Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِمَّا
dan jika
تَخَافَنَّ
kamu sungguh takut
مِن
dari
قَوۡمٍ
kaum/golongan
خِيَانَةٗ
pengkhianatan
فَٱنۢبِذۡ
maka lemparkan/kembalikan
إِلَيۡهِمۡ
kepada mereka
عَلَىٰ
atas
سَوَآءٍۚ
yang sama jujur
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡخَآئِنِينَ
orang-orang yang berkhianat
وَإِمَّا
dan jika
تَخَافَنَّ
kamu sungguh takut
مِن
dari
قَوۡمٍ
kaum/golongan
خِيَانَةٗ
pengkhianatan
فَٱنۢبِذۡ
maka lemparkan/kembalikan
إِلَيۡهِمۡ
kepada mereka
عَلَىٰ
atas
سَوَآءٍۚ
yang sama jujur
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡخَآئِنِينَ
orang-orang yang berkhianat
Terjemahan
Jika engkau (Nabi Muhammad) benar-benar khawatir (akan terjadi) pengkhianatan dari suatu kaum, kembalikanlah (perjanjian itu) kepada mereka dengan cara seimbang (adil dan jujur). Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pengkhianat.
Tafsir
(Dan jika kamu merasa khawatir dari suatu kaum) yang telah mengadakan perjanjian denganmu (akan perbuatan khianat) terhadap janjinya melalui tanda-tanda yang terlihat jelas olehmu (maka kembalikanlah perjanjian itu) lemparkanlah perjanjian mereka itu (kepada mereka dengan cara yang jujur) lafal sawaaun menjadi kata keterangan, artinya: secara adil antara kamu dan mereka, supaya kedua belah pihak mengetahui bersama siapakah yang merusak perjanjian terlebih dahulu. Yaitu dengan cara kamu memberitahukan kepada mereka tentang pelanggaran tersebut, supaya mereka tidak menuduhmu berbuat khianat bila kamu mengadakan tindakan. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat).
Tafsir Surat Al-Anfal: 58
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya: “Dan jika kamu merasa khawatir terhadap suatu golongan” (Al-Anfal: 58)
Yaitu yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan kamu.
“Akan suatu pengkhianatan.” (Al-Anfal: 58)
Maksudnya, merusak perjanjian yang ada antara kamu dan mereka.
“Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” (Al-Anfal: 58)
Yakni beritahukanlah kepada mereka bahwa kamu membatalkan perjanjianmu dengan mereka karena mereka telah merusaknya (melanggarnya), sehingga dari pihakmu dan pihak mereka telah diketahui bahwa tidak ada lagi perjanjian yang mengikat. Kini jelas mereka adalah musuhmu dan kamu adalah musuh mereka secara terang-terangan. Salah seorang penyair mengatakan: “Maka pukullah wajah orang-orang berkhianat dari kalangan musuh-musuh itu, sehingga mereka mau menuruti tiada keterikatan lagi (dengan perjanjian).”
Al-Walid ibnu Muslim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” (Al-Anfal: 58) Yang dimaksud dengan sawa-un ialah dengan cara yang hati-hati.
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Al-Anfal: 58)
Yakni sekalipun berkhianat terhadap orang-orang kafir, Allah tetap tidak menyukai perbuatan itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abul Faid, dari Salim ibnu Amir yang mengatakan bahwa Mu'awiyah berjalan (bersama pasukannya) di negeri Romawi, sedangkan saat itu telah ada perjanjian gencatan senjata antara dia dan mereka. Untuk itu Mu'awiyah bertujuan mendekati mereka dengan maksud bila masa gencatan senjata telah habis, dia akan langsung menyerang mereka.
Tetapi tiba-tiba muncul seorang tua yang berkendaraan seraya berkata, "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tepatilah perjanjian itu, jangan dilanggar." Orang tua itu mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang antara dia dan suatu kaum terdapat suatu perjanjian, maka jangan sekali-kali ia membuka ikatan, jangan pula mengencangkannya sebelum masa berlakunya habis, atau (sebelum) perjanjian itu dikembalikan kepada mereka dengan cara yang jujur.” Ketika ucapan itu sampai kepada Mu'awiyah, maka Mu'awiyah kembali lagi (ke negeri Syam, pusat pemerintahannya). Dan ternyata orang tua itu adalah Amr ibnu Anbasah , salah seorang sahabat Rasul ﷺ (yang saat itu masih hidup).
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah. Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya telah mengetengahkan hadits ini melalui berbagai jalur dari Syu'bah. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Imam Ahmad mengatakan pula: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Israil, dari ‘Atha’ ibnu Saib, dari Abul Buhturi, dari Salman (yakni Al-Farisi ) bahwa ia sampai di suatu benteng atau suatu kota (musuh). Lalu ia berkata kepada teman-temannya, “Biarkanlah aku menyeru mereka, seperti yang pernah aku lihat Rasulullah ﷺ melakukannya saat menyeru mereka." Kemudian Salman Al-Farisi berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang lelaki dari kalangan kalian, kemudian Allah ﷻ memberiku petunjuk masuk Islam. Maka jika kalian masuk Islam, maka bagi kalian berlaku hukum seperti yang berlaku pada kami; dan jika kalian tidak mau maka bayarlah jizyah, sedangkan kalian dalam keadaan kalah. Dan jika kalian tetap membangkang, maka kami kembalikan kepada kalian dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Al-Anfal: 58) Salman Al-Farisi menyerukan kalimat tersebut selama tiga hari, kemudian pada hari keempatnya pasukan kaum muslim menyerang mereka dan berhasil mengalahkan mereka dengan pertolongan Allah.
Dan jika engkau, wahai Nabi Muhammad, khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, baik dari Yahudi Bani Quraidhah maupun lainnya, dengan melihat tanda-tandanya yang cukup jelas, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dan kamu jangan melakukan hal yang sama, serta tetap konsistenlah dalam memegang janji dengan cara yang jujur dan tidak berkhianat seperti me-reka. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianaMelihat perilaku buruk mereka itulah, Allah mengancam dengan firman-Nya pada ayat ini. Dan janganlah orang-orang kafir itu, baik Yahudi Bani Quraidhah, sesuai konteks ayat ini, maupun siapa saja yang merusak perjanjian dan pengkhianatan, mengira bahwa mereka akan dapat lolos menyelamatkan diri dari kekuasaan atau azab Allah sebagai akibat dari sikap pengkhianatan tersebut. Sungguh, mereka tidak dapat melemahkan Allah atau menghindar dari pengawasan-Nya; dan Allah pasti membalasnya dengan balasan yang setimpal. Rangkaian ayat ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa siapa saja yang berlaku khianat dan merusak perjanjian akan menerima laknat Allah, bahkan seandainya ia beragama Islam sekalipun. Karena itu, pengkhianatan dalam konteks apa pun dan dengan alasan apa pun tidak dibenarkan dalam agama.
.
Jika kaum Muslimin merasa ada tanda-tanda pengkhianatan dari satu golongan yang mengadakan perjanjian pertahanan, haruslah dikembalikan perjanjian itu kepada mereka dan hendaklah mereka berusaha untuk menghalangi terjadinya pengkhianatan itu, dengan jalan mengembalikan perjanjian itu secara jujur disertai peringatan bahwa setelah adanya pengkhianatan itu pihak kaum Muslimin tidak terikat lagi dengan janji apa pun dengan mereka. Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat, dan juga tidak membolehkan pengkhianatan secara mutlak.
Kaum Muslimin dilarang memerangi mereka sebelum ada pemberitahuan, bahwa perjanjian antara mereka dengan pihak lawan tidak berlaku lagi, karena adanya pengkhianatan. Hal ini perlu diumumkan, agar tidak ada tuduhan dari musuh bahwa orang Islam telah memerangi mereka tanpa sebab atau melanggar perjanjian. Allah memberi peringatan pula kepada orang-orang yang berkhianat dengan azab yang akan menimpa diri mereka sebagai akibat dari pengkhianatannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
YANG PALING JAHAT
Ayat 55
“Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang merayap di sisi Allah, ialah orang-orang yang kafir."
Sejahat-jahatnya yang merangkak atau merayap di atas bumi ialah orang-orang kafir. Yaitu orang yang dengan keras hati mempertahankan kekufuran, tidak mau percaya kepada Allah, ataupun tidak mau mengakui betapa besarnya nikmat Allah atas manusia. Dalam kerangka susunan ayat ini mengenai pemuka-pemuka Quraisy yang tidak mau per-caya akan kerasulan Muhammad ﷺ. Mereka berkeras tidak mau percaya, meskipun mereka tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ itu adalah orang benar dan jujur, tetapi mereka dengki karena merasa diri lebih. Mereka sudah disamakan dengan binatang yang merangkak, bahkan disebut di sini sejahat-jahat binatang merangkak. Karena, kalau manusia tidak mempergunakan lagi otaknya buat berpikir, matanya buat melihat dan telinga buat mendengar, sebagaimana dahulu tersebut di dalam surah al-A'raaf rendahlah dia dari binatang. Kemudian diteruskan pada ujung ayat,
“Maka mereka itu tidaklah mau beriman"
Artinya, mereka akan dianggap sejahat-jahat yang merayap kalau masih mereka te-ruskan raja kekufuran itu. Tandanya harapan buat beriman masih terbuka dan jalan buat tobat masih terentang di hadapan mereka. Tandanya lagi bahwa orang terdorong menjadi kafir dan nyata-nyata menolak kebenaran ialah karena kerasnya hawa nafsu. Tandanya bahwa di dalam inti jiwa manusia itu masih terdapat keinginan kepada kebenaran. Siapakah gerangan orang-orang itu?
Ayat 56
“(Yaitu) orang-orang yang telah engkau penbuat penjanjian dengan setengah mereka, kemudian itu mereka rusakkan perjanjian mereka itu pada tiap kali, dan mereka tidaklah merasa takut."
Sebagaimana kita maklumi, surah ini diturunkan di Madinah sesudah Peperangan Badar. Di Madinah sendiri pun terdapat orang-orang yang sudah mengikat berbagai perjanjian perdamaian dengan Rasulullah ﷺ, terutama orang-orang Yahudi, yang ter-utama lagi Yahudi Bani Quraizhah. Mereka-mereka ini setelah Rasulullah ﷺ berpindah ke Madinah telah mengikat janji akan bertetangga baik dan agama mereka tidak akan diganggu. Dalam perjanjian itu juga disebut, jika Madinah diserang musuh, mereka akan turut mempertahankannya. Mereka dipandang sebagai Ahlul Kitab yang dihormati, lebih dari menghormati orang musyrikin. Tetapi berkali berbuat janji, berkali pula janji itu mereka mungkiri. Dan, seketika Rasulullah ﷺ telah berperang dengan kaum musyrikin, mereka menunjukkan sikap yang berpihak kepada kaum musyrikin, sampai ketika terjadi Peperangan Khandaq, pemimpin mereka sendiri pergi sembunyi-sembunyi ke Mekah menyatakan sokongannya kepada Musyrikin. Pemuka mereka Ka'ab bin Asyraf sampai datang sendiri ke Mekah menemui Abu Sufyan menyatakan sokongan, apabila Quraisy menyerang Madinah. Sampai terjadi Peperangan Khandaq yang terkenal.
“Dan mereka tidaklah merasa takut."
Tidak ada rasa takut mereka memungkiri janji. Tidak ada rasa tanggung jawab mereka di hadapan Allah atas suatu janji yang telah diikat di atas nama Allah, dan tidak mereka merasa takut apa akibat di belakang hari jika janji telah dimungkiri. Apa harga amanah lagi kalau pemuka-pemuka telah menginjak-injak janjinya.
Ayat 57
“Lantaran itu, bilamana engkau menggempur mereka di dalam peperangan, maka hancurkanlah mereka."
Memungkiri janji yang telah diikat adalah satu perbuatan yang amat hina, rendah, dan keji. Itu pun satu kekufuran. Orang-orang memungkiri janji sudah dianggap sebagai binatang yang merangkak di bumi, tidak ada harga mereka lagi. Maka kalau mereka bertemu di medan perang, hendaklah gempur habis sampai hancur, jangan lagi diberi hati. Mereka wajib disapu bersih sehingga tidak bangkit lagi.
Ini telah dilakukan Rasul kepada Bani Quraizhah setelah nyata pengkhianatan me-reka dalam Peperangan Khandaq itu. Semua mereka dalam kampung mereka dikepung rapat sampai tidak berkutik lagi, sampai menyerah dan turun dan setelah turun dihukum pancung seluruh laki-laki, termasuk Ka'ab bin Asyraf yang telah dengan mudah saja menghancurkan janji dengan Rasulullah ﷺ; kalau sekiranya serangan Quraisy tidak gagal dalam Peperangan Khandaq itu, maka kaum Yahudi Bani Quraizhah itulah yang akan menyerbu Madinah dan menghabiskan orang Islam. (Nanti kisah ini akan diuraikan dalam surah al-Ahzaab). Maka gempuran yang menghancurkan itu perlunya ialah:
“(Untuk contoh) orang-orang di belakang mereka, supaya mereka ingat."
Agar keturunan-keturunan mereka atau orang lain sekalipun dapat mengambil con-toh bahwa kaum Muslimin tidak boleh dipermainkan dalam hal janji. Dan, supaya mereka berpikir dahulu agak lama jika akan berbuat suatu perbuatan yang tidak patut. Sikap keras ini adalah suatu hal yang perlu bagi menegakkan kewibawaan Daulah lslamiyah. Meskipun yang menjadi kurban agak banyak, masihlah dia itu sedikit jika dibandingkan dengan bahaya yang akan menimpa jika maksud jahat mereka itu berhasil. Dan, jangan mereka anggap bahwa soal janji adalah soal yang bisa dipermain-mainkan. Sebab sudah-lah terang bahwa tegak berdirinya suatu kekuasaan atau suatu negara, sejak manusia mengenal bermusyawarah dan bernegara dan bahwa yang mengikat di antara satu dengan yang lain, yang terutama ialah janji. Baik janji yang tertulis ataupun janji budi yang tidak ada hitam atas putih. Sebagaimana pepatah: “Kerbau diikat dengan talinya, manusia de-ngan janjinya." Yang dipegang dari manusia adalah katanya. Seumpama barang yang kita pakai atau rumah yang kita diami. Pada hari ini barang atau rumah itu dinamai kepunyaan kita. Tetapi, kalau kita berkata dengan mulut kepada seorang teman bahwa mulai saat ini barang atau rumah ini saya berikan kepada kamu, niscaya berpindahlah hak milik atasnya kepada orang yang dikatakan itu.
Seorang anak perempuan dibawa asuhan ayahnya. Lalu pada suatu hari si ayah berkata kepada seorang laki-laki, setelah ada persetujuan, bahwa hari ini anak perempuanku ini aku serahkan menjadi istrimu, dengan ucapan perkataan, lalu disambut laki-laki tadi bahwa penyerahan itu dia terima, ijab qabul, menjadilah perempuan itu istrinya. Demikianlah di antara diri dengan diri, keluarga dengan keluarga, golongan dengan golongan. Hidup itu ialah janji atau ikatan kata-kata.
Ayat 58
“Dan bilamana engkau takut dari suatu kaum akan timbul khianat, maka campakkanlah (perjanjian itu) kepada mereka dengan jelas."
Di sini dijelaskan bahwasanya kalau pihak yang telah berbuat janji akan teguh memegang janji itu, supaya jangan mendatangkan keraguan dan menimbulkan takut bahwa satu waktu mereka akan memungkiri dan mengkhianati pula, engkau campakkanlah janji itu dengan jelas. Artinya, permaklumkanlah dengan jelas dan adil,—kata orang sekarang cara satunya: “Bahwa mulai saat ini kami tidak lagi terikat dengan janji itu, sebab kami tidak percaya lagi akan kejujuran kalian."
Alaa sawaa'in, kita artikan dengan jelas. Artinya, jelaskan kepada mereka alasan-alasan engkau, tentu saja dengan mengemukakan bukti-bukti. Cara sekarang membatalkan janji demikian dinamai secara sepihak (bilateral). Cara begini pulalah yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan diucapkannya terus terang kepada Abu Sufyan, sebab Abu Sufyan dan kaum Quraisy telah melanggar Perjanjian Hudaibiyah sehingga Mekah diserang pada tahun kedelapan Hijriah. Sebelum Mekah diserang, seketika Abu Sufyan telah datang ke Madinah hendak memperbaiki janji, padahal Quraisy telah mungkir, Nabi ﷺ telah menolak dengan tegas, dan mengatakan terus-terang bahwa janji itu tidak ada lagi.
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang khianat."
Ujung ayat ini berisi peringatan yang umum. Bukannya kaum kafir saja yang tidak disukai Allah karena khianat, bahkan jadi peringatan pula bagi kaum Muslimin sendiri. Khianat akan janji bagi Muslim adalah salah satu tanda munafik. Sebab itu, dijelaskanlah oleh sabda Rasulullah ﷺ tentang nilai janji,—Dirawikan al-Baihaqi di dalam Syu'abul Iman, riwayat dari Maimun bin Mahran, berkata Rasulullah ﷺ,
“Tiga perkara: Muslim dan kafir sama saja padanya. Yaitu (pertama), barangsiapa yang engkau perbuat janji dengan dia, penuhilah janji itu, baik orang itu Islam atau kafir. Maka janji itu adalah janji dengan Allah. Dan (kedua), barangsiapa yang di antara engkau dengan dia ada hubungan kasih sayang (rahim), maka hendaklah engkau hubungkan; baik dia Muslim ataupun dia kafir. (Ketiga), dan barangsiapa yang meletakkan kepercayaan suatu amanah kepada engkau, maka hendaklah engkau pegang amanah itu. Baik dia Muslim ataupun kafir." (HR al-Baihaqi)
Dan, tersebut juga dalam Syu'abul Iman al-Baihaqi itu satu riwayat dari Sulaim bin Amir tentang peristiwa Mu'awiyah dengan bangsa Rum. Antara Mu'awiyah dengan bangsa Rum telah diperbuat satu perjanjian damai. Satu ketika Mu'awiyah telah memimpin tentaranya sehingga hampir sampai ke batas negeri Rum itu. Maksudnya kalau tempo janji telah habis, ialah hendak melakukan penyerangan tiba-tiba ke negeri Rum. Maka datanglah Amir bin Anbasah r.a. lalu menegur Mu'awiyah terus terang, “Pegang setia janji, jangan dikhianati. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang di antaranya dengan suatu kaum ada ikatan janji, maka janganlah dia ungkai buhul janji itu dan jangan dia uraikan sendiri, sampai datang jangka waktunya. Pada waktu itu barulah boleh dia menyatakan pencampakan janji itu sendiri dengan jelas.'" (HR al'Baihaqi)
Ayat yang amat keras bunyinya ini, yaitu bahwa Allah tidaklah suka kepada orang yang berkhianat, sangatlah berkesan dalam sekali pada cara berpikir raja-raja Islam di zaman kejayaan mereka. Di sini teringatlah kita akan Perjanjian Suci perdamaian 10 tahun yang diikat di antara Sultan Murad dari Turki Utsmani (ayah dari Sultan Muhammad Penakluk) dengan Raja Ladeslase Raja Magh-yar (Hongaria) pada tahun 1444 Masehi (848 Hijriah).
Sultan Murad telah berniat hendak mengundurkan diri dari kerajaan, hendak pulang ke Asia Kecil (Maghnisia) masuk Suluk Thariqat Maulawiyah dan kerajaan hendak diserahkannya kepada putranya yang kedua, yaitu Muhammad, yang usianya ketika itu baru 14 tahun, sebab putra sulung Alaiddin telah wafat. Menurut perkiraan baginda perang takkan ada lagi, sebab Perjanjian Suci telah diikat, tidak akan berperang selama sepuluh tahun dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Apalah lagi ketika mengikat janji itu Sultan bersumpah dengan memegang Al-Qur'an dan Raja Ladeslase bersumpah dengan memegang Injil.
Dalam rencana Sultan karena dia mulai tua, telah lelah memegang kerajaan dan ber-perang. Ditanggalkannya pakaian raja dan dipakainya pakaian orang sufi dan disuruhnya putranya, Muhammad, duduk ke singgasana. Sekarang usianya baru 14 tahun. Nanti kalau tempo perjanjian sudah selesai tentu usia putranya telah 24 tahun, dia pun telah kuat berperang. Tanpa ragu-ragu lagi, beliau berangkat meninggalkan pusat kerajaan (ketika itu kota Adrianopel), dan naiklah putranya yang masih kecil itu ke atas takhta. Baginda tidak ada syak wasangka sama sekali.
Akan tetapi, pihak Kerajaan Barat segera mengetahui hal itu. Kardinal Cesarini, wakil Paus mengetahui hal itu. Terus dia bertekad hendak memungkiri Perjanjian Suci itu dan dibujuknyalah Ladeslase supaya memungkiri janji itu. Katanya, masa kinilah yang sebaik-baiknya untuk menghancurkan bangsa Turki dan menghapuskan pengaruh Islam. Tidak ada lagi masa yang lebih baik dari ini. Sebab, Muhammad yang baru berusia 14 tahun tidak akan sekuat ayahnya, Murad yang perkasa. Paus Eugene IV yang bertakhta di Vatikan ketika itu, tidak sedikit jua menyatakan bantahan atas niat khianat kardinalnya itu, malahan gembira menerima usulnya. Dengan atasan bahwa Paus tidak tahu-menahu karena tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya ketika Ladeslase mengikat janji itu, Paus dengan usul Kardinal Cesarini memerintahkan Raja Ladeslase untuk memungkiri janji itu, dan dikirimlah surat kepada raja-raja yang lain supaya bersama-sama menyokong Ladeslase melakukan pemungkiran janji dan menyerang bangsa Turki bersama-sama. Jean Hynade Raja Maghyar yang seorang lagi, mulanya tidak mau masuk dalam pemungkiran itu, tetapi setelah ada surat Paus bahwa dia akan diberi anugerah pengampunan dosa (Indulgenoes) maulah dia ikut. Kardinal Cesarini untuk meyakinkan Ladeslase pernah dengan mengangkat tangannya ke dada, bershalat, menyatakan bahwa tidaklah berdosa jika orang Kristen memungkiri janji dengan orang Islam. Maka disusunlah Angkatan Perang Salib yang besar untuk menghancurkan Kerajaan Turki.
Hal ini segera diberitahukan orang kepada Sultan yang telah masuk suluk. Berdebar dada beliau, tetapi kelihatan sedih hati beliau mengingat apa arti janji bagi orang Kristen, apa arti janji bagi Kardinal Cesarini, mengapa Paus sendiri menyetujui pengkhianatan itu. Beliau yakin bahwa putranya yang baru usia 14 tahun tidak akan sanggup menghadapi bahaya ini. Baginda segera pulang. Beliau tanggalkan pakaian tasawuf, naik ke istana dan sepeninggal putranya pergi berburu, baginda duduk kembali ke singgasana, dan beliau pegang kembali pemerintahan.
Beliau pulang dan beliau pimpin kembali peperangan, dan beliau hadapi musuh-mu-suh yang telah berkhianat itu. Beliau beri uang suap armada Genua yang tadinya turut dalam persekutuan Salib itu. Bagi tiap-tiap satu orang tentara Turki yang diseberangkan ke Eropa dengan kapal Genua, satu dinar emas, menyeranglah 40.000 tentara Turki ke Eropa. Kepala Perang Sekutu Salib ialah Pangeran Hynade. Dengan dialah baginda berhadapan muka dalam perang besar. Tiba-tiba muncullah Pangeran Ladeslase yang memungkiri janji itu di hadapan Sultan, sambil mengangkat pedangnya, hendak menewaskan Sultan. Meskipun telah tua, kemahiran perang baginda belum padam. Sedang tangan Ladeslase tergenggam itu. Sultan menghunjamkan tombaknya dengan tepat ke dada Ladeslase, tembus sampai ke punggung. Dengan gagahnya sultan tua itu dapat menewaskan musuhnya yang muda dan gagah itu. Sedang Kardinal Cesarini sendiri lari dari medan perang.
Satu abad di belakang itu telah terjadi pula hal yang serupa di bagian tanah air kita sendiri, saat Gubernur Portugis, De Mesquita, membuat perjanjian damai perang dengan Sultan Khairun di Ternate (1570). Janji pun memakai sumpah Al-Qur'an dan Injil. Sultan Khairun menjunjung Al-Qur'an dan De Mesquita menjunjung Injil. Sehabis perjanjian ditandatangani, diadakanlah perjamuan besar di benteng Portugis dan Sultan diundang ke dalam benteng itu. Saat sedang asyik makan-makan, Sultan ditikam! Inilah yang menyebabkan perang besar Ternate dengan Portugis. Putra Sultan Khairun naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sultan Babullah. Bertahun-tahun terjadi perang karena Babullah tidak hendak berhenti, sebelum dendam kematian ayahnya terbalas. Bangsa Portugis akhirnya kalah, benteng Portugis di Ternate jatuh ke tangan Sultan dan Portugis lari ke Ambon.
Ajaran Kristen sendiri yang asli ialah “Kasihilah musuhmu". Tetapi, nafsu serakah Barat, pusaka bangsa Viking Purbakala belum dapat dibentuk agama Kristen agar mengasihi musuh, melainkan yang ada hanyalah seperti yang dijelaskan Kardinal Cesarini di hadapan Raja Ladeslase bahwa janji dengan orang Islam tidak mengapa jika dimungkiri. Tetapi Islam dalam ayat ini memberi ingat bahwa Allah tidaklah suka kepada orang yang berkhianat.
Oleh sebab itu, supaya harga janji dapat dipegang teguh dan dimuliakan, wajiblah tiap-tiap negara dan umat Islam itu teguh persiapannya dan kuat pertahanannya; supaya dia jangan melongo saja jika orang lain memungkiri janji.
Ayat 59
“Dan sekali-kali janganlah menyangka orang-orang yang kafir itu bahwa mereka sudah bebas."
Artinya, wahai Rasul sampaikanlah kepada mereka bahwa janganlah kamu sangka dengan sebab kamu telah mengkhianati janji, sudah bebaslah kamu dari tilikan Allah, bahwa mereka akan bebas dari ancaman balasan khianat. Seumpama orang Yahudi tadi, janganlah mereka menyangka bahwa telah selesailah urusan dengan cara yang demikian: “Sesungguhnya mereka tidaklah akan melemahkan."
Artinya, bahwa dengan sikap yang demikian hina, janganlah mereka menyangka bahwa Allah akan bisa mereka lemahkan. Pembalasan Allah pasti datang kepada mereka. Ujung ayat yang berbunyi begini adalah peringatan kepada seluruh orang yang berbuat suatu kejahatan dan menipu Allah. Betapapun siasat yang diatur oleh manusia, namun siasat itu tidaklah akan dapat melemahkan siasat Allah. Suatu dosa mesti berbalasan; kalau tidak segera tentu lambat laun. Kalau tidak di dunia, tentu di akhirat.
Ayat 60
“Dan persiapkanlah (untuk menghadapi) mereka apa yang kamu bisa; dari kekuatan dan dari rambatan kuda-kuda."
Sebagaimana telah kita isyaratkan pada tafsir di atas, di dalamnya Allah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang khianat, maka hendaklah orang yang beriman menjaga kekuatan. Karena kalau pihak musuh memungkiri janji, kita hanya dapat menegurnya dengan kekuatan. Kalau kita lemah, maka tiap-tiap ada kesempatan, niscaya mereka akan menginjak-injak janji itu. Maka ayat ini adalah lanjutan dan akibat yang wajar dari usaha menegakkan Islam. Pada ayat-ayat di atas kita telah diperintahkan berperang sehingga fitnah terhadap agama tidak ada lagi dan seluruh keagamaan sudah bulat menuju kepada Allah. Bagaimana akan sanggup menghadapi perang, kalau persiapan kekuatan tidak ada?
Sebab itu, tegaslah perintah Allah ini datang, yaitu supaya bersiap terus dengan segala macam alat senjata yang ada. Pada zaman Nabi kita Muhammad ﷺ orang berperang dengan pedang dan tombak. Kian lama persenjataan kian maju; sampai kepada bedil dengan segala macam gun (senjata), sampai kepada meriam, dan akhir ini sampai kepada peluru kendali dan bom nuklir. Maka ayat ini selalu berbunyi pada telinga kita, supaya kita bersiap terus, dan bersiap terus menuruti perkembangan persenjataan itu. Di zaman Rasul ﷺ sangat panting artinya kuda peperangan. Dan sampai kepada zaman kita sekarang ini, belumlah mundur kepentingan kuda dalam perang. Di samping itu, telah timbul kendaraan-kendaraan bermotor untuk perang; Panse Wagon, truk, tank, kendaraan berlapis baja, ditambah lagi sekarang dengan kepentingan angkatan udara.
Di dalam ayat ini disebutkan pemautan kuda. Ahli tafsir mengatakan bahwa angkatan perang dalam kesiapsiagaannya hendaklah selalu memelihara kudanya dan memautkannya dengan baik, artinya yang luas ialah kendaraan sehingga bila datang keadaan yang tiba-tiba, terus hendaklah dapat siap menaikinya.
Setelah seluruh negeri Irak ditaklukkan oleh Sayyidina Sa'ad bin Abu Waqqash, be-liau buatlah rencana mendirikan Kota Kufah. Setelah rencana ini dikemukakan kepada Khalifah Sayyidina Umar bin Khaththab, maka beliau pun sangat menyetujui. Cuma beliau tambah bahwa di samping mendirikan sebuah masjid jami, hendaklah pula diperbuat satu tanah lapang tempat para pemuda melakukan latihan-latihan perang. Latihan memanah, melemparkan tombak, bermain pedang, dan berkuda. Setengah dari ucapan beliau yang masyhur,
“Ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang dan memanah. Hendaklah mereka dapat melompat ke punggung kuda sekali lompat."
Ketika ayat ini pernah saya tafsirkan pada kuliah shubuh di Masjid Agung al-Azhar, seorang dari pengikut kuliah yang setia, yaitu Haji Suyono ketika itu Laksamana Muda Angkatan Udara, telah menggeleng-gelengkan kepala karena sangat termakan olehnya ayat ini, sebab dia seorang militer. Dia berkata, “Bagi kami dalam angkatan bersenjata memang ada suatu disiplin yang wajib dipelihara terus. Kami yang diberi jeep atau kendaraan bermotor yang lain, diperintahkan mesti selalu memegang kunci kontak kendaraan kami dengan radar, dan kendaraan itu selalu wajib siap dengan bensinnya. Sehingga kalau ada sesuatu, misalnya terjadi malam hari, kami mesti segera dapat siap melompati kendaraan kami."
Ahli-ahli perjuangan selalu berkata, “The man behind the gun." Manusia yang berdiri di belakang senjata! Artinya, bahwa bukan senjata yang menentukan dan memutuskan, melainkan siapa yang berdiri di belakang senjata itu. Sebab itu dapatlah kita renungkan susunan ayat sejak semula. Yang lebih dahulu ditekankan ialah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Yang lebih dahulu ditekankan ialah iman. Jadi, kalau cara sekarangnya, hendaklah pemegang-pemegang senjata itu orang yang berideologi. Yang sadar benar untuk apa senjata itu dipakai.
Lanjutan ayat menegaskannya lagi, “Untuk kamu menakutkan musuh Allah dan musuh kamu dengan dia." Yaitu dengan persiapan perang yang tangguh dan kuat itu akan berpikirlah musuh 1.000 kali terlebih dahulu sebelum mereka memerangi kamu, atau sebelum mereka memungkiri janji. Musuh kamu dan musuh Allah! Musuh bersama kamu dan Tuhan kamu, sehingga musuh Allah adalah musuh kamu, dan dengan peringatan demikian kamu pun tidak akan membalas dendam pribadi."Dan (musuh) yang lain dari mereka, yang tidak kamu ketahui siapa mereka. Allah yang mengetahui siapa mereka." Itulah musuh dalam selimut, kepinding (kutu busuk) di dalam baju, orang-orang munafik yang disangka kawan, padahal lawan. Maka melihat kekuatan persiapanmu dan teguhnya kewibawaanmu, orang-orang yang munafik itu pun akan berpikir terlebih dahulu sebelum mereka berbuat khianat.
“Dan apa pun yang kamu belanjakan pada jalan Allah, akan disempurnakan (ganjarannya) untuk kamu, dan kamu tidaklah akan teraniaya “
Ujung ayat ini pun menarik perhatian kita setelah kita bandingkan dengan perjalanan sejarah.
Terkadang bilamana musuh-musuh telah sangat membahayakan kedudukan kaum Muslimin, berkehendak sangatlah dia pada perlengkapan senjata lebih banyak. Dalam zaman modern kita ini kadang-kadang perbelanjaan negara untuk bidang pertahanan sangat besar jika dibandingkan dengan perbelanjaan dalam bidang yang lain; orang kadang-kadang mengeluh lantaran itu. Pajak negara kadang-kadang terpaksa dinaikkan. Maka ujung ayat memberi peringatan bahwa pengorbanan untuk itu, apa pun yang dibelanjakan, pastilah akan disempurnakan ganjarannya di sisi Allah. Pengorbanan itu tidaklah akan sia-sia. Dan, kamu tidaklah akan teraniaya. Apabila Allah memerintahkan kamu berkorban sehingga hartamu keluar, tidaklah Allah menganiaya kamu dengan demikian, melainkan untuk keselamatan masyarakat kamu sendiri jua. Dan, boleh juga dipikirkan bahwa kalau kamu selalu siap sedia, tidaklah kamu akan dapat dicederai oleh musuh-musuh dengan jalan khianat dan curang sehingga kamu tidak binasa dengan teraniaya. Kata orang sekarang, “Kamu tidak akan mati konyol."