Ayat
Terjemahan Per Kata
هُوَ
Dialah
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَ
menciptakan
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
فِي
pada
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
جَمِيعٗا
seluruhnya
ثُمَّ
kemudian
ٱسۡتَوَىٰٓ
Dia menuju
إِلَى
kepada
ٱلسَّمَآءِ
langit
فَسَوَّىٰهُنَّ
maka Dia menyempurnakan
سَبۡعَ
tujuh
سَمَٰوَٰتٖۚ
langit
وَهُوَ
dan Dia
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
هُوَ
Dialah
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَ
menciptakan
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
فِي
pada
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
جَمِيعٗا
seluruhnya
ثُمَّ
kemudian
ٱسۡتَوَىٰٓ
Dia menuju
إِلَى
kepada
ٱلسَّمَآءِ
langit
فَسَوَّىٰهُنَّ
maka Dia menyempurnakan
سَبۡعَ
tujuh
سَمَٰوَٰتٖۚ
langit
وَهُوَ
dan Dia
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
(Dialah yang telah menciptakan bagimu segala yang terdapat di muka bumi) yaitu menciptakan bumi beserta isinya, (kesemuanya) agar kamu memperoleh manfaat dan mengambil perbandingan darinya, (kemudian Dia hendak menyengaja hendak menciptakan) artinya setelah menciptakan bumi tadi Dia bermaksud hendak menciptakan pula (langit, maka dijadikan-Nya langit itu) 'hunna' sebagai kata ganti benda yang dimaksud adalah langit itu. Maksudnya ialah dijadikan-Nya, sebagaimana didapati pada ayat yang lain, 'faqadhaahunna,' yang berarti maka ditetapkan-Nya mereka, (tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu) dikemukakan secara 'mujmal' ringkas atau secara mufasshal terinci, maksudnya, "Tidakkah Allah yang mampu menciptakan semua itu dari mula pertama, padahal Dia lebih besar dan lebih hebat daripada kamu, akan mampu pula menghidupkan kamu kembali?".
Tafsir Surat Al-Baqarah: 29
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Setelah Allah ﷻ menyebutkan bukti keberadaan dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka saksikan pada diri mereka sendiri, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa yang mereka saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi. Untuk itu Allah ﷻ berfirman, "Dialah Allah, yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian, dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit" (Al-Baqarah: 29). Istawa ilas sama, berkehendak atau bertujuan ke langit. Makna lafal ini mengandung pengertian kedua lafal tersebut, yakni berkehendak dan bertujuan, karena ia di-muta'addi-kan dengan memakai huruf ila.
Fasawwahunna, lalu Dia menciptakan tujuh lapis langit. Lafal as-sama dalam ayat ini merupakan isim jinis, karena itu disebutkan sab'a samawat. Wahuwa bi kulli syai-in 'alim, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, yakni pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk yang telah Dia ciptakan. Pengertiannya sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya: “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian nyatakan dan yang kalian rahasiakan?)” (Al-Mulk: 14). Rincian makna ayat ini diterangkan di dalam surat ha mim sajdah, yaitu melalui firman-Nya: “Katakanlah, pantaskah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan sukarela atau terpaksa" Keduanya menjawab, "Kami datang dengan sukarela." Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 9-12) Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ memulai ciptaan-Nya dengan menciptakan bumi, kemudian menciptakan tujuh lapis langit. Memang demikianlah cara membangun sesuatu, yaitu dimulai dari bagian bawah, setelah itu baru bagian atasnya. Para ulama tafsir menjelaskan hal ini, keterangannya akan kami kemukakan sesudah ini, insya Allah.
Adapun mengenai firman-Nya: “Apakah penciptaan kalian yang lebih dahsyat ataukah langit yang telah dibangun-Nya? Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Dia pancarkan darinya mata airnya, dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan kokoh, (semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian” (An-Nazi'at: 27-33). Maka sesungguhnya huruf tsumma dalam ayat ini (Al-Baqarah: 29) hanya untuk menunjukkan makna 'ataf khabar kepada khabar, bukan 'athaf fi'il kepada fi'il yang lain. Keadaannya sama dengan perkataan seorang penyair: “Katakanlah kepada orang yang berkuasa, dan telah berkuasa ayahnya, serta telah berkuasa pula kakeknya sebelum itu.” Menurut suatu pendapat, ad-daha (penghamparan) bumi dilakukan sesudah penciptaan langit dan bumi. Demikianlah menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
As-Suddi telah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al-Baqarah: 29). Disebutkan bahwa 'Arasy Allah ﷻ berada di atas air, ketika itu Allah ﷻ belum menciptakan sesuatu pun selain dari air tersebut. Ketika Allah berkehendak menciptakan makhluk, maka Dia mengeluarkan asap dari air tersebut, lalu asap (gas) tersebut membumbung di atas air hingga letaknya berada di atas air, dinamakanlah sama (langit). Kemudian air dikeringkan, lalu Dia menjadikannya bumi yang menyatu. Setelah itu bumi dipisahkan-Nya dan dijadikan-Nya tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan bumi di atas ikan besar, dan ikan besar inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya: “Nun, demi qalam” (Al-Qalam: 1). Sedangkan ikan besar (nun) berada di dalam air.
Air berada di atas permukaan batu yang licin, sedangkan batu yang licin berada di atas punggung malaikat. Malaikat berada di atas batu besar, dan batu besar berada di atas angin. Batu besar inilah yang disebut oleh Luqman bahwa ia bukan berada di langit, bukan pula di bumi. Kemudian ikan besar itu bergerak, maka terjadilah gempa di bumi, lalu Allah memancangkan gunung-gunung di atasnya hingga bumi menjadi tenang; gunung-gunung itu berdiri dengan kokohnya di atas bumi. Hal inilah yang dinyatakan di dalam firman Allah ﷻ : “Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka” (Al-Anbiya: 31). Allah menciptakan gunung di bumi dan makanan untuk penghuninya, menciptakan pepohonannya dan semua yang diperlukan di bumi pada hari Selasa dan Rabu. Hal inilah yang dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya” (Fushshilat: 9-10).
Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah menumbuhkan pepohonannya, yaitu melalui firman-Nya: “Dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya” (Fushshilat: 10). Lalu dalam firman selanjutnya disebutkan: “Dalam empat masa, sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya” (Fushshilat: 10). Dalam ayat selanjutnya disebutkan pula: “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap” (Fushshilat 11). Asap itu merupakan uap dari air tadi, kemudian asap dijadikan langit tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Kamis dan Jumat.
Sesungguhnya hari Jumat dinamakan demikian karena pada hari itu diciptakan langit dan bumi secara bersamaan. Allah ﷻ berfirman: “Dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya” (Fushshilat 12). Artinya, Allah menciptakan makhluk tersendiri bagi tiap-tiap langit, terdiri atas para malaikat dan semua makhluk yang ada padanya, seperti laut, gunung, embun, serta lain-lainnya yang tidak diketahui. Selanjutnya Allah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang yang Dia ciptakan sebagai hiasan dan penjaga yang memelihara langit dari setan-setan. Setelah Allah menyelesaikan penciptaan apa yang Dia sukai, lalu Dia menuju 'Arasy, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya: “Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy” (Al-Hadid: 4). Dan Allah ﷻ telah berfirman: “Dahulu langit dan bumi keduanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (Al-Anbiya: 30).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abdullah ibnu Salam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memulai penciptaan makhluk-Nya pada hari Ahad, menciptakan berlapis-lapis bumi pada hari Ahad dan hari Senin, menciptakan berbagai makanan dan gunung pada hari Selasa dan Rabu, lalu menciptakan langit pada hari Kamis dan Jumat. Hal itu selesai di akhir hari Jumat yang pada hari itu juga Allah menciptakan Adam dengan seketika. Pada saat itulah kelak hari kiamat akan terjadi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (Al-Baqarah: 29). Bahwa Allah menciptakan bumi sebelum menciptakan langit. Ketika Allah menciptakan bumi, maka keluarlah asap darinya. Itulah pengertian yang dimaksud dalam firman-Nya: “Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit” (Al-Baqarah: 29). Yang dimaksud adalah sebagian langit berada di atas sebagian lainnya. Dikatakan sab'u aradina artinya tujuh lapis bumi, yakni sebagian berada di bawah sebagian yang lain. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat As-Sajdah, yaitu: Katakanlah, "Sesungguhnya pantaskah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya dalam empat masa, (penjelasan ini sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka rela atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka rela." Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (Fushshilat: 9-12). Ayat ini dan yang tadi menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit.
Menurut pengetahuanku, tiada seorang ulama pun yang memperselisihkan hal ini, kecuali apa yang dinukil oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, diduga langit diciptakan sebelum bumi. Akan tetapi, dalam menanggapi masalah ini Al-Qurthubi hanya bersikap tawaqquf (tidak memberi komentar apa pun), yaitu ketika ia menafsirkan makna firman-Nya: “Apakah penciptaan kalian yang lebih dahsyat ataukah langit yang telah dibangun-Nya? Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Dia pancarkan darinya mata airnya dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan kokoh” (An-Nazi'at 27-32). Mereka mengatakan bahwa penciptaan langit terjadi sebelum penciptaan bumi. Di dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai masalah ini, lalu ia menjawab bahwa bumi diciptakan sebelum langit, dan sesungguhnya bumi baru dihamparkan hanya setelah penciptaan langit.
Hal yang sama dikatakan pula tidak hanya oleh seorang ulama tafsir terdahulu dan sekarang. Kami mencatat hal tersebut di dalam tafsir surat An-Nazi'at yang garis besarnya menyatakan bahwa penghamparan bumi yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Dia pancarkan darinya mata airnya, dan (ditumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan kokoh” (An-Nazi'at: 30-32). Artinya, semua yang terkandung di dalam bumi dikeluarkan secara paksa hingga menjadi kenyataan. Setelah Allah selesai dengan penciptaan bumi dan langit, lalu Allah menghamparkan bumi dan mengeluarkan segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya, yaitu air. Berkat air itu tumbuhlah berbagai macam tetumbuhan yang beraneka ragam jenis. bentuk dan warnanya. Demikian pula tata surya, semuanya beredar, terdiri dari bintang-bintang yang tetap dan bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih mengetengahkan sebuah hadis sehubungan dengan tafsir ayat ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-An-Nasai, juga diketengahkan oleh keduanya dalam Bab "Tafsir" melalui riwayat Ibnu Juraij. Ibnu Juraij mengatakan: telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi' maula Ummu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ memegang tanganku, lalu beliau bersabda: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung yang ada padanya pada hari Ahad, menciptakan pepohonan yang ada padanya pada hari Senin, menciptakan hal yang tidak disukai pada hari Selasa, menciptakan nur pada hari Rabu, mengembangbiakkan (menciptakan) binatang-binatang yang ada di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam sesudah Asar pada hari Jumat, yaitu di saat-saat terakhir hari Jumat antara Asar sampai malam hari.”
Hadits ini termasuk salah satu hadits gharib dalam Shahih Muslim. Banyak komentar mengenai hadits ini, antara lain adalah dari Ali ibnul Madini dan Imam Al-Bukhari serta sejumlah kalangan ahli huffaz hadits. Mereka menganggap hadits ini merupakan perkataan Ka'b, dan sesungguhnya Abu Hurairah hanya mendengarnya dari kata-kata Ka'b Al-Ahbar. Hadits ini menjadi samar di kalangan sebagian para perawi hingga membuat mereka menganggapnya sebagai hadits yang marfu'. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh Imam Baihaqi.
Tuhan yang patut untuk disembah dan ditaati itu Dialah Allah yang menciptakan dan memberikan karunia berupa segala apa yang ada di bumi untuk kemaslahatan-mu, kemudian bersamaan dengan penciptaan bumi dengan segala manfaatnya, kehendak Dia menuju ke penciptaan langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit yang sangat beraturan, baik yang tampak olehmu maupun yang tidak. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Ilmu Allah mencakup segala ciptaan-Nya. Setelah pada ayat-ayat terdahulu Allah menjelaskan adanya kelompok manusia yang ingkar atau kafir kepada-Nya, maka pada ayat ini Allah menjelaskan asal muasal manusia sehingga menjadi kafir, yaitu kejadian pada masa Nabi Adam. Dan ingatlah, wahai Rasul, satu kisah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah, yakni manusia yang akan menjadi pemimpin dan penguasa, di bumi. Khalifah itu akan terus berganti dari satu generasi ke generasi sampai hari Kiamat nanti dalam rangka melestarikan bumi ini dan melaksanakan titah Allah yang berupa amanah atau tugas-tugas keagamaan. Para malaikat dengan serentak mengajukan pertanyaan kepada Allah, untuk mengetahui lebih jauh tentang maksud Allah. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang memiliki kehendak atau ikhtiar dalam melakukan satu pekerjaan sehingga berpotensi merusak dan menumpahkan darah di sana dengan saling membunuh, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu' Malaikat menganggap bahwa diri merekalah yang patut untuk menjadi khalifah karena mereka adalah hamba Allah yang sangat patuh, selalu bertasbih, memuji Allah, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Menanggapi pertanyaan malaikat tersebut, Allah berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Penciptaan manusia adalah rencana besar Allah di dunia ini. Allah Mahatahu bahwa pada diri manusia terdapat hal-hal negatif sebagaimana yang dikhawatirkan oleh malaikat, tetapi aspek positifnya jauh lebih banyak. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa sebuah rencana besar yang mempunyai kemaslahatan yang besar jangan sam-pai gagal hanya karena kekhawatiran adanya unsur negatif yang lebih kecil pada rencana besar tersebut.
.
Ayat ini menegaskan peringatan Allah ﷻ yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu yaitu Allah telah menganugerahkan karunia yang besar kepada manusia, menciptakan langit dan bumi untuk manusia, untuk diambil manfaatnya, sehingga manusia dapat menjaga kelangsungan hidupnya dan agar manusia berbakti kepada Allah penciptanya, kepada keluarga dan masyarakat.
Kalimat "Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit" memberi pengertian bahwa Allah menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia, Allah telah menciptakan langit lalu Allah menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan patuh." (Fussilat/41: 11)
Jadi langit pertama yang diciptakan Allah sebelum menciptakan bumi waktu itu masih berupa asap tebal yang gemulung dan suhunya panas sekali. Keduanya yaitu langit dan bumi. Dipanggil maksudnya ditetapkan ketentuan dan proses pekerjaannya oleh Allah supaya bekerjasama secara sinergi dan mewujudkan alam yang harmonis.
Pada ayat 29 ini dijelaskan bahwa Allah menyempurnakan langit yang satu dan masih berupa asap itu menjadi tujuh langit. Angka tujuh dalam bahasa Arab dapat berarti enam tambah satu, bisa juga berarti banyak sekali lebih sekadar enam tambah satu. Jika kita mengambil arti yang pertama (enam tambah satu) maka berarti Allah menjadikan langit yang tadinya satu lapis menjadi tujuh lapis, atau Allah menjadikan benda langit yang tadinya hanya satu menjadi tujuh benda langit. Tiap-tiap benda langit ini beredar mengelilingi matahari menurut jalannya pada garis edar yang tetap sehingga tidak ada yang berbenturan. Tetapi matahari hanya berputar dan beredar pada garis porosnya saja karena matahari menjadi pusat dalam sistem tata surya ini. Sungguh Allah Mahakaya dan Mahabijaksana mengatur alam yang besar dan luas ini.
Dalam pemahaman astronomi, langit adalah seluruh ruang angkasa semesta, yang di dalamnya ada berbagai benda langit termasuk matahari, bumi, planet-planet, galaksi-galaksi, supercluster, dan sebagainya.
Hal ini dikemukakan oleh Allah di dalam Surah al-Mulk/67: 5, yang artinya:
?Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat (langit dunia) dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa Neraka yang menyala-nyala?(al-Mulk/67: 5)
Jadi, langit yang berisi bintang-bintang itu memang disebut sebagai langit dunia. Itulah langit yang kita kenal selama ini. Dan itu pula yang dipelajari oleh para ahli astronomi selama ini, yang diduga diameternya sekitar 30 miliar tahun cahaya. Dan mengandung trilyunan benda langit dalam skala tak berhingga.
Namun demikian, ternyata Allah menyebut langit yang demikian besar dan dahsyat itu baru sebagian dari langit dunia, dan mungkin langit pertama. Maka dimanakah letak langit kedua sampai ke tujuh?
Sejauh ini belum ada temuan ilmiah "yang tidak dicari-cari" mengenai hubungan antara angka tujuh dan "langit" yang dalam dunia ilmu pengetahuan dikenal dengan alam semesta. Memang ada beberapa skala benda langit, misalnya pada satu tata-surya (solar system) ada "matahari" (bintang yang menjadi pusat tata-surya yang bersangkutan) dan ada planet beserta satelitnya. Milyaran tatasurya membentuk galaksi. Milyaran galaksi membentuk alam semesta. Ini baru enam, untuk menjadikannya tujuh, bisa saja ditambah dengan dimensi alam semesta, yaitu bahwa seluruh alam ini berisikan sejumlah alam semesta. Jadi ada tujuh dimensi dalam alam, dan ini mungkin yang dimaksud dengan langit yang tujuh lapis. Tetapi masalahnya adalah dalam perjalanan miraj Nabi Muhammad saw, beliau melalui lapis demi lapis dari langit itu secara serial, dari lapis pertama, ke lapis kedua dan seterusnya sampai lapis ketujuh dan akhirnya keluar alam makhluk menuju Sidratil-Muntaha. Jadi lapis demi lapis langit itu seperti kue lapis yang berurutan, dari dalam (lapisan pertama) sampai ke lapisan ketujuh. Kenyataan ini berbeda dengan temuan ilmiah. T. Djamaluddin, salah seorang astronom Indonesia, yang cenderung memahami "tujuh langit" sebagai benda-benda langit yang tak terhitung jumlahnya dan bukan berlapis-lapis. Dalam bahasa Arab, bilangan tujuh biasanya dipakai untuk menggambarkan jumlah yang sangat banyak.
Di sisi lain tujuh langit, kemungkinan adalah tujuh lapisan-lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi ini yaitu: (1) Troposphere (Troposfer), (2) Tropopause (Tropopaus), (3) Stratosphere (Stratosfer), (4) Stratopause (Stratopaus), (5) Mesosphere (Mesofer), (6) Mesopause (Mesopause), dan (7) Thermosphere (Termosfer). Pembagian ini berdasarkan temperatur (suhu) tiap-tiap lapis atmosfer dan jaraknya dari permukaan bumi. Lapisan-lapisan tersebut bersifat kokoh dalam pengertian menyeliputi dan melindungi bola bumi kita secara kokoh karena adanya gaya gravitasi bumi. (Lihat pula tafsir ilmiah Surah ar-Ra'd/13: 2, Surah an-Naba'/78: 12.) Dalam tafsir Surah ar-Ra'd/13: 2 dijelaskan pembagian lapisan atmosfer sedikit berbeda dengan yang dijelaskan di sini, dimana Ionosfer dan Eksosfer disatukan dalam Termosfer. Namun apabila pengertian tujuh langit dalam hal ini dikaitkan dengan Mi'raj Nabi Muhammad saw, nampaknya kurang tepat.
Tujuh langit mungkin pula dapat ditafsirkan sebagai Tujuh Dimensi Ruang-Waktu dalam Kaluza-Klein Theory (KKT). Dalam ilmu Fisika terdapat empat (4) Gaya Fundamental yang ada di jagad raya ini, yaitu Gaya Elektromagnetik, Gaya Nuklir Lemah, Gaya Nuklir Kuat, dan Gaya Gravitasi. Jika ke-empat Gaya ini terbentuk dari Ledakan Besar (Big Bang) dari suatu Singularity, maka mestinya ke-empat gaya ini dahulunya 'menyatu sebagai Satu Gaya Tunggal (Grand Unified Force), ini yang dikenal dalam Grand Unified Theory (GUT, Teori Ketersatuan Agung). KKT menjelaskan bahwa untuk dapat menerangkan ketersatuan gaya-gaya yang empat itu, maka adanya geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini tidaklah cukup. Geometri ruang-waktu yang kita berada di dalamnya sekarang ini hanya mampu menjelaskan sedikit tentang gaya-gaya Elektromagnetik dan dalam beberapa hal Gaya Gravitasi. Untuk bisa menjelaskan keempat gaya tersebut, maka KKT menyatakan harus ada tujuh dimensi ruang-waktu (time-space dimensions) yang lain. Dengan demikian bersama empat dimensi yang sudah dikenal, yaitu: garis, bidang, ruang dan waktu; maka total dimensi ada sebelas dimensi (11 dimensi). Pernyataan ini berbasiskan pada perhitungan Matematika-Fisika. Berbasiskan pada KKT ini para scientists telah mampu pula menghitung 'garis tengah salah satu dimensi ruang-waktu itu, yaitu sebesar 10-32 cm, jadi dimensi itu sangat kecil sekali. Dengan demikian, tidaklah mungkin dengan instrument yang ada sekarang ini kita dapat menembus tujuh dimensi ruang-waktu yang lain itu. Kaluza-Klein Theory telah memberikan gambaran adanya Tujuh Dimensi Ruang-Waktu, yang kesemuanya ini akan mengokohkan geometri jagad-raya dengan empat gaya-gaya fundamentalnya. Mungkinkah tujuh langit tersebut adalah tujuh dimensi ruang-waktu menurut Kaluza-Klein Theory? Wallahu a'lam bis-sawab.
Pada akhir ayat Allah menyebutkan, "Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu", maksudnya bahwa alam semesta ini diatur dengan hukum-hukum Allah, baik benda itu kecil maupun besar, tampak atau tidak tampak. Semuanya diatur, dikuasai dan diketahui oleh Allah.
Ayat ini mengisyaratkan agar manusia menuntut ilmu untuk memikirkan segala macam ciptaan Allah, sehingga dapat menambah iman dan memurnikan ketaatannya kepada Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 26-29
Ayat 26
“Sesungguhnya, Allah tidaklah malu membuat perumpamaan apa saja; nyamuk atau lebih kecil daripadanya."
Orang-orang yang kafir atau munafik itu mencari-cari saja pasal yang akan mereka gunakan untuk membantah Nabi, Dalam wahyu, Allah membuat berbagai perumpamaan. Allah pernah mengumpamakan orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain, adalah laksana laba-laba membuat sarang. Sarang laba-laba adalah sangat rapuh (surah al-'Ankabuut ayat 41). Allah pun pernah mengambil perumpamaan dengan lalat. Bahwa apa-apa yang dipersekutukan oleh orang-orang musyrikin dengan Allah itu, jangankan membuat alam, membuat lalat pun mereka tidak bisa (lihat surah al-Hajj ayat 73).
Demikian juga perumpamaan yang lain-lain. Maka, orang-orang yang munafik tidaklah memperhatikan isi, tetapi hendak mencari kelemahan pada misal yang dikemukakan itu. Kata mereka misal-misal itu adalah perkara kecil dan remeh. Adakan laba-laba menjadi contoh, adakan lalat diambil umpama, apa artinya semua itu. Peremehan yang seperti ini yang dibantah keras oleh ayat ini, “Allah tidaklah malu membuat perumpamaan apa saja; nyamuk atau yang lebih kecil darinya."
Maksud mereka tentu hendak meremehkan Rasulullah, tetapi Allah sendiri menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Muhammad itu bukanlah katanya, dan misal perumpamaan yang dikemukakannya itu bukanlah misal perbuatannya sendiri. Itu adalah misal Aku sendiri. Aku tidak malu mengemukakan perumpamaan itu. Mengambil perumpamaan daripada nyamuk atau agas yang lebih kecil dari nyamuk, atau yang lebih kecil lagi, tidaklah Aku segan-segan."Maka, adapun orang-orang yang beriman mengetahuilah mereka bahwasanya ini," yaitu perumpamaan-per-umpamaan tersebut, “Adalah kebenaran dari Tuhan mereka!' Artinya, kalau perumpamaan itu tidak penting tidaklah Allah akan mengagas: nyamuk yang lebih kecil daripada nyamuk biasa, ambilnya menjadi perumpamaan. Sebab, semua perhitungan Allah itu adalah dengan teliti sekali."Dan, adapun orang-orang yang kafir maka berkatalah mereka, ‘Apa yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan begini?"‘ Apa kehendak Allah mengemukakan misal binatang yang hina sebagaimana laba-laba, binatang tidak ada arti sebagaimana lalat, dan kadang-kadang juga keledai yang buruk, kadang-kadang anjing menjulurkan lidah; adakah pantas wahyu mengemukakan hal tetek bengek demikian? Maka, berfirmanlah Allah selanjutnya,
“Tersesatlah dengan sebabnya," yaitu sebab perumpamaan-perumpamaan itu, “kebanyakan manusia dan mendapat petunjuk dengan sebabnya kebanyakan. Dan, tidaklah akan tersesat dengan dia, melainkan orang-orang yang fasik."
Dengan merenungkan ayat ini, apa yang timbul dalam hati kita?
Yang timbul dalam hati kita ialah pertambahan iman bahwa Al-Qur'an ini memang diturunkan untuk seluruh masa dan untuk orang yang berpikir dan mencintai ilmu pengetahuan. Orang-orang kafir itu menjadi sesat dan fasik karena bodohnya. Atau bodoh, tetapi tidak sadar akan kebodohan. Dan, orang yang beriman tunduk kepada Allah dengan segala kerendahan hati. Kalau ilmunya belum luas dan dalam, cukup dia menggantungkan kepercayaan bahwa kalau tidak penting tidaklah Allah akan membuat misal dengan nyamuk, lalat, laba-laba, dan lain-lain itu. Meskipun dia belum tahu apa pentingnya. Namun, orang yang lebih dalam ilmunya, benar-benar kagumlah dia akan kebesaran Allah. Di zaman modern ini, sudahlah orang tahu bahwa perkara nyamuk atau agas bukanlah perkara kecil. Lalat pun bukan lagi perkara kecil. Demikian mikroskop telah meneropong hama-hama yang sangat kecil, beratus ribu kali lebih kecil daripada nyamuk dan lalat. Nyamuk malaria, nyamuk penyakit kuning, dan nyamuk yang menyebabkan penyakit tidur di Afrika; menyimpulkan pendapat bahwa bahaya nyamuk lebih besar dari bahaya singa dan harimau.
Ayat 27
“Yaitu orang-orang yang memecahkan janji Allah sesudah dia diteguhkan."
Apakah janji Allah yang teguh yang telah mereka pecah? Janji Allah terasa dalam diri kita sendiri-sendiri, yang ditunjukkan oleh akal kita. Janji Allah bersuara dalam batin manusia sendiri, yaitu kesadaran akalnya. Pada ayat 21 di atas, kita disuruh mempergunakan akal untuk mencari di mana janji itu. Apabila akal dipakai, mestilah timbul kesadaran akan kekuasaan Allah dan perlindungan kepada kita manusia; kalau manusia itu insaf akan akalnya, pastilah menimbulkan rasa terima kasih dan rasa pengabdian, ibadah kepada Allah. Sekarang, janji di dalam batin itu sendirilah yang mereka pecahkan, mereka rusakkan, lalu mereka perturutkan hawa nafsu."Dan mereka putuskan apa yang dihubungkan." Apa yang mesti dihubungkan? Yaitu, pikiran sehat dengan natijah (konklusi) dari pikiran itu. Karena telah fasik mereka putuskan di tengah-tengah, tidak mereka teruskan sampai ke ujung.
Sebagaimana orang-orang yang mengatakan dirinya free thinker. Katanya, dia bebas berpikir. Lalu, berpikirlah dia dengan bebas. Karena sehat pikiran, sampailah dia kepada kesimpulan bahwa tidak mungkin alam yang sangat teratur ini terjadi dengan sendirinya, dengan tidak ada pengaturnya. Pikirannya telah sampai ke sana, tetapi dia putuskan hingga itu saja. Tidak diteruskannya sampai ke ujungnya, sebab itu dia telah fasik dan telah mendustai dirinya sendiri. Katanya, dia berpikir bebas, free thinker, padahal dia tidak bisa lagi."Dan merusak mereka di bumi" Kalau pikiran sehat sudah diperkosa itu di tengah jalan, dan dengan paksa dibelokkan pada yang hal tidak benar, niscaya kekacauanlah yang timbul. Kekacauan dan kerusakan yang paling hebat di atas dunia ialah jika orang tidak bebas lagi menyatakan pikiran yang sehat. Inilah dia fasik.
“Mereka itulah orang-orang yang merugi"
Sebab, mereka telah berjalan di luar garis kebenaran.
Rugilah mereka karena kehinaan di dunia dan adzab di akhirat. Yang lebih merugikan lagi ialah karena biasanya orang-orang penentang kebenaran itu ada yang hidupnya kelihatan mewah, sehingga orang-orang yang dungu pikiran menyangka mereka benar, seumpamanya Qarun di zaman Fir'aun. Orang yang kecil jiwanya menjadi segan kepada mereka, kebesaran dan kekayaan mereka, lantaran itu mereka bertambah sombong dan lupa daratan. Bertambah tenggelam mereka di dalam kesesatan dan kerusakan karena puji dan sanjung. Lantaran itu, bertambah tidaklah dapat lagi mereka mengendalikan diri sendiri. Timbullah sifat-sifat angkuh, tak mau mendengarkan nasihat orang. Akhirnya, mereka bertambah terang-terangan berbuat fasik dan berbangga dengan dosa. Akhir kelaknya karena tenaga manusia terbatas, usia pun tidak sepanjang yang diharap, timbullah penyakit, baik ruhani maupun jasmani. Penyakit gila hormat menimbulkan penyakit lain pula, yaitu cemburu pada segala orang bahwa orang itu akan menentangnya. Takut akan jatuh, timbul berbagai waswas; sehingga pertimbangan akal yang sehat dikalahkan oleh prasangka. Tadinya ingin bersenang-senang, hasilnya ialah kepayahan yang tidak berujung. Dicari sebabnya, tidak lain ialah karena kosongnya dada dari pegangan kepercayaan.
Tadinya mereka mencari bahagia, tetapi salah memahamkan bahagia. Lantaran iman tidak ada, amal pun tidak menentu. Padahal kalau hendak mencari bahagia, amallah yang akan diperbanyak. Kesenangan dan istirahat jiwa ialah bila dapat mengerjakan suatu amalan yang baik sampai selesai untuk memulai lagi amal yang baru, sampai berhenti bila jenazah telah diantar ke kubur. Orang yang telah fasik, yang telah terpesona haluan bahtera hidupnya dari tujuan yang benar, akan tenggelamlah dia ke dalam kesengsaraan batin, yang walaupun sebesar gunung emas persediaannya, tidaklah akan dapat menolongnya.
Adakah rugi yang lebih dari ini?
Kemudian datanglah bujuk rayuan Allah kembali untuk menyadarkan manusia supaya jangan menempuh jalan yang fasik dan kufur itu.
Ayat 28
“Betapa kamu hendak kufur kepada Allah, padahal adalah kamu mati, lalu dihidupkan-Nya kamu."
Cobalah pikirkan kembali: dari tidak ada, kamu telah Dia adakan. Entah di manalah kamu dahulunya tersebar; entah di daun kayu, entah di biji bayam, entah di air mengalir, tidak ada bedanya dengan batu tercampak, rumput yang lesa terpijak, ataupun serangga yang tengah menjalar, kemudian dihidupkan-Nya kamu. Terbentuklah mani dalam sulbi ayahmu dan taraib ibumu, yang berasal dari darah, dan darah itu berasal dari makanan, hormon, kalori, dan vitamin. Kemudian, kamu dalam rahim ibumu, dikandung sekian bulan lalu diberi akal. Mengembara di permukaan bumi berusaha mencukupkan keperluan-keperluan hidup."Kemudian Dia matikan kamu" Dicabut nyawamu dipisahkan dari badanmu. Badan diantarkan kembali kepada asalnya. Datang dari tanah dipulangkan ke tanah; kembali seperti tadi pula, entah jadi rumput lesa terpijak, entah jadi tumpukan tulang-tulang. Orang membangun kota yang baru, kubur-kubur dibongkar, tulang-tulangnya dipindahkan atau tidak diketahui lagi bahwa di sana ada kuburan dahulunya, lalu didirikan orang gedung di atasnya."Kemudian Dia hidupkan," yaitu hidup kali yang kedua. Sebab, nyawa yang pisah dari badan tadi tidaklah kembali ke tanah, tetapi pulang ke tempat yang telah ditentukan buat menunggu panggilan Hari Kiamat. Itulah hidup kali yang kedua; hidup salah satu dari dua, yaitu hidup yang lebih tinggi dan lebih mulia. Karena, di zaman hidup pertama di dunia kamu memang melatih diri dari dalam kehidupan yang tinggi dan mulia. Atau hidup yang lebih sengsara, karena memang dalam kehidupan pertama kamu menempuh jalan pada kesengsaraan itu.
“Kemudian, kepada-Nyalah kamu akan kembali."
Artinya, setelah kamu dihidupkan kembali, kamu dipanggil kembali ke hadirat Allah untuk diperhitungkan baik-baik, dicocokkan bunyi catatan Malaikat dengan perbuatanmu semasa hidupmu, lalu diputuskan ke tempat mana kamu akan digolongkan, pada golongan orang-orang yang berbahagiakah atau golongan orang-orang yang celaka. Dan, keadilan akan berlaku, sedangkan kezaliman tidak akan ada. Sedang belas kasihan Ilahi telah kamu rasakan sejak dari kini. Kalau kamu mendapat celaka, tidak lain hanyalah karena salahmu sendiri.
Begitulah Allah telah membuat tingkat hidup yang kamu tempuh. Maka, bagaimana juga kamu kufur terhadap-Nya. Bagaimana juga kamu hendak berbuat sesuka hati dalam kehidupan yang pertama ini? Padahal, kamu tidak akan dapat membebaskan dirimu daripada garis yang telah ditentukan-Nya itu. Padahal, bukan pula Dia menyia-nyiakan kamu dalam hidup ini; diutus-Nya Rasul, dikirim-Nya wahyu, diberi-Nya petunjuk agama akan menjadi pegangan kamu. Diberikan-Nya bagi kamu bimbingan sejak matamu terbuka melihat alam ini. Adakah patut, wahai bimbingan kasih yang sedemikian rupa kamu mungkiri dan kamu kufuri Dia?
Bawalah tafakur, pakailah akal; adakah patut perbuatanmu itu?
Ayat 29
“Dialah yang telah menjadikan untuk kamu apa yang di bumi ini sekaliannya."
Cobalah perhatikan segala yang ada di sekeliling kamu ini dan bertanyalah kepada semuanya, niscaya semua akan menjawab, “Kami ini untuk Tuan!" “Kemudian, menghadaplah Dia ke langit, lalu Dia jadikan ia tujuh langit" Artinya, diselesaikan-Nya dahulu nasibmu di sini, dibereskan-Nya segala keperluanmu, barulah Allah menghadapkan perhatian-Nya menyusun tingkatan langit, yang tadinya adalah dukhan, yaitu asap belaka. Maka, Allah pun mengatur kelompok-kelompoknya, yang dikatakan-Nya kepada kita ialah tujuh. Bagaimana tujuhnya, kita tidak tahu. Kita hanya percaya sebab urusan kekayaan langit itu tidaklah terpermanai banyaknya. Adapun bila kita duduk pada sebuah perpustakaan besar yang berisi satu juta buku tulisan manusia, lalu kita baca, berumur pun kitab seribu tahun, tidaklah akan dapat dibaca satu juta jilid buku itu. Kononnya akan mengetahui apa perbendaharaan di langit,
“Dan, Dia terhadap tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
Artinya, Dialah Yang Mahatahu bagaimana cara pembuatan dan pembangunan alam itu. Penyelidikan kita hanyalah untuk tahu bahwa kita tidak tahu. Dan, amat janggal dalam perasaan beragama kalau sekiranya hasil penyelidikan kita manusia tentang kejadian alam ini, yang baru bertumbuh kemudian, lalu kita jadikan alat buat membatalkan keterangan wahyu. Padahal maksud Al-Qur'an, terutama maksud ayat ini, ialah tertentu buat memberi peringatan kepada manusia bahwasanya isi bumi ini disediakan buat mereka semua. Maka, patutlah mereka bersyukur kepada Allah dan pergunakan kesempatan buat mengambil faedah yang telah dibuka itu. Setelah siap Allah menyediakan segala sesuatu untuk manusia hidup di dalam bumi, Allah menghadapkan amar perintah-Nya pada langit dan terjadilah langit itu tujuh. Apakah manusia telah terjadi sebelum Allah mengatur tujuh langit? Apakah kemudian baru manusia baru diadakan dalam bumi setelah terlebih dahulu persediaan buat hidupnya disediakan selengkapnya? Tidaklah ada dalam ayat ini.
Apakah yang dimaksud dengan tujuh langit? Apakah benar-benar tujuh? Atau hanya menurut undang-undang perbahasaan Arabi bahwasanya bilangan tujuh ialah menunjukkan banyak? Dan bagaimanakah Allah menghadapkan amar perintah-Nya kepada langit itu? Semuanya ini tidaklah akan dikuasai oleh pengetahuan manusia. Sebab itu, janganlah kita belokkan maksud ayat ke sana. Tuntutlah ilmu rahasia alam ini sedalam-dalamnya. Carilah fosil-fosil makhluk purbakala yang telah terbenam dalam bumi berjuta tahun. Pakailah teori Darwin dan lain-lain, moga-moga saja kian lama kian tersingkaplah bagi kita betapa hebatnya kejadian alam itu dan bertambah iman akan adanya Yang Mahakuasa atas alam.
Akan tetapi, jangan sekali-kali dengan ilmu kita yang terbatas mencoba membatalkan ayat dan ilmu Tuhan yang tidak terbatas.