Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
أَوۡحَيۡنَآ
telah Kami wahyukan
إِلَىٰ
kepada
مُوسَىٰٓ
Musa
أَنۡ
agar
أَسۡرِ
berjalanlah kamu dimalam hari
بِعِبَادِي
dengan hamba-hamba-Ku
فَٱضۡرِبۡ
maka buatlah
لَهُمۡ
untuk mereka
طَرِيقٗا
jalan
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
laut
يَبَسٗا
kering
لَّا
jangan
تَخَٰفُ
kamu takut/khawatir
دَرَكٗا
tersusul
وَلَا
dan jangan
تَخۡشَىٰ
kamu takut
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
أَوۡحَيۡنَآ
telah Kami wahyukan
إِلَىٰ
kepada
مُوسَىٰٓ
Musa
أَنۡ
agar
أَسۡرِ
berjalanlah kamu dimalam hari
بِعِبَادِي
dengan hamba-hamba-Ku
فَٱضۡرِبۡ
maka buatlah
لَهُمۡ
untuk mereka
طَرِيقٗا
jalan
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
laut
يَبَسٗا
kering
لَّا
jangan
تَخَٰفُ
kamu takut/khawatir
دَرَكٗا
tersusul
وَلَا
dan jangan
تَخۡشَىٰ
kamu takut
Terjemahan
Sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari dan pukullah laut itu untuk menjadi jalan yang kering bagi mereka tanpa rasa takut akan tersusul dan tanpa rasa khawatir (akan tenggelam).”
Tafsir
(Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah kalian dengan hamba-hamba-Ku di malam hari) jika dibaca Asri berasal dari Asraa dan jika dibaca Anisri dengan memakai Hamzah Washal, berasal dari kata Saraa, demikian menurut dua pendapat mengenainya, artinya: bawalah mereka pergi di malam hari dari negeri Mesir (maka buatlah untuk mereka) dengan tongkatmu itu (jalan yang kering di laut itu) artinya, jalan yang keadaannya telah kering. Nabi Musa mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepadanya, lalu Allah mengeringkan jalan yang dilalui mereka, sehingga mereka dapat melaluinya (kamu tak usah khawatir akan tersusul) dapat terkejar oleh Firaun (dan tidak usah takut") tenggelam.
Tafsir Surat Taha: 77-79
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)." Maka Firaun dengan bala tentarannya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka. Dan Firaun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk. Allah ﷻ menceritakan bahwa Dia memerintahkan kepada Musa a.s. setelah Fir'aun menolak memberikan izin kepadanya untuk membawa kaum Bani Israil bersamanya, bahwa hendaklah Musa membawa mereka pergi di malam hari, untuk menyelamatkan mereka dari penindasan Fir'aun.
Allah ﷻ telah menceritakan kisah ini di dalam surat-surat Al-Qur'an lainnya. Setelah Musa membawa pergi kaum Bani Israil, pada pagi harinya Fir'aun tidak melihat seorang pun di antara mereka yang tertinggal di negeri Mesir. Maka Fir'aun sangat marah melihat keadaan tersebut. Kemudian Firaun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Asy-Syu'ara: 53) Yakni Fir'aun mengirimkan orang-orangnya untuk menghimpun bala tentaranya dari semua kota-kota besar di wilayahnya, Fir'aun berkata: "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat-buat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. (Asy-Syu'ara: 54-55) Kemudian Fir'aun mengumpulkan semua bala tentaranya, lalu ia memimpin sendiri pasukan itu untuk mengejar mereka.
Maka Firaun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit. (Asy-Syu'ara: 60) Maksudnya, mereka mulai kelihatan oleh Fir'aun dan bala tentaranya di waktu pagi hari. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat. (Asy-Syu'ara: 61) Yaitu masing-masing golongan dapat melihat yang lainnya. berkatalah pengikut-pengikut Musa, "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. Musa menjawab, "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (Asy-Syu'ara: 61-62) Musa memberhentikan Bani Israil setelah sampai di tepi laut, karena laut berada di hadapan mereka, sedangkan Fir'aun dan balatentaranya ada di belakang mereka.
Maka pada saat itu juga Allah menurunkan wahyu kepada Musa: Pukullah lautan itu dengan tongkatmu. (Asy-Syu'ara: 63) Lalu Musa memukul laut itu dengan tongkatnya seraya berkata, "Terbelahlah kamu untukku dengan seizin Allah!" Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (Asy-Syu'ara: 63) Lalu Allah mengirimkan angin kering ke tanah laut yang kelihatan itu dan meniupnya sehingga tanahnya menjadi kering seperti tanah darat.
Karena itulah maka dalam surat Thaha ini disebutkan oleh firman-Nya: maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul (oleh Fir'aun dan pasukannya) dan tidak usah takut (akan tenggelam). (Thaha: 77) Yakni janganlah kamu merasa khawatir Fir'aun dan tentaranya dapat menyusul kamu, jangan pula kamu merasa takut laut akan menenggelamkan kaummu. Kemudian disebutkan dalam ayat selanjutnya: Maka Firaun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka. (Thaha: 78) Al-yamm artinya laut.
Lafaz ma Ghasyiyahum diucapkan terhadap apa yang sudah terkenal dan diketahui, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ: dan negeri-negeri kaum Lut yang telah dihancurkan Allah, lalu Allah menimpakan atas negeri itu azab besar yang menimpanya. (An-Najm: 53-54) Dan perkataan seorang penyair, yaitu: Aku adalah Abun Najm dan syairku adalah syairku. Yakni sesuatu yang telah dikenal dan termasyhur.
Dan sebagaimana Fir'aun berada di depan tentaranya, lalu membawa mereka ke dalam laut, sehingga mereka sesat; dia tidak memberi mereka petunjuk ke jalan yang benar. Maka demikian pula kelak keadaannya di hari kiamat, Fir'aun berada di depan mereka dan membimbing mereka ke dalam neraka. Sesungguhnya neraka itu adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi."
Nabi Musa berhasil mengalahkan para penyihir itu dan mengajak mereka beriman. Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa suatu pesan berisi, 'Tinggalkanlah Mesir. Pergilah bersama hamba-hamba-Ku, yaitu Bani Israil, pada malam hari, dan pukullah tongkatmu untuk menyediakan bagi mereka jalan yang kering di laut. Dengan kuasa Allah, terbentanglah jalan yang kering di laut sehingga engkau tidak perlu takut akan tersusul oleh Fir'aun dan tentaranya, dan juga tidak perlu khawatir akan tenggelam di laut itu. '78. Mengetahui Nabi Musa dan Bani Israil meninggalkan Mesir, kemudian Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka melalui jalan kering di laut itu, tetapi sebelum berhasil menyusul Nabi Musa dan Bani Israil, mereka digulung ombak laut yang datang tiba-tiba dan kemudian menenggelamkan mereka. Itulah balasan bagi orang yang sesat dan durhaka kepada
Tuhan.
.
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa tidak ada tanda-tanda Firaun akan menerima alasan dan bukti yang dikemukakan kepadanya, ia tetap saja di dalam keangkuhan dan kesombongannya, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa supaya dia pergi meninggalkan Mesir negeri Firaun di malam hari supaya tidak dilihat oleh Firaun dan tentaranya, bersama hamba-hamba Allah yaitu yang ia diutus untuk menyelamatkan mereka dari kezaliman Firaun. Musa dan Bani Israil meninggalkan Mesir, ketika sampai di tepi laut Merah, Bani Israil berkata kepada Musa, "Wahai Musa, Firaun dan tentaranya menyusul kita dari belakang, di depan kita lautan yang membentang luas, apa yang harus kita perbuat, untuk melintasi lautan itu."
Allah memerintahkan Musa supaya ia memukul laut dengan tongkatnya. Setelah Musa melaksanakan perintah ini, lautan terbelah sampai ke tepi seberang. Belahan lautan itu sebanyak jumlah kabilah pada Bani Israil yakni dua belas dan merupakan jalan kering di tengah-tengah laut tidak berlumpur dan tidak berair. Di antara belahan itu, air tegak seperti gunung yang besar. Tiap kabilah melalui hanya satu jalan. Mereka dapat pandang memandang, dapat melihat satu kabilah kepada kabilah yang lain. Musa bersama Bani Israil berjalan melalui jalannya masing-masing dengan perasaan aman, tidak merasa cemas akan tersusul oleh Firaun dan tentaranya, dan tidak merasa takut akan tenggelam hingga sampailah ke tepi seberang lautan dengan selamat sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, "Pukullah laut itu dengan tongkatmu." Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar. (asy-Syu'ara/26: 63)
Dan firman-Nya:
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersamanya. (asy-Syu'ara/26: 65).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERINTAH MENINGGALKAN MESIR
Di dalam surah-surahyang lain terdapatlah berita yang melengkapi akan berita ini, tentang bagaimana perjuangan Musa dengan Fir'aun selanjutnya. Meskipun siasat buruk Fir'aun dengan memakai tukang-tukang sihir itu telah gagal, dan tukang sihirnya sendiri telah mengakui terus terang kebenaran ajaran Musa, meskipun karena itu mereka dihukum bunuh semuanya, kenyataan ini tidak jugalah mengubah sikap Fir'aun. Malahan kezalimannya bertambah memuncak, sehingga Bani Israil bertambah tersiksa tinggal di Mesir itu. Akhirnya datanglah keputusan Allah.
Ayat 77
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Bahwa pergilah engkau malam hari dengan hamba-hamba-Ku itu."
Artinya bahwa datanglah wahyu Ilahi menyuruhkan kepada Musa, memberitahukan kepada kaumnya Bani Israil itu bahwa telah datang masanya mereka akan keluar bersama-sama meninggalkan negeri Mesir itu, lalu menyeberang melalui Lautan Qulzum, ke pantai sebelah sana, yaitu bumi Jazirah Arab sebelah Utara, itulah bahagian tanah Palestina, dengan melalui Padang Thur. Karena di sanalah sebenarnya negeri asal nenek moyang mereka. Dari sanalah Ya'qub empat ratus tahun sebelum itu membawa kedua belas orang anak laki-lakinya dengan istrinya masing-masing dan anak-anak perempuannya dengan suaminya masing-masing pula, datang ke negeri Mesir atas ajakan Yusuf, putranya yang telah menjadi seorang besar dalam Kerajaan Mesir.
Anak cucu itu pun berkembang biak. Mulanya berkedudukan mulia, sebab nenek moyang mereka Nabi Yusuf itu orang besar dalam Kerajaan Mesir. Tetapi setelah Yusuf meninggal dunia, tidaklah ada lagi orang besar dari keturunan Ya'qub yang dua belas suku itu yang mencapai kedudukan tinggi dalam negeri itu, sehingga keturunan Bani Israil itu pun dipandang hina, dipandang orang pendatang, anak dagang, orang yang bukan asli. Kian lama kian runtuhlah kemegahan mereka, lalu dipandang hina, dijadikan kuli, dijadikan pengangkut yang berat, pembuat candi dan bangunan, sampai datangnya Musa.
Maka setelah Musa berjuang melawan Fir'aun tujuan perjuangannya ialah dua. Pertama memperbaiki kepercayaan kaumnya, agar kembali kepada ajaran yang diterima turun-temurun dari nenek moyang, dari Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub dan Yusuf. Mengakui Allah Tuhan Yang Esa! Di samping pengukuhan aqidah itu disertakan pula perbaikan masyarakat mereka, mengangkat derajat mereka yang dipandang hina selama ini. Jalan satu-satunya untuk memperbaiki perasaan jadi budak dan diperhina selama ini, ialah jika ditukar suasana mereka, lalu dibawa mereka kembali ke tanah asal nenek moyang di bumi Kanaan, dan tinggalkan negeri Mesir itu. Berkali-kali Musa meminta kepada Fir'aun agar mereka diizinkan saja meninggalkan negeri Mesir, agar penghinaan itu berhenti. Tetapi Fir'aun tidak mau melepaskan. Sebab kalau Bani Israil yang bilangannya sudah lebih dari setengah juta, keluar dari Mesir, maka negeri itu akan kekurangan, kekurangan manusia-manusia yang bisa diperbudak. Sekarang datanglah waktunya, wahyu datang, Musa disuruh menuntun dan memimpin mereka berdua dengan saudaranya, Harun, meninggalkan Mesir di tengah malam.
Tentu saja pengerakan pindah besar-besaran ini, yang akan diikuti oleh manusia lebih dari setengah juta, termasuk kanak-kanak dan orang tua-tua dan perempuan, benar-benar dirahasiakan dan dipersiapkan dalam masa yang bukan sedikit.
Allah memerintahkan supaya perjalanan atau perpindahan besar-besaran itu diatur tengah malam. Bukanlah perkara gampang mengatur, menyusun perpindahan orang lebih setengah juta, tengah malam. Tentu saja dimaksudkan di luar tahu Fir'aun. Karena perjalanan itu tidak akan diizinkannya, betapa jua pun. Dalam sambungan ayat disebutkan lanjutan wahyu, “Maka buatkanlah untuk mereka jalan di laut yang kering." Wahyu ini hanya disampaikan kepada Musa saja, untuk meyakinkannya bagaimana menyelesaikan penyeberangan beratus ribu manusia itu di Lautan Qulzum, padahal tak ada kapal, tak ada perahu, tak ada sampan."Tidak merasa cemas akan tersusul," apabila Fir'aun kelak datang mengejar-ngejar dengan tentaranya yang besar dari belakang.
“Dan tidak merasa takut."
Yaitu tidak merasa takut akan tenggelam dalam lautan itu.
Ayat ini membayangkan tiga macam penghalang besar yang dihadapi Musa di masa itu.
Pertama, bagaimana sukar menyusun manusia hampir 600.000 yang akan dikerahkan berjalan dengan diam-diam meninggalkan Mesir, tengah malam. Suatu long march yang dahsyat dalam sejarah perjuangan agama.
Kedua, cemas dan ngeri kalau-kalau Fir'aun tahu dan tentaranya dikerahkannya mengejar mereka dengan senjata yang lengkap. Niscaya lantaran murka yang tidak ter-kendalikan, Fir'aun akan menyuruh membabat habis orang-orang hina-dina yang lari itu, tidak diberi ampun lagi. Ngeri! Berapa banyak yang akan mati.
Ketiga, takut memikirkan bagaimana setelah sampai dan tercapai tepi pantai Lautan Qulzum itu, dengan apa akan menyeberang. Kalau ditempuh juga, tentu semuanya akan ditelan laut.
Namun perjalanan itu diteruskan juga. Sebab Musa dan saudaranya Harun yakin dan percaya akan janji Tuhannya. Keyakinan ini dinyatakan dengan terang dalam ayat 62 dari surah asy-Syu'araa' ketika kaumnya menyatakan cemas bahwa mereka akan dapat tersusul oleh Fir'aun.
“Musa berkata, “Sekali-kali kita tidak akan tersusul. Sesungguhnya Tuhanku adalah be-sertaku, Dia mesti menunjuki aku jalan." (asy-Syu'araa': 62)
Dia yakin pertolongan itu pasti datang, meskipun dia sendiri di waktu itu belum tahu apa macammya pertolongan.
Ayat 78
“Maka ... mereka oleh Fir'aun dengan tentaranya."
Rupanya setelah manusia sebanyak-itu keluar berduyun dari dalam negeri Mesir barulah pengawal-pengawal mengetahuinya, lalu melaporkan kepada sang raja. Setelah laporan ini sampai, Fir'aun pada mulanya masih memandang enteng kekuatan rakyatnya yang telah pindah itu. Pada ayat 54-55 dari surah asy-Syu'araa' dikisahkan bahwa setelah mendengar berita itu Fir'aun masih berkata,
“Sesungguhnya orang-orang itu adalah segolongan atau segelintir kecil." (asy-Syu'araa': 54-55)
Ayat 55
Mereka, gotongan kecil atau segetinth kecil yang tidak benaiti itu, telah membuat kita manah, membuat kita murka
Mereka mesti diajar betul-betul. Dalam suasana kemurkaan yang begitu besar, Fir'aun mengerahkan tentaranya, di bawah pimpinannya sendiri mengejar manusia-manusia yang telah meninggalkan negeri Mesir itu, melepaskan diri dari perbudakan. Ketika mereka telah sampai ke tepi pantai Lautan Qulzum (Laut Merah) itu, dan tengah berdiri dengan penuh kecemasan Fir'aun dengan tentaranya telah kelihatan dari jauh. Debu-duli telah naik ke udara. Mungkin ketika itu hari telah mulai pagi. Maka datanglah perintah Allah kepada Nabi Musa menyuruh memukulkan tongkatnya ke atas ombak lautan itu, sebagaimana tersebut di ayat 63 dari surah asy-Syu'araa'. Maka belah dualah lautan itu, kedua belahan itu tegaklah laksana gunung. Maka terbentanglah jalan sebagai yang diwahyukan Allah sejak semulanya yaitu jalan di tengah lautan yang kering, dan menyeberanglah seluruh Bani Israil itu ke pantai yang dituju dengan selamat. Setelah mereka hampir sampai ke seberang, Fir'aun pun mengejar mereka di atas jalan lautan yang terentang kering itu. Setelah ujung rombongan Bani Israil sampai ke tepi pantai yang sebelah, pangkal tentara Fir'aun yang mengejarnya, di bawah pimpinan Fir'aun sendiri sampailah di tengah jalan lautan yang kering itu. Sesampai mereka di sana.
“Lalu tenggelamlah mereka ke dalam lautan, oleh apa yang menenggelamkan mereka"
Apakah yang menenggelamkan itu? Air lautan yang tadinya telah menggunung kiri kanan, laksana diam tidak bergerak, membeku laksana tumpukan salju di musim dingin, setelah selesai tugasnya telah bertaut kembali. Dia kembali mencair. Lautan kembali seperti biasa. Dalam air yang telah bertaut kembali itu, demikian pula dahsyatnya, Fir'aun dan tentaranya sudah menjadi barang-barang kecil yang tidak ada arti turut tenggelam digulung ombak dan gelombang. Lautan kembali seperti biasa. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Kemudian datanglah penilaian Allah tentang Fir'aun, setelah menceritakan kesudahan dari hidupnya dan kebiasaannya.
Ayat 79
“Dan Fir'aun telah menyesatkan kaumnya."
Dan ditunjukkan lagi lebih jelas kelemahan pimpinan Fir'aun itu.
“Dan dia tidaklah memberikan petunjuk."
Dikatakan dalam ayat ini bahwa pimpinan yang diberikan Fir'aun kepada kaumnya atau kepada rakyatnya selama ini, tidaklah pimpinan yang membawa kepada jalan yang benar, melainkan pimpinan yang menyesatkan. Dia tanamkan perasaan kepada mereka, secara doktrinasi bahwa dia adalah tuhan yang mahatinggi. Dia yang mengatur rakyat itu, hidupnya dan matinya. Segala titahnya dijunjung tinggi dan dipandang seperti sabda suci yang tidak boleh dibantah. Sebelum berjumpa dengan kenyataan dan kebenaran, mungkinlah ajaran itu akan dipatuhi orang. Tetapi bilamana dipertemukan ajaran itu dengan Kebenaran, sebagaimana bertemunya sihir tukang-tukang sihir dan mukjizat Nabi Musa, ternyatalah bahwa tuah kebesaran Fir'aun hilang ditelannya.
Padahal tukang sihir seketika akan melemparkan tongkat-tongkat dan tali-tali telah bersumpah “Bi'izzati Fir'auna" Demi kemuliaan Fir'aun. Ternyata “kemuliaan" Firaun itu dihinakan oleh keangkeran tongkat Musa. Melihat itu sekalian tukang sihir tunduk tafakur, mengaku Islam, percaya kepada Musa. Meskipun telah diberi ancaman bahwa kaki dan tangan akan dipotong dengan bersilang, mereka sudi menerima hukuman itu, dan mereka tidak mau surut lagi dari iman yang telah mereka dapat dengan pembuktian itu. Untuk itu mereka bersedia mengurbankan nyawa sendiri. Sebab mereka telah bertemu dengan kebenaran.
Dan diterangkan pula,
“Dan dia tidaklah memberikan petunjuk."
Yang diberikannya kepada rakyatnya hanya ajaran mendewa-dewakan dirinya. Adapun ajaran untuk kebahagiaan rakyat itu sendiri, untuk keselamatan mereka dunia dan akhirat tidak ada. Siang dan malam hanya menyembah raja, memuja baginda, menjunjung duli. Oleh sebab itu rakyat dipandang sebagai hamba belaka. Tidak lagi mempunyai kepribadian. Seluruh hidup hanya pembaktian kepada raja.
Niscaya ajaran yang demikian itu sangat bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa, yaitu membulatkan kepercayaan kepada Allah, sebagai inti ajaran seluruh nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus Allah.
Dengan ayat 79 ini Allah memberikan perbandingan tentang pemerintahan yang didirikan menurut kehendak hawa nafsu manusia, kesewenang-wenangan raja-raja, adikara diktator, kelobatamakan dan kesombongan yang selalu berujung dengan kehancuran. Meskipun sampai kepada zaman kita sekarang ini, sudah beribu tahun, orang dapat melihat bekas runtuhan dan kekuasaan Fir'aun zaman lampau itu, yang dapat kita lihat di sana ialah bagaimana manusia diperas tenaganya buat membangun bangunan yang besar-besar, namun rakyat itu sendiri sedikit pun tidak merasakan nikmat dari bangunan itu. Bahkan bangkai merekalah yang bertindih untuk menyusun batu, dan raja berdiri di atas bangunan itu dengan serba kemegahannya. Namun kemudian raja-raja itu sendiri pun pulang kepada asalnya dengan tangan kosong. Tepatlah apa yang dijawabkan oleh Diogenes, Filosof Yunani itu ketika dia bermain-main di pekuburan Raja Philipus, ayahanda Raja Iskan-dar. Maka bertanyalah Iskandar, “Hai Diogenes Tua! Mengapa Tuan di sini?"
Diogenes menjawab, “Hamba meneliti tulang-tulang yang ada di kuburan luas ini. Maka tidaklah dapat hamba memperbedakan manakah tulang ayah Tuanku dan mana pula tulang-belulang khadam-khadam pengiringnya yang sama berkubur di sini."
Inilah yang kerapkali dilupakan manusia, bila dia telah sampai di puncak kekuasaan, sebagaimana yang kita lihat pada kehidupan Fir'aun itu. Dia tidak dapat dikalahkan oleh raja-raja sesamanya manusia. Tetapi dia tidak dapat menolong dirinya seketika dia telah dibenamkan oleh perbenturan air laut. Peringatan kepada Bani Israil
Ayat 80
“Hai Bani Israil! Sesungguhnya telah Kami selamatkan kamu dari musuh kamu."
Sekarang dapatlah nasihat dan peringatan kepada Bani Israil, yakni keturunan dari orang-orang yang dibawa oleh Nabi Musa menyeberangi Lautan Merah itu, dan diselamatkan mereka dari musuh mereka yang telah menindas mereka beratus tahun itu. Diperingatkan selanjutnya oleh Allah. “Dan telah berjanji Kami dengan kamu di pinggir gunung sebelah kanan." Yaitu bahwa setelah mereka terlepas dari bahaya itu dengan selamat, diperbuatlah janji di antara Bani Israil dan Allah, bahwa mereka akan teguh setia memegang ajaran yang dibawa oleh Musa dan Harun, dan tidak akan menukarnya dengan yang lain, dan berjanji pula akan menuruti ke mana saja dibawa dan dipimpin oleh Nabi Musa.
Tersebut dalam setengah tafsir bahwa janji itulah yang kemudiannya diperkuat dengan turunnya kitab Taurat.
“Dan telah Kami turunkan kepada kamu Manna dan Satwa."
Yaitu dua macam makanan yang diturunkan kepada Bani Israil itu seketika mereka terhenti di Padang Tiyah selama empat puluh tahun. Manna ialah semacam makanan manis, rupanya putih, yang mereka dapati tiap-tiap pagi tergantung di dahan-dahan kayu kecil di padang pasir. Manisnya semanis madu. Sehingga ada ahli tafsir menafsirkannya dengan madu. Salwa sebangsa burung, sebesar puyuh, sangat gurih dagingnya. (Tentang Manna dan Salwa ini telah kita tafsirkan pula pada Tafsir juz 1 setafsir dari surah al-Baqarah ayat 57).
Ayat 81
“Makanlah dari antara rez.eki-rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepada kamu"
Dengan demikian maka Allah memper-silahkan memakan rezeki baik yang telah dianugerahkan Allah. Rezeki yang baik ialah yang halal lagi enak rasanya, terimalah itu dengan rasa syukur kepada Allah."Dan janganlah kamu bersewenang-wenang padanya." Bersewenang-wenang dengan rezeki yang diberikan Allah ialah apabila dikumpulkan dengan loba dan rakus, sehingga tidak mengingat agar orang lain pun mendapat pula. Atau menjadi bakhil, tidak suka memberi kepada orang yang kekurangan, atau karena loba dan tamak ingin pula hendak mempunyai apa yang ada di tangan orang lain."Yang akan menyebabkan kemurkaan-Ku kepada kamu."
Di sini Allah memperingatkan bahwa orang yang bersewenang-wenang, hendak menguasai untuk diri sendiri segala rezeki yang diberikan Allah, sehingga tidak peduli lagi kepada kepen_tingan orang lain, adalah suatu perangai buruk akan menimbulkan kemurkaan Allah.
“Dan barangsiapa yang ditimpa oleh kemurkaan-Ku, niscaya binasalah dia."
Allah amat murka kepada orang yang loba dan tamak, rakus dan mementingkan diri sendiri, mengumpul sebanyak-banyaknya dengan tidak memedulikan kepentingan orang lain. Orang yang berperangai demikian dengan rezeki yang diberikan Allah akan dapat murka dari Allah dan orang yang kena murka Allah pasti binasa, hancur, jatuh, atau terpelanting dari masyarakat.
Inilah peringatan Allah kepada Bani Israil, dan diulangkan kembali cerita ini kepada umat Muhammad dengan perantaraan beliau ﷺ bahwa hukum itu tidaklah berubah karena perubahan umat. Bahwa Allah dapat mengembangkan rezeki-Nya yang baik bagi hamba-Nya, tetapi hamba-Nya mesti menyambutnya dengan baik, jangan bertindak semau-maunya saja; karena itu akan membawa kebinasaan.
Di dalam surah ai-Qashashas kelak, dari ayat 76 sampai ayat 84 diceritakan hal Qarun, seorang dari Bani Israil juga, yang telah melanggar larangan Allah ini. Di ayatnya yang ke-76 itu dijelaskan pelanggaran Qarun itu.
“Sesungguhnya Qarun adalah dari kaum Musa juga, tetapi dia telah berlaku sewenang-wenang di muka bumi." (al-Qashashas: 76)
Artinya bahwa janji itu telah dilanggarnya. Di ayat 81 dijelaskan kejatuhan dan kerun-tuhan Qarun, dia dan harta bendanya tenggelam ditelan bumi, dan tidak seorang pun orang-orang yang memuja-mujanya selama ini yang dapat menolongnya.
Ayat 82
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi barangsiapa yang bertobat."
Sebagaimana disebutkan juga di dalam ayat-ayat yang lain, dosa besar karena bersikap sewenang-wenang dengan rezeki yang diberikan Allah bisa diampuni oleh Allah kalau seseorang insaf akan kesalahannya itu lalu dia bertobat. Artinya diinsafinya bahwa perbuatannya itu salah, bukan saja merugikan orang lain, bahkan membinasakan din sendiri. Maka berjanjilah dia dengan Allah bahwa saat itu perangai itu akan diubahnya. Dia tidak lagi akan bersikap sewenang-wenang. Dia akan hidup di tengah-tengah masyarakat dalam keadaan menerima dan memberi."Dan beriman," yaitu memupuk kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Bahwa segala harta-benda yang ada dalam tangannya, tidak lain, hanyalah pinjaman sementara dari Allah yang sewaktu-waktu dapat dicabutnya. Lalu karena imannya kepada Allah itu, dia pun membelanjakan rezeki anugerah Allah itu pada jalan Allah (Sabilillah), dan yakin bahwa yang telah keluar akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik dan lebih banyak."Dan beramal yang saleh" Lantaran imannya itu tidaklah putus-putusnya lagi dia beramal berbuat baik, untuk selama pergaulan hidupnya di dunia dengan sesamanya manusia dan selamat pula di akhirat kelak.
“Kemudian itu dia pun bersikap jujur."
Tidak ada lagi tindakannya yang di luar dari garis jalan yang dituntunkan Allah.