada gunanya merupakan hal yang mustahil dilakukan oleh Allah ﷻ menurut kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti. Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat dengan apa yang telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Allahu yastahzi-u bihim," artinya Allah mengolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap tindakan mereka.
Firman Allah ﷻ : dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15) Menurut As-Suddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ, yamudduhum artinya Allah membiarkan mereka. Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum adalah menambahkan kepada mereka, seperti makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka! Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar” (Al-Muminun: 55-56). Dan firman Allah ﷻ: “Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka sadari” (Al-A'raf: 182). Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa baru, maka Allah memberi mereka nikmat baru.
Tetapi pada hakikatnya hal itu merupakan azab, seperti makna yang terkandung di dalam ayat lain: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka seketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Al-An'am: 44-45).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar adalah Kami menambahkan kepada mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam kesombongan dan pembangkangannya, seperti makna yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seolah-olah mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang dalam” (Al-An'am: 110). At-thughyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, seperti makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera” (Al-Haqqah: 11). Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi thugyanihim ya'mahun artinya mereka terombang-ambing di dalam kekufurannya .
Hal yang sama ditafsirkan pula oleh As-Suddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan kesesatan. Ibnu Jarir mengatakan lafal al-'amah artinya sesat, dikatakan 'amiha fulanun, ya'mahu, 'amahan, dan 'amuhan artinya si Fulan telah tersesat. Ibnu Jarir mengatakan, fi thugyanihim ya'mahun artinya adalah di dalam kekufuran dan kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan; mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah ﷻ telah mengunci mati hati mereka dan melaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan hidayah, hingga tertutup pandangan mereka, tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat pula mengetahui jalannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa al-'ama (buta) khusus bagi buta mata, sedangkan al-'amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafal al-'ama dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada” (Al-Hajj: 46). Dikatakan 'amihar rajulu artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan. Bentuk mudari'-nya ya'mahu bentuk isim fa'il-nya 'amihun dan 'amihun ; bentuk jamaknya 'amahun , sedangkan bentuk masdarnya adalah 'amuhan; dikatakan zahabat ibiluhul 'amha-u jika untanya tidak diketahui ke mana perginya."
Sebagai balasan atas perbuatan mereka itu, Allah akan memperlakukan mereka seperti orang yang memperolok-olokkan dan merendahkan mereka, dan membiarkan mereka dengan menangguhkan siksa-Nya beberapa saat sehingga mereka semakin jauh terombang-ambing dalam kesesatan dan semakin buta dari kebenaran, sampai akhirnya datang saat yang tepat untuk menyiksa mereka, seperti yang akan dijelaskan pada Surah a'li Imra'n/3: 87. Mereka itulah orang-orang yang jauh dari kebenaran yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Sikap mereka yang memilih kesesatan dan mengabaikan kebenaran diumpamakan seperti pedagang yang memilih barang-barang rusak untuk dijual dalam perdagangannya. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung. Jangankan untung yang didapat, modal pun hilang. Dan mereka tidak mendapat petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebenaran, sebab yang ada pada mereka hanyalah kesesatan.
Ayat ini menegaskan hukuman bagi orang munafik sebagai akibat perbuatan mereka yang tersebut pada ayat di atas. Allah membalas olok-olokan mereka dengan menimpakan kehinaan atas mereka dan Allah membiarkan mereka bergelimang terus dalam kesesatan, dan mereka kelak akan diazab pada hari Kiamat.
Pada ayat lain Allah berfirman:
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An'am/6: 110)
Orang-orang munafik itu tidak dapat keluar dari lingkaran kesesatan yang mengurung mereka. Rasa sombong, sifat mementingkan diri sendiri dan penyakit lainnya yang bersarang di hati mereka, menyebabkan mereka tidak dapat melihat kenyataan yang ada di hadapan mereka, yakni bahwa Islam dan umatnya semakin kuat di kota Medinah.
Kegagalan mereka dalam menghambat kemajuan Islam menambah parah penyakit dalam hati mereka sehingga mereka tidak mampu lagi menemukan dan menerima kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ Oleh sebab itu mereka terus menerus dalam kebingungan, keragu-raguan serta keras kepala dan tidak menemukan jalan keluar dari lingkaran kesesatan itu. Firman Allah swt:
"..... Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." (al-hajj/22: 46)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-20
NIFAK (II)
Ayat 14
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami ini telah beriman,' dan apabila mereka telah bersendirian dengan setan-setan mereka, mereka katakan, Sesungguhnya, kami adalah (tetap) bersama kamu, kami ini hanyalah mengolok-olokkan mereka itu".
Inilah kelanjutan dari perangai munafik; bila berhadapan mulutnya manis, bila di belakang lain bicara. Apa sebab jadi begini? Tidak lain adalah karena kelemahan jiwa, yang menyebabkan takut menghadapi kenyataan. Kepada orang-orang yang telah beriman, mereka mengaku telah beriman, sedangkan bila bertemu dengan teman-teman mereka yang sama-sama jadi setan atau ketua-ketua yang telah berpikiran sebagai setan, mereka takut didakwa, mengapa telah berubah pendirian. Mengapa telah ikut-ikut pula seperjalanan dengan orang-orang yang telah sesat itu? Mudah saja mereka menjawab bahwa pendirian mereka tetap, tidak berubah. Mereka mencampuri orang-orang yang telah menjadi pengikut Muhammad itu hanya siasat saja, sebagai olok-olok. Namun, pendirian mereka yang asli adalah mempertahankan yang lama tidaklah mau mereka mengubahnya. Karena, kalau tidak pandai kita menyesuaikan diri, tentu akhirnya kita tidak dapat mengetahui rahasia lawan kita. Beginilah kira-kira susun kata jawaban mereka jika setan-setan mereka bertanya. Adapun di segala zaman, jawaban yang seperti ini, dari orang yang jiwanya telah pecah, hampir sama saja, hanya susunannya berbeda sedikit-sedikit.
Mereka merasa telah menang sebab dapat memperolok-olokkan orang yang beriman. Padahal bagaimana yang sebenarnya? Merekalah jadinya yang diperolok-olok-kan Allah dan kesesatan itu diperpanjang sehingga mereka tidak sadar sama sekali. Mereka menjadi tidak tentu rebah-tegak, hilir mudik tidak menentu, resah gelisah, serba salah, sebab hanya mengambil muka ke sana, menarik hati kemari.
Ayat 15
“Allah-lah yang akan memperolok-olokkan mereka dan akan memperpanjang mereka di dalam kesesatan, Mereka resah gelisah."
Sekarang, mereka mengaku pula bahwa orang-orang yang beriman itu mereka perolok-olokkan, padahal merekalah yang telah diperolok-olokkan oleh Allah, sedangkan mereka pun tidak sadar. Yang mereka perolok-olokkan itu siapa? Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mempunyai seorang pemimpin besar yang disokong oleh wahyu. Sandaran mereka yang diperolok-olokkan itu
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang telah memberi kesesatan dengan petunjuk."
Artinya, Nabi ﷺ telah datang membawakan hudan, petunjuk. Hati kecil mereka sebagai insan yang berakal mengakui bahwa petunjuk Allah yang dibawa Nabi itu adalah benar, tidak dapat dibantah. Akan tetapi, ka-rena rayuan hawa nafsu dan perdayaan setan-setan halus dan setan kasar, terjadilah perjuangan batin. Akan ikutilah pada petunjuk itu atau akan tetap dalam kesesatan? Rupanya menanglah hawa nafsu dan setan, kalahlah jiwa murni karena kelemahan diri. Lalu, diadakanlah pertukaran (barter); badan, petunjuk, diserahkannya kepada orang lain, sedangkan dhalalah, kesesatan, diambilnya buat dirinya."Sebab itu, tidaklah berlaba perniagaan mereka." Awak sudah payah, resah gelisah siang dan malam “berniaga" pendirian; disangka gelas berlaba, rupanya pokok tua yang termakan.
“Dan tidaklah mereka dapat pimpinan."
Bagaimana mereka akan dapat pimpinan? Padahal pimpinan itulah yang mereka tentang selama ini? Padahal Muhammad ﷺ itulah yang pimpinan. Selain itu, tidak ada pimpinan lagi. Dan, ketenaran hanya satu, di luar kebenaran adalah batil. Kalau mengelak dari pimpinan wahyu, akan mengambil juga pimpinan yang lain, yaitu pimpinan untuk terus sesat. Itulah pimpinan setan.
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api."
Mengapa api mereka nyalakan? Ialah karena mereka mengharap mendapat terang dari cahaya api itu, “Maka, tatkala api itu telah menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allah-lah cahaya mereka."
Api telah mereka nyalakan dan telah menggejolak naik dan yang di sekelilingnya telah diberinya cahaya, tetapi mata mereka sendiri tidak melihat lagi karena telah silau oleh cahaya api itu.
“Dan Dia biarkan mereka di dalam gelap gulita, tidak melihat."
Alangkah tepatnya perumpamaan Tuhan ini. Mereka diumpamakan dengan orang yang membuat unggun inginkan api, mengharap nyala dan cahayanya. Artinya, bahwa keinginan akan cahaya terang itu memang ada juga. Sebelum Nabi Muhammad ﷺ menyatakan risalahnya, dalam kalangan Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, yang mereka namai Messias. Mereka selalu membanggakan kepada orang Arab Madinah bahwa Taurat ada menyebutkan bahwa mereka akan kedatangan Nabi lagi. Sekarang, Nabi itu telah datang atau api telah nyala. Api yang telah lama mereka harapkan. Namun, setelah api nyala, yang di sekelilingnya mendapat terang. Arab Madinah yang dahulunya dihinakan oleh Yahudi, dikatakan orang-orang ummi, orang-orang yang tidak cerdas, telah menyambut nyala api itu dengan segala sukacita dan mereka telah mendapat cahaya-nya serta nyalanya. Orang-orang Yahudi kehilangan cahaya itu, walaupun api unggun ada di hadapan rumah mereka sendiri. Bertambah nyala api itu, mereka bertambah gelap gulita dan tidak melihat apa-apa.
Mengapa setelah unggun menyalakan api, mereka jadi gelap gulita dan mata mereka menjadi silau? Datang jawabnya pada ayat yang berikut.
Ayat 18
“Tuli, lagi bisu, lagi buta."
Meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau pancaindra yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu, dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu, dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan, inti sari agama Yahudi ajaran asli Nabi Musa telah hilang, dan yang tinggal hanya bingkai dan bangkai. Mereka bertahan pada huruf-huruf, tetapi mereka tidak peduli lagi pada isinya. Mereka menyangka mereka lebih di dalam segala hal, padahal karena menyangka lebih itulah mereka menjadi serba kurang.
“Maka, tidaklah Mereka (dapat) kembali lagi."
Sebab, langkah salah yang telah dimulai dari bermula telah membawa mereka masuk jurang. Apabila kendaraan telah menuju masuk jurang, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya ke tempat yang datar. Tujuannya sudah pasti ialah kehancuran.
Di ayat ini dimisalkan laksana orang yang menghidupkan api mengharapkan nyala dan cahayanya. Namun, ada lagi yang seperti mengharapkan hujan turun agar mendapat kesuburan.
Ayat 19
“Atau seperti hujan lebat dari langit, yang padanya ada gelap gulita, guruh dan kilat."
Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali. Namun, hujan lebat itu datangnya adalah dengan dahsyat. Pertama, langit jadi gelap oleh tebalnya awan dan mendung. Setelah awan itu sangat berat, lebih dahulu akan terdengarlah guruh dan petir, dan kilat pun sambung-menyambung; ngeri rasanya.
“Mereka sumbatkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka dari (mendengar) suara petir karena takut mati."
Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung-menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat, dan petir. Kebenaran Ilahi akan tegak di alam. Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya, mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, melainkan karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan, guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya, peringatan-peringatan yang keras sering dengan kedatangan hidayah Ilahi. Suara Rasul ﷺ akan keras laksana guruh membanteras adat lama pusaka usang, taklid dan berkeras mempertahankan pusaka nenek moyang. Kadang-kadang, memancar kilatan api kemurkaan dan ancaman. Siapa yang mengikut kebenaran, mari-kemari, iringkan daku menuju surga. Namun, siapa yang menentang, sengsaralah yang menunggunya dan neraka. Bila kehendak
Allah akan ditegakkan, semua orang wajib patuh. Pangkat dan kebesaran dunia, kekayaan yang berlimpah-limpah tidaklah akan menolong. Yang mulia di sisi Allah hanyalah orang yang takwa. Allah tidak menghitung berapa penghasilanmu sebulan, berapa orang gajian-mu, dan berapa bidang tanahmu. Allah hanya menghitung amalmu. Pendirian yang palsu tidak laku lagi; yang laku hanyalah ikhlas. Harta dunia dan anak yang selama ini menjadi kebanggaan bagimu, kalau dirimu tidak engkau sediakan untuk menjunjung tinggi kehendak Allah maka semuanya itu akan menjadi fitnah bagimu. Engkau akan kembali kepada Allah, engkau akan dibangkitkan kembali sesudah mati, dan akan diperhitungkan amalmu selama hidup. Di akhirat, harta kekayaan duniamu tidaklah akan menolong. Dan, tidak ada orang yang akan membelamu. Pembelaan hanyalah amalan sendiri.
Perkataan seperti ini adalah gelap bagi orang yang bertahan pada kemegahan dunia, walaupun bagi orang Mukmin membawa gembira sebab hujan pasti turun. Perkataan seperti ini bagi orang yang memang bertahan pada kebatilan memang Laksana guruh yang bunyinya menakutkan atau laksana kilat dan petir yang memancarkan api. Oleh karena takutnya mereka pada penghantar-penghantar hujan itu, tidaklah mereka gembira menunggu hujan, tetapi mereka tutup lubang telinga dengan jari supaya guruh dan petir itu jangan terdengar sebab semua mereka pandang ancaman maut bagi mereka. Mereka takut mati, mereka tidak mau bercerai dengan kehidupan lama yang mereka pegang teguh itu. Mereka tidak mau berpisah dengan benda yang mereka junjung sebagai menjunjung Tuhan.
“Tetapi Allah mengepung orang-orang yang kafir."
Allah mengepung mereka dari segala penjuru.
Ainal mafarri. Ke mana mereka akan lari?
Ayat 20
“Nyarislah kilat itu menyambar penglihatan Mereka"
Oleh karena mereka meraba-raba di dalam gelap, terutama kegelapan jiwa. Maka, kilat yang sambung-menyambung yang mereka takuti itu nyarislah membawa celaka mereka sendiri. Demikianlah, bagi orang Mukmin kilat itu tidak apa-apa. Mereka tahan melihat guruhnya dan melihat pancaran apinya yang hebat itu, tetapi si munafik menjadi kebingungan karena tidak tentu jalan yang akan ditempuh."Tiap-tiap kilat menerangi mereka, mereka pun berjalan padanya." Mereka angsur melangkah ke muka selangkah, tetapi takut tidak juga hilang, “Dan, apabila telah gelap atas mereka, mereka pun berhenti."
Perjalanan tidak diteruskan lagi, karena mereka hanya meraba-raba dan merumbu-rumbu. Sebab, pelita yang terang tidak ada di dalam dada mereka, yaitu pelita iman."Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka" Artinya, sia-sia penglihatan dan pendengaran yang masih ada pada mereka, mudah sajalah bagi Allah menghilangkannya sama sekali sehingga tamAllah riwayat hidup mereka di dalam kekufuran dan kesesatan, tersebab dari sikap jiwa yang pada mulanya ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, lalu kepadaman suluh,
“Sesungguhnya, Allah atas tiap-tiap sesuatu, adalah Mahakuasa."
(ujung ayat 20)