Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَسۡتَطِعۡ
cukup
مِنكُمۡ
dari/di antara kamu
طَوۡلًا
perbelanjaan/nafkah
أَن
sesungguhnya
يَنكِحَ
mengawini
ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
wanita-wanita merdeka
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
yang beriman
فَمِن
maka dari
مَّا
apa
مَلَكَتۡ
memiliki
أَيۡمَٰنُكُم
tangan kananmu/budakmu
مِّن
dari
فَتَيَٰتِكُمُ
pemudi-pemudimu/wanitamu
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ
yang beriman
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِإِيمَٰنِكُمۚ
dengan keimananmu
بَعۡضُكُم
sebagian kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡضٖۚ
sebagian lain
فَٱنكِحُوهُنَّ
maka nikahilah mereka
بِإِذۡنِ
dengan seizin
أَهۡلِهِنَّ
ahlinya/tuannya
وَءَاتُوهُنَّ
dan berilah mereka
أُجُورَهُنَّ
mahar mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan/menurut yang patut
مُحۡصَنَٰتٍ
wanita-wanita merdeka/yang memelihara diri
غَيۡرَ
bukan/tidak
مُسَٰفِحَٰتٖ
wanita-wanita pezina
وَلَا
dan bukan
مُتَّخِذَٰتِ
wanita yang mengambil laki-laki lain
أَخۡدَانٖۚ
gendak
فَإِذَآ
maka apabila
أُحۡصِنَّ
mereka telah menjaga diri
فَإِنۡ
maka jika
أَتَيۡنَ
mereka mendatangi/melakukan
بِفَٰحِشَةٖ
dengan perbuatan keji
فَعَلَيۡهِنَّ
maka atas mereka
نِصۡفُ
separuh
مَا
apa
عَلَى
atas
ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
wanita-wanita yang merdeka
مِنَ
dari
ٱلۡعَذَابِۚ
siksa
ذَٰلِكَ
demikian itu
لِمَنۡ
bagi orang
خَشِيَ
(ia) takut
ٱلۡعَنَتَ
sulit menjaga diri
مِنكُمۡۚ
dari/di antara kamu
وَأَن
dan jika
تَصۡبِرُواْ
kamu bersabar
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡۗ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَسۡتَطِعۡ
cukup
مِنكُمۡ
dari/di antara kamu
طَوۡلًا
perbelanjaan/nafkah
أَن
sesungguhnya
يَنكِحَ
mengawini
ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
wanita-wanita merdeka
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
yang beriman
فَمِن
maka dari
مَّا
apa
مَلَكَتۡ
memiliki
أَيۡمَٰنُكُم
tangan kananmu/budakmu
مِّن
dari
فَتَيَٰتِكُمُ
pemudi-pemudimu/wanitamu
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ
yang beriman
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِإِيمَٰنِكُمۚ
dengan keimananmu
بَعۡضُكُم
sebagian kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡضٖۚ
sebagian lain
فَٱنكِحُوهُنَّ
maka nikahilah mereka
بِإِذۡنِ
dengan seizin
أَهۡلِهِنَّ
ahlinya/tuannya
وَءَاتُوهُنَّ
dan berilah mereka
أُجُورَهُنَّ
mahar mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan/menurut yang patut
مُحۡصَنَٰتٍ
wanita-wanita merdeka/yang memelihara diri
غَيۡرَ
bukan/tidak
مُسَٰفِحَٰتٖ
wanita-wanita pezina
وَلَا
dan bukan
مُتَّخِذَٰتِ
wanita yang mengambil laki-laki lain
أَخۡدَانٖۚ
gendak
فَإِذَآ
maka apabila
أُحۡصِنَّ
mereka telah menjaga diri
فَإِنۡ
maka jika
أَتَيۡنَ
mereka mendatangi/melakukan
بِفَٰحِشَةٖ
dengan perbuatan keji
فَعَلَيۡهِنَّ
maka atas mereka
نِصۡفُ
separuh
مَا
apa
عَلَى
atas
ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
wanita-wanita yang merdeka
مِنَ
dari
ٱلۡعَذَابِۚ
siksa
ذَٰلِكَ
demikian itu
لِمَنۡ
bagi orang
خَشِيَ
(ia) takut
ٱلۡعَنَتَ
sulit menjaga diri
مِنكُمۡۚ
dari/di antara kamu
وَأَن
dan jika
تَصۡبِرُواْ
kamu bersabar
خَيۡرٞ
lebih baik
لَّكُمۡۗ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Siapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang mukmin (boleh menikahi) perempuan mukmin dari para hamba sahaya yang kamu miliki. Allah lebih tahu tentang keimananmu. Sebagian kamu adalah sebagian dari yang lain (seketurunan dari Adam dan Hawa). Oleh karena itu, nikahilah mereka dengan izin keluarga (tuan) mereka dan berilah mereka maskawin dengan cara yang pantas, dalam keadaan mereka memelihara kesucian diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), (hukuman) atas mereka adalah setengah dari hukuman perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). Hal itu (kebolehan menikahi hamba sahaya) berlaku bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan (dalam menghindari zina) di antara kamu. Kesabaranmu lebih baik bagi kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Dan siapa yang tidak cukup biayanya untuk mengawini wanita-wanita merdeka) bukan budak (lagi beriman) ini yang berlaku menurut kebiasaan sehingga mafhumnya tidak berlaku (maka hamba sahaya yang kamu miliki) yang akan dikawininya (yakni dari golongan wanita-wanita kamu yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu) maka cukuplah kamu lihat lahirnya saja sedangkan batinnya serahkanlah kepada-Nya karena Dia mengetahui seluk-beluknya. Dan berapa banyaknya hamba sahaya yang lebih tinggi mutu keimanannya daripada wanita merdeka; ini merupakan bujukan agar bersedia kawin dengan hamba sahaya (sebagian kamu berasal dari sebagian yang lain) maksudnya kamu dan mereka itu sama-sama beragama Islam maka janganlah merasa keberatan untuk mengawini mereka (karena itu kawinilah mereka dengan seizin majikannya) artinya tuan dan pemiliknya (dan berikanlah kepada mereka upah) maksudnya mahar atau maskawin mereka (secara baik-baik) tanpa melalaikan atau menguranginya (sedangkan mereka pun hendaknya memelihara diri) menjadi hal (bukan melacurkan diri) atau berzina secara terang-terangan (serta tidak pula mengambil gundik) selir untuk berbuat zina secara sembunyi-sembunyi. (Maka jika mereka telah menjaga diri) artinya dikawinkan; dalam suatu qiraat dibaca ahshanna artinya telah kawin (lalu mereka melakukan perbuatan keji) maksudnya berzina (maka atas mereka separuh dari yang berlaku atas wanita-wanita merdeka) yakni yang masih perawan jika mereka berzina (berupa hukuman) atau hudud yaitu dengan didera 50 kali dan diasingkan setengah tahun. Dan kepada mereka ini dikiaskan hukuman bagi budak lelaki. Dan kawinnya hamba sahaya itu tidaklah dijadikan syarat untuk wajibnya hukuman, tetapi hanyalah untuk menunjukkan pada dasarnya mereka itu tidak menerima hukum rajam. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkannya mengawini hamba sahaya sewaktu tak ada biaya itu (ialah bagi orang yang takut akan berzina) `anat artinya yang asli ialah masyaqqat atau kesulitan. Dinamakan zina demikian ialah karena dialah yang menyebabkan seseorang menerima hukuman berat di dunia dan siksa pedih di akhirat (di antara kamu). Ini berarti berbeda bagi orang yang tidak merasa khawatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan, maka tidak halal baginya mengawini hamba sahaya itu. Demikian pula orang yang punya biaya untuk mengawini wanita-wanita merdeka. Pendapat ini juga dianut oleh Syafii. Hanya dalam firman Allah, "... di antara wanita-wanitamu yang beriman," menurut Syafii tidak termasuk wanita-wanita kafir sehingga tidak boleh kawin walau ia dalam keadaan tidak mampu dan takut dirinya akan jatuh dalam perbuatan maksiat. (Dan jika kamu bersabar) artinya tidak mengawini hamba sahaya (itu lebih baik bagi kamu) agar kamu tidak mempunyai anak yang berstatus budak atau hamba sahaya. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) dengan memberikan kelapangan dalam masalah itu.
Tafsir Surat An-Nisa': 25
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak mempunyai cukup biaya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya, dan berilah mas kawinnya menurut yang patut, sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan cara kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka hukuman separuh dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian. Tetapi jika kalian bersabar maka itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 25
Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak mempunyai cukup biaya.” (An-Nisa: 25)
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
“Untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.” (An-Nisa: 25)
Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak mempunyai cukup biaya untuk mengawini wanita merdeka.” (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan thaulan adalah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.
“Maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki”. (An-Nisa: 25)
Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan: “Dari budak-budak wanita kalian yang beriman.” (An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan Muqatil ibnu Hayyan.
Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya: “Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain.” (An-Nisa: 25) Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, wahai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut. Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya.” (An-Nisa: 25)
Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikian pula halnya si tuan merupakan wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadits yang mengatakan: “Budak yang kawin tanpa seizin tuannya, maka dia adalah seorang pezina.” Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadits yang mengatakan: “Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.”
Firman Allah ﷻ: “Dan berilah mas kawinnya menurut yang patut.” (An-Nisa: 25)
Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka dengan cara yang baik, dengan kerelaan hati kalian; dan janganlah kalian mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena mereka adalah budak-budak perempuan yang dimiliki.
Firman Allah ﷻ: “Yang memelihara kehormatannya.” (An-Nisa: 25)
Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
“Bukan pezina.” (An-Nisa: 25)
Yang dimaksud dengan musafihat ialah wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat keji terhadap dirinya.
Firman Allah ﷻ: “Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” (An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat mesum terhadap dirinya. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan firman-Nya: “Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” (An-Nisa: 25) Yakni laki-laki piaraan.
Hal yang sama dikatakan menurut riwayat Abu Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Suddi; mereka semuanya mengatakan, yang dimaksud adalah laki-laki piaraan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai temannya.
Adh-Dhahhak pernah pula mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” (An-Nisa: 25) Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki yang ia setujui untuk kumpul kebo. Allah ﷻ melarang hal tersebut, yakni mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan demikian.
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan cara kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka hukuman separuh dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (An-Nisa: 25)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna; sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim. Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna; pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:
Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Suddi. Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati' (sanadnya terputus). Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma (kesepakatan) kebanyakan ahlul 'ilmi (ahli ilmu)."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini sebuah hadits marfu'. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Thalib, bahwa Rasulullah ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan cara kawin.” (An-Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya: “Ihsan seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka (budak-budak wanita yang berzina)." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini munkar. Menurut kami, dalam sanad hadits ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya; hadits seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan).
Al-Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya. Pendapat ini dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam Syafii.
Al-Laits ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka; dan sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.
Menurut pendapat lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Pendapat yang kuat (hanya Allah-lah yang mengetahui) adalah bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat Allah ﷻ telah berfirman: “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak mempunyai cukup biaya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 25) Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman.
Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafir, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak. Analisis mereka sehubungan dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti penjelasan berikut:
Pertama, menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa makna yang tersirat lebih diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat. Banyak hadits yang mengandung makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami prioritaskan ketimbang makna yang tidak tersirat. Antara lain ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali , bahwa ia pernah berkhotbah, "Wahai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah ﷺ melakukan perbuatan zina, maka beliau ﷺ memerintahkan kepadaku untuk menderanya. Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ bersabda: 'Tindakanmu baik, biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''. Menurut riwayat Abdullah ibnu Ahmad, dari selain ayahnya, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apabila dia telah bebas dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.”
Dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina lagi untuk kedua kalinya, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan zinanya terbukti, hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai dengan) seutas tali bulu (sangat murah).
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut: “Apabila si budak berbuat zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat kalinya.”
Malik telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu Rabi'ah Al-Makhzumi yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy. Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak lima puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.
Kedua, menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya, melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir (hukuman yang tidak ditentukan oleh Qur'an dan hadits yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa). Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu riwayat darinya. Alasan mereka adalah makna yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan. Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih diprioritaskan oleh mereka daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia masih belum kawin. Maka beliau ﷺ menjawab: “Jika ia berbuat zina, maka hukumlah dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia; kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.” Ibnu Syihab mengatakan, "Aku tidak mengetahui ada yang ketiga atau yang keempat kalinya."
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain. Menurut riwayat Imam Muslim, Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas tali. Mereka mengatakan bahwa di dalam hadits ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya, yaitu separuh dari hukuman wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan pengertian ayat dengan hadits ini.
Dalil lain yang lebih jelas daripada hadits di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur dari Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tiada hukuman terhadap budak wanita sebelum dia kawin, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separuh hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).”
Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafal yang sama secara marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadits ini keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas." Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi melalui hadits Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni bukan marfu'). Mereka mengatakan bahwa hadits Ali dan Umar membahas masalah a'yan, sedangkan terhadap hadits Abu Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:
Pertama, bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan antara haditsnya dengan hadits ini.
Kedua, ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: “Maka hendaklah ia menegakkan hukuman had terhadapnya” merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi, sebagai buktinya ialah ada pada jawaban yang ketiga. Yaitu bahwa hadits ini bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendiri. Hadits yang berasal dari dua orang itu jelas lebih diutamakan daripada hadits yang hanya berasal dari satu orang saja.
Selain itu Imam An-Nasai meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadits Abbad ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila budak wanita berbuat zina, maka deralah ia oleh kalian; kemudian jika ia berzina lagi, maka deralah pula dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah pula ia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi maka juallah dia, sekalipun dengan harga seutas tali.”
Ketiga, tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafal had dalam hadits ini dengan maksud hukuman dera; karena ketika yang disebutkan adalah hukuman dera, maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan lafal had dengan maksud hukuman ta'zir. Perihalnya sama dengan sebutan had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat zina, yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian, seperti Imam Ahmad dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
Sesungguhnya hukuman had yang hakiki adalah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Lut.
Ibnu Majah meriwayatkan juga lbnu Jarir di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina selagi ia belum kawin." Sanad atsar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
Merupakan pendapat yang aneh jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari pengertian ayat ini dan belum sampai kepadanya hadits mengenai hal tersebut. Jika dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya dalam masalah ini. Ayat ini (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai hukuman had separuh dari hukuman yang dikenakan terhadap wanita merdeka.
Jika ia berbuat zina sebelum ihsan (kawin), maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (An-Nur: 2)
Hadis Ubadah ibnus Samit mengatakan: “Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka; orang yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.”
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Imam Muslim, dan hadits-hadits lainnya. Pendapat ini dikenal bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini sangat lemah, karena bilamana Allah ﷻ telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin dengan hukuman dera separuh dari hukuman yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia melakukan zina sebelum kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.
Nabi ﷺ sendiri ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang hukum budak wanita yang berbuat zina, sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi ﷺ menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka sengaja bertanya kepada Nabi ﷺ karena tidak ada penjelasan hukum seratus kali dera terhadap budak-budak wanita yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak demikian pengertiannya, maka apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada perbedaan di antara keduanya (yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya ayat ini belum diturunkan.
Namun mengingat mereka mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang lainnya, lalu Nabi ﷺ menjelaskan hal tersebut kepada mereka. Perihalnya sama dengan pengertian sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang melakukan salawat buat Nabi ﷺ. Lalu Nabi ﷺ menerangkannya kepada mereka, kemudian beliau bersabda kepada mereka: “Dan mengenai salam adalah seperti apa yang telah kalian ketahui.” Menurut lafal yang lain, ketika Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56) Para sahabat bertanya, "Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah bersalawat untukmu?" Hingga akhir hadits. Demikian pula maksud pertanyaan yang terkandung pada hadits di atas mengenai pengertian ayat, dikemukakan oleh Abu Saur.
Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang dikemukakan oleh Daud ditinjau dari berbagai segi. Dikatakan demikian karena ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separuh dari hukuman yang dikenakan terhadap wanita merdeka yang telah kawin, yaitu hukuman rajam; padahal hukuman rajam itu tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus dikenai hukuman rajam. Jika sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali." Ternyata Abu Saur keliru dalam memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum masalah ini.
Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum muslim tidak ada yang memperselisihkan bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap budak dalam masalah zina. Itu karena ayat ini menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separuh dari hukuman yang dikenakan terhadap wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafal al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya: “Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak mempunyai cukup biaya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.” (An-Nisa: 25) Yang dimaksud adalah wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka.
Firman Allah ﷻ yang mengatakan “hukuman separuh dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami” (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparuh (dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims; dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Thalib. Maka Ali ibnu Abu Thalib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu anak bagi firasy (perempuan yang sah digauli secara syar'i), sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing sebanyak lima puluh kali deraan. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari pengertian (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat.
Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina ialah separuh hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam atasnya, baik sebelum atau pun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had yang mereka terima (budak-budak wanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua keadaan berdasarkan sunnah. Pendapat ini dikatakan oleh penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan atsarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafal ayat, karena sesungguhnya kami mengambil kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila bukan dari ayat.
Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separuh hukuman had orang merdeka. Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu.
Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya. Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Wahai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun yang belum kawin." Sedangkan hadits-hadits yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadits Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu: “Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.”
Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti penjelasan berikut:
Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separuh hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab Imam Syafii.
Menurut Imam Abu Hanifah, pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka; jika ia melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya; dan jika ia melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak wanita yang bersangkutan.
Menurut Imam Malik, sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki (yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak wanita. Memang sehubungan dengan masalah ini ada hadits Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya.
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan ialah adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si terpidananya adalah wanita.
Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai hukuman ta'zir bila ia belum kawin.
Dalam pembahasan di atas disebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama dengan pendapat yang kedua.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.
Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin maka dikenai hukuman rajam. Pendapat ini dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula; hanya Allah yang mengetahui pendapat yang benar.
Firman Allah ﷻ: “Itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian.” (An-Nisa: 25) Sesungguhnya diperbolehkan mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas, hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya kepayahan. Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila ia terpaksa mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing, maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul qadim (pendapat awal) Imam Syafii.
Firman Allah ﷻ: “Tetapi jika kalian bersabar maka itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 25)
Dari ayat ini jumhur ulama menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan syarat bila lelaki yang bersangkutan tidak mempunyai biaya yang cukup untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan menimbulkan mafsadat (kerugian) bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.
Imam Abu Hanifah dan semua muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum pernah kawin dengan wanita merdeka, diperbolehkan baginya mengawini budak perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai biaya yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut terjerumus ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada pengaruhnya.
Dalil yang menjadi pegangan mereka (jumhur ulama) adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.” (Al-Maidah: 5) Yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya, pengertiannya umum mencakup wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.
Dan barang siapa di antara kamu, wahai kaum muslim, yang tidak mempunyai biaya yang dapat dipergunakan sebagai perbelanjaan untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang bukan kamu miliki tetapi dimiliki oleh saudaramu sesama muslim. Allah mengetahui keimanan yang ada dalam hati-mu sekalian. Janganlah kamu selalu mempersoalkan masalah keturunan, karena sebagian dari kamu adalah saudara dari sebagian yang lain sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Karena itu, bila kamu benar-benar tidak mampu menikahi perempuanperempuan merdeka, maka nikahilah mereka, yakni perempuan-perempuan hamba sahaya itu, dengan izin tuan yang memiliki-nya dan berilah mereka maskawin yang pantas sesuai dengan yang berlaku di kalangan masyarakat dan kondisi hamba sahaya pada waktu itu, yang tidak memberatkan kamu dan tidak pula merugikan si perempuan dan tuannya, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kesucian diri mereka, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya yang mereka sembunyikan. Apabila mereka telah berumah tangga atau bersuami, tetapi masih saja melakukan perbuatan keji dengan berbuat zina yang terbukti secara hukum, maka berilah hukuman bagi mereka yang besarnya setengah dari apa, yakni hukuman perempuan-perempuan yang merdeka dan bersuami. Kebolehan menikahi hamba sahaya itu adalah izin bagi orang-orang yang takut terjatuh terhadap kesulitan dalam upaya menjaga diri dari perbuatan zina. Tetapi jika kamu bersabar dengan cara menahan diri agar tidak berzina atau menikahi hamba sahaya, itu lebih baik bagimu daripada menikahi mereka. Allah Maha Pengampun, Maha PenyayangAllah Zat Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana secara terus menerus hendak menerangkan hukum-hukum syariat-Nya kepadamu termasuk hukum tentang hubungan laki-laki dan perempuan, dan juga secara terus-menerus hendak menunjukkan kepada kamu jalan-jalan kehidupan orang yang sebelum kamu yakni para nabi dan orang-orang saleh, dan Dia secara terus-menerus pula menerima tobatmu selama kamu bertobat dengan tulus dan sepenuh hati. Allah Maha Mengetahui siapa di antara kamu yang bertobat dengan tulus sepenuh hati dan siapa yang hanya separuh hati, Mahabijaksana dalam menetapkan hukumhukum-Nya.
Dari permulaan surah an-Nisa sampai ayat 25 diperlihatkan gambaran kehidupan transisi masa jahiliyah dengan masa permulaan Islam. Pertama, soal pemilikan harta anak yatim oleh kerabat dari pihak bapak, kedua, laki-laki yang dapat mengawini perempuan dalam jumlah istri yang tanpa batas dibatasi menjadi empat istri, dan ketiga, masalah keluarga dan perbudakan, terutama budak perempuan. Waktu itu perbudakan yang sudah melembaga di seluruh dunia, tidak terkecuali di Semenanjung Arab masa jahiliyah, memang sangat subur. Secara bertahap semua penyakit masyarakat ini harus diubah, dan inilah yang sudah dimulai pada masa permulaan Islam, seperti yang dapat kita lihat dalam ayat-ayat di atas. Al-Qur'an telah merekam peristiwa-peristiwa yang berlaku waktu itu, dan ini perlu, karena ajaran Islam dalam masalah ini menghapus perbudakan dalam bentuk apa pun (2: 177, 9: 60), dicontohkan oleh Nabi yang telah membebaskan budak-budak yang ada padanya, oleh Abu Bakar as-Siddiq yang telah membeli 7 orang budak dari tuannya lalu dibebaskan sebagai orang merdeka, termasuk Bilal (lihat tafsir 92: 17-18). Dalam zakat, asnaf ke-5 penerimaan zakat dapat digunakan untuk memerdekakan budak.
Menikah dengan seorang perempuan yang merdeka, menuntut syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak suami, seperti memberi mahar, nafkah dan sebagainya. Maka jika seseorang tidak mempunyai biaya dan nafkah yang cukup untuk menikahi seorang perempuan merdeka yang beriman, maka dia dibolehkan menikahi hamba sahaya yang beriman.
Orang yang menikah dengan hamba sahaya biasanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik di dalam masyarakat, bahkan tidak jarang mendapat ejekan dan cemoohan. Apabila orang yang menikah dengan hamba sahaya memperlakukan dengan baik serta sabar menahan cemoohan dan ejekan, selama dia melayarkan bahtera rumah tangganya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Semua ketentuan ini sebagai lanjutan ayat sebelumnya, tidak lepas dari peristiwa perang yang terjadi waktu itu dengan segala akibatnya sehingga tawanan-tawanan perang dalam hal tertentu dapat dijadikan budak belian dan hamba sahaya, seperti yang sudah menjadi ketentuan dunia waktu itu. Apa yang telah direkam dalam Al-Qur'an memperlihatkan kepada kita betapa buruknya kondisi masyarakat itu, masyarakat jahiliyah. Selain hamba sahaya yang sudah melembaga begitu mendalam dalam masyarakat, ditambah lagi dengan ketentuan, bahwa setiap tawanan perang harus menjadi budak baru. Secara berangsur masalah sosial demikian yang sudah dianggap wajar dalam masyarakat harus diubah. Dalam hal ini perubahan tentu tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. Salah satunya dengan cara menebus atau membeli budak-budak itu lalu dimerdekakan, dan orang beriman harus berusaha untuk itu, seperti yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an tersebut di atas. Dengan demikian segala macam kelas sosial, terutama perbudakan harus dihapus, dan martabat manusia harus dikembalikan kepada fitrahnya. Manusia dilihat hanya dari ketakwaannya (49: 13). Dalam masyarakat Muslim tidak boleh ada perbudakan, termasuk penjajahan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TIDAK BOLEH MENGAWINI ORANG BERSUAMI
Sesudah Allah menjelaskan siapa perempuan-perempuan yang disebut mahram, yang tidak boleh dinikahi karena bertali darah atau karena dipertalikan oleh air susu, atau karena mertua dan menantu, sekarang Allah menerangkan lagi perempuan yang tak boleh dikawini, bukan karena mahram melainkan karena telah ada yang punya.
Berfirman Allah,
Ayat 24
“Dan yang telah bersuami daripada perempuan-perempuan."
Atau dalam bahasa yang lebih mudah “perempuan-perempuan yang telah bersuami." Yang telah bersuami kita jadikan arti dari kalimat al-Muhshanat. Arti asalnya ialah yang telah dibentengi. Sebab apabila seorang perempuan telah bersuami, berarti dia telah dibentengi oleh perlindungan suaminya sehingga orang tidak boleh masuk ke dalam lagi. Kelak di dalam ayat ini juga kita akan bertemu kalimat mubshanat. Artinya pun sama, yaitu perempuan-perempuan yang ter-benteng, perempuan baik-baik yang tidak boleh diganggu. Dijelaskanlah di dalam ayat ini bahwasanya perempuan yang telah terpelihara dalam perbentengan lindungan suaminya tidak boleh dinikahi lagi. Sama saja, apakah perempuan itu orang Islam atau lain agama, agama apa saja. Pendeknya, sekalian perempuan yang telah ada suami tidak boleh dinikahi lagi.
“Kecuali mana yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Yang dimiliki tangan kanan ialah perempuan yang telah menjadi hamba sahaya, menjadi budak kepada kamu. Perbudakan ini terjadi sebab peperangan. Peperangan itu hendaklah perang karena agama. Di dalam istilah ahli fiqih ada dicantumkan bahwa jika terjadi perang di antara satu negeri Islam dan satu negeri kafir, negeri Islam itu dinamai
Darul Islam dan negeri yang diperangi itu dinamai Darul Harb (Negeri Perang) Lalu negeri itu diserbu dan diserang. Mereka pun kalah, dan orang laki-lakinya banyak yang mati, penduduknya yang masih tinggal ditawan dan diangkut ke Darul Islam.
Orang tawanan itu, menurut peraturan sejak zaman purbakala, hilang kemerdekaannya dan menjadi budak dari bangsa yang menang. Di antara perempuan-perempuan yang ditawan ada yang mati seluruh keluarganya laki-laki, termasuk suaminya. Ada juga yang suaminya masih hidup, tetapi tidak diketahui lagi ke mana perginya. Jika perempuan tawanan itu jatuh ke tangan orang Islam yang menang, bolehlah perempuan itu diperistri. Tetapi kalau perempuan itu tertawan bersama suaminya, tidak juga boleh tuan yang menguasainya itu memperistri dia, sebab dia masih ter-benteng oleh suaminya, meskipun keduanya sama-sama budak dari satu tuan.
Perempuan yang telah lenyap suaminya itu, baik karena mati dalam perang maupun hilangtidaktentu rimbanya, bolehlah diperistri dengan terlebih dahulu melalui istabrash. Yaitu hendaklah diketahui terlebih dahulu, apakah dia dalam mengandung sebagai hasil percampurannya dengan suaminya yang telah gaib itu. Kalau ternyata dia hamil, hendaklah ditunggu sampai anaknya lahir, baru halal disetubuhi,
Madzhab Hanafi dan Hambali menegaskan bahwa dua suami istri yang tertawan, tidaklah halal tuannya memisahkan si istri dari suaminya karena istrinya itu hendak diperistri oleh tuannya. Perbudakan dalam hal ini tidak sampai masuk ke dalam untuk merusak perbentengan suami istri.
Islam telah mendapati peraturan sejak zaman purbakala bahwa penduduk satu negeri yang telah dikalahkan adalah menjadi tawanan dari yang menang. Sampai abad kedua puluh ini soal tawanan itu masih tetap berlaku. Tawanan artinya ialah jadi budak selama
ditawan. Tidaklah mungkin pada saat Islam mulai tumbuh, Nabi Muhammad sekaligus menghapuskan perbudakan, padahal peperangan masih ada. Alangkah janggalnya kalau Nabi Muhammad membebaskan dan menghabiskan tawanan, sedang kaum Muslimin sendiri kalau kalah jadi tawanan pula.
Di dalam surah Muhammad ayat 4 diakui-lah adanya tawanan. Disuruh menggempur musuh dan memancung leher mereka dan desak terus; mana yang menyerah jadikan tawanan.
“Maka (sesudah itu), baik pun mereka dibebaskan atau disuruh menebus, sehingga perang menghentikan kesengsaraannya." (Muhammad: 4)
Jelas bahwa berperang dengan sendirinya menimbulkan tawanan. Tetapi kalau peperangan selesai, kesengsaraan perang telah habis, asap tidak mengepul lagi, darah tidak mengalir lagi, waktu itu bolehlah mereka dibebaskan saja, dan boleh juga diminta tebusan atau pertukaran tawanan. Namun selama perang berlaku, yang tertawan tetap tawanan. Kadang-kadang karena sangat hebatnya peperangan dan kekalahan pihak musuh, laki-lakinya habis mati, negerinya rusak dan perempuannya telantar. Kalau dibebaskan saja, ke mana mereka akan pergi. Mungkin menjadi perempuan lacur. Disuruh menebus, tidak ada lagi yang akan menebus. Di sini timbul asal perbudakan.
Perhatikanlah! Ayat pada surah Muhammad bukanlah menyuruh adakan perbudakan. Tetapi membolehkan karena begitulah yang ada dalam hal ihwal perang.
Budak tidaklah merdeka lagi. Dia telah menjadi hak milik tuannya, sebagaimana berhak milik atas barang, senjata, kuda, dan lain-lain. Lantaran itu boleh dia jual, boleh dia hadiahkan kepada orang lain, dan boleh dia pakai, sebagaimana memakai istri kalau dia perempuan. Dengan demikian, anaknya dengan perempuan budaknya adalah anak yang sah. Tetapi di zaman Sayyidina Umar, beliau buat satu peraturan baru, yaitu budak perempuan yang telah beranak dengan kamu, dilarang kamu jual. Dia diberi sebutan Ummul Walad (ibu anak-anak)
Sebagaimana dapat dilihat pada sejarah perkawinan Nabi kita Muhammad ﷺ, beliau telah memberikan teladan yang amat mulia terhadap budak tawanan, yaitu Shafiyah binti Huyai. Ayahnya, musuh besar Rasulullah ﷺ dan musuh Islam, meninggal dihukum bunuh ketika peristiwa perhukuman atas khianatnya Yahudi Bani Quraizhah, dan suaminya tewas ketika kalah mempertahankan benteng Khai-bar dari serangan Islam. Beliau menjadi tawanan dan menjadi hak milik dari Rasulullah ﷺ. Akan tetapi, karena Shafiyah seorang bangsawan Bani Israil, keturunan Nabi Harun pula, tidaklah beliau pergunakan hak untuk menyetubuhinya sebagai budak. Tetapi beliau merdekakan dia, lalu beliau pinang dia kepada dirinya, sudi kiranya bersuami dia, dan maharnya adalah kemerdekaan yang diberikan itu: ‘Ithquha,Shadaquha, kata pencatat sejarah. Kemerdekaan itu maharnya. Dengan demikian kedudukannya sama dengan Aisyah dan Hafsah dan istri-istri beliau yang lain.
Hal inilah yang sebaik-baiknya menyelesaikan sgal perempuan yang telantar karena negerinya ditaklukkan.
Namun, syara' menjelaskan bahwa timbulnya budak sebagaimana ini adalah karena peperangan agama. Sebab itu seketika terjadi perang saudara di antara golongan Ali dengan golongan Mu'awiyah, kedua belah pihak meskipun pernah terjadi tawan-menawan tidak' lah melakukan memperbudak pihak lawannya. Tetapi kaum Khawarij yang ekstrem tidak puas dengan peraturan ini. Karena menurut mereka, golongan Mu'awiyah telah kafir. Ini salah satu sebab mereka memisahkan diri dari Ali.
Dalam sa'tu abad kedua puluh, sudah dua kali dunia dikejutkan oleh perang besar. Terjadi tawan-menawan, terjadi penerobosan tentara ke suatu negeri, misalnya tentara Rusia masuk ke Jerman, atau tentara Jerman menerobos Rusia sebelumnya, atau tentara Serikat masuk ke Eropa. Tanyakanlah kepada bangsa-bangsa yang berperang itu betapa hebatnya nasib perempuan-perempuan pada negeri-negeri yang diterobos musuh itu. Soal perempuan di negeri yang kalah tatkala musuh masuk itu, belum ada pemecahannya pada bangsa-bangsa itu sampai sekarang ini. Di Jepang terdapat berpuluh ribu anak serdadu Amerika yang ditinggalkan begitu saja sehingga menjadi beban berat sosial bagi bangsa Jepang. Apatah lagi perang di zaman sekarang adalah perang total, tidak lagi memandang penduduk sipil. Kalau Islam mengadakan peraturan seperti ini di dalam saat perjuangannya—bahwa perempuan tawanan yang tidak dapat dibebaskan, menurut surah Muhammad ayat 4 tadi, atau tidak ada lagi yang akan menebus— boleh menjadi milik dari yang menawan dan anak dengan mereka adalah menjadi anak yang sah dari tuannya, dapatlah dimaklumi betapa penting peraturan ini dalam Islam. Kalau tidak dibegitukan, akan bagaimanalah hebatnya pelacuran sehabis perang.
Banyak di antara khalifah Bani Abbas adalah anak dari budak perempuan. Khalifah al-Ma'mun sendiri adalah anak dari Ummul Walad. Sebab kerajaan-kerajaan Islam itu tidak mengenal anak gahara dan anak budak. Semua anak sama kedudukannya, walaupun ada yang ibunya merdeka atau budak, sama berhak jadi khalifah.
Perang-perang ekspansi, perebutan kuasa kerajaan dengan kerajaan, walaupun di antara negeri Islam dengan negeri kafir, misalnya jika di zaman sekarang perang Kerajaan Saudi Arabia dengan Amerika, tidaklah berlaku menjadikan orang merdeka sebagai budak. Apatah lagi jika Islam sesama Islam, misalnya perang Mesir dengan Yaman.
Demikian juga perbuatan sangat keji yang dilakukan orang di abad ketujuh belas, kedelapan belas, dan kesembilan belas,yaitu dengan senjata lengkap orang-orang kulit putih atau orang Arab meramu ke dalam negeri Afrika, merampok, merampas, menjarah kampung-kampung di Afrika, lalu menawani orang sekeluarga dihalaukan ke kapal lalu dijual ke pasar budak, diperniagakan ke Amerika dan sebagainya. Budak-budak yang timbul dari yang semacam itu, tidak diakui sah untuk dijadikan halal disetubuhi menurut syari'at Islam.
Atau seperti kejadian perempuan-perempuan Cina miskin di Hongkong Singapura menjual anak gadisnya seketika masih kecil, tidaklah boleh disetubuhi menurut peraturan yang disebutkan tadi. Sebab semuanya itu bukan berasal dari tawanan perang karena agama, tetapi kejahatan yang timbul dalam masyarakat, merampas kemerdekaan manusia yang merdeka.
Syukurlah umat Islam Melayu yang membeli gadis-gadis Cina melarat di Singapura, menurut pengetahuan kita, hanya mengangkat jadi anak dengan menyusukannya, lalu mengislamkan, dan setelah besar dikawinkan de-ngan pemuda Islam, mendirikan rumah tangga Islam.
Sesudah itu datanglah penjelasan, “Ketetapan Allah atas kamu." Artinya bahwa yang tersebut itu adalah suatu ketetapan atau perintah dari Allah sendiri yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dibuat semau-mau-nya. Sudah dilarang keras menikahi sekalian yang dinamai mahram itu, baik mahram karena pertalian darah, seumpama ibu, anak, dan saudara perempuan, maupun karena istri dari anak dan cucu, anak-anak tepatan, atau mengumpulkan dua orang bersaudara, lalu ditambah lagi larangan menikahi orang bersuami seperti yang disebut terakhir. Semuanya itu sudah ketetapan dari Allah. Barangsiapa melanggarnya, tidaklah sah nikahnya, dan haramlah pergaulannya selamanya, termasuk pergaulan di luar nikah, menjadi zina. “Dan dihalalkan atas kamu selain dari itu." Halallah misalnya kawin dengan anak saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu, ibu tiri dari istri sendiri, dan sebagainya. Tentu saja tidak termasuk dalam himpunan yang lain dari yang tersebut itu siapa-siapa yang telah ditentukan oleh ayat-ayatyanglain di surah lain misalnya perempuan musyrik jangan dikawini oleh laki-laki Mukmin, jangan mengawini perempuan yang telah terkenal karena pezina. Yang selamanya itu dilarang selama sebab pelarangnya masih ada, dan hilang larangan kalau sebab yang menghambatnya itu sudah hilang. Kalau yang musyrik sudah beriman, yang berzina sudah tobat, dan yang murtad sudah kembali ke Islam.
“Buat kamu mencari istri dengan harta benda kamu." Maksudnya ialah selain dari yang telah dilarang itu, bolehlah kamu cari istri itu. Karena memang mendirikan rumah tangga tidaklah cukup hanya dengan keyakinan cinta saja. Cinta akan luntur kalau harta benda tidak ada, “Sebenar berkawin bukan berzina/'
Dalam ayat ini bertemu sekali lagi kata-kata muhshinin, yang kita artikan ‘sebenar berkawin/ Karena sebagai kita tafsirkan di atas tadi, kata muhshinin atau muhshanat terambil dari pokok kata Husn, artinya ‘benteng/ Inti sari membentuk suatu rumah tangga, mengawini seorang perempuan ialah hendak membentengi diri, membentengi hawa nafsu, dan syahwat faraj atau seks. Dengan sebab perkawinan, seorang laki-laki menjadi muhshin dan seorang perempuan menjadi muhshinat.
Kita artikan pula kalimat Ghaira Musafihin dengan bukan berzina. Karena pokok asal dari arti Musafihin ialah dari Safah yaitu orang yang menumpahkan air. Di sini ialah orang yang menumpahkan air maninya dengan tidak memikirkan halal haram. Oleh sebab itu, jika pun ada harta benda dan sanggup membayar perempuan berapa saja, lebih baiklah digunakan untuk membenteng kehormatan diri dengan kawin, jangan digunakan harta benda itu membeli kehormatan perempuan guna menumpahkan air mani dengan tidak berke-tentuan.
Dalam ayat ini sudah tersimpan suatu peringatan bahwa kemewahan lantaran kebanyakan harta benda kerap kali menyebabkan orang tak dapat lagi mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya. Sehingga apabila dia melihat perempuan cantik, nafsunya hendak mempunyai terus perempuan itu. Tidak ada yang akan menghambat, sebab uang banyak atau dia adalah orang yang berkuasa. Diberilah peringatan bahwa sebaiknya dengan uang banyak itu ditempuh jalan yang suci, bukan jalan kotor. Sebab nafsu kepada perempuan kalau tidak terkendali, bisa saja berubah menjadi suatu penyakit jiwa dan tidak tahu malu.
“Maka barang apa pun kesenangan yang kamu dapat dari perempuan-perempuan itu, berikanlah kepada mereka mas kawin mereka sebagai suatu kewajibanArtinya dengan sebab perkawinan terdapatlah kesenangan atau ketenteraman diri; sebab hidup terpencil seorang diri telah mendapat teman hidup. Niscaya wajiblah penyelenggaraan istri itu dibayar dengan sepatutnya. Mulai kawin dia dinamai mahar, atau shadaq, atau mas kawin. Setelah bergaul serumah tangga, wajiblah membayar nafkah. Itu adalah kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah. Tidak boleh nikah dengan tiada pakai mahar dan tidak boleh pergaulan dengan tidak memberikan nafkah. Karena kita sebagai laki-laki telah diberi kesempatan bersenang-senang atau istimta' dengan perempuan itu.
Tetapi setelah kewajiban itu dipenuhi dan disadari, namun patri sejati dari sebuah rumah tangga janganlah dilupakan. Sebab itu datanglah lanjutan ayat, “Tetapi tidaklah mengapa kamu berkeridhaan sesudah ada ke-tentuan."
Alangkah indahnya bunyi ayat ini, utang yang wajib dibayar hendaklah dibayar. Tetapi setelah tentu pasti pembayaran utang itu, selalu terbuka bagi cinta sama cinta, ridha-me-ridhai menjadi patri-mesra dari satu pergaul-an. Sebab harta itu telah hartanya, tentu dia berhak buat menghadiahkannya kembali.
Lihatlah suri teladan yang diberikan Siti Khadijah selama dia bersuami Muhammad ﷺ lima belas tahun sebelum beliau menjadi Rasul. Mas kawin Khadijah dibayar penuh oleh Nabi kita. Tetapi setelah mas kawin itu dibayar dan telah bergabung dengan hartanya yang lain, akhirnya bukan jiwa dan ragarya saja yang diserahkannya kepada suaminya, bahkan hartanya pun sekali. Sehingga perbelanjaan Rasulullah di dalam melakukan dakwah Is-lamiah di zaman perjuangan pertama sebagian besar adalah dari harta Khadijah. Tidak dihitung lagi pembagian kepunyaan sebab sudah jadi punya berdua. Bahkan seluruh kehidupan adalah kepunyaan berdua.
Sehubungan dengan ini, teringatlah penafsir akan cerita yang disampaikan kepada penafsir oleh sahabat penafsir Almarhum Sayyid Abdulhamid al-Khatib, putra dari Almarhum Syekh Ahmad Khatib, ulama Minangkabau yang masyhur di Mekah di permulaan abad kedua puluh itu (Syekh Ahmad Khatib meninggal tahun 1916)
Sayyid Abdulhamid bercerita bahwa seketika ayahnya masih menuntut ilmu di Masjidil Haram, kerap dia singgah di Babus Salam, pada sebuah kedai kitab kepunyaan seorang Kurdi, yang bernama Sayyid Hamid Kurdi. Dia singgah di sana membeli kitab-kitab yang penting. Kadang-kadang kalau dia tidak ada uang buat pembeli, dia meminta permisi saja muthala'ah salah satu kitab penting itu, dan dia duduk beberapa saat membalik-baliknya dan memerhatikan satu masalah yang sedang hendak dia pecahkan. Hamid Kurdi senantiasa memerhatikan buku yang dibaca pemuda ini atau buku yang dibelinya. Tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang benar-benar besar kemudiannya. Lalu dia bertanya kepada pemuda itu dengan siapa dia belajar dan dari mana asal usulnya dan apa madzhab yang dianutnya. Ahmad Khatib telah menceritakan siapa-siapa gurunya, di antaranya ialah Sayyid Zaini Dahlan. Utama Syafi'iyah yang terkenal di masa itu. Dikatakannya bahwa dia berasal dari Bukittinggi (Kotogadang) Minangkabau, dari keturunan orang-orang terkemuka juga dalam adat dan agama di negeri itu. Mendengar jawaban itu, timbullah persahabatan yang mesra di antara si penjual kitab dengan pemuda Ahmad Khatib. Terbukalah toko kitab Hamid Kurdi untuk Ahmad Khatib muthala'ah sesuka hatinya. Mana yang berkenan kepada hatinya boleh diambil saja. Hamid Kurdi tahu bahwa pemuda ini kaya dengan cita-cita, tetapi kurang dalam hal harta, meskipun dia dari keluarga orang baik-baik di negerinya.
Akhirnya rasa suka itu telah lebih mendalam sehingga Hamid Kurdi menawarkan kepada Ahmad Khatib supaya sudi menjadi menantunya. Apatah lagi madzhab orang Kurdi umumnya ialah sama dengan madzhab orang “Jawi" bangsanya Ahmad Khatib. Oleh karena sangat pandainya Hamid Kurdi membujuk pemuda ini, dengan menerangkan melarat yang akan ditemuinya kalau tidak ada istri yang menyelenggarakan, akhirnya Ahmad Khatib tunduk. Tetapi dia menyatakan terus terang bahwa dia tidak ada uang. Kalau diminta ke kampung, belum tentu ayahnya akan memberi, atau terlalu lama baru datang, menunggu orang akan naik haji akan membawanya. Hamid Kurdi mengatakan bahwa asal dia mau kawin dengan anaknya, urusan mas kawin tidak perlu dia susahkan.
Ketika Ahmad Khatib masih ragu akan diterima atau tidak, Hamid Kurdi telah mengumpulkan keluarganya. Lalu memberi tahu kepada mereka bahwa pemuda Ahmad Khatib yang alim meminang putrinya dan telah sedia membayar mas kawin 500 rial majidi.
Setelah dia terangkan kelebihan pemuda ini, terutama sekali persamaan madzhab, seluruh keluarga menjadi setuju. Setelah mereka bubar, diserahkannya uangnya sendiri 500 rial kepada Ahmad Khatib. Dikatakannya uang ini hadiahku kepadamu, buat mas kawin istrimu kelak, yang akan engkau bayar kontan di hadapan qadhi.
Berlangsunglah perkawinan itu. Ahmad Khatib membayar mahar istrinya dari uang yang disodorkan dari jalan belakang oleh bakal mertuanya sendiri. Setelah Ahmad Khatib bertemu dan bergaul dengan istrinya, dan uang itu telah diterima oleh si istri. Si istri pun setelah menyerahkan jiwa ragarya, berkata pula kepada suaminya, karena suaminya itu seorang alim besar, dia ingin sekali menyerahkan mas kawin itu kepada beliau, sebagai hadiah dari seorang murid kepada guru.
Anak tidak mengetahui bahwa ayahnya yang menyodorkan mas kawin itu, dari jalan belakang untuk membela air muka menantu. Karena yang diharapkannya dari menantu itu bukan hartanya, melainkan ilmunya. Si ayah pun tidak tahu bahwa uang itu telah dihadiahkan pula kembali oleh anak perempuannya kepada suaminya, sebagai hadiah murid kepada gurunya. Bertahun-tahun di belakang, setelah harapan dari Hamid Kurdi tercapai, telah bermenantu seorang ulama besar, pengarang kitab-kitab agama yang terkenal. Professor Agama Islam di Masjidil Haram, bermurid beratus-ratus orang yang datang dari seluruh pelosok tanah Indonesia. Yang waktu itu masih bernama Jawi. Barulah kedua rahasia ini terbuka. Semuanya disyukuri kepada Allah. Pada saat itu Ahmad Khatib telah menjadi salah satu bintang ulama Syafi'iyah yang terkenal di seluruh pelosok dunia Islam. Ahmad Khatib pun telah diangkat oleh Syarif Mekah menjadi Imam dan Khatib dari Masjidil Haram.
Beberapa tahun kemudian istrinya yang tercinta dan salihah itu meninggal dunia. Sekali lagi Hamid Kurdi meminta Ahmad Khatib supaya kawin dengan adik almarhumah. Tetapi sekarang mas kawin buat istrinya yang kedua itu tidak lagi disodorkan dari jalan belakang. Sebab Ahmad Khatib telah menjadi salah seorang penduduk Mekah yang terkemuka, dan kaya, dikenal di dalam istana Syarif Mekah sendiri.
Cerita ini mengingatkan kita kepada ayat yang sedang kita tafsirkan. Yaitu membayar mas kawin adalah wajib. Tetapi keridhaan di antara suami dan istri adalah di atas segala mas kawin atau nafkah. Bahkan keridhaan kedua belah pihak adalah alat sejati di dalam menempuh pasang naik atau pasang turun di dalam melayarkan kehidupan.
Ayat 25
“Dan barangsiapa yang tidak sanggup di antara kamu dalam hal pembelanjaan, akan menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah) dari yang dimiliki tangan kanan kamu, dari budak-budak perempuan kamu yang beriman “
Pangkal ayat 25 ini memberi peluang bagi seseorang yang ingin berkawin, tetapi tidak sanggup dengan perempuan-perempuan merdeka, sebab belanjanya atau nafkah rumah tangga terlalu besar, tidak terpikul. Ayat ini membukakan jalan baginya untuk kawin saja dengan perempuan yang tidak merdeka, atau “yang dimiliki oleh tangan kanan kamu."
Di dalam ayat ini terdapat kalimat thou-lan yang diartikan secara ringkas dengan kesanggupan memberi belanja atau nafkah. Arti asli dari kalimat itu adalah serumpun dengan thawilan, artinya ‘panjang' atau ‘berpanjang-panjang.' Selalu tepat pilihan bahasa di dalam rangkuman wahyu.
Orang bisa membayar mahar menurut kesanggupannya. Orang bisa membayar mas kawin hanya dengan sebentuk cincin besi ataupun beberapa ayat Al-Qur'an yang dihafalkan. Tetapi sesudah membayar mas kawin ada lagi yang lebih perlu, yaitu perbelanjaan tiap hari, yang selalu mesti dibayar. Perbelanjaan tiap hari itulah yang lama dan panjang. Niscaya perempuan yang dikawini wajib menerima haknya menurut patutnya. Sebab itu kadang-kadang orang sanggup membayar mahar mahal, tetapi kepayahan memberi nafkah tiap hari. Lebih-lebih jika kawin dengan perempuan merdeka. Sampai ada pepatah bahasa kita, “Beli kuda tidak begitu mahal, yang mahal adalah beli rumput tiap hari."
Oleh sebab itu, di dalam ayat ini dibuka-kanlah pintu bagi seorang laki-laki yang setelah mengukur kekuataannya merasa tidak sanggup kawin dengan perempuan merdeka yang beriman juga. Sebab belanja perempuan budak tidak sebesar belanja perempuan merdeka; keperluan rumah tangganya pun tidak sebesar belanja perempuan merdeka. Yang perlu diperhatikan hanyalah satu hal saja, yaitu keadaan iman dari perempuan budak. Soal iman ini disuruh ambil perhatian pertama. Sebab itu, terusan ayat berkata demikian, “Dan Allah lebih mengetahui akan iman kamu" Soal iman adalah soal hati suci manusia. Dalam hal iman tidak ada pembatasan di antara perempuan merdeka dengan perempuan budak. Kedua-duanya sama-sama budak Allah! Susunan duniawi dalam masyarakat manusia, membuat adanya perempuan merdeka dan ada perempuan budak. Namun dalam soal iman adalah urusan langsung di antara seluruh hamba Allah dengan Allahnya.
Allah lebih tahu akan iman kamu, entah iman si budak lebih tinggi di sisi Allah daripada iman si merdeka. Lantaran itu jika kamu terpaksa memilih kawin dengan budak, iman itulah yang akan diperhatikan. Tentu saja lebih baik perempuan merdeka yang beriman daripada budak merdeka yang beriman, untuk kemegahan hidup di dalam dunia. Tetapi kalau diri tidak sanggup, apakan daya. Cukupkan sajalah budak perempuan beriman. Sebab, “Sebagian daripada kamu adalah daripada bagianUjung ayat ini adalah penawar hati bagi barangsiapa yang dipaksa oleh keadaan mengawini budak. Asal dia beriman, sebagian adalah daripada yang sebagian, yaitu sama martabatnya lantaran iman.
“Maka nikahilah mereka dengan izin ahli mereka." Tadi dikatakan bahwa perempuan budak yang beriman ini dinamai, “Yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Meskipun dia budak, tidak jugalah akan berlangsung per-kawinan kalau tuan yang mempunyainya tidak izin. Sedang perempuan merdeka kalau telah dewasanya dan walinya tidak ada, sahlah kalau Sultan (Pemerintah) atau pegawai yang dikuasakan menikahkan perempuan itu. Adapun perempuan budak yang beriman, tidak dapat dilangsungkan nikah, tidak berhak Sultan (Pemerintah) mengawinkannya kalau tuannya belum mengizinkan.
“Dan berikanlah mas kawin mereka dengan sepatutnya." Kelanjutan ayat ini menegaskan lagi bahwa budak perempuan yang beriman itu pun wajib dibayar mas kawinnya dengan sepatutnya pula. Perbelanjaan atau nafkahnya pun dengan sepatutnya pula. Yang patut menurut ukuran sebab dia budak.
“Berkawin bukan berzina, dan bukan pula mengambil piaraan." Artinya perempuan-perempuan sopan, bukan perempuan sundal dan bukan yang mengambil laki-laki jadi gendak.
Tadi telah disebutkan, hendaklah budak perempuan itu yang beriman. Kemudian diterangkan sekali lagi hendaklah perempuan itu yang sopan atau terbenteng kehormatannya, bukan perempuan sundal yang telah biasa melacurkan diri, dan bukan pula perempuan yang telah biasa dijadikan orang gendak atau “piaraan" di luar nikah.
Ayat ini telah membayangkan bahwa kalau terpaksa kawin dengan perempuan budak karena tidak sanggup memberi belanja nafkah perempuan merdeka dan syarat-syarat iman pada budak itu harus diperhatikan juga, karena dia adalah budak. Seorang budak tidaklah berkuasa penuh atas dirinya, sebab itu nilainya sebagai manusia telah kurang sehingga akan mengawininya hendaklah seizin tuannya. Kalau tuannya tidak izin, tidaklah menjadi. Biasanya perempuan budak itu lebih tidak dapat membenteng dirinya, sebab dia selalu di bawah kuasa tuannya.
Di Madinah pada zaman dahulu, Abdullah bin Ubay, kepala dan pemimpin kaum munafik memaksa budak-budak perempuannya menerima dirinya dizinai oleh para pedagarg lalu lintas dengan memungut bayaran, yang sebagian dari bayaran itu dipungut oleh Abdullah bin Ubay. Ada juga budak-budak perempuan itu yang menerima dirinya menjadi gundik piaraan laki-laki. Bergaul dengan tidak bernikah. Padahal sebagai gundik, hanyalah tuan yang mempunyainya saja, orang lain tidak.
Adapun memelihara budak perempuan sebagai gendak (bukan gundik) adalah satu kebiasaan buruk lagi di masa jahiliyyah. Orang jahiliyyah memburukkan pergaulan zina. Yang mereka namai zina ialah mencampuri seorang perempuan lacur sebagai pelepas haus saja. Mereka tidak mencela memelihara perempuan di luar nikah. Yang bernasib malang sebagai demikian biasanya ialah budak-budak, hamba sahaya perempuan. Persis seperti yang dilakukan orang-orang Belanda di kebun-kebun di Sumatera Timur di zaman penjajahan. Mereka pilih kuli-kuli kebun yang cantik, lalu mereka suruh tinggal di rumah mereka. Siang dipakai sebagai babu atau koki, dan malam dipakai untuk teman tidur. Mereka dinamai Nyai. Orang jahiliyyah memandang bahwa pergaulan seperti itu tidak ada celanya. Belanda di Deli memandang pergaulan seperti itu pun tidak ada celanya. Pada suatu masa di Indonesia kita yang merdeka ini, banyak pembesar-pem-besar “menyimpan" nyai-nyai peliharaan itu di rumah-rumah kampung, dan mengatakan itu tidak ada celanya. Padahal segala semacam demikian tetap berzina juga namanya.
Misalnya seperti yang dikatakan tadi. Dia budak dari seorang tuan. Akan kawin dengan dia harus seizin tuannya pula. Dia istri kamu, tetapi dia kepunyaan pula dari tuannya. Hanya hak bersetubuh saja yang kamu punyai, namun yang lain masih wajib seizin tuannya. Di penutup ayat Allah berfirman,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Allah Maha Pengampun kepada orang yang tidak dapat menahan syahwatnya lalu kawin dengan perempuan budak. Karena Allah Maha Penyayanglah, perkawinan demikian diberi izin. Jika dahulu, sebelum kawin dengan laki-laki yang merdeka karena budak-budak perempuan tidak berdaya mempertahankan diri, lalu pernah dia berbuat kejahatan yang di luar kekuasaanya, itu pun telah diberi ampun oleh Allah sebab dia telah me-nyatakan iman.
Alhamdulillah, sekarang masyarakat berbudak boleh dikatakan tidak ada lagi. Sungguh pun demikian, di dalam beberapa masyarakat masih terdapat hidup yang bertingkat-tingkat. Di zaman lampau ada masyarakat feodal. Ada bangsa putra putri dan ada masyarakat “orang kecil". Dalam kitab fiqih diakui adanya soal kufu, yaitu persamaan derajat kedudukan dan pandangan masyarakat terhadap dua suami istri. Oleh karena zaman budak telah mulai habis, usaha kita sekarang ialah mencapai persamaan derajat, bukan mempertajam perbedaan kedudukan suami dengan istri.
“Maka apabila mereka telah berkawin, kemudian itu mereka berbuat jahat, maka kenakanlah kepada mereka separuh daripada adzab yang dikenakan kepada perempuan-perempuan merdeka."
Demikianlah siksaan atau hukuman yang dijatuhkan kepada perempuan budak itu kalau mereka berbuat salah. Meskipun peraturan ini disangkutkan dengan urusan perkawinan seorang laki-laki yang tidak mampu dengan seorang perempuan budak, namun peraturan ini berlaku buat semua budak perempuan. Jika mereka bersalah, misalnya berzina atau bersemburit (berzina sesama perempuan) ataupun mencuri atau kesalahan yang lain namun hukum untuk mereka hanya separuh hukum yang dijatuhkan kepada perempuan merdeka. Sebab perempuan budak adalah kehilangan seluruh kemerdekaan, sebab dia di bawah kuasa orang lain. Anggapan masyarakat terhadap dirinya adalah rendah. Tidaklah layak kalau dia dihukum disamakan dengan hukuman terhadap perempuan merdeka.
“Yang demikian itu," yaitusekalian peratuan terhadap budak perempuan dijelaskan untuk memberi peringatan kepada laki-laki merdeka yang hendak mengawini seorang perempuan budak, dibolehkan oleh Allah Ta'aala, “Ialah untuk barangsiapa yang takut akan berzina daripada kamu." Artinya, dari semula Allah telah menerangkan kekurangan budak-budak perempuan daripada perempuan merdeka, walaupun perempuan budak beriman juga. Belanja hidup perempuan budak memang kurang dari belanja hidup perempuan merdeka, sebagaimana hukuman kalau mereka bersalah pun hanya separuh dari hukuman perempuan merdeka. Tetapi daripada telanjur berbuat jahat, berzina, atau bergaul secara laki-bini dengan tidak kawin, lebih baiklah mengawini perempuan budak.
“Dan bahwa bersabar adalah lebih baik buat kamu" Kunci ayat ini menunjukkan bahwasanya kawin dengan perempuan yang merdeka lebih baik juga daripada kawin dengan perempuan budak. Kalau kamu sabar menunggu sampai keadaanmu sanggup kawin dengan perempuan merdeka, lebih baik buat muslihat dirimu sendiri jika kawin dengan perempuan merdeka. Sebab meskipun mudah memberi belanja perempuan budak, syarat-syarat untuk menempuhnya tidak ringan pula.